Edisi3 Preview Rev4small1 PDF
Edisi3 Preview Rev4small1 PDF
tataruang
buletin
Kewajiban Kita
Perubahan Iklim:
Bencana Saat Ini
Green Buiding:
P RO F I L
BARCODE
BKPRN
P RO F I L
Ir. Rachmat
Witoelar
PENANGGUNG JAWAB
Penasehat Redaksi
pemimpin redaksi
sekapur
sirih
redaktur pelaksana
Sekretaris Redaksi
staf redaksi
Koordinasi Produksi
Angger Hassanah, SH
Staf Produksi
Alwirdan BE
Koordinasi Sirkulasi
Supriyono S.Sos
Staf Sirkulasi
Melihat berbagai dampak akibat perubahan iklim di Indonesia dan kerugian ekonomi dan
lingkungan yang disebabkannya, maka perlu dilakukan upaya dan tindakan konkrit baik
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat lokal.
Penataan ruang memiliki peranan penting dalam antisipasi perubahan iklim. Hal ini dapat
dilakukan melalui upaya Mitigasi dan Adaptasi. Mitigasi adalah intervensi antropogenik
untuk mengurangi sumber gas rumah kaca sedangkan Adaptasi adalah penyesuaian
secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam upaya untuk merespon stimuli iklim
aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi ancaman yang moderat atau
memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
Upaya Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi prioritas utama oleh karena berbagai
dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan. Sebagai satu alat dalam pengendalian
pembangunan, penataan ruang dapat menekan produksi gas rumah kaca dengan
menerapkan skenario Low Carbon Economy (LCE) ke dalam penataan ruang. Pada dasarnya,
penataan ruang dapat dilihat sebagai upaya dalam pengoptimalisasi penggunaan ruang.
Optimalisasi dalam hal ini berarti memberikan sektor untuk berkembang secara maksimal
tanpa mengabaikan kualitas lingkungan hidup. Dengan ini, penataan ruang pada
dasarnya memiliki konsep yang sama dengan LCE; mendukung pembangunan namun
tetap menjaga kualitas lingkungan.
Pengarusutamaan Perubahan Iklim dalam Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah
strategi untuk memastikan penyelenggaraan penataan ruang telah mempertimbangkan
potensi risiko perubahan iklim dan untuk menghindari dampak dari terjadinya
perubahan iklim, dan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang tidak
mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah terhadap berbagai jenis bahaya akibat
dampak perubahan iklim di seluruh sektor.
Harapan kami, penyelenggaraan penataan ruang berkontribusi terhadap tujuan
pembangunan dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim di masa datang.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
dari
redaksi
Salam hangat bagi pembaca setia
Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-tiga. Pada edisi kali ini Butaru
mengangkat kembali tema Perubahan Iklim, dimana tema ini akan menjadi isu hangat
saat ini dan masa yang akan datang. Bencana saat ini yang sering terjadi seperti banjir
akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana
longsor, badai tropis, dan badai siklon erat kaitannya dengan perubahan iklim. Selain
itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran
terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam.
Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi
alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tidak sesuai mengakibatkan
bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat
kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak
yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana tersebut membutuhkan
tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan
risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi
pengurangan risiko bencana.
Dalam Topik Utama edisi kali ini, akan dibahas tentang Low Carbon Economy (LCE) dan
kaitannya dengan Penataan Ruang. LCE atau green growth dapat diartikan sebagai
pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) yang dapat menekan polusi dan
produksi gas rumah kaca.
Dalam profil tokoh edisi kali ini, kami mengetengahkan Ir. Racmat Witoelar, yang saat ini
menjabat sebagai Presidents Special Envoy for Climate Change dan juga sebagai Ketua
Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim. Dengan tugas yang sangat penting dan strategis
tersebut, beliau mengajak semua pihak untuk turut berkontribusi dalam menekan tingkat
laju dan kejadian perubahan iklim, dan pada saat yang bersamaan beradaptasi dengan
dampak dan perubahan iklim yang terjadi.
Pada profil wilayah, wilayah pesisir Pulau Bali, ditampilkan pada edisi kali ini. Pesona Bali
sebagai aset wisata nasional harus dijaga dan diwaspadai dari dampak perubahan iklim,
karena bencana akibat perubahan iklim dapat mengancam wilayah ini. Konsep Green
Building menjadi topik Wacana pada edisi ini.
Semoga dengan terbitnya Butaru edisi ke-tiga ini dapat memberikan manfaat yang dapat
membuka wawasan dan meningkatkan pemahaman para pembaca. Akhir kata, redaksi
mengucapkan selamat membaca.
daftar isi
PROFIL TOKOH
Ir. Rachmat Witoelar
04
PROFIL WILAYAH
Kewajiban Kita
09
TOPIK UTAMA
14
TOPIK UTAMA
Pentingnya Pemaduserasian
17
TOPIK UTAMA
21
TOPIK UTAMA
28
TOPIK UTAMA
30
TOPIK LAIN
Redaksi
33
WACANA
Green Buiding:
40
AGENDA
43
profil tokoh
Ir. Rachmat
Witoelar
(Utusan Khusus Presiden untuk
Pengendalian Perubahan Iklim)
Perubahan Iklim:
Bencana Saat ini
atau Masa Datang?
Profil Tokoh pada edisi ini menampilkan Ir. Rachmat Witoelar. Beliau saat ini
menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden tentang Perubahan Iklim (Presidents
Special Envoy for Climate Change) dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) yaitu Dewan yang diketuai langsung oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono dengan melibatkan 17 kementerian dan 1 Badan yaitu Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG). Dewan Nasional ini disahkan lewat Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juli 2008.
Semangat dewan ini adalah mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN)
tentang perubahan iklim yang ditetapkan pada November tahun 2007. Lebih jauh,
DNPI bertugas merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan
pengendalian perubahan iklim, mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan
tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih
teknologi, dan pendanaan serta merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon.
Ditemui di kantor DNPI, disela waktu beliau sebelum memimpin rapat koordinasi
persiapan tim negosiasi Indonesia ke pertemuan di Bonn-Jerman. Berikut petikan
wawancaranya.
Apa saja kegiatan Bapak selepas menjabat sebagai Menteri Negara
Lingkungan Hidup?
Selepas menjadi Menteri Lingkungan Hidup, saya masih diberi tugas oleh Presiden
(yang ditetapkan dengan dengan Perpres) menjadi Ketua Harian DNPI, dimana
Ketua DNPI adalah Presiden. Saya sudah menjabat sebagai Ketua Harian DNPI
dalam 2 tahun ini. Adapun fokus tugasnya terkait perubahan iklim. Itulah kegiatan
saya sehari-hari saat ini yang mengharuskan saya untuk bekerja fulltime.Terkait
tugas tersebut saya juga menjabat sebagai Presidents Special Envoy yaitu utusan
khusus Presiden (mewakili Presiden) terkait urusan Perubahan Iklim. Beberapa
negara juga memiliki Presidents Special Envoy terkait urusan tersebut.
Menjadi Presidents Envoy urusan climate change itu adalah kapasitas saya sebagai
pribadi, sementara sebagai ketua Harian DNPI itu kapasitas organisasi yang
fasilitasnya sama dengan setingkat Menteri. Akan tetapi di luar negeri Presidents
Envoy lebih di terima karena boleh bertemu dengan kepala negara. Tetapi kalau
menteri hanya diterima oleh menterinya saja.
Latar belakang Bapak terlibat dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim? Serta
tupoksi Bapak sendiri menjabat sebagai Ketua Harian DNPI?
Saya terlibat di DNPI, awalnya karena saya menjadi Presiden COP (Conference of
Parties) -13 di Bali. Setelah selesai acara tersebut ada sesuatu yang sangat besar
yang harus ditindaklanjuti, karena COP-13 dianggap yang paling berhasil, karena
profil tokoh
profil tokoh
profil wilayah
Seluruh dunia mengenal Bali, dan bahkan banyak yang mengatakan jangan
mengaku ke Indonesia jika tidak menginjakan kaki ke Bali. Panorama keindahan
pantai di Bali menjadikan surga para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata
ini. Seluruh wilayah pesisir di Pulau Bali ini memiliki daya tarik masing- masing bagi
wisatawan, keindahan alam ini ditambah dengan keunikan budaya lokal yang tidak
dapat lepas di setiap tempat di Bali.
Banyak tempat yang dijadikan sebagai tempat-tempat yang sakral bagi penduduk
asli Bali untuk melakukan ibadah. Misalnya Tanah Lot, sebuah objek wisata di Bali
yang terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan. Di Tanah Lot
ini terdapat dua pura, pura pertama terletak di atas batu besar yang terletak di
sebuah batu karang besar yang berada di tengah pantai dan pura ke dua di atas
tebing yang menjorok ke laut ini dikenal sebagai pura laut, di mana ke dua pura
tersebut diyakini sebagai tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Setiap 210
hari sekali para umat Hindu di Bali memperingati hari raya Pura Di Tanah Lot ini atau
biasanya dikenal dengan sebutan Odalan. Pada peringatan Odalan ini para umat
Hindu di Bali mengunjungi pura ini untuk melakukan ibadah bersembahyang, oleh
karena itu tidak seluruh lokasi wisata di Tanah Lot ini dapat dikunjungi wisatawan
karena dianggap sebagai tempat yang sakral atau suci.
Sektor Pariwisata
Bali ini sudah terbukti
menciptakan iklim positif
pada pertumbuhan
ekonomi Provinsi Bali.
Dengan berbagai macam tempat wisata di Pulau Bali ini memberikan pengaruh
yang sangat positif terhadap PDRB Provinsi Bali, hal ini dibuktikan dengan
pemasukan terbesar PDRB Provinsi Bali terletak pada Sektor Pariwisata.
Perkembangan PDRB pada Triwulan I 2011 menunjukan peningkatan dari tahun
sebelumnya, yaitu mencapai 17,47 Triliyun, dimana sektor perdagangan, hotel,
dan restoran mendominasi PDRB Bali dengan nilai tambah sebesar 5.32 Triliyun
dan diikuti dengan peningkatan pada sektor lainnya. Sektor Pariwisata Bali ini
sudah sangat terbukti menciptakan iklim positif pada pertumbuhan ekonomi
Provinsi Bali. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi khususnya bagi penduduk Bali
adalah tetap menjaga dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi
calon wisatawan untuk meninkmati keindahan Bali dan tentunya menciptakan
pariwisata yang berkelanjutan.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
profil wilayah
Akankah Bali Bertahan?
Mempertahan Bali untuk tetap menjadi tujuan utama wisata di Indonesia itu
tidak semudah yang dikira, Mengapa Demikian?.. Banyak faktor yang mengancam
Bali. Isu Perubahan iklim/ Climate Change merupakan isu dunia yang harus
diwaspadai yang tidak menutup kemungkinan mengancam Bali. Secara singkat,
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan
dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim
terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim, kenaikan
temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan
permukaan air laut di seluruh dunia yang meningkat antara 10-25 cm selama abad
ke-20. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadinya erosi tebing,
pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara
sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan
sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem
pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai.
Kondisi ini tentunya sangat mengancam berbagai wilayah di Indonesia, karena
Indonesia terkenal dengan negara kepulauan termasuk Bali di dalamnya. Naiknya
permukaan air laut ini telah terjadi dibeberapa bagian di Indonesia, dan pada tahun
2008 Bali mengalami naiknya permukaan air laut. Kenaikan air laut tertinggi pada
tahun 2008 ditemukan di Pulau Ceningan yang terletak di sisi selatan Bali, kenaikan
muka air laut mencapai 50 cm dan bahkan menggenangi beberapa daratan. Akan
tetapi perlu untuk dicermati bahwa, tidak semata-mata naiknya permukaan air laut
ini hanya disebabkan oleh Perubahan Iklim, akan tetapi juga merupakan gabungan
dari berbagai macam penyebab, baik bersifat alami maupun yang disebabkan oleh
manusia. Apapun itu bentuk ancaman alam, sudah sewajarnya kita mengambil
langkah yang cepat dan tepat untuk dapat menyelamatkan bumi, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh PEMDA Bali lewat Balai Sungai Penida Bali. Berbagai daya
upaya telah dan akan dilakukan baik dalam bentuk teknis dan non teknis yang
bersifat keberlanjutan telah dilakukan dalam rangka mengamankan pesisir Bali
dari ancaman perubahan iklim dan siklus reguler alam.
10
Panjang
No. Kabupaten/Kota Pantai (M)
Hampir seluruh garis pantai di Bali mengalami perubahan. Perubahan garis pantai
tersebut merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab, selain Perubahan
Iklim, siklus reguler berupa abrasi/ erosi pantai yang tidak bisa dihindari, dan
kurangnya kepeduliaan penduduk sekitar pantai dalam menjaga wilayah pesisir
merupakan faktor penyebab yang tidak bisa dipungkiri di dalam perubahan garis
pantai ini.
Bali memiliki panjang pantai +437.700 Km dengan pemanfaatan daerah pantai
sebagai pelestarian biota laut, pariwisata, water sport, dan prasaran dan sarana
keagamaan. Kenyamanan pemanfaatan daerah pantai yang sangat besar ini
terganggu akibat abrasi/erosi pantai yang dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Pada tahun 1987 panjang pantai yang tererosi 49.950M, meningkat
menjadi 93.070M pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan
kembali menjadi 181.700M. Tentunya PEMDA yang dibantu oleh Pemerintah Pusat
dan JICA dalam hal ini, cepat mengambil tindakan dalam rangka pengamanan
pesisir pantai. Pada tahun 2009, panjang pantai yang telah ditangani secara
konstruksi 81.500M, kegiatan tersebut kembali dilanjutkan dilanjutkan pada tahun
2010 dengan total penangana garis pantai sepanjang 81.853M, dan tentunya
akan berlanjut pada tahun 2011 yang akan mencapai garis penanganan pantai
sepanjang 83.729M. Dari total penangana garis pantai tersebut, masih terdapat
97.974M garis pantai lagi yang perlu untuk ditangani secara konstruksi dalam
rangka penanganan garis pantai di Bali. Berikut adalah tabel rinci panjang pantai
yang mengalami erosi pada setiap kabupaten/kota beserta penanganannya:
s/d 1987
2008
2009
2009
2010
2011
Yang Belum
Ditangani (M)
Buleleng
121.180
9.500
129.060
54.830
1.211
137
310
22.265
22.402
22.712
32.118
Jembrana
67.350
4.450
7.510
19.700
6.050
6.050
6.050
13.650
7.812
Tabanan
28.660
5.500
7.500
12.760
216
432
4.300
4.516
4.948
Badung
80.050
11.500
14.100
27.160
1.517
25.468
25.468
25.468
1.692
Denpasar
16.000
7.000
10.000
10.000
126
8.532
8.532
8.658
1.342
Gianyar
12.560
3.000
3.300
3.650
1.005
500
500
1.505
2.145
Klungkung
40.200
3.000
12.600
18.800
5600
5.600
5.600
13.200
Karangasem
71.700
6.000
9.000
34.800
8.785
8.785
8.785
26.015
TOTAL
437.700
49.950
93.950
181.700
2.728
353
1.873
81.500
81.853
83.726
97.974
11
profil wilayah
Space Walkway
Beberapa pemukiman
penduduk hancur akibat
abrasi dan harus berpindah
jauh dari garis pantai.
Penahan Ombak
12
Setelah
berakhirnya
kegiatan
konstruksi, bukan berarti penanganan
pengaman pantai berhenti sampai
di sini saja, akan tetapi ada tahap
perawatan dan pemantauan yang
berkelanjutan
sangat
diperlukan
untuk mewujudkan kelestarian dan
keindahan Pantai Bali agar tetap selalu
terjaga dengan melibatkan aktif serta
masyarakat dan stakeholder.
Pada awalnya sebelum melakukan
kegiatan konstruksi dan setelah pekerjaan
13
topik utama
Penerapan
Pemanasan Global
akan diikuti dengan
perubahan iklim, seperti
meningkatnya curah
hujan di beberapa
belahan dunia sehingga
menyebabkan banjir
dan erosi.
Pemanasan Global
ADAPTASI
Dampak
FENOMENA
PERUBAHAN IKLIM
- Kenaikan Temperatur
- Peningkatan Muka Air Laut
Sumber
Vulnerable Assesment
KONTRIBUTOR
MITIGASI
14
Berdampak pada..
Kesehatan
Pertanian
Kehutanan
Kawasan Pesisir
Habitat Alami
Peningkatan
Penyebaran
Penyakit Menular
Penurunan
luas lahan dan
Produktivitas
Penurunan Kualitas
dan Kuantitas Air
Baku
Tenggelamnya
kawasan pesisir
Punahnya Spesies
Langka
Ancaman terhadap
pulau- pulau
kecil terluar
Ancaman terhadap
keberlangsungan
kawasan konservasi
Ancaman terhadap
ketahanan pangan
Kerusakan
kawasan di sekitar
DAS/WS kritis
15
topik utama
Kerangka Pemikiran
Skenario Pengarusutamaan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang:
Peluang dan Kendala
Low-carbon Economy
(LCE)
Penataan Ruang
Berkelanjutan
Penghapusan Kemiskinan
Mitigasi dan Adaptasi
Deviasi Iklim
- UUPR
- RTRWN, RPR, Provinsi,
Kota, dan Kabupaten
Rekomendasi
Ketahanan Pangan
16
Pentingnya
Pemaduserasian
Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air
ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah
Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga dihadapkan
pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur sumber
daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal.
Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal
penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke
ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan
tersendiri dalam memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan
pemahaman dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan
budaya diberbagai daerah, memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat
dan daerah, serta sesama pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi
baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai
merupakan tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan
sumber daya air yang handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk
saling melengkapi dan menyesuaikan.
17
topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan
sumber daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan
sumber daya air didasarkan asas-asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan
umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi
dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk
menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan
SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di catchment
area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan masalah
hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan, dengan
satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi tidak
dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga mengutamakan
pendekatan non-struktur
Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air tanah sebagai
sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik.
Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara
seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali.
Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan air permukaan dan air hujan.
Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan
mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan
limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan
tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan. Karenanya,
penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten.
Kehandalan layanan jasa pengelolaan SDA harus ditingkatkan
agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar daya
rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar
kualitas air baku meningkat, dan agar sistem penyediaan air
minum dapat mencapai target MDGs (Millenium Development
Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu
digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip
kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA
seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004
mengamanatkan perlunya disusun pola pengelolaan sumber
daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola
PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip
keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan
Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat
dan dunia usaha seluas-luasnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan
SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan
kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat wilayah administrasi
yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA ditetapkan
secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan
provinsi atau kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata
ruang wilayah.
18
Pola/Rencana PSDA
- Merencanakan
- Melaksanakan
- Memantau, dan
- Mengevaluasi
Upaya/Kegiatan
pada/untuk
Struktur
Struktur
Pola Ruang
Sumber Air
- Sungai
- Danau / Situ
- Waduk / Embung
- Mata Air
Pengendalian
Daya Rusak Air
pada/untuk
Pendayagunaan
SDA
pada/untuk
Konservasi SDA
Prasarana SDA
- Jaringan Irigasi/Air Baku
- Jaringan Rawa
- Jaringan Pengendalian Banjir
Pola Ruang
Kawasan Budidaya
- Daerah Irigasi
(D.I)
- Daerah Irigasi Rawa
- Daerah Resapan
air dan daerah
tangkapan air
- Kawasan Rawan
Banjir
Struktur
Pola Ruang
Catatan:
- Kawasan rawan banjir di terminologi Tata Ruang merupakan kawasan
lindung sekaligus budidaya, contohnya Jakarta
- Kawasan resapan air itu di terminology SDA adalah daerah resapan air
dan dan daerah tangkapan air (PP 42 Tahun 2008: Pasal 50 1 a)
A. STRUKTUR RUANG
1. Sungai
2. Bendungan Besar
II
4. Banjir Kanal
5. Saluran Drainase
6. Tanggul Banjir
B. POLA RUANG
1. Wilayah Sungai
2. Sumber Air (Danau, Waduk)
3. Sabuk Hijau
4. Kawasan Lindung SDA
5. Daerah Irigasi
6. Daerah Irigasi Rawa
7. Daerah Rawan Banjir
8. Sepadan Sungai
9. Cekungan Air Tanang
Nasional
Propinsi
Pj > 100 km
Luas Genangan >
50.000 Ha
Saluran (irigasi)
Pj > 25km
Pj >25 km
Pj >25 km
Pj >25 km
Pj > 10 km
Luas Genangan
> 5.000 ha
Saliran (irigasi)
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km
Semua
Semua
WS Tanggung Jawab
Pusat
Luas Genangan
>50.000 Ha
Luas > 50 km2
> 50.000 Ha
> 50.000 Ha
Luas Genangan
> 50.000 Ha
WS Pusat dan
Propinsi
Luas genangan
>5.000 Ha
Luas > 10km2
> 5.000 Ha
> 5.000 Ha
Luas Genangan
> 5.000 Ha
Di kota Besar
Lb > 50 m
Luas CAT > 5.000 Ha
Semua
Kab/Kota
Semua
Keterangan
Bila tidak mungkin
masuk dalam Peta,
minimum ada dalam
teks atau narasi
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Pengintegrasian rencana
pengelolaan sumber daya
air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam
tujuan, kebijakan dan
strategi, baik di tingkat
nasional, propinsi maupun
kabupaten/kota.
19
topik utama
RUANG WILAYAH
RTRW NASIONAL
RTRW PROVINSI
RTRW KAB/KOTA
Sinkronisasi
Tingkat Nasional
Sinkronisasi
Tingkat Provinsi
Sinkronisasi
Tingkat Kab/Kota
Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
20
Penanganan
Posisi
yangSOLO
penting dan keunikan karakteristik dari DAS
BENGAWAN
Bengawan Solo ini perlu diwadahi dan diantisipasi dalam suatu
arahan penataan ruang yang menyeluruh dan jelas. Rencana
tata ruang DAS Bengawan Solo yang menjadi panduan bagi
semua RTRW provinsi, kabupaten maupun kota yang berada
di Kawasan DAS Bengawan Solo sebagai dasar kegiatan
pengembangan wilayah di provinsi, kabupaten maupun kota
tersebut, sampai saat ini belum tersusun.
Padahal, rencana tata ruang ini nantinya diharapkan dapat
menjadi dasar pemanfaatan dan pengendalian lahan sehingga
secara langsung dapat mengurangi kontribusi debit puncak
dan volume banjir yang terjadi dan sekaligus menjadi pengikat
dalam kerjasama penataan DAS. Jelas bahwa RTR DAS Bengawan
Solo memiliki peran penting.
Untuk itu telah dilakukan penyusunan arahan kebijakan dan
strategi pemanfaatan ruang serta pengelolaan wilayah sungai
yang terakomodasi antar sektor dan antar wilayah sehingga
dapat tercapai pola pemanfaatan ruang yang mendukung
kelestarian dan keserasian pemanfaatan wilayah Sungai
Bengawan Solo. Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut
akan menjadi dasar dalam mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta mampu meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat setempat.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
21
20
topik utama
Dari beberapa pertemuan telah dilakukan kesepakatan untuk
ditindak lanjuti yaitu:
a. Guna Lahan Optimal (GLO), yang diharapkan menjadi dasar
pemanfaatan ruang DAS dan menjadi basis untuk penyusunan
rencana tata ruang DAS Bengawan Solo. Adapun GLO ini
sudah mempertimbangkan aspek kontribusi debit puncak
dan volume banjir berdasarkan pemanfaatan penggunaan lahan;
b. Arahan kebijakan, strategi, dan arahan program, yang
dapat menjadi panduan untuk menata DAS Bengawan Solo
KEBUTUHAN
PENINGKATAN DAS
BENGAWAN SOLO
Kondisi di atas juga dipicu oleh kondisi alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan
kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan pada hasil analisis geologi lingkungan
terkait kemampuan lahan tersebut, terdapat beberapa kondisi penggunaan lahan
di DAS Bengawan Solo sebagai berikut:
Terdapat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya;
Terdapat penggunaan lahan pada kawasan rawan dengan kemampuan lahan
sedang, seperti di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Gunung
Jeding-Patujbanteng, Cawas, Wonogiri-Eromoko, Giriwoyo, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Jetis, Sarangan, Kendal, Ngrampe, PulungWungu, Caruban, Talangkembar, dan Ngadirejo-Juwok;
Terdapat kawasan yang tidak boleh dikembangkan karena kemampuan lahan
yang rendah, seperti di sekitar daerah Cawas, Wonogiri-Eromoko, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Sarangan, Kendal, Ngrampe, dan PulungWungu; dan
Terdapat beberapa kawasan yang harus dihutankan kembali atau dikembalikan
fungsinya sebagai kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Boyolali, Klaten,
Wonogiri, Gresik, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Tuban.
23
topik utama
Perencanaan Sektor
RTRWN
RTR P. JAWA
RPJMN
asaacacaca
RPJPD Prov.
RTRW Prov.
RPJMD Prov.
Perencanaan Sektor
RTRW Kab/Kota
RPJPD Kab/Kota
RPJMD Kab/Kota
Kedudukan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo terhadap Perencanaan Dokumen Lain
PEMERINTAH DAERAH
PROVINSI DAN KOTA/KABUPATEN
KAJIAN PENINGKATAN
PENATAAN RUANG KEDUANG
Kedudukan Kebijakan, Strategi, dan Arahan Program yang Dihasilkan dari Studi Peningkatan Penataan DAS
Bengawan Solo dalam Kerangka Penanganan DAS Bengawan Solo
25
topik utama
Secara garis besar, keterkaitan keenam kebijakan tersebut
dalam perwujudan penataan lahan yang optimal dapat dilihat
pada Gambar berikut. Keenam arahan kebijakan tersebut, pada
dasarnya saling terkait satu sama lain dan dapat dirangkum
dalam 4 (empat) kelompok kebijakan, yaitu:
PENATAAN RUANG, yang meliputi peningkatan kualitas dari
RTRW di provinsi/kota/kabupaten yang berada di dalam
lingkup DAS Bengawan Solo beserta peningkatan kualitas RTR
DAS Bengawan Solo;
PENATAAN KAWASAN BUDIDAYA, yang meliputi pengendalian
pemanfaatan pada kawasan budidaya eksisting dengan
6
GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO)
Berbasis Konservasi DAS = Arahan Guna5
Lahan untuk Konservasi
GUNA LAHAN YANG TIDAK DAPAT 5
UNTUK KONSERVASI = Penataan
LID ( LOW IMPACT DEVELOPMENT)
Untuk Konsevasi
TARGET
Studi Peningkatan Kawasan
DAS Bengawan Solo
Kawasan Budidaya
Peningkatan
KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA
SINKRONISASI
RTRW ANTAR DAERAH
Pemecahan Melalui
PENDEKATAN SOSIAL
Pengembangan
EKONOMI WILAYAH
(Makro dan Mikro)
Pemecahan Melalui
PENDEKATAN EKOSISTEM
HULU - HILIR
Pengembangan
SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA
dll
Pemerintah
Provinsi
Pemerintah
Pusat
BBWS
POSISI GEOGRAFIS
Penyumbang Manfaat
Penerima Manfaat
Penyumbang Persoalan
Penerima Persoalan
Lembaga non
Pemerintah
(LSM, dll)
Akademisi
dll
PEMANGKU
KEPENTINGAN
PJT
SEKRETARIAT LEMBAGA
KOLABORASI
INTEREST
LAINNYA
PENANGANAN
FISIK SUNGAI
PEMANFAATAN
AIR
KUALITAS
AIR
KUANTITAS
AIR
KONSERVASI
LINGKUNGAN
dll
PELAKSANA
(COMMON INTEREST)
Pengelolaan
Limbah oleh
dinas Lingkungan
Hidup
Pengelolaan air
oleh PDAM
Pengelolaan
Hutan oleh Dinas
Kehutanan
dll
Terdapat beberapa
alternatif bentuk
kelembagaan yang
mungkin dikembangkan
untuk penanganan
dan pengelolaan DAS
Bengawan Solo.
FORUM
Kelemahan
Kekuatan
KOLABORASI
BKPRN/BAPPENAS/MENKO
- Terbuka
- Tidak ada hirarki
- Semua Anggota memiliki
suara yang sama
- Lembaga-lembaga
yang sudah ada (TKPSDA,
BPDAS, dll) dapat menjadi
anggota forum kolaborasi
Membutuhkan:
- Komitmen yang kuat dari
setiap anggota
- Landasan hukum
pembentukan
- Mekanisme kerja yang
jelas
- Sumber pembiayaan
dan proses penganggaran
yang jelas
- Leader yang dihormati
- Dukungan sekretariat
yang kuat
Adanya ego sektoral dan
ego wilayah dapat menjadi
kendala utama
LEMBAGA BARU
- Lebih Fokis
- Anggota dapat mencakup
semua perwakilan
stakeholders terkait baik dari
pusat maupun daerah
- Semua Anggota memiliki
tugas yang sama
- Tidak ada Hirarki
Membutuhkan:
- Proses untuk
pembentukannya
- Landasan hukum
pembentukan
- Kejelasan kedudukan
dengan lembaga-lembaga
terkait baik di pusat maupun
di daerah
- Kejelasan wewenang
- Sumber pembiayaan dan
proses penganggaran yang
jelas
27
topik utama
Perubahan Iklim
dapat dikendalikan
Oleh: Redaksi BUTARU
Kesepakatan global
untuk menciptakan
kondisi bumi yang lebih
baik, mempengaruhi
secara langsung atau
tidak langsung kebijakan
pembangunan nasional.
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, Indonesia menjadi salah satu negara
yang menyepakati Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change). Sebagai tindak lanjut, Indonesia
menerbitkan UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
yang berisikan 3 (tiga) hal utama, yakni: (1) tercapainya stabilitas konsensi emisi Gas
Rumah Kaca pada tingkat yang aman; (2) adanya tanggung jawab bersama sesuai
kemampuan (common but differentiated responsibilities); dan (3) negara maju
akan membantu negara berkembang (pendanaan, asuransi dan alih teknologi).
Lahirnya Bali Roadmap atau Bali Action Plan 2007, Copenhagen Accord 2009,
dan Cancun Commitments 2010, yang merupakan kesepakatan global untuk
menciptakan kondisi bumi yang lebih baik dari kecenderungan yang ada dalam
jangka waktu panjang (bahkan setelah masa Protocol Kyoto, yaitu sampai 2012).
Kesepakatan-kesepakatan ini, walaupun belum secara tegas menetapkan target
kuantitatif dan jadual pelaksanaannya, mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung kebijakan pembangunan nasional, salah satunya adalah arahan kebijakan
pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an.
Komitmen pemerintah Republik Indonesia seperti yang disampaikan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-20 di Pittsburgh adalah upaya
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dari business as usual
dengan kemampuan sendiri, dan penurunan hingga 41% dengan bantuan donor
dari negara luar. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap
kebijakan pembangunan nasional pada berbagai sektor yang terkait dengan emisi
GRK ini.
28
Strategi Adaptasi
Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait
perubahan iklim terhadap tata ruang
Identifikasi wilayah (kabupaten/kota) yang mengalami dampak perubahan iklim
Peningkatan kapasitas kelembangaan
Pengarusutamaan konsep kota dan peran masyarakat yang memiliki dayatahan
terhadap dampak perubahan iklim (Climate Change resilience)
Membangun citra peran aktif Kementerian Pekerjaan Umum dalam antisipatif
perubahan iklim
Referensi:
Konsep Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi bidang Penataan Ruang yang disusun
oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kemen. PU
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
29
topik utama
NEGOSIASI
Pre-sessional Workshop
31
topik utama
AWG-LCA ke-14
. AWGKP ke-16
32
topik lain
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of and Managing Natural Resources:
A Case Study on Baduy, Aru, and Balineses Subak Tribe Communities, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011).
Kedua tulisan tersebut menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge)
dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources
(khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakatadat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (Maluku Tenggara),
dan Balineses Subak Tribe (Bali). Pengetahuan asli-lokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan
dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan
dapat bertahan hidup di kawasan tersebut.
33
topik lain
INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT TRADISIONAL/
MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan
sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/lingkungan, masyarakat adat/
tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan
kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi
yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya. Namun,
bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan-kekuatan/faktor penekan yang
mempengaruhinya untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari
kita simak masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy, Banten (BUTARU 1st
edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30), Aru (Maluku Tenggara), dan Subak (Bali).
Masyarakat adat
dengan pengetahuan
lokalnya, ternyata
lebih arif dibandingkan
masyarakat lainnya.
Tripang
34
Masyarakat tradisional
Bali sangat mempercayai
adanya kekuatan magis
dan kekuatan spiritual
yang dijadikan basis
pada religinya.
35
topik lain
Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian,
dsb. Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti
sekolah, klinik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya
dalam kehidupan berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah
mengembalikannya ke akar budaya masyarakat Bali.
Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah Banjar yang menata selururuh
aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara kematian (ngaben), sesuai
dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Hampir seluruh desa
sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah menikah diharuskan
bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50100 keluarga dan setiap Banjar
mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat inilah kelompok
drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih.
36
Masyarakat tradisional
Subak secara lebih arif
mengorganisasikan seluruh
kekuatannya dalam
pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya
pertanian padi sawah.
Masyarakat tradisional
Bali percaya bahwa
kelangsungan hidup
komunitasnya juga
bergantung dari integritas
terhadap budayanya.
berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada
upacara persembahan kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian
padi sawah dengan sistem Subak disakralkan karena
mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari
Sri; Sanghyang Sri) yang senantiasa memberi kemakmuran
selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk menjaga
hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian,
sebelumnya diadakan upacara ritual untuk memohon
izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu
melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai
bagian dari kewajiban masyarakat tradisional/adat Bali dan
diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan (hukum
adat).
Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari
kekuatan exogenous, beberapa aturan dan larangan pada
aspek sosial dan budaya ditekankan dan dilegalkan dalam
ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya
terdapat mekanisme pengendalian yang disebut Karma
(consequences). Mereka percaya bahwa ia akan mengalami
hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk, dan
sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol
sosial berupa eksekusi hukuman (punishment) bagi yang
melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh Ketua
Subak dan/atau Kelian Banjar.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang
37
topik lain
No. Ketentuan dan Tradisi Dalam Sistem Subak
1
2
3
4
5
6
7
Interpretasi/Jastifikasi
Petak-petak sawah dibuat dalam bentuk terasering Untuk kelancaran air. Menghindari terjadinya erosi
mengikuti kontur
dan longsor
Resisten
terhadap hama Nilaparphata ligens.
Menggunakan benih padi pada varietas lokal
Memelihara plasma nutfah jenis tumbuhan lokal.
Dewi Bhatari Sri tidak menyukai (alergi) bahan
Menjamin sumberdaya alam tidak terkontaminasi
kimia sehingga pupuk kimiawi (Urea, NPK, TSP)
dan menjamin tidak terjadi pencemaran lingkungan
dan pestisida kimia (DDT, Dieldrin, Endrin) tidak
karena limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya)
digunakan.
kegiatan pertanian disesuaikan dengan
Setiap tahapan kegiatan pertanian terlebih dahulu Calendar
iklim. Keseragaman dalam tahapan kegiatan
dilakukan upacara ritual untuk memohon izin
pertanian dapat memutuskan siklus hidup hama
kepada Dewi Bhatari Sri
padi tertentu
Dewi Bhatari Sri menyukai keindahan, sehingga
efisien dalam penggunaan sumberdaya alam.
jarak tanam padi harus teratur, rapi.
Memudahkan dalam pekerjaan penyiangan
Mengistirahatkan padi dengan rotasi jenis
Memutuskan siklus hidup hama padi tertentu.
tanaman palawija
Memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah.
Upacara ritual di Pura Subak menyambut panen
Integritas budaya tradisional.
berhasil
PEMBAHASAN
38
KESIMPULAN
39
wacana
green
building
A Sustainable Concept
for Construction
Development in Indonesia
40
Green Building mungkin ketika kita mengartikan dalam bahasa indonesia yang
berupa bangunan hijau. Arti yang sebenarnya green building tersebut yaitu
sebuah konsep tentang merencanakan suatu bangunan yang ramah terhadap
lingkungan. Konsep serupa adalah natural building, yang biasanya pada skala yang
lebih kecil dan cenderung untuk berfokus pada penggunaan material-material
yang digunakan yaitu material-material yang tersedia secara lokal.
Konsepgreen buildingini berupa pemaksimalan fungsi bangunan dalam beberapa
aspek, yaitu:
Life Cycle Assessment(Uji AMDAL)
Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya melakukan kajian
AMDAL apakah dalam pengadaan bangunan tersebut dapat mempengaruhi
lingkungan sekitar baik itu segi sosial, ekonomi ataupun alam sekitar. Karena jika
itu memberikan pengaruh yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah
menyalahi konsep dasar dari green building.
Green Wall
Efisiensi Energi
Green Building sering mencakup langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi
energi - baik energi yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti kondisi
bangunan yang segi mudahnya angin dan sinar matahari yang mudah masuk
kedalam bangunan.. Selain itu selain segi operasional, segi pelaksanaan juga
harus diperhatikan. Studi LCI US Database Proyek bangunan yang menunjukkan
dibangun dengan kayu akan menghasilkan energi pempuangan yang lebih
rendah daripada bangunan gedung yang bahan bangunannya menggunakan
dengan batu bata, beton atau baja.
Untuk mengurangi penggunaan energi operasi,
penggunaan jendela yang se-efisiensi mungkin dan insulasi
pada dinding, plafon atau tempat masuknya aliran udara ke
dalam bangunan gedung. Strategi lain, desain bangunan
surya pasif, sering dilaksanakan di rumah-rumah rendah
energi. Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan)
dapat memberikan cahaya lebih alami dan mengurangi
kebutuhan penerangan listrik di siang hari.
Adapun manfaat apabila kita menerapkan konsep Green
Building adalah :
Bangunan lebih awet dan tahan lama, dengan perawatan minimal
41
wacana
GBC Indonesia
menyelenggarakan kegiatan
Sertifikasi Bangunan Hijau
di Indonesia berdasarkan
perangkat penilaian khas
Indonesia yang disebut
GREENSHIP
GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA
GREENSHIP
menggunakan kriteria
penilaian sedapat
mungkin berdasarkan
standar lokal baku
seperti UU, Keppres,
Inpes, Permen,
Kepmen dan SNI.
Green High
Rise Building
HARAPAN KE DEPAN
42
agenda
Agenda Kerja
BKPRN
43