Anda di halaman 1dari 2

Desa Puger Kulon adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Puger Kabupaten Jember

tepatnya kurang lebih 30 km dari pusat kota Jember kearah selatan. Desa Puger Kulon merupakan kawasan
pusat komunitas nelayan di Jember yang berada di pesisir Pantai Puger yang mampu menghasilkan ikan
sebanyak 2.973.000 kw pada tahun 2008 dan mengalami peningkatan 3,08% per tahun. Hasil produksi
perikanan tersebut dihasilkan oleh nelayan yang berjumlah kurang lebih 5000 orang. Luas Desa Puger Kulon
sekitar 388.800m.
Struktur sosial yang ada di komunitas nelayan adalah sebuah susunan sosial yang didasarkan pada
pola hubungan sosial antara para aktor yang bergerak dalam kehidupan laut. Struktur sosial komunitas
nelayan Puger dibedakan berdasarkan pada alat produksi / armada yang digunakan dan peran serta mereka
dalam aktivitas melaut.
Berdasarkan alat produksi yang digunakan, pola dan teknologi penangkapan nelayan dapat
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu nelayan jukung, nelayan jaringan, nelayan payangan, dan nelayan
sekoci. Sedangkan berdasarkan peran serta nelayan masyarakat nelayan dalam aktivitas melaut dibedakan
menjadi 4 golongan pula antara lain pengambek, juragan darat, juragan laut, dan pandhega / anak buah
kapak. Pengambek adalah pihak yang memberikan pinjaman kepada juragan darat dan membeli hasil
tangkapan ikan nelayan. Juragan darat merupakan pemilik kapal sekaligus pemilik modal dan biasanya tidak
ikut melaut. Namun dalam kondisi tertentu, juragan darat dapat berperan sebagai juragan laut dan ikut
melaut. Dapat dilihat bahwa dalam hal ini terjadi mobilitas sosial. Juragan laut atau yang disebut nahkoda
adalah seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap operasi penangkapan. Seorang juragan laut harus
memiliki kemampuan serta pengetahuan yang luas tentang kelautan dan perikanan. Sedangkan pandhega
atau ABK adalah nelayan yang hanya menyumbangkan tenaga dengan beberapa tugas bagian yang berbeda
beda tergantung jenis kapalnya yaitu memancing, mengangkat jaring, dan menggiring lampu.
Sistem pasar hasil tangkapan yang monopsoni, dimana nelayan tidak dapat menjual hasil
tangkapannya ke pasar atau pembeli secara terbuka atau bebas. Nelayan buruh tidak ikut menjual hasil,
keputusan menjual diserahkan pada juragan, dan juragan juga tidak mampu menjual kepada pembeli secara
langsung, namun dengan terpaksa harus menjual kepada pengambek. Pada sistem ini harga ditentukan
pengambek, juragan tidak memiliki kekuatan menentukan harga. Hal ini dikarenakan tidak berfungsinya
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai pemegang otoritas pasar di kawasan pelabuhan sehingga tidak ada
interaksi sosial yang terjadi di antara masyarakat nelayan tersebut.
Dalam hubungan kerja masyarakat Desa Puger Kulon telah diterapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi
hasil yang diterapkan secara umum adalah 50 persen dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan menjadi hak
juragan darat, sementara 50 persennya menjadi milik Nahkoda dan ABK. Kemudian, 50 persen milik
Nahkodan dan ABK tersebut dibagi dua, dimana 50 persen untuk juragan laut/nahkoda, dan yang 50 persen
(setengahnya) milik dua orang ABK / pandhega. Masing-masing ABK dan Nahkoda juga masih
mendapatkan ikan yang disebut dengan lawuhan, yang jumlahnya sekeranjang kecil (istilah setempat
sepotong), yang kira kira 4 5 kg. Bagian ini diambilkan sebelum hasil tangkapan tersebut diturunkan
untuk dijual.
Pada masyarakat pesisir, khususnya nelayan, hampir dipastikan tidak ada lembaga keuangan formal
yang berani memberikan kredit. Hal ini dikarenakan ketakutan pihak pemberi pinjaman, mereka takut bahwa
pinjaman tersebut tidak terbayar atau terlambat dibayar. Alasan ini didasarkan nelayan yangdalam
kenyataannya tidak memiliki penghasilan tetap yang dapat dipastikan jangka waktunya. Karena itulah maka
diterapkan sistem hutang piutang. Secara umum, pihak-pihak yang memberikan pinjaman kepada masyarakat
nelayan di Desa Puger Kulon antara lain :
a. Pengambek : Pengambek adalah pihak yang biasa memberikan pinjaman kepada Juragan darat. Aturan
tentang nilai pinjaman ini tidak baku, tergantung masing-masing pengambe. Seorang juragan darat yang
sudah berhutang kepada pengambe maka ia akan terikat untuk menjual hasil ikannya kepada pengambe
dengan harga yang ditentukan oleh pengambe.
b. Juragan Darat : Juragan darat atau pemillik kapal, adalah tempat para juragan laut/nahkoda dan ABK
untuk meminjam.
c. Koperasi Simpan Pinjam Harian : Lembaga ini berbadan hukum koperasi, dan memberikan pinjaman
kepada siapa saja dengan sistem membayar angsuran secara harian. Nilai yang dipinjamkan relatif kecil,
hanya dalam hitungan ratusan ribu, dan dengan jangka waktu yang singkat, paling lama 2 bulan.
d. Lintah Darat : Ini adalah individu-individu yang memberikan pinjaman tanpa jaminan kepada masyarakat,
termasuk masyarakat nelayan. Bunga yang diberikansangat tinggi, yaitu sebesar 15 % sampai dengan 25%.
Bunga yang diberikan ini dapat terus berlipat-lipat
e. Investor Arto Sarahan : Investor sarahan adalah orang yang menyertakan modalnya kepada juragan darat
secara sukarela. Aturan yang berlaku tidak baku, hanya sebatas perjanjian antara investor dengan juragan
darat.
Hutang piutang antara pengambe dengan juragan darat, dan juragan darat dengan juragan laut maupun
ABK, tidak akan pernah ditagih, selama mereka masih terikat mau bekerjasama. Hutang akan ditagih kalau
juragan darat pindah pengambe; atau ABK ganti juragan. Sistem hutang piutang ini jelas sangat mengikat
dan merugikan nelayan, yang pada ujung-ujungnya akan semakin membenamkan nelayan dalam jurang
kemiskinan. Ibaratnya akibat hutang piutang ini, nelayan semakin menjadi miskin.
Aspek aspek struktur sosial dalam masyarakat khususnya masyarakat pedesaan Desa Puger Kulon

Anda mungkin juga menyukai