Anda di halaman 1dari 12

Kisah perjalanan Brama Kumbara sendiri selain dalam versi layar lebarnya, pernah diangkat

beberapa kali dalam bentuk sinetron televisi dengan pemain yang berbeda. Mulai dari cerita
Darah Biru sampai Satria Madangkara (tayang di TPI sekitar tahun 1993) dengan George
Rudy sebagai Brama Kumbara hingga Singgasana Brama Kumbara (tayang di ANTV sekitar
tahun 1995) dengan sosok Brama Kumbara yang diperankan oleh Anto Wijaya (pernah juga
menjadi Angling Dharma dalam sinetron dengan judul sama).
Sandiwara radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap
hari oleh berbagai stasiun radio ditanah air.
Tahun 2013, kisah perjalanan Brama Kumbara kembali ditayangkan dalam format sinetron
yang disiarkan oleh Indosiar. Hanya saja ceritanya berubah total. Luar biasa hancur
naskahnya kali ini.
Pada sinetron Saur Sepuh yang mengambil judul Brama Kumbara ini, tokoh Brama justru
digambarkan sebagai seorang pengkhianat. Ia berpura-pura menjadi panglima perang dari
kerajaan Guntala yang kemudian bermaksud menggulingkan raja Guntala dan mendirikan
kembali Madangkara.
Tokoh Brama juga pada sinetron tersebut diceritakan terlibat cinta terlarang dengan gurunya
sendiri yang bernama Sekar Tanjung. Padahal, tokoh Sekar Tanjung sama sekali tidak pernah
ada dan dikenal pada naskah serta cerita asli Brama Kumbara.
Tokoh Sekar Tanjung hanyalah rekaan atau sisipan pada sinetron ini yang diadaptasi dari
cerita Pendekar Rajawali Yoko alias The Return of The Condor Heroes.
Selamanya Brama hanya punya guru satu orang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada tokoh Sekar
Tanjung sama sekali.
Juga Utari, tidak pernah terlibat cinta dengan Gotawa. Sosok Ardalepa juga bukan pejabat
dari Guntala yang gila perempuan serta berambisi menjadi raja. Utari adalah cinta pertama
Brama Kumbara.
Tokoh Ardalepa dalam cerita aslinya justru digambarkan sebagai sosok pejabat Guntala yang
baik hati dan dermawan pada rakyat Madangkara. Sejak istrinya mati, Ardalepa hanya
menikah dengan Gayatri, Ibu Brama. Tidak ada selir sama sekali seperti yang digambarkan
pada sinetron Brama Kumbara 2013 itu.
Harnum, sama sekali bukan sosok yang lemah gemulai seperti dalam sinetron tersebut.
Harnum, meskipun ia putri seorang raja, namun ia juga adalah seorang pendekar.
Sebagai kritikan dan gugatan atas cerita asli yang sudah dirubah-rubah ini, maka saya tertarik
untuk menuangkan sinopsis dan juga pengenalan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita Saur
Sepuh yang pernah disiarkan diera 80-a dulu melalui tulisan di Blog Arsip ini.
Bagaimanapun, Saur Sepuh adalah bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Catatan ini, ditulis berdasarkan pengetahuan yang masih terekam jelas dalam ingatan dan
bahkan bisa dibuktikan pula melalui kaset-kaset rekaman asli Sandiwara Radio Saur Sepuh
yang masih ada (diluar dari kaset yang menjadi OST. Film layar lebarnya). Beberapa tulisan
disini juga merupakan hasil tukar pengetahuan bersama para pencinta Saur Sepuh lain yang
sejaman dengan saya dan saat ini tergabung dalam dua komunitas Pencinta Sandiwara Radio
berbentuk group di Facebook:
Saur Sepuh Karya Niki Kosasih: https://www.facebook.com/groups/355659604498344/
Saur Sepuh: https://www.facebook.com/groups/53076405988/
Berikut uraian lebih jauh dari cerita aslinya :
Tokoh BRAMA KUMBARA
Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih
keturunan Raja Madangkara. Ayahnya yang bernama Darmasalira adalah keturunan Raja
Madangkara yang terkudeta; Kakek Astagina, guru dan juga kakek Brama ini dulunya
pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri. Ayah kandung Brama
tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.
Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan
pejabat dari Guntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah
dari Brama. Brama dan Mantili memang saudara kandung, tetapi yang mempunyai garis
darah biru atas kerajaan Madangkara hanyalah Brama, sebab darah biru itu mengalir dari
jalur ayahnya. Selain karena memang memiliki aliran darah biru, Brama akhirnya menjadi
Raja Madangkara karena beliau jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara
melawan pasukan perang Guntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil
lain yang juga menjadi jajahan Guntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang
mampu menghancurkan Guntala.
Brama kecil diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar tua
sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi raja Madangkara.
Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti
Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang
bernama Serat Jiwa (sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali
menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)
Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain diluar itu. Apalagi
punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang tidak
mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada Panglima Bernawa. Pedang biru
ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti
digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah pedang biasa yang diberikan
kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah dan mengeluarkan
gulungan kertas berisi silsilah raja-raja Madangkara. Dari gulungan inilah kelak Brama
mengetahui identitas dirinya sebagai salah satu keturunan raja Madangkara yang sah.
Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang satu
tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini didukung penuh oleh
Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu kandung Brama. Tidak ada
sejarahnya dalam cerita aslinya, Brama terlibat perselisihan dengan Ardalepa seperti yang
ditayangkan dalam sinteron pada tahun 2013. Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang
sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab itulah,
Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
Brama juga didalam cerita aslinya tidak pernah menjadi panglima perang dari kerajaan
Guntala. Brama adalah seorang tokoh yang dikesankan dalam cerita ini sebagai lambang
pahlawan yang menjunjung tinggi sifat-sifat ksatria. Ia seorang pendekar yang pilih tanding,
sampai-sampai bahkan dalam pertarungan tersengit sekalipun, Brama tidak pernah
menggunakan senjata apapun.
Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua orang
mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang pendekar dengan para
tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun
lawan. Begitupula hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga
sangat baik. Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun disekitarnya
seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar,
Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan
salah satu sahabat dekatnya.
Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal
cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian milik Tumenggung
Gardika dari Guntala. Brama kalah dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian
Serat Jiwa sampai pada tingkat kesepuluh (yaitu tingkat terakhir dari ilmu tersebut).
Sementara tingkatan ajian serat jiwa milik Brama ketika ia bertarung melawan Gardika belum
mencapai puncak. Dengan kondisi yang terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali
raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa
Pantai Selatan. Kemudian, dari peristiwa kekalahannya itu, Brama menyempurnakan Ajian
Serat Jiwa yang ia miliki hingga sampai di Tingkat 10, tingkatan tertinggi ilmu ini.
Gardika yang juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali
bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu Gardikalah yang tewas.
tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam
tingkatan yang sama, Brama lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan
ilmu tersebut. Selain itu Brama mempelajari ajian serat jiwa langsung dari kitab aslinya
sehingga penguasaannya pun lebih sempurna dari Gardika. Memang saat itu Kitab Ajian
Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan
tidak bisa menguasai sampai tingkat tertinggi.
Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi musuh
Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut
memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya
sampai tingkat 4, Mantili sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri
Brama Kumbara) maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa
dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma Wikarta (salah satu
murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit) hanya sampai tingkat 9.
Hanya Brama, Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek
Astagina sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat
menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia
tidak menguasai ilmu serat jiwa itu sendiri.
Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada digoa pantai selatan, dipugar
oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh
Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan orang-orang Guntala
yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah
menjadi raksasa Buto Agni.
Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa
dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia menangis dikaki Buto
Agni.
Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu diteruskan
dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima Ringkin, panglima perang
Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri bersama Mantili mengejar pelaku
perusakan.
Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang Guntala
yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut sampai kemudian mengantarkan
pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan
Pasupati dari gunung saba.
Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin
Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat Jiwa tingkat 10.
Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia melawan Gardika diawal
kemerdekaan Madangkara, kembali menemui kekalahan.
Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji
Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu melalui perpaduan
antara ajian Serat Jiwa tingkat 1 dan ajian serat jiwa tingkat ke-10. Teknik itu dinamainya
ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi
Lugina dan Lasmini.
Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang saja
tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa bertobat. Akhirnya,
Brama menciptakan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya
Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik menjadi orang-
orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman. Terakhir keduanya diceritakan
tewas terbunuh oleh Bhiksu Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri
kegoa pantai selatan sampai wafatnya.
Tentang RAJAWALI SAKTI
Burung Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil, ketika digembleng oleh
Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika Brama bersama Kakek Astagina sedang
berbincang di tepi pantai, mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang
terbang melintas di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah jatuh cinta dan
ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius oleh Kakek Astagina, Ya,
moga-moga saja rajawali itu mau membawamu terbang. katanya; tapi sekaligus Kakek
pun memperingatkan agar jangan membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu
karena bisa berbahaya.
Beberapa kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking
penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil rajawali itu.
Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi pertarungan sengit dan
kemudian Brama menclok di punggung rajawali itu dibawa terbang tapi tetap kokoh
bertahan. Akhirnya Rajawali itu menyerah ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah
terbang berputar tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka
bersahabat Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun
menjadi tunggangannya.
Disini kisah pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan versi
sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina dirubah menjadi Sekar Tanjung.

ilustrasi pribadi atas sosok Brama yang sedang menunggang burung rajawali
Di kemudian hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu sebagai
titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat pada Bongkeng, salah
satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu dilempar, akan bermunculan rajawali-
rajawali kecil yang bisa menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.
Tokoh JAKA LUMAYUNG : Ini adalah kakak seperguruan Brama, sama-sama murid Kakek Astagina. Jaka
Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah
datang bersama Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada Panembahan Pasupati,
guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka Lumayung kalah. Brama kemudian menciptakan Ilmu Lampah-
Lumpuh di perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia merawat Brama dalam
proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran. Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi
seraya berpuasa selama 40 hari lamanya.
KELABANG HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu
muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik Mantili dan
mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan bersekongkol dengan murid Mantili
yang bernama Soma Wikarta. Mantili pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan
Ajian Serat Jiwa tingkat 2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh
Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka Lumayung,
Mantili lalu memperdalam Ajian Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu
akhirnya ia dapat membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili
menguasai Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan ilmu ini
ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung Saba yang hendak
memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili juga pernah dikalahkan
oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu Waringin Sungsang.
KANDARA: Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi pejabat di sana, bahkan
sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh
putra kandungnya dari Harnum yang bernama Wanapati).
Kandara mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra Mantili dan
Gotawa. Sempat terjadi perang saudara diantara keduanya. Untung bisa didamaikan oleh
Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih
Kandara ini menguasai Ajian Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas
melawan Soma Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang
Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.
Kisah Perjalanan cinta Brama Kumbara :
UTARI, ia adalah cinta pertama Brama. Ia seorang gadis pendekar yang bertemu
dengan Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar siluman di Desa Halimun.
Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan nasionalis Madangkara. Sayang,
kemudian dia tewas dalam salah satu pertempuran Utari ini adalah puteri dari Panglima
Bernawa, salah satu panglima perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.
Lama kemudian, barulah Brama menemukan cintanya kembali pada diri Harnum, gadis
bangsawan dari kerajaan Niskala- yang juga seorang pendekar dan petualang.
Disaat bersamaan, Brama juga bertemu dengan seorang janda bangsawan dari Sadeng
bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama Bentar. Ia pernah
diselamatkan oleh Brama dalam sebuah peristiwa dan selanjutnya ikut dengan Brama dalam
pengembaraannya bersama Harnum sebagai pendekar.
Selain Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih tua dari Bentar. Ia
bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah
Mada kekerajaan Sadeng itu, Garnis terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan
undur diri dari jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang kemadangkara
bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai Pramitha dan Bentar.
Kisah berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha pada Brama sebagaimana juga Harnum
mencintai Brama. Karena persahabatan yang erat dan mengetahui bahwa sahabatnya juga
mencintai orang yang dicintainya, maka ketika Harnum dilamar oleh Brama, Harnumlah
yang mensyaratkan untuk juga menikahi Pramitha, janda pelarian dari Sadeng yang baik hati
itu. Jadilah Brama beristeri dua, dan keduanya diangkat menjadi Permaisuri sampai Brama
diceritakan wafat.
Selain Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang pernah mengisi
hati Brama. Namanya adalah Doria, gadis cantik berjiwa petualang. Dari Doria
inilah Brama menerima Sepasang Gelang Marmer Putih yang selalu melekat ditangan Brama
dan menjadi salah satu senjata pusaka Madangkara. Beranjak dari kedua gelang marmer ini
pula nantinya Brama menciptakan ilmu yang bernama Ajian Gelang-Gelang.
KISAH CINTA MANTILI-GOTAWA-SAMBA-WIDATI
Mantili pada mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan dari Kerajaan
Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis pengembangan Padepokan Gunung
Wangsit yang didirikan oleh Mantili. Mereka memang saling mencintai, tapi juga sering
bertengkar karena dua-duanya sama-sama muda dan keras.
Raden Samba memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa menembus tanah.
Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan dengan seorang janda muda dan
kaya bernama Widati, yang dulu merupakan isteri Juragan Anom. Sebuah perjumpaan biasa,
bermula dari menolong roda pedati yang terperosok, sampai kemudian mengadakan
perjalanan bersama. Sebagai catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang
muda dan cantik, semacam janda kembang.
Ketika Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng yang di ikuti
oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah pulau terpencil, perahu yang
mereka tumpangi telah di lubangi oleh penjualnya yang ternyata ulah dari anak buah
miranti.Di tengah gelombang tinggi dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para
penumpangnya berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian,
sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke tempat kering.
Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak hingga terdampar di sebuah gua di
pinggir pantai.
Entah siapa mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga saling tergoda, dalam
keadaan terdampar itu, terjadilah perselingkuhan antara Raden Samba dan Widati. Ketika
mengetahui hal itu, tentu saja Mantili murka untunglah Brama berhasil meredam suasana
sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan
Widati. Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan sekian lama,
hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri tetap bersahabat baik.
Ketika Mantili dalam situasi galau itu, orang yang sering hadir menemani adalah Gotawa,
seorang pejuang nasionalis Madangkara yang sebenarnya juga sudah lama bersama Brama
dalam perjuangan menegakkan kembali Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama
menumbuhkan cinta, bukan cinta yang romantis memang tapi perjumpaan pribadi yang
cocok: Gotawa sangat mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga sangat
menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau mengalah dan bisa
ngemong watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.
Mantili merasa menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu mengimbangi
sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria yang baik seperti sosok kakaknya,
Brama Kumbara.
Brama yang memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya orang seperti Gotawa
yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya, tentu saja mendukung dan mendorong
pula perjodohan mereka. Akhirnya mereka pun menikah, dari perkawinannya lahirlah
Pangeran Paksi Jaladara atau Raden Paksi Jaladara.
Kisah persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa dengan Raden Samba,
mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden Samba atas izin dari istrinya, Widati,
membantu Mantili menemukan kembali Pedang Setannya yang hilang dicuri setelah
penyerbuan Wirya Kumandra yang mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang
berhasil mencuri pedang itu.
Diantara keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun, hubungan mereka setelah
keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan. Raden Samba juga dalam proses pencarian
pedang setan ini pernah menyelamatkan Mantili yang hampir tewas dihajar oleh Lugina
dengan ajian Waringin Sungsang.
Adapun sosok Patih Gotawa, beliau sebenarnya jika dilihat dari sejarah awal Saur Sepuh,
berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati Madangkara sebelum diserang oleh Guntala.
Gotawa merupakan adik seperguruan dari panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh
ditangan Guntala, Gotawa menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus menghimpun
kekuatan diantara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan pembrontakan terhadap
Guntala.
Brama sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia Gotawa setidaknya
sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung Mantili. Gotawa menguasai ilmu Tatar
Bayu yang membuatnya bisa berlari sangat cepat seiring angin.
Gotawa adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu akan terbukti dengan
pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama Kumbara.

Tentang PEDANG SETAN dan PEDANG PERAK
Tentang latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan Pedang Setan yang
selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu pedang ini bisa mengeluarkan asap
berbau busuk seperti bangkai yang memabokkan lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat,
sehingga jarang-jarang ada pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.
Brama yang berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa Pedang Setan
dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang sangat berbakat memainkan
pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam hal penguasaan ilmu kadigdayaan, tetapi
sangat berbakat dalam ilmu tangan kosong dan sangat mahir dalam memainkan pedang.
Maka, ketika Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan langka ini, bisa
dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili menjadi terkenal sebagai pendekar pedang
sejati, pendekar pedang nomor satu. Ada suatu rahasia yang diketahui Brama dan
disampaikan pada adiknya, sehingga hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang
pusaka dengan sempurna, tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh aroma busuk
asap beracun si Pedang Setan.
Kemasyuran nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar pedang kelas
wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si Pedang Perak. Ia seorang
pendekar pedang yang sangat sakti pula, mempunyai pedang pusaka bernama Pedang Perak,
yang mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si
Pedang Setan, untuk membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang
sejati atau pendekar pedang nomor satu.
Awalnya tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka sama-sama tokoh
golongan putih dan memang tidak saling memiliki persoalan, tapi lama-lama akhirnya
dilayani juga. Mantili berlatih pedang dibawah pengawasan patih Gotawa dengan cara
menatap matahari, sebab pedang perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa
membutakan mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri dengan latihan
bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan, akhirnya duel pun dilaksanakan.
Pertempuran di bawah sinar purnama itu begitu dahsyat dan berimbang. Namun akhirnya
Mantili yang unggul. Taji Barnas Si Pedang Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang
tingkat tinggi itu.
Taji Barnas mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian waktu senjata itu
hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada suatu peristiwa, Pedang Setan Hilang,
dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan Si Dewa Maut, pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi
oleh Jasiun, dan kemudian jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara seperguruan
Kijara dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa menggunakan Pedang Setan dan
kemudian berhasil pula memainkannya.
Dari peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang Perak secara sempurna. Hebatnya,
pedang perak ini tidak akan rusak atau patah ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah
pertempuran dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut kembali pedang setannya dan
membunuh Mariba.
Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati
Kedua tokoh ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh. Kehadiran Paksi
Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari sandiwara radio tersebut yang
menceritakan perjalanan generasi kedua tokoh-tokoh sakti Madangkara.
Sayangnya diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah terlibat konflik
dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan bersumber dari kedua tokoh ini
secara langsung akan tetapi berkat konspirasi dari Patih Kandara yang mendampingi
Wanapati di Madangkara.
Raden Paksi mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya, Mantili. Punya cita-
cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata kerajaan madangkara. Demi mewujudkan
cita-citanya ini dia sering melatih olah kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda
Madangkara di kadipaten jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih
kandara yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang menyusun kekuatan
untuk memberontak.
Prabu wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan polos. Dia lebih
menyukai ilmu tata pemerintahan dari pada olah kanuragan. Namun karena usianya msh
sangat muda, ia menjadi makanan empuk bagi hasutan patih kandara yang licik.
Raden Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan Adipati Sadeng. Meski
begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat brama. Arif bijaksana dan sakti mandraguna.
Dia jadi penengah dan pendamai dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode
Sengketa Tanah Leluhur.
Atas konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh prabu Wanapati dari
Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur. Raden Bentar sendiri pernah terluka
parah diserang oleh Patih Kandara dengan ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan
prabu Wanapati putera Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh
ibunya, Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai selatan ditemani
juga oleh rajawali raksasa milik Brama.
Selanjutnya dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar diceritakan berguru dengan
Bhiksu Kampala dari Tibet hingga menguasai ilmu Angin Es, Ikatan Roh dan Salju
Menyiram Bumi.
Patih Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya dikalahkan oleh paman Soma
Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah berkhianat dan bersekutu dengan Miranti si
Klabang Hitam dalam mencuri kitab Ajian Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik
Mantili. Patih Kandara yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh Soma
yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini diceritakan pula tentang pertobatan
dari Soma atas sikap-sikapnya yang keliru dimasa lalu pada Mantili. Pertobatannya itu
diterima oleh Pramitha dan Bentar yang kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk
menjalin hubungan baik kembali kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.
Tokoh Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama dari Pramitha dan
Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana Mantili. Ia pernah mengembara ke
Majapahit untuk menuntut balas pada patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam
penyerangan Majapahit ke Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu
dengan Pramitha dan Bentar di Madangkara.
Tokoh Garnis pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah Leluhur. Ia menjadi salah
satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah Saur Sepuh pada generasi keduanya.
Adapun mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan. Ia pernah menjadi kekasih dari
Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama
Wardhana di Majapahit. Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria Madangkara
karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna utusan Brama kepada Pamotan.
Lasmini kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk menuntut balas.
Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama. Karena cintanya ditolak oleh Brama,
Lasmini akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan Mantili, Gotawa dan Harnum.
Ketiganya berhasil dirobohkannya dengan Aji Sirep Megananda.
Syahdan setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian yang
mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum, kelak Lasmini kembali membuat keributan di
Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh Mantili dan diusir keluar dari Madangkara.
Jamali sendiri kemudian mengabdi di Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah
menemani Brama melawat kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya.
Jamalipun pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan Senopati Indra
Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi dari Kijara dan Lugina yang
menguasai ilmu Waringin Sungsang.
Jauh berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini menemukan sosok Brama
pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati Bentar yang usianya sebenarnya jauh dibawah
Lasmini. Dengan berbagai pendekatannya, Lasmini berhasil memikat Bentar. Keduanya
sempat terlibat skandal asmara sampai kemudian muncul tokoh Anjani sebagai putri Lasmini
dari akibat perkosaan yang ia alami oleh para begundal yang menyerangnya. Dalam
perjalanannya, Lasmini juga kemudian berhasil menguasai sejumlah ilmu kesaktian dari
nenek Lawu. Pada episode ini Lasmini muncul menjadi sosok perempuan hebat yang
menguasai inti sari 3 ilmu sekaligus : Ilmu Serat Jiwa, Waringin Sungsang dan Lampah
Lumpuh yang disebut dengan nama Cipta Dewa.
Dari titik inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu tokoh Madangkara digambarkan telah
ditemui oleh Brama yang secara khusus keluar dari tapa semedinya dipengasingan guna
mewariskan ilmu Cipta Dewi. Sebuah ilmu dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah
Lumpuh dan juga Cipta Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang sebelumnya
berilmu hebat akhirnya menemui kekalahan telak.
O.iya, ada dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua punakawan yang selalu
mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba semasa mengelana sebagai sepasang
pendekar yang mengejar Miranti si Klabang Hitam. Nama keduanya adalah Merid dan
Bongkeng.
Baik Merid maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian apapun. Keduanya
adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu membawa-bawa barang didalam
pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden Samba menikah dengan Widati, Bongkeng
mempunyai usaha sendiri dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses
menjadi seorang saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.
Inilah kisah asli Saur Sepuh yang pernah ada diera 80-an. Sebuah kisah yang ditulis oleh
almarhum Niki Kosasih dan menjadi populer ditelinga anak-anak sampai orang tua dijaman
itu.
Manakala terjadi perubahan naskah atau cerita antara versi asli dari kisah Brama Kumbara ini
dengan bentuk visualisasi yang ada diberbagai sinetronnya, jelas bukan kesalahan dari Niki
Kosasih. Apalagi bila kita lihat sinetron produksi Genta Buana dengan judul Brama Kumbara
pada tahun 2013 yang jelas sudah merubah total keaslian naskah dari Saur Sepuh ini.
Saur Sepuh adalah bagian dari budaya bangsa dalam bentuk sandiwara radio yang mestinya
kita lestarikan dan dijaga, bukan malah dirubah-ubah seperti itu. Lebih amburadulnya lagi,
dalam sinetron yang tayang tahun 2013 itu, divisualisasikan bagaimana kerajaan Guntala bisa
menundukkan kerajaan Kutai. Dan kerajaan Kutai itu disebut-sebut berlokasi di Jawa Barat.
Ini benar-benar suatu pembodohan dan pemutar balikan fakta sejarah.
Kebetulan saya mendapatkan link rekaman cuplikan adegan tersebut dari salah satu video
yang diunduh oleh seseorang di Youtube. Silahkan dicek disini untuk membuktikannya :
Yah, akhirnya, penulisan ini anggap saja sebagai catatan penyeimbang, gugatan atau kritikan untuk film-film
Saur Sepuh yang dibuat berbeda dari versi pertamanya dalam bentuk sandiwara radio.
Saya tidak punya kepentingan apapun dalam hal ini kecuali untuk meluruskan kembali cerita yang dulu pernah
ada dan saat ini cerita tersebut terancam punah dan hancur oleh sineas-sineas tertentu.
Artikel ini berhubungan juga dengan
: http://arsiparmansyah.wordpress.com/2013/01/10/musik-latar-sandiwara-radio-saur-sepuh/
Anda yang ingin bergabung dengan komunitas pencinta Sandiwara Radio Saur Sepuh di
Google Plus, silahkan juga untuk ke sini
: https://plus.google.com/u/0/communities/109257276565015366580 di komunitas ini, saya
menyiapkan cerita asli Brama Kumbara per episode sesuai dengan naskah aslinya dulu.

Anda mungkin juga menyukai