Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan logika pada bab-bab sebelumnya dengan berbagai teknik :

tabel kebenaran, tabel semantik, dan resolusi, lebih menekankan pada masalah

konsistensi penyataan-penyataan dan validitas suatu argumen. Selain itu teknik-

teknik tersebut digunakan untuk mengembangkan tujuan-tujuan sintaksis nilai

benar atau salah

Selanjutnya kita akan membahas penangganan sintaksis tersebut dengan

mempertimbangkan pembuktian dan deduksi atau pengambilan keputusan.

Penurunan bentuk tersebut akan dilakukan dengan aturan-aturan deduksi.

Aturan-aturan deduksi tidak berbeda dengan aturan suatu permainan,

misalnya catur : bagaimana bidak harus melangkah dan sebagainya. Jika aturan

digunakan dengan baik, maka berjalanlah permainan tersebut. Begitu juga dengan

deduksi. Aturan harus ditaati sesuai logika format yang ada dan kemudian

berusaha menyimpulkan bahwa kesimpulan yang benar pasti berdasarkan premis-

premis yang benar. Penekanan pada tujuan sintaksis sekali lagi berhubungan

dengan nilai benar atau salah, sedangkan berkaitan dengan tujuan semantik

berhubungan dengan kenyataan yang ada.

Deduksi yang akan dibahas berikut disebut deduksi alami (Natural

Deduction), karena dapat menunjukkan cara-cara intuitif atau metode alami atau

pemikiran yang paling mendekati pemikiran manusia. Metode ini dikembangkan

oleh Garhard Gentzen pada tahun 1930 an.

1
B. Tujuan Pembahasan

1) Menjelaskan prosedur deduksi alami untuk membuktikan validitas

argumen.

2) Menerapkan metode deduksi alami dalam pembuktian teorema.

C. Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini adalah untuk menambah

wawasan dan pengetahuan tentang materi yang akan dibahas yaitu aturan-aturan

deduksi alami.

2
LANDASAN TEORI

1.1 Pengertian

 Deduksi merupakan suatu deretan yang menganggap setiap ekspresi dalah

suatu aksioma atau suatu hipotesis atau berupa penurunan dari ekspresi

logika awal dalam suatu deretan yang diatur oleh aturan formal dari

deduksi.

 Deduksi alami merupakan sistem logika yang berbasis pada aturan deduksi

“alami”

1.2 Falsum

Falsum dengan simbolnya 1. konstanta ini selalu bernilai salah sama

seperti O tentang tautologi.

Logika berhubungan dengan deduksi, pembuktian dan yaliditas argumen

contoh :

Jika durian ini manis, maka durian ini enak di makan

Jika durian ini enak di makan, maka saya akan memakannya

Dengan demikian, jika durian ini enak dimakan, maka saya akan

Memakannya.

Argumen tersebut pasti valid. Mari kita lakukan validitas dengan cara berikut :

Langkah 1 : tentukan variasi proposisional iya.

A. durian ini manis

B. durian ini enak dimakan

C. saya akan memakannya

3
Langkah 2 : buat bentuk logika masing-masing pertanyaan.

1. AB

2. BC

3. CC

Langkah : susun dalam bentuk ekspresi logika :

(( A  B) A ( B  C)  A  C)

Terlihat bahwa ekspresi logika argumen tersebut berbentuk Hypothetical

Syllogism, dan sudah dibuktikan tautologinya. Pada pembahasan sebelumnya.

Dengan demikian, dapat ditulis seperti berikut :

{( A  B), (B  C)}≠ (A  C)

Jadi, seperti biasa jika premis-premis, yakni (A  B) dan (B  C) bernilai benar

maka kesimpulan (A  C) juga pasti bernilai benar. Atau (A  C) adalah

konsisten logis dari (A  B) dan (B  C).

Dengan menggunakan strategi pembalikan dapat diperlihatkan bahwa menegasi

kesimpulan yakni ¬ (A  C) adalah tidak konsisten dengan premis-premis (A 

B) dan (B  C). Untuk membuktikannya menggunakan tabel kebenaranberikut

(A  B) ∧(B  C) ∧¬ (A  C)
Sudah dapat dipastikan bahwa tabel kebenarannya menunjukkan nilai kebenaran

yang seluruhnya salah satu kontradisdi, dan ini berarti argumen tersebut valid.

4
Di sini masih dapat digunakan sudut pandang simantif dan memperlihatkan

ketidakkompatibelannya dengan penulisan berikut.

(A  B) ∧(B  C) ∧¬ (A  C) ≠ I ⊥

1 adalah falsum, yakni konstanta proporsional yang selalu bernilai salah.

Artinya jika nilai kebenaran dari premis-premis dan negasi kesimpulan bernilai

salah (falsum) maka argumen tersebut pasti valid.

1.3 Aturan-aturan Deduksi Alami

Aturan-aturan deduksi alamiah adalah sebagai berikut, dengan A, B, C

memakai variabel proporsional.

Aturan (1) : ∧I (∧-introduksi)

A B
A∧ B

Aturan di atas mudah sekali dipahami.

Jika A dan B, maka dapat disimpulkan A ∧B.

Contoh:

“Bedu kelaparan” dan “Bedu kehausan”, maka kesimpulannya

“Bedu kelapaan dan kehausan”.

Secara umum pada aturan deduksi alami, formula yang ada di atas garis adalah

yang telah diperoleh atau asumsi, sedangkan formula yang berada di bawah garis

adalah yang diperoleh.

5
Aturan (2) : ∧E (∧-eliminasi)

A ∧B
A

Aturan (3) : ∧E (∧-eliminasi)

A ∧B
B

Aturan (2) dan (3) dinamakan aturan ∧-eliminasi atau disingkat ∧E. Kedua aturan

berikut menyatakan bahwa jika A ∧B telah diperoleh, maka dapat disimpulkan A

(atau B).

Contoh:

“Bowo mahasiswa yang rajin dan pandai”, maka dapat disimpulkan

“Bowo mahasiswa yang pandai” atau “Bowo mahasiswa yang rajin”.

Aturan (4) : ∨I (∨-introduksi)

A
A∨ B

Aturan (5) : ∨I (∨-introduksi)

B
A∨ B

Aturan (4) dan (5) tampak sedikit aneh.

Contoh:

Dari pernyataan “Dewi Mahasiswa yang pandai” dapat disimpulkan bahwa

“Dewi mahasiswa yang pandai atau sangat cantik”. Kesimpulan tersebut

terasa aneh bukan? Apa hubungannya antara kecantikan Sewi dengan

6
kepandaiannya? Tapi di sini, dari A dapat diambil kesimpulan A atau B,

dengan B adalah pernyataan apapun tanpa harus ada kaitannya dengan A.

Aturan (6) : ∨E (∧-eliminasi)

A B

...

...

A∨ B C C
C

Aturan (6) menyatakan: jika C diperoleh dari A, dan C diperoleh dari B, maka C

diperoleh dari (A ∨B). A dan B dicoret karena keduanya tidak diperlukan lagi dan

digantikan oleh (A ∨ B). Jika A dan B berupa asumsi, maka keduanya dapat

dihilangkan. Aturan tersebut sebenarnya menyatakan, jika sesuatu mengikuti

kasus 1 dan hal yang sama mengikuti kasus 2. maka sesuatu tersebut mengikuti

kasus 1 atau 2.

Aturan (7) :  I ( introduksi)

...

...

C
A →C

Penafsiran terhadap aturan (7) adalah jika C dapat diperoleh dari asumsi A, maka

dapat membuang asumsi dan menyimpulkan bahwa (A  C).

7
Contoh : Pernyataan “Bowo lulus ujian” berasal dari asumsi “Bowo belajar rajin,

maka lulus ujian”. Di sini tidak perlu berdebat bahwa kelulusan bowo bisa saja

disebabkan bukan karena Bowo rajin belajar, tetapi mungkin ia menyontek dari

temannya, atau nasibnya sedang bagus, atau soal ujiannya kebetulan mudah, dan

berbagai kemungkinan lainnya.

Aturan (8):  E ( eliminasi)

A A→C
C

Bentuk di atas tentunya tidak asing lagi, jika A di dapat, dan A ipukasi C,maka C

di dapat, ingat modus ponens (MP).

Aturan (9): ⊥


C

Aturan (9): menyatakan bahwa dari falsum, kesimpulan C berupa apapun dapat di

buat. Dengan kata lain dari suatu kemustahilan atau kontradiksi, apa pun dapat

diperoleh.

Aturan (10): RAA (reductio ad absurdmu)

¬A

8
...

...


¬A

Hal ini berdasarkan kenyataan sebagai berikut:

A Asumsi

...

...


Reduksi dari Asumsi menggunakan  I
A →⊥

Tentunya sekali lagi bahwa (A  ⊥ ) = ¬ A

Aturan (11): Id (Identitas)

A
A

Setiap formula dapat di induksi dari dirinya sendiri.

9
PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Produksi alami memakai penalaran untuk mendeduksi pernyataan-

pernyataan dengan menggunakan aturan deduksi.

2. reduksi alami dilakukan untuk mendeduksi pernyataan-pernyataan dengan

menggunakan aturan deduksi.

3. Dari aturan-aturan deduksi dikembangkan teorema-teorema yang

melengkapi aturan deduksi.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas saran penulis supaya kita lebih mendalami

dan memantapkan diri dalam memahami aturan deduksi alami yang telah di bahas

dalam makalah ini. Sehingga kita lebih mudah menyelesaikan masalah-masalah

tentang logika.

10

Anda mungkin juga menyukai