Anda di halaman 1dari 2

Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti bisa sembuh.

Bisakah, kekecewaan, bahkan keputusasaan yang


mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya akan kikis. Adakah kemungkinan
kita akan merangkak naik ke bumi, dari jurang yang teramat dalam dan curam. Akankah api akan
berkobar-kobar lagi. Apakah asap akan membumbung tinggi dan memenuhi tanah air. Akankah kita
semua akan bertabrakan lagi satu sama lain, jarah-menjarah lagi satu sama lin dengan perngorbanan
yang tidak terkirakan. Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani.
Bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa yang sesungguhnya kita cari. Cakrawala yang
manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita. Pernahkah kita bertanya bagaimana
cara melangkah yang benar. Pernahkah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali memang perlu
disesali dari perilaku-perilakukita yang kemarin. Bisakah kita menumbuhkan kerendah-hatian dibalik
kebanggaan-kebanggan.

Masih tersediakah ruang didalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata kepada diri
sendiri, bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia, tetapi
juga kita. Masih tersediakah peluang didalam kerendahan-hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-
kira kita perlukan meskipun barangkali menyakitkan diri kita sendiri. Mencari hal-hal yang benar-benar
kita butuhkan agar supaya sakit kita ini benar-benar sembuh total. Sekurang-kurangnya dengan perasaan
santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan itu bukan
yang diluar diri kita, tetapi yang didalam diri kita sendiri. Yang kita perlu utama lakukan adalah
penyembuhan diri, yang kita yakini bahwa harus betul2 disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang
disembuhkan justru adalah yang berlaku didalam hati dan pikiran kita.

Lir ilir, lir ilir...
Tandure wosumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggoten manten anyar

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala
sesuatu yang kita mengalaminya sendiri, namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak 5 abad silam
syair itu ia telah lantunkan dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham. Padahal kata-kata
beliau itu mengeja kehidupan kita sendiri. Al-Fatihah, Alif, Ba, Ta, kebingungan sejarah kita dari hari ke
hari, sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para
penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi. "Menggeliatlah dari
matimu" tutur sang Sunan.

Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu, sungguh negeri
ini adalah penggalan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan
keindahannya, dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih
kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan
makhluk TuhanMu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini.
Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa
dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun. Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat
sepenggal surga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidakadilan dan
panen-panen kerakusan.

Cah angon, cah angon
Penekno belimbing kui
Lunyu-lunyu penekno
Kanggobasuh dodo tiro

Kanjeng Sunan tidak memilih figur misalnya, Pak Jenderal, pak jenderal juga bukan intelektual, ulama,
seniman, sastrawan atau apapun, tetapi Cah angon, Cah Angon. Beliau juga meuturkan penekno
belimbing kui, bukan penekno pelem kui, bukan penekno sawo kui, bukan penekno buah yang lain, tetapi
belimbing, bergigir lima. Terserah apa tafsirmu mengenai lima. Yang jelas harus ada yang memanjat
pohon yang licin itu, lunyu-lunyu penekno, agar belimbing bisa kita capai bersama-sama dan yang harus
memanjat adalah bocah angon anak gembala. Tentu saja ia boleh seorang Doktor, boleh seorang
Seniman, boleh seorang Jenderal, atau siapapun. Namun ia harus memiliki daya angon, daya
menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul, dan memesrai
siapa saja saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis sultan kedamaian bersama.

Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua
kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional,bukan tokoh golongan, atau pemuka
suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus
memanjatnya, harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya. Bukan ditebang, dirobohkan, atau
diperebutkan. Dan air sari pati belimbing lima gigir itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian
nasional. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang.
Kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu,maka engkau
kehilangan semua harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia.
Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci
dengan pedoman lima.

Dodo tiro, dodo tiro
Komitir bedaying pinggir
Dondong mono lumetono
Kanggo sego mengku sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo sura o... Sura... i... yo...

Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai
ditafsirkan dengan waktu seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk
berkeliling, untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan
warnanya masing-masing. Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka
mengenai ilir ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai temanten anyar, mengenai bocah angon dan
belimbing, mengenai basuh dodo tiro, mengenai gumiting bedahing pinggir.

--Emha Ainun Najib

Anda mungkin juga menyukai