Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tumbuhan obat merupakan sumber bahan obat tradisional yang banyak
digunakan secara turun-temurun. Salah satu di antaranya adalah sirih, dikenal
dengan sirih hijau, sirih merah, sirih hitam, sirih kuning dan sirih perak (Depkes
1980).
Pada percobaan digunakan tumbuhan sirih merah (Piper betle Var.
Rubrum), termasuk familia Piperaceae. Tumbuhan sirih merah memiliki
kemampuan sebagai antiseptik, antioksidan dan fungisida, juga memiliki sifat
menahan pendarahan, penyembuh luka pada kulit, obat saluran cerna dan dapat
menguatkan gigi. Sirih merah tumbuh subur di daerah Sumatera Utara, dahulu
digunakan untuk upacara adat suku Karo (Depkes 1980). Secara umum daun sirih
mengandung minyak atsiri sampai 4,2% (Kartasapoetra,1992), senyawa fenil
propanoid dan tanin (Depkes 1989, Mahendra 2005).
Derivate fenol (eugenol dan kavikol) yang terkandung dalam daun sirih
berkhasiat antiseptik dan khususnya kavikol diketahui mempunyai daya
pembunuh bakteri lima kali dari fenol (Heyne, 1987; Hardjono Sastrohamidjojo,
2004; Dharmananda, 2004).
Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau
organ tubuh lain sehingga menimbulkan efek yang traumatis (Kozier, 1995 dalam
Ismail, 2009). Luka merupakan gangguan kontinuitas suatu jaringan pada kulit,
sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal menjadi tidak normal.
Luka terbuka sering mengalami infeksi dan menyebabkan keterlambatan
kesembuhan luka (Bachsinar, 1995).
Staphylococcus aureus merupakan penyebab terjadinya infeksi yang
bersifat piogenik. Bakteri Staphylococcus aureus ini dapat masuk ke dalam kulit
melalui folikel rambut, muara kelenjar keringat, luka besar dan kecil.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman yang mempunyai

kemampuan besar untuk menimbulkan penyakit infeksi pada luka yang berefek
pada terjadinya radang bernanah (Jawetz dkk., 1996).
Pengobatan terhadap luka terutama yang mengalami infeksi dengan obatobat sintetis telah berkembang dan penemuan berbagai zat kimia sebagai
antibakteri telah banyak. Tetapi akhir-akhir ini karena pertimbangan terhadap zat
kimia sintetik yang mahal dan terlebih mempunyai efek samping yang
membahayakan bagi organ vital, serta penggunaan antibiotik yang kurang efisien
karena Stapilococcos mudah resisten terhadap antibiotik yang telah ada,
menyebabkan obat yang berasal dari herbal alami menjadi menarik perhatian para
ahli di bidang medis sebagai alternatif pengganti yang lebih poten, murah,
memiliki efek samping yang lebih kecil, dan tersedia terus dalam jumlah besar.
Sirih merah (Piper betle Var. Rubrum) merupakan salah satu tanaman obat
potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan
berbagai jenis penyakit seperti stroke, batu ginjal, radang prostat, hepatitis,
diabetes, asam urat, kolesterol, batuk, keputihan, maag, letih, lesu dan memiliki
sifat antioksidan, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi (Hanum dan Tim
Redaksi Cemerlang, 2011).
Berdasarkan penelitian Juliantina dkk (2009) secara in-vitro ekstrak daun
sirih merah memiliki kemampuan antibakteri terhadap bakteri gram positif
(konsentrasi 25%) dan gram negatif (konsentrasi 6,25%) khususnya terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218.
Kandungan sirih merah yang telah diketahui adalah flavonoid, alkaloid
polifenol, tanin, saponin, dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid bersifat
antioksidan, antidiabetik, antikanker, dan, antibakteri. Saponin dapat memacu
pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses
penyembuhan luka, dan senyawa alkaloid mempunyai sifat antineoplastik yang
juga ampuh menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Sadewo, 2005).
Pembuatan larutan antiseptik dari ekstrak daun sirih merah dilakukan
dengan menyusun formula menggunakan berbagai bahan disamping daun sirih
merah itu sendiri. Formula yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai
alternatif lain sediaan obat penyembuh luka yang berasal dari alam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
masalahnya yaitu pada konsentrasi berapa ekstrak daun sirih merah mampu
memberikan efek antiseptik dan penambahan variasi bahan tambahan yang dapat
menghasilkan larutan antiseptik ekstrak daun sirih merah yang aman dan bermutu.

1.3 Tujuan Percobaan


Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik produk larutan
antiseptik dan untuk mendapatkan formula larutan antiseptik ekstrak daun sirih
merah terbaik dilihat dari karakteristik fisik dan sifat organoleptik yang dapat
diterima oleh konsumen.

1.4 Manfaat Percobaan


Dari hasil percobaan ini diharapkan dapat menghasilkan larutan antiseptik
yang dapat digunakan masyarakat dalam upaya pemanfaatan tanaman obat
tradisional menjadi produk obat herbal yang dapat memberikan alternatif sediaan
obat penyembuh luka yang berasal dari bahan alam yang aman dan bermutu,
sehingga dapat bermanfaat bagi bidang farmasi serta menambah daya guna daun
sirih merah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirih Merah (Piper betle Var. Rubrum)


Sirih merah (Piper betle Var. Rubrum) merupakan salah satu tanaman obat
potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan
berbagai jenis penyakit. Tanaman ini termasuk di dalam famili Piperaceae dengan
penampakan daun yang berwarna merah keperakkan dan mengkilap saat kena
cahaya. Sirih merah (Gambar 2.1 dan 2.2) secara empiris memiliki khasiat
menyembuhkan asam urat, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung,
penyembuhan luka, peradangan organ seperti paru, hati, ginjal, tenggerokan,
hepatitis serta maag (Sudewo, 2005).

2.1.1 Taksonomi Sirih Merah


Secara taksonomi tanaman daun sirih merah diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Liliopsida

Sub-kelas

: Aracidae

Ordo

: Piperales

Family

: Piperaceae

Genus

: Piper

Spesies

: Piper betle Var. Rubrum

Kerabat dekat : Kiseureuh, Sirih, Sirih hutan, Kemekes, Kemukus, Mricot lolot,
Lada, Cabe jawa, Cabean, Daun wati.

Gambar 2.1. Sirih merah tampak depan

Gambar 2.2. Daun sirih merah tampak bagian belakang

Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar
matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila
tumbuh pada daerah panas, sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering.
Selain itu, warna merah daunnya akan pudar (Juliantina dkk, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Subarnas dkk (2007) secara
kromatografi sirih merah mengandung flavonoid, saponin, alkaloid senyawa
polifenolat, tanin, kuinon, steroid, dan minyak atsiri.

2.1.2 Morfologi Tanaman


a. Daun
Daunnya berwarna hijau dengan semburat pink. Daun membentuk jantung
hati dan bagian ujung meruncing, mengkilat dan tidak merata, tepinya rata,
permukaan megilap, tidak berbulu dan bila daunnya dirobek maka akan
mengeluarkan lendir, terasa pahit dan aromanya lebih wangi. Panjang daunya
kurang lebih 15-20 cm. Warna daun pada bagian atas hijau bercorak warna putih
keabu-abuan, sedangkan bagian bawah daun berwarna merah hati cerah.
b. Batang
Batang berwarna hijau agak kemerahan dan permukaan kulitnya berkerut.
Batang bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm.
c. Akar
Bakal akar tumbuh di setiap buku batang.
2.1.3

Habitat
Sirih merah tidak dapat tumbuh dengan subur pada daerah yang panas,

tetapi dapat tumbuh subur pada daerah yang dingin, teduh, dan tidak terlalu
banyak terkena sinar matahari dengan ketinggian 300-1000 m. Tanaman sirih
merah sangat baik pertumbuhannya apabila mendapatkan sekitar 60-75% cahaya
matahari.
2.1.4 Distribusi
Belum dapat dipastikan asal tanaman sirih merah ini, namun di Indonesia
sendiri tanaman ini tersebar di daerahi Sulawesi, Yogyakarta, Papua, Jawa,
Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
2.1.5

Kandungan Kimia dan Khasiat sebagai Antiseptik


Kandungan kimia yang terdapat pada tanaman sirih merah mengandung

metabolit sekunder yang menyimpan senyawa aktif seperti alkali, flavonoid,


polivenol, tanin, minyak atsiri, saponin, hidroksikafikol, kavikol, kavibetol,
karbavakrol, cyanogenic, eugenol, cineole, kadimen, glukosida, isoprenoid,
nonprotein amino acid, ter-penena, dan fenil propada. Oleh karena sirih merah
banyak mengandung senyawa kimia bermanfaat, maka sirih merah memiliki

manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Kandungan zat kimia pada daun
sirih merah yang memiliki efek antiseptik:
1. Kavikol
Menunjukkan efek jamur dan desinfektan, sehingga dapat digunakan sebagai
obat antiseptik.
2. Flavonoid
Memiliki sifat antioksidan, senyawa fenol yang bersifat sebagi koagulator
protein, antidiabetik, antifungi, antikanker, imunostimulan, antioksidan,
antiseptik,

antihepatotoksik,

antihiperglikemik,

vasodilatator

dan

antiinflamasi.
3. Alkaloid
Memiliki sifat antimikrobal, penghambat pertumbuhan sel kanker dan
merupakan bagian dari sistem heterosiklik.
4. Eugenol
Memiliki

kandungan

analgetik

dan

antifungal

dengan

menghambat

pertumbuhan yeast (sel tunas) dari Pytirosporum ovale dengan cara mengubah
struktur dan menghambat dinding sel, sehingga meningkatkan permeabilitas
membran terhadap benda asing dan menyebabkan kematian sel.
5.

Saponin
Menunjukkan efek antijamur, antibakteri, dan imunomodulator.

Kandungan eugenol dalam daun sirih mempunyai sifat antifungal. Daun


sirih yang sudah dikenal sejak tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik yang
dapat membunuh bakteri sehingga banyak digunakan sebagai antibakteri dan
antijamur. Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu kavikol dalam sifat
antiseptiknya lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Dengan sifat
antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk menyembuhkan kaki yang luka dan
mengobati pendarahan hidung/mimisan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Subarnas dkk (2007) sirih
merah mengandung flavonoid, saponin, alkaloid, polifenol, tanin, kuinon, steroid,
dan mono- dan seskuiterpen. Menurut Robinson (1995) dalam Simanjuntak

(2008) flavonoid berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri dengan cara


membentuk senyawa kompleks dengan protein extraseluler, protein terlarut, serta
mengganggu integritas membran sel bakteri.
Alkaloid

memiliki

kemampuan

sebagai

antibakteri

dengan

cara

mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga


lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel
tersebut (Robinson, 1991 dalam Juliantina dkk, 2009).
Saponin adalah senyawa yang memacu pembentukan kolagen, yaitu
protein struktur yang berperan dalam proses kesembuhan luka (Suratman dkk,
1996). Kemampuan saponin dalam mempercepat penyembuhan luka dibuktikan
oleh Shukla dkk (1999) melalui penggunaan larutan asiaticoside (ekstrak saponin)
0,2% secara topikal dan didapatkan mampu mempercepat penyembuhan luka pada
tikus Spraque dawley. Saponin juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri.
(Robinson,1995 dalam Simanjuntak, 2008).
Tanin memiliki aktivitas antibakteri. Toksisitas tanin dapat merusak
membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan
kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan
suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya
toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama, 2001 dalam Juliantina dkk, 2009).
Menurut Parwata (2008) minyak atsiri sebagai antibakteri pada umumnya
mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol
berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan
hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang
lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol
menyebabkan koagulasi protein dan membran sel mengalami lisis.

2.1.6 Penggunaan Tanaman Sirih Merah


Kegunaan sirih merah di lingkungan masyarakat dalam menyembuhkan
beberapa penyakit seperti, diabetes mellitus, jantung koroner, TBC (tuberkulosis),
asam urat, kanker payudara, kanker darah (leukemia), ambeien, penyakit ginjal,

impotensi, eksim atau eksema atau dermatitis, gatal-gatal, luka bernanah yang
sulit sembuh, karies gigi, batuk, radang pada mata, radang pada gusi dan telinga,
radang prostat, hepatitis, hipertensi, keputihan kronis, demam berdarah dengue
(DBD), penambah nafsu makan, penyakit kelamin ( gonorrhea, sifilis, herpes,
hingga HIV/AIDS), sebagai obat kumur dan luar, dan manfaat bagi kecantikan (
lulur, masker, penuaan dini, penghalus kulit, dan lain-lain).

2.2 Larutan antiseptik


Larutan antiseptik adalah larutan yang dibuat untuk membunuh bakteri
yangn dapat membuat infeksi. Larutan antiseptik banyak dijumpai dikalangan
masyarakat. Biasanya larutan antiseptik digunakan untuk mengobati luka dan
membersihkan kulit akibat bakteri dan jamur. Larutan antiseptik pada umumnya
berbahan dasar dari senyawa kimia, seperti iod dan golongan alkohol. Senyawa
tersebut dapat menekan pertumbuhan bakteri sehingga bakteri tidak dapat tumbuh.
Senyawa golongan alkohol banyak terdapat pada tanaman, seperti daun
sirih merah. Oleh sebab itu, larutan antiseptik dapat dibuat dari bahan alami.
Bahan alami digunakan sebagai bahan dasar pembuatan larutan antiseptik karena
lebih ekonomis dan mengandung efek samping yang relative kecil.
Beberapa bahan-bahan tambahan beserta fungsinya secara umum yang
dapat dijumpai dalam larutan antiseptik :
a) Astringents (zat penciut), menyebabkan pembuluh darah lokal berkontraksi
dengan demikian dapat mengurangi bengkak pada jaringan, contoh: alkohol,
seng klorida, seng asetat, aluminium, dan asam-asam organik, seperti tannic,
asetic, dan asam sitrat.
b) Deterjen, mengurangi tegangan permukaan dengan demikian menyebabkan
bahan-bahan yang terkandung menjadi lebih larut, dan juga dapat
menghancurkan dinding sel bakteri yang menyebabkan bakteri lisis. contoh:
sodium laurel sulfate.
c) Anodynes, meredakan nyeri dan rasa sakit, contoh: turunan fenol, minyak
eukaliptol, minyak watergreen.
d) Aquadest, penyusun persentasi terbesar dari volume larutan.

Larutan antiseptik bekerja berdasarkan berbagai proses kimiawi atau fisika


dengan tujuan guna meniadakan risiko transmisi dari jasad renik. Prosesnya yaitu
denaturasi protein mikroorganisme, pengendapan protein dalam protoplasma.
Oksidasi protein. Mengganggu sistem dan proses enzim. Modifikasi dinding sel
atau membran sitoplasma (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3 Kulit dan fungsinya


Kulit normal memiliki tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan jaringan
subkutan. Epidermis mempunyai sel basal yang terus membelah untuk
mempertahankan lapisan epitel berlapis. Lapisan ini adalah pelindung primer
antara lingkungan luar dan dalam tubuh yaitu mencegah masuknya bakteri atau
senyawa racun, dan bersama dengan dermis, melindungi struktur bagian dalam
dari trauma (Cruse and McPherdran, 1992 dalam Simanjuntak, 2008).
Dermis atau korium tebalnya 3-5 mm merupakan anyaman serabut
kolagen dan elastin, yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit.
Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, gelembung rambut,
kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut saraf. Daerah atas
dari dermis terdapat papillae membentuk lapisan papila yang berhubungan
kedalam epidermis. Lapisan sub kutan (hypodermis) merupakan kelanjutan dari
dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak (Ackerman, 1987;
Ansel, 1989 dalam Simanjuntak, 2009). Kulit mempunyai beberapa fungsi yaitu,
mengatur suhu tubuh, pertahanan, sensasi, ekskresi, imunitas, sintesis vitamin D.

2.4 Absorbsi Obat Melalui Kulit


Tujuan umum penggunaan obat topikal pada terapi adalah untuk
menghasilkan efek terapeutik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis.
Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat
topikal tertentu seperti emoliens (pelembab), antimikroba dan deodorant terutama
bekerja di permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit
atau absorbsi perkutan (Lachman, dkk., 1994 dalam Simanjuntak, 2008).

10

Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit sangat bergantung dari


sifat fisika kimia obat dan juga tergantung pada zat pembawa, pH, dan
konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit dalam keadaan baik
atau terluka, umur kulit, perbedaan spesies, dan kelembaban yang dikandung oleh
kulit (Lachman. dkk, 1994 dalam Simanjuntak, 2008).
2.4.1 Fisiologi Kulit dan Pengaruhnya Terhadap Absorbsi Bahan Obat
Lapisan kulit terluar, stratum korneum yang mati (lapisan tanduk)
merupakan perintang sejati untuk absorbsi obat. Lapisan ini terdiri dari sel-sel
datar, mati, dan berisi zat tanduk, yang kira-kira mengandung 50% keratin dan
sedikit air (10-15%). Sel-sel ini dapat membengkak dan mampu menarik air
sampai 50% sehingga ketebalannya dapat meningkat dari 5-10 menjadi 80 mm.
Keseluruhan stratum korneum diperbaharui setiap 14 hari. Lapisan ini menjadi
muara bagi kelenjar keringat dan folikel rambut, sehingga secara skematik
terdapat empat kemungkinan yang memungkinkan stratum korneum dilintasi yaitu
interseluler, transeluler, transgandular dan transfolikel (Lachman. dkk, 1994
dalam Simanjuntak, 2008).

2.5 Pengertian luka


Luka adalah suatu keadaan kerusakan jaringan dan dapat mengenai
struktur yang lebih dalam dari kulit seperti saraf, otot, atau membran. Menurut
Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip oleh Simanjuntak (2008)
menyebutkan luka, cacat atau kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya
disebabkan oleh: (1) trauma mekanis yang disebabkan karena tergesek, terpotong,
terpukul, tertusuk, terbentur dan terjepit, (2) trauma elektris yang disebabkan
cedera karena listrik dan petir, (3) trauma termis yang disebabkan oleh panas dan
dingin, (4) trauma kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan
basa serta zat iritatif lainnya.
2.5.1 Klasifikasi Luka
Menurut Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip oleh Simanjuntak
(2008) berdasarkan kedalaman jaringan yang dikenai, luka dapat dibagi dua yaitu:
(1) simpleks, bila hanya melibatkan kulit, (2) komplikatum, bila melibatkan kulit

11

dan jaringan dibawahnya. Menurut Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip
oleh Simanjuntak (2008) berdasarkan keadaannya luka dibagi atas dua bagian,
yaitu:
1. Luka tertutup
Dalam hal ini kulit masih utuh, ontohnya (a) vulnus contussum atau luka
memar. Di sini kulit tidak rusak, tetapi pada pembuluh darah sub kutan, sehingga
dapat terjadi hematom, (b) vulnus traumaticum. Terjadi di dalam tubuh, tetapi
tidak tampak dari luar.
2. Luka terbuka.
Dalam keadaan ini kulit sudah robek, contohnya: (a) ekskoriasi atau luka
lecet adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau rata, (b) vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris
yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan, (c) vulnus
laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi tidak beraturan atau compangcamping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul, (d) vulnus punctum
atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya
kedalaman luka lebih dari lebarnya, (e) vulnus caesum atau luka potong adalah
luka yang disebabkan oleh benda tajam yang besar, dengan tepi tajam dan rata, (f)
vulnus sclopetorum atau luka tembak yang terjadi karena tembakan, granat, dan
sebagainya, dengan tepi luka yang tidak teratur, (g) vulnus morsum atau luka gigit
yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia, bentuk luka tergantung
bentuk gigi penggigit.
2.5.2 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan proses terus menerus dari peradangan dan
perbaikan, dimana sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan fibroblast
keluar secara bersamaan dari tempatnya semula dan berinteraksi untuk
memperbaiki kerusakan. Menurut Potter (2006), sifat penyembuhan pada semua
luka sama, dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan, dan luasnya
cedera. Kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau kembali ke
struktur normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi penyembuhan luka.

12

Ada dua jenis luka, yaitu luka jaringan yang hilang dan luka jaringan tanpa yang
hilang. Insisi bedah yang bersih merupakan contoh luka dengan sedikit jaringan
yang hilang. Luka bedah akan menyalami penyembuhan primer. Tepi-tepi luka
akan merapat atau saling berdekatan sehingga mempunyai resiko infeksi yang
rendah. Sebaliknya luka dengan kehilangan sel atau jaringan lebih luas, seperi:
infark, ulcerasi radang, pembentukan abses, atau bahkan luka besar akan
mengalami penyembuhan sekunder. Tepi luka akan tetap terbuka sehingga terisi
oleh jaringan parut. Penyembuhan sekunder memerlukan waktu yang lebih lama
(Potter, 2006). Perawatan luka yang efektif diperlukan untuk membantu proses
penyembuhan luka. Perawatan luka terdiri dari pembersihan luka, debridement
dan pembalutan. Tidak ada standar yang ditetapkan untuk frekuensi dilakukannya
pembersihan luka maupun pembalutan. Hal ini tergantung pada kondisi luka dan
banyaknya sekret (pus) yang dihasilkan.
Pembersihan luka bukan pembedahan biasanya dilakukan sehari sekali.
Pembersihan luka yang terlalu sering mengurangi kemungkinan luka istirahat
sehingga memperlambat kesembuhan (Bachsinar, 1995 dalam Simanjuntak,2008).
Luka yang bertahan lama pada kulit akan menimbulkan trauma dan gangguan
bagi penderitanya sehingga sangatlah penting untuk memperhatikan kecepatan
proses kesembuhan luka itu sendiri. Penyembuhan luka merupakan serangkaian
proses yang kompleks karena merupakan suatu kegiatan bioseluler yang terjadi
secara berurutan dan dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu intrinsik maupun
ekstrinsik (Price dan Wilson, 2006 dalam Simanjuntak, 2008).
Menurut Kumar, dkk (2007) penyembuhan luka merupakan fenomena
kompleks dan melibatkan berbagai proses dengan urutan sebagai berikut: (1)
induksi respon peradangan akut oleh jejas awal, (2) regenerasi sel parenkimal, (3)
migrasi dan proliferasi, baik sel parenkim maupun sel jaringan ikat, (4) sintesis
protein extra cellular matrix (ECM), (5) remodeling unsur parenkim untuk
mengembalikan fungsi jaringan, (6) remodeling jaringan ikat untuk memperoleh
kekuatan luka.
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan faktor lokal yang dapat
mengganggu

penyembuhan

luka.

Faktor

13

sistemik

yang

mempengaruhi

penyembuhan luka antara lain (1) nutrisi, pengaruhnya sangat menonjol terutama
pada defisiensi protein dan vitamin C akan mengganggu sintesis kolagen dan
memperlama penyembuhan luka, (2) status metabolik, misalnya diabetes melitus,
(3) status sirkulasi darah, misalnya arteriosklerosis, tersedianya darah pada tempat
luka tidak cukup, begitu juga pada kelainan vena dimana sirkulasi darah tidak
lancar, (4) hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh anti inflamasi
menghambat pembentukan fibroblas, mengganggu sintesis kolagen.
Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka antara lain :
(1) infeksi, merupakan penyebab tunggal keterlambatan penyembuhan luka, (2)
faktor mekanik misalnya mobilisasi dini, memperlambat penyembuhan luka, (3)
benda asing seperti benang jahitan yang tidak teresorbsi, fragmen baja, kaca,
pecahan tulang merupakan halangan untuk penyembuhan luka, (4) macam, lokasi
dan ukuran besarnya luka mempengaruhi penyembuhan.
2.5.3 Fisiologi Kesembuhan Luka
Menurut Morrison (2004) proses fisiologis kesembuhan luka dapat dibagi
kedalam 4 fase utama, yaitu :
1. Respon inflamasi akut terhadap cidera (durasi fase 0-3 hari) Hemostasis :
vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak, terjadi pada saat
sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk
membentuk sebuah bekuan. Respon jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan
histamine dan mediator lain, sehingga menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh
darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatnya penyediaan darah ke daerah
tersebut sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah
meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke interstisial menyebabkan
oedema local. Peradangan akut merupakan respon langsung tubuh terhadap cidera
atau kematian sel, yang secara makroskopik digambarkan dalam karakteristik atau
tanda-tanda pokok dari peradangan akut yaitu adanya kemerahan, panas, nyeri dan
pembengkakan.
2. Fase destruktif (durasi fase 1-6 hari) Pembersihan terhadap jaringan mati atau
yang mengalami devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf
menelan dan menghancurkan bakteri.

14

3. Fase proliferasi (durasi fase 3-24 hari) Fibroblas meletakan subtansi dasar dan
serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka.
Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang, jaringan yang dibentuk dari gelung
kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar, disebut jaringan
granulasi. Menurut Cotran, (1999) yang dikutip oleh Triyono, (2005) apabila tidak
ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek.
Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak
berguna,

dimulailah

fase

proliferasi.

Fase

proliferasi

ditandai

dengan

pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan


kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, yang
bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra
seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblast muncul
pertama kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke
7.Fibroblast ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan
dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang
diproduksi oleh makrofag dan limfosit. Fibroblast merupakan elemen utama pada
proses perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam
pembentukan jaringan. Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar,
kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka
ekstraseluler yang berguna membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen
pertama kali dideteksi pada hari ke 3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke3. Kolagen terus menumpuk sampai tiga bulan
4. Fase maturasi (durasi fase 24-365 hari) Epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi
jaringan ikat. Dalam setiap cidera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel
pada pinggir luka dan dari sisa-sisa folikel rambut membelah dan mulai
bermigrasi di atas jaringan granula baru.

2.6 Gangguan Kesembuhan Luka


Kesembuhan luka dapat terganggu disebabkan oleh dua faktor : faktor
endogen dan eksogen (Syamsuhidayat dan Jong, 1997 dalam Simanjuntak, 2008).
Penyebab endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut

15

koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan
menghambat kesembuhan luka sebab hemeostasis merupakan titik tolak dan dasar
fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi (Syamsuhidayat dan
Jong, 1997 dalam Simanjuntak, 2008).
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun, misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi kesembuhan luka. Pengaruh setempat
seperti hematom, benda asing, jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis serta
adanya infeksi sangat menghambat kesembuhan luka (Syamsuhidayat dan Jong,
1997 dalam Simanjuntak, 2008). Infeksi merupakan penyebab tunggal terpenting
melambatnya penyembuhan, dengan memperpanjang fase peradangan dan
berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal (Kumar dkk, 2007).

2.7 Staphylococcus aureus


Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Salle (1961) dalam Dianasari
(2009) adalah :
Kingdom

: Bacteria

Divisio

: Protophyta

Subdivisio

: Schizomycetea

Classis

: Schizomycetes

Ordo

: Eubacteriales

Familia

: Micrococcaceae

Genus

: Staphylococcus

Species

: Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat


dengan diameter 0,8-1 mm, dapat berdiri sendiri, berpasangan membentuk rantai
atau berkelompok tidak teratur. Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada
kebanyakan pembenihan bakteriologik, dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik.

16

Staphylococcus aureus tumbuh paling cepat pada suhu kamar 37C, paling baik
membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25C) dan pada media dengan pH 7,27,4. Koloni pada perbenihan padat berbentuk bulat, halus menonjol, dan berwarna
abu-abu sampai kuning emas tua (Jawetz dkk., 1996).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri koagulase positif, hal ini
membedakannya dengan spesies lain. Staphylococcus aureus merupakan patogen
utama bagi manusia dan hewan, sering menghemolisa darah, mengkoagulasi
plasma,

serta

menghasilkan

berbagai

enzim

ekstraseluler

dan

toksin.

Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap banyak zat antimikroba sehingga


menimbulkan masalah pengobatan yang sulit (Jawetz dkk., 1996).

2.8 Antimikroba
Zat antimikroba dapat bersifat bakteriostatik yaitu bersifat menghambat
perkembangbiakan bakteri atau bakteriosidal yang memiliki sifat mematikan
bakteri (Jawetz dkk, 1996). Kerja bakterisidal berbeda dari bakteriostatis dalam
hal tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu bakteri yang dimatikan tidak dapat lagi
berkembang biak, meskipun sudah tidak terkena zat itu lagi (Jawetz dkk, 1996).

2.9 Bahan Tambahan Larutan Antiseptik


Dalam pembuatan larutan antiseptik ekstrak daun sirih merah ini
menggunakan zat-zat tambahan sebagai berikut :
2.9.1 Disodium Hidrogen Posfat
Disodium Hidrogen Posfat tidak kompatibel dengan alkaloid, antipyrine,
chloral hydrate, timbal asetat, pirogalol, resorsinol dan kalsium glukonat, dan
ciprofloxacin. Interaksi antara kalsium dan fosfat, yang mengarah pada
pembentukan larut kalsium-fosfat mengendap, mungkin dalam parenteral
admixtures.
Bentuk anhidrat dari Disodium Hidrogen Posfat bersifat higroskopis. Ketika
dipanaskan sampai 40oC, sekering dodekahidrat, pada 100oC kehilangan air
kristalisasi, dan pada panas (sekitar 240oC) itu diubah menjadi pirofosfat tersebut,
Na4P2O7. Larutan berair dari Disodium Hidrogen Posfat stabil dan dapat

17

disterilkan dengan autoklaf. Bahan massal harus disimpan dalam wadah kedap
udara. di tempat yang sejuk dan kering.
Kelarutan sangat mudah larut dalam air. Memiliki fungsi sebagai larutan
penyangga (HOPE ed 5, 694).
2.9.2 Asam Sitrat
Asam sitrat (C6H8O7) merupakan hablur bening, tidak berwarna atau serbuk
hablur granul sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa
sangat asam. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam
etanol, agak sukar larut dalam eter (FI IV, 48). Asam sitrat memiliki kelarutan
yang tinggi dalam air dan mudah diperoleh dalam bentuk granular (Rohdiana,
2002).
2.9.3 Sodium Lauril Sulfat
Sodium lauril sulfat adalah campuran dari natrium alkil sulfat, sebagian
besar mengandung natrium lauril sulfat, CH3(CH2)10CH2OSO3Na. Kandungan
campuran natrium klorida dan natrium sulfat tidak lebih dari 8,0 %. Merupakan
hablur, kecil, berwarna putih atau kuning muda, agak berbau khas. Memiliki
kelarutan yang mudah larut dalam air (FI IV, 595).
2.9.4 Aquadest
Akuades adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air
murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik
atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih bebas kotoran maupun mikroba. Air
murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air terkecuali untuk
parenteral, akuades tidak dapat digunakan (Budiman, Muhammad Haqqi. 2008).

18

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan adalah alat pengaduk, corong, kertas saring,
evaporator, Erlenmeyer, timbangan analitik, gelas piala, gelas ukur, alat
maserator, rotary evaporator, pH meter atau pH universal.

3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi bahan utama dan
bahan tambahan serta bahan analisis. Bahan utama yang digunakan adalah
simplisia daun sirih. Bahan tambahan yang digunakan adalah disodium hidrogen
posfat, asam sitrat, sodium lauryl sulfat, dan aquadest. Bahan analisis yang
digunakan adalah etanol 70%, N-heksan, dan reagen untuk keperluan skrining
fitokimia.

3.2 Metode Percobaan


3.2.1 Determinasi Bahan
Bahan adalah daun sirih merah yang berasal dari Kp.Angkrek-Cibatu,
Kabupaten Garut yang dideterminasi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung.
3.2.2 Pembuatan Serbuk Simplisia
Daun yang akan diolah menjadi serbuk daun sirih merah dipilih yang
segar, sehat dan berkualitas. Daun yang demikian ialah daun yang tidak busuk,
caat, atau pecah, juga bebas hama penyakit. Daun dikumpulkan, dilakukan sortasi
basah, kemudian dicuci dengan air bersih lalu ditiriskan, dan dikeringkan dibawah
sinar matahari. Simplisia yang telah kering, dilakukan sortasi kering dan diserbuk
dengan menggunakan blender kemudian diayak.

19

3.2.3 Pemeriksaan Mutu Serbuk


Pemeriksaan mutu serbuk meliputi: identifikasi serbuk yaitu pemeriksaan
organoleptis meliputi bau, bentuk dan warna, pemeriksaan kadar air serbuk
(dengan menggunakan metode destilasi toluene), dan skrining fitokimia.
3.2.4

Skrining fitokimia

3.2.4.1 Pemeriksaan senyawa alkaloid


Simplisia ditambah amonia encer lalu digerus dalam mortar. Tambahkan
beberapa mililiter kloroform sambil terus digerus. Filtrat disaring dan dikocok
dengan asam klorida 2N. Lapisan asam dipisahkan kemudian dibagi menjadi 3
bagian. Bagian pertama digunakan sebagai blangko. Bagian kedua ditetesi dengan
larutan pereaksi Mayer dan bagian ketiga ditetesi pereaksi Bouchardat.
Terbentuknya endapan putih pada pereaksi Mayer dan endapan jingga coklat pada
penambahan pereaksi Bouchardat menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid
(Farnsworth, 1966).
3.2.4.2 Pemeriksaan senyawa saponin
Simplisia ditambahkan air dan digerus dalam mortar hingga lumat. Hasil
penggerusan dipindahkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan lagi sedikit air
dan dipanaskan. Setelah dingin tabung dikocok kuat selama beberapa menit.
Pembentukan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm yang persisten selama
beberapa menit dan tidak hilang dengan penambahan asam menunjukkan adanya
saponin (Farnsworth, 1966).
3.2.4.3 Pemeriksaan senyawa tanin dan polifenol
Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan di atas penangas kemudian
disaring. Filtrat dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama ditetesi dengan pereaksi
besi (III) klorida. Terbentuknya warna biru hitam menunjukkan adanya tanin dan
polifenolat. Bagian kedua ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya endapan putih
menunjukkan bahwa dalam simplisia terdapat tanin (Farnsworth, 1966).
3.2.4.4 Pemeriksaan senyawa flavonoid
Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan dengan air di atas
penangas kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Setelah itu tambahkan serbuk Zn, larutan alkohol:asam

20

klorida (1:1) dan amil alkohol ke dalam filtrat. Campuran kemudian dikocok kuatkuat. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah, kuning atau
jingga yang dapat ditarik oleh amil alkohol (Soetarno, 1997; Farnsworth, 1966).
3.2.4.5 Pemeriksaan senyawa kuinon
Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan dengan air di atas
penangas kemudian disaring. Filtrat ditetesi dengan larutan NaOH. Terbentuknya
warna kuning hingga merah menunjukkan adanya senyawa kelompok kuinon
(Farnsworth, 1966).
3.2.4.6 Pemeriksaan senyawa triterpenoid dan steroid
Simplisia disari dengan eter. Sari eter kemudian diuapkan hingga kering.
Pada residu diteteskan pereaksi Lieberman-Burchard. Penambahan pereaksi
dilakuakan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu menunjukkan bahwa
dalam simplisia terkandung senyawa triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna
hijau biru menunjukkan adanya kelompok steroid
3.2.4.7 Pemeriksaan senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid
Simplisia disari dengan eter, sari eter kemudian diuapkan hingga kering.
Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid-asam sulfat atau vanilin-asam sulfat.
Penambahan reaksi dilakukan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu
menunjukkan adanya senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid.

3.2.5 Pembuatan Ekstrak secara Maserasi


Serbuk daun sirih merah 500 gram dimaserasi dengan pelarut N-heksan
sebanyak 8 kali dengan penggantian pelarut. Pelarut N-heksan diperlukan untuk
menghilangkan lemak daun dan klorofil yang tidak diperlukan. Selanjutnya
simplisia di keringkan selama satu hari, dan dilanjutkan maserasi dengan pelarut
etanol 70% selama 3 x 24 jam dengan penggantian pelarut. Maserat yang
diperoleh dengan pelarut etanol 70% kemudian dievaporasi dengan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 40OC sehingga diperoleh ekstrak kental.

21

3.2.6 Pemeriksaan Kualitas Ekstrak Kental


3.2.6.1 Pemeriksaan Organoleptis
Dilakukan

pemeriksaan

menggunakan

panca

indera

untuk

mendeskripsikan bentuk, warna, dan bau ekstrak (Depkes, 2000).


3.2.6.2 Uji Kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluene).
Pada metode destilasi harus menggunakan pelarut yang mempunyai massa jenis
lebih ringan daripada air dan mempunyai titik didih lebih besar daripada air,
contohnya toluene. Air yang masuk ke dalam kondensor harus mengalir. Pada
metode ini, sampel dan pelarut dimasukkan dalam labu sampai sampel terendam
kemudian dipanaskan sehingga terjadi penguapan. Uap yang terbentuk akan naik
dan masuk ke kondensor yang mengkondensasi uap sehingga akan mencair
kembali dan ditampung untuk mengukur kadar airnya.
3.2.6.3 Penetapan Bobot Jenis
Piknometer ditimbang dalam keadaan kosong. Kemudian piknometer diisi
penuh dengan air dan ditimbang, sehingga kerapatan air dapat ditetapkan.
Kemudian piknometer dikosongkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu
ditimbang sehingga kerapatan ekstrak ditetapkan.
3.2.6.4 Kadar Abu
Sebanyak 2 gram ekstrak ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus
platina atau silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar
perlahan-lahan sampai arang habis. Kemudian ditimbang sampai diperoleh bobot
tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.2.6.5 Kadar Abu Tidak Larut Asam
Abu yang telah diperoleh ddaam penetapan abu dididihkan dengan 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,
dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu
yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang dikeringkan di udara.

22

3.2.6.6 Kadar Sari Larut Air


Sebanyak 5 gram ekstrak, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air
kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 100 ml) dalam labu bersumbat
sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam,
kemudian disaring. Filtrat sebanyak 20 ml diuapkan sampai kering dalam cawan
penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan
pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3.2.6.7 Kadar Sari Larut Etanol
Sebanyak 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol
(95%) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sebanyak 20 ml filtrat di uapkan
sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan
dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap. Kadar dalam
persen sari yang larut dalam etanol (95%) dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.

3.2.7 Preformulasi
Pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang sifat fisika kimia zat aktif
dan zat tambahan serta ketercampuran dari bahan-bahan yang dugunakan.

3.2.8 Pengumpulan Bahan


Pada tahap ini dilakukan pengumpulan bahan untuk pembuatan larutan
antiseptik yang terdiri dari ekstrak daun sirih merah, disodium hydrogen posfat,
asam sitrat, sodium lauryl sulfat, dan aquadest.

23

3.2.9 Formulasi
Penentuan formulasi larutan antiseptik yang digunakan dalam percobaan
ini berdasar pada Drug Formulation Manual, yaitu :
Bahan
Ekstrak daun sirih
Disodium Hidrogen Posfat
Asam Sitrat
Sodium Lauril Sulfat
Aquadest

F1
0%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL

F2
5%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL

F3
10%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL

F4
15%
3,83 %
1,1 %
0,5 %
add 100 mL

Prosedur pembuatan :
1. Ambil 30 mL dari 100 mL aquadest. Tambahkan Na2HPO4 sedikit demi
sedikit diaduk sampai melarut. Kemudian tambahkan asam sitrat sedikit demi
sedikit diaduk-aduk sampai hancur dan terlarut. Cek pH dan harus berada
dalam rentang 4-6.
2. Ambil lagi 30 mL aquadest tambahkan ekstrak daun sirih dengan perlahan dan
sedikit demi sedikit dengan konstan pengadukan. Pastikan ekstrak telah
terlarut sempurna.
3. Pindahkan larutan ekstrak ke wadah larutan peyangga. Aduk larutan selama
30 menit.
4. Buat larutan menjadi 70 mL dengan aquadest.
5. Ambil 10 mL aqua destilata ke bejana/wadah yang lain dan tambahkan
Sodium Lauryl Sulfat, aduk sampai larut sempurna. Pindahkan larutan ini ke
wadah utama.
6. Jadikan larutan menjadi 100 mL dan aduk dengan sempurna selama 20 menit.
7. Saring menggunakna mesh 100 bahan stainless
8. Pastikan pH 4-6.
9. Kirim ke tempat quality control. Untuk evaluasi.

24

3.2.10 Evaluasi Sediaan Larutan


3.2.10.1 Organoleptis
Meliputi warna, bau, bentuk atau kekeruhan pada penyimpanan masingmasing 12 jam.
3.2.10.2 Volume Terpindahkan (FI IV, <1089>)
Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30 wadah,
dan selanjutnya ikuti prosedur berikut untuk bentuk sediaan tersebut. Kocok isi
dari 10 wadah satu persatu.
Prosedur:
Tuang isi perlahan-lahan dari tiap wadah ke dalam gelas ukur kering
terpisah dengan kapasitas gelas ukur tidak lebih dari dua setengah kali volume
yang diukur dan telah dikalibrasi, secara hati-hati untuk menghindarkan
pembentukkan gelembung udaa pada waktu penuangan dan diamkan selama tidak
lebih dari 30 menit.
Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume dari tiap
campuran: volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang
dari 100 %, dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95 % dari volume
yang dinyatakan pada etiket. Jika A adalah volume rata-rata kurang dari 100 %
dari yang tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satu wadahpun volumenya
kurang dari 95 % dari volume yang tertera pada etiket, atau B tidak lebih dari satu
wadah volume kurang dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % dari volume yang
tertera pada etiket, lakukan pengujian terdadap 20 wadah tambahan. Volume ratarata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100 % dari volume
yang tertera pada etiket, dan tidak lebih dari satu dari 30 wadah volume kurang
dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % seperti yang tertera pada etiket. (Voigt,
R. 1995).
3.2.10.3 Pemeriksaan pH
Sediaan larutan diukur pH-nya menggunakan pH meter.

25

Anda mungkin juga menyukai