Anda di halaman 1dari 3

Haryo Dimasto Kristiyanto

41090012

Refleksi kasus : komunikasi dokter-pasien

Deskripsi

Pasien seorang wanita 71 tahun, mengalami sesak nafas dan batuk selama kurang lebih 1,5
bulan yang lalu. Batuk produktif dengan dahak berwarna bening encer, sulit keluar. Setelah
menjalani pemeriksaan, dan terlihat dari hasil pemeriksaan ro thorax diketahui bahwa pasien
tersebut menderita efusi pleura dengan kemungkinan adanya massa. Dari hasil pro pungsi paru
pertama yang dilakukan pada tanggal 21 Januari 2014, didapatkan + 200 cc cairan berwarna bening
kekuningan, yang berdasarkan pemeriksaan sitologi diperoleh hasil berupa sel radang tanpa
adanya tanda sel keganasan, namun dari hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis (AL
20.89 ribu/mmk) dan marker ca, CEA yang cukup tinggi yaitu 268.30 ng/mL dari nilai normal 0.00
5.00 ng/mL.
Pada awal bulan Februari pasien kembali memeriksakan diri ke poliklinik karena
keadaannya tidak membaik setelah terapi yang diberikan. Oleh dr. spesialis kemudian dianjurkan
untuk opname agar dapat dilakukan pungsi/biopsi ulang. Dari hasil pro pungsi pada tanggal 19
Februari 2013, diperoleh + 500 cc cairan cairan berwarna kemerahan, yang berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi: BTA (-); sitologi: terdapat keganasan, non small cell lung carcinoma,
Adenocarsinoma. Selanjutnya dari hasil pemeriksaan marker ca, diperoleh CEA 365.90 ng/mL. Dari
hasil pemeriksaan darah lengkap terakhir, diketahui bahwa AL pasien 44,81 ribu/mmk. Sehari
setelah tindakan pro pungsi yang kedua, keadaan pasien semakin memburuk dan atas permintaan
keluarga, pasien meninggalkan perawatan di RS.

Permasalahan
Yang menjadi permasalahan di dalam kasus diatas yang kemudian dapat dijadikan bahan
refleksi, terutama adalah permasalahan komunikasi efektif antara tenaga medis dan pasien, yaitu
mengenai bagaimana seorang tenaga medis dapat menyampaikan diagnosis serta prognosis kepada
pasien dan keluarganya sehingga pada akhirnya baik pasien dan keluarga memahami dan mampu
menerima keadaannya tersebut.
Dalam penyampaian diagnosis penyakit, terutama penyakit yang serius seperti keganasan, tiap
tenaga medis/dokter memiliki cara penyampaian sesuai gaya-nya masing-masing. Ada yang
menggunakan perumpamaan ataupun ada yang menyampaikannya secara lugas dan jelas
(meskipun tidak semua disampaikan secara gamblang di depan pasien, ada yang justru
disampaikan kepada keluarganya saja tanpa pasien mengerti, untuk menjaga agar hati pasien yang
bersangkutan tidak menciut). Tujuan dari penyampaian diagnosis adalah agar pasien dan keluarga
memahami dan menyadari kondisi yang sebenar-benarnya dari pasien yang bersangkutanyang
kemudian dihubungkan dengan terapi dan prognosis penyakitnya.
Kesalahpahaman terjadi di kasus ini adalah mengenai prognosis penyakit; sejak awal diagnosis
ditegakkan, dokter/petugas medis yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa kemungkinan
sembuh/keberhasilan terapi untuk penyakit keganasan adalah maksimal 60%. Segala tindakan
yang dilakukan adalah tindakan yang terbaik namun keberhasilannya, hanya Tuhan yang tahu.
Setelah pungsi yang kedua, kondisi pasien semakin memburuk. Beberapa anggota keluarga yang
datang dari jauh (Bengkulu) merasa tidak terima dengan keadaan ini, pihak keluarga menyalahkan
dokter/tenaga medis yang melakukan tindakan dan merawat pasien tersebut: mengapa sebelum
dipungsi baik-baik saja, dan setelah dipungsi kok keadaan memburuk?
Untuk diketahui, selama pemeriksaan dari bulan Januari 2014, yang selalu mendampingi pasien
dan mendapat semua informasi mengenai kondisi pasien adalah adik pasien, ny. Y. Menurut
penulis, penjelasan yang telah diberikan oleh dokter/petugas medis yang menangani pasien yang
bersangkutan sudah disampaikan dengan sangat jelas bahkan ny. Y diperkenankan untuk bertanya
dan tentu saja dijawab dengan baik namun kesalahpahaman masih terjadi antara keluarga pasien
dan tenaga medis, karena penjelasan dan informasi yang diberikan oleh dokter/tenaga medis
mengenai perjalanan penyakit pasien dengan ca paru tersebut tidak dapat ditangkap dengan baik
oleh keluarga.

Opsi pemecahan masalah
Setiap pasien yang datang kepada dokter/tenaga medis pastilah mengharapkan
kesembuhan dari penyakit yang dideritanya, dibebaskan dari kesakitannya. Namun, sebagai
dokter/tenaga medis kita harus selalu menyadari bahwa sebagai manusia, dokter/tenaga medis
pun memiliki keterbatasan: tidak dapat menjanjikan kesembuhan!, karena kesembuhan dan
kesehatan adalah anugerah Tuhan. Dokter/tenaga medis hanya membantu mengupayakan
kesembuhan dengan menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya mengenai kesehatan.
Komunikasi efektif menjadi kunci kepercayaan hubungan antara dokter/tenaga medis dan
pasien. Melalui komunikasi yang efektif di dalam setiap tindakannya dokter sebaiknya menekankan
kepada pasien dan keluarganya bahwa segala upaya yang dilakukan, melalui tindakan medis
maupun obat-obatan, adalah untuk kebaikan pasien meskipun dalam upaya untuk mendapatkan
kesembuhan tersebut juga ada efek samping maupun resiko ketidakberhasilan terapi.
Berdasarkan teori Kubler-Ross mode 5 stage of grief, secara psikis ada 5 tahap dari
kesedihan, yaitu: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Dikaitkan
dengan hal pemberian informasi mengenai diagnosis dan prognosis yang buruk untuk pasien
dengan keganasan, ada kecenderungan pasien dengan ca dan keluarganya akan menolak kenyataan
tersebut atau bahkan marah, dan hal tersebut adalah proses dalam penerimaan.
Sebagai seorang tenaga medis, dokter harus memahami kondisi pasien dan keluarganya
dalam penerimaan mereka terhadap penyakit yang dideritanya. Tidak semua pasien sama, ada
yang menerima dan ada yang tidak. Untuk meminimalisir terjadinya penyangkalan bahkan amarah
dari keluarga, selama menyampaikan berita buruk mengenai diagnosis dan prognosis dokter
menyampaikannya dengan jujur apa adanya, penuh empati, dan dengan bahasa tubuh yang ramah
sehingga mampu membesarkan hati pasien dan keluarga, sebagai pembanding negatif: tidak
disampaikan dengan intonasi yang tinggi, dengan ketus, dengan disambi melakukan kegiatan lain,
atau justru dengan cengengesan. Dan yang terutama adalah dengan menyediakan waktu bagi
keluarga dan pasien di tengah keterbatasan waktu yang dimiliki, artinya tidak dengan terburu-buru
atau sambil lalu.

Anda mungkin juga menyukai