Anda di halaman 1dari 11

Masyarakat Kelas Menengah Indonesia: Terkurung dalam Paradigma Kapitalisme Pinggiran

Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217 Pendahuluan Laporan Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 2012 telah menarik perhatian banyak pihak. Laporan Bank Dunia (2012) tersebut

menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah naik drastis, dari hanya sekitar 80 Juta (37,7%) penduduk menjadi 130 juta pada 2011 (56,5%). Kenaikan jumlah kelas menengah yang sangat signifikan ini kemudian banyak digadang-gadang akan menjadi agen perubahan ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Beberapa pihak optimis, namun tidak sedikit pula yang meragukannya. Pada posisi inilah kemudian muncul perdebatan. Apakah kelas menengah ini benar akan menjadi kelas perubahan dalam bidang ekonomi dan demokrasi. Ataukah kelas menengah hanyalah akan menjadi kelas yang terbawa arus oleh perubahan yang digalakkan baik itu oleh kelas atas maupun revolusi kelas bawah? Pembahasan kelas menengah kali ini akan dibahas dengan menggunakan perspektif ketergantungan. Pendapat para Marxis juga akan beberapa kali dipinjam untuk mempertajam analisis. Penulisan ini juga akan banyak mengkritik perspektif modernis yang dikemukakan oleh S M Lipset. Siapa itu kelas menengah Indonesia? Pembahasan mengenai kelas menengah Indonesia selalu diawali dengan perdebatan siapakah penduduk yang termasuk dalam kelas ini? Perspektif Max Weber (dalam Francisia: 2012) berpendapat bahwa ukuran kelas menengah dapat dilihat dari segi pendapatan, pendidikan, status sosial, dan hal-hal lain yang dapat dikuantifikasi. Ukuran ini menjadi sangat berbeda dengan para Marxis. Karl Marx sendiri pada dasarnya tidak mengakui adanya eksistensi kelas menengah dalam dialektika antar kelas ploretar dan kelas kapitalis. Namun menururt ilmuwan Marxis, Nicos Poulantzas (dalam William Outhwaite: 2008) mengatakan bahwa masyarakat akan semakin terpolarisasi
1

diantara dua kelas besar. Akan tercipta borjuis kecil yang terbentuk akibat dari pengambilalihan faktor produksi mayoritas kapitalis oleh minoritas kapitalis, dan ploretariat besar yang merupaan mayoritas populasi. Farchan Bulkin (1984) pernah menuliskan sebuah jurnal tentang kelas menengah

Indonesia pra Orde Baru dengan perspektif ketergantungan, kemudian tanpa ragu pula menyebut entitas ini sebagai golongan menengah. Menurut Farchan Bulkin golongan menengah adalah kelompok sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum pengusaha, pedagang pribumi, ahli hukum dan kelompok-kelompok profesional. Perbedaan ontologi dari pendapat-pendapat diatas membuat timbul kebingungan dalam pemberian istilah ini. Hal ini juga sempat membuat keraguan para peneliti majalah Tempo yang akhirnya memutuskan menggunakan istilah kelas konsumen baru dalam ulasannya edisi 20-26 Februari 2012. Hal ini berbeda dengan berita harian terbesar nasional, Kompas yang secara tegas menyebut golongan masyarakat ini sebagai kelas menengah baru. Meskipun berbeda, dan memungkinkan memiliki konsekuensi ontologi yang tersendiri. Erij Hiarij dalam diskusi MAP Corner (2012) mengatakan bahwa keduanya memiliki semangat, angka statis, dan objek yang sama. Berangkat dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa persoalan istilah kelas konsumen baru, kelas menengah baru, golongan ekonomi menengah, dll pada dasarnya dapat di sepakati atau dimaklumi merujuk pada penduduk yang menghabiskan 2-20 $/harinya (Bank Dunia: 2012). Bagaimana kelas menengah dapat terbentuk? Jika meminjam hasil telaah Farchan Bulkin (1984), kelas menengah Indonesia sebetulnya telah muncul pada tahun 1912 yang ditandai dengan kemunculan Sarekat Dagang Islam. Mereka terdiri dari para pedagang, pelajar yang dibiayai pemerintah kolonial, bangsawan pribumi, serta pegawai-pegawai pemerintah kolonial. Mayoritas mereka adalah orang-orang yang mendapat banyak keuntungan dari kemitraanya dengan para kapitalis pinggiran, yaitu perusahaan-perusahaan kolonial Belanda yang ada di Indonesia. Istilah kapitalis pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan dalam sistem perekonomian domestik, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme pusat.

Tren ini kemudian tidak hilang pada Orde Baru, tidak sedikit masyarakat yang naik kelas karena keterlibatan mereka bekerja pada perusahaan asing yang tumbuh subur pada Orde Baru. Namun ada kelas menengah lain yang lahir dari cara yang berbeda. Yaitu para elit pegawai negeri dan ABRI yang bekerja pada negara. Pada masa Orde Baru, kesejahteraan para pegawainya sangat diperhatikan. Sehingga para pegawai negeri dan ABRI mendapat kemakmuan sosial yang lebih. Banyak pihak yang mengatakan bahwa para elit pegawai negeri dan ABRI ini lahir dari rahim negara. Namun sebetulnya argumen ini masih diperdebatkan. Sebab pada Orde Baru, pemerintah telah menjadi pelayan yang baik bagi para investor asing di Indonesia. Sehingga kelas menengah ini lahir tidak lepas hubungannya dengan para kapitalis pinggiran di Indonesia. Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi di galakkan diberbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, teknologi, pangan, franchice, dll. Liberalisasi ini membuat investor asing semakin menjamur di Indonesia. Para investor asing muncul dengan berbagai rupa. Mulai dari rupa yang nyata-nyata adalah perusahaan asing, seperti perusahaan otomotif dengan merk Honda, BMW, Toyota, Yamaha, ataupun perusahaan multi nasional dengan merk seperti Unilever, P&G, Danone, Apple, BlackBerry, Samsung, dll. Ada pula perusahaan-perusahaan lokal yang sahamnya dikuasai asing. Contohnya saja perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia, yang kini kesemuanya dimiliki oleh Philip Morris, British Tobacco, Imperial Tobacco, dll. Hingga BUMN seperti Telkom, Indosat, Semen Gresik, Bank Mandiri, BRI, Kimia Farma, Bukit Asam, Garuda Nusantara, dll yang 85% sahamnya dimiliki oleh investor asing (Beritasatu.com: 2011). Penguasaan para kapitalis pinggiran di Indonesia dengan strategi liberalisasi ekonominya, nyatanya cukup sukses dan berhasil meraup keuntungan kapitalis yang besar. Bekerja menjadi pegawai rendahan apalagi enjadi direksi perusahaan asing adalah prestise. Tidak hanya prestisem penduduk yang bekerja pada kapitalis pinggiran ini, kemudian mendapat tetesan dari para kapitalis pinggiran tersebut. Dari upah tersebut para pegawai perusahaan, profesional, lahir menjadi kelas menengah baru. Beberapa diantaranya dapat menghabiskan upahnya mulai dari 2$/hari hingga 20$/hari. Karakteristik Ekonomi-Politik Kelas Menengah Indonesia

Para ilmuwan liberal atau ilmuwan modernis mungkin akan berbangga hati akan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu diatas 5% pada sepuluh tahun terakhir ini. Namun para liberalis maupun modernis akan tersengat jika melihat karakter ekonomi-politik kelas menengah ini. Hasil penelitian Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012) memaparkan bahwa kelas menengah indonesia bergerak semakin jauh dari ideologi liberalis-demokratis. Kelas menengah di Indonesia justru tergerak atau digerakkan untuk menjadi individu yang konservatif, pragmatis, oportunis, konsumtif, dan intoleran. Hal ini menjadi anti-tesis daripada argumen Lipset (2007) bahwa masyarakat yang semakin modern dan semakin tinggi kemampuan ekonominya, maka akan semakin mendukung terselenggaranya demokrasi yang ideal. Masyarakat kelas menengah digerakkan untuk menghabiskan uang mereka untuk kesenangan pribadi mereka, dibandingkan untuk memenuhi kewajiban terhadap negara, apalagi untuk disalurkan secara suka rela kepada lembaga sosial-agama. Hal ini terjadi lantaran budaya yang telah menstruktur paradigma masyarakat kelas menengah. Struktur paradigma ini terjadi akibat pengaruh media massa yang selama ini dikuasai oleh kapitalis pinggiran. Hal ini didasari penelitian Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012) juga bahwa pengaruh media massa terhadap masyarakat kelas menengah sangatlah tinggi. Dari media massa ini terpolarisasi apa yang dianggap keren, trendi, membanggakan, valuable, dll. Lihat saja, apa yang ada di saluran-saluran televisi Indonesia saat ini, iklan rokok, otomotif, telekomunikasi, properti, makanan, dll hampir semuanya adalah iklan yang kepemilikannya adalah milik asing. Bahkan yang tidak kasat mata, acara-acara di televisi Indonesia sangat sering menunjukkan kemegahan hidup mewah, seperti dalam sinetron, acara gossip, reality show, dll. Paradigma itu berpengaruh pada pola konsumsi masyarakat kelas menengah. Menurut riset Tempo yang dirilis pada edisi 20 Februari 2012, mengatakan bahwa uang masyarakat kelas menengah habis untuk berbagai keperluan, yaitu 41,7 % untuk keperluan pangan; 17,2% papan; 7,3% untuk produk dan pelayanan rumah tangga; 7,1% keperluan edukasi; 5,8% hotel dan katering; 5,2% alkohol dan rokok; 3,6% transportasi; 3,6% sandang; 2,5% produk dan pelayanan kesehatan; 2,1% rekreasi; 1,7% untuk komunikasi; dan 2,2% untuk produk dan pelayanan lain. Porsi pengeluaran untuk

makanan menjadi porsi terbesar akibat pergeseran perilaku konsumsi pangan masyarakat yang dahulu selalu memasak makanannya sendiri di rumah, namun kini ada yang lebih sering atau bahkan selalu makan di resto/restoran/kafe. Tidak sulit menemukan orang-orang yang penuh sesak makan di resto/restoran/kafe kelas atas mulai dari KFC, McDonald, Solaria, Hoka-Hoka Bento, Pizza Hut, dll yang menghabiskan mulai dari Rp 25.000 sampai dengan Rp 50.000 untuk sekali makan. Pada sektor telekomunikasi, hasil riset Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012) menunjukkan bahwa 54,1 % mayrakat kelas menengah atas telah memiliki smartphone seperti Blackberry, Samsung Galaxy, iPhone, dll. Bahkan 23,1% diantaranya memeiliki lebih dari satu smartphone. Sedangkan pada masyarakat kelas menengah 31,2% telah memiliki smartphone; 9,2% diantaranya memiliki lebih dari satu. Pada sektor otomotif, penjualan mobil dan motor di tiap tahunnya sejak 2000-2012 adalah sebagai berikut (Gaikindo News dalam Tempo: 2012):
9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Mobil Motor
2,809,896 2,265,474 1,575,822 898,180 1,028,307 864,144 607,805 486,061 764,710 533,910 345,653 299,629 317,794 354,331 483,317 318,904 434,449 3,898,744 5,074,186 4,428,274 4,688,263 6,215,831 5,881,777 8,043,535 7,398,644

Jumlah penjualan mobil dan motor sangat tidak terbendung. Tidak jarang dalam kurun waktu 13 tahun diatas seorang masyarakat kelas menengah membeli mobil maupun motor lebih dari satu. Hal ini tentu bertolak belakang dari pada pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan masyarakat kelas menengah kepada negara. Misal dalam kasus pajak, logikanya, semakin besar jumlah masyarakat kelas menengah, seharusnya semakin banyak wajib
5

pajak. Namun ternyata hal ini tidak terjadi di tahun 2013, dimana realisasi pajak tahun 2013 menjadi yang terburuk selama kurun waktu 3 tahun terakhir (progresive news: 2013). Penerimaan pajak yang ditargetkan sebesar Rp.1.139,32 triliun dalam APBNP, ternyata realisasinya hanya Rp. 1.040, 32 triliun atau 91,31 % dari target (beritasatu.com:). Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengungkapkan bahwa sejak tahun 2002, Indonesia hanya 2 kali pencapaian pajak sesuai dengan target. Belum lagi masalah rasio pajak di Indonesia yang masih minim yaitu sekitar 12%, padahal idealnya untuk negara lower middle income country seperti Indonesia, rasio pajaknya adalah 19-26%. Fuad Rahmany mengatakan bahwa salah satu penyebab terbesar tidak tercapainya target pajak ini adalah sikap menghindar, ketidakjujuran, dan ketidaktaatan wajib pajak yang terdiri dari kelas menengah bawah sampai kelas atas. Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah realisasi dari potensi zakat. Potensi zakat yang diperkirakan Baznaz (dalam Okezone: 2013) sekitar Rp 217 Triliun ternyata realisasinya hanya Rp 2,3 Triliun yang artinya hanya 1% saja. Pada sektor BBM, masyarakat kelas menengah juga telah membuat pemerintah kelimpungan karena selalu ngotot menggunakan BBM bersubsidi, meskipun sudah diserukan pelarangannya berkali-kali (meskipun memang tidak ada hukumannya). Pernyimpangan ini menurut Menteri ESDM, Jero Wacik (dalam Kompas: 2012) menyebabkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, sebab sebanyak 77% dinikmati oleh masyarakat atas dan menengah atas, 15% oleh masyarakat menengah kebawah, dan hanya 8% oleh masyarakat miskin. Data-data diatas menunjukkan begitu royalnya masyarakat kelas menengah untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan sekunder hingga tersier. Makan di restoran mahal, memiliki smartphone dan kendaraan bermotor yang lebih dari satu. Semua perilaku konsumtif itu, disadari maupun tidak akan bermuara pada keuntungan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa industri otomotif, telekomunikasi, dan francshise di Indonesia, semuanya dikuasai oleh asing. Aliran uang dari masyarakat kelas menengah akan mengalir pada perusahaanperusahaan asing yang ada Indonesia. Kemudian, profit-profit segar akan mengalir deras kepada perusahaan asing yang berada di negara-negara kapitalis. Masyarakat kelas menengah sepertinya tidak menyadari bahwa mereka telah menghabur-haburkan uang mereka untuk keuntungan kapitalis asing, sedangkan kewajiban mereka yang

seharusnya membayar pajak, zakat, menggunakan BBM non-subsidi, ataupun menggunakan produk dalam negeri justru tidak dilaksanakan. Perilaku Politik Kelas Menengah: Konservatif-pragmatis, No risk Perilaku politik kelas menengah di Indonesia dapat kita lihat track record-nya sejak masa Orde Baru sampai dengan masa reformasi sekarang ini. Pada masa Orde Baru, kelas menengah Indonesia saat itu merasa adem-ayem saja dengan berbagai tindaktanduk kebijakan pemerintahan Soeharto. Tidak hanya sekadar diam, tetapi tidak jarang justru para kelas menengah saat itu menjadi kaki-tangan Orde baru sendiri. Mereka tidak mau ambil pusing, tidak mau ambil resiko, tidak mau banyak menuntut pemerintah, melakukan perlawanan, apalagi menjadi oposisi. Masa bodoh dengan HAM, masa bodoh dengan keotoriteran. Selama hidup kelas menengah ini dapat berjalan lancar, maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Pada tiap penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru, Golkar selalu muncul sebagai pemenang. Presentase kemenangannyapun tidak tanggung-tanggung, rata-rata Golkar selalu memperoleh suara/kursi sebesar 70% (data KPU dalam Budiardjo: 2007). Sikap kelas menengah ini telah menjadi kekuatan bagi Orde Baru sehingga dapat bertahan selama 32 tahun. Namun apa yang terjadi ketika terjadi reformasi? Melihat kekuatan Orde Baru yang semakin rapuh, kapitalis pinggiran yang jadi sasaran amukan, dan krisis ekonomi. Kelas menengah ikut berbondong-bondong bersama kelas bawah untuk menjatuhkan rezim 32 tahun tersebut. Adapun partisipasi pemilih pada masa reformasi semakin lama semakin menurun (vivanews.com: 2013), berbanding terbalik dengan jumlah kelas menengah di Indonesia. Pada Pemilu tahun 1999, angka partisipasi pemilih cukup tinggi yaitu 92,9%. Namun pada tahun Pemilu 2004, angka partisipasi pemilih turun menjadi hanya mencapai 84,7%. Pada tahun 2009 angka partisipasi pemilih hanya mencapai 70,99%. Pada pemilukada 2012-2013 di berbagai provinsi, angka partisipasinya juga sangat rendah. Tingkat partisipasi Pilgub DKI Jakarta (2012) hanya 64,6%, Pilgub Jawa Timur (2013) hanya mencapai 58,9%, Pilgub Riau hanya 53,3%, Pilgub Jawa Tengah (2013) hanya 51,1% , bahkan pada Pilgub Sumatera Utara (2013) jumlah partisipasinya hanya mencapai 48,2% (berbagai sumber dengan rujukan utama Merdeka.com: 2013). Faktafakta diatas membuat KPU tidak berani mematok target tinggi dalam menargetkan

partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, yaitu hanya 75%. Bahkan dengan target sebesar itu, masih banyak pihak yang meragukan, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang memprediksi tingkat partisipasi pemilih hanya 50% (Suarapembangunan.net: 2013). Bukan hanya masalah kuantitas partisipasi pemilih. Namun kualitas partisipasi pemilih juga bermasalah. Sigit Pamungkas (dalam seminar Polgov: 2013) mengungkapkan bahwa semakin lama modus pelanggaran Pemilu semakin variatif, kuantifikasi pelanggarannyapun semakin banyak. Data yang diperoleh dari evaluasi Bawaslu (2010) menunjukkan pelanggaran Pemilu yang meningkat drastis. Pada tahun 1999 terjadi sekitar 4290 laporan pelanggaran, 3199 pelanggaran administratif 1091 pelanggaran pidana. Pada tahun 2004 terjadi sekitar 12099 laporan pelangaran, 8946 pelanggaran administratif, 3153 pelanggaran pidana. Pada tahun 2009 diterima sekitar 21360 pelanggaran, 15341 pelanggaran administratif, dan 6019 pelanggaran pidana. Data ini sekiranya membuktikan bahwa pelaksanaan Pemilu di Indonesia diwarnai praktikpraktik yang tidak sehat. Mungkin akan timbul pertanyaan, apa hubungannya partisipasi pemilih, pelanggaran pemilu dengan teori ketergantungan? Tentu saja ada hubungannya. Para modernis bisa mengelak bahwa keabsenan pemilih adalah bentuk dari legitimasi masyarakat yang sudah puas terhadap pemerintah yang telah berhasil menjalankan demokrasi yang ideal dan sehat. Tesis tersebut sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Rita Abrahamsen (2002) bahwa masyarakat kelas menengah sama sekali masa bodoh dan tidak memahami esensi dan prinsip demokrasi. Masyarakat menengah pada saat Pemilu sekiranya terdiri dari dua bagian, kelompok satu yaitu minoritas masyarakat kelas menengah yang memilki kepentingan pada saat Pemilu. Kelompok inilah yang rentan melakukan pelaggaran pemilu. Kemudian kelompok lainnya adalah masyarakat menengah yang apatis/tidak peduli terhadap pemilu. Mereka berpendapat bahwa memilih atau tidak memilih adalah sama saja, tidak akan berpengaruh apapun terhadap kehidupan mereka. Biasanya mereka baru mau memilih kalau diberikan money politics dari calon/parpol tertentu. Kelompok inilah yang bersikap konservatif-pragmatis. Hal ini juga menunjukkan demokrasi yang sama sekali tidak sehat telah terjadi di Indonesia. Bagi para kapitalis-perusahaan asing, hal ini tentunya bukan masalah. Bahkan sebetulnya inilah yang mereka harapkan. Para kapitalis sangat tidak menginginkan

demokrasi politik yang dinamis. Sebab pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan industri membutuhkan stabilitas ekonomi dan politik. Para perusahaan asing terus berupaya mengeluarkan produk-produk baru mereka untuk menarik kesibukan dan uang kelas menengah. Sehingga masyarakat kelas menengah akan menjadi acuh, tidak memiliki waktu dan uang lagi untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Ruang politik yang kosong ini kemudian akan disesaki kemudian dengan kepentingan-kepentingan para perusahaan asing. Kapitalis pinggiran tidak akan mendapat tantangan serius dari kelas menengah yang sudah apatis. Alhasil liberalisasi ekonomi dapat terus berjalan dan tumbuh subur di Indonesia. Kesimpulan Kelahiran masyarakat kelas menengah baru yang mayoritas lahir dari kemitraannya dengan perusahaan asing adalah awal dari masalah ini. Masyarakat akan mencurahkan waktu dan tenanganya untuk bekerja pada perusahaan asing, mendapat penghasilan dari perusahaan asing, membelanjakan dan menghabiskan waktu untuk membeli produk dan layanan perusahaan asing. Siklus ini seolah menjadi lingkaran setan, dimana perputaran uang, dominasi politik dikuasai oleh elit-elit atas. Masyarakat kelas menengah hanya menjadi objek untuk terjebak dalam materialisme dan pragmatisme. Melihat begitu sudah mengguritanya penguasaan asing terhadap masyarakat menengah. Terlalu naif memang jika kita mengharapkan kelas masyarakat menengah dapat menjadi indivu-individu atau kelas kolektif yang akan menjadi agen perubahan ekonomi-politik Indonesia. Apalagi mengingat kesadaran kelas masyarakat menengah ini sangat rendah. Terlalu naif pula apabila kita mengidam-idamkan Indonesia yang berdikari-yang bebas dari perusahaan asing. Namun ketika masyarakat menengah menjadi sangat konsumtif, namun mengabaikan kewajibannya terhadap negara, tentunya ada kesalahan disana. Pemerintah perlu berperan melakukan berbagai program untuk menyadarkan masyarakat dari berbagai kelas, khususnya kelas menengah untuk berkontribusi lebih terhadap negara. Seperti, mentertibkan media yang terlalu berlebihan terhadap komersialisasi penyiarannya. Melemparkan berbagai propaganda ke publik, bahwa bekerja menjadi wiraswasta pribumi lebih prestise dibanding menjadi pegawai

perusahaan asing. Membuat pemasaran produk dan layanan dalam negeri yang tidak kalah dengan produk asing. Menyadarkan pentingnya partisipasi politik secara luas,

bukan hanya partisipasi politik praktis. Berbagai upaya tersebut setidaknya dapat membuat ekonomi-politik Indonesia lebih kokoh, sehat dan independen. Apalagi tantangan kedepannya Indonesia harus menghadapi ASEAN Community dan AFTA 2015 yang sudah terlanjur ditandatangani. Daftar Pustaka Enslikopedi Outhwaite, William. 2008. Pemikiran Sosial Modern(Ed.2). Jakarta: Prenada Media Group Jurnal Seda, Fransisca. 2012. Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual. Dimuat dalam Jurnal Prisma Vol 31, No 1, 2012 Bulkin, Farchan. 1984. Kapitaliseme, Kelas Menengah dan Negara. Dimuat dalam Jurnal Prisma No 2 1984 Laporan Resmi Bank Dunia. 2011. Laporan Perkembangan Triwulan Perekonomian IndonesiaDesember 2011. Buku Abrahamsen, Rita. Rita Abrahamsen. 2000. Sudut Gelap Kemajuan : Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan. Zed Books: New York Lipset, Seymour M. 2007. Political Man. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majalah dan Surat Kabar Tempo. 2012. Laporan Khusus: Kelas Konsumen Baru Indonesia. No 1226 Edisi 20-26 Februari 2012

10

Litbang Kompas. 2012. Fokus: Kelas Menengah. Kompas Edisi Jumat/8 Juni 2012 Internet Administrator. 2013. http://suarapembangunan.net/partisipasi-politik-pemilu2014-akan-kurang-dari-50-persen&catid=15:politik&Itemid=11, diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB Arfi Bambani Amri. 2014. http://politik.news.viva.co.id/news/read/430115-

ketua-kpu--ada-tren-partisipasi-pemilu-menurun, diakes 08/01/2014 Jam 22.00 WIB Erlangga Djumena . 2013.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read//Menteri.ESDM.Pengguna.BBM.Subsidi.77.Per sen.Warga.Kelas.Atas., diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB Fajar. 2011. http://www.beritasatu.com/keuangan/16627-saham-bumn-

mayoritas-dimiliki-asing.html, diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB Hutauruk, Dina Mirayanti. 2013. http://economy.okezone.com/read/-

836244/potensi-zakat-di-indonesia-rp217-triliun, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB Investor Daily. 2014. http://www.beritasatu.com/makro/156627-realisasi-

penerimaan-pajak-tahun-2013-diprediksi-hanya-9131.html, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB Lestari, Mustiana. 2013. http://www.merdeka.com/politik/sumut-paling-rendahtingkat-partisipasi-pemilih-di-pilkada.html, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB Reza, Khairur. 2014. http://news.detik.com/read/115626/2462629/10/kpu-

targetkan-partisipasi-pemilih-75-di-pemilu-2014, diakes 09/01/2014 Jam 22.00 WIB

11

Anda mungkin juga menyukai