Anda di halaman 1dari 24

TETANUS

Dr. Herry Setya Yudha Utama,SpB,MHKes,FInaCS










SMF BEDAH
RSUD ARJAWINANGUN 2011



Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri
dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan
dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman
anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi sebagai
komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun
luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah
luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus
punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka,
otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium
tetani yaitu sejenis kuman gram positif yang dalam keadaan biasa
berada dalam bentuk spora dan dalam suasana anaerob berubah
menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin antara lain
neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah yang
menimbulkan gejala gejala penyakit tetanus.
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti
pada tanah, rumput rumput, kayu, kotoran hewan dan
manusia. Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan
suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak
jaringan nekrotik di dalamnya, atau luka dengan pertumbuhan
bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah seperti Staphyloccus
aureus.
Istilah tetanus prone wound yaitu luka yang cenderung
menyebabkan penyakit tetanus antara lain luka dengan patah
tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda asing,
terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka
dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan
III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau
pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam
baru mendapat topical desinfektansia atau pembersihan secara
bedah, abortus dengan septis, melahirkan dengan pertolongan
persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali
pusat tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan
nekrotik, ulserasi kulit dengan jaringan nekrotik, segala macam
tipe gangrena, operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut
sampai anus, otitis media puralenta. Masa inkubasi penyakit
tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 12 hari, akan
tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa
bulan. Bertambah pendek masa inkubasi bertambah berat
penyakit yang ditimbulkannya.
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang
telah diserangnya. Angka kematian penderita tetanus sangat
tinggi sekitar 50 %, angka itu akan bertambah besar pada rumah
sakit yang belum lengkap peralatan perawatan intensifnya,
mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan perawatan intensif
yang sudah lengkap.
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang utama. Usaha yang ditempuh
mengatasi penyakit ini adalah :
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang
luka secara benar dan tepat.
c. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif
secara multidisipliner.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar
maupun luka kecil, luka nyata maupun tersembunyi. Tetanus
merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh
kuman Clostridium tetani yang menghasilkan eksotoksin bersifat
anaerob. Clostridium tetani merupakan hasil gram positif, dan
bersifat anaerob.
Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka luka
seperti vulnus laceratum (luka robek), vulnus punctum (luka
tusuk), combustio (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka
terkontaminasi, luka tali pusat.
Masa inkubasi penyakit ini adalah 1 54 hari, rata rata 8
hari. Semakin lambat debrimen dan penanganan antitoksin,
semakin pendek masa inkubasinya dan semakin buruk pula
prognosisnya. Kuman masuk ke dalam luka melalui tanah, debu
atau kotoran.
Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti
masa inkubasi yang pendek, stadium penyakit yang parahm
penderita yang lanjut usia, neonatus, kenaikan suhu yang tinggi,
pengobatan yang lambat, adanya komplikasi seperti status
konvulsivus, gagal jantung, fraktur vertebra, pneumonia.
Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan
kesadaran. Dan awitan penyakit (waktu dari timbulnya gejala
pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 72 jam.

Gambar : Spasme otot akibat masuknya toksin dari
kuman Clostridium tetani



Patogenesis dan Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka.
Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka
laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh
manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 %
dari pasien tetanus, port dentre terdapat didaerah kaki terutama
pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru
lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat
dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis
media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port dentre,
bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang
diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk
spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya
memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal
di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini
membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat
menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus
secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk
berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang
bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end
organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf
sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut
tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau
berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik
sama sekali tidak menyerap.





Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram
positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2
minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami
cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit
penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal
dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan
luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi
menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan
tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan
diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf
termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin
pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta
syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior
sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala
klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan
dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak
terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi
tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang
melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin,
neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap
tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks
respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai
pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus),
pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi
kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada
dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan
kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang
berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh,
sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolism,
hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama
janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam
dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja
pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission
dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal
nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan
pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous
System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang
fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian
cathecholamine dalam urine.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi
otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter
adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis
sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu
silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan
untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya
dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama
kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya
disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian
sangatlah tinggi.


Tanda tanda dan gejala gejala klinis
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku
rahang, sukar membuka mulut lebar lebar), rhisus
sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot
perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan
laringospasme. Pada keadaan yang lebih berat terjadi
epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada saat kejang
badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya
kepada dan bagian tarsa kaki saja yang menyentuh dasar tempat
berbaring.
Dapat terjadi spasme diafragma dan otot otot pernapasan
lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan
sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh
berkeringat.



Karakteristik Penyakit
Kejang kejang bertambah beram selama tiga hari pertama,
menetap selama 5 7 hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang
mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang menghilang. Dan kaku
otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.

Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi
menjadi stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang
dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada
kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang
rangsang, dan belum ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang
rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
Prinsip prinsip Umum Profilaksis
Pertimbangan individual penderita. Pada setiap penderita luka
harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap
tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan
riwayat imunisasi.
Debridemen. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi
jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk
semua jenis luka.
Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap
tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x
sebulan selama 3 bulan berturut turut.
DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak.
Diberikan pada usia 2 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1
x sebulan selama 3 bulan berturut turut. Booster diberikan pada
usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 6 tahun 1 x 0,5
cc IM.
Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang
diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. Booster
(penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga
imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian
booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada
saat cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai
booster, kecuali bila penderita telah mendapatkan booster atau
menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan
antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal
kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU
per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di
pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk
orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS),
sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM. Hypertet
diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari
hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi
penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun
pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian
imunisasi secara IM, jangan sekali kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan
keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Tindakan profilaksis
Jenis Luka Belum IA atau
sebagian
Mendapat IA yang lengkap
1 5 tahun 5 10 tahun > 10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau
melengkapi IA
toks. 0,5 cc
hingga lengkap
- Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Berat, bersih,
atau cenderung
tetanus
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Cenderung
tetanus,
debrimen
terlambat,m atau
tidak bersih
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Hingga lengkap
ABT
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5 cc
ABT
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
ABT

Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus
Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk
Clostridium tetani
Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas :
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Pemberian antitoksin tetanus. Pemberian serum dalam dosis
terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000
20.000 IU IM dan untuk anak anak sebesar 10.000 IU IM, untuk
hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU 6000 IU IM
dan bagi anak anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin
dosis terapetik selama 2 5 hari berturut turut.
Penatalaksanaan luka. Eksisi dan debridemen luka yang
dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera
(pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan
perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan
anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis
yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8
jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak anak adalah sebesar
50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah
4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk
vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu
untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh,
sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan
dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan
susunan saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali
melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk
mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu
kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
Penaggulangan Kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara
dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip
isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang
yang memadai maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat Dosis Anak anak Dosis Orang
Dewasa
Fenobarbital
(Luminal)
Mula mula 60 100 mg IM,
kemudian 6 x 30 mg per
oral. Maksimum 200 mg/hari
3 x 100 mg IM
Klorpromazin
(Largactil)
4 6 mg/kg BB/hari, mula mula
IM, kemudian per oral
3 x 25 mg IM
Diazepam
(Valium)
Mula mula 0,5 1 mg/kg BB
IM, kemudian per oral 1,5 4
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis
3 x 10 mg IM
Klorhidrat - 3 x 500 100 mg per
rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot
(muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan
(ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus
(ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli
anestesi.
Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde,
dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan
sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak anak, bersihkan jalan
nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi
dengan seksama tanda tanda vital (seperti kesadaran, keadaan
umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan),
trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran
(pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila
fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian
lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan (1)
pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2)
jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi
(pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan trakheotomi
berencana, (3) pemberian oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang
teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian
antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian
antikejang yang memadai.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah : pneumonia, terutama
karena aspirasi : asfiksi, terutama pada saat kejang, status
konvulsivus, fraktur vertebra, akibat kejang.
Beberapa pertimbangan
Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya,
karena itu ada ahli yang menggunakan dan ada yang tidak
menggunakannya. Bila digunakan, keberatannya adalah
mengenai harga, tetapi bila digunakanpun tidak berbahaya kecuali
pada penderita yang hipersensitif. Kemampuan perlindungan ATS
ini hanya berlangsung selama 2 3 minggu saja.
Tes Sinsitivitas terhadap ATS
Dilakukan untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan
terhadap ATS hewan atau tidak. Untuk melakukan tes tersebut
ada dua cara yaitu tes kulit (skin test dan tes mata / eye test).
Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes
mata). Caranya yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades
atau cairan NaC1 0,9 % menjadi 1 cc. Suntikkan 0,1 cc dari
larutan yang telah diencerkan tadi pada lengan bawah sebelah
voler secara intrakutan, tunggulah selama 15 menit. Reaksi positif
(penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi infiltrat /
indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang
dapat disertai rasa panas dan gatal.
Tes mata. Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan
serum pada mata, tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata
merah dan bengkak.
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan. Pada
penderita ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian
hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi
(cara Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.
Desensitisasi cara Bedreskad
Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap
penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu
hal. Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan
kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara
Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul reaksi
hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan
secara subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc
akuades atau NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30
menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda tanda penderita
hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan
pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat
penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat
disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 3 minggu, jadi bila keesokan
harinya atau hari hari berikutnya (dalam masa 2 3 minggu
tersebut) perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Bersredka
tak perlu diiulangi. Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan
P3K yaitu obat yag diperlukan untuk menanggulangi syok
anafilaktik tetap tersedia.
A. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
Yang dimaksud dengan semua orang di sini mulai dari bayi
sampai orang tua berumur puluhan tahun, bahkan bayi sebelum
lahirpun sudah harus diberi kekebalan melalui ibu yang sedang
hamil.
Pokoknya semua penduduk haruslah sudah mempunyai
kekebalan terhadap tetanus. Caranya dengan menyuntikkan
toksoid tetanus (dimurnikan) = vaccin serap tetanus = tetanus
toxoidum punficatum sebanyak 0,5 cc intra muskuler.
Untuk immunisasi dasar 3 kali berturut turut dengan interval
antara suntikan pertama dengan kedua 4 6 minggu, antara
kedua dengan ketiga 6 bulan. Immunisasi dasar sudah boleh
dimulai waktu anak berumur sekitar 4 bulan yang dapat diberikan
bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk vaksin DTP atau
DT atau diberikan terpisah pisah. Kalau seseorang belum
pernah mendapatkannya maka imunisasi dasar dapat dilakukan
kapan saja sepanjang hidupnya, dengan dosis dan interval yang
sama seperti di atas. Seseorang yang telah mendapat immunisasi
dasar lengkap (3 kali suntikan) maka dalam jangka waktu 10 tahun
setelah suntikan terakhir, kandungan antitoksin tetanus dalam
serum darahnya berada di atas garis perlindungan minimal
(=minimum protective level) yaitu garis 0,01 i.u/ml, jadi orang itu
dianggap sudah terlindung terhadap tetanus.
Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh
untuk membentuk antitoksin tetanus. Dia terdapat dalam serum
setelah 7 hari suntikan pertama, kemudian titernya menarik dan
pada hari ke-28. Kalau pada hari ke-28 itu diberikan suntikan
kedua, titernya akan menanjak terus dan akan mencapai 1,0 i.u
pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi minimal walau
kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap berada
di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun. Bila suntikan ketiga
diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih
tinggi, walau kemudian akan ada penurunan, tetapi tetap berada di
atas garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 20
tahun yang didapatkan pada 85 95 % personil perang dunia
kedua.

Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan
suntikan booster setiap 5 tahun paling lambat 10 tahun atau setiap
seseorang luka di mana diperkirakan titer antitoksin tetanus dalam
serumnya sudah mulai menurun walau masih di atas garis proteksi
minimal terutama untuk luka yang disebut tetanus prona wound
. Pemberian booster akan menaikkan titer antitoksin berlipat ganda
jumlahnya. (lihat Gambar 2)

Ada istilah proteksi persial terhadap tetanus, maksudnya ialah :
a. Orang orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus
sebanyak 3 kali, tetapi suntikan terakhir sudah lebih dari 10 tahun.
b. Orang orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan
waktunya telah lebih dari 5 tahun.
c. Orang orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.
Perlu dijelaskan bahwa toksin tetanus (dimumikan) tidak akan
menimbulkan reaksi hipersensitif terhadap orang yang disuntik,
karena itu dapat diberikan berulang kali, sangat jarang ada reaksi
allergi, kalaupun ada reaksinya ringan saja.
Kepada semua dokter dan petugas kesehatan bertanggung jawab
untuk memberikan vaksinasi tetanus terhadap anggota
masyarakat yang berada di bawah salah seorang anggotanya
menderita tetanus maka pertama tama salah dalam hal ini
adalah dokter perusahaan tersebut, mengapa dia lalai
memberikan kekebalan aktif terhadap anggota yang menjadi
tanggung jawabnya.
B. Melakukan profilaksi tetanus terhadap orang yang luka
secara benar dan tepat

Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :
1. Pemberian vaksin tetanus
2. Perawatan luka secara bedah yang benar
3. Pemberian antitoksin tetanus
4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis
emergency
1. Pemberian vaksin tetanus
Pemberian ini ditujukan sebagai booster terhadap pasien yang
luka yang telah mendapat vaksinasi tetanus sebelumnya,
tujuannya untuk menaikkan titer antitoksin dan akan memberikan
perlindungan yang efektif dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian vaksin tetanus pada saat luka terhadap pasien yang
sama sekali belum pernah divaksinasi terhadap tetanus, tidaklah
dapat menjamin perlindungan terhadap tetanus, karena untuk
mendapatkan antitoksin dalam serum sampai di garis proteksi
minimal dibutuhkan waktu 2 3 minggu, sedangkan masa
inkubasi tetanus ada yang lebih cepat. Dalam hal inilah diperlukan
pemberian antitoksin (immunisasi pasif) bersamaan dengan
pemberian toksodi tetanus tadi.
2. Perawatan luka secaa bedah yang benar
Pencegahan secara bedah ini bertujuan untuk membuang
clostridium tetani yang berkontak dengan luka, membuang
jaringan yang tidak vital lagi untuk mencegah suasana anaerob,
dan sebaik mungkin melakukan rekonstruksi luka sehingga terjadi
suasana aerob. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan :

1. Luka dirawat secepat mungkin
2. Teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci
kulit sekitar luka dengan cairan yang cukup sebelum tindakan
bedah.
3. Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.
4. Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidentifikasi
jaringan yang vital seperti saraf dan pembuluh darah.
5. Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan
jaringan secara halus untuk mencegah kerusakan jaringan yang
lebih besar.
6. Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan
benang yang cukup kecil agar jaringan nekrotik minimum yang
tinggal di dalam luka.
7. Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah
jaringan nekrotik dalam luka.
8. Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk
meratakan pinggir luka yang compang camping, mengangkat
jaringan yang sudah diragukan vitalitasnya, mengangkat benda
asing sampai tidak ada yang tertinggal.
3. Pemberian antitoksin tetanus
Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2
a. Heterologous antitoksin
b. Tetanus immun Globulin (human)
Heterologous antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah
divaksinasikan sebelumnya. Jadi mengandung protein kuda
(protein asing) dan pemberian kedua dan seterusnya
menimbulkan reaksi sensitivity yang hebat sampai dapat terjadi
anafilaktik shock. Oleh sebab itu sebelum pemberian perlu ditest
lebih dahulu.


Tetanus Immun Globulin (human)
Diambil dari serum manusia. Dalam perdagangan bermacam
macam nama seperti Hu-Tet, Hyper-Tet, Homo-Tet dan
sebagainya. Jenis ini jarang sekali menimbulkan reaksi
hipersensitivity, kalau ada sangat ringan antitoksin diberikan harus
dengan indikasi yang jelas.
Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :
1. Luka yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada
orang yang belum pernah mendapat immunisasi aktif, atau orang
itu dengan proteksi tetanus persial.
2. Pengobatan pasien dengan tetanus.
Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk
profilaksis adalah :
- Orang
dewasa : 250 u 500
u
- Anak di atas 10 tahun : 250 u
- Anak 5 10
tahun : 125 u
- Anak di bawh\ag 5 tahun : 75 u
Tetanus immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah
selama 1 bulan. Untuk pengobatan penderita tetanus diberikan
dosis 3000 6000 unit intra muskuler pada otot gluteus, sebagian
diinfitrasikan sekitar luka.
Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak
ada, dosisnya untuk profilaksis 1500 3000 unit bagi orang
dewasa, anak anak sesuai umur. ATS bertahan dalam darah 7
14 hari. Untuk pengobatan penderita tetanus dosis ATS adalah
20.000 40.000 unit. Antitoksin untuk profilaksis diberikan secara
simultan dengan vaksin tetanus tetapi dengan spuit dan jarum
yang berbeda, juga tempat penyuntikan harus berbeda, gunanya
agar jaringan terjadi aglutinasi antara keduanya.
Grafik titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid
saja, antitoksin saja, toksoid dan antitoksin secara simultan.





Pemberian :
1. Toksoid saja
2. Antitoksin saja
3. Toksoid dan
antitoksin








4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis
emergency
Pasien dengan luka haruslah ditanyakan dan dicatat :
1. Sudah pernahkah pasien mendapat immunisasi aktif
terhadap tetanus ?
2. Kalau sudah pernah kapan didapatkan ?
3. Adakah reaksi terhadap tetanus toksoid itu ?
4. Perlukah orang itu diberikan antitoksin ?
5. Pemberian antibiotika penicilin atau tetrasiklin selama 5
hari.

INDIKASI IMMUNISASI

DATA VAKSINASI LUKA BERSIH LUKA KOTOR
Tetanus
Toksoid
Tetanus
Antitoksin
Tetanus
Toksoid
Tetanus
Atoksin
Tidak pernah
mendapat vaksinasi
atau tidak diketahui
Ya Tidak Ya Ya
Satu kali mendapat
vaksinasi tetanus
Ya Tidak Ya Ya
Dua kali mendapat
vaksinasi tetanus
Ya Tidak Ya Ya
Tiga kali mendapat
vaksinasi tetanus
Tidak/Ya Tidak Tidak/Ya Tidak/Ya

C. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif
secara multidisipliner. Setelah D/ ditegakkan ditentukan klasifikasi
penyakit apakah ringan, sedang atau berat. Klasifikasi ini sebagai
dasar untuk menentukan pegangan klinik dan penangan
pernafasan dan kardiovaskuler sebagai komplikasi penyakit
ini. Tetanus ringan ditangani secara konservatif, tetanus sedang
dan berat di tangani dengan intubasi endotrakheal dan / atau
trekhostomi selama pemberian positif pressure ventilasi. Segera
setelah diagnosa ditegakkan pasien dibawa ke ruangan intensif di
mana personelnya telah trampil menangani problem pernafasan
dan resusitasi jantung. Diberikan obat obat untuk mencegah
kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun
globutin (human), bila terpaksa baru diberikan ATS.
Debridement luka dilakukan 1 2 jam setelah pemberian
antitoksin, guna mencegah bertambah banyak neurotoksin
tetanospasmin yang lepas dan terikat pada susunan saraf
pusat. Perlu diingat bahwa neurotoksin tetanospasmin yang telah
terikat pada susunan saraf pusat tidak dapat dinetralisir lagi.
Pemberian antibiotika, menjaga pernafasan, penanganan
kardiovaskuler, perawatan, lancarnya pasage usus, penanganan
metabolisme dan makan. Beberapa buku masih menyatakan
perawatan penderita dalam kamar gelap. Sebetulnya halnitu lebih
banyak ruginya daripada untung, bagaimana perawatan yang
benar dapat dilaksanakan dalam kamar yang gelap di man harus
memasang alat dan pengawasan yang ketat.
Apakah penderita perlu dirawat dalam kamar isolasi ? Sebetulnya
tidak perlu karena spora ada di mana mana sekitar kita, bukan
luka penderita tetanus itu. Jelas penangan penderita harus
multidisipliner.

Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang
diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM,
selama 5 hari, sedng untuk anak-anak adalah sebesar 50.000
IU/KgB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Sebelumnya
dilakukan skin test dan di observasi dengan baik. Bila penderita alergi
terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian
tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4500 mg/hari, sedangkan untuk
anak-anak adalah 40 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Begitupun
Metronidazol 3 x 1 gram IV.

5. Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan
cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi
sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang
memadai maka kejang dapat dicegah. Pemberian midazolam 2-3 mg /
jam. Dan Diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB diberikan bila terjadi kejang
secara IV.
Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan
asupan sebesar 2000 kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100
kalori/KgBB/hari untuk anak-anak; bersihkan jalan nafas secara
teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan seksama tanda-
tanda vital.
Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti
kejang, sekaligus mencegah laringospasme, jalan nafas yang
memadai, bila perlu lakukan intubasi atau lakukan trakeotomi
berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan
membersihkan jalan nafas yang teratur, pengaturan posisi penderita
berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan
pemberian antikejang yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi
2,J akarta : Hipokrates,1995
Ismael Chairul ; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus
dalam bidang bedah : UNPAD, 2000
Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit
FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.
Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,
Jakarta:2004. 322.
http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
BUKU Ajar Ilmu Bedah . De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai