Anda di halaman 1dari 9

Terapi Intravena

Secara sederhana terapi intravena diartikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan
memasukkan sebuah pipa plastik (kateter) yang lunak ke dalam pembuluh darah vena untuk
tujuan pengobatan (Rocca dan E.Otto, 1998). Sementara itu Schaffer dan Garzon (2000)
berpendapat bahwa terapi intravena merupakan upaya pengobatan yang dilakukan dengan cara
memasukkan cairan dan elektrolit, zat nutrisi dan obat-obatan melalui pembuluh darah balik
untuk waktu dan jumlah tertentu dengan menggunakan kateter intravena. Tindakan ini oleh
Graber (2010) dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit, nutrisi
dan sebagai jalur pemberian obat intravena
Terapi intravena diberikan pada pasien syok hipovolemik akibat dehidrasi atau pada perdarahan
yang hebat, syok kardiogenik akibat kegagalan sirkulasi, kegagalan asupan secara oral dan
enteral, yang akan dilakukan transfusi darah baik sebelum dan sesudah operasi, penanganan
intoksikasi dan pada pasien yang akan dilakukan khemoterapi (Rocca & E.Otto, 1998;
Muhammad & Keng, 2005)
Anatomi pembuluh darah vena
1. Struktur pembuluh darah vena terdiri dari tiga lapisan
yaitu tunika intima (lapisan paling dalam), tunika media
(lapisan tengah), dan tunika adventitia (lapisan paling
luar). Pada setiap lapisan mempunyai struktur dan fungsi
yang berbeda.
2. Tunika intima merupakan lapisan endotel tunggal, lembut,
dan datar sepanjang pembuluh darah, jaringan
penghubung sub endotel lebih pendek dan dasar
membran yang luas. Tunika media mengandung otot yang
lembut dan jaringan serabut lain yang tersusun melingkari
seluruh pembuluh darah dengan serabut saraf untuk
vasodilatasi dan vasokontriksi. Tunika adventitia adalah

jaringan penyambung yang berserabut, tersusun


sepanjang pembuluh darah, mengandung vasa vasaron,
saraf simpatik dan saraf aferen.
Prosedur Pemasangan Kateter Intravena
Persiapan Pasien
Semua tindakan invasif yang akan dilakukan terlebih dahulu dijelaskan hal-hal terkait prosedur
tindakan tersebut misalnya menjelaskan tentang tujuan pemasangan, manfaat pemasangan,
komplikasi yang mungkin ditimbulkan, pencegahan dan penanganannya sehingga pasien dan
keluarganya dapat memahami pentingnya tindakan tersebut.
Persiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang harus dipersiapkan untuk pemasangan kateter intravena adalah :
1. Infus set steril dalam tempatnya, kasa steril dalam
tempatnya, korentang, sarung tangan steril, gunting
verband, nierbekken, pengalas, kom steril, Spalk (untuk
pasien anak untuk meminimalisir pergerakan), standar
infus, dan alat dokumentasi seperti tulis menulis (Rocca &
E.Otto, 1998; Muhammad & Keng , 2005).
2. Kateter intravena, ukurannya harus disesuaikan dengan
tujuan pemasangan, jenis kateter sebaiknya yang lentur
untuk meminimalisir flebitis, ukuran yang lasim yaitu 1-3
inchi. Kateter yang pendek dan diameter yang lebih lebar
memungkinkan aliran adequat, sehingga sangat efektif
untuk pemberian cairan resusitasi. Pada terapi cairan
dengan osmolaritas tinggi (tidak > dari 900 mOsm/L)
sebaiknya kateter yang digunakan adalah no.20G-18G
(INS, 2006; Dougherty and Waston, 2008)
3. Antiseptik ; larutan chlorhexidine gluconat 2-4% tunggal
atau kombinasi dengan alkohol 70%, Kapas alkohol 70%
dalam tempatnya atau Iodine pavidon 10%.
4. Plester, untuk fiksasi kateter intravena sebaiknya
menggunakan plester transfarant untuk mempermudah
monitoring flebitis dan komplikasi lainnya (Camp Sorrell,
2004; Scale, 2005),
5. Karet pembendung atau tourniqet, alat yang digunakan
untuk membendung aliran vena sehingga mempermudah

pemilihan vena dan pemsangan kateter intravena


(Weinstein, 2007).
6. Cairan atau larutan yang akan diberikan, pastikan jenis
cairan yang akan diberikan sudah sesuai dengan rencana
pengobatan, periksa tanggal kadaluarsa, perhatikan
rekomendasi kecepatan aliran atau tetesan, khusus untuk
cairan hipertonik dan cairan nutrisi parenteral agar
memperhatikan tingkat osmolaritas kandungan
elektrolitnya.
Pemilihan pembuluh darah vena
Rocca dan E.Otto, (1998) dalam bukunya menganjurkan agar sebelum melakukan pemasangan
kateter intravena terlebih dahulu mempelajari atau memahami tujuan dari pemasangan kateter
intravena. Pemilihan vena yang tepat dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasien,
riwayat pemasangan sebelumnya, lokasi pemasangan sebaiknya tidak pada anggota gerak yang
dominan sehingga tidak menggangu aktivitas sehari-hari atau tidak mempengaruhi tindakan
yang akan dilakukan, pada saat melakukan palpasi vena agar benar-benar menilai kondisi vena
apakah memungkinkan untuk pemasangan kateter di area tersebut (Wise et al.,2001; Dougherty,
2006; Gabries, 2008; Scale, 2008a).
Vena distal atau vena metakarpal paling sering digunakan akan tetapi untuk pemberian larutan
osmolaritas yang lebih tinggi sebaiknya vena ini tidak digunakan untuk meminimalisir komplikasi
seperti flebitis dan thromboflebitis. Vena sefalika, mediana dan basilika adalah vena-vena yang
dianjurkan untuk jalur terapi cairan dengan osmolaritas tinggi seperti pemberian obat-obatan
khemoterapi, cairan hipertonis, dan nutrisi parenteral perifer (Camp Sorrell, 2004; INS, 2006).
Terlepas dari hal-hal diatas, yang perlu diingat bahwa pemilihan vena yang cukup besar dan
lurus memungkinkan aliran darah yang adekuat (Griffth, 2007; Dougherty, 2008a; Scale, 2008a).

Rocca dan E.Otto, (1998) menganjurkan agar vena yang telah digunakan sebelumnya, vena
yang flebitis, vena yang sklerotik sebaiknya tidak digunakan lagi untuk menghindari cedera vena
berulang atau memperburuk kerusakan dari vena itu sendiri. Hindari vena yang terletak pada
area fleksi atau pergelangan tangan karena akan mempercepat timbulnya flebitis. Vena pada
ektremitas bawah tidak menjadi pilihan utama pada pemasangan kateter intravena karena
sirkulasi yang cenderung lambat dan resiko terjadinya komplikasi seperti emboli dan
thromboflebitis atau deep vein thrombosis (DVT) lebih sering terjadi (Dougherty and Waston,
2008; Scale, 2008a). Pada pasien dengan diabetes tidak dianjurkan pemasangan kateter
intravena di ekstremitas bawah
Pada pasien dengan kelemahan atau kelumpuhan anggota gerak setelah serangan stroke agar
pemasangan tidak pada daerah yang lumpuh sehingga proses rehabilitasi tidak terganggu.

Demikian pula pada pasien dengan kontrol darah yang ketat agar menghindari vena yang
digunakan untuk pengambilan sampel darah (INS, 2006; Dougherty, 2008a).

Persiapan disekitar area insersi kateter intravena


Pasang turniqet untuk melihat atau memilih vena, setelah area pemasangan ditentukan lepaskan
kembali turniqet. Selanjutnya area pemasangan kateter sebaiknya dibersihkan dari kotoran dan
mikroorganisme yang melengket di kulit. Jika terdapat rambut yang tebal pada area insersi
sebaiknya dipotong menggunakan gunting atau pisau cukur (Dougherty and Waston, 2008),
Pemasangan kateter intravena
1. Setelah area sekitar insersi dibersihkan lakukan
disenfeksi menggunakan larutan antibakteri dengan tehnik
aseptik (INS, 2006; Pratt et al., 2007; Dougherty and
Waston, 2008). Larutan antimikroba yang digunakan
sebaiknya mengandung 2% chlorhexidine tunggal atau
kombinasi dengan alkohol 70% (Maki et al., 1991; Pratt et
al., 2007). Lakukan disenfeksi selama kurang lebih 30
detik dengan putaran dari pusat keluar, biarkan daerah
yang telah didisenfeksi kering sekitar 30 detik sebelum
pemasangan kateter intravena dilakukan (Pratt et al.,
2007).
2. Pemasangan kateter harus dengan tangan yang bersih,
hindari memukul area vena karena dapat merangsang
repleks kontriksi vena. Jangan memegang area yang
sudah didisenfeksi, pasang kembali turniqet, gunakan
sarung tangan steril, ambil kateter intravena yang telah
disiapkan, posisi kateter intravena dengan bevel
menghadap keatas, lakukan traksi kulit dengan tangan ibu
jari tangan yang tidak dominan, pertahankan traksi kulit
untuk mencegah pergerakan vena saat kateter
dimasukkan. Masukkan kateter hingga menembus kulit
dan subkutan dengan sudut kemiringan 10-40 derajat,
pada saat kateter intravena menembus vena akan terasa
seperti letupan dan darah akan mengisi tubin kateter,
dorong kateter sekitar 2 mm ke dalam vena (hampir
semua kateter intravena mempunyai panjang distance
ensure antara stylet dan kanula sekitar 2 mm). Masukkan
kateter hingga full ke dalam vena dengan tehnik: 1) tarik
stylet secara perlahan kemudian dorong kateter, tehnik ini
sering disebut hooded Technique ; 2) tahan stylet,

masukkan kanula dengan mendorong kanula hingga full


menggunakan tangan yang tidak dominan, tehnik ini
disebut over the needle technique. Jangan pernah
memasukkan kembali stylet ke dalam kanula karena
dapat merusak kanula dan masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Darah akan mengisi kanula menandakan telah
benar-benar masuk vena. Tekan pada area ujung kanula,
lepaskan turniqet, hubungankan kateter dengan infus set
pastikan benar-benar kuat dan aman (Rocca & E.Otto,
1998; Muhammad dan Keng, 2005).
3. Piksasi kateter intravena dengan baik, jangan terlalu kuat
atau terlalu longgar. Piksasi yang terlalu kuat dan
melingkar akan menghambat aliran darah pada
ekstremitas, sementara piksasi yang longgar dapat
menyebabkan kebocoran dan kateter mudah tercabut.
Bahan yang digunakan untuk piksasi sebaiknya plester
transfaran agar kontrol flebitis menjadi lebih mudah dan
efektif (Gabriel, 2008; Pratt et al., 2007) Masukkan cairan
sebanyak 5 ml sampai 10 ml untuk mencegah aliran balik
darah ke dalam infus set. Setelah pemasangan kateter
sebaiknya diobservasi setiap hari. Beberapa literatur
merekomendasikan pengantian kateter intravena setiap
72-96 jam akan tetapi jika ada tanda kemerahan,
bengkak, hangat pada area insersi, nyeri sepanjang
kanula agar segera melepas kateter intravena dan
pertimbangkan pemasangan ulang di area yang lain.
Dokumentasikan dengan lengkap: Siapa yang memasang,
vena pemasangan, tanggal dan jam, ukuran dan tipe
kanula, dan verban yang digunakan.
Perawatan kateter intravena
1.

Perawatan area insersi kateter intravena. Area sekitar


insersi kateter sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap
hari untuk memonitorin timbulnya komplikasi. Komplikasi
yang dimaksud seperti flebitis, infiltrasi, ekstravasasi,
thromboflebitis, dan infeksi (Dougherty, 2006; Gabriel,
2006). Penggantian balutan dengan kasa steril dianjurkan
setiap hari bilamana tidak menggunakan verband
transfaran (Dougherty, 2006). Bila mana terjadi nyeri
tekan, hangat sekitar area insersi, diikuti dengan gejala

lokal atau infeksi sistemik, dengan atau tanpa pus


verband harus dibuang (Pratt et al., 2007)
2. Penggantian kateter intravena. Penggantian kateter
intravena perifer dilakukan setiap 72-96 jam atau segera
setelah timbul tanda-tanda komplikasi, pasang kembali
jika masih diperlukan untuk pengobatan dan perawatan
(DH, 2007c). Pemasangan kateter intravena dalam situasi
kegawatan sebaiknya dilakukan penggantian dalam 24
jam setelah pasien dinyatakan sudah stabil.
3. Nilai tanda-tanda flebitis minimal sekali dalam sehari
menggunakan skala Andrew Jackson (1998).
4. Pemeliharaan kecepatan aliran tetesan cairan. Pantau
kepatenan aliran atau kecepatan tetesan cairan, cairan
yang terlalu lambat memungkinkan terjadinya
penyumbatan atau bekuan darah pada ujung kateter.

DAFTAR PUSTAKA

Agur, Anne, Dellay, & Arthur. (2009). Grant's Atlas of Anatomy (12 ed.). Tenessa: Lippicott William &
Wilkins.
Bodoky A, Zbinden A, Muller J, Leutenegger A (1980). Peripheral venous tolerance of hyperosmolar
infusion solutions. Helv Chir Acta, vol 47:151-156.
Comberg HU, Senninger N, Wagner M. (1984) Peripheral venous tolerance of a hyperosmolar basic
solution. Infusionsther Klin Ernahr, vol 11:262-265.
Darmawan (2007) Terapi Cairan Parenteral, Majalah Farmacia Artikel, Edisi April, Vol.6 No.9
Department of Health (2007c) Saving lives: reducing infection, delivering clean and safe care. High
impact intervention No 1. Central venous catheter care bundle, London: DH.
Doengoes, Moorhouse, dan Gleissler, (2003) Rencana asuhan keperawatan, edisi 3 Penerbit : EGC
Dougherty L (2006) Central venous access devices. Care and management, Oxford: Blackwell
Publishing.

Dougherty L (2008a) Obtaining peripheral access, in Dougherty L and Lamb J (editors) Intravenous
therapy in nursing practice (2nd edition), Oxford: Blackwell Publishing.
Dougherty L (2008b) Infiltration and Extravasation, British Journal of Nursing, vol 17(14), pp.896-901.
Ery Leksana (2010) Terapi Cairan dan Darah, Bagian Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP
Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Gabriel J (2006) Vascular access, in Grundy M (editor) Nursing in Haematology Oncology, Edinburgh:
Balilliere Tindall Elsevier.
Gabriel J (2008) Long-term central venous access, in Dougherty L and Lamb J (editors) Intravenous
therapy in nursing practice, Oxford: Blackwell Publishing.
Gabriel J, Bravery K, Dougherty L, Kayley J, Malster M, Scales K (2005) vascular access: indications
and implications for patient care, Nursing Standard, 19 (26), March, pp.45-54.
Gazitua R, Wilson K, Bistrian BR, Blackburn GL (1979). Factors determining peripheral vein tolerance
to amino acid infusions. Arch Surg;114:897-900.
Graber, M. A. (2010). Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Jakarta: Farmedia.
Gura Kathleen M (2009). Is There Still a Role for Peripheral Parenteral Nutrition, Nutr Clin Pract vol. 24
no. 6 709-717
Hartanto WW (2007). Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif, Bagian Farmakologi Klinik dan
Terapeutik. FK Unpad
Ingram, and Lavery (2005) Peripheral intravenous therapy: key risks and implications for practice,
Nursing Standar Royal, 27 Aug 2;19(46):55-64, diakses tanggal 20 Oktober 2011, dari
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16097199 >
Kane KF, Cologiovanni L, McKiernan J, et al. High osmolality feedings do not increase the incidence of
thrombophlebitis during peripheral i.v. nutrition. JPEN J Parenter Enteral Nutr 1996;20:194-197.
Lee Angela (2005) Pediatric/Neonatal IV Therapy, Intravenous Nurses society, diakses tanggal 10
Oktober 2011, dari
<http://www.childrensal.org/workfiles/Clinical_Services/Nursing_Ed/PediatricNeonataIVTherapya
ndtest.pdf >
Machado, Pedreira, and Chaud (2005) Prospective, randomized and controlled trial on the dwell time of
peripheral intravenous catheters in children, according to three dressing regimens, Revista
Latino Americana Enfermagem, May-Jun;13(3):291-298,
Macklin D (2003) Phlebitis A painful complication of peripheral IV catheterisation that may be
prevented, American Journals of Nursing, 103 (2), pp.55-60.

Maddox RR, Rush DR, Rapp RP, et al. Double blind study to investigate methods to prevent
cephalothin-induced phlebitis. Am J HospPharm 1977;34:29-34.
Madsen, H., & H.Frankel, E. (2006). The hitchhiker's guide to parenteral nutrition manajemen for adult
patients. Nutrition issues in gastroenterology, 46-68, diakses tanggal 20 Oktober 2010, dari
<http://www.medicine.virginia.edu/clinical/departments/medicine/divisions/digestivehealth/nutrition-support-team/nutrition-articles/MadsenArticle.pdf >
Maki D (2002) The promise of novel technology for prevention of intravascular device- related
bloodstream infection, NAVAN Conference presentation, San Diego, diakses tanggal 20 Oktober
2011, dari<http://cid.oxfordjournals.org/content/34/10/1362.full.pdf >
Mattioli S, Zanello M, Lerro MF, et al. (1989) Peripheral venous nutrition in surgical patients:
techniques, indications and results. Ital J Surg Sci; vol 19 page:225-231.
Muhammad Hartini dan Keng Soon Lean (2005) Prosedur manual ejururawatan-intervensi terapeutik,
Universitas Sains Malaysia, Page.99-109.
Oishi LA (2001) The necessity of routinely replacing peripheral intravenous catheters in hospitalized
children, Journals of Intravenous Nursing , May-Jun;24(3):174-191
Pratt RJ, Pellowe C, Wilson JA, Loveday HP, Harper PJ, Jones SRLJ,
McDougall C and Wilcox MH (2007) epic 2: national evidence-based guidelines for preventing
healthcare-associated infections in NHS hospitals in England, Journal of Hospital Infection, 655
(suppl): S1-S64.
Rocca, J. C., & E.Otto, S. (1998). Terapi Intravena (2 ed.). (Setiawan, Penyunt., & A. Maryunani,
Penerj.) Jakarta: EGC.
Scales K (2005) Vascular access: a guide to peripheral venous cannulation, Nursing Standard, 19 (49),
pp.48-52, diakses tanggal 20 Oktober 2011, dari < http://www.medifix.org/Files/ivc guide to
cannulate.pdf >
Seeley, Stephens, & Tate. (2004). Anatomy and Physiolog y (6th edition). America: The McGraw
Hill.Camp [e-book], diakses tanggal 24 November 2010, dari <www.mhhe.com/.seley6.>
Smeltzer dan Bare (2002) Buku Ajar Keperawatan Ilmu Bedah, Edisi 8 Volume 1, EGC, Jakarta.
Sorrell D (2004) Access device guidelines, recommendations for nursing practice and education (2nd
edition), Oncology Nursing Society, diakses tanggal 20 Oktober 2011,
<https://ons.metapress.com/content/m072635r83v5t801/resource-secured/?target=fulltext.pdf >
Weinstein SM (2007) Plumers principles and practice of infusion therapy (8th edition), Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkin [e-book], diakses tanggal 24 Oktober 2011, dari<
http://www.vincesaliba.com/IV_Therapy/RCN_IV_Standards.pdf >

Weise, Stijnen, and Broek (2010) Should in-line filters be used in peripheral intravenous catheters to
prevent infusion-related phlebitis? a systematic review of randomized controlled trial, Anesthesia
Patient Safety Foundation.
Wise M, Richardson D and Lum P (2001) Catheter tip position: a sign of things to come, Journal of
Vascular Access Devices, Vol 6(2), pp.18-27.

Maki et al., (1991) Prospective randomised trial of


povidone-iodine, alcohol, and chlorhexidine for
prevention of infection associated with central
venous and arterial catheters, The Lancet,
volume 338, pages 339-343.
Chaiyakkunapruk et a., (2002) Chlorhexidine
Compared with Povidone-Iodine Solution for
Vascular CatheterSite Care, Annals of internal
Medicine, vol. 136 no.11 pp.792-801.
(The Lancet, Meyler's Side Effects of Drugs: The International Encyclopedia of Adverse Drug Reactions
and Interactions (Fifteenth Edition), 2006, Pages 714-720

Diposkan 7th March 2013 oleh Uchie


Label: Terapi Cairan dan Intravena

Tambahkan komentar
Add comment

Anda mungkin juga menyukai