Anda di halaman 1dari 19

Dr Herry S Yudha Utama SpB MHKes

FInaCS

Hukum Kesehatan

Arsip Blog

TETANUS

NOV 2
Posted by herrysyu

TETANUS

Dr. Herry Setya Yudha Utama,SpB,MHKes,FInaCS

SMF BEDAH

RSUD ARJAWINANGUN 2011

Pendahuluan

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan


gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotosin spesi�k dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil,
luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus
adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka
tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka
terkontaminasi, luka tali pusat.
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu
sejenis kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk
spora dan dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang
memproduksi eksotoksin antara lain neurotoksin tetanospasmin dan
tetanolysmin.  Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala penyakit
tetanus.

Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah,


rumput – rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia.  Kuman ini untuk
pertumbuhannya membutuhkan suasana anaerob yang akan terjadi apabila
luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya, atau luka dengan
pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah seperti Staphyloccus
aureus.

Istilah “ tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan


penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus,
luka dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi
pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II
dan III, luka super�sial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk
kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat
topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis,
melahirkan dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan
dan perawatan tali pusat tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak
jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe
gangrena, operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut sampai anus,
otitis media puralenta.  Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi
pada umumnya 8 – 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa
minggu bahkan beberapa bulan.  Bertambah pendek masa inkubasi bertambah
berat penyakit yang ditimbulkannya.

Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah


diserangnya.  Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %,
angka itu akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap
peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit
dengan perawatan intensif yang sudah lengkap.

Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat
perhatian yang utama.  Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :

a.         Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang

b.   Melakukan tindakan pro�laksis tetanus terhadap orang yang luka secara
benar dan tepat.

c.    Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara


multidisipliner.

Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun luka
kecil, luka nyata maupun tersembunyi.  Tetanus merupakan penyakit akut
yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang menghasilkan eksotoksin
bersifat anaerob.  Clostridium tetani merupakan hasil gram positif, dan bersifat
anaerob.

Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka – luka seperti vulnus


laceratum (luka robek), vulnus punctum (luka tusuk), combustio (luka bakar),
fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.

Masa inkubasi penyakit ini adalah 1 – 54 hari, rata – rata 8 hari.  Semakin
lambat debrimen dan penanganan antitoksin, semakin pendek masa
inkubasinya dan semakin buruk pula prognosisnya.  Kuman masuk ke dalam
luka melalui tanah, debu atau kotoran.

Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi


yang pendek, stadium penyakit yang parahm penderita yang lanjut usia,
neonatus, kenaikan suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya
komplikasi seperti status konvulsivus, gagal jantung, fraktur vertebra,
pneumonia.

Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran.  Dan
awitan penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang)
adalah 24 – 72 jam.

(https://herrysetyayudha.�les.wordpress.com/2011/11/800px-
neonatal_tetanus_6374.jpg)Gambar : Spasme otot akibat masuknya toksin
dari kuman Clostridium tetani
Patogenesis dan Pato�siologi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis


luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka
tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan
sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port  d’entre terdapat didaerah kaki
terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium
tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang
dapat dianggap sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak
dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya
memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan
ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada
penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang
dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan
dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus
secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk
berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat
toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung
saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan
saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel
saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau
berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali
tidak menyerap.

(https://herrysetyayudha.�les.wordpress.com/2011/11/tetanus-
pathogen2.jpg)

Tetanus disebabkan neurotoksin (http://id.wikipedia.org


/wiki/Neurotoksin) (tetanospasmin) dari bakteri (http://id.wikipedia.org
/wiki/Bakteri) Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1
hingga 2 minggu setelah inokulasi (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Inokulasi&action=edit&redlink=1) bentuk spora
(http://id.wikipedia.org/wiki/Spora) ke dalam tubuh yang mengalami
cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit
penting yang manifestasi (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Manifestasi&action=edit&redlink=1) klinis utamanya
adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Eksotoksin&action=edit&redlink=1) (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit
(http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit) ini bisa berupa luka
(http://id.wikipedia.org/wiki/Luka) yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Patah&action=edit&redlink=1) tulang jari dan luka
pada pembedahan (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembedahan) dan pemotonga
tali pusat yang tidak steril. 

Pada keadaan anaerobik (http://id.wikipedia.org/wiki/Anaerobik), spora


bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Vegetatif&action=edit&redlink=1) bila dalam
lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya, toksin (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Toksin&
action=edit&redlink=1) akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran (http://id.wikipedia.org
/w/index.php?title=Peredaran&action=edit&redlink=1) darah dan
sistem limpa (http://id.wikipedia.org/wiki/Limpa). Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk
otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction  serta syaraf autonom. Toksin dari tempat
luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis
yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat
tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter
(http://id.wikipedia.org/wiki/Neurotransmiter) sehingga terjadi kontraksi otot
yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi
tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan
gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor
utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan re�eks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan
mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada
saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat,
pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang.
Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami
kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi


gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama
janjung, hiper�exi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf
ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala
timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik,
kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di
kelola dengan teliti.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada


beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

·         Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara


menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

·         Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu


fungsi dari re�eks synaptik di spinal cord.

·         Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh


cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System


(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang �uktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya akti�tas dari neuron yang mensara� otot masetter sehingga
terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif
terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap a�eren tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah


arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk


bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi.
Tanda – tanda dan gejala – gejala klinis

Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang,
sukar membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). 
Kemudian diikuti kaku buduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti
robot, sukar menelan, dan laringospasme.  Pada keadaan yang lebih berat
terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada saat kejang badan
penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa
kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring.

Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya.  Pada saat
kejang penderita tetap dalam keadaan sadar.  Suhu tubuh normal hingga
subfebris.  Sekujur tubuh berkeringat.

(https://herrysetyayudha.�les.wordpress.com/2011/11/tetanus.jpg)

Karakteristik Penyakit

Kejang – kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5
– 7 hari.  Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu
kejang menghilang.  Dan kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.

Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi
stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.

Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :

Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang
rangsang, dan belum ada kejang spontan.

Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.

Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.

Stadium klinis pada orang dewasa.  Terdiri dari :

Stadium 1      :           trisnus

Stadium 2      :           opisthotonus

Stadium 3      :           kejang rangsang

Stadium 4      :           kejang spontan

Prinsip – prinsip Umum Pro�laksis

Pertimbangan individual penderita.  Pada setiap penderita luka harus


ditentukan apakah perlu tindakan pro�laksis terhadap tetanus dengan
mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat imunisasi.

Debridemen.  Tanpa memperhatikan status imunisasi.  Eksisi jaringan yang


nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

Imunisasi aktif.  Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus)


diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3
bulan berturut – turut.

DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada
usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan
antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.

Tetanus toksoid.  Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x
sebulan selama 3 bulan berturut – turut.  Booster (penguat) diberikan 10 tahun
kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun
setelah pmberian booster di atas.

Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun,
terakhir.
Imunisasi Pasif.  ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan
antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda).  Dosis
yang diberikan  untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak
adalah 750 IU per IM.

Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan


nama Hypertet.  Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per
IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per
IM.  Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari
hewan.

Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan
status imunisasi.

Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan
keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali –
kali secara IV.

Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya


pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.

Tindakan pro�laksis

Jenis Luka Belum IA atau Mendapat IA yang lengkap


sebagian
1–5 5 – 10 > 10
tahun tahun tahun

Ringan, bersih Mulai atau – Toks. 0,5 cc Toks. 0,5cc


melengkapi IA
toks. 0,5 cc
hingga lengkap

Berat, bersih, ATS 1500 IU Toks. 0,5cc Toks. 0,5 cc ATS 1500
atau cenderung IU
tetanus Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5cc

Cenderung ATS 1500 IU Toks. 0,5cc Toks. 0,5 cc ATS 1500


tetanus, IU
debrimen Toks. 0,5 cc ABT
terlambat,m Toks. 0,5cc
Hingga lengkap
atau tidak
ABT ABT
bersih

Keterangan   :

ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.

Pada anak – anak dosis ATS        =          dosis dewasa


IA                    =          Imunisasi aktif (dengan toksoid)

Toks    =          Toksoid (vaksin serap tetanus)

ABT    =          antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

Penatalaksanaan tetanus

Terdiri atas    :

1.         Pemberian antitoksin tetanus

2.         Penatalaksanaan luka

3.         Pemberian antibiotika

4.         Penanggulangan kejang

5.         Perawatan penunjang

6.         Pencegahan komplikasi

Pemberian antitoksin tetanus.  Pemberian serum dalam dosis terapetik


untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000 – 20.000 IU IM dan untuk
anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang dewasa adalah
sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM. 
Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.

Penatalaksanaan luka.  Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus


segera dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). 
Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol.  Luka dibiarkan terbuka untuk
mencegah keadaan anaerob.  Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.

Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang


diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5
hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari,
dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.

Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin.  Dosis


pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi
dalam 4 dosis.

Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetatif clostridium


tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus
yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.

ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan


susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat
akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat
menetralkannya.  Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka
sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan
antibiotik.
Penaggulangan Kejang.  Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya
dapat menimbulkan serangan kejang.  Saat ini prinsip isolasi sudah
ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai maka
kejang dapat dicegah.

Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang


Dewasa

Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg 3 x 100 mg IM


IM, kemudian 6 x 30 mg per
(Luminal) oral.  Maksimum 200
mg/hari

Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – 3 x 25 mg IM


mula IM, kemudian per oral
(Largactil)

Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg 3 x 10 mg IM


BB IM, kemudian per oral
(Valium) 1,5 – 4 mg/kg BB/hari,
dibagi dalam 6 dosis

Klorhidrat – 3 x 500 – 100 mg


per rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (musclerelaxant)
ditambah alat bantu pernapasan (ventilator).  Cara ini hanya dilakukan di
ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan
seorang ahli anestesi.

Perawatan penunjang.  Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan
asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100
kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara teratur,
berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda vital
(seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan
pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran
(pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas
pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila perlu.

Pencegahan komplikasi.  Mencegah anoksia otak dengan (1) pemberian


antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan napas yang memadai,
bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan
trakheotomi berencana, (3) pemberian oksigen.

Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur,


pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.  Mencegah
fraktur vertebra dengan pemberian antikejang  yang memadai.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah : pneumonia, terutama karena aspirasi
: as�ksi, terutama pada saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra, akibat
kejang.

Beberapa pertimbangan

Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya, karena itu ada
ahli yang menggunakan dan ada yang tidak menggunakannya.  Bila
digunakan, keberatannya adalah mengenai harga, tetapi bila digunakanpun
tidak berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif.  Kemampuan
perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja.

Tes Sinsitivitas terhadap ATS

Dilakukan untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan terhadap ATS


hewan atau tidak.  Untuk melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit
(skin test dan tes mata / eye test).

Tes kulit.  Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).  Caranya yaitu
0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi   1
cc.  Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi pada lengan
bawah sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15 menit.  Reaksi
positif (penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi in�ltrat / indurasi
dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa
panas dan gatal.

Tes mata.  Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata,
tunggulah 15 menit.  Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.

Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan.  Pada penderita ini


terdapat 3 kemungkinan, yaitu : (1) pemberian hypertet (HTIG), (2) pemberian
ATS hewan secara desensitisasi (cara Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.

Desensitisasi cara Bedreskad

Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap penyuntikan


langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal.  Dalam hal ini wajib
memberikan ATS dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus pada
luka besar.  Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap.  Bila
timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.

Cara pemberiannya sebagai berikut :

1.   0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara
subkutanm tunggulah selama 30 menit.

2.   Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau
NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit.  Perhatikan reaksi.  Bila
tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok
ana�laktik), hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid.  Rawat penderita sesuai keadaannya.
3.   Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan
secara intramuskuler.

Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau
hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan
suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara
Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan untuk
menanggulangi syok ana�laktik tetap tersedia.

A.   Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang

Yang dimaksud dengan semua orang di sini mulai dari bayi sampai orang tua
berumur puluhan tahun, bahkan bayi sebelum lahirpun sudah harus diberi
kekebalan melalui ibu yang sedang hamil.

Pokoknya semua penduduk haruslah sudah mempunyai kekebalan terhadap


tetanus.  Caranya dengan menyuntikkan toksoid tetanus (dimurnikan) =
vaccin serap tetanus = tetanus toxoidum pun�catum sebanyak 0,5 cc intra
muskuler.

Untuk immunisasi dasar 3 kali berturut – turut dengan interval antara suntikan
pertama dengan kedua 4 – 6 minggu, antara kedua dengan ketiga 6 bulan. 
Immunisasi dasar sudah boleh dimulai waktu anak berumur sekitar 4 bulan
yang dapat diberikan bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk vaksin
DTP atau DT atau diberikan terpisah – pisah.  Kalau seseorang belum pernah
mendapatkannya maka imunisasi dasar dapat dilakukan kapan saja sepanjang
hidupnya, dengan dosis dan interval yang sama seperti di atas.  Seseorang
yang telah mendapat immunisasi dasar lengkap (3 kali suntikan) maka dalam
jangka waktu 10 tahun setelah suntikan terakhir, kandungan antitoksin tetanus
dalam serum darahnya berada di atas garis perlindungan minimal (=minimum
protective level) yaitu garis 0,01 i.u/ml, jadi orang itu dianggap sudah
terlindung terhadap tetanus. 

Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk


membentuk antitoksin tetanus.  Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari
suntikan pertama, kemudian titernya menarik dan pada hari ke-28.  Kalau
pada hari ke-28 itu diberikan suntikan kedua, titernya akan menanjak terus
dan akan mencapai 1,0 i.u pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi
minimal walau kemudian ada penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap
berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun.  Bila suntikan ketiga
diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih tinggi, walau
kemudian akan ada penurunan, tetapi tetap berada di atas garis proteksi
minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 – 20 tahun yang didapatkan pada 85 –
95 % personil perang dunia kedua.

Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan suntikan


booster setiap 5 tahun paling lambat 10 tahun atau setiap seseorang luka di
mana diperkirakan titer antitoksin tetanus dalam serumnya sudah mulai
menurun walau masih di atas garis proteksi minimal terutama untuk luka yang
disebut “ tetanus prona wound ”.  Pemberian booster akan menaikkan titer
antitoksin berlipat ganda jumlahnya. (lihat Gambar 2)

Ada istilah proteksi persial terhadap tetanus, maksudnya ialah :

a.   Orang – orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus sebanyak 3
kali, tetapi suntikan terakhir sudah lebih dari 10 tahun.

b.   Orang – orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan waktunya
telah lebih dari 5 tahun.

c.    Orang – orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.

Perlu dijelaskan bahwa toksin tetanus (dimumikan) tidak akan menimbulkan


reaksi hipersensitif terhadap orang yang disuntik, karena itu dapat diberikan
berulang kali, sangat jarang ada reaksi allergi, kalaupun ada reaksinya ringan
saja.

Kepada semua dokter dan petugas kesehatan bertanggung jawab untuk


memberikan vaksinasi tetanus terhadap anggota masyarakat yang berada di
bawah salah seorang anggotanya menderita tetanus maka pertama – tama
salah dalam hal ini adalah dokter perusahaan tersebut, mengapa dia lalai
memberikan kekebalan aktif terhadap anggota yang menjadi tanggung
jawabnya.

B.   Melakukan pro�laksi tetanus terhadap orang yang luka secara benar
dan tepat

Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :

1.   Pemberian vaksin tetanus

2.   Perawatan luka secara bedah yang benar

3.   Pemberian antitoksin tetanus

4.   Pemberian antibiotika dan identi�kasi catatan medis emergency

1.   Pemberian vaksin tetanus

Pemberian ini ditujukan sebagai booster terhadap pasien yang luka yang telah
mendapat vaksinasi tetanus sebelumnya, tujuannya untuk menaikkan titer
antitoksin dan akan memberikan perlindungan yang efektif dalam jangka
waktu yang lama.

Pemberian vaksin tetanus pada saat luka terhadap pasien yang sama sekali
belum pernah divaksinasi terhadap tetanus, tidaklah dapat menjamin
perlindungan terhadap tetanus, karena untuk mendapatkan antitoksin dalam
serum sampai di garis proteksi minimal dibutuhkan waktu 2 – 3 minggu,
sedangkan masa inkubasi tetanus ada yang lebih cepat.  Dalam hal inilah
diperlukan pemberian antitoksin (immunisasi pasif) bersamaan dengan
pemberian toksodi tetanus tadi.
2.         Perawatan luka secaa bedah yang benar

Pencegahan secara bedah ini bertujuan untuk membuang clostridium tetani


yang berkontak dengan luka, membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk
mencegah suasana anaerob, dan sebaik mungkin melakukan rekonstruksi luka
sehingga terjadi suasana aerob.  Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan :

1.         Luka dirawat secepat mungkin

2.   Teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci kulit sekitar
luka dengan cairan yang cukup sebelum tindakan bedah.

3.   Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.

4.   Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidenti�kasi jaringan yang
vital seperti saraf dan pembuluh darah.

5.   Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan jaringan secara
halus untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih besar.

6.   Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan benang yang cukup
kecil agar jaringan nekrotik minimum yang tinggal di dalam luka.

7.   Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah jaringan


nekrotik dalam luka.

8.   Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk meratakan pinggir
luka yang compang – camping, mengangkat jaringan yang sudah diragukan
vitalitasnya, mengangkat benda asing sampai tidak ada yang tertinggal.

3.   Pemberian antitoksin tetanus

Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2

a.   Heterologous antitoksin

b.   Tetanus immun Globulin (human)

Heterologous antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah


divaksinasikan sebelumnya.  Jadi mengandung protein kuda (protein asing)
dan pemberian kedua dan seterusnya menimbulkan reaksi sensitivity yang
hebat sampai dapat terjadi ana�laktik shock.  Oleh sebab itu sebelum
pemberian perlu ditest lebih dahulu.

Tetanus Immun Globulin (human)

Diambil dari serum manusia.  Dalam perdagangan bermacam – macam nama


seperti Hu-Tet, Hyper-Tet, Homo-Tet dan sebagainya.  Jenis ini jarang sekali
menimbulkan reaksi hipersensitivity, kalau ada sangat ringan antitoksin
diberikan harus dengan indikasi yang jelas.

Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :


1.   Luka yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada orang yang
belum pernah mendapat immunisasi aktif, atau orang itu dengan proteksi
tetanus persial.

2.   Pengobatan pasien dengan tetanus.

Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk pro�laksis adalah :

–     Orang dewasa                                                               :           250 u – 500


u

–     Anak di atas 10 tahun                                      :           250 u

–     Anak 5 – 10 tahun                                                        :           125 u

–     Anak di bawh\ag 5 tahun                                :           75 u

Tetanus immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah selama 1 bulan. 


Untuk pengobatan penderita tetanus diberikan dosis 3000 – 6000 unit intra
muskuler pada otot gluteus, sebagian diin�trasikan sekitar luka.

Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada,
dosisnya untuk pro�laksis 1500 – 3000 unit bagi orang dewasa, anak – anak
sesuai umur.  ATS bertahan dalam darah 7 – 14 hari.  Untuk pengobatan
penderita tetanus dosis ATS adalah 20.000 – 40.000 unit.  Antitoksin untuk
pro�laksis diberikan secara simultan dengan vaksin tetanus tetapi dengan spuit
dan jarum yang berbeda, juga tempat penyuntikan harus berbeda, gunanya
agar jaringan terjadi aglutinasi antara keduanya. 

Gra�k titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid saja, antitoksin
saja, toksoid dan antitoksin secara simultan.

Pemberian    :

1.         Toksoid saja

2.         Antitoksin saja

3.         Toksoid dan


antitoksin

4.         Pemberian antibiotika dan identi�kasi catatan medis emergency

Pasien dengan luka haruslah ditanyakan dan dicatat :


1.         Sudah pernahkah pasien mendapat immunisasi aktif terhadap tetanus ?

2.         Kalau sudah pernah kapan didapatkan ?

3.         Adakah reaksi terhadap tetanus toksoid itu ?

4.         Perlukah orang itu diberikan antitoksin ?

5.         Pemberian antibiotika penicilin atau tetrasiklin selama 5 hari.

INDIKASI IMMUNISASI

DATA VAKSINASI LUKA BERSIH LUKA KOTOR

Tetanus Tetanus Tetanus Tetanus


Toksoid Antitoksin Toksoid Atoksin

Tidak pernah Ya Tidak Ya Ya


mendapat vaksinasi
atau tidak
diketahui

Satu kali mendapat Ya Tidak Ya Ya


vaksinasi tetanus

Dua kali mendapat Ya Tidak Ya Ya


vaksinasi tetanus

Tiga kali mendapat Tidak/Ya Tidak Tidak/Ya Tidak/Ya


vaksinasi tetanus

C.   Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara


multidisipliner.  Setelah D/ ditegakkan ditentukan klasi�kasi penyakit apakah
ringan, sedang atau berat.  Klasi�kasi ini sebagai dasar untuk menentukan
pegangan klinik dan penangan pernafasan dan kardiovaskuler sebagai
komplikasi penyakit ini.  Tetanus ringan ditangani secara konservatif, tetanus
sedang dan berat di tangani dengan intubasi endotrakheal dan / atau
trekhostomi selama pemberian positif pressure ventilasi.  Segera setelah
diagnosa ditegakkan pasien dibawa ke ruangan intensif di mana personelnya
telah trampil menangani problem pernafasan dan resusitasi jantung.  Diberikan
obat – obat untuk mencegah kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya
tetano immun globutin (human), bila terpaksa baru diberikan ATS.

Debridement luka dilakukan 1 – 2 jam setelah pemberian antitoksin, guna


mencegah bertambah banyak neurotoksin tetanospasmin yang lepas dan
terikat pada susunan saraf pusat.  Perlu diingat bahwa neurotoksin
tetanospasmin yang telah terikat pada susunan saraf pusat tidak dapat
dinetralisir lagi.
Pemberian antibiotika, menjaga pernafasan, penanganan kardiovaskuler,
perawatan, lancarnya pasage usus, penanganan metabolisme dan makan. 
Beberapa buku masih menyatakan perawatan penderita dalam kamar gelap. 
Sebetulnya halnitu lebih banyak ruginya daripada untung, bagaimana
perawatan yang benar dapat dilaksanakan dalam kamar yang gelap di man
harus memasang alat dan pengawasan yang ketat.

Apakah penderita perlu dirawat dalam kamar isolasi ? Sebetulnya tidak perlu
karena spora ada di mana – mana sekitar kita, bukan luka penderita tetanus
itu.    Jelas penangan penderita harus multidisipliner.

Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang


diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2  juta IU/8 jam IM, selama
5 hari, sedng untuk anak-anak adalah sebesar 50.000 IU/KgB/hari,
dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Sebelumnya dilakukan skin test dan
di observasi dengan baik. Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat
diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah
4×500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak adalah 40 mg/KgBB/hari,
dibagi dalam 4 dosis. Begitupun Metronidazol 3 x 1 gram IV.

5.       Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan


cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah
ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai maka
kejang dapat dicegah. Pemberian  midazolam  2-3 mg / jam. Dan Diazepam
0,2-0,5 mg/kg BB diberikan bila terjadi kejang secara IV.

Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan
asupan sebesar 2000 kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100
kalori/KgBB/hari untuk anak-anak; bersihkan jalan nafas secara
teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan seksama tanda-tanda
vital.
Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti
kejang, sekaligus mencegah laringospasme, jalan nafas yang memadai, bila
perlu lakukan intubasi atau lakukan trakeotomi berencana, pemberian
oksigen. Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan nafas yang
teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

·       Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,J akarta :


Hipokrates,1995

·       Ismael Chairul ; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang


bedah : UNPAD, 2000

· Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:


2001, 49- 51.

· Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.


· http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
(http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview)

· BUKU  Ajar Ilmu Bedah . De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004

Ditulis dalam Kedokteran / Medical

Tag: algoritma, algoritma tetanus, clostridium tetani, Meninggalkan komentar


epistotonus, herry setya yudha utama, kejang,
medical, terapi, Tetanus

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. The Mystique Theme.

Anda mungkin juga menyukai