Anda di halaman 1dari 44

MEI - JUNI 2011

tataruang
buletin

BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Penerapan Low Carbon Economy


dalam Penataan Ruang

Kewajiban Kita

dibalik Keindahan Wilayah Pesisir Bali


Pentingnya Pemaduserasian

Pola Pengelolaan Sumber Daya Air


ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

Penanganan DAS Bengawan Solo


Di Masa Datang

Perubahan Iklim Dapat Dikendalikan


Negosiasi Perubahan Iklim

Notes from Bangkok Climate Change Talks 2011

Ruang untuk Masyarakat Lokal

Tradisional (Masyarakat Adat)


yang Semakin Terpinggirkan

Perubahan Iklim:
Bencana Saat Ini

Green Buiding:

A Sustainable Concept for


Construction Development Indonesia

Agenda Kerja BKPRN

Atau Masa Datang?

P RO F I L

BARCODE

BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

P RO F I L

Ir. Rachmat
Witoelar

buletin tata ruang


PELINDUNG

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.


Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWAB

Ir. Iman Soedradjat, MPM.


Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja

Penasehat Redaksi

DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng


Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

pemimpin redaksi

Aria Indra Purnama, ST, MUM.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

sekapur
sirih

Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh,


Selayaknya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan
yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih
diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi penerbitan ketiga di tahun 2011.
Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan
emisi gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida dan metana, mengakibatkan dua hal
utama yang terjadi yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah dilakukan
proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan
adanya kenaikan muka laut yang berdampak pada hilangnya sebagian daerah pantai dan
pulau-pulau kecil.

Agus Sutanto, ST, M.Sc

redaktur pelaksana

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

Sekretaris Redaksi

Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

staf redaksi

Ir. Dwi Hariawan, MA


Ir. Gunawan, MA
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST

Koordinasi Produksi

Angger Hassanah, SH

Staf Produksi
Alwirdan BE

Koordinasi Sirkulasi

Supriyono S.Sos

Staf Sirkulasi

Dhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN


Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id

Melihat berbagai dampak akibat perubahan iklim di Indonesia dan kerugian ekonomi dan
lingkungan yang disebabkannya, maka perlu dilakukan upaya dan tindakan konkrit baik
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat lokal.
Penataan ruang memiliki peranan penting dalam antisipasi perubahan iklim. Hal ini dapat
dilakukan melalui upaya Mitigasi dan Adaptasi. Mitigasi adalah intervensi antropogenik
untuk mengurangi sumber gas rumah kaca sedangkan Adaptasi adalah penyesuaian
secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam upaya untuk merespon stimuli iklim
aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi ancaman yang moderat atau
memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
Upaya Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi prioritas utama oleh karena berbagai
dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan. Sebagai satu alat dalam pengendalian
pembangunan, penataan ruang dapat menekan produksi gas rumah kaca dengan
menerapkan skenario Low Carbon Economy (LCE) ke dalam penataan ruang. Pada dasarnya,
penataan ruang dapat dilihat sebagai upaya dalam pengoptimalisasi penggunaan ruang.
Optimalisasi dalam hal ini berarti memberikan sektor untuk berkembang secara maksimal
tanpa mengabaikan kualitas lingkungan hidup. Dengan ini, penataan ruang pada
dasarnya memiliki konsep yang sama dengan LCE; mendukung pembangunan namun
tetap menjaga kualitas lingkungan.
Pengarusutamaan Perubahan Iklim dalam Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah
strategi untuk memastikan penyelenggaraan penataan ruang telah mempertimbangkan
potensi risiko perubahan iklim dan untuk menghindari dampak dari terjadinya
perubahan iklim, dan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang tidak
mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah terhadap berbagai jenis bahaya akibat
dampak perubahan iklim di seluruh sektor.
Harapan kami, penyelenggaraan penataan ruang berkontribusi terhadap tujuan
pembangunan dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim di masa datang.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

dari
redaksi
Salam hangat bagi pembaca setia
Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-tiga. Pada edisi kali ini Butaru
mengangkat kembali tema Perubahan Iklim, dimana tema ini akan menjadi isu hangat
saat ini dan masa yang akan datang. Bencana saat ini yang sering terjadi seperti banjir
akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana
longsor, badai tropis, dan badai siklon erat kaitannya dengan perubahan iklim. Selain
itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran
terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam.
Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi
alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tidak sesuai mengakibatkan
bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat
kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak
yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana tersebut membutuhkan
tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan
risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi
pengurangan risiko bencana.
Dalam Topik Utama edisi kali ini, akan dibahas tentang Low Carbon Economy (LCE) dan
kaitannya dengan Penataan Ruang. LCE atau green growth dapat diartikan sebagai
pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) yang dapat menekan polusi dan
produksi gas rumah kaca.
Dalam profil tokoh edisi kali ini, kami mengetengahkan Ir. Racmat Witoelar, yang saat ini
menjabat sebagai Presidents Special Envoy for Climate Change dan juga sebagai Ketua
Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim. Dengan tugas yang sangat penting dan strategis
tersebut, beliau mengajak semua pihak untuk turut berkontribusi dalam menekan tingkat
laju dan kejadian perubahan iklim, dan pada saat yang bersamaan beradaptasi dengan
dampak dan perubahan iklim yang terjadi.
Pada profil wilayah, wilayah pesisir Pulau Bali, ditampilkan pada edisi kali ini. Pesona Bali
sebagai aset wisata nasional harus dijaga dan diwaspadai dari dampak perubahan iklim,
karena bencana akibat perubahan iklim dapat mengancam wilayah ini. Konsep Green
Building menjadi topik Wacana pada edisi ini.
Semoga dengan terbitnya Butaru edisi ke-tiga ini dapat memberikan manfaat yang dapat
membuka wawasan dan meningkatkan pemahaman para pembaca. Akhir kata, redaksi
mengucapkan selamat membaca.

daftar isi
PROFIL TOKOH
Ir. Rachmat Witoelar

04

Utusan Khusus Presiden


untuk Pengendalian
Perubahan Iklim

PROFIL WILAYAH
Kewajiban Kita

09

dibalik Keindahan Wilayah Pesisir Bali


Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMA

14

Penerapan Low Carbon Economy


dalam penataan ruang

Oleh: Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc,

TOPIK UTAMA

Pentingnya Pemaduserasian

17

Pola Pengelolaan Sumber Daya Air


dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Oleh : Purba Robert Sianipar

TOPIK UTAMA

Penanganan DAS Bengawan Solo


Di Masa Datang

21

Oleh: Ir. Iman Sudradjat, MPM

TOPIK UTAMA

Perubahan Iklim dapat dikendalikan

28

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMA

Negosiasi Perubahan Iklim

Notes from Bangkok Climate Change Talks 2011

30

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN
Redaksi

Ruang untuk Masyarakat Lokal


Tradisional (Masyarakat Adat)
yang semakin Terpinggirkan

33

Oleh: H. Maman Djumantri

WACANA

Green Buiding:

40

A Sustainable Concept for Construction


Development Indonesia
Oleh: Redaksi Butaru

AGENDA

43

Agenda Kerja BKPRN


Mei - Juni 2011

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

Ir. Rachmat
Witoelar
(Utusan Khusus Presiden untuk
Pengendalian Perubahan Iklim)

Perubahan Iklim:
Bencana Saat ini
atau Masa Datang?

Profil Tokoh pada edisi ini menampilkan Ir. Rachmat Witoelar. Beliau saat ini
menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden tentang Perubahan Iklim (Presidents
Special Envoy for Climate Change) dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) yaitu Dewan yang diketuai langsung oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono dengan melibatkan 17 kementerian dan 1 Badan yaitu Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG). Dewan Nasional ini disahkan lewat Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juli 2008.
Semangat dewan ini adalah mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN)
tentang perubahan iklim yang ditetapkan pada November tahun 2007. Lebih jauh,
DNPI bertugas merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan
pengendalian perubahan iklim, mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan
tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih
teknologi, dan pendanaan serta merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon.
Ditemui di kantor DNPI, disela waktu beliau sebelum memimpin rapat koordinasi
persiapan tim negosiasi Indonesia ke pertemuan di Bonn-Jerman. Berikut petikan
wawancaranya.
Apa saja kegiatan Bapak selepas menjabat sebagai Menteri Negara
Lingkungan Hidup?
Selepas menjadi Menteri Lingkungan Hidup, saya masih diberi tugas oleh Presiden
(yang ditetapkan dengan dengan Perpres) menjadi Ketua Harian DNPI, dimana
Ketua DNPI adalah Presiden. Saya sudah menjabat sebagai Ketua Harian DNPI
dalam 2 tahun ini. Adapun fokus tugasnya terkait perubahan iklim. Itulah kegiatan
saya sehari-hari saat ini yang mengharuskan saya untuk bekerja fulltime.Terkait
tugas tersebut saya juga menjabat sebagai Presidents Special Envoy yaitu utusan
khusus Presiden (mewakili Presiden) terkait urusan Perubahan Iklim. Beberapa
negara juga memiliki Presidents Special Envoy terkait urusan tersebut.
Menjadi Presidents Envoy urusan climate change itu adalah kapasitas saya sebagai
pribadi, sementara sebagai ketua Harian DNPI itu kapasitas organisasi yang
fasilitasnya sama dengan setingkat Menteri. Akan tetapi di luar negeri Presidents
Envoy lebih di terima karena boleh bertemu dengan kepala negara. Tetapi kalau
menteri hanya diterima oleh menterinya saja.
Latar belakang Bapak terlibat dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim? Serta
tupoksi Bapak sendiri menjabat sebagai Ketua Harian DNPI?
Saya terlibat di DNPI, awalnya karena saya menjadi Presiden COP (Conference of
Parties) -13 di Bali. Setelah selesai acara tersebut ada sesuatu yang sangat besar
yang harus ditindaklanjuti, karena COP-13 dianggap yang paling berhasil, karena

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

dapat mengangkat Indonesia ke


panggung dunia dan Bapak Presiden
menghargainya. Sehingga setelah
selesai COP Bali, beliau memutuskan
pembentukan
DNPI
dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden No
46 tahun 2008, dan saya menjadi Ketua
Hariannya.
Adapun Tugas DNPI yang pertama
adalah
mengadakan koordinasi
diantara
kementerian-kementerian
dan Badan, dengan jumlah anggotanya
17 kementerian (PU, Kehutanan,
Lingkungan Hidup, dan lain-lain) serta
1 badan yaitu Badan Meteorologi dan
Geofisika. Yang paling utama adalah
mengadakan
policy
coordination
yaitu merumuskan kebijakan nasional
dengan mengambil bahan-bahan dari
kementerian-kementerian yang relevan
dan menyusun suatu kebijakan dan
nantinya menjadi kebijakan nasional
perubahan iklim. Kedua, mengadakan
koordinasi pelaksanaan tugas dan
ketiga adalah merumuskan kebijakankebijakan pengaturan dari sistemnya.
Lebih spesifiknya ?
Tugas yang lebih spesifik sebenarnya
adalah mewakili Indonesia di luar negeri
terkait negosiasi perubahan iklim, yang
tidak bisa dilakukan lembaga lain.
Internasional itu hanya mengenal satu
national vocal point. Jadi kalau ada
konferensi perubahan iklim di suatu
negara, Ketua Harian DNPI menjadi
ketua delegasi. Bukan berarti ini DNPI
menjadi suatu superbody karena semua
ilmu yang ada di dewan ini adalah
diambil dari kementerian-kementerian
yang menjadi anggotanya. Kelompokkelompok kerja yang dibentuk dalam
Dewan ini masing-masing ketuanya

adalah dari kementerian-kementerian


tersebut, misalnya Dirjen Penataan
Ruang Kementerian PU adalah Ketua
Kelompok Kerja Adaptasi, dan disini
saya mengkoordinasikannya.

Misi DNPI adalah


semua kementerian/
lembaga turut melawan
perubahan iklim (climate
change), sehingga
akan memperkuat
posisi Indonesia
memperjuangkan
perubahan iklim.
Adapun kelompok-kelompok kerja
(Pokja) mengadakan rapat koordinasi
minimal setiap bulan di dalam kelompok
itu sendiri dan antar kelompok, dimana
nantinya mengkerucut kepada suatu
kesimpulan yang akan
menjadi
kebijakan nasional. Selain itu sebagai
Ketua harian, saya juga bertugas untuk
membuat keputusan dan saya validasi.
Kalau menyangkut skala nasional, baru
saya tanyakan kepada Presiden, karena
tentunya Beliau tidak bisa mengatasi
hal ini secara detail.
Apa yang menjadi visi dan misi
Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI)?
Visi DNPI adalah memperjuangkan
agar supaya keputusan-keputusan
yang ditetapkan di Bali pada COP-13
diterima secara utuh dan dilaksanakan
dalam forum internasional. Sedangkan
misinya adalah semua kementerian/
lembaga turut melawan perubahan
iklim (climate change), sehingga

akan memperkuat posisi Indonesia


memperjuangkan perubahan iklim.
Kegiatan apa saja yang telah
dilakukan oleh DNPI dalam rangka
mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim di Indonesia?
Sebenarnya hal ini merupakan
salah satu perjuangan kita untuk
mengadakan penugasan khusus antar
negara. Seharusnya negara maju
yang utama bertanggungjawab yaitu
dengan mengeluarkan biaya dan
menyediakan tenaga, dengan 2 (dua)
alasan yaitu pertama negara maju
itu penyebab utama dan yang kedua
negara maju mempunyai kapasitas
lebih. Sementara negara berkembang
bisa juga melakukan tetapi tidak yang
utama,.
Sebagai contoh adalah Amerika selaku
negara maju , dimana negara tersebut
mempunyai anggaran 15 kali lebih besar
daripada negara berkembang sehingga
negara tersebut memiliki kapasitas
dan tanggung jawab lebih untuk
berbuat banyak hal. Amerika mesti
mengeluarkan dana untuk menjaga
atau melestarikan sarana-sarana yang
akan terkena dampak perubahan iklim.
Jadi ini yang diperjuangkan oleh DNPI
di dalam forum-forum, sSebenarnya
itu perjuangan bersama dengan
negara-negara berkembang dan itu
juga kaitannya dengan Bali Road Map
yaitu bahwa negara-negara maju itu
berkewajiban melakukan usaha-usaha
yang utama dan memberikan fasilitasi
kepada negara-negara berkembang.
Cuma di sini ada perkembangan,
hukumnya memang seperti itu tapi kita
lihat, andaikata negara berkembang

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

Kita mengupayakan apa


yang bisa dilakukan, karena
itu Indonesia berkomitmen
untuk menurunkan emisi
sendiri secara sukarela
hingga 26 %.
itu tidak melakukan dengan cukup,
sementara negara maju melakukan
semaksimal mungkin atau istilahnya
tancap gasnya sekencang-kencang,
perubahan iklim tetap saja mengancam.
Jadi negara maju tidak bisa sendiri.
Ini adalah sesuatu pemikiran nasional
Indonesia yang sedikit kontroversial.
Kenapa negara berkembang harus
ikut terlibat untuk untuk mengatasi?.
Karena begini, negara maju ada 47
negara, sisanya adalah 180 negara
berkembang. Jadi kita sebagai salah
satu negara berkembang harus ikut
memikirkan kalau ingin selamat.
Kita mengupayakan apa yang bisa
kita lakukan, karena itu Indonesia
menjanjikan/berkomitmen
untuk
menurunkan emisi karbon secara
sukarela hingga 26 %.
Terkait dengan komitmen Presiden
bahwa Indonesia akan menurunkan
emisi karbon sebanyak 26%
sampai tahun 2020, bagaimana
upaya DNPI untuk membantu
mengimplementasikan hal tersebut?
Menurut Presiden Obama, menurunkan
emisi karbon sebanyak 26 % adalah
suatu inisiatif yang heroic. Hal

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

ini dikarenakan kita selaku negara


berkembang, punya hak untuk tidak
melakukan apa-apa, karena masih
banyak penduduk miskin. Akan tetapi
kita tetap ingin berkomitmen untuk
menurunkan emisi karbonnya. Kalau
orang yang tidak mengerti melihat
ini pasti mengatakan kebangetan,
karena di negara kita masih banyak
orang miskin. Memang iya, tetapi orang
miskin dan orang kaya juga akan mati
juga kalau kita tidak melakukan apaapa terhadap perubahan iklim, jadi mari
kita lakukan bersama-sama.
Apa yang bisa kita lakukan? Banyak
yang bisa kita lakukan, pertama, di
lingkungan sekitar kita, di kantor DNPI
misalnya telah dilakukan penghematan
listrik yaitu lampu hanya dinyalakan bila
diperlukan. Jadi kantor-kantor itu harus
ramah lingkungan. Kedua, mengurangi
emisi-emisi dari kendaraan dan rumah
tangga.
Bagaimana
mengurangi
emisi dari kendaraan? Idealnya adalah
menggunakan kendaraan yang rendah
emisi. Akan tetapi yang gampang
kita lakukan adalah bersama-sama
tetangga menggunakan mobil secara
bergantian disaat pergi kekantor atau
menggunakan transportasi umum
Kereta Api atau Bus.
Terkait
penurunan
emisi
26%,
kementerian/lembaga
banyak
yang
tidak
keberatan,
dimana
pelaksanaannya disinkronkan
oleh
Bappenas, dan tentunya kementerian
lainnya ikut dalam semangat itu.

Posisi Indonesia sebagai penengah


dari kepentingan-kepentingan dan
kemampuan-kemampuan yang ekstrim.
Kepentingan-kepentingan yang paling
keras itu datang dari negara-negara
yang sangat miskin (misal : Tuvalu,
Maladewa, Fiji, dll), mereka adalah
wakil dari negara yang kecil dan tidak
mampu. Sementara yang ekstrim disisi
lainnya adalah Amerika, Eropa, Jepang,
Korea itu mampu, jadi kita berada kan
ditengah-tengahnya dan harus bisa
bertindak selaku penyeimbang.
Menurut Bapak, apakah perlu
penyesuaian sistem penataan ruang
dalam bidang perubahan iklim?
contohnya seperti apa?
Perlu dicatat bahwa kita itu menjadi
anggota dan pendukung Cartagena
Dialogue (kelompok Negara-negara
menengah). Dari segi kebijakan, di
lingkungan kita sendiri yang dapat
dilakukan adalah berhemat didalam
penggunaan kendaraan pribadi dan
dilakukan mulai dari lingkungan rumah
tangga. Dari segi kenegaraan/daerah
adalah membereskan tata ruang kita.
Tata ruangnya itu kalau tidak disiplin
dan tidak benar pengaturannya akan
menyebabkan polusi. Sebagai contoh
di Kota Bandung dimana daerah
Punclut Dago yang seharusnya menjadi
daerah resapan air malah dijadikan
daerah pemukiman, yang ditandai
dengan maraknya
pembangunan
Villa didaerah tersebut. Demikian juga
soal pengelolaan TPA yang tidak benar

Dari seminar yang sering saya hadiri,


dapat disimpulkan bahwa kota di
negara kita itu polutif baik dari segi
lahannya, sistem transportasinya dan
kegiatan
pemerintahannya,
misal
dalam masalah pengelolaan sampah.
Kita jangan main-main dengan
masalah sampah (dua tahun lalu saya
kan menjadi Menteri yang mengurus
masalah sampah). Sampah itu apabila
tidak diurus dengan baik akan dapat
menjadi
musibah
(tertimbunnya
pemukiman penduduk oleh longsoran
sampah) akan tetapi bila dikelola
dengan baik malah akan memberi
berkah, yaitu dari sampah kita bisa
menjual methan.
Idealnya, tata ruang itu adalah tool
untuk menertibkan living space
supaya tidak polusi. Jadi kalau
mengembangkan daerah tidak dengan
tertib dan lalulintasnya kacau, maka
akan terjadi polusi
seperti yang
terjadi sekarang di kota-kota besar di
Indonesia .

Adapun yang menghitung emisi adalah lembaga


internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara
intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan
menggunakan satelit, dan lain-lain.
dan sebagainya. Tata ruang ini sangat
penting untuk menentukan fungsifungsi kota. Masalah tata ruang yang
agak krusial saat ini adalah alih fungsi
lahan dan ini harus dimonitor dan
diminimalkan oleh instansi-instansi
yang berwenang.
Tetapi yang perlu diperhatikan dan
sangat saya harapkan, Ketua Kelompok
Kerja Adaptasi untuk mengembangkan
suatu konsep perkotaan yang baik.
Walaupun kita tahu banyak yang
sudah terlanjur sulit tertata tetapi
masih banyak kota atau kota baru
yang dapat ditata dengan baik. Lebih
jauh, tata ruang untuk kota-kota satelit
maupun pengembangan infrastruktur
mesti disesuaikan dengan kebutuhan
perubahan iklim.

Keterlibatan DNPI sendiri dalam


mewujudkan komitmen tersebut
seperti apa?
Tadinya DNPI bukan terlibat di kegiatan
operasional tetapi lebih ke kebijakan,
tetapi kita membuat identifikasi, dan
menyusun matriks bersama-sama
dengan Bappenas yang operasional dan
memberdayakannya ke kementeriankementerian, terutama Kementerian
Kehutanan, Pertanian dan Dalam
Negeri. Jadi kan kita sudah tahu bahwa
polusi yang terbesar yang diekspor
Indonesia itu adalah karena kehutanan
dan tanah. Jadi kita memfasilitasi risetriset mengenai itu, memfasilitasi danadana dari luar negeri untuk masuk
ke sana, memberikan pemberdayaan
kepada bupati dan meminta KLH untuk

mengawasi yang nakal-nakal. Sampaisampai didalam UU no.32/2009, kalau


ada pelanggaran dan terbukti salah
berarti dipenjara.
DNPI mengadakan kegiatan
perdagangan karbon, bagaimana
mekanismenya?
Ini sebenarnya mengenai pengurangan
emisi, dimana ada kewajiban negaranegara tertentu untuk menurunkan
emisinya. Ada argumentasi yang
menyatakan
menurunkan
emisi
berarti akan memperoleh kerugian
besar. Amerika contohnya, bila negara
tersebut menurunkan emisinya akan
menderita kerugian banyak. Amerika
harus menurunkan emisinya maka dia
harus menutup banyak pabrik, dan
tentunya hal ini akan mendatangkan
kerugian. Jadi ada fasilitasi karena
dunia ini satu, penurunan emisi
hitungannya satu dunia bukan satu
negara. Karena kalau hanya satu negara
yang menurunkan emisi maka sama
saja dampaknya untuk dunia. Kalau
Amerika tidak mau menutup pabrik
untuk menurunkan emisinya, maka
ada fasilitasi atau kompensasi atau
insentif kepada negara berkembang
untuk
penghijauan/menanam
pohon. Sehingga ada trade-nya, jadi
kewajiban untuk menurunkan emisi
diganti dengan menurunkan emisi di
tempat lain tetapi ada kompensasi.
Jadi kompensasi itu kalau ada nilai
ekonominya dinamakan trade. Yang
diambil itu emisi yaitu karbon maka
disebut dengan istilah carbon trade.
Yang dilakukan DNPI ....?
DNPI
mendaftarkan
perusahaanperusahaan
dari
negara
yang
menurunkan emisi itu untuk diberikan
pengetahuan dan cara menghitung.
Jadi di salah satu deputi DNPI, tugasnya
adalah mengatur dan memfasilitasi
agar semua industri di Indonesia
bisa menurunkan emisinya. Bila ada
kelebihan emisi dan itu mempunyai
nilai, maka nilai itu akan dibayar oleh
pihak-pihak yang kelebihan emisi
tersebut. Adapun yang menghitung

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

emisi adalah lembaga internasional


yang telah diakui, dan
dilakukan
secara intensif. Hal itu bisa di detailkan
misalnya dengan menggunakan satelit,
dan lain-lain.
Sekarang ini carbon trade tersebut
belum begitu sahih/formal, karena
belum diikat oleh suatu kesepakatan
(COP decision) baik kualitatif maupun
kuantitatif. Hingga saat ini secara
kuantitatif belum
bisa ditetapkan,
selalu mengalami kegagalan termasuk
juga di pertemuan Frankfurt. Hal ini
disebabkan karena begitu ditetapkan
maka negara maju akan kena. Jadi
ekstrimnya, negara Amerika akan terus
menunda penerapannya.
Tetapi menyadari hal tersebut maka
perlu ada volunteering market. Carbon
trade ini dalam dimensi kecil dapat
dilakukan, yaitu bila orang dapat
mengurangi polusi maka harus diberi
kompensasi. Harus ada pengurangan
emisi di suatu daerah, hal ini dikaitkan
dengan hutan, di PU ada sampah. Kalau
suatu daerah sampahnya menggunung
dengan emisi sekian, sampah itu ditutup
dengan plastik kemudian dikumpulkan,
diukur methan yang keluar dan
dibakar, dihitung berapa, maka akan
ada nilai ekonominya, contohnya di
Bantar Gebang. Demikian juga ada
literatur yang telah menghitung nilai
methan dari peternakan sapi. Jadi yang
mikro-mikro seperti ini ada banyak di
Indonesia.
Contohnya dalam membangun
jalan yang akan membangkitkan
jumlah lalu lintas, menurut Bapak
keterkaitannya dengan emisi karbon?
Jalan raya yang disini adalah jalan tol,
akan
menghasilkan banyak sekali
emisi. Menurut saya tarif tolnya harus
disisihkan untuk biaya penghijauan,
jadi akan lebih mahal tapi apa boleh
buat. Misalkan tarif yang tadinya Rp
6.500 dinaikkan menjadi Rp 7.000,
jadi yang Rp 500 akan disumbangkan
untuk penghijauan. Jalan-jalan raya
yang menghasilkan banyak polusi itu di
offset dengan kegiatan yang lain. Ya ini

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

The idea behind carbon trading is quite similar to the


trading of securities or commodities in a marketplace.
Carbon would be given an economic value, allowing
people, companies or nations to trade it. The value
of the carbon would be beased on the ability of the
country owning the carbon to store it or to prevent it
from being released into the atmosphere.
contoh trade volunteer, dan ini sangat
konkrit.
Isu lain terkait abrasi pantai yang
merupakan dampak dari perubahan
iklim, menurut pendapat Bapak apa
upaya yang harus dilakukan?
Secara
kebijakan
negara
kita
memang
masih
memperhatikan
dan memperjuangkan perubahan
iklim supaya dikontrol. Yang menjadi
menjadi korban adalah pantaipantai, sementara beberapa masih
bisa dipagari oleh tanggul tapi itu
sementara sekali. Yang strategis itu kita
perlu serius berjuang untuk climate
change dunia. Kenaikan air muka laut
(sea level rise) itu dampak dari semua
negara yang mengeluarkan emisi
(tidak hanya negara yang terkena
dampak saja). Jadi penangannya
secara strategis tidak bisa oleh hanya

satu negara saja. Jadi yag dilakukan


adalah meminimalkan dampak dalam
dalam hal ini adalah adaptasi, yaitu
orang yang tinggal di pesisir dihimbau
untuk pindah ke tempat yang aman
dan diajarkan sesuatu yang baru.
Seperti kita ketahui, terdapat 2 strategi
dalam melawan Perubahan Iklim yaitu
mitigasi dan adaptasi. Mitigasi yaitu halhal yang harus kita perjuangkan untuk
dikurangi, dan kalau tidak bisa ya kita
harus sesuaikan yaitu dengan Adaptasi.
Jadi, perubahan iklim tidak dapat
dipungkiri dan pasti akan terjadi.
Semua pihak harus berkontribusi untuk
menekan tingkat dan laju kejadiannya
dan pada saat yang bersamaan
beradaptasi dengan perubahan dan
dampak yang terjadi. Akan tetapi yang
harus diingat adalah upaya ini tidak
boleh menghambat pembangunan.

profil wilayah

Berbagai tempat wisata


di wilayah pesisir Bali
memberikan pengaruh
yang sangat positif
terhadap PDRB
provinsi Bali

KEWAJIBAN dibalik Keindahan


KITA Wilayah Pesisir Bali
Oleh: Redaksi Butaru

Seluruh dunia mengenal Bali, dan bahkan banyak yang mengatakan jangan
mengaku ke Indonesia jika tidak menginjakan kaki ke Bali. Panorama keindahan
pantai di Bali menjadikan surga para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata
ini. Seluruh wilayah pesisir di Pulau Bali ini memiliki daya tarik masing- masing bagi
wisatawan, keindahan alam ini ditambah dengan keunikan budaya lokal yang tidak
dapat lepas di setiap tempat di Bali.
Banyak tempat yang dijadikan sebagai tempat-tempat yang sakral bagi penduduk
asli Bali untuk melakukan ibadah. Misalnya Tanah Lot, sebuah objek wisata di Bali
yang terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan. Di Tanah Lot
ini terdapat dua pura, pura pertama terletak di atas batu besar yang terletak di
sebuah batu karang besar yang berada di tengah pantai dan pura ke dua di atas
tebing yang menjorok ke laut ini dikenal sebagai pura laut, di mana ke dua pura
tersebut diyakini sebagai tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Setiap 210
hari sekali para umat Hindu di Bali memperingati hari raya Pura Di Tanah Lot ini atau
biasanya dikenal dengan sebutan Odalan. Pada peringatan Odalan ini para umat
Hindu di Bali mengunjungi pura ini untuk melakukan ibadah bersembahyang, oleh
karena itu tidak seluruh lokasi wisata di Tanah Lot ini dapat dikunjungi wisatawan
karena dianggap sebagai tempat yang sakral atau suci.

Sektor Pariwisata
Bali ini sudah terbukti
menciptakan iklim positif
pada pertumbuhan
ekonomi Provinsi Bali.

Dengan berbagai macam tempat wisata di Pulau Bali ini memberikan pengaruh
yang sangat positif terhadap PDRB Provinsi Bali, hal ini dibuktikan dengan
pemasukan terbesar PDRB Provinsi Bali terletak pada Sektor Pariwisata.
Perkembangan PDRB pada Triwulan I 2011 menunjukan peningkatan dari tahun
sebelumnya, yaitu mencapai 17,47 Triliyun, dimana sektor perdagangan, hotel,
dan restoran mendominasi PDRB Bali dengan nilai tambah sebesar 5.32 Triliyun
dan diikuti dengan peningkatan pada sektor lainnya. Sektor Pariwisata Bali ini
sudah sangat terbukti menciptakan iklim positif pada pertumbuhan ekonomi
Provinsi Bali. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi khususnya bagi penduduk Bali
adalah tetap menjaga dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi
calon wisatawan untuk meninkmati keindahan Bali dan tentunya menciptakan
pariwisata yang berkelanjutan.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

profil wilayah
Akankah Bali Bertahan?
Mempertahan Bali untuk tetap menjadi tujuan utama wisata di Indonesia itu
tidak semudah yang dikira, Mengapa Demikian?.. Banyak faktor yang mengancam
Bali. Isu Perubahan iklim/ Climate Change merupakan isu dunia yang harus
diwaspadai yang tidak menutup kemungkinan mengancam Bali. Secara singkat,
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan
dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim
terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim, kenaikan
temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan
permukaan air laut di seluruh dunia yang meningkat antara 10-25 cm selama abad
ke-20. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadinya erosi tebing,
pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara
sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan
sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem
pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai.
Kondisi ini tentunya sangat mengancam berbagai wilayah di Indonesia, karena
Indonesia terkenal dengan negara kepulauan termasuk Bali di dalamnya. Naiknya
permukaan air laut ini telah terjadi dibeberapa bagian di Indonesia, dan pada tahun
2008 Bali mengalami naiknya permukaan air laut. Kenaikan air laut tertinggi pada
tahun 2008 ditemukan di Pulau Ceningan yang terletak di sisi selatan Bali, kenaikan
muka air laut mencapai 50 cm dan bahkan menggenangi beberapa daratan. Akan
tetapi perlu untuk dicermati bahwa, tidak semata-mata naiknya permukaan air laut
ini hanya disebabkan oleh Perubahan Iklim, akan tetapi juga merupakan gabungan
dari berbagai macam penyebab, baik bersifat alami maupun yang disebabkan oleh
manusia. Apapun itu bentuk ancaman alam, sudah sewajarnya kita mengambil
langkah yang cepat dan tepat untuk dapat menyelamatkan bumi, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh PEMDA Bali lewat Balai Sungai Penida Bali. Berbagai daya
upaya telah dan akan dilakukan baik dalam bentuk teknis dan non teknis yang
bersifat keberlanjutan telah dilakukan dalam rangka mengamankan pesisir Bali
dari ancaman perubahan iklim dan siklus reguler alam.

Bagaimana Kondisi Pantai


Bali Saat Ini?
Melihat dari pengertiannya, pantai
adalah sebuah bentuk geografis yang
terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah
pesisir laut, sedangkan garis pantai
adalah batas pertemuan antara bagian
laut dan daratan pada saat terjadi air
laut pasang tertinggi. Garis pantai
bersifat dinamis dan dapat berubah
sewaktu-waktu, banyak faktor yang
dapat merubah garis pantai ini. Salah
satunya adalah abrasi atau erosi pantai,
yaitu pengikisan pantai oleh hantaman
gelombang laut yang menyebabkan
berkurangnya areal daratan. Bagaimana
dengan kondisi pantai di Bali? masih
amankah sebagai daerah wisata?

10

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Isu Perubahan iklim/


Climate Change merupakan
isu dunia yang harus
diwaspadai yang tidak
menutup kemungkinan
mengancam Bali

Perubahan garis pantai


di Bali merupakan
akumulasi dari berbagai
faktor penyebab seperti
perubahan iklim,siklus
reguler dan masyarakat
sekitar yang kurang peduli.

Panjang
No. Kabupaten/Kota Pantai (M)

Hampir seluruh garis pantai di Bali mengalami perubahan. Perubahan garis pantai
tersebut merupakan akumulasi dari berbagai faktor penyebab, selain Perubahan
Iklim, siklus reguler berupa abrasi/ erosi pantai yang tidak bisa dihindari, dan
kurangnya kepeduliaan penduduk sekitar pantai dalam menjaga wilayah pesisir
merupakan faktor penyebab yang tidak bisa dipungkiri di dalam perubahan garis
pantai ini.
Bali memiliki panjang pantai +437.700 Km dengan pemanfaatan daerah pantai
sebagai pelestarian biota laut, pariwisata, water sport, dan prasaran dan sarana
keagamaan. Kenyamanan pemanfaatan daerah pantai yang sangat besar ini
terganggu akibat abrasi/erosi pantai yang dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Pada tahun 1987 panjang pantai yang tererosi 49.950M, meningkat
menjadi 93.070M pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan
kembali menjadi 181.700M. Tentunya PEMDA yang dibantu oleh Pemerintah Pusat
dan JICA dalam hal ini, cepat mengambil tindakan dalam rangka pengamanan
pesisir pantai. Pada tahun 2009, panjang pantai yang telah ditangani secara
konstruksi 81.500M, kegiatan tersebut kembali dilanjutkan dilanjutkan pada tahun
2010 dengan total penangana garis pantai sepanjang 81.853M, dan tentunya
akan berlanjut pada tahun 2011 yang akan mencapai garis penanganan pantai
sepanjang 83.729M. Dari total penangana garis pantai tersebut, masih terdapat
97.974M garis pantai lagi yang perlu untuk ditangani secara konstruksi dalam
rangka penanganan garis pantai di Bali. Berikut adalah tabel rinci panjang pantai
yang mengalami erosi pada setiap kabupaten/kota beserta penanganannya:

Pantai Tererosi (M)

Panjang Pengaman (M)

s/d 1987

2008

2009

2009

2010

2011

Sudah Ditangani dengan


Konstruksi (M)
s/d
s/d 2009 s/d 2010 2011*

Yang Belum
Ditangani (M)

Buleleng

121.180

9.500

129.060

54.830

1.211

137

310

22.265

22.402

22.712

32.118

Jembrana

67.350

4.450

7.510

19.700

6.050

6.050

6.050

13.650
7.812

Tabanan

28.660

5.500

7.500

12.760

216

432

4.300

4.516

4.948

Badung

80.050

11.500

14.100

27.160

1.517

25.468

25.468

25.468

1.692

Denpasar

16.000

7.000

10.000

10.000

126

8.532

8.532

8.658

1.342

Gianyar

12.560

3.000

3.300

3.650

1.005

500

500

1.505

2.145

Klungkung

40.200

3.000

12.600

18.800

5600

5.600

5.600

13.200

Karangasem

71.700

6.000

9.000

34.800

8.785

8.785

8.785

26.015

TOTAL

437.700

49.950

93.950

181.700

2.728

353

1.873

81.500

81.853

83.726

97.974

Panjang Pantai Bali Yang Tererosi Beserta Penangannya

Tidak hanya Pemerintah Indonesia dan


pemerintah lokal saja yang konsern
terhadap perubahan garis pantai di
Bali ini, akan tetapi pihak luar pun ikut
konsern untuk tetap menjaga keutuhan
pantai di Bali. Dalam proses penanganan
teknis
ini,
Pemerintah
Jepang
melalui Japan Bank Of International
Cooperation (JBIC) juga ikut berperan
serta aktif melalui memberikan dana
bantuan untuk pelaksanaan pekerjaan.
Sering kita jumpai di Indonesia,
terdapat beberapa pekerjaan di dalam
penanganan bencana tidak sesuai
dengan akar permasalahan yang
ditanggulangi dan mengakibatkan
terjadinya kerugian dan bencana baru.
Oleh karena itu diperlukan pengenalan

lebih dalam dan lanjut dan mengenali


karakteristik daerah atau wilayah yang
akan ditangani. Seperti halnya yang
telah dilakukan di dalam penanganan
pantai di Bali seperti Pantai Kuta, Pantai
Sanur, Pantai Nusa Dua, dan Tanah Lot.
Penanganan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, PEMDA, pinjaman luar
negeri, dan dibantu oleh Jepang melalui
Japan Bank of International Cooperation
(JBIC) mengalami proses yang panjang,
diawali dengan pengenalan akar
permasalahan melalui penelitian yang
panjang, sehingga memperoleh langkah
penanganan yang tepat dan tentunya
disesuaikan
dengan
karakteristik
masing-masing wilayah. Pada tahap
pertama pengenalan permasalahan
adalah, dilakukannya identifikasi di

Proses Beachfill dan Tertapod

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

11

profil wilayah

beberapa titik pantai yang telah


mengalami abrasi dan erosi akibat
gelombang pasang yang sangat ganas
(tsunami/ badai besar) dan melakukan
beberapa penelitian di lokasi bencana.
Dari hasil identifikasi dan beberapa
penelitiaan keluarlah prioritas dan
teknisk- teknis penanganan sesuai
dengan yang permasalahan dan
karakteristik wilayah penangan.

Space Walkway

Secara umum penanganan pantai di


Bali menggunakan beberapa desain
teknis dalam rangka mengembalikan
profil pantai. Desain yang digunakan,
antara lain adalah membangun dinding
pantai (Revetment) yang dibangun
pada garis pantai atau di daratan yang
digunakan untuk melindungi pantai
dari serangan langsung gelombang,

Beberapa pemukiman
penduduk hancur akibat
abrasi dan harus berpindah
jauh dari garis pantai.

Penahan Ombak

Pelaksanaan konstruksi kegiatan pengamanan garis pantai


ini telah dilakukan dari tahun 2000 sampai dengan tahun
2008, dimulai dengan dengan pengerjaan di Pantai Kuta
yang menghabiskan waktu panjang, yaitu 2,6 tahun dimulai
dari Juni 1996 sampai dengan Desember 2008. Pengamanan
Pantai Kuta di awali dengan pembongkaran bangunan lama,
pengisian pasir, revetment, offshore breakwater, submarged
breakwater, pembangunan drainase, jalan setapak
(walkway), pembangunan fasilitas umum, landscaping, dan
pembangunan tempat parkir. Pada tahun 2000 dilanjutkan
dengan pelaksanaan konstruksi di Tanah Lot berupa
pembangunan submarged breakwater, perlindungan
kekuatan tebing atau batuan Pura dengan menggunakan
metode penahan dinding atau batu karang, penempatan
tentrapod, penyimpanan pasir, dan landscaping. Dan pada

pengisian pasir. Dilanjutkan dengan


pengisian pasir (Beach Fill) yang dapat
mengembalikan garis pantai seperti
semula, Breakwater dan Submarged
Breakwater yang berfungsi sebagai
pemecah gelombang, pembuatan
tetrapod yang berfungsi untuk
mengusir kekuatan dari ombak yang
datang dengan membiarkan air
mengalir ke sekitarnya, dengan kata
lain tetrapod ini juga berfungsi sebagai
pemecah ombak akan tetapi yang
membedakannya dengan breakwater
adalah bentuk dan penempatannya.
Tetrapod berupa blok beton yang
berkaki tiga dan ditempatkan di dasar
laut. Konstruksi selanjutnya adalah
walkway ini biasanya juga disebut
ruang bebas bagi publik yang dapat
dimanfaatkan sebagai jogging track
dan bisa juga gunakan sebagai jalur
sepeda. Selain itu bagi PEMDA, daerah
ini berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan inspeksi, pemeliharaan,
pengawasan dan monitoring daerah
sekitar pantai.

tahun 2001 pengerjaan konstruksi dilanjutkan di Pantai


Sanur dan Nusa Dua, dimana pengerjaan konstruksi ke dua
pantai ini tidak jauh berbeda dengan pengerjaan konstruksi
di Pantai Kuta.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, bahwa hampir
seluruh wilayah pesisir di Bali perlu penanganan segera,
masih banyak titik rawan lainnya yang dirasakan perlu
penangan khusus. Misalnya Pantai Lebeh yang berlokasi di
Kabupaten Gianyar yang kondisinya sangat memprihatinkan,
tercatat sejak tahun 2004-2010 garis Pantai Lebeh telah
mengalami pergesar sebesar menuju ke darat 24M. Beberapa
pemukiman penduduk hancur akibat abrasi dan harus
berpindah jauh dari garis pantai. Sebagai mana terlihat pada
gambar berikut ini.

Bangunan yang rentan terhadap abrasi di tepi pantai Lebeh

12

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Setelah
berakhirnya
kegiatan
konstruksi, bukan berarti penanganan
pengaman pantai berhenti sampai
di sini saja, akan tetapi ada tahap
perawatan dan pemantauan yang
berkelanjutan
sangat
diperlukan
untuk mewujudkan kelestarian dan
keindahan Pantai Bali agar tetap selalu
terjaga dengan melibatkan aktif serta
masyarakat dan stakeholder.
Pada awalnya sebelum melakukan
kegiatan konstruksi dan setelah pekerjaan

selesai, PEMDA Bali telah melakukan


pendekatan kepada masyarakat bali
melalui kegiatan sosialisasi, berbagai
respon dan tanggapan yang diterima
PEMDA pada saat sosialisasi tersebut.
Ada beberapa masyarakat Bali yang
bermukim dan beraktifitas di sekitar
pesisir bali dengan sukarela membantu
PEMDA
melakukan
penanganan
pengamanan garis pantai dengan
merelakan sebagian tanah mereka yang
berlokasi persis di garis pantai untuk
dapat digunakan sebagai walkway.

Walkway di Panti Padang Galak

Diperlukan kesadaran yang tinggi


bagi masyarakat sekitar pantai
untuk melakukan pemindahan
pasir ke tempat yang mengalami
pengikisan pasir.

Pantai Nusa Dua sebelum Konstruksi

Pantai Nusa Dua sesudah Konstruksi

Akan tetapi ada pula beberapa masyarakat yang sulit untuk


mengerti dan masih ingin mempertahankan keinginannya
untuk dapat bermukim dan melakukan aktivitas disekitar
pantai karena merasa memiliki yang besar, misalnya pada
sebelum proses pengerjaan breakwater, beberapa masyarakat
menilai bahwa peletakan breakwater dapat mengganggu
aktivitas wisatawan yang akan melakukan surfing dan olah
raga lainnya. Selain itu pada proses pengerjaan beach fill,
dimana pasir yang berada di pesisir pantai ini bersifat dinamis.
Sering terjadi proses penumpukan pasir di suatu bagaian
pantai dan terdapat pula penipisan pasir dibeberapa pantai
akibat dari deburan ombak. Untuk menghindari penumpukan
pasir pada suatu bagian garis pantai, maka diperlukan
kesadaran yang tinggi bagi masyarakat disekitar pantai untuk
melakukan pemindahan pasir ke tempat yang mengalami
pengikisan pasir. Pengerjaan ini awalnya dilakukan oleh
PEMDA, akan tetapi tidak secara terus menerus PEMDA
dapat melakukannya, oleh karena itu diperlukan kesadaran
yang tinggi oleh para masyarakat sekitar dengan sukarela
melakukannya. (mpb)
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

13

topik utama

Penerapan

Low Carbon dalam


Economy Penataan
Ruang
Oleh: Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc,
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian PU
(Ketua Tim Pokja Adaptasi, DNPI)

Spatial planning can be seen as an effort to optimize space utilization.


To optimize mean allowing sectoral developments grow optimally in one hand
and protecting environmental sustainability in the other hand. In this light,
spatial planning spirit is very similar to that of low carbon economy,
fostering growth while maintaining environmental sustainability.

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim


Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi
Gas Rumah Kaca di atmosfer adalah penjelasan singkat dari apa yang selama
ini kita sebut dengan Pemanasan Global. Pemanasan ini akan diikuti dengan
Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia
yang menyebabkan menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di belahan bumi
lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan akibat kenaikan suhu.
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama
yangberhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan
batu bara) sertakegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan
peternakan. Aktivitas manusia di kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung
maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer, yaitu
peningkatan kuantitas Gas Rumah Kaca secara global.

Pemanasan Global
akan diikuti dengan
perubahan iklim, seperti
meningkatnya curah
hujan di beberapa
belahan dunia sehingga
menyebabkan banjir
dan erosi.

Indonesia merupakan negara yang RENTAN terhadap


dampak perubahan iklim

Pemanasan Global

ADAPTASI

Dampak
FENOMENA
PERUBAHAN IKLIM
- Kenaikan Temperatur
- Peningkatan Muka Air Laut

Sumber

- Kejadian Iklim Ekstrim


- Perubahan Jumlah dan Pola
Presipitasi

Vulnerable Assesment
KONTRIBUTOR
MITIGASI

Indonesia merupakan penyumbang emisi GRK terbesak di dunia (WB, 2007)

14

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penataan Ruang


- Temperatur
- Peningkatan Muka
Laut
- Perubahan Pola Hujan

Berdampak pada..

Kesehatan

Pertanian

Kehutanan

Sumber Daya Air

Kawasan Pesisir

Habitat Alami

Peningkatan
Penyebaran
Penyakit Menular

Penurunan
luas lahan dan
Produktivitas

Alih Fungsi Lahan

Penurunan Kualitas
dan Kuantitas Air
Baku

Tenggelamnya
kawasan pesisir

Punahnya Spesies
Langka

Ancaman terhadap
pulau- pulau
kecil terluar

Ancaman terhadap
keberlangsungan
kawasan konservasi

Dampak terhadap Penataan Ruang


Ancaman terhadap
sanitasi di kawasan
perkotaan

Ancaman terhadap
ketahanan pangan

Alih Fungsi lahan


kawasan lindung
akibat deforestasi

Kerusakan
kawasan di sekitar
DAS/WS kritis

Penerapan Low Carbon Economy


Pembangunan yang berdasar pada keuntungan ekonomi, tanpa menghiraukan
dampak ekologis terbukti menyebabkan emisi gas rumah kaca yang tinggi.
Fenomena ini menjadi salah satu penyebab deviasi iklim. Maka dari itu, konsep LowCarbon Economy (LCE) menjadi fokus penting dalam kerangka kerja pengendalian
deviasi iklim. Menurut Youngshung Cho (Korean University) LCE atau green growth
dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth)
yang dapat menekan polusi dan produksi gas rumah kaca.
Sebagai salah satu alat untuk pengendalian pembangunan, penataan ruang dapat
menekan produksi gas rumah kaca dengan menerapkan skenario LCE ke dalam
proses penataan ruang. Pada dasarnya, penataan ruang dapat dilihat sepagai upaya
dalam pengoptimalisasi penggunaan ruang. Optimalisasi dalam hal ini berarti
memberikan kesempatan pada sektor untuk berkembang secara maksimal tanpa
mengabaikan kualitas lingkungan hidup. Maka penataan ruang pada dasarnya
memiliki konsep yang sama dengan LCE yaitu mendukung pembangunan dengan
tetap menjaga kualitas lingkungan.

Green Growth dapat


diartikan sebagai
pertumbuhan yang
berkelanjutan yang dapat
menekan polusi dan
produksi gas rumah kaca.

Sejak ditetapkan pada tahun 2007 Undang-Undang No. 26 tentang Penataan


Ruang konsep LCE sudah menjadi pertimbangan. Tertulis di dalamnya, bahwa
penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam undang-undang ini, dijelaskan bahwa
perencanaan penataan ruang dapat dilakukan berdasarkan sistem, fungsi utama,
wilayah administratif, kegiatan utama pada wilayah tersebut, dan nilai strategis
wilayah. Kriteria ini selebihnya diatur dalam peraturan dan kebijakan pendamping.
Konsep LCE dapat digunakan sebagai salah satu skenario alternatif dalam
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

15

topik utama

mewujudkan tujuan penataan ruang.


Namun konsep ini harus dapat
diadaptasi dalam strategi penataan
ruang, termasuk struktur dan pola
penataan ruang. Untuk rencana yang
lebih detail, penerapan konsep LCE
harus diatur dalam kebijakan yang
lebih detail dan lebih mendalam
untuk penggunaan ruang dan pola
pemanfaatan ruang.
Penerapan konsep LCE dalam penataan
ruang merupakan suatu investasi yang
sangat menguntungkan, salah satunya
adalah perwujudan target nasional
dalam pengurangan emisi gas buang
sebanyak 26%. Konsep ini juga dapat
mendatangkan investor, terutama
investor yang bergerak dalam bidang
yang berbasis lingkungan hidup. Jika
konsep ini diterapkan secara tepat,

Indonesia akan mendapat pengakuan


internasional dalam penerapan konsep
LCE.
Lebih lanjut, upaya pengarusutamakan
konsep LCE ke dalam penataan ruang
dilakukan dengan mengintroduksi
konsep tersebut ke proses penataan
ruang secara keseluruhan. Sebagai
contoh, dalam perumusan tujuan,
kebijakan, dan strategi hendaknya
telah memasukan aspek keberlanjutan,
kebijakan green economy, dan
kebijakan
pengurangan
emisi
karbon. Rencana struktur tata ruang
hendaknya sudah mengakomodasi
konsep sustainability urban living dan
low-carbon mobility. Konsep smart
growth, compact cities, dan green cities
hendaknya dapat diaplikasikan dalam
rencana pola ruang.

Kerangka Pemikiran
Skenario Pengarusutamaan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang:
Peluang dan Kendala

Low-carbon Economy
(LCE)

Penataan Ruang

Berkelanjutan

Penghapusan Kemiskinan
Mitigasi dan Adaptasi
Deviasi Iklim

- UUPR
- RTRWN, RPR, Provinsi,
Kota, dan Kabupaten

Peluang dan Kendala

Rekomendasi

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

1. Pengertian tentang konsep LCE


harus diperhatikan, dan harus
dipahami oleh seluruh lapisan
pemerintahan;
2. Harus adanya definisi standar,
parameter, variabel dan indikator
yang jelas dan terukur berhubungan
dengan konsep LCE, agar setiap
perencanaan yang dibuat dapat
teranalisis;
3. Tersedianya pedoman dan sumber
daya manusia yang berkompeten
dalam penerapan LCE. Pedoman
penerapannya sudah dalam tahap
penyusunan, dan termasuk dalam
Rencana Tata Ruang. Namun setiap
institusi memiliki pedoman masing
-masing, pedoman tersebut harus
diharmonisasikan untuk
menghindari tumpang-tindih
kebijakan. Sumber daya manusia
harus difokuskan dalam pemerintah
daerah di mana tingkat kompetensi
SDM masih lemah.
4. Sampai saat ini, baru 20 provinsi
(61%), 42 kabupaten (11%) dan 16
kota (17%) yang telah mendapatkan
persetujuan substansi. Kendala
yang terdapat dalam persetujuan
substansi adalah proses persetujuan
yang panjang, mulai dari
persetujuan substansi dalam
tingkat lokal, nasional (BKPRN) dan
persetujuan pelepasan kawasan hutan.
5. Pelaksanaan dari implementasi
yang masih ambigu, dan perlu
diingat tidak semua langkah dapat
diterapkan dalam Rencana Tata Ruang.

Ketahanan Pangan

16

Namun terdapat beberapa kendala


dalam penerapan konsep LCE ini, yaitu:

Walaupun masih banyak kendala


dalam penerapan ini, namun dengan
cara yang tepat, penerapan konsep ini
akan mengangkat nama Indonesia di
mata dunia dalam penerapan konsep
ramah lingkungan.

Pentingnya
Pemaduserasian
Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air

Oleh: Purba Robert Sianipar


Asisten Deputi Urusan Sumber Daya Air,
Kemenko Perekonomian

ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah

Pengelolaan sumber daya air yang tidak


mengantisipasi dinamika pembangunan,
perkembangan penduduk, dan siklus air
musiman yang semakin tidak menentu sebagai
dampak perubahan iklim global, akan dapat
menimbulkan krisis sumber daya air.

Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di


sumber daya air yang sering diperbincangkan banyak pihak.
Peningkatan alih fungsi lahan tidak hanya mengancam
ketahanan pangan nasional, tetapi juga berdampak pada
hilangnya investasi pemerintah dalam pembangunan
jaringan irigasi, peningkatan risiko banjir, dan mengurangi
ketersediaan air.
Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa di Pulau Jawa
terjadi pengurangan lahan sawah periode 1981-2002 sebesar
1,17 juta Ha. Walaupun ada pencetakan sawah baru sebesar
536,25 ribu Ha di beberapa lokasi, tetapi tidak sebanding
dibandingkan alih fungsi yang terjadi.

Penysutan lahan pertanian

Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah


membuahkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan
pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota- kota besar
tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan
dengan itu, berbagai permasalahan muncul dan semakin
kompleks. Tidak terkecuali dalam pengelolaan sumber daya air.

Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari


hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak
pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya
perbedaan debit maksimum-minimum, erosi, dan sedimentasi.
Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali akan menambah
panjang daftar DAS kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya
banjir dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya akan
semakin meningkat. Dengan kata lain, ada sensitive landuse
pada suatu DAS, dan apabila kemampuan daya resap air pada
sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi kekritisan
sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya,
penurunan debit andalan.

Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga dihadapkan
pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur sumber
daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir kanal.
Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam hal
penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke
ranah hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan
tersendiri dalam memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan
pemahaman dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan
budaya diberbagai daerah, memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat
dan daerah, serta sesama pengguna air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi
baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai
merupakan tantangan dalam membangun sistem kelembagaan pengelolaan
sumber daya air yang handal. Integrasi berbagai sektor mutlak diperlukan untuk
saling melengkapi dan menyesuaikan.

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

17

topik utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan
sumber daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan
sumber daya air didasarkan asas-asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan
umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi
dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan SDA diarahkan untuk
menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA, pendayagunaan
SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di catchment
area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan masalah
hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan, dengan
satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi tidak
dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga mengutamakan
pendekatan non-struktur
Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air tanah sebagai
sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik.
Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara
seimbang dengan kemampuan pengisiannya kembali.
Pengelolaan SDA diarahkan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan air permukaan dan air hujan.
Sementara itu, pengendalian daya rusak air dilakukan dengan
mengatasi permasalahan mendasar, yaitu peningkatan
limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan
tutupan lahan dan penurunan fungsi resapan. Karenanya,
penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten.
Kehandalan layanan jasa pengelolaan SDA harus ditingkatkan
agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun, agar daya
rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar
kualitas air baku meningkat, dan agar sistem penyediaan air
minum dapat mencapai target MDGs (Millenium Development
Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha perlu
digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip
kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA
seperti yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004
mengamanatkan perlunya disusun pola pengelolaan sumber
daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar, Pola
PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip
keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan
Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat
dan dunia usaha seluas-luasnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan
SDA pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan
kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat wilayah administrasi
yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA ditetapkan
secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan
provinsi atau kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata
ruang wilayah.

18

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Keterkaitan Pola PSDA dengan RTRW


Pola PSDA dan RTRW memiliki hubungan yang bersifat
dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan. Pasal 39 dari
PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana pengelolaan
SDA yang sudah ditetapkan merupakan dasar penyusunan
program dan rencana kegiatan setiap sektor yang terkait
dengan sumber daya air, dan sebagai masukan dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan
rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan.
Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang secara tidak langsung
menyebutkan bahwa penataan ruang harus memperhatikan
kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai sumber daya
(termasuk sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa
rencana tata ruang meliputi sistem jaringan prasarana sumber
daya air, kawasan lindung (termasuk kawasan konservasi),
dan kawasan budi daya (termasuk daerah layanan irigasi).
Karena itu, RTRW diharapkan menjadi pedoman untuk
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
antarsektor (termasuk pengelolaan SDA).
Salah satu contoh kasus yang menarik untuk melihat
keterkaitan pengelolaan sumber daya air dengan rencana
tata ruang wilayah adalah pembangunan Banjir Kanal
Timur (BKT). Terlepas dari persoalan bagaimana sebaiknya
menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak
tahun 1973. Master Plan for Drainage and Flood Control of
Jakarta (dikenal sebagai Master Plan 1973) disusun sebagai
rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota Jakarta.
Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973

lahan untuk trase BKT telah tersedia. Tentu bisa dibayangkan


bagaimana sulitnya apabila sepanjang trase BKT telah berdiri
pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus
diputuskan yaitu membiarkan Jakarta terus bersahabat
dengan banjir atau menguras anggaran untuk ganti rugi
lahan.

Pemerintah menyadari tidak mudah untuk mewujudkan


pelaksaan master plan tersebut. Terbatasnya alokasi
anggaran merupakan masalah klasik yang dihadapi setiap
tahun. Namun Pemerintah tetap bertekad untuk menjadikan
ibukota negara, kawasan bebas banjir. Sejalan dengan upaya
menemukan skenario pembiayaan yang tepat, Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta memasukkan rencana pembangunan
tersebut ke dalam rencana tata ruang wilayahnya.

Jadi secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam RTRW


Propinsi atau Kabupaten/Kota diharapkan mampu
memberikan jaminan pelaksanaan pengelolaan sumber
daya air ke depan. Mengapa demikian? Karena, RTRW
selain merupakan instrumen perencanaan, juga merupakan
instrumen pengendalian pembangunan. RTRW memiliki alat
paksa yaitu berupa ketentuan sanksi bagi setiap orang/pihak
yang melanggarnya.

Adanya rencana pembangunan BKT dalam Peraturan Daerah


Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah 2010, membuat penyediaan lahan seluas
405,28 Ha yang terdiri dari 147,9 Ha di Jakarta Utara dan
257,3 Ha di Jakarta Timur, memungkinkan untuk dilakukan.
Walau pembebasan lahan berjalan lambat, tetapi setidaknya

Integrasi Pola PSDA dengan RTRW


Walaupun secara umum pengintegrasian rencana
pembangunan nasional ke dalam RTRW telah
dilakukan, namun integrasi di bidang sumber daya
air belum dilaksanakan secara utuh. Saat ini fokus
integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak
pada sistem jaringan prasarana SDA, yang meliputi
jaringan SDA lintas negara dan lintas propinsi untuk
mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk
kebutuhan air baku industri, jaringan air baku untuk
kebutuhan air minum, dan sistem pengendalian
banjir.
Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber
daya air, dan pengendalian daya rusak air, seharusnya
integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga
komponen tersebut ke dalam struktur ruang dan
pola ruang di RTRW. Secara substansi, masukan Pola
Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurangkurangnya memuat hal-hal berikut di bawah ini.

Pola/Rencana PSDA
- Merencanakan
- Melaksanakan
- Memantau, dan
- Mengevaluasi
Upaya/Kegiatan

pada/untuk

Struktur

Struktur

Pola Ruang

Sumber Air
- Sungai
- Danau / Situ
- Waduk / Embung
- Mata Air

Pengendalian
Daya Rusak Air
pada/untuk

Pendayagunaan
SDA
pada/untuk

Konservasi SDA

Prasarana SDA
- Jaringan Irigasi/Air Baku
- Jaringan Rawa
- Jaringan Pengendalian Banjir

Substansi Masukan Pola Pengelolaan


SDA ke Dalam RTRW

Pola Ruang

Kawasan Budidaya
- Daerah Irigasi
(D.I)
- Daerah Irigasi Rawa
- Daerah Resapan
air dan daerah
tangkapan air
- Kawasan Rawan
Banjir

Struktur

Pola Ruang

Kawasan Lindung SDA


- Wilayah Sungai
- Kawasan Perlindungan dan
Pelestarian Sumber Air :
- Daerah resapan air dan
daerah tangkapan air
- Sempadan Sumber Air
(Sungai, Danau/Waduk,
Mata Air)
- Kawasan Rawan Banjir
- CAT

Catatan:
- Kawasan rawan banjir di terminologi Tata Ruang merupakan kawasan
lindung sekaligus budidaya, contohnya Jakarta
- Kawasan resapan air itu di terminology SDA adalah daerah resapan air
dan dan daerah tangkapan air (PP 42 Tahun 2008: Pasal 50 1 a)

Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air perlu


disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.
No
1

Prasarana SDA dlm pola PSDA

A. STRUKTUR RUANG

1. Sungai
2. Bendungan Besar

3. Jaringan Prasarana SDA

II

4. Banjir Kanal
5. Saluran Drainase
6. Tanggul Banjir

B. POLA RUANG

1. Wilayah Sungai
2. Sumber Air (Danau, Waduk)
3. Sabuk Hijau
4. Kawasan Lindung SDA
5. Daerah Irigasi
6. Daerah Irigasi Rawa
7. Daerah Rawan Banjir
8. Sepadan Sungai
9. Cekungan Air Tanang

Nasional

Propinsi

Pj > 100 km
Luas Genangan >
50.000 Ha
Saluran (irigasi)
Pj > 25km
Pj >25 km
Pj >25 km
Pj >25 km

Pj > 10 km
Luas Genangan
> 5.000 ha
Saliran (irigasi)
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km
Pj > 2,5 km

Semua
Semua

WS Tanggung Jawab
Pusat
Luas Genangan
>50.000 Ha
Luas > 50 km2
> 50.000 Ha
> 50.000 Ha
Luas Genangan
> 50.000 Ha

WS Pusat dan
Propinsi
Luas genangan
>5.000 Ha
Luas > 10km2
> 5.000 Ha
> 5.000 Ha
Luas Genangan
> 5.000 Ha
Di kota Besar
Lb > 50 m
Luas CAT > 5.000 Ha

Semua

Luas CAT > 50.000 Ha

Kab/Kota

Semua

Keterangan
Bila tidak mungkin
masuk dalam Peta,
minimum ada dalam
teks atau narasi

Semua
Semua
Semua

Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua
Semua

Contoh Masukan Pola PSDA ke dalam RTRW

Bila tidak mungkin


masuk dalam Peta,
minimum ada dalam
teks atau narasi

Pengintegrasian rencana
pengelolaan sumber daya
air ke dalam RTRW harus
dapat tercermin dalam
tujuan, kebijakan dan
strategi, baik di tingkat
nasional, propinsi maupun
kabupaten/kota.

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

19

topik utama

Pengintegrasian juga perlu mempertimbangkan hirarki


yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam pengelolaan
SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi
pemerintahan, yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi,
dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pengelolaan
SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan Wilayah Sungai (WS)

RUANG WILAYAH

Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS Strategis Nasional,


WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota.
Apabila digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat
terjadi antara RTRW dengan Pola PSDA Wilayah Sungai
adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.

RTRW NASIONAL

RTRW PROVINSI

RTRW KAB/KOTA

Sinkronisasi
Tingkat Nasional

Sinkronisasi
Tingkat Provinsi

Sinkronisasi
Tingkat Kab/Kota

SUMBER DAYA AIR

POLA DAN RENCANA PSDA WS:


1. WS Satu Kab/Kota
2. WS Lintas Kab/Kota
3. WS Lintas Provinsi
4. WS Lintas Negara
5. WS Strategi Nasional

Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai

Lebih jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber


daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan,
kebijakan dan strategi, baik di tingkat nasional, propinsi maupun
kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan
penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber
dana, instansi pelaksana, dan target waktu pelaksanaan.
Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa dimanfaatkan,
saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan
Pola PSDA pada tingkat wilayah sungainya. Jumlah RTRW yang
telah disahkan (Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai
8 propinsi dan 25 kabupaten/kota. Sementara itu, pembuatan
Pola PSDA di wilayah sungai yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total 68
rancangan pola.
Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA
ke dalam RTRW berupa peta, teks/narasi, dan program yang
disiapkan sekaligus ketika melakukan penyusunan Pola
Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan RTRW

20

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

dan Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota


hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian
ini diharapkan dapat meminimalisir dampak perubahan
pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini.
Pada tatanan kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola
PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota
sangat diperlukan untuk memastikan tersedianya lahan bagi
pembangunan prasarana sumber daya air. Dengan demikian
diharapkan tujuan pembangunan sumber daya air sebagai
bagian dari pembangunan nasional dapat mewujudkan
kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk
kemakmuran rakyat.
Akhir kata dapat disampaikan bahwa antara Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air dan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat
hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling
menyesuaikan. Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam
penyusunan dan perbaikan RTRW, dan sebaliknya pengembangan
sumber daya air harus didasarkan pada RTRW yang telah disusun.

Penanganan

DAS Bengawan Solo Di Masa Datang


Oleh: Ir. Iman Soedradjat, MPM
Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional,
Ditjen Penataan Ruang, Kementerian PU

DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki


posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi
kegiatan sosial-ekonomi perkotaan dan perdesaan yang ada
di sekitarnya, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun
kebutuhan ekonomi. Pentingnya peranan DAS dinyatakan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang
menetapkan DAS Bengawan Solo sebagai salah satu prioritas
utama dalam penataan ruang sehubungan dengan fungsi
hidrologi untuk mendukung pengembangan wilayah.
Selain itu, DAS Bengawan Solo juga merupakan satu sistem
ekologi besar yang dalam perkembangannya saat ini
mengalami banyak kerusakan dan mengarah pada kondisi
degradasi lingkungan. Ada dua indikator degradasi, pertama,
konversi lahan hutan di daerah hulu ke penggunaan pertanian,
perkebunan, dan permukiman yang menyebabkan terjadinya
peningkatan laju erosi dan peningkatan laju sedimentasi. Kedua,
terjadinya fluktuasi debit sungai yang mencolok di musim hujan
dan kemarau.
Berdasarkan pertimbangan ekologis dan sosial ekonomi, DAS
Bengawan Solo merupakan satu kesatuan yang terintegrasi
dan tidak mengenal batas wilayah administrasi. Potensi dan
persoalan yang ada ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak
saja tetapi perlu disikapi bersama-sama secara bijak. Selain
pertimbangan ekologis, sosial ekonomi, maupun sejarah, juga
karena keberadaan sumber daya alam DAS Bengawan Solo
sebagai sumber daya alam bersama (common pool resources)
yang menuntut adanya kepemilikan bersama (collective
ownership).
Sebagai sumberdaya alam milik bersama, maka sumber daya
alam yang terdapat di DAS Bengawan Solo membutuhkan
penanganan secara bersama di antara semua pemangku
kepentingan atau yang dikenal dengan collective management
yang mengarah pada suatu bentuk collaborative management.
Hal ini juga menjadi penting karena hingga saat ini belum
tercipta kerjasama penataan ruang di antara semua pemerintah
daerah di dalam kawasan DAS yang bertujuan untuk
penyelamatan DAS.

PENINGKATAN PENATAAN KAWASAN DAS

Posisi
yangSOLO
penting dan keunikan karakteristik dari DAS
BENGAWAN
Bengawan Solo ini perlu diwadahi dan diantisipasi dalam suatu
arahan penataan ruang yang menyeluruh dan jelas. Rencana
tata ruang DAS Bengawan Solo yang menjadi panduan bagi
semua RTRW provinsi, kabupaten maupun kota yang berada
di Kawasan DAS Bengawan Solo sebagai dasar kegiatan
pengembangan wilayah di provinsi, kabupaten maupun kota
tersebut, sampai saat ini belum tersusun.
Padahal, rencana tata ruang ini nantinya diharapkan dapat
menjadi dasar pemanfaatan dan pengendalian lahan sehingga
secara langsung dapat mengurangi kontribusi debit puncak
dan volume banjir yang terjadi dan sekaligus menjadi pengikat
dalam kerjasama penataan DAS. Jelas bahwa RTR DAS Bengawan
Solo memiliki peran penting.
Untuk itu telah dilakukan penyusunan arahan kebijakan dan
strategi pemanfaatan ruang serta pengelolaan wilayah sungai
yang terakomodasi antar sektor dan antar wilayah sehingga
dapat tercapai pola pemanfaatan ruang yang mendukung
kelestarian dan keserasian pemanfaatan wilayah Sungai
Bengawan Solo. Selanjutnya kebijakan dan strategi tersebut
akan menjadi dasar dalam mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta mampu meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat setempat.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

21

20

topik utama
Dari beberapa pertemuan telah dilakukan kesepakatan untuk
ditindak lanjuti yaitu:
a. Guna Lahan Optimal (GLO), yang diharapkan menjadi dasar
pemanfaatan ruang DAS dan menjadi basis untuk penyusunan
rencana tata ruang DAS Bengawan Solo. Adapun GLO ini
sudah mempertimbangkan aspek kontribusi debit puncak
dan volume banjir berdasarkan pemanfaatan penggunaan lahan;
b. Arahan kebijakan, strategi, dan arahan program, yang
dapat menjadi panduan untuk menata DAS Bengawan Solo

dengan memperhatikan aspek bencana banjir, longsor, dan


pengembangan wilayah kawasan;
c. Mekanisme kelembagaan dan arahan pengendalian untuk
mendukung tercapainya penyesuaian RTRW masing-masing
pemerintah daerah dengan Guna Lahan Optimal, terciptanya
rencana tata ruang DAS Bengawan Solo, tercapainya
sinkronisasi semua RTRW dengan rencana tata ruang DAS,
dan tercapainya penataan DAS dengan memperhatikan
aspek sosial-ekonomi kawasan.

MEMBUTUHKAN PRASYARAT : KOORDINASI ANTAR SEKTOR


melalui forum diskusi terfokus antar semua pemangku kepentingan terkait
PENGELOLAAN BERBASIS EKOLOGI PADA KAWASAN DAS

- Adanya integrasi ekosistem dengan sistem sosial


ekonomi
- Aliran Sungai DAS Bengawan Solo melintasi beberapa
wilayah administrasi (2 provinsi dan 17 kab/kota)

KEBUTUHAN
PENINGKATAN DAS
BENGAWAN SOLO

PERAN DAN POSISI DAS BENGAWAN SOLO


- RTRWN : Prioritas utama penataan ruang untuk fungsi
hidrologi
- Merupakan daerah rawan bencana
- Sungai terpanjang di Pulau Jawa (600 km dari
Wonogiiri
sampai Gresik, melintasi 2 Provinsi)

Prinsip Keseimbangan Sosial


Ekonomi dan Lingkungan

TEKANAN EKOSISTEM DAS KARENA DINAMIKA PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI


- Pertumbuhan sosial ekonomi
- Konversi lahan konservasi menyebabkan penurunan
daerah resapan air
- Sedimentasi daerah hilir menyebabkan fluktuasi debit
air yang mencolok

Diakomodasi dalam kebijakan, strategi dan


arahan program penataan DAS bengawan solo

Latar belakang perlunya kordinasi antar sektor

Optimalisasi Penggunaan Lahan di Kawasan DAS Bengawan Solo


Guna Lahan Optimal adalah guna lahan yang memberikan
kondisi: debit puncak banjir berkurang, run off menurun,
volume banjir berkurang, kegiatan ekonomi tetap
berkembang, kondisi sosial dan budaya masyarakat tidak
terganggu

Penggunaan Lahan optimal DAS Bengawan Solo

Optimalisasi penggunaan lahan di Kawasan DAS Bengawan


Solo
merupakan hasil simulasi guna lahan dengan
menggunakan pemodelan hidrologi dan geologi lingkungan.
Beberapa kondisi di DAS Bengawan Solo berdasarkan
pemodelan tersebut adalah sebagai berikut:
Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan, ladang,
sawah, dan permukiman yang terjadi di DAS Bengawan Solo
22

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

menimbulkan puncak dan volume banjir yang semakin besar;


Besarnya banjir dari anak-anak sungai tergantung juga dari
jenis tanah selain dari perubahan fungsi lahan dan karakteristik
hidrologi seperti kemiringan dan panjang sungai;
Daerah yang rentan terhadap pertambahan banjir adalah
sub-sub DAS yang mengandung jenis tanah berkemampuan
meresapkan air ke dalam tanah cukup tinggi (daerah resapan);
Sub-sub DAS dengan alih fungsi lahan hutan menjadi
perkebunan, ladang, sawah, dan permukiman terjadi
pada sebagian besar kawasan sehingga menimbulkan
pertambahan puncak dan volume banjir lebih dari 100%;
Sub-sub DAS dengan dominasi jenis tanah kurang mampu
meresapkan air (kemampuan melewatkan air di permukaan
tanah cukup tinggi) biasanya rentan terhadap perubahan
fungsi lahan seperti diketemukan pada bagian hulu sub-DAS
Kali Madiun dan sebagian besar sub DAS Bengawan Solo Hilir;
Perubahan guna lahan mempengaruhi tinggi rendahnya
debit puncak dan volume banjir.
Komposisi guna lahan seperti sekarang menimbulkan
puncak dan volume banjir makin besar dibandingkan
dengan guna lahan sebelumnya di tahun 1964 untuk sub
DAS Bengawan Solo Hilir;
Pengembalian fungsi konservasi hutan pada beberapa
kawasan akan memiliki pengaruh yang lebih signifikan
terhadap pengurangan debit puncak dan volume banjir
apabila dikombinasikan dengan penerapan Low Impact
Development (LID);

Peta Penggunaan lahan optimal

Rencana tata ruang ini


diharapkan dapat menjadi
landasan bagaimana
mengatasi implikasi dari
pengembangan yang ada
terhadap kebutuhan ait di
masa yang akan datang.

Kondisi di atas juga dipicu oleh kondisi alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan
kemampuan lahan yang ada. Berdasarkan pada hasil analisis geologi lingkungan
terkait kemampuan lahan tersebut, terdapat beberapa kondisi penggunaan lahan
di DAS Bengawan Solo sebagai berikut:
Terdapat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya;
Terdapat penggunaan lahan pada kawasan rawan dengan kemampuan lahan
sedang, seperti di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Gunung
Jeding-Patujbanteng, Cawas, Wonogiri-Eromoko, Giriwoyo, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Jetis, Sarangan, Kendal, Ngrampe, PulungWungu, Caruban, Talangkembar, dan Ngadirejo-Juwok;
Terdapat kawasan yang tidak boleh dikembangkan karena kemampuan lahan
yang rendah, seperti di sekitar daerah Cawas, Wonogiri-Eromoko, Tirtomoyo,
Slogohimo, Badegan, Wonokerto, Sarangan, Kendal, Ngrampe, dan PulungWungu; dan
Terdapat beberapa kawasan yang harus dihutankan kembali atau dikembalikan
fungsinya sebagai kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Boyolali, Klaten,
Wonogiri, Gresik, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Tuban.

Terumuskannya Implikasi Perubahan Iklim dan Perubahan Guna Lahan


terhadap Puncak dan Volume Banjir di Kawasan DAS Bengawan Solo
Beberapa kondisi di Kawasan DAS Bengawan Solo berdasarkan pemodelan
perubahan iklim tersebut yaitu:
Hujan di kawasan DAS Bengawan Solo mengakibatkan banjir cenderung
bertambah besar;
Hujan tahunan yang cenderung berkurang disertai dengan alih fungsi lahan
mengakibatkan aliran air di musim kemarau berkurang sehingga intensitas
kekeringan bertambah besar;
Untuk 30 tahun mendatang, perubahan iklim akan mengakibatkan banjir
bertambah 50% dan perubahan guna lahan akan mengakibatkan banjir
bertambah 53%;
Jika proses perubahan iklim terjadi saat perubahan guna lahan, maka puncak
dan volume banjir akan bertambah sebesar 135%.

Terumuskannya Pengembangan Ekonomi Alternatif dan Ramah Lingkungan


untuk Pengembangan Wilayah
Adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi
kawasan budidaya merupakan akibat dari tekanan kebutuhan
lahan yang pada akhirnya menyebabkan adanya degradasi
lingkungan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi untuk
Kawasan DAS Bengawan Solo, faktor lahan merupakan salah
satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan
ekonomi masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa
temuan studi sebagai berikut:
Peningkatan luasan lahan budidaya di Kawasan DAS
Bengawan Solo akan meningkatkan PDRB DAS Bengawan
Solo, dan sebaliknya pengurangan luasan lahan budidaya
akan dapat mengurangi PDRB DAS Bengawan Solo;
Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di DAS
Bengawan Solo sebesar 1% akan meningkatkan PDRB DAS
sebesar 0,144% dan sebaliknya;
Peningkatan luasan lahan budidaya akan meningkatkan
PDRB sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan sebaliknya
pengurangan luasan lahan budidaya akan mengurangi
PDRB;

Setiap pertambahan luasan lahan budidaya di sub DAS


Bengawan Solo Hulu sebesar 1% akan meningkatkan PDRB
sebesar 0,168% dan sebaliknya;
Terdapat beberapa sektor yang memiliki kecenderungan
dominan unggul, dominan menurun, dan potensial
berkembang yang berbeda-beda di setiap kabupaten/kota;
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor
yang dominan unggul di hampir setiap kabupaten/kota
di DAS Bengawan Solo, dimana kontribusi sektor terhadap
PDRB kabupaten/kota besar dan memiliki pertumbuhan
yang positif;
Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di
hampir semua kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo,
namun dengan pertumbuhan yang cenderung negatif/
menurun; dan
Sektor-sektor tersier (non-ekstraktif ) merupakan sektor
potensial berkembang dengan pertumbuhan yang tinggi
namun kontribusinya kecil di hampir setiap kabupaten/
kota di DAS Bengawan Solo.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

23

topik utama

DAS Bengawan Solo merupakan bagian dari Wilayah Sungai


Bengawan Solo, yang berdasarkan RTRWN ditetapkan
masuk ke dalam kategori Wilayah Sungai LINTAS PROVINSI.
Namun pada perkembangannya, berdasarkan persyaratan
yang ada, DAS Bengawan Solo sudah memenuhi kriteria
sebagai kawasan strategis nasional. Hal ini berimplikasi
pada mekanisme penyelenggaraan penataan ruang untuk
DAS Bengawan Solo. Oleh karena itu, kedudukan dan status
rencana tata ruang DAS Bengawan Solo adalah sebagai
berikut:
Perencanaan Sektor
- Pola SDA
- Rencana Pengelolaan
DAS Terpadu
- Rencana Induk Sektor
lainnya

Perencanaan Sektor

Perlu ada rencana tata ruang DAS Bengawan Solo yang


berfungsi untuk mengikat seluruh pemangku kepentingan
baik di tingkat pusat maupun daerah agar kegiatan
peningkatan penataan Kawasan DAS Bengawan Solo
berdasarkan optimalisasi penggunaan lahan dapat
dilaksanakan;
Perlu ada kejelasan mengenai kedudukan rencana tata ruang
DAS Bengawan Solo terhadap dokumen perencanaan lainnya;
Dibutuhkan dasar hukum yang kuat bagi rencana tata ruang
DAS Bengawan Solo agar dapat menjadi acuan penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah.
RPJPN

RTRWN
RTR P. JAWA

RPJMN

asaacacaca

RPJPD Prov.

RTRW Prov.

RPJMD Prov.
Perencanaan Sektor

RTRW Kab/Kota

RPJPD Kab/Kota
RPJMD Kab/Kota

Kedudukan Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo terhadap Perencanaan Dokumen Lain

Faktor lahan merupakan


salah satu faktor yang
cukup berpengaruh
terhadap perkembangan
ekonomi masyarakat.

Hasil kajian Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan Solo menunjukkan


adanya beberapa kebutuhan untuk penanganan lebih lanjut dari sisi penataan
ruang, yang meliputi:
Penanganan yang sifatnya lintas sektor dan seluruh pemangku kepentingan terkait,
Perlunya pengaturan penataan ruang dan pengarahan pemanfaatan ruang yang
mempertimbangkan optimalisasi pengembalian fungsi hidrologi sungai dan
pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat; dan
Perlunya penanganan bersama untuk pengelolaan DAS dalam suatu mekanisme
kelembagaan kolaboratif (collaborative management).

PERAN DAN KEDUDUKAN HASIL GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO)


Dengan penerapan GLO, maka debit puncak dan volume
banjir dapat dikurangi, dan kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitarnya dapat terus meningkat. Dalam rangkaian
studi Peningkatan Penataan Kawasan DAS Bengawan
Solo, GLO merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan
yang diharapkan dapat diwujudkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah baik provinsi, kota, maupun kabupaten.
Di samping adanya beberapa manfaat yang dapat diperoleh,
penerapan GLO di tengah banyaknya kebijakan dan strategi
24

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo yang


dihasilkan oleh para pemangku kepentingan yang terkait
tetap berpotensi untuk menimbulkan beberapa persoalan
sebagai implikasinya, antara lain:
Kemungkinan alokasi ruang dalam GLO berbeda
dengan alokasi pola ruang dalam RTRW, sehingga;
Kemungkinan kebijakan, strategi, dan arahan
program untuk perwujudan GLO berbeda dengan
kebijakan dan strategi dalam RTRW.

PERAN DAN KEDUDUKAN USULAN KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN ARAHAN PROGRAM


Kebijakan, strategi, dan arahan program peningkatan
penataan kawasan DAS Bengawan Solo ini, dalam kaitannya
dengan kebijakan dan strategi penataan DAS Bengawan
Solo lainnya yang telah ada, dapat menjadi masukan dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) DAS Bengawan Solo
dan penyempurnaan Pola Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Bengawan Solo dari sisi pengembangan wilayah.

DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR


KEMENTRIAN PEKERJAAN UMUM

RENCANA INDUK PENGEMBANGAN


DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
AIR SATUAN WILAYAH SUNGAI
BENGAWAN SOLO (CDMP)

Selain itu kebijakan, strategi, dan arahan program yang


dihasilkan ini akan menjadi pelengkap bagi Rencana Induk
Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Satuan
Wilayah Sungai Bengawan Solo atau yang lebih dikenal
sebagai CDMP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.

PEMERINTAH DAERAH
PROVINSI DAN KOTA/KABUPATEN

DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG


KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

RENCANA TATA RUANG WILAYAH


(RTRW) PROVINSI/KOTA/
KABUPATEN

KAJIAN PENINGKATAN
PENATAAN RUANG KEDUANG

Masukan dari sisi Pengelolaan SDA

POLA SUMBER DAYA AIR WILAYAH


SUNGAI BENGAWAN SOLO

STUDI PENINGKATAN PENATAAN


KAWASAN DAS BENGAWAN SOLO
Masukan dari sisi Pengembangan
Wilayah *)

(menghasilkan kebijakan, strategi, dan arahan


program untuk peningkatan penataan DAS
Bengawan Solo)

*untuk lingkup DAS Bengawan Solo


Masukan dari sisi Pengembangan Wilayah

Kedudukan Kebijakan, Strategi, dan Arahan Program yang Dihasilkan dari Studi Peningkatan Penataan DAS
Bengawan Solo dalam Kerangka Penanganan DAS Bengawan Solo

Kebijakan, strategi, dan arahan


program yang dihasilkan
dipahami sebagai kebijakan untuk
peningkatan DAS Bengawan Solo
dengan melakukan intervensi
terhadap penggunaan lahan yang
ada beserta aktivitas yang ada di
atasnya.

Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penataan


kawasan DAS Bengawan Solo, kebijakan, strategi, dan
arahan program yang dihasilkan ini merupakan suatu
bentuk upaya perwujudan dan pengantisipasian implikasi
kebutuhan peningkatan dan penataan DAS Bengawan Solo.
Dalam hal ini, kebijakan, strategi, dan arahan program yang
dihasilkan dipahami sebagai kebijakan untuk peningkatan
DAS Bengawan Solo dengan melakukan intervensi terhadap
penggunaan lahan yang ada beserta aktivitas yang ada di
atasnya, serta sistem yang mempengaruhinya. Kebijakan
peningkatan DAS Bengawan Solo dalam konteks ini
didudukan sebagai suatu penguatan dan tindak lanjut dari

kebutuhan untuk mewujudkan penataan lahan yang optimal


(GLO) yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan DAS
Bengawan Solo itu sendiri. Maka kebijakan, strategi, dan arahan
peningkatan penataan DAS Bengawan Solo secara garis besar
terbagi dalam 6 (enam) arahan kebijakan besar, yaitu:
PENINGKATAN KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA
PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA
PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH
PENDEKATAN SOSIAL DAN EKOSISTEM DALAM
PENANGANAN DAS
OPTIMALISASI PENGGUNAAN LAHAN
PENERAPAN LID (LOW IMPACT DEVELOPMENT)
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

25

topik utama
Secara garis besar, keterkaitan keenam kebijakan tersebut
dalam perwujudan penataan lahan yang optimal dapat dilihat
pada Gambar berikut. Keenam arahan kebijakan tersebut, pada
dasarnya saling terkait satu sama lain dan dapat dirangkum
dalam 4 (empat) kelompok kebijakan, yaitu:
PENATAAN RUANG, yang meliputi peningkatan kualitas dari
RTRW di provinsi/kota/kabupaten yang berada di dalam
lingkup DAS Bengawan Solo beserta peningkatan kualitas RTR
DAS Bengawan Solo;
PENATAAN KAWASAN BUDIDAYA, yang meliputi pengendalian
pemanfaatan pada kawasan budidaya eksisting dengan

memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat, fisik


lingkungan, penerapan LID, dan pengembangan ekonomi
wilayah;
FUNGSI LINDUNG KAWASAN, yang meliputi pengembalian
fungsi lindung kawasan resapan dengan juga memperhatikan
aspek pemberdayaan masyarakat, fisik lingkungan, penerapan
LID, dan pengembangan ekonomi wilayah; serta
KELEMBAGAAN, yang mengarah pada perwujudan suatu
lembaga kolaborasi yang didalamnya mencakup semua
pemangku kepentingan.

6
GUNA LAHAN OPTIMAL (GLO)
Berbasis Konservasi DAS = Arahan Guna5
Lahan untuk Konservasi
GUNA LAHAN YANG TIDAK DAPAT 5
UNTUK KONSERVASI = Penataan
LID ( LOW IMPACT DEVELOPMENT)
Untuk Konsevasi

TARGET
Studi Peningkatan Kawasan
DAS Bengawan Solo

Kawasan Budidaya

Memberi Pengaruh kepada


Masyarakat

LID ( LOW IMPACT DEVELOPMENT)


Sebagai Substitusi Aspek Konservasi

Peningkatan
KUALITAS RTRW PROV/KAB/KOTA
SINKRONISASI
RTRW ANTAR DAERAH

Memberi Pengaruh pada Daerah


(Prov/Kab/Kota)

Pemecahan Melalui
PENDEKATAN SOSIAL
Pengembangan
EKONOMI WILAYAH
(Makro dan Mikro)

Pemecahan Melalui
PENDEKATAN EKOSISTEM

HULU - HILIR

Pengembangan
SISTEM KELEMBAGAAN BERSAMA

KELEMBAGAAN PENATAAN KAWASAN DAS BENGAWAN SOLO


Memperhatikan karakterisik DAS Bengawan Solo sebagai
Common Pool Resources (CPR) yang melibatkan banyak pemangku
kepentingan yang terkait, maka perumusan kelembagaan yang
baik menjadi salah satu syarat mutlak dalam upaya penanganan
dan pengelolaannya. Aspek kelembagaan ini diharapkan dapat:
mengawal pelaksanaan kebijakan, strategi, dan arahan program.
mengawal terlaksananya penyesuaian RTRW kabupaten, kota,
dan provinsi dengan hasil guna lahan optimal;
menguatkan hasil studi GLO ini untuk menjadi basis usulan
Rencana Tata Ruang DAS Bengawan Solo; dan
mengawal terlaksananya sinkronisasi RTRW antar kabupatenkota-dan-provinsi.
Aspek kelembagaan diharapkan tidak hanya fokus pada
pengelolaan sumber daya air, melainkan juga pada aspek

dll

Pemerintah
Provinsi
Pemerintah
Pusat

BBWS

POSISI GEOGRAFIS

Penyumbang Manfaat

Penerima Manfaat

Penyumbang Persoalan

Penerima Persoalan

penataan ruang dan pengembangan wilayah. Implementasi


dari aspek kelembagaan ini sendiri tidak harus berupa lembaga
baru, melainkan dapat memanfaatkan lembaga koordinasi yang
sudah ada. Kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan
bersama yang bersifat lintas sektor dengan pembagian peran
dan fungsi yang jelas, yang disepakati secara bersama oleh
stakeholders (kabupaten/kota) terkait untuk menangani DAS.
Kelembagaan ini akan dikoordinasi oleh suatu sekretariat
lembaga kolaborasi yang bertugas untuk membentuk aturan
dan tata cara pengelolaan dan penanganan bersama DAS
Bengawan Solo, serta mengkoordinasikan semua pemangku
kepentingan yang terkait dalam upaya pengelolaan dan
penanganan bersama DAS Bengawan Solo tersebut. Secara
diagramatis konsepsi mekanisme kelembagaan bersama dapat
dilihat pada Gambar berikut.
Pemerintah
Kota/Kab

Lembaga non
Pemerintah
(LSM, dll)
Akademisi
dll

PEMANGKU
KEPENTINGAN

PJT
SEKRETARIAT LEMBAGA
KOLABORASI

INTEREST
LAINNYA

PENANGANAN
FISIK SUNGAI

PEMANFAATAN
AIR

Konsepsi Mekanisme Kelembagaan Bersama Penanganan


dan Pengelolaan DAS Bengawan Solo
26

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Fokus pada hal-hal yang


menjadi Perhatian Publik
(COMMON INTEREST)

KUALITAS
AIR

KUANTITAS
AIR

KONSERVASI
LINGKUNGAN

dll

PELAKSANA
(COMMON INTEREST)

Pengelolaan
Limbah oleh
dinas Lingkungan
Hidup

Pengelolaan air
oleh PDAM

Pengelolaan
Hutan oleh Dinas
Kehutanan

dll

Terdapat beberapa
alternatif bentuk
kelembagaan yang
mungkin dikembangkan
untuk penanganan
dan pengelolaan DAS
Bengawan Solo.

FORUM

Kelemahan

Kekuatan

KOLABORASI

Bentuk Lembaga Kolaboratif


Berdasarkan hasil analisis dan diskusi teridentifikasi berbagai bentuk kelembagaan
untuk penataan DAS Bengawan Solo secara kolaboratif, baik dalam bentuk lembaga
baru maupun mengembangkan lembaga yang sudah ada. Adapun saat ini sudah
cukup banyak organisasi pengelolaan DAS (River Basin Organization RBO) yang
menangani Bengawan Solo, seperti PJT, BBWS, Forum DAS, dan sebagainya.
Terkait dengan hal ini terdapat beberapa alternatif bentuk kelembagaan yang
mungkin dikembangkan untuk penanganan dan pengelolaan DAS Bengawan
Solo yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut. BMengacu pada tabel
tersebut, terdapat dua kemungkinan untuk pengembangan lembaga kolaborasi
penataan DAS Bengawan Solo, yaitu mengoptimalkan lembaga yang telah ada
dan membentuk lembaga baru, yang masing-masing memiliki kelemahan dan
kelebihan.
OPTIMALISASI LEMBAGA YANG ADA
TKPSDA

BKPRN/BAPPENAS/MENKO

- Terbuka
- Tidak ada hirarki
- Semua Anggota memiliki
suara yang sama
- Lembaga-lembaga
yang sudah ada (TKPSDA,
BPDAS, dll) dapat menjadi
anggota forum kolaborasi

- Bentuk badan sudah


jelas dengan dasar hukum
pembentukan yang kuat
- Sudah beroperasi dan
memiliki anggaran
- Beranggotakan sektor-sektor
terkait yang sesuai dengan
kebutuhan penataan DAS
Bengawan Solo
- Fokus pada penataan tuang
dan pengembangan wilayah
- Memiliki badan yang sejenis
di daerah (BKPRD)

Membutuhkan:
- Komitmen yang kuat dari
setiap anggota
- Landasan hukum
pembentukan
- Mekanisme kerja yang
jelas
- Sumber pembiayaan
dan proses penganggaran
yang jelas
- Leader yang dihormati
- Dukungan sekretariat
yang kuat
Adanya ego sektoral dan
ego wilayah dapat menjadi
kendala utama

- Tidak terbuka (anggota


tertentu)
- Ada hirarki pusat-daerah
- Membutuhkan dukungan
sekretariat yang kuat
- Kurang fokus karena
TOPUKSInya mencakup seluruh
isu penataan ruang di seluruh
wilayah Indonesia
- Perlu kejelasan keterkaitan
dengan lembaga-lembaga
yang sudah ada terkait DAS
Bengawan Solo

- Lembaga sudah terbentuk dengan


dasar hukum yang jelas
- Sudah beroperasi dengan mekanisme
kerja dan anggaran yang jelas
- Fokus pada penataan DAS Bengawan
Solo
- Anggota mencakup berbagai
perwakilan stakeholders terkait

- Penataan lebih spesifik pada aspek


SDAir, tidak mencakup aspek yang
lebih luas seperti pengembangan
wilayah dan penataan tuang
- Anggotanya umumnya terbatas pada
lembaga-lembaga yang mempunyai
TUPOKSI yang terkait dengan SD Air
- Mengingat kedudukannya yang
bertanggung jawab pada Menteri PU,
apakah K/L terkait dapat juga menjadi
anggota dengan kedudukan yang
setasa dengan yang lain?
- Dibutuhkan perluasan lingkup substansi dan keanggotaan
- Dibutuhkan penguatan kewenangan

LEMBAGA BARU

- Lebih Fokis
- Anggota dapat mencakup
semua perwakilan
stakeholders terkait baik dari
pusat maupun daerah
- Semua Anggota memiliki
tugas yang sama
- Tidak ada Hirarki

Membutuhkan:
- Proses untuk
pembentukannya
- Landasan hukum
pembentukan
- Kejelasan kedudukan
dengan lembaga-lembaga
terkait baik di pusat maupun
di daerah
- Kejelasan wewenang
- Sumber pembiayaan dan
proses penganggaran yang
jelas

Alternatif Bentuk Kelembagaan Penanganan dan Pengelolaan DAS Bengawan Solo

TINDAK LANJUT PENANGANAN DAS BENGAWAN SOLO


Adapun untuk proses implementasi tersebut diperlukan
beberapa kesepakatan awal oleh semua pemangku
kepentingan terkait. Setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang
disepakati, yaitu:
1. kesepakatan mengenai usulan kebijakan, strategi, dan
arahan program dalam penanganan dan pengelolaan DAS
Bengawan Solo;
2. kesepakatan mengenai penanganan DAS Bengawan Solo
secara kolaboratif;
3. kesepakatan mengenai mekanisme pengendalian
penanganan DAS Bengawan Solo;
4. kesepakatan mengenai mekanisme kelembagaan untuk
menjamin tercapainya penyesuaian dan sinkronisasi

RTRW dengan GLO, dan pada akhirnya dengan RTR DAS,


serta antar RTRW kabupaten-kota-provinsi lain di dalam
kawasan DAS.
Untuk memperkuat kesempatan tersebut, maka legitimasinya
perlu ditandatangani oleh pimpinan daerah sebagai sebuah
kesepakatan bersama (kolaborasi) di mana semua pemerintah
daerah di dalam DAS Bengawan Solo secara bersama-sama
menyepakati untuk berkontribusi dalam penataan ruang
DAS. Selain itu, kesepakatan tersebut perlu ditindaklanjuti
dalam suatu rencana aksi penanganan dan pengelolaan
DAS Bengawan Solo yang juga dirumuskan dan disepakati
bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

27

topik utama

Perubahan Iklim

dapat dikendalikan
Oleh: Redaksi BUTARU

Kesepakatan global
untuk menciptakan
kondisi bumi yang lebih
baik, mempengaruhi
secara langsung atau
tidak langsung kebijakan
pembangunan nasional.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, Indonesia menjadi salah satu negara
yang menyepakati Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change). Sebagai tindak lanjut, Indonesia
menerbitkan UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
yang berisikan 3 (tiga) hal utama, yakni: (1) tercapainya stabilitas konsensi emisi Gas
Rumah Kaca pada tingkat yang aman; (2) adanya tanggung jawab bersama sesuai
kemampuan (common but differentiated responsibilities); dan (3) negara maju
akan membantu negara berkembang (pendanaan, asuransi dan alih teknologi).
Lahirnya Bali Roadmap atau Bali Action Plan 2007, Copenhagen Accord 2009,
dan Cancun Commitments 2010, yang merupakan kesepakatan global untuk
menciptakan kondisi bumi yang lebih baik dari kecenderungan yang ada dalam
jangka waktu panjang (bahkan setelah masa Protocol Kyoto, yaitu sampai 2012).
Kesepakatan-kesepakatan ini, walaupun belum secara tegas menetapkan target
kuantitatif dan jadual pelaksanaannya, mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung kebijakan pembangunan nasional, salah satunya adalah arahan kebijakan
pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an.
Komitmen pemerintah Republik Indonesia seperti yang disampaikan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-20 di Pittsburgh adalah upaya
mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dari business as usual
dengan kemampuan sendiri, dan penurunan hingga 41% dengan bantuan donor
dari negara luar. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap
kebijakan pembangunan nasional pada berbagai sektor yang terkait dengan emisi
GRK ini.

Fenomena Perubahan Iklim di Indonesia


Laporan ke-4 Working Group II International Panel on
Climate Change (IPCC), yang diterbitkan pada Bulan April
2007 lalu, membuktikan adanya beberapa climate proof
dengan tingkat keyakinan yang tinggi mengenai perubahan
temperatur regional yang telah berdampak nyata secara fisik
dan biologis.
Kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 20012005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat
dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu
40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut
yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar
17 cm. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan
sosial-ekonomi manusia (antropogenik) memberikan
kontribusi yang besar dalam peningkatan temperatur
tersebut, sehingga tanpa upaya yang terstruktur dan
berkesinambungan, dampak yang akan terjadi pada masa
mendatang akan menjadi sangat serius.

28

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Perubahan Iklim dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)


fenomena berikut:
1. Meningkatnya temperatur udara;
2. Meningkatnya curah hujan;
3. Kenaikan muka air laut;
4. Meningkatnya intensitas kejadian ekstrim yang
diantaranya adalah:
Meningkatnya intensitas curah hujan pada musim basah,
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir secara
ekstrim,
Berkurangnya curah hujan dan debit sungai pada musim
kemarau serta bertambah panjangnya periode musim
kering,
- Menurunnya kualitas air pada musim kemarau,
Meningkatnya intensitas dan frekuensi badai tropis,
Meningkatnya tinggi gelombang dan abrasi pantai, dan
Meningkatnya intrusi air laut.

Secara garis besar, fenomena diatas telah dan akan


berdampak pada masyarakat (termasuk kesehatan) dan
permukiman (termasuk infrastruktur), kegiatan sosial
ekonomi (termasuk pertanian, perkebunan, kehutanan,
pariwisata) dan ekosistem (termasuk lingkungan, yakni tanah
dan air).
Berkaitan dengan Perubahan Iklim, upaya-upaya
pembangunan yang dilakukan dibedakan menjadi 2 (dua)
kelompok besar, yakni upaya mitigasi dan upaya adaptasi
yang dijabarkan sebagai berikut:
Upaya mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah
kaca (GRK) ke atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisan
ozon. Untuk itu, upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 5
(lima) sektor yakni:
(i) Sektor Kehutanan sebagai sumber mekanisme
penyerapan karbon (carbon sink), diarahkan pada
upaya pemeliharaan hutan berkelanjutan pencegahan
deforestasi dan degradasi hutan, pencegahan illegal
logging, pencegahan kebakaran hutan serta rehabilitasi
hutan dan lahan;
(ii) Sektor Energi, diarahkan pada upaya pengurangan emisi
GRK yang berasal dari pembangkit energi, transportasi,
industri, dan perkotaan;
(iii) Sektor Lahan Gambut, diarahkan pada upaya
pemertahanan permukaan air kawasan lahan gambut;
(iv)Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan, diarahkan
pada upaya pengelolaan lahan dan rawa serta optimasi
pemanfaatan infrastruktur irigasi; serta
(v) Sektor Limbah dan Persampahan, diarahkan khususnya
dengan mekanisme pengurangan pelepasan emisi karbon
(khusus gas metan).

Upaya adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem


alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif
dari Perubahan Iklim. Namun upaya tersebut akan sulit
memberikan manfaat secara efektif apabila laju Perubahan
Iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuan
untuk: (1) mengurangi resiko bencana atau kerentanan sosialekonomi dan lingkungan yang diakibatkan dari Perubahan
Iklim, (2) meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakat
dan ekosistem, sekaligus (3) meningkatkan keberlanjutan
pembangunan nasional dan daerah.
Indonesia dalam adaptasi Perubahan Iklim ini memiliki
tantangan yang sangat besar, terutama karena wilayah
Indonesia merupakan negara kepulauan, berada di daerah
tropis, dan memiliki posisi strategis di antara dua benua
besar dan dua samudera yang sangat besar. Kondisi ini
menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap Perubahan
Iklim. Beberapa fakta yang sangat mungkin dipengaruhi
oleh Perubahan Iklim, antara lain adalah ancaman ketahanan
pangan akibat kekeringan dan banjir, ancaman wabah
penyakit, ancaman kerusakan infrastruktur dan prasarana
perkotaan di pesisir, serta ancaman kerusakan permukiman
dan perumahan akibat bencana yang semakin tinggi
rekuensinya.

Letak geografis Indonesia


merupakan kondisi yang
sangat rentan terhadap
perubahan iklim.

Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi Bidang Penataan Ruang


Strategi Mitigasi
Mendorong perwujudan minimal 30% dari luas DAS untuk kawasan hutan
provinsi dan kabupaten/ kota dalam meningkatkan carbon sink
Mengarusutamakan konsep ekonomi rendah karbon dalam penyelenggaraan
penataan ruang
Pengembangan konsep ecological footprint dalam penataan ruang
Mengembangkan metodologi MRV pengurangan emisi karbon (GRK) dalam
penyelenggraan Penataan Ruang provinsi dan kab/kota

Strategi Adaptasi
Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait
perubahan iklim terhadap tata ruang
Identifikasi wilayah (kabupaten/kota) yang mengalami dampak perubahan iklim
Peningkatan kapasitas kelembangaan
Pengarusutamaan konsep kota dan peran masyarakat yang memiliki dayatahan
terhadap dampak perubahan iklim (Climate Change resilience)
Membangun citra peran aktif Kementerian Pekerjaan Umum dalam antisipatif
perubahan iklim
Referensi:
Konsep Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi bidang Penataan Ruang yang disusun
oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kemen. PU
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

29

topik utama

NEGOSIASI

PERUBAHAN Notes from Bangkok


IKLIM Climate Change Talks 2011
Oleh: Redaksi Butaru

Pertemuan Bangkok ini diharapkan


dapat memberikan fondasi
yang kuat dalam mengarahkan
perundingan perubahan iklim
tahun 2011.
Menjelang pelaksanaan Conference of the Parties (COP)
ke-17 di Durban, Afrika Selatan, United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) menyelenggarakan
Bangkok Climate Change Talks di United Nations Economic
and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP)
Bangkok, Kerajaan Thailand, pada tanggal 3-8 April 2011.
Pertemuan ini merupakan pertemuan UNFCCC pertama
tahun 2011 setelah COP-16/MOP-6 di Cancun, Mexico.

Bangkok Climate Change Talks meliputi 3 (tiga) pertemuan/


kegiatan yaitu:
- Pre-sessional Workshops pada tanggal 3-5 April 2011 ;
- Fourteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Long
Term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA
14) pada tanggal 5-8 April 2011 ;
- Sixteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Further
Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol
(AWG-KP 16).
Pertemuan Bangkok ini diharapkan dapat memberikan
fondasi yang kuat dalam mengarahkan perundingan
perubahan iklim tahun 2011 guna mencapai kesepakatan
sebagaimana dimandatkan oleh Bali Action Plan dan Bali
Roadmap serta implementasi Keputusan Cancun.
Indonesia menjadi salah satu negara peserta Pertemuan
Bangkok yang dihadiri oleh lebih dari 180 utusan negara, baik
30

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

dari unsur Pemerintah, LSM, pengamat, maupun kalangan


pers. Delegasi RI terdiri dari perwakilan DNPI, Kemenlu,
Kemenko Perekonomian, KLH, Kemenkeu, Kemenhut,
Kementan, KemenPU, Kemenperind, KBRI Bangkok, KBRI
Berlin, PTRI New York, KBRI Nairobi, serta beberapa organisasi
masyarakat madani Indonesia. Delegasi ini dipimpin oleh
Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan
Iklim/Ketua Harian ONPI, dan didampingi oleh Staf Khusus
Presiden RI Bidang Perubahan Iklim/Kepala Sekretariat
DNPI selaku Alternate, Duta Besar RI untuk Republik Federal
Jerman selaku Penasehat Senior Delri, serta Duta Besar RI
untuk Thailand selaku Penasehat Delri.
Sebelum ketiga pertemuan di atas dilaksanakan, terlebih
dahulu telah dilangsungkan Pertemuan Koordinasi Kelompok
77 (G-77) dan China pada tanggal -2 April 2011. Pertemuan ini
dipimpin oleh Dubes Argentina untuk PBB selaku Ketua G-77
dan China. Topik yang dibahas adalah pandangan kelompok
terhadap agenda AWG-LCA serta pandangan terhadap
keseluruhan Bangkok Climate Change Talks. Beberapa
negara G-77 dan China menilai bahwa agenda AWG-LCA
yang diajukan oleh Chair AWG-LCA tidak konsisten dengan
Bali Action Plan (BAP). Oleh karena itu, G-77 dan China telah
mengajukan counter-proposal kepada Chair AWG-LCA yang
mengikuti building blocks BAP ditambah set of decisions of
meeting in Cancun, sebagai sub-items untuk menegaskan
kesepakatan apa yang harus diimplementasikan serta apa
yang belum disepakati di Cancun untuk diselesaikan.
Indonesia juga telah menyatakan pentingnya keseimbangan
dalam proses negosiasi di bawah AWG-LCA dan AWG-KP.
Perundingan di Durban harus didorong untuk menegakkan
periode komitmen kedua Kyoto Protocol. Hal ini disampaikan
menanggapi pandangan beberapa negara yang memprediksi
mandat AWG-KP dan AWG-LCA belum akan selesai di Durban.

Pre-sessional Workshop

Pre-sessional workshop diselenggarakan oleh Sekretariat


UNFCCC untuk membantu berbagai pihak dalam memahami
beberapa isu terkait agenda perundingan dalam kerangka
konvensi perubahan iklim. Workshop ini dibagi ke dalam tiga
topik pembahasan yaitu:
- Workshop on assumptions and conditions related to the
attainment of quantified economy-wide emission reduction
targets by developed country Parties, as requested by decision
1/CP.16, paragraph 38 (3 April 2011);
- Workshop on nationally appropriate mitigation actions
submitted by developing country Parties, underlying
assumptions, and any support needed for implementation of
these actions, as requested by decision 1/CP.16, paragraph 51
( 4 April 2011);
- Expert workshop on the Technology Mechanism, as requested
by decision 1/CP.16, paragraph 129 (4-5 April 2011 ).
Workshop yang pertama bertujuan untuk memberikan
informasi lebih lanjut mengenai target penurunan emisi
(pledges) di negara-negara Annex I (antara lain Rusia,
Perancis, Polandia, AS, dan Australia), baik asumsi maupun
metode penghitungan yang digunakan.

Workshop ini diselenggarakan untuk


membantu berbagai pihak dalam
memahami berbagai isu terkait agenda
perundingan dalam kerangka koncensi
perubahan iklim.
Hingga saat ini tercatat masih ada gap target untuk periode
komitmen kedua Protokol Kyoto, di mana level of ambition
(baik aggregate maupun individual) dari negara-negara
Annex I belum memenuhi target dalam pencapaian global
goal for emission reductions dan tidak merefleksikan Pasal 3
ayat 1 Konvensi.
Workshop yang kedua ditujukan untuk memahami
keragaman berbagai submisi aksi mitigasi negara nonAnnex 1, asumsi yang mendasarinya, serta dukungan yang
diperlukan untuk melaksanakannya.
Beberapa hal yang mengemuka dalam workshop ini antara
lain adalah beragamnya aksi mitigasi yang dilakukan oleh
negara-negara berkembang yang didasarkan kepada
kemampuan dan kondisi dari masing-masing negara serta

berbagai sasaran yang berbeda, misalnya forest cover,


absolute reduction, intensity targets. Instrumen yang dapat
dikembangkan dalam aksi mitigasi juga cukup beragam,
antara lain di sektor konstruksi, transportasi, pengembangan
standar, insentif, pajak, dan lain-lain. Pentingnya melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas dalam
perencanaan maupun pengembangan skenario jangka
panjang aksi mitigasi juga diungkapkan dalam workshop ini,
di samping tentu saja ada hambatan dan tantangan dalam
pelaksanaan mitigasi, antara lain aspek perhitungan reduksi
emisi (MRV), finansial, penetapan baseline, serta metodologi
kuantifikasi dampak sosial-ekonomi.
Sebagai tindak lanjut, Sekretariat UNFCCC akan
menyelenggarakan rangkaian workshop yang lebih tematik
dan rinci sesuai masukan dari berbagai pihak, antara lain
mengenai MRV of support, Registry, Defining NAMAs dan
penentuan Business as Usual (BAU).
Selanjutnya, tujuan dari workshop yang ketiga adalah
untuk mendiskusikan bagaimana Mekanisme Teknologi
dapat beroperasi secara penuh pada tahun 2012. Ada
beberapa hal yang masih perlu didiskusikan sehubungan
dengan Mekanisme Teknologi, mengingat belum berhasil
disepakati pada COP 16 di Cancun, antara lain hubungan
antara Technology Executive Committee (TEC) dan Climate
Technology Centre and Network (CTC&N) termasuk jalur
pelaporannya; struktur governance dan terms of reference
(TOR) dari CTC&N; hubungan antara Climate Technology
Centre (CTC) dengan Network (N); prosedur pengajuan
proposal dan kriteria untuk memilih host dari CTC&N; serta
potensi hubungan antara mekanisme teknologi dengan
mekanisme pendanaan.
Secara umum, semua negara berpendapat bahwa CTC&N
harus melakukan aktivitasnya berdasarkan permintaan
negara berkembang, dimana aktivitasnya akan dilakukan
oleh network. Beberapa negara berkembang mengusulkan
adanya funding window tersendiri untuk pengembangan
dan transfer teknologi, serta perJunya mengangkat kembali
isu IPR dalam negosiasi. Untuk mencari jalan keluar tentang
isu pendanaan dan potensi hubungan antara mekanisme
teknologi dan mekanisme pendanaan, telah dilakukan
koordinasi internal dalam kelompok G77 & China untuk isu
transfer teknologi. Koordinasi dimaksud serta kelanjutan
perundingan untuk isu teknologi belum dapat dilaksanakan
karena agenda AWG-LCA baru dapat disepakati pada hari
terakhir Bangkok Climate Change Talks.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

31

topik utama

AWG-LCA ke-14

Pertemuan ke-14 Ad-Hoc Working Group on Long-Term


Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) ke-14
dilangsungkan pada tanggal 5-8 April 2011, dipimpin oleh
Ketua AWG-LCA, Daniel Reifsnyder dari Amerika Serikat.
Seluruh waktu persidangan AWG-LCA ke-14 bagian I di
Bangkok ini diisi dengan pembahasan mengenai Provisional
Agenda AWG-LCA 14. Pembahasan ini menjadi sangat
strategis mengingat bahwa penetapan agenda ini akan
banyak menentukan arah perundingan perubahan iklim
tahun 2011 menuju COP-17/CMP-7 di Durban, Afrika Selatan.
Setelah melalui perdebatan dan diskusi yang cukup panjang
antara Sekretariat UNFCCC dan kelompok G-77 dan China,
maka akhirnya dicapai kesepakatan. Setelah dilakukan
konsultasi-konsultasi informal dan modifikasi bahasa dari
chapeau mata agenda 3 dan isu Legal Options, seluruh pihak
menyepakati draft agenda, yang selanjutnya akan dijadikan
Provisional Agenda pada Pertemuan AWG-LCA 14 Bagian II di
Bonn, bulan Juni 2011

. AWGKP ke-16

Sixteenth Session of the Ad-hoc Working Group on Further


Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol
(AWG-KP 16) berlangsung pada tanggal 5-8 April 2011 dan
dipimpin Ketua AWG-KP, Adrian Macey (New Zealand).
Pembahasan di AWG-KP berkutat pada bagaimana upaya
berbagai pihak dalam mencari terobosan agar perundingan
di bawah AWG-KP dapat mencapai kesepakatan hukum yang
mengikat dalam melanjutkan Protokol Kyoto setelah tahun
2012.
Ketua AWG-KP menyimpulkan terdapat 16 butir pemikiran
dari berbagai pihak dalam menqupayakan tercapainya
kesepakatan hukum yang mengikat bagi kelanjutan
Kyoto Protocol (KP) setelah tahun 2012. Pembahasan butir
pemikiran tersebut masih akan dilanjutkan dan diharapkan
dapat diselesaikan pada pertemuan kedua AWG-KP 16 di
Bonn, bulan Juni 2011.

Penetapan agenda berlangsung cukup alot,


karena tiap negara memiliki persepsi berbeda
terkait dengan negosiasi perubahan iklim.
Selain pertemuan di atas, masih ada beberapa pertemuan
lainnya yang dilaksanakan selama kegiatan Pertemuan
Bangkok ini berlangsung. Pertemuan tersebut antara
lain Pemilihan Wakil Asia untuk Transitional Committee,
Pertemuan Bilateral dan Side Events, serta Pertemuan
Cartagena Dialogue. Dari berbagai pertemuan yang diikuti
oleh Delri, secara umum dapat disimpulkan bahwa penetapan
Agenda berlangsung cukup alot mengingat negara-negara
memiliki persepsi berbeda terkait dengan road map negosiasi
perubahan iklim menuju Konferensi Para Pihak UNFCCC ke17 di Durban, Afrika Selatan. Oleh karena itu untuk kelanjutan
negosiasi dan antisipasi terkait dengan agreed outcome
dari negosiasi perubahan iklim, Pemerintah perlu mengkaji
secara khusus berbagai isu unfinished business (berdasarkan
building blocks SAP) yang terkait dengan kepentingan
Indonesia untuk dapat didiskusikan pula dalam perundingan
tahun 2011, termasuk isu legal options, bersama-sama
dengan isu-isu yang terkait dengan implementasi Keputusan
Cancun, dalam rangka mendukung penanganan perubahan
iklim secara global serta upaya nasional dalam penanganan
perubahan iklim. (mem)
Referensi:
-Laporan Ketua Delegasi Indonesia (Ir. Rachmat Witoelar) pada
Pertemuan Bangkok Climate Change Talks, 1-8 April 2011
-Laporan Perjalanan Dinas Ir. Budi Situmorang dan Ir. Melva Eryani
dari Kemen PU dalam mengikuti Pertemuan Bangkok Climate Change
Talks 2011

32

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

topik lain

Ruang untuk Masyarakat


Lokal Tradisional (Masyarakat Adat)
yang Semakin Terpinggirkan

Oleh: H. Maman Djumantri,


Peserta Program S3 PSL-IPB

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Indigenous Environmental Knowlwdge for Use of and Managing Natural Resources:
A Case Study on Baduy, Aru, and Balineses Subak Tribe Communities, (BUTARU edisi Januari-Febuari 2011).
Kedua tulisan tersebut menunjukkan terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous environmental knowledge)
dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem serta kaitannya dengan sustainable exploitation of tropical natural resources
(khususnya sumberdaya alam yang terbaharukan) yang dilakukan oleh beberapa masyarakat lokal/tradsional/masyarakatadat (tribe communities) di Indonesia dengan mengambil contoh pada Baduy Tribe (Banten), Aruese Tribe (Maluku Tenggara),
dan Balineses Subak Tribe (Bali). Pengetahuan asli-lokal ini merupakan bagian dari upaya untuk melestarikan
dan mengelola sumberdaya alam, sehingga dengan instrument tersebut masyarakat yang bersangkutan
dapat bertahan hidup di kawasan tersebut.

PERGESERAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Secara generic dapat dikatakan bahwa pembangunan


adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera
lahir dan batin. Terlepas dari bagaimana proses dan cara
melaksanakannya, tujuan akhir pembangunan adalah
kesejahteraan sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh rakyat
Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat
(bangsa) Indonesia, seyogya-nya menyertakan juga lapisan
masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar,
terpencil dan marjinal.
Pembangunan nasional dilaksanakan secara menyeluruh
melalui beberapa bidang yang pada tataran implementasinya
negara mendelegasikan kewenangan dan tanggung-jawab
pengelolaannya kepada kementrian/badan sebagai unsur
Pemerintahan. Dalam perjalanan kehidupan bernegara
terjadi penyelewengan tafsir dari hak menguasai negara
yang berpengaruh pada munculnya egoisme sektoral.
Pembangunan berjalan sendiri-sendiri, tidak terjadi
keterpaduan perencanaan, sinkronisasi program, dan
koordinasi pelaksanaan pembangunan; terjadi overlapping
kegiatan dan duplikasi pendanaan pembangunan. Ujungujungnya terjadi konflik kepentingan sektoral dalam
pengelolaan (khususnya pemanfaatan) sumberdaya alam.
Kini tinggal masyarakat yang menderita. Selanjutnya masingmasing sektor menyusun kebijakan sekoral hanya untuk
kepentingan sektornya sendiri. Hal ini sebenarnya tidak
perlu terjadi bila semua pihak memahami dan menyadari
arti kebijakan itu sendiri yakni seperangkat ketetapan yang
disepakati bersama untuk (dalam) mengatur suatu urusan
atau persoalan demi terwujudnya tujuan pembangunan
(William Dun, 2003; Riant Nugroho D, 2007).

wilayah yakni suatu pendekatan yang tidak sektoral, tidak


partial, yang bersifat integrated and comprehensive/holistic;
dan (ii) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang
bermakna pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan
generasi di masa mendatang. Kedua pendekatan ini
di Indonesia diakomodasikan di dalam kaidah-kaidah
penataan ruang dan lingkungan.

Dengan berkembangnya paradigma baru pembangunan,


mulai disadari bahwa pembangunan yang terlalu sektoral dan
sentralistis pada akhirnya akan merugikan pembangunan
itu sendiri. Untuk menyempurnakan pendekatan sektoral,
kini diterima dua pendekatan kesisteman: (i) pendekatan

Nampaknya perlu direnungkan dan ditinjau kembali


mengenai kebijakan pembangunan dan pendekatannya,
dengan mengakomodasikan paradigma baru tersebut.
Perlukah dilakukan redefinisi pembangunan dan
kebijakannya.

Perlu direnungkan dan ditinjau kembali


mengenai kebijakan pembangunan dan
pendekatannya, dengan mengakomodasikan
paradigma baru.

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

33

topik lain
INDIGENOUS (ENVIRONMENTAL) KNOWLEDGE DARI MASYARAKAT TRADISIONAL/
MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan
sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/lingkungan, masyarakat adat/
tradisional ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan
kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi
yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya. Namun,
bagaimana nasibnya dengan adanya kekuatan-kekuatan/faktor penekan yang
mempengaruhinya untuk mengubah cara hidup dan pengetahuan lokalnya? Mari
kita simak masyarakat-masyarakat adat/ tradisional: Baduy, Banten (BUTARU 1st
edisi Jan-Feb 2011, p. 28-30), Aru (Maluku Tenggara), dan Subak (Bali).

Masyarakat adat
dengan pengetahuan
lokalnya, ternyata
lebih arif dibandingkan
masyarakat lainnya.

Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Aru (Maluku Tenggara)

untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura,


Masyarakat lokal tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara)
berperadaban ecocentrism, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan
laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan
dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada Musim
Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu, berburu
rusa dan babi hutan di savanna atau di hutan, dan mengumpulkan beberapa jenis
moluska, kepiting dan Sea-cucumber (Tripang). Pada Musim Barat (NovemberApril) lebih terfokus pada sumberdaya laut seperti mengumpulkan Tripang di
pantai berpasir yang sedang pasang, kadang memancing Hiu. Tripang sejenis
binatang laut yang lezat, kaya protein dan kalori, jelly-nya dapat menjadi kosmetik,
obat penyakit dalam, supplemen drink, sehingga banyak saudagar/pedagang dari
dalam dan luar negeri yang datang berkulak Tripang untuk mengisi toko-toko
obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia, Taiwan, Cina,
Jepang, dan Korea. Melalui para pedagang/saudagar inilah diintroduksikan unsurunsur budaya modern materialistis kepada masyarakat lokal Aru sehingga budaya
mereka bergeser ke luxury goods consumptive..

Akan terjadi degradasi


mutu lingkungan akibat
penggunaan teknologi
dari pihak-pihak yang
mau mencari keuntungan
terhadap komunitas
lokal Aru.

Tripang
34

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Kepulauan Aru, Sulawesi Tenggara

Dalam kegiatan mengumpulkan Tripang mereka tidak meng-gunakan alat apapun


tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) mengenai
kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada
cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya.
Melalui pengetahuan lokal inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan
kekuatannya mengelola sumberdaya alam yang satu ini secara lestari. Sebagai
contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan saat yang tepat untuk
memanenTripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret saja karena Tripang
(khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada bulan April.
Apabila suhu perairan menurun dan permukaan air terang Tripang menampakkan
diri sehingga para pemungut Tripang lebih suka menyelam di malam hari apalagi
saat bulan purnama; memang Tripang ini binatang yang romantic.
omunitas lokal Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang
berhubungan erat dengan mitologi. Hal ini menjadi instrument tangguh dalam
menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan. Berikut ilustrasinya:
- Alam dan seisinya merupakan milik leluhurnya (ancestors), yang senantiasa
memantau agar penggunaan sumberdaya alam sehemat mungkin, sekedar
untuk hidup (self-sufficient), dan memikirkan mereka yg akan hidup. Hal ini
dapat dipahami bahwa dengan kebijakan demikian maka tidak akan terjadi over
exploitation.
- Di kalangan masyarakat Aru terdapat Kepala Adat sebagai mediator dalam
melakukan dialog antara Sang Leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu setiap
akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog.

- Hasil dialog berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati; misalnya untuk


jenis (species) tertentu hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu, hanya boleh
mengambil Tripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan (restriction)
untuk mengambil Tripang (dikenal dengan Sasi Tripang), selama 3 (tiga) tahun,
dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi kesempatan
alam melakukan regenerasi.
- Sang Leluhur akan murka bila kesepakatan dilanggar, yang dimanifestasikan
dalam bentuk bencana alam. Mengandung makna bahwa apabila alam terganggu
keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan baru.
Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara
warga masyarakat dengan lingkugan hidup, dijumpai adanya
sistem pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional.
Dapat dilihat antara lain:
- Ada pembagian tugas di antara warga, misalnya: lakilaki dewasa melakukan kegiatan hunting, menyelam, dan
berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan rumahtangga, membuat kanji dari sagu, memungut Tripang di
pantai berpasir, dan pengolahan Tripang pasca panen; anak
perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses
belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai
proses belajar. Transfer of knowledge dilakukan secara
learning by doing.
- Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan
penyatuan dengan alam, misalnya: (i) Bayi laki-laki yang baru
dilahirlkan dilempar ke dalam laut, setelah beberapa menit
sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan dibawanya
pulang; (ii) Anak laki-laki yang memasuki usia akil-balig
dibuang ke dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat
pulang dengan selamat maka ia disambut dan diakui sebagai
laki-laki dewasa.
- Apabila hasil perolehan Tripang melebihi kebutuhan untuk
dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan
dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa zat pengawet).
Tripang hasil pengawetan dapat ditukar (barter) dengan
kebutuhan rumah tangga yang lain.

- Ada upaya untuk membudidayakan Tripang dengan cara


membangun tambak-tambak.
Sayang sekali, peradaban ecocentrism ini telah bergeser
dengan masuknya faktor2 exogenous. Terutama sekali
dibawa oleh saudagar2/pedagang2 dari Taiwan, Cina, Korea,
Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya sudah
berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diimimgimingi produk-produk teknologi yang harus dibayar dengan
Tripang. Akhirnya Tripang menjadi sebuah komoditas
ekonomi. Harga dipermainkan terus, namun transaksi
berjalan terus, dan Tripang dikuras terus. Kapan stopnya?
Apakah harus menunggu sampai masyarakat tradisional Aru
jatuh miskin dan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat
penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari
keuntungan (misalnya pencurian sumberdaya laut dengan
kapal selam asing).
Kalau sudah sampai situasi-kondisi seperti ini, seyogyanya
segera ada campur tangan (intervensi) Pemerintah, misalnya
ditetapkan Kepulauan Aru sebagai cagar alam, cagar budaya,
kawasan perlindungan, kawasan konservasi, menetapkan
Tripang sebagai binatang yang dilindungi, dan sebagainya.
Yang terjadi sekarang malah Pemerintah menetapkan
Kepulauan Aru sebagai kawasan cadangan (?) Ini berarti
kebijakan keberpihakan Pemerintah kepada kapitalis.

Masyarakat Lokal Tradisional/Masyarakat Adat Subak-Bali (Pulau Bali)

Sawah Terasering dengan sistem Subak

Masyarakat tradisional
Bali sangat mempercayai
adanya kekuatan magis
dan kekuatan spiritual
yang dijadikan basis
pada religinya.

Alam telah memanjakan Bali dengan kondisi idealnya untuk pengembangan


pertanian. Gunung berapi yang masih sering aktif menjadikan tanah berkesuburan
tinggi. Curahan air hujan dan sejumlah mata air dari pegunungan menyuplai air
ke beberapa kawasan pertanian di Pulau Bali. Dan sepanjang musim kemarau,
disebabkan oleh angin musim tenggara, matahari menyinari dalam beberapa
bulan dalam setahun. Di pulau ini kawasan produktif pertanian tradisional
cukup tersebar dan luas. Penanaman padi sawah merupakan kunci dari kegiatan
pertanian di Bali dengan konsentrasi sawah beririgasi dijumpai di bagian selatan
Bali. Pada daerah yang terairi dengan baik penanaman padi dirotasikan dengan
tanaman palawija penghasil uang (cash crop) seperti kacang tanah, kedelai,
bawang, cabe, dan sayuran; di daerah kering ditanami jagung, ketela, dan ubi.
Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Bali mempunyai suatu sistem indigenious
irigasi yang dikendalikan oleh suatu organisasi dari kelompok masyarakat
perdesaan yang disebut Subak yang mempertahankan agar padi tetap terairi
dengan baik dan kaya akan nutrisi dari abu vulkanik yang juga dapat meningkatkan
kesuburan.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

35

topik lain

Siap Upacara Ritual di Pura Subak

Religi, Kepercayaan, Norma, dan Budaya

Masyarakat tradisional/adat Bali menyembah Dewa


Brahmana (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Shiwa
(perusak, penghancur), sebagai manifestasi dari sifat Tuhan
yang maha kuasa (Sanghyang Widhi Wasa). Konsep tiga aspek
ini dikenal dengan Trimurti. Dimungkinkan juga menyembah
Dewa-Dewa lainnya seperti Ganea, Saraswati, Bhatari Sri,
dan umumnya terlihat satu tempat ibadah digunakan untuk
pemujaan kepada banyak dewa dan kekuatan spiritual, itulah
uniknya masyarakat ini. Pada dasarnya aktivitas manusia
dapat dikelompokkan ke dalam tiga interaksi yakni antara
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
manusia dengan Tuhannya. Hal ini diartikulasikan dalam
pengaturan pola pemanfaatan ruang (space-used, zoning?)
yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana.
Masyarakat tradisional/adat Bali sangat mempercayai adanya
kekuatan magis dan kekuatan spiritual dan hal-hal tersebut
banyak dijadikan basis pada religinya. Mereka percaya bahwa
kekuatan spiritual kebaikan bersemayam di pegunungan,
sedangkan lautan merupakan habitat dedemit, roh-jahat, dsb.
Hampir di semua desa sedikitnya mempunyai tiga pura: (i) Pura
Puseh (temple of origin) yang menghadap ke pegunungan,
dan didedikasikan bagi para pendiri desa; (ii) Pura Desa,
normalnya terletak di tengah-tengah permukiman, dan
didedikasikan bagi kesejahteraan di dalam desanya; (iii) Pura
Dalem, searah dengan laut, dan didedikasikan bagi the spirits

of the dead. Dalam kehidupannya masyarakat tradisional/


adat Bali banyak melakukan upacara ritual keagamaan yang
secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis
upacara (panca yadnya): (i) manusa yadnya (upacara-upacara
yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dari kelahiran
hingga kematian); (ii) putra yadnya (upacara2 yang berkaitan
dengan upaya menjaga hubungan anata para leluhur dengan
yang masih hidup); (iii) dewa yadnya (upacara penyembahan
kepada para dewa yang menjaga/melindungi dunia); (iv)
resi yadnya (upacara-upacara yang berkaitan dengan priest
ordination); dan (v) buta yadnya (upacara untuk melindungi
diri dari nafsu buruk atau nafsu jahat).
Meskipun berasal dari India, agama masyarakat tradisional/
adat Bali ini sangat unik, merupakan blending dari Hindu,
Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan indigenous Jawakuno, dengan adat-istiadat yang sangat berbeda dari bentukbentuk tradisional Hinduism yang dipraktekan di India saat
ini. Dalam menjalankan norma dan etika kehidupannya
masyarakat Hindu Bali mengenal sistem strata yang dikenal
dengan kasta (Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra);
namun yang kita lihat sekarang sistem itu semakin longgar
dan tidak tertutup hubungan satu sama lain, dan pekerjaan
atau jabatan tidak diatur oleh sistem kasta.
Dalam kenyataannya, hanya sesuatu yang merefleksikan
sistem kasta, yakni bahasa yang mempunyai tiga tingkatan:
(i) bahasa halus (kromo-inggil), bahasa sedang (moderat),
dan (iii) bahasa pasaran (bahasa gaul). 95% masyarakat
Bali menganut Hindu Darma dan setiap hari berbicara
lemah-lembut satu sama lain. Masyarakat kelas menengah
berbicara tegas, lugas, terkadang kasar; kadang kepada
yang lebih tinggi kelasnyapun demikian. Bahasa kasta
Ksatriya digunakan ketika berbicara dengan kelas yang
lebih tinggi seperti brahmana atau pendeta/pemuka agama;
tetapi hampir semua kata-kata yang digunakan oleh kelas
bawah dan menengah adalah sama, sedangkan kelas
atas menggunakan bahasa campuran antara bahasa kelas
menengah, bahasa Jawa-Kuno, dan bahasa Kawi (berasal dari
bahasa Sansekerta).

Kelompok Masyarakat Tradisional / Masyarakat Adat di Pulau Bali

Dalam komunitas masyarakat Bali banyak terbentuk organisasi atau kelompokkelompok masyarakat pada berbagai aspek seperti perdesaan, pertanian, kesenian,
dsb. Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pelayanan fasilitas seperti
sekolah, klinik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya; sedangkan aspek-asepek lainnya
dalam kehidupan berada di tangan 2 (dua) traditional committee yang berkiprah
mengembalikannya ke akar budaya masyarakat Bali.
Organisasi kelompok masyarakat jenis pertama adalah Banjar yang menata selururuh
aktivitas desa termasuk upacara perkawinan, dan upacara kematian (ngaben), sesuai
dengan sifat-sifat yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Hampir seluruh desa
sedikitnya memiliki satu Banjar dan semua laki-laki yang telah menikah diharuskan
bergabung. Satu Banjar rata-rata beranggotakan 50100 keluarga dan setiap Banjar
mempunyai Bale-Banjar yakni tempat pertemuan regular. Di tempat inilah kelompok
drama dan orchestra gamelan tradisional Bali berlatih.

36

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

Masyarakat tradisional
Subak secara lebih arif
mengorganisasikan seluruh
kekuatannya dalam
pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya
pertanian padi sawah.

Organisasi kelompok masyarakat jenis kedua adalah Subak, yang memusatkan


perhatiannya pada produksi padi sawah dan mengorganisasikan sistem irigasi
yang kompleks. Kelompok kerjasama Subak berada di luar lembaga-lembaga
formal di desa, di bawah juridiksi kelompok yang lebih besar, lebih dari satu Subak,
tergantung dari pola-pola drainase setempat. Tugas-tugas teknik yang lebih
penting di bawah penanganan Subak yakni pembangunan dan pemeliharaan
kanal, terowongan, saluran air, dam, dan pintu air.
Padi merupakan makanan pokok masyarakat Bali yang dipersonifikasikan sebagai
Dewi Bhatari Sri. Padi juga merupakan kekuatan sosial utama. Tahap-tahap
dalam kegiatan pertanian padi sawah menentukan ritme dari pekrjaan musiman
sebagaimana ditunjukkan oleh kelompok pekerja antara laki-laki dengan wanita
di dalam satu komunitas. Masyarakat tradisional/adat Bali sangat menghargai
varietas padi lokal dan tidak menyukai pemupukan secara kimiawi (Urea, NPK,
TSP), demikian juga penyemprotan hama-penyakit tanamannya (Endrin, Dieldrin,
DDT, Malathion), yang diekspresikan dalam mitologi dan bebagai upacara ritual
yang melukiskan siklus hidup Dewi Bhatari Sri dari mulai menanam benih
hingga memanen bulir padi. Maka padi merepresentasikan budaya masyarakat
tradisional/adat Bali dalam dual sense yakni budaya dan kultus, lebih khusus lagi,
dalam pekerjaan (bertani) dan ibadah.

Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan


pengelolaan sumberdaya alam tropika dan kelestarian alam/
lingkungan, masyarakat adat/tradisional Subak ini dengan
indigenous environmental knowledge yang dimilikinya
secara turun-temurun, dengan kekuatan memegang hukum
adatnya, dengan kemampuan cosmological spiritualnya,
dengan kuatnya religi yang dianutnya, mereka secara lebih
arif mengorganisasikan seluruh kekuatannya itu melakukan
pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya pertanian
padi sawah.
Bukti sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad ke-11,
semua petani yang lahannya terairi dari saluran irigasi yang
sama menjadi satu kelompok kerjasama irigasi atau termasuk
di dalam satu Subak. Ini merupakan sebuah lembaga adat
(lembaga tradisional) yang mengatur pembangunan dan
pemeliharaan bangunan pengairan, dan suplai air irigasi
yang didistribusikan secara adil. Peraturan demikian sangat
esensial untuk mengefisienkan penanaman padi-sawah di
Bali, di mana air mengalir melalui jurang yang sangat dalam
dan menyebrangi teras-teras dalam perjalanannya dari
gunung ke laut. Setiap orang yang memiliki lahan pertanian
padi atau sawah bergabung pada Subak setempat, yang
selanjutnya menjamin setiap anggotanya mendapatkan air
irigasi yang didistribusikan secara adil. Secara tradisi kepala
Subak memiliki sawah pada bagian yang paling bawah dari
bukit/pegunungan, sehingga air harus mengalir melalui
sawah-sawah yang lain sebelum mencapai sawah miliknya.
Subak bertanggung-jawab terhadap koordinasi kegiatan
penanaman benih dan pemindahan bibit untuk mencapai
kondisi di mana tanaman tumbuh secara optimal; demikian
juga bertanggung jawab dalam upacara persembahan dan
perayaan di pura subak. Seluruh anggota diundang untuk

Masyarakat tradisional
Bali percaya bahwa
kelangsungan hidup
komunitasnya juga
bergantung dari integritas
terhadap budayanya.
berpartisipasi pada kegiatan2 tersebut khususnya pada
upacara persembahan kepada Dewi Bhatari Sri. Pertanian
padi sawah dengan sistem Subak disakralkan karena
mereka percaya pada eksistensi dewi-padi (Dewi Bhatari
Sri; Sanghyang Sri) yang senantiasa memberi kemakmuran
selama manusia masih loyal kepadanya. Untuk menjaga
hubungan dengannya, setiap tahap kegiatan pertanian,
sebelumnya diadakan upacara ritual untuk memohon
izin dengan menyampaikan persembahan; karena itu
melaksanakan pekerjaan di sawah dipertimbangkan sebagai
bagian dari kewajiban masyarakat tradisional/adat Bali dan
diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan (hukum
adat).
Untuk melindungi norma, kepercayaan, dan budayanya dari
kekuatan exogenous, beberapa aturan dan larangan pada
aspek sosial dan budaya ditekankan dan dilegalkan dalam
ketetapan hukum adat. Untuk menegakkan hukum adatnya
terdapat mekanisme pengendalian yang disebut Karma
(consequences). Mereka percaya bahwa ia akan mengalami
hal-hal yang buruk apabila melakukan perbuatan buruk, dan
sebaliknya. Mekanisme pengendalian lainnya yakni kontrol
sosial berupa eksekusi hukuman (punishment) bagi yang
melakukan pelanggaran; eksekusi dilakukan oleh Ketua
Subak dan/atau Kelian Banjar.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

37

topik lain
No. Ketentuan dan Tradisi Dalam Sistem Subak
1
2
3

4
5
6
7

Interpretasi/Jastifikasi

Petak-petak sawah dibuat dalam bentuk terasering Untuk kelancaran air. Menghindari terjadinya erosi
mengikuti kontur
dan longsor
Resisten
terhadap hama Nilaparphata ligens.
Menggunakan benih padi pada varietas lokal
Memelihara plasma nutfah jenis tumbuhan lokal.
Dewi Bhatari Sri tidak menyukai (alergi) bahan
Menjamin sumberdaya alam tidak terkontaminasi
kimia sehingga pupuk kimiawi (Urea, NPK, TSP)
dan menjamin tidak terjadi pencemaran lingkungan
dan pestisida kimia (DDT, Dieldrin, Endrin) tidak
karena limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya)
digunakan.
kegiatan pertanian disesuaikan dengan
Setiap tahapan kegiatan pertanian terlebih dahulu Calendar
iklim. Keseragaman dalam tahapan kegiatan
dilakukan upacara ritual untuk memohon izin
pertanian dapat memutuskan siklus hidup hama
kepada Dewi Bhatari Sri
padi tertentu
Dewi Bhatari Sri menyukai keindahan, sehingga
efisien dalam penggunaan sumberdaya alam.
jarak tanam padi harus teratur, rapi.
Memudahkan dalam pekerjaan penyiangan
Mengistirahatkan padi dengan rotasi jenis
Memutuskan siklus hidup hama padi tertentu.
tanaman palawija
Memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah.
Upacara ritual di Pura Subak menyambut panen
Integritas budaya tradisional.
berhasil

Pergeseran budaya tradisional/adat dari ecocentrism ke anthropocentrism

Beraneka ragam budaya asing yang anthropocentrism telah hidup berdampingan


bersama budaya tradisional /adat Bali at least sejak 100 tahun yang silam. Hal ini
dapat mengancam tererosinya nilai-nilai luhur budaya tradisional (adat) Bali. Secara
kasat mata (tangible) semua pihak mengetahui bahwa cara hidup masyarakat
tradisional/adat Bali telah bergeser sebagai dampak dari penggunaan produkproduk budaya materialistist anthropocentrism. Berdasarkan alasan tersebut
dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa budaya masyarakat tradisional/
adat Bali sedang mengalami pergeseran dari budaya ecocentrism ke budaya
anthropocentrism.

PEMBAHASAN

Success story tentang pengelolaan sumberdaya air dengan


sistem Subak sudah tidak diragukan lagi sehingga Pemerintah
pernah mengangkatnya menjadi sebuah model yang
diaplikasikan ke seluruh wilayah Indonesia. Namun ternyata
tidak berhasil. Hal ini dapat dimengerti bila diingat bahwa
terbentuknya sebuah pengetahuan setempat (indigenous
knowledge) dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem
(sumberdaya alam) merupakan hasil penggabungan dan
akumulasi dari: transfer of knowledge yang turun-temurun,
pengalaman empiris, pengenalan dan pemahaman ekosistem
setempat, kemampuan cosmological spiritual, kekuatan
religious, kemampuan menginterpretasikan mitologi yang
dipercayainya, kemampuan mengimplementasikan falsafah
hidupnya, sensitifitas bahasa alam/lingkungan, penghargaan
pada etika lingkungan, kepatuhan memegang hukum adat,
dan integritas budaya tradisional setempat, dan faktor-faktor
indigenous lainnya yang prosesnya berjalan sangat lama.
Di samping pengetahuan lokal (indigenenous knowledge),
faktor lain yang menyebabkan keberhasilan sistem Subak
ini adalah karena kebijakan Pemerintah Daerah pada bidang
administrasi publik. Pemda berhasil mengintegrasikan
sistem pemerintahan tradisional (non-formal) ke dalam
sistem pemerintahan fomal. Adanya pengakuan Pemda

38

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

terhadap eksistensi non-formal leader sangat penting


di dalam sistem kemasyarakatan tradsional (masyarakat
adat). Kepatuhan kepada non-formal leader lebih bersifat
kepatuhan yang tulus (genuine compliance) yang dibangun
atas kesadaran, sedangkan kepada pemimpin formal
biasanya hanya kepatuhan formal, atau kepatuhan dengan
enggan (grudding compliance), tidak mematuhi, atau
mungkin apatis. (apathy).
Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara
budaya ecocentrism dengan budaya anthro-pocentrism
adalah yang menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan
pengelolaan sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat
dualistik dalam kebijakan pembangunan di mana terjadi ulurtarik antara pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya
alam untuk kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan
kawasan dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk
ekologi (kelestarian lingkungan). Sejalan dengan konsep/
pendekatan pembangunan berkelanjutan (economically
viable, socially acceptable, dan environmentally sound),
hendaknya Pemerintah berhati-hati dalam merumuskan
kebijakan pembangunan agar dualisme antara budaya
anthropocentrisme dengan budaya ecocentrism tidak
bersifat kontroversial dan antagonistist, melainkan bersifat
simbiosis, complementary, dan interdependency.

KESIMPULAN

Salah satu kelebihan dari masyarakat lokal/tradisional/


adat yaitu mempunyai pengetahuan lokal atau indigenous
(environmental) knowledge: suatu pengetahuan bagaimana
melestarikan alam/lingkungan dan mengelola sumberdaya
alam secara berkelanjutan berdasarkan: pengenalan,
pemamahan, dan transfer pengetahuan ekologi setempat
secara turun-temurun; kemampuan cosmological spiritual;
kekuatan religious; kemampuan menginterpretasikan mitologi
yang dipercayainya; kemampuan mengimplementasikan
falsafah hidup; sensitifitas bahasa alam; penghargaan
pada etika lingkungan; kepatuhan memegang hukum
adat; integritas budaya tradisional setempat; dan faktor2
indigenous lainnya; yang proses internalisasinya berjalan
sangat lama.
Indigenous environmental knowledge
mempunyai
karakteristik dan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Terbentuk, tumbuh, dan berkembang pada ekosistem
setempat, dan pada masyarakat tradisional/adat dengan
budaya ecocentrism, dan adat-istiadat setempat.
b. Tidak dapat diterapkan pada ekosistem lain dan tidak dapat
diterapakan secara umum (general), hanya berlaku spesifik
pada masyarakat dan ekosistem yang bersangkutan.
c. Sebagai instrument/tools yang ampuh dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian alam/lingukngan.
d. Memanfaatkan sifat-sifat alam (hukum alam), tidak
memerlukan peralatan yang canggih.
e. Sulit dibuktikan atau dijabarkan dengan metoda ilmiah.
Masyarakat lokal/tradisional/adat menghadapi ancaman dari
kekuatan-kekuatan/faktor-faktor penekan yang berpolapikir (cara pandang) anthropocentrism yang berupaya
terus mempengaruhi mereka untuk mengubah cara hidup
dan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge-nya).
Nilai2 luhur budaya masyarakat lokal/tradisional/adat yang
ecocentrism semakin terdesak, bergeser ke arah budaya
hedonis materialistis yang anthopocentrism. Proses ini
dimungkinkan terjadi melalui introduksi pengetahuan dan
teknologi penciptaan luxury good consumption sebagai salah
satu unsur budaya matrialist hedonist anthropocentrism.
Salah satu akibat langsung dari adanya dualisme antara faham
ecocentrism dengan faham anthropocentrism adalah yang
menyangkut aspek pemanfaatan ruang dan pengelolaan

sumberdaya alam di mana terjadi pula sifat dualistik dalam


kebijakan pembangunan sehingga terjadi ulur-tarik antara
pemanfaatan kawasan budidaya dan sumberdaya alam untuk
kesejahteraan sosial ekonomi versus perlindungan kawasan
dan lingkungan (sumberdaya alam) untuk ekologi (kelestarian
lingkungan).
Lebih jauh, agar dualisme antara anthropocentrisme dengan
ecocentrism tidak bersifat kontroversial dan antagonistist,
melainkan bersifat simbiosis, complementary, dan
interdependency, maka Pemerintah hendaknya lebih berpihak
kepada masyarakat serta berhati-hati dalam merumuskan
kebijakan pembangunan agar tidak terjadi malpolicy.
Apabila Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah akan
memanfaatkan indigenous environmental knowledge
sebagai instrument/tools dalam pelestarian alam/lingkungan
dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan
maka disarankan untuk: (i) Mengidentifikasi masyarakat
lokal/tradisional/adat serta mendeliniasi ekosistem sebagai
kawasan strategis dari sudut kepentingan lingkungan/
ekologi; (ii) Memberikan ruang gerak dan kesempatan untuk
mengorganisasikan kemampuannya dalam pelestarian
alam/lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan; (iii) Mengintegrasikan pemerintahan
non-formal ke dalam pemerintahan formal; (iv) Tidak
mengintervensi tetapi memfasilitasi; (v) Menjamin tidak
ada kekuatan-kekuatan/faktor-penekan yang berpola-pikir
anthropocentrism yang berupaya terus mempengaruhi
mereka untuk mengubah cara hidup dan indigenous
knowledge-nya; dan (vi) Menjamin tidak terkontaminasinya
budaya adat/tradisional ecocentrism dari unsur-unsur budaya
anthropocentrism.

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

39

wacana

green

building
A Sustainable Concept
for Construction
Development in Indonesia

Oleh: Redaksi Butaru

Tingkat kesadaran global mengenai lingkungan hidup dan perubahan iklim,


khususnya dalam bidang arsitektur dan lingkungan, pada beberapa tahun
belakangan ini meningkat dengan tajam. Gerakan hijau yang tengah berkembang
pesat saat ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, tetapi
juga diimplementasikan sebagai upaya efisiensi penggunaan energi serta
meminimalisir kerusakan lingkungan sekitar. Hal ini tentu sangat bermanfaat
apabila dilakukan secara merata dan berkelanjutan, khususnya di Indonesia yang
notabene adalah negara yang sedang berkembang.
Sosialisasi terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim
terus dilakukan Pemerintah Indonesia, tetapi tidak semua elemen masyarakat
sudah mengetahui dan paham mengenai kedua hal tersebut. Terbukti dari
merebaknya SBS (sick building syndrome) pada bangunan-bangunan Indonesia.
Bentuk solusi yang menjadi pilihan adalah dengan menerapkan konsep Green
Architecture, atau Green Building yang kini sudah dijalankan oleh pemerintah,
Apa sebenarnya makna dari kedua konsep tersebut? Bagaimana Kriterianya? serta
seperti apa bentuk kepedulian serta peran dari masyarakat dan pemerintah?.

SICK BUILDING SYNDROME

Sick Building Syndrome adalah situasi


dimana para penghuni gedung atau
bangunan mengalami permasalahan
kesehatan dan ketidaknyamanan
karena waktu yang dihabiskan dalam
bangunan. Faktor utama terjadinya
SBS terdapat pada permasalahan
kualitas udara atau polusi udara yang
biasanya disebabkan oleh buruknya
ventilasi udara atau cahaya, emisi
ozon dari mesin foto kopi, polusi dari
perabot dan panel kayu, asap rokok,
dan lain sebagainya. SBS secara tidak
langsung akan mempengaruhi produktivitas seluruh penghuni
gedung atau bangunan apabila dibiarkan terus menerus.
Sudah banyak gedung yang terjangkit SBS di Indonesia.
Antara lain terdapat pada kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Bandung,dan
Makassar. Maka dari itu, konsep bangunan yang green sudah
selayaknya digalakkan. Menurut World Health Organization
(WHO), diperkirakan sekitar 30 persen seluruh bangunan
atau gedung yang ada di dunia memiliki permasalahan
terkait kualitas udara dalam ruangan.

40

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

KONSEP ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan


bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai
pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Sebagai pemahaman dasar dari arsitektur
hijau yang berkelanjutan, elemen-elemen yang terdapat
didalamnya adalah lansekap, interior, yang menjadi satu
kesatuan dalam segi arsitekturnya.
Dalam contoh kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di
sekitar lingkungan kita. Yang paling ideal adalah menerapkan
komposisi 60 : 40 antara bangunan rumah dan lahan hijau,
membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan
green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam,
melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat.
Tujuan utama dari green architecture adalah menciptakan
eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami,
dan pembangunan berkelanjutan. Arsitektur hijau juga dapat
diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi,
air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak
bangunan terhadap kesehatan. Perancangan Arsitektur hijau
meliputi tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan
bangunan. Konsep ini sekarang mulai dikembangkan oleh
berbagai pihak menjadi Bangunan Hijau (green building).

KONSEP BANGUNAN HIJAU (GREEN BUILDING)

Green Building mungkin ketika kita mengartikan dalam bahasa indonesia yang
berupa bangunan hijau. Arti yang sebenarnya green building tersebut yaitu
sebuah konsep tentang merencanakan suatu bangunan yang ramah terhadap
lingkungan. Konsep serupa adalah natural building, yang biasanya pada skala yang
lebih kecil dan cenderung untuk berfokus pada penggunaan material-material
yang digunakan yaitu material-material yang tersedia secara lokal.
Konsepgreen buildingini berupa pemaksimalan fungsi bangunan dalam beberapa
aspek, yaitu:
Life Cycle Assessment(Uji AMDAL)
Dalam melakukan suatu perencanaan bangunan seharusnya melakukan kajian
AMDAL apakah dalam pengadaan bangunan tersebut dapat mempengaruhi
lingkungan sekitar baik itu segi sosial, ekonomi ataupun alam sekitar. Karena jika
itu memberikan pengaruh yang cukup besar maka bangunan tersebut sudah
menyalahi konsep dasar dari green building.

Struktur yang Ramah

Green Wall

Life Cycle Assesment

Efisiensi Desain Struktur


Dasar dalam setiap proyek konstruksi bermula padatahap konsep dan desain. Tahap
konsep, pada kenyataannya merupakan salah satu langkah utama dalam proyek
yang memiliki dampak terbesar pada biaya dan kinerja proyek. Tujuan utama
merencanakan bangungan yang memiliki konsep green building adalah untuk
meminimalkan dampak yang akan disebabkan bangunan tersebut baik
itu selama pelaksanaan dan selama penggunaan. Perencanaan bangunan gedung
yang tidak efisien dalam struktur juga memberikan efek buruk terhadap lingkungan,
yaitu pemakaian bahan bangunan yang sangat banyak sehingga terjadi pemborosan.

Efisiensi Energi
Green Building sering mencakup langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi
energi - baik energi yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti kondisi
bangunan yang segi mudahnya angin dan sinar matahari yang mudah masuk
kedalam bangunan.. Selain itu selain segi operasional, segi pelaksanaan juga
harus diperhatikan. Studi LCI US Database Proyek bangunan yang menunjukkan
dibangun dengan kayu akan menghasilkan energi pempuangan yang lebih
rendah daripada bangunan gedung yang bahan bangunannya menggunakan
dengan batu bata, beton atau baja.
Untuk mengurangi penggunaan energi operasi,
penggunaan jendela yang se-efisiensi mungkin dan insulasi
pada dinding, plafon atau tempat masuknya aliran udara ke
dalam bangunan gedung. Strategi lain, desain bangunan
surya pasif, sering dilaksanakan di rumah-rumah rendah
energi. Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan)
dapat memberikan cahaya lebih alami dan mengurangi
kebutuhan penerangan listrik di siang hari.
Adapun manfaat apabila kita menerapkan konsep Green
Building adalah :
Bangunan lebih awet dan tahan lama, dengan perawatan minimal

Efisiensi energi menyebabkan pengeluaran uang lebih efektif


Bangunan lebih nyaman untuk ditinggali
Mendapatkan kehidupan yang sehat
Ikut berperan serta dalam kepedulian terhadap lingkungan

Efisiensi energy pada bangunan

Green Building merupakan salah satu bentuk respon


masyarakat dunia akan perubahan iklim. Praktek Bangunan
Hijau ini mempromosikan bahwa perbaikan perilaku (dan
teknologi) terhadap bangunan tempat aktivitas hidupnya
dapat menyumbang banyak untuk mengatasi pemanasan
global. Bangunan/gedung adalah penghasil terbesar (lebih
dari 30%) emisi global karbon dioksida, salah satu penyebab
utama pemanasan global. Saat ini Amerika, Eropa, Kanada
dan Jepang mengkontribusi sebagian besar emisi gas rumah
kaca, namun situasi akan berubah secara dramatis di masa
depan. Pertumbuhan penduduk di Cina, India, Asia Tenggara,
Brazil dan Rusia menyebabkan emisi CO2 bertambah dengan
cepat. Pembangunan di Indonesia meningkatkan kontribusi
CO2 secara signifikan. Hal ini akan memperburuk kondisi
lingkungan Indonesia pun kondisi lingkungan global.
Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

41

wacana
GBC Indonesia
menyelenggarakan kegiatan
Sertifikasi Bangunan Hijau
di Indonesia berdasarkan
perangkat penilaian khas
Indonesia yang disebut
GREENSHIP
GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA

GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA adalah lembaga


mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit) yang
berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam
mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan
memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang
berkelanjutan.

GBC INDONESIA didirikan pada tahun 2009 dan


diselenggarakan oleh sinergi di antara para pemangku
kepentingannya, meliputi :
Pemerintah
Kalangan industri sektor bangunan dan properti,
Profesional bidang jasa konstruksi
Institusi pendidikan dan penelitian

Lembaga ini merupakan Emerging Member dari World Green


Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada
Salah satu program lembaga ini adalah menyelenggarakan
kegiatan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan
perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut GREENSHIP.
Melalui lembaga ini pemerintah menyatakan dukungannya
untuk menyehatkan kembali kondisi gedung-gedung di
perkotaan dari penyakit SBS (sick building syndrome).

Sistem Rating GREENSHIP

Dalam pembuatannya, GREENSHIP sebagai perangkat penilaian membutuhkan


suatu acuan dan dukungan dari pemerintah. Dalam pembuatannya pun, GREESHIP
menggunakan kriteria penilaian sedapat mungkin berdasarkan standard lokal baku
seperti Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden
(Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Beberapa peraturan yang menjadi acuan dalam pembuatan GREENSHIP adalah :
Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksessibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH)
B/277/Dep.III/LH/01/2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Keputusan DNA (Designated National Authority ) dalam B-277/Dep.III/LH/01/2009
Keputusan Menteri No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Kotor Domestik
Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002
UU No. 18 Tahun 2008

GREENSHIP
menggunakan kriteria
penilaian sedapat
mungkin berdasarkan
standar lokal baku
seperti UU, Keppres,
Inpes, Permen,
Kepmen dan SNI.

Green High
Rise Building

HARAPAN KE DEPAN

Harapan kedepan dari sistem GREENSHIP ini adalah, seluruh bangunan-bangunan


di kota besar di Indonesia sudah bebas dari SBS dengan bukti kepemilikan sertifikat
Greenship.
Bangunan-bangunan pemerintah khususnya pada daerah DKI Jakarta, sudah
mulai menggalakkan Memenuhi Persyaraatan GreenShip sertifikat ini dengan
harapan ditiru oleh seluruh provinsi di Indonesia. Gedung baru Kementerian PU
dan Kantor DPRD DKI Jakarta adalah sebagian dari gedung-gedung negara yang
telah mendapatkan sertifikat greenship. Tidak hanya pemerintah, GBCI juga
menargetkan penyelesaian sertifikasi lima gedung dari 27 gedung non pemerintah
yang telah mendaftar. Dari 27 gedung ini, 10 diantaranya merupakan pilot proyek
gedung baru (new building) dan 17 proyek sedang dalam tahap pembatasan.
Harapan ke depan adalah menjadikan kota-kota di Indonesia menjadi Kota Terhijau
di Dunia, seperti Vancouver di Kanada, Malmo di Swedia, Curitiba di Brazil,Portland
di Amerika Serikat dan reykjavik di Islandia. (eq)

42

buletin tata ruang | Mei - Juni 2011

agenda

Agenda Kerja

BKPRN

MEI - JUNI 2011

Pada bulan Mei - Juni terdapat 20 Kabupaten dan 3 (tiga) kota


yang telah melakukan pembahasan RTRW di rapat kerja BKPRN.
Berikut rekapitulasi jadwal pelaksanaan BKPRN pada Bulan MeiJuni 2011
Provinsi/Kab/Kota
Tanggal Pelaksanaan BKPRN
Kab. Pasuruan
3 Mei 2011
Kab. Sukabumi
3 Mei 2011
Kab. Wonogiri
10 Mei 2011
Kab. Halmahera Selatan
13 Mei 2011
Kab. Sumba Barat
19 Mei 2011
Kab. Lombok Tengah
19 Mei 2011
Kab. Serang
23 Mei 2011
Kab. Halmahera Utara
30 Mei 2011
Kab. Sumbawa
7 Juni 2011
Kab. Serdang Bedagul
9 Juni 2011
Kab. Bengkulu Utara
9 Juni 2011
Kab. Empat Lawang
9 Juni 2011
Kab. Pringsewu
10 Juni 2011
Kab. Mesuji
10 Juni 2011
Kota Lampung
10 Juni 2011
Kota Mojekerto
15 Juni 2011
Kota. Metro
15 Juni 2011
Kab. Lingga
16 Juni 2011
Kab. Rejang Lebong
16 Juni 2011
Kab. Belitung Timur
16 Juni 2011
Kab. Garut
20 Juni 2011
Kab Tasik 20 Juni 2011
Kab. Kulonprogo
30 Juni 2011

Pada tanggal 21 Juni 2011 telah dilakukan breakfast


meeting BKPRN yang dihadiri oleh perwakilan
Pejabat Eselon II dari beberapa Kementerian yang
menjadi anggota BKPRN. Adapun agenda dan hasil
dari breakfast meeting, antara lain :
Pada tahun 2011, terdapat 9 Raperpres yang sangat
diprioritaskan antara lain RTR Pulau Jawa-Bali, RTR
Pulau Sumatra, RTR Pulau Kalimantan, RTR Pulau
Sulawesi, RTR Kawasan Mebidangro, RTR Kawasan
Batam Bintan Karimun, RTR Kawasan Sarbagita, RTR
Kawasan Sarbagita, RTR Kawasan Mamminasata,
RTR Kawasan Perbatasan Negara Kalimantan.
Dalam rangka percepatan persetujuan substansi
Raperda RTRW, dengan menjadwalkan pembahasan
RTRW lewat forum BKPRN maksimal 2 (dua) RTRW
Prov, Kab, Kota pada setiap 1 (satu) hari pelaksanaan.
Untuk menyingkat waktu pembahasan sebaiknya
masukan oleh setiap sector tertulis sehingga dapat
menyingkat waktu pembahasan RTRW di forum
BKRN.

Terkait Persiapan RAKERNAS BKPRN 2011:


Rencana pelaksanaan Rakernas BKPRN di Manado tanggal
26-28 Juli 2010 Tema Rakernas BKPRN 2011 Optimalisasi
Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan Pada awal Bulan Juli
2011 direncanakan dilaksanakan rapat persiapan II dengan Pemda
Sulawesi Utara di Manado.
Tindak lanjut terkait masalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan) akan diadakan pembahasan lanjutan dari
hasil rapat PPATK di Kementerian Sekretariat Negara pada tanggal
20 Juni 2011.

Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang

43

Todays winner could be


tomorrows big time loser
For countries still delay reduction
of greenhouse gas emissions

Anda mungkin juga menyukai