Anda di halaman 1dari 5

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah peristiwa


penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia oleh tentara Belanda.
Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras
menyebut peristiwa penyerbuan tersebut sebagai Aksi Polisionil.
Dengan istilah Aksi Polisionil, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa
peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa militer.

Sebuah peristiwa militer mengasumsikan adanya perang antara dua
entitas negara yang berbeda. Padahal, bagi pihak Belanda, RI bukan
merupakan sebuah negara, melainkan bagian dari wilayah yang dikuasai
oleh Belanda. Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dimaksudkan
oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang berada di
pihak RI, yaitu TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis atau bahkan
kriminal.

Bagi Belanda, apa yang kita kenal sebagai Agresi Militer Belanda II 19
Desember 1948 adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan
polisi, yang dalam struktur kelembagaan negara manapun merupakan
sebuah lembaga untuk menegakkan keamanan dan ketertiban sipil.
Dengan demikian, TNI bagi Belanda adalah kriminalyang mengganggu
ketertiban dan keamanan.

Walaupun demikian, pada kenyataannya, kekuatan tentaralah yang
dikerahkan untuk melaksanakan Agresi Militer Belanda II 19
Desember 1948. Kekuatan polisi yang digunakan oleh pihak Belanda
secara praktis merupakan sebuah kekuatan militer karena dilengkapi
dengan peralatan yang biasanya hanya dimiliki oleh kesatuan-kesatuan
militer, antara lain kendaraan lapis baja dan alat-alat persenjataan
berat.

Alasan lain yang sering dikemukakan Belanda untuk
membenarkanAgresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah
bahwa RI tidak sepenuhnya menjalankan Perjanjian Renville, yang
ditandatangani pada 17 Januari 1947. Menurut perjanjian tersebut, RI
harus mengosongkan kekuatan TNI dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Perjanjian ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin.

Rakyat Indonesia yang hidup di sekitar tahun tersebut sering menyebut
peristiwa tersebut sebagai zaman dorsetut (Doorstoot), atau kles
(Clash). Pemerintah RI sendiri secara resmi menyebut peristiwa itu
sebagai Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948. Angka II di
belakang istilah tersebut menunjukkan bahwa Belanda sebelumnya juga
pernah melancarkan serangan ke wilayah RI.

Dalam buku-buku sejarah resmi Indonesia, diceritakan bahwa pada
tahun 1947 Belanda pernah melancarkan Agresi Militer Belanda I pada
1947 tak lama setelah penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Seperti
istilah yang diberikan untuk Agresi Militer Belanda II 19
Desember 1948, Belanda menyebut serangan ini sebagai Aksi
Polisionil I.

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948: Jalannya
Peperangan
Walaupun pihak Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan ke
wilayah-wilayah RI sebagai Aksi Polisionil, dan dengan demikian
kurang tepat bila disebut sebagai sebuah perang, perencanaan dan
pelaksanaan penyerbuan tersebut adalah khas militer dan strategi dan
taktik yang diterapkan menunjukkan bahwa penyerbuan tersebut
memang merupakan sebuah perang.

Pihak Belanda menyebut gerakan ofensif dalam Agresi Militer Belanda
II 19 Desember 1948 sebagai Operasi Kraai atau Operasi Gagak. Sasaran
utamanya adalah ibu kota Republik Indonesia pada saat itu, yaitu
Yogyakarta, dan wilayah-wilayah RI yang lain baik di Pulau Jawa
maupun Pulau Sumatera. Karena perencanaan yang sangat matang dan
pelaksanaan yang sempurna, operasi ini sering dianggap sebagai salah
satu operasi militer paling berhasil di dunia.

Pasukan Belanda yang melaksanakan Operasi Gagak atau Agresi Militer
Belanda II 19 Desember 1948 adalah gabungan dari personel KL
(Koninlijk Leger/Tentara Kerajaan Belanda) dan KNIL (Koninlijk
Nederlandsche Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Pemegang komando militer tertinggi pasukan Belanda adalah Jenderal
Simon M. Spoor, yang juga memimpin Agresi Militer Belanda I
pada 1947.

Penyerbuan ke target utama Agresi Militer Belanda II 19 Desember
1948, yaitu ibu kota Yogyakarta, dimulai dari Lapangan Terbang
Maguwo (kini Bandar Udara Adisutjipto, sebelah timur kota
Yogyakarta). Pasukan pertama yang menyerbu Lapangan Udara Maguwo
terdiri dari 432 anggota pasukan KST. Seluruh anggota pasukan ini
selamat.

18 Desember 1948
Pukul 23:30: Radio Antara dari Jakarta melaporkan bahwa Dr. Beel,
Wakil Tinggi Mahkota Belanda, akan mengucapkan pidato penting besok
pagi.

19 Desember 1948
Pukul 02.00: Pasukan 1e para-compagnie (Pasukan para I)
KST di Andir mulai memperoleh perlengkapan parasut masing-
masing.
Pukul 03.30: Briefing akhir para komandan.
Pukul 03:45: Mayor Jendral Engles tiba di bandar udara
Andir.
Pukul 04:00: Jendral Spoor tiba. Pemimpin seluruh
Operasi Gagak atau Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 ini
melakukan inspeksi dan memberikan pidato singkat.
Pukul 04:20: Seluruh personel KST naik ke pesawat.
Mereka diangkut dengan enambelas buah pesawat angkut Dakota.
Komandan kelompok ini adalah Kapten Eekhout.
Pukul 04:30: Pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute
penerbangan dari bandar udara Andir menuju Lapangan Udara
Maguwo adalah melintasi Lautan Hindia.
Pukul 05:45: Lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat
Kittyhawk membombardir Lapangan Udara Maguwo dengan
mitralyur dan bom.
Pukul 06:25: Para pilot pesawat pemburu melaporkan
bahwa zona penerjunan telah dapat digunakan.
Pukul 06:45: Pasukan KST mulai diterjunkan. Pada saat
yang sama, Dr. Beel mengucapkan sebuah pidato radio, di mana
dia menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
Persetujuan Renville.

Penyerangan terhadap Lapangan Udara Maguwo, yang mengawali
seluruh peperangan selama Agresi Militer Belanda II 19 Desember
1948, memang merupakan operasi militer yang sukses. Pertahanan
Lapangan Udara tersebut dapat dikatakan tidak ada. Hanya terdapat
beberapa pucuk senapan dan sebuah senapan anti pesawat kaliber 12,7.
Senjata berat, yang tidak banyak jumlahnya, semua sedang rusak.

Secara keseluruhan, ada 150 personel TNI yang menjaga Lapangan
Udara Maguwo. Pangkalan hanya dijaga oleh satu kompi TNI bersenjata
lengkap, namun mereka bukan tandingan bagi serangan gabungan
pasukan terjun payung yang terlatih dan skuadron pesawat pembom
yang canggih. Hanya dalam waktu 25 menit, pertempuran telah selesai.
KST tak kehilangan satu pun personelnya dalam fase awal Agresi Militer
Belanda II 19 Desember 1948 ini, sementara TNI kehilangan 128
personel.

Pukul 07.10, Lapangan Udara Maguwo sepenuhnya dikuasai pasukan
Belanda. Dua jam kemudian, seluruh personel KST telah mendarat. Dua
jam berikutnya, Grup Tempur M, terdiri dari 2600 personel (termasuk
dua batalyon dari Brigade T yang bersenjata berat, dipimpin Kolonel
D.R.A. van Langen). Seluruh kekuatan Belanda yang telah dipersiapkan
untuk Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 pun mulai menyerbu
Yogyakarta.

Ibu kota Yogyakarta jatuh dengan mudah. Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan beberapa menteri ditawan dan
diasingkan Belanda. Sebelum tertangkap, Presiden dan Wakil Presiden
mengirimkan kawat kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang
berada di Sumatera. Kawat tersebut berisi perintah untuk membentuk
sebuah pemerintahan darurat apabila Presiden dan Wakil Presiden
tertawan musuh.

Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat yang
segera disebarkan kepada seluruh personel TNI untuk melakukan
gerilya. Karena adanya Perintah Kilat ini, maka setiap tanggal 19
Desember diperingati sebagai Hari Infanteri atau Hari Juang Kartika
TNI AD.

Anda mungkin juga menyukai