Makalah Baf Daun Sirih PDF
Makalah Baf Daun Sirih PDF
PENDAHULUAN
kemampuan besar untuk menimbulkan penyakit infeksi pada luka yang berefek
pada terjadinya radang bernanah (Jawetz dkk., 1996).
Pengobatan terhadap luka terutama yang mengalami infeksi dengan obatobat sintetis telah berkembang dan penemuan berbagai zat kimia sebagai
antibakteri telah banyak. Tetapi akhir-akhir ini karena pertimbangan terhadap zat
kimia sintetik yang mahal dan terlebih mempunyai efek samping yang
membahayakan bagi organ vital, serta penggunaan antibiotik yang kurang efisien
karena Stapilococcos mudah resisten terhadap antibiotik yang telah ada,
menyebabkan obat yang berasal dari herbal alami menjadi menarik perhatian para
ahli di bidang medis sebagai alternatif pengganti yang lebih poten, murah,
memiliki efek samping yang lebih kecil, dan tersedia terus dalam jumlah besar.
Sirih merah (Piper betle Var. Rubrum) merupakan salah satu tanaman obat
potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan
berbagai jenis penyakit seperti stroke, batu ginjal, radang prostat, hepatitis,
diabetes, asam urat, kolesterol, batuk, keputihan, maag, letih, lesu dan memiliki
sifat antioksidan, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi (Hanum dan Tim
Redaksi Cemerlang, 2011).
Berdasarkan penelitian Juliantina dkk (2009) secara in-vitro ekstrak daun
sirih merah memiliki kemampuan antibakteri terhadap bakteri gram positif
(konsentrasi 25%) dan gram negatif (konsentrasi 6,25%) khususnya terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218.
Kandungan sirih merah yang telah diketahui adalah flavonoid, alkaloid
polifenol, tanin, saponin, dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid bersifat
antioksidan, antidiabetik, antikanker, dan, antibakteri. Saponin dapat memacu
pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses
penyembuhan luka, dan senyawa alkaloid mempunyai sifat antineoplastik yang
juga ampuh menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Sadewo, 2005).
Pembuatan larutan antiseptik dari ekstrak daun sirih merah dilakukan
dengan menyusun formula menggunakan berbagai bahan disamping daun sirih
merah itu sendiri. Formula yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai
alternatif lain sediaan obat penyembuh luka yang berasal dari alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Liliopsida
Sub-kelas
: Aracidae
Ordo
: Piperales
Family
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
Kerabat dekat : Kiseureuh, Sirih, Sirih hutan, Kemekes, Kemukus, Mricot lolot,
Lada, Cabe jawa, Cabean, Daun wati.
Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar
matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila
tumbuh pada daerah panas, sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering.
Selain itu, warna merah daunnya akan pudar (Juliantina dkk, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Subarnas dkk (2007) secara
kromatografi sirih merah mengandung flavonoid, saponin, alkaloid senyawa
polifenolat, tanin, kuinon, steroid, dan minyak atsiri.
Habitat
Sirih merah tidak dapat tumbuh dengan subur pada daerah yang panas,
tetapi dapat tumbuh subur pada daerah yang dingin, teduh, dan tidak terlalu
banyak terkena sinar matahari dengan ketinggian 300-1000 m. Tanaman sirih
merah sangat baik pertumbuhannya apabila mendapatkan sekitar 60-75% cahaya
matahari.
2.1.4 Distribusi
Belum dapat dipastikan asal tanaman sirih merah ini, namun di Indonesia
sendiri tanaman ini tersebar di daerahi Sulawesi, Yogyakarta, Papua, Jawa,
Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
2.1.5
manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Kandungan zat kimia pada daun
sirih merah yang memiliki efek antiseptik:
1. Kavikol
Menunjukkan efek jamur dan desinfektan, sehingga dapat digunakan sebagai
obat antiseptik.
2. Flavonoid
Memiliki sifat antioksidan, senyawa fenol yang bersifat sebagi koagulator
protein, antidiabetik, antifungi, antikanker, imunostimulan, antioksidan,
antiseptik,
antihepatotoksik,
antihiperglikemik,
vasodilatator
dan
antiinflamasi.
3. Alkaloid
Memiliki sifat antimikrobal, penghambat pertumbuhan sel kanker dan
merupakan bagian dari sistem heterosiklik.
4. Eugenol
Memiliki
kandungan
analgetik
dan
antifungal
dengan
menghambat
pertumbuhan yeast (sel tunas) dari Pytirosporum ovale dengan cara mengubah
struktur dan menghambat dinding sel, sehingga meningkatkan permeabilitas
membran terhadap benda asing dan menyebabkan kematian sel.
5.
Saponin
Menunjukkan efek antijamur, antibakteri, dan imunomodulator.
memiliki
kemampuan
sebagai
antibakteri
dengan
cara
impotensi, eksim atau eksema atau dermatitis, gatal-gatal, luka bernanah yang
sulit sembuh, karies gigi, batuk, radang pada mata, radang pada gusi dan telinga,
radang prostat, hepatitis, hipertensi, keputihan kronis, demam berdarah dengue
(DBD), penambah nafsu makan, penyakit kelamin ( gonorrhea, sifilis, herpes,
hingga HIV/AIDS), sebagai obat kumur dan luar, dan manfaat bagi kecantikan (
lulur, masker, penuaan dini, penghalus kulit, dan lain-lain).
10
11
dan jaringan dibawahnya. Menurut Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip
oleh Simanjuntak (2008) berdasarkan keadaannya luka dibagi atas dua bagian,
yaitu:
1. Luka tertutup
Dalam hal ini kulit masih utuh, ontohnya (a) vulnus contussum atau luka
memar. Di sini kulit tidak rusak, tetapi pada pembuluh darah sub kutan, sehingga
dapat terjadi hematom, (b) vulnus traumaticum. Terjadi di dalam tubuh, tetapi
tidak tampak dari luar.
2. Luka terbuka.
Dalam keadaan ini kulit sudah robek, contohnya: (a) ekskoriasi atau luka
lecet adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau rata, (b) vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris
yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan, (c) vulnus
laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi tidak beraturan atau compangcamping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul, (d) vulnus punctum
atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya
kedalaman luka lebih dari lebarnya, (e) vulnus caesum atau luka potong adalah
luka yang disebabkan oleh benda tajam yang besar, dengan tepi tajam dan rata, (f)
vulnus sclopetorum atau luka tembak yang terjadi karena tembakan, granat, dan
sebagainya, dengan tepi luka yang tidak teratur, (g) vulnus morsum atau luka gigit
yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia, bentuk luka tergantung
bentuk gigi penggigit.
2.5.2 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan proses terus menerus dari peradangan dan
perbaikan, dimana sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan fibroblast
keluar secara bersamaan dari tempatnya semula dan berinteraksi untuk
memperbaiki kerusakan. Menurut Potter (2006), sifat penyembuhan pada semua
luka sama, dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan, dan luasnya
cedera. Kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau kembali ke
struktur normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi penyembuhan luka.
12
Ada dua jenis luka, yaitu luka jaringan yang hilang dan luka jaringan tanpa yang
hilang. Insisi bedah yang bersih merupakan contoh luka dengan sedikit jaringan
yang hilang. Luka bedah akan menyalami penyembuhan primer. Tepi-tepi luka
akan merapat atau saling berdekatan sehingga mempunyai resiko infeksi yang
rendah. Sebaliknya luka dengan kehilangan sel atau jaringan lebih luas, seperi:
infark, ulcerasi radang, pembentukan abses, atau bahkan luka besar akan
mengalami penyembuhan sekunder. Tepi luka akan tetap terbuka sehingga terisi
oleh jaringan parut. Penyembuhan sekunder memerlukan waktu yang lebih lama
(Potter, 2006). Perawatan luka yang efektif diperlukan untuk membantu proses
penyembuhan luka. Perawatan luka terdiri dari pembersihan luka, debridement
dan pembalutan. Tidak ada standar yang ditetapkan untuk frekuensi dilakukannya
pembersihan luka maupun pembalutan. Hal ini tergantung pada kondisi luka dan
banyaknya sekret (pus) yang dihasilkan.
Pembersihan luka bukan pembedahan biasanya dilakukan sehari sekali.
Pembersihan luka yang terlalu sering mengurangi kemungkinan luka istirahat
sehingga memperlambat kesembuhan (Bachsinar, 1995 dalam Simanjuntak,2008).
Luka yang bertahan lama pada kulit akan menimbulkan trauma dan gangguan
bagi penderitanya sehingga sangatlah penting untuk memperhatikan kecepatan
proses kesembuhan luka itu sendiri. Penyembuhan luka merupakan serangkaian
proses yang kompleks karena merupakan suatu kegiatan bioseluler yang terjadi
secara berurutan dan dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu intrinsik maupun
ekstrinsik (Price dan Wilson, 2006 dalam Simanjuntak, 2008).
Menurut Kumar, dkk (2007) penyembuhan luka merupakan fenomena
kompleks dan melibatkan berbagai proses dengan urutan sebagai berikut: (1)
induksi respon peradangan akut oleh jejas awal, (2) regenerasi sel parenkimal, (3)
migrasi dan proliferasi, baik sel parenkim maupun sel jaringan ikat, (4) sintesis
protein extra cellular matrix (ECM), (5) remodeling unsur parenkim untuk
mengembalikan fungsi jaringan, (6) remodeling jaringan ikat untuk memperoleh
kekuatan luka.
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan faktor lokal yang dapat
mengganggu
penyembuhan
luka.
Faktor
13
sistemik
yang
mempengaruhi
penyembuhan luka antara lain (1) nutrisi, pengaruhnya sangat menonjol terutama
pada defisiensi protein dan vitamin C akan mengganggu sintesis kolagen dan
memperlama penyembuhan luka, (2) status metabolik, misalnya diabetes melitus,
(3) status sirkulasi darah, misalnya arteriosklerosis, tersedianya darah pada tempat
luka tidak cukup, begitu juga pada kelainan vena dimana sirkulasi darah tidak
lancar, (4) hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh anti inflamasi
menghambat pembentukan fibroblas, mengganggu sintesis kolagen.
Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka antara lain :
(1) infeksi, merupakan penyebab tunggal keterlambatan penyembuhan luka, (2)
faktor mekanik misalnya mobilisasi dini, memperlambat penyembuhan luka, (3)
benda asing seperti benang jahitan yang tidak teresorbsi, fragmen baja, kaca,
pecahan tulang merupakan halangan untuk penyembuhan luka, (4) macam, lokasi
dan ukuran besarnya luka mempengaruhi penyembuhan.
2.5.3 Fisiologi Kesembuhan Luka
Menurut Morrison (2004) proses fisiologis kesembuhan luka dapat dibagi
kedalam 4 fase utama, yaitu :
1. Respon inflamasi akut terhadap cidera (durasi fase 0-3 hari) Hemostasis :
vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak, terjadi pada saat
sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk
membentuk sebuah bekuan. Respon jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan
histamine dan mediator lain, sehingga menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh
darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatnya penyediaan darah ke daerah
tersebut sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah
meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke interstisial menyebabkan
oedema local. Peradangan akut merupakan respon langsung tubuh terhadap cidera
atau kematian sel, yang secara makroskopik digambarkan dalam karakteristik atau
tanda-tanda pokok dari peradangan akut yaitu adanya kemerahan, panas, nyeri dan
pembengkakan.
2. Fase destruktif (durasi fase 1-6 hari) Pembersihan terhadap jaringan mati atau
yang mengalami devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf
menelan dan menghancurkan bakteri.
14
3. Fase proliferasi (durasi fase 3-24 hari) Fibroblas meletakan subtansi dasar dan
serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka.
Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang, jaringan yang dibentuk dari gelung
kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar, disebut jaringan
granulasi. Menurut Cotran, (1999) yang dikutip oleh Triyono, (2005) apabila tidak
ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek.
Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak
berguna,
dimulailah
fase
proliferasi.
Fase
proliferasi
ditandai
dengan
15
koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan
menghambat kesembuhan luka sebab hemeostasis merupakan titik tolak dan dasar
fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi (Syamsuhidayat dan
Jong, 1997 dalam Simanjuntak, 2008).
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun, misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi kesembuhan luka. Pengaruh setempat
seperti hematom, benda asing, jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis serta
adanya infeksi sangat menghambat kesembuhan luka (Syamsuhidayat dan Jong,
1997 dalam Simanjuntak, 2008). Infeksi merupakan penyebab tunggal terpenting
melambatnya penyembuhan, dengan memperpanjang fase peradangan dan
berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal (Kumar dkk, 2007).
: Bacteria
Divisio
: Protophyta
Subdivisio
: Schizomycetea
Classis
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
Familia
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
16
Staphylococcus aureus tumbuh paling cepat pada suhu kamar 37C, paling baik
membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25C) dan pada media dengan pH 7,27,4. Koloni pada perbenihan padat berbentuk bulat, halus menonjol, dan berwarna
abu-abu sampai kuning emas tua (Jawetz dkk., 1996).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri koagulase positif, hal ini
membedakannya dengan spesies lain. Staphylococcus aureus merupakan patogen
utama bagi manusia dan hewan, sering menghemolisa darah, mengkoagulasi
plasma,
serta
menghasilkan
berbagai
enzim
ekstraseluler
dan
toksin.
2.8 Antimikroba
Zat antimikroba dapat bersifat bakteriostatik yaitu bersifat menghambat
perkembangbiakan bakteri atau bakteriosidal yang memiliki sifat mematikan
bakteri (Jawetz dkk, 1996). Kerja bakterisidal berbeda dari bakteriostatis dalam
hal tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu bakteri yang dimatikan tidak dapat lagi
berkembang biak, meskipun sudah tidak terkena zat itu lagi (Jawetz dkk, 1996).
17
disterilkan dengan autoklaf. Bahan massal harus disimpan dalam wadah kedap
udara. di tempat yang sejuk dan kering.
Kelarutan sangat mudah larut dalam air. Memiliki fungsi sebagai larutan
penyangga (HOPE ed 5, 694).
2.9.2 Asam Sitrat
Asam sitrat (C6H8O7) merupakan hablur bening, tidak berwarna atau serbuk
hablur granul sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa
sangat asam. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam
etanol, agak sukar larut dalam eter (FI IV, 48). Asam sitrat memiliki kelarutan
yang tinggi dalam air dan mudah diperoleh dalam bentuk granular (Rohdiana,
2002).
2.9.3 Sodium Lauril Sulfat
Sodium lauril sulfat adalah campuran dari natrium alkil sulfat, sebagian
besar mengandung natrium lauril sulfat, CH3(CH2)10CH2OSO3Na. Kandungan
campuran natrium klorida dan natrium sulfat tidak lebih dari 8,0 %. Merupakan
hablur, kecil, berwarna putih atau kuning muda, agak berbau khas. Memiliki
kelarutan yang mudah larut dalam air (FI IV, 595).
2.9.4 Aquadest
Akuades adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air
murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik
atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih bebas kotoran maupun mikroba. Air
murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air terkecuali untuk
parenteral, akuades tidak dapat digunakan (Budiman, Muhammad Haqqi. 2008).
18
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi bahan utama dan
bahan tambahan serta bahan analisis. Bahan utama yang digunakan adalah
simplisia daun sirih. Bahan tambahan yang digunakan adalah disodium hidrogen
posfat, asam sitrat, sodium lauryl sulfat, dan aquadest. Bahan analisis yang
digunakan adalah etanol 70%, N-heksan, dan reagen untuk keperluan skrining
fitokimia.
19
Skrining fitokimia
20
klorida (1:1) dan amil alkohol ke dalam filtrat. Campuran kemudian dikocok kuatkuat. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah, kuning atau
jingga yang dapat ditarik oleh amil alkohol (Soetarno, 1997; Farnsworth, 1966).
3.2.4.5 Pemeriksaan senyawa kuinon
Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan dengan air di atas
penangas kemudian disaring. Filtrat ditetesi dengan larutan NaOH. Terbentuknya
warna kuning hingga merah menunjukkan adanya senyawa kelompok kuinon
(Farnsworth, 1966).
3.2.4.6 Pemeriksaan senyawa triterpenoid dan steroid
Simplisia disari dengan eter. Sari eter kemudian diuapkan hingga kering.
Pada residu diteteskan pereaksi Lieberman-Burchard. Penambahan pereaksi
dilakuakan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu menunjukkan bahwa
dalam simplisia terkandung senyawa triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna
hijau biru menunjukkan adanya kelompok steroid
3.2.4.7 Pemeriksaan senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid
Simplisia disari dengan eter, sari eter kemudian diuapkan hingga kering.
Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid-asam sulfat atau vanilin-asam sulfat.
Penambahan reaksi dilakukan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu
menunjukkan adanya senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid.
21
pemeriksaan
menggunakan
panca
indera
untuk
22
3.2.7 Preformulasi
Pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang sifat fisika kimia zat aktif
dan zat tambahan serta ketercampuran dari bahan-bahan yang dugunakan.
23
3.2.9 Formulasi
Penentuan formulasi larutan antiseptik yang digunakan dalam percobaan
ini berdasar pada Drug Formulation Manual, yaitu :
Bahan
Ekstrak daun sirih
Disodium Hidrogen Posfat
Asam Sitrat
Sodium Lauril Sulfat
Aquadest
F1
0%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL
F2
5%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL
F3
10%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL
F4
15%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL
Prosedur pembuatan :
1. Ambil 30 mL dari 100 mL aquadest. Tambahkan Na2HPO4 sedikit demi
sedikit diaduk sampai melarut. Kemudian tambahkan asam sitrat sedikit demi
sedikit diaduk-aduk sampai hancur dan terlarut. Cek pH dan harus berada
dalam rentang 4-6.
2. Ambil lagi 30 mL aquadest tambahkan ekstrak daun sirih dengan perlahan dan
sedikit demi sedikit dengan konstan pengadukan. Pastikan ekstrak telah
terlarut sempurna.
3. Pindahkan larutan ekstrak ke wadah larutan peyangga. Aduk larutan selama
30 menit.
4. Buat larutan menjadi 70 mL dengan aquadest.
5. Ambil 10 mL aqua destilata ke bejana/wadah yang lain dan tambahkan
Sodium Lauryl Sulfat, aduk sampai larut sempurna. Pindahkan larutan ini ke
wadah utama.
6. Jadikan larutan menjadi 100 mL dan aduk dengan sempurna selama 20 menit.
7. Saring menggunakna mesh 100 bahan stainless
8. Pastikan pH 4-6.
9. Kirim ke tempat quality control. Untuk evaluasi.
24
25