Maret 2010
Tim Penyusun
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR
Penasehat
Kepala Editor
U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Koordinator ICCSR
Editor
Laporan Sintesis
Chandra Panjiwibowo, Edi Riawan, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula Flossmann-
Krauss
Tim Administrasi
Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno,
Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman
i
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
UCAPAN TERIMA KASIH
Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan
perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini
memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi,
industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan
kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui
perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen
ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul
dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen
ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.
Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan
yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen
ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang
telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.
Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah
ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR
Sektor Kelautan dan Perikanan, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih
setinggi-tingginya:
Komite Pengarah
Kelompok Kerja
Gellwyn Yusuf, Subandono Diposaptono, Ida Kusuma Wardhaningsih, Budi Sugianti, M. Eko Rudianto,
Sunaryanto, Toni Ruchima, Umi Windriani, Agus Supangat, Budiasih Erich, Wany Sasmito, Firman. I, T.
iii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Bambang Adi, M Yusron, Setiawan
Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta,
Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari,
Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito,
Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda,
Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun
administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.
Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan
serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.
iv
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Kata Pengantar menteri Perencanaan
Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi
telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,
emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi
geografisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian
yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim
kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan
keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau
memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintifik yang tidak
terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan
pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan
secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa
maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim.
Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini.
Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan
v
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global
bumi. Kita telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada
tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat
penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan
strategis dan penetapan prioritas.
Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR,
dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,,
yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,
dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita
telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan
kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan
aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan
kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah
iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
vi
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara
yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan
untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut,
banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan,
maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil
pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentifikasi
upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional
dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan
upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya
mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.
U. Hayati Triastuti
vii
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
DAFTAR ISI
Tim Penyusun i
Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
DAFTAR GAMBAR x
1 PENDAHULUAN 1
1.3 Pendekatan 7
2.3 Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini 24
viii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
2.3.2 Permasalahan Kelautan dan Perikanan 25
2.5.3 Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh
2.5.4 Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu
2.5.7 Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah 61
2.6 Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim 76
ix
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
3.2 Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor
4.2 Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah 102
4.2.7 Wilayah VII Pulau Papua bagian Barat dan Sekitarnya 105
5.1 Arahan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan 2010 – 2030 108
5.2 Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 2010–2030 110
x
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
5.2.2 Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi 117
6 KESIMPULAN 127
Lampiran II Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim 132
xi
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun 7
Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan 8
pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat
daerah
Gambar 1.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim 9
(Diposaptono dkk, 2009)
Gambar 2.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001) 14
Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah 15
dari data KKP, 2005)
Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan 17
iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse
Office, 2005)
Gambar 2.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju kenaikan 21
TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008)
Gambar 2.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009) 22
Gambar 2.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan 23
model MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009)
Gambar 2.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta 24
temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah)
Gambar 2.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di wilayah 25
Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa
(catatan BBU=Belahan Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan)
Gambar 2.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006) 26
Gambar 2.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai selatan 27
xii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009)
Gambar 2.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta 7
gelombang maksimum (Sofian, 2009)
Gambar 2.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe 8
ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999)
Gambar 2.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau 9
Lombok (Hadi, TW., 2008)
Gambar 2.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan 13
Agustus
Gambar 2.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari 14
dan Agustus (Sofian, 2009)
Gambar 2.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. 14
Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari
tahun 1993 sampai 1999 (Sofian, 2009).
Gambar 2.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. 15
TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan
hasil estimasi model HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009)
Gambar 2.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 – 2008). TML anomali 13
turun sampai 20 cm pada periode El Niño kuat, dan naik 20cm pada periode
La Niña kuat (Sofian, 2009).
Gambar 2.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada bulan 17
Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009).
Gambar 2.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 18
2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Sofian, 2009)
Gambar 2.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000 21
(Sofian, 2009).
Gambar 2.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia 22
dan sekitarnya (Sofian, 2009).
Gambar 2.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut 23
yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Sofian,
2009).
Gambar 2.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai 24
xiii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis (Sofian, 2009)
Gambar 2.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan 7
skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm
(Sofian, 2009)
Gambar 2.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model 8
dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Sofian,2009)
Gambar 2.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H) 9
Gambar 2.32 Contoh uplift akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh) 13
Gambar 2.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal 14
ini tsunami tidak diperhitungkan)
Gambar 2.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka 15
air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing
disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee
Gambar 2.38. a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian 18
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)
Gambar 2.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009) 21
Gambar 2.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009) 23
Gambar 2.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya 25
Gambar 2.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat 27
xiv
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Gambar 3.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya pada 7
tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS)
Gambar 3.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut 9
Gambar 3.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan 14
tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009)
Gambar 3.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005) 15
Gambar 3.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005) 13
Gambar 3.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut 17
Gambar 4.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009) 18
Gambar 4.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di 22
pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan
gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang
tertinggi perigee
Gambar 5.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim (Diposaptono 23
dkk, 2009)
xv
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama 15
Tabel 2.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III 68
Tabel 2.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII 75
Tabel 3.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan
terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1) 89
Tabel 3.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya) 91
Tabel 3.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara) 93
Tabel 3.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag. barat) 97
Tabel 4.1 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan 99
xvi
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Tabel 5.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim
Tabel 5.3. Lima Kegiatan Unggulan untuk adaptasi perubahan iklim 117
Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan 131
Tabel L.2 Misi-Misi dari Rencana Strategis KKP Tahun 2005-2009 132
Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005) 133
Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik
Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi perubahan iklim 140
xvii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
DAFTAR SINGKATAN
AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
xviii
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
xix
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
RTRN Rencana Tata Ruang Nasional
SS Storm Surge
xx
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
1
PenDAHuLuAn
1
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
1.1. Latar Belakang
Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke
tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca
seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan chloroflurocarbon (CFC) ke
atmosfer bumi.
Telah diketahui radiasi matahari yang sampai ke atmosfer sebagian diteruskan dan diserap oleh bumi dan
sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer oleh bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Dalam
proses pemantulan tersebut sebagian panas diserap oleh gas-gas rumah kaca sehingga menahan panas
yang keluar dari atmosfer. Efek penyerapan panas oleh gas-gas rumah kaca ini disebut efek rumah
kaca. Akibat efek rumah kaca ini temperatur di permukaan bumi dan atmosfer terus bertambah sampai
mencapai keseimbangan baru. Jumlah panas yang masuk dan keluar atmosfer tidak berubah, tetapi
jumlah panas yang tersimpan di bumi dan atmosfer semakin meningkat dan berperan dalam menaikkan
temperatur bumi (Hadi, dkk, 2009).
Pemanasan global akibat efek rumah kaca mengakibatkan terjadinya ekspansi thermal di laut terutama di
lapisan permukaan (efek sterik) dan mencairnya glasier dan tudung es (ice cap) serta lapisan es (ice sheet) di
kutub, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya. Laporan IPCC
(2007) menyebutkan dalam periode 1961-2003 permukaan laut global naik 1,8 mm (1,3-3,0 mm) pertahun
sementara dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 laju kenaikannya lebih tinggi yaitu 3,1 mm (2,4-3,8
mm) pertahun. Disini terlihat adanya variabilitas laju kenaikan muka laut jangka panjang. Hasil riset dalam
IPCC AR4 menyatakan ekspansi thermal berkontribusi sekitar 70 % terhadap kenaikan permukaan laut
global dan mencairnya es 30 %. Berkurangnya daerah yang tertutup es akan meningkatkan penyerapan
gelombang pendek sinar matahari oleh daratan dan lautan dan pengurangan refleksi oleh permukaan es.
Kondisi ini akan meningkatkan akselerasi pemanasan global yang kembali mencairkan es dan memicu
ekspansi thermal yang akhirnya berdampak pada kenaikan permukaan laut global. Kenaikan temperatur
di Antartika tercatat lebih intensif sejak tahun 1990-an. Hilangnya es sebesar 80 Gt/tahun pada tahun
1990-an bertambah menjadi 130 Gt/tahun sejak tahun 2003. Mencairnya 360 Gt es akan menaikkan
permukaan laut sebesar 1 mm (USGS, 2009 dalam Hadi dkk, 2009). Data ini mengindikasikan adanya
akselerasi dari pemanasan global akibat berkurangnya tutupan es dikutub. Tren kenaikan permukaan laut
global dari tahun 1885 sampai dengan tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar I.1. Kenaikan permukaan
laut yang terjadi akibat pemanasan global dapat menggenangi daerah pantai yang landai, daerah rawa-
rawa, mengakibatkan mundurnya garis pantai akibat genangan dan meningkatnya erosi pantai, kerusakan
ekosistem pantai bahkan dapat tenggelamnya pulau-pulau kecil. Di samping itu kenaikan muka air laut
tersebut dapat mengubah pola arus dan gelombang laut.
2
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun
(http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html)
Permukaan laut dapat mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu
pendek:
Perubahan permukaan laut jangka panjang disebut juga perubahan sekular. yang dikategorikan menjadi
dua berdasarkan faktor penyebabnya. Perubahan pertama adalah perubahan eustatik atau perubahan
volume air laut, dan yang kedua adalah perubahan lokal. Perubahan lokal ini diantaranya adalah kenaikan
atau penurunan muka tanah atau disebut juga efek isostasi. Efek isostasi ini ada beberapa jenis diantaranya
adalah isostasi thermal akibat perubahan temperatur atau densitas dari interior bumi, isostasi glacio yang
berhubungan dengan keberadaan es, hidro-isostasi yang berhubungan dengan keberadaan air, isostasi
vulkanik akibat ekstrusi magma, isostasi sedimen yang berhubungan dengan deposisi dan erosi.
Adanya patahan yang menyebabkan lempang tektonik naik atau turun dapat mempengaruhi muka laut
dengan pengaruh 1 sampai 3 mm/ tahun. Kompaksi sedimen dapat menyebabkan daratan menjadi
terkompresi, atau subsidence ekstraksi minyak dan air tanah.
Efek eustatik diantaranya adalah perubahan basin laut (ocean basin) akibat pemekaran lantai dasar samudra,
perubahan elevasi lantai dasar samudra, dan sedimentasi di dasar laut. Selain itu perubahan massa air laut
yang merupakan akibat dari melelehnya es di kutub, pelepasan air dari interior bumi, dan pelepasan serta
akumulasi dari reservoir termasuk perubahan eustatik.
Perubahan permukaan laut jangka pendek dapat terjadi akibat beberapa hal diantaranya adalah pasang
surut laut (pasut), badai (cyclone), dan storm surge. Kenaikan permukaan laut akan bertambah tinggi bila
3
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
storm surge terjadi bersamaan dengan saat pasang tinggi yang dikenal sebagai storm tide. Perubahan ini
memiliki jangka waktu antara harian sampai mingguan.
Fenomena El Nino dan La Nina juga mempengaruhi muka laut dalam jangka waktu yang pendek. Pada
saat terjadinya El Nino permukaan air laut di perairan Indonesia mengalami penurunan sebaliknya pada
saat La Nina permukaan air laut mengalami kenaikan. Disamping itu banjir pada musim-musim tertentu
juga merupakan variasi musiman yang dapat mempengaruhi muka laut dalam jangka pendek, dimana
terjadi pertambahan runoff dari sungai menuju ke laut dan menambah ketinggian muka laut. Perubahan
ini terjadi dalam kurun waktu musiman sampai tahunan. Selain itu osilasi permukaan laut yang terjadi di
pelabuhan atau di teluk yang dikenal sebagai seiche merupakan faktor yang mempengaruhi permukaan air
laut jangka pendek. Perubahan ini dapat terjadi dalam kurun waktu antara menit sampai jam.
Gempa bumi yang menyebabkan deformasi muka tanah dapat menyebabkan perubahan relatif permukaan
laut. Gempa dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (subsidence) dan atau penaikan muka tanah
(uplift), dimana secara relatif mengubah tinggi muka laut terhadap tanah.
Disamping fenomena di atas, pemanasan global juga mempengaruhi secara otomatis pada kenaikan
temperatur udara dan menyebabkan perubahan tekanan atmosfer serta variabel iklim lainnya seperti angin
dan curah hujan. Fenomena–fenomena ini akan memicu sederetan bahaya alam yang berpotensi memberi
tekanan dan menimbulkan dampak terhadap wilayah pesisir. Dampak tersebut semakin diperkuat dengan
meningkatnya elemen-elemen kerentanan di wilayah, pesisir dan laut seperti: ledakan pertumbuhan
penduduk dan problem kemiskinan, eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, serta polusi udara dan
perairan.
Perhatian yang serius terhadap dampak perubahan iklim ini perlu dilakukan sejak dini. Meskipun
perubahannya bersifat perlahan-lahan (gradual) namun potensi dampaknya bersifat pasti (very likely) dan
meluas ke seluruh permukaan bumi. Di lain pihak, masyarakat baik yang tinggal maupun yang beraktivitas
di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil telah menderita kerugian akibat berbagai bencana alam yang
dipicu oleh perubahan iklim tersebut. Pemukiman, perkantoran tempat bekerja, dan dermaga pelabuhan
semakin sering merasakan dampak genangan banjir rob dan terjangan gelombang badai; para petambak
dan petanai di pesisir telah merasakan semakin tidak teraturnya siklus musim hujan dan kemarau akibat
pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina; para nelayan harus semakin menjauhi pantai dalam upayanya
mencari ikan; dan masih banyak dampak-dampak lain yang ditimbulkannya.
Antisipasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan ini lebih difokuskan untuk
menyiapkan kegiatan-kegiatan adaptasi sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim
dan mencari peluang untuk memanfaatkan dampak positif melalui berbagai upaya responsif dan terencana
terhadap aspek-aspek sosial budaya, ekonomi, potensi sumberdaya, dan lingkungan fisik. Upaya tersebut
dapat disertai dengan kegiatan-kegiatan mitigasi berupa tindakan intervensi manusia melalui IPTEK
untuk mencegah atau memperlambat proses perubahan iklim melalui upaya penurunan emisi dan/atau
peningkatan penyerapan gas-gas rumah kaca (GRK) yang terkait dengan sektor ini, seperti pemeliharaan
4
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
dan rehabilitasi hutan mangrove serta budidaya rumput laut.
Untuk itulah diperlukan penyusunan roadmap pengarus-utamaan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan
pembangunan nasional (selanjutnya disingkat “Roadmap Perubahan Iklim, RPI”) khususnya terhadap
sektor Kelautan dan Perikanan. Kandungan dari RPI ini adalah penentuan arah kebijakan dan kegiatan
yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014
serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 dengan memperhatikan proyeksi
perubahan iklim global.
Tujuan utama dari penyusunan Roadmap Perubahan Iklim (RPI) adalah untuk menentukan kegiatan-
kegiatan prioritas dan unggulan sebagai wujud upaya adaptasi (disertai dengan mitigasi) terhadap perubahan
iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dijabarkan secara bertahap
agar dapat diarus-utamakan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-
2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 yang memperhatikan proyeksi
perubahan iklim global. Posisi RPI di dalam sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan di
tingkat daerah dapat dilihat pada Gambar I.2 (dimodifikasi Diposaptono, 2009) berikut.
Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan pembangunan sektor
kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah
5
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar I.2 di atas menunjukkan bahwa peran penting dan posisi RPI di tingkat nasional dan daerah,
baik jangka panjang (RPJPN dan RPJPD) maupun jangka menengah (RPJPN dan RPJMD) dan rencana
strategis dan rencana aksi sektor Kelautan dan Perikanan tingkat nasional dan daerah (RANPI dan
RADPI). Selanjutnya RPI ini diimplementasikan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Nasional dan Daerah
(RTRN dan RTRD), serta Rencana Strategis Wilayah Kelautan dan Perikanan (RSWKP), Rencana Zonasi
Wilayah Kelautan dan Perikanan (RZWKP), dan Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan
(RPWKP).
1. Mengidentifikasi kondisi dan problema pada saat ini serta tantangan di masa datang dari sektor
Kelautan dan Perikanan berupa bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim, elemen-elemen kerentanan
berdasarkan bahaya yang telah diidentifikasi dan mengenalisis potensi dampak dan gambaran risiko
akibat bahaya dan kerentanan yang telah dikenali.
2. Merumuskan arah strategi dan pentahapan integrasi adaptasi perubahan iklim terhadap sektor
Kelautan dan Perikanan yang meliputi beberapa hal yaitu:
b. Integrasi kebijakan dan kegiatan ke dalam tahapan pembangunan jangka menengah (periode lima
tahunan), dan
1.3. Pendekatan
Kegiatan-kegiatan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim tersebut secara umum disusun melalui kombinasi
dua proses yang berlawanan arah yaitu:
2. Proses bottom-up yaitu dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan
sektor ini.
Pembahasan mengenai kedua proses tersebut akan didahului dengan penjelasan tentang kerangka kerja
(framework) penyusunan roadmap perubahan iklim ini.
6
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
1.3.1. Kerangka Kerja
Adaptasi perubahan iklim merujuk pada upaya intervensi sebagai respon terhadap perubahan iklim yang
sedang dan akan terjadi, yang didesain untuk mengurangi risiko dan potensi dampak terhadap komunitas
dan ekosistem, dan berusaha untuk mengeksploitasi peluang yang dapat menguntungkan yang diakibatkan
oleh perubahan iklim. Upaya yang dilakukan adalah tindakan penyesuaian pada individu atau kelompok
baik yang bersifat reaktif maupun antisipatif untuk menghadapinya. Pada dasarnya upaya ini dimaksudkan
untuk mengurangi tingkat kerentanan dengan cara:
• menguatkan daya tahan dan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
menghadapi bahaya-bahaya tersebut.
Sedangkan mitigasi perubahan iklim adalah upaya intervensi antropogenik di dalam sistem iklim yang
didesain untuk mereduksi gaya-gaya antropogenik dari sistem iklim yang menyebabkan pemanasan
global dengan cara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya dan meningkatkan kemampuan
alam dalam menyerap emisi tersebut. Strategi adaptasi yang disertai dengan mitigasi inilah yang perlu
diarusutamakan ke dalam perencanaan pembangunan nasional baik jangka menengah maupun jangka
panjang.
Diposaptono dkk (2009) mengajukan suatu kerangka kerja untuk mengkaji dan menyusun konsep adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim seperti pada Gambar I.3.
Gambar 1.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim
(Diposaptono dkk, 2009)
7
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Secara konseptual kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim setidaknya terdiri
dari (7) tujuh langkah yang bersifat siklus (Gambar I.3), yaitu:
(1) Kajian variabilitas iklim dan dan bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim serta dampak
yang ditumbulkannya,
(3) Penyajian informasi (fakta) dan penyadaran atas adanya perubahan iklim dan lingkungan, baik yang
dipicu oleh perubahan iklim maupun oleh aktivitas manusia,
(4) Desain perencanaan meliputi kriteria kebijakan dan arah pembangunan serta identifikasi pilihan-
pilihan aksi adaptasi dan mitigasi,
(6) Memonitor dan mengevaluasi hasil implementasi aksi adaptasi dan memitigasi,
(7) Dari hasil monitoring dan evaluasi, selanjutnya didesain suatu manajemen penanganan dan
pengelolaan dengan: (i) pendekatan adaptasi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
tekanan perubahan iklim dan tekanan lainnya; (ii) pendekatan mitigasi dengan mengurangi emisi
gas rumah kaca dan meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca.
Konsep tersebut diwujudkan di dalam struktur laporan sebagaimana terlihat pada Tabel I.1.
Identifikasi elemen dan Keterpaparan; sensitivitas; dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya
3 III
parameter kerentanan perubahan iklim (UN-ISDR, 2004)
Identifikasi potensi Potensi dampak dan risiko diperoleh dari analisis bahaya dan
4 IV
dampak dan risiko kerentanan
8
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Dalam konteks kewilayahan dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, pengkajian
dan penyusunan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini diimplementasikan pada tujuh wilayah
pembangunan nasional yang telah ditetapkan oleh Bappenas, yaitu:
(6) Maluku,
Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga memperhatikan adanya klaster-klaster di dalam
sektor sektor kelautan dan perikanan, antara lain:
• Tujuh Jasa Kelautan dan Perikanan, yaitu: (1) Perhubungan Laut, (2) Industri Maritim, (3)
Perikanan, (4) Wisata Bahari, (5) Energi Kelautan dan Sumber-daya Mineral, (6) Bangunan Laut,
(7) Jasa Kelautan
• Sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu: (1) WPP-571: Selat Malaka dan Laut
Andaman; (2) WPP-572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; (3)
WPP-573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut
Sawu, Laut Timor bagian barat; (4) WPP-711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; (5)
WPP-712: Laut Jawa; (6) WPP-713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; (7) WPP-
714: Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPP-715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera,
Laut Seram, Teluk Berau; (9) WPP-716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; (10)
WPP-717: Teluk Cendra-wasih, Samudra Pasifik; (11) WPP-718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut
Timor bagian timur.
• Sembilan Klaster Perikanan Budidaya, yaitu: (1) Serang, Banten; (2) Sumenep, Jawa Timur; (3)
Dompu, NTT; (4) Sumba Timur, NTB; (5) Pangkep, Sulawesi Selatan; (6) Gorontalo, (7) Teluk
Tomini, Sulawesi Tengah; (8) Mamuju, Sula-wesi Barat; dan (9) Karimun di Riau Kepulauan.
9
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
1.3.2. Analisis Saintifik
Analisis saintifik dilakukan dengan pengumpulan, analisis dan sintesis terhadap berbagai data dan
informasi (dokumen, konsultasi, diskusi) yang lebih diperinci sebagai berikut:
• Data dan informasi yang bersifat internal diperoleh melalui diskusi intern dengan sub-tim basis
saintifik dan sektor-sektor lainnya;
• Data dan informasi yang bersifat nasional diperoleh melalui penelusuran dokumen dan peta-peta di
berbagai instansi yang berkaitan seperti KKP, Bakosurtanal, BMKG, dan LAPAN;
• Data dan informasi yang bersifat internasional yaitu berupa dokumen-dokumen kajian dan laporan
dari lembaga seperti IPCC, UNHCC, USGS, dan sebagainya yang diperoleh melalui internet dan
diskusi dengan seorang pakar perubahan iklim, yaitu Dr. Irving Mintzer pada bulan Maret 2009.
Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis dengan tiga jenis analisis yaitu:
• Analisis dasar saintifik (scientific basis) terhadap data-data meteorologi dan oseanografi yang bertujuan
untuk menyajikan informasi potensi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim. Hasil analisis ini akan
disajikan pada Bab II.
• Analisis kerentanan dan potensi dampak dimaksudkan untuk menyajikan informasi faktor-faktor apa
saja yang menimbulkan kerentanan dan potensi dampak di wilayah pesisir dan perairan Indonesia
terhadap perubahan iklim. Hasil-hasil analisis ini akan disajikan berturut-turut pada Bab III dan Bab
IV.
• Analisis strategi dan penentuan kegiatan-kegiatan adaptasi perubahan iklim. Hasil analisis ini akan
dideskripsikan pada Bab V.
Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan RPI ini melalui beberapa cara
diantaranya:
• Konsultasi dan diskusi dengan pejabat, peneliti dan pakar dari instansi terkait
• Partisipasi tidak langsung melalui situs internet KKP (www.KKP.go.id), yaitu diperolehnya dokumen
Rencana Strategis KKP tahun 2005 – 2009
• Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi dengan
KKP dan instansi terkait yang telah dilaksanakan sebanyak 14 (empat belas) kali, baik di Bappenas
maupun di KKP (lihat Lampiran I).
10
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2
KOnDisi,
PeRmAsALAHAn, DAn
TAnTAnGAn seKTOR
KeLAuTAn DAn
PeRiKAnAn
11
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Sektor Kelautan dan Perikanan melingkupi aspek kewilayahan, lingkungan dan potensinya. Permasalahan
yang dihadapi sektor mencakup masalah internal sektor dan masalah eksternal dengan lintas sektor yang
terkait, serta respon kapasitas dalam bentuk kebijakan-kebijakan dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Adapun pembahasan mengenai tantangan sektor ini diwujudkan berupa kajian bahaya, kerentanan serta
dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi dan mitigasi serta penjabaran isu-isu penting lain yang terkait
di dalamnya.
TerbitnyaUnited Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) dan kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS 1982 di Indonesia, membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat
yang harus dilaksanakan. Mandat tersebut menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan
wilayah kelautan Indonesia harus berdasarkan pada hukum internasional. Hal ini juga memberikan dampak
positif terhadap peningkatan luas wilayah pengelolaan kelautan NKRI dimana secara geografis Indonesia
merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut seluas 5,8 Juta km² (Gambar II.1) yang terdiri dari
laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km² dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta
km². Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181
km. (KKP, 2008). Kemudian sekitar 50% dari luas wilayah laut Indonesia (5.8 juta km²) merupakan
daerah perairan pantai (DPP) yang memiliki potensi sangat penting karena sekitar 70% sumber daya ikan
menghabiskan waktu hidupnya di DPP , dan sekitar 90% dari hasil biomassa laut berasal dari DPP. Daerah
perairan pantai adalah wilayah perairan yang berada antara ujung paparan benua dengan kedalaman laut
sekitar 200 m sampai garis pantai (Gambar II.2). Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu
karang, estuari, padang lamun, sumber hayati dan nonhayati, serta fasilitas-fasilitas seperti pelabuhan dan
pemukiman dan panorama pesisir.
12
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya
Dalam konteks ruang dan interaksinya, DPP merupakan pertemuan wilayah darat dan laut, dimana
parameter-parameter fisis, kimia dan biologi dari darat, perairan pantai dan perairan laut dalam, atmosfer
dan dasar laut, saling berinteraksi dengan sistem yang sangat kompleks. Interaksi ini juga dipengaruhi
oleh gaya tarik benda-benda langit (Gambar II.3). Disamping itu terjadi interaksi yang sangat intensif dan
dinamis serta saling mempengaruhi antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Daerah ini sangat rentan
terhadap tekanan perubahan iklim global kenaikan permukaan laut, ENSO, gelombang badai (storm surges),
badai pasang (storm tide atau rob), serta aktivitas manusia baik di darat, seperti pembangunan fasilitas
perumahan dan industri di belakang pantai, pembuangan limbah, penggundulan hutan mangrove, erosi,
dsb, maupun aktivitas manusia di laut seperti pembuanagn limbah kapal, tumpahan minyak, perusakan
terumbu karang, dan sebagainya. Oleh sebab itu pengelolaan wilayah laut tidak dapat dipisahkan dengan
pengelolaan wilayah darat.
Gambar 2.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001)
13
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Secara tradisional, DPP merupakan suatu daerah dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Beberapa fungsi yang dimilikinya yakni: (1) fungsi dasar: produksi pangan, suplai air dan energi; (2) fungsi
sosial: perumahan dan rekreasi; (3) fungsi ekonomi: transportasi niaga, pertambangan, dan pengembangan
industri; serta (4) fungsi publik: transportasi publik, pertahanan, penyaluran air buangan, dan sebagainya.
Daerah ini juga merupakan sumber energi yang dapat diperbahurui seperti: konversi energi panas laut
(OTEC), energi arus laut, energi gelombang laut, energi pasang surut, konversi energi dari gradien
salinitas, energi dari oceanic bioconvertion. Sedangkan energi yang tidak dapat diperbaharui berupa sumber
daya mineral seperti pertambangan terbuka di pesisir dan dasar laut.
Sektor kelautan dan perikanan telah menunjukkan peningkatan kontribusinya terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) Nasional, dengan memiliki potensi ekonomi secara keseluruhan senilai US$ 136,5
milyar dengan kontribusi besar dari perikanan, pesisir lestari, bioteknologi laut, wisata bahari dan minyak
bumi (KKP, 2005) sebagaimana dapat dilihat pada Gambar II.4
.
Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005)
Perikanan merupakan salah satu unsur sumberdaya laut yang sangat potensial di Indonesia, karena selain
sebagai sumber pangan, perikanan merupakan komoditi perdagangan yang dapat menghasilkan devisa
bagi negara, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel II.1.
14
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama
(Kementerian Kelautan dan Perikananl, 2008)
Rata-rata peningkatan(%)
KOMODITAS 2004 2005 2006 2007 2008*)
2004 - 2008 2007 - 2008
Volume (Ton) 902.358 857.782 926.478 854.328 845.939 -1,43 -0,98
Udang 142.098 153.900 169.329 157.545 179.409 6,31 13,88
Tuna 94.221 90.589 91.822 121.316 125.992 8,37 3,85
Mutiara 2 13 2 13 16 309,94 21,47
Rumput laut 51.011 69.264 95.588 94.073 95.125 18,33 1,12
Lain-lain 615.027 544.015 569.736 481.381 445.397 -7,45 -7,48
EKSPOR
Value (US$ 1000) 1.780.833 1.912.926 2.103.471 2.258.920 2.708.678 11,17 19,91
Shrimp 892.452 948.121 1.115.963 1.029.935 1.220.428 8,68 18,50
Tuna 243.938 245.375 250.557 304.348 337.896 8,80 11,02
Mutiara 5.866 10.735 13.409 12.644 12.694 25,65 0,39
Rumput laut 25.296 57.515 49.586 57.522 105.639 53,31 83,65
Lain-lain 613.281 651.180 673.957 854.470 1.032.021 14,31 20,78
Potensi sumberdaya ikan laut yang diperinci berdasarkan komoditas dan wilayah perairannya di Indonesia
(B.E. Priyono, dkk., 1997), yaitu :
Penyebaran ikan pelagis besar jenis madidihang, tuna mata besar, albakora dapat ditemui di perairan
barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar, Laut
Maluku dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan utara Irian Jaya, serta Arafura. Untuk jenis tuna sirip biru
dapat ditemukan di perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat
Makasar, serta Laut Maluku dan Teluk Tomini. Sedangkan ikan jenis cakalang bisa ditemukan hampir
di seluruh perairan Indonesia kecuali di Laut Jawa, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan. Untuk ikan
tongkol penyebarannya berada pada daerah-daerah dekat pantai dan terdapat di semua perairan. Musim
penangkapan ikan tuna, cakalang, dan tongkol dapat berlangsung sepanjang tahun.
Ikan pelagis kecil yang mempunyai sebaran paling luas adalah ikan lemuru, terdiri atas jenis ikan lemuru
(Sardinella lemuru) dan ikan siro dengan konsentrasi daerah penangkapannya berada di perairan Selat
Bali, sedangkan penyebarannya mulai dari barat Sumatera, Selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Jenis lain dari
pelagis kecil yaitu ikan layang terutama terkonsentrasi di perairan utara dan selatan Sulawesi serta utara
Jawa, sedangkan ikan kembung terutama di perairan selatan, barat, dan timur Kalimantan, Selat Malaka
serta barat Sumatera.
15
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Ikan teri dapat ditemukan di perairan barat Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi dan timur
Sumatera sedangkan ikan tembang terutama di perairan selatan Sulawesi, utara Jawa, Bali/NTT/Timor
Timur, Timur Sumatera dan selatan dan barat Kalimantan. Ikan julung-julung banyak ditemukan di
perairan Maluku dan Irian Jaya.
Ikan demersal adalah jenis ikan yang hidup di dasar laut dari perairan dengan kedalaman kurang dari 100
m dan menyukai daerah yang berlumpur dan relatif datar. Di Indonesia, perairan yang diduga memiliki
potensi ikan demersal tinggi adalah di Teluk Tolo (Sulawesi Tengah) yang merupakan perairan dengan
kedalaman relatif dangkal dan luas, kemudian di Laut Arafura yang mempunyai daerah penangkapan ikan
demersal yang sangat luas, dan di perairan utara Papua.
Sumberdaya udang
Potensi sumber daya udang penaeid di Indonesia terdapat di Laut Arafura (Papua) dan merupakan daerah
terluas dan terbaik yang dimiliki Indonesia dalam penangkapan udang penaeid sedangkan potensi terbesar
udang karang terdapat di Samudera Hindia.
Sumberdaya ikan konsumsi perairan karang belum dimanfaatkan secara merata, masih terbatas pada
daerah-daerah yang mudah dijangkau dan terhadap komunitas tertentu saja. Hanya beberapa jenis yang
telah dimanfaatkan secara intensif karena nilai komersialnya tinggi, mudah ditangkap dan kepadatannya
tinggi seperti ikan ekor kuning dan ikan pisang-pisang (Caessionidae). Potensi ikan karang terbesar di
Indonesia terdapat di selatan Sulawesi.
Tingkat pemanfaatan sebagian besar sumberdaya ikan di perairan kawasan barat Indonesia, khususnya
di kawasan pantai, dinilai sudah mendekati tingkat maksimum daya dukung sumber dayanya, sebagian
sumberdaya bahkan sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Sementara itu, sebagian besar sumberdaya
ikan di lepas pantai, kawasan timur Indonesia dan di ZEEI sebagian besar belum dimanfaatkan secara
optimal.
Untuk mendukung industri perikanan tangkap maka pengetahuan tentang lokasi di mana ikan-ikan
berkumpul adalah faktor yang sangat penting. Lokasi ini merupakan daerah perairan dengan tingkat
kesuburan tinggi yang ditandai dengan produktivitas primer. Makin tinggi produktivitas primer di suatu
daerah maka tingkat kesuburan perairan tersebut makin tinggi pula.
Menurut Nybakken (1992), pengertian produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa
organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jadi produktivitas primer merupakan
padanan fotosintesis, meskipun sejumlah kecil produktivitas primer dihasilkan oleh bakteri kemosintetik.
Fotosintesis adalah basis dari kebanyakan produksi laut. Di antara tumbuhan laut, fitoplankton mengikat
16
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
bagian terbesar energi, meskipun fitoplankton hanya berada pada suatu lapisan air permukaan yang tipis
dimana cukup terdapat sinar matahari.
Produktivitas primer di suatu perairan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: cahaya, zat hara (nutrien), dan
faktor oseanografi yang akan diuraikan di bawah ini.
Faktor Cahaya
Fitoplankton hanya terdapat pada lapisan-lapisan atas di mana intensitas cahaya matahari cukup untuk
berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya matahari di wilayah tropik yang lautnya cerah
dan tidak banyak mengandung partikel dapat menembus sampai kedalaman 100 – 120 m dimana mungkin
masih cukup besar bagi berlangsungnya fotosintesis (Nybakken, 1992).
Zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah
nitrogen (sebagai nitrat, NO3) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-). Kedua unsur utama tersebut mempunyai
arti yang penting karena kadarnya dalam laut relatif kecil dan oleh karenanya menjadi pembatas bagi
produktivitas fitoplankton. Samudera yang tersubur hanya mengandung 0.00005 % nitrogen, jumlah ini
sama dengan 1/10000 jumlah nitrogen yang terdapat dalam tanah (Nybakken, 1992). Zat hara hanya
dapat dimanfaatkan pada zona fotik yang merupakan suatu persediaan yang sangat berarti dan dapat
meningkatkan produksi.
Faktor Oseanografi
Persediaan zat hara dalam jumlah yang sangat besar terdapat di bawah zona fotik. Zat hara ini hanya dapat
dimanfaatkan jika terdapat faktor oseanografis berupa upwelling (pemindahan massa air dari lapisan bawah
ke permukaan) yang dapat menaikkan zat hara tersebut ke zona fotik. Hasill-hasil penelitian yang telah
dilakukan di berbagai perairan di wilayah Indonesia (Nontji, 1993) menunjukkan bahwa upwelling telah
dapat diketahui dan dibuktikan dengan pasti di beberapa daerah tertentu, akan tetapi di beberapa daerah
lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut (Gambar II. 5).
17
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Gambar 2. 5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993)
Daerah upwelling di Indonesia selalu bergerak mengikuti perubahan angin monsun mengingat wilayah laut
yang sangat luas tersebut dipengaruhi oleh iklim monsun. Menurut Susanto (2000), daerah upwelling di laut
sebelah barat Sumatra dan sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dipengaruhi oleh dua musim,
yaitu monsun tenggara dan monsun barat laut, yaitu pada kondisi normal.
Pada monsun tenggara (Mei-September) berhembus angin yang bergerak sejajar dengan pantai selatan
Pulau Jawa yang bertiup dari Australia ke arah khatulistiwa. Tiupan angin ini menyebabkan gerakan massa
air permukaan ke arah lepas pantai selatan Jawa. Akibatnya terjadi kekosongan massa air di sebagian besar
pantai selatan Jawa. Sebagai kompensasi, maka massa air dari bagian bawah bergerak ke atas (upwelling)
mengganti kekosongan massa air tersebut. Pergerakan massa air ke atas ini tentu disertai pula dengan
naiknya zat hara ke permukaan. Dengan demikian produktivitas primer di daerah tersebut akan tinggi.
Kejadian ini dimulai intensif pada sekitar bulan Mei–Juni di pantai selatan Jawa Timur. Pada bulan
berikutnya yaitu antara Agustus sampai Oktober angin monsun tenggara semakin menguat. Penguatan
angin tenggara ini menyebabkan pusat upwelling bergerak ke pantai barat Sumatera. Pusat upwelling lalu
beralih di sekitar Pulau Enggano.
Di wilayah lain, terdapat pula upwelling yang sifatnya temporer, yaitu di Selat Makassar (Wyrtki, 1961).
Selama angin monsun tenggara bertiup massa air dari Laut Flores bertemu dengan massa air yang keluar
dari Selat Makassar, dan bergabung menuju Laut Jawa. Keadaan ini membuat air dari lapisan bawah
Selat Makassar bergerak ke atas mengganti kekosongan massa air tersebut. Keadaan ini ditandai dengan
salinitas permukaan yang tinggi pada bulan Juni dan Juli.
18
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.2.2. Potensi Jasa Kelautan dan Kemaritiman
Potensi dan kondisi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman saat ini serta kendala dan permasalahan
yang dihadapi dipaparkan berikut ini (KKP, 2009b):
a. Perhubungan Laut
Jasa perhubungan laut mempunyai nilai strategis dalam mewujudkan konsep wawasan nusantara dan
mengokohkan ketahanan nasional. Dari potensi jasa ini sebesar 20 milyar USD per tahun, armada asing
mendominasi sekitar 92,9% untuk pangsa pasar ekspor impor, dan 71% untuk pangsa pasar domestik.
Jasa ini mengimplementasikan dua macam pendekatan untuk mengelola kepelabuhan yaitu optimalisasi
keseimbangan suplai dan kebutuhan pada suatu pelabuhan (pendekatan mikro) dan optimalisasi beban
jaringan antar pelabuhan (pendekatan makro). Namun upaya-upaya tersebut menghadapi beberapa
kendala seperti masih kurangnya sarana dan prasarana keselamatan pelayaran dan implementasi dari
standar keselamatan transportasi laut, yang berakibat aksesibilitas ke pulau-pulau kecil dan pesisir terpencil
belum memadai.
b. Industri Maritim
Inti dari industri maritim adalah industri pembuatan kapal, pemeliharaan dan perbaikan kapal, serta
penunjang perkapalan yaitu peralatan navigasi, komunikasi dan keselamatan, instalasi pembersihan air
balas. Industri maritim ini berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi
sumber migas di lepas pantai.
Saat ini sekitar 240 industri perkapalan nasional telah menyumbang ekspor produk kapal dan komponennya
dengan nilai sekitar 211 juta USD, tapi hal itu masih belum sepadan dengan nilai impornya yang lebih
besar yaitu sekitar 803 juta USD (tahun 2006). Minat perusahaan swasta untuk berinvestasi di bidang ini
masih kurang mengingat tidak cukupnya permintaan dan pasokan pasar relatif terhadap investasi besar
yang harus ditanamkan. Akibatnya kebutuhan perkapalan nasional untuk mencakup seluruh wilayah yang
sangat luas (termasuk ZEEI) dan seluruh pulau kecil yang banyak sekali masih belum bisa dipenuhi.
c. Perikanan
Jasa perikanan ini meliputi industri perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan perikanan, dan
bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 6,4 juta ton per
tahun dimana 80 persennya adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi perikanan tangkap dan
budidaya masing-masing sekitar 15 milyar USD dan 31 milyar USD. Produksi perikanan bertambah dari
6,87 juta ton (2006) menjadi 8,71 juta ton (2008) sehingga meningkatkan jumlah Unit Pengolahan Ikan
dari 45% (2005) menjadi 55,2% (2008). Namun demikian industri pengolahan perikanan di Indonesia
masih jauh tertinggal terhadap negara-negara di kawasan ASEAN.
Kendala utama jasa perikanan ini adalah tingginya angka kemiskinan dan kurangnya pengetahuan
19
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
dari nelayan sehingga mereka kurang memanfaatkan IPTEK untuk mengeksplorasi besarnya potensi
perikanan. Di samping itu terdapat masalah-masalah antara lain penangkapan ikan secara berlebihan
(overfishing) yang terjadi di Laut Jawa dan Selat Malaka, kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
masalah pendangkalan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tradisional. Sementara itu bioteknologi laut
diidentifikasi memiliki potensi sebesar 40 milyar USD per tahun. Dalam realisasinya, dari potensi sekitar 35
ribu spesies biota laut untuk bahan obat-obatan, baru sekitar sepertujuhnya saja yang bisa dimanfaatkan.
Beberapa jenis budidaya sudah mulai diteliti dan dikomersialkan antara lain: koral, rumput laut, dan
kerang mutiara. Kendalanya adalah keterbatasan informasi ilmiah yang dimiliki untuk memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya hayati laut, serta adanya konflik kepentingan antara tujuan konservasi dan
pemanfaatan industri bioteknologi laut.
d. Wisata Bahari
Pada dasarnya wisata bahari dilaksanakan untuk memanfaatkan keindahan alam Indonesia. Bentuk-bentuk
wisata bahari antara lain: sailing, boating, surfing, scuba diving, fishing, fishing village, tropical gardens, ocean front
walking trains, dan wisata kapal pesiar. Potensi wisata bahari ini telah diidentifikasi senilai 2 milyar USD.
Potensi wisata ini didukung oleh beberapa faktor antara lain tersedianya kawasan konservasi yang memiliki
keanekaragaman tinggi dan spesifik, adanya 700 jenis terumbu karang seluas 50 ribu km2 yang dihuni oleh
263 jenis ikan hias, situs arkeologi bawah air. serta keunggulan komparatif yang berupa: bentuk negara
kepulauan, keanekaragaman hayati, keindahan alam, keanekaragaman budaya dan kesenian, biaya hidup
rendah.
Namun demikian sektor ini memiliki masalah antara lain kerusakan lingkungan karena pencemaran,
tingginya aktivitas manusia, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan bencana alam, serta konflik
pemanfaatan ruang perairan untuk wisata bahari dan perikanan tradisional.
Energi kelautan merupakan energi alternatif atau nonkonvensional yang dihasilkan dari konversi gaya
mekanik, gaya potensial, dan perbedaan temperatur air di permukaan dan kedalaman laut. Jumlah potensi
energi tersebut sebenarnya cukup besar, misalnya energi pasut sekitar 3 ribu MW, energi panas laut (OTEC)
sekitar 240 ribu MW, energi arus laut sekitar 80-90 MW, energi gelombang sekitar 4,3 KW. Namun demikian
upaya pemanfaatan energi nonkonvensional dari laut ini masih sebatas riset murni yang dilakukan oleh
perguruan tinggi, institusi litbang, dan lembaga penelitian sub sektor kelistrikan. Komersialisasi hasil-hasil
penelitian tersebut belum dilakukan. Pemanfaatan energi alternatif yang dilakukaan pemerintah adalah
mendistribusikan pembangkit-pembangkit listrik skala mikro seperti energi angin dan energi surya di
daerah-daerah terpencil.
Beberapa kendala antara lain: belum ada regulasi yang mengoordinasikan dan mengarahkan riset energi
kelautan, belum adanya pemetaan rinci potensi energi kelautan di Indonesia secara menyeluruh, masih
rendahnya penguasaan IPTEK konversi energi kelautan, dan belum tersedianya teknologi konverter yang
20
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
memungkinkan rasio elektrifikasinya layak jual
Sementara itu dasar lautan Indonesia juga mengandung potensi yang berupa kondisi geologi dasar laut
yang terdiri dari berbagai jenis mineral polymetallic nodule dan polymetallic crust dengan konsentrasi tinggi,
deposit pasir laut dengan mineral kuarsa tinggi sekitar 90%, dan deposit hidrothermal mengandung ikatan
sulfur dan mineral emas. Problemnya adalah survei potensi mineral belum optimal dan fokus karena
membutuhkan dana yang besar dan belum berjalannya koordinasi antar institusi kebumian dan kelautan.
Potensi mineral garam juga tidak kalah pentingnya dimana terdapat lahan penggaraman sekitar 37 ribu ha.
Namun potensi tersebut baru setengahnya yang telah dimanfaatkan mengingat berbagai kendala antara
lain: rendahnya tingkat produktivitas, belum terpenuhinya standar kualitas produksi garam, kurangnya
infrastruktur, modal, dan penguasaan teknologi, disertai luas lahan yang terbatas dan lokasi ladang garam
yang tersebar.
f. Bangunan Laut
Bangunan laut terdiri dari dermaga pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, kabel dan pipa bawah laut,
bangunan penahan gelombang. Sebagai gambaran, pada saat ini terdapat 450 anjungan lepas pantai dan
sekitar 968 pelabuhan perikanan. Bangunan-bangunan laut tersebut mengalami permasalahan teknis
seperti belum adanya pedoman teknis penataan bangunan laut, serta belum diperhitungkannya potensi
dampak perubahan iklim terhadap elevasi bangunan dan kekuatan struktur fasilitas/bangunan laut.
g. Jasa Kelautan
Jasa-jasa kelautan lainnya meliputi pencarian dan pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT),
pemanfaatan air laut dalam, dan reklamasi pesisir. Potensi BMKT pada saat ini adalah terdapatnya
463 lokasi kapal tenggelam, di antaranya 245 kapal VOC. Namun pemanfaatannya terkendala oleh
beberapa faktor seperti belum adanya pemahaman, harmonisasi, dan sinkronisasi dari berbagai peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT, serta belum terkoordinasinya pengawasan dan
pengendalian dalam pengelolaan BMKT.
Pemanfaatan air laut dalam sebagai bahan baku disalinasi untuk air minum sudah mulai diteliti, yaitu pada
jalur Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa air laut dalam dari Samudra Pasifik ke Samudra
Hindia. Lokasi potensi air laut dalam ini terdapat di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok, Laut
Flores, Selat Ombay, Laut Banda, Papua bagian utara, Laut Maluku, Samudra Hindia. Namun upaya
ini mendapat kendala berupa kebutuhan dana yang besar untuk riset dan eksploitasinya serta belum
dikuasainya data dan IPTEK yang terkait air laut dalam.
Reklamasi dilaksanakan pada suatu areal pesisir dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah pada
wilayah dan sumberdaya pesisir tersebut. Saat ini kegiatan reklamasi dipandang sebagai suatu solusi
terhadap masalah pertumbuhan kebutuhan ruang yang ada, misalnya di DKI Jakarta, Manado, Makasar,
dan Pulau Nipah. Kegiatan ini menghadapi kendala berupa belum adanya peraturan dalam pemanfaatan
21
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
lahan pesisir hasil reklamasi, belum adanya dokumen perencanaan zonasi wilayah pesisir, dan potensi
timbulnya masalah lingkungan di sekitar kawasan reklamasi selama dan sesudah proses reklamasi
2.3. Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini
2.3.1. Kondisi Sektor Kelautan dan Perikanan
Kondisi lingkungan sektor kelautan dan perikanan dapat dilihat dari ekosistem laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil karena pengaruhnya pada tingkat produktivitas sumberdaya (KKP, 2005). Ekosistem tersebut
meliputi terumbu karang, mangrove, estuaria dan padang lamun, dan budidaya laut. Secara umum kondisi
ekosistem tersebut telah mengalami degradasi fisik dengan laju yang dapat mengancam keberlanjutan
sumberdaya. Sebagai contoh: Terumbu karang yang mencapai luas lebih dari 60.000 km2 telah rusak sekitar
40%. Faktor penyebabnya adalah: (i) kegiatan manusia (penangkapan ikan dengan alat yang merusak,
pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, dan sebagainya), dan (ii) faktor alam (El-Nino dan La-Nina,
badai, gempa bumi, dan banjir). Demikian pula hutan mangrove yang berkurang luasannya dari 5,21
juta ha menjadi 2,5 juta ha pada kurun waktu 12 tahun (1982–1993), antara lain karena konversi menjadi
lahan tambak khususnya di Sumatra bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan Timur, serta
menjadi lahan industri terutama di Jawa dan Bali.
Kondisi sosial sektor Kelautan dan Perikanan didominasi oleh masyarakat nelayan, pembudidaya perikanan,
dan masyarakat pesisir lainnya. Kepedulian masyarakat pada pembangunan sektor ini ditandai dengan
meningkatnya partisipasi dan kerjasama antara pemerintah dan pemerintah daerah dengan berbagai pihak
seperti masyarakat pesisir itu sendiri, LSM, perguruan tinggi, dan media massa.
Pada kondisi perekonomian, KKP telah dan sedang melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan 3
(tiga) pilar pembangunan (KKP, 2009), yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga
kerja), dan pro-growth (pertumbuhan ekonomi). Terdapat 3 (tiga) outcome yang ditargetkan pada tahun 2009 ini
untuk masing-masing strategi tersebut, yaitu: (1) peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui program
pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dan program pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau
kecil yang telah menjangkau lebih dari 200 kab/kota, (2) peningkatan penyerapan tenaga kerja kumulatif
yang mencapai 7,69 juta orang, dan (3) pertumbuhan ekonomi sektor Kelautan dan Perikanan sebesar
5,7%. KKP berusaha menjadikan sektor ini sebagai prime-mover pembangunan nasional ke depan, dengan
mengusulkannya menjadi bidang pembangunan sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) tahun 2010–2014. Oleh sebab itu KKP telah menambah dua pilar lagi pada Rencana Strategis tahun
2010 – 2014, yaitu strategi pro-business dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang
kelautan dan perikanan dan pro-sustainable melalui pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir,
dan pulau-pulau kecil, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
22
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
2.3.2. Permasalahan Kelautan dan Perikanan
Permasalahan internal yang dihadapi pada umumnya berkisar pada belum optimalnya pengelolaan dan
pengembangan sektor Kelautan dan Perikanan seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pemanfaatan
pulau-pulau kecil, konservasi laut, potensi kelautan non-konvensional, serta lemahnya penegakan hukum
seperti illegal fishing dan sebagainya. Di lain pihak, sektor kelautan dan perikanan menghadapi masalah eksternal
terutama masih rendahnya kesadaran bangsa tentang strategisnya sumberdaya kelautan bagi kemakmuran
bangsa, yang ditandai antara lain dengan belum kondusifnya kebijakan moneter, fiskal, dan investasi, tata
ruang dan pengendalian pencemaran, kepastian hukum dalam berusaha serta penegakan hukum.
Permasalahan yang dihadapi khususnya di perairan pantai adalah degradasi atau penurunan habitat
lingkungan pantai disebabkan oleh polusi domestik dan industri, eksploitasi sumberdaya laut secara
berlebihan (over-fishing), kehilangan terumbu karang, hutan bakau, aktivitas reklamasi, pengerukan dan
erosi. Penyebab lainnya adalah pemukiman atau aktifitas pengambilan sumber daya seperti pembabatan
hutan dan pertambangan. Hal lain adalah penurunan nilai atau hilangnya situs sejarah, budaya, dan
arkeologi disebabkan oleh pembangunan hotel serta aktivitas pengembang lainnya.
Polusi di daerah pantai yang berasal dari daerah tangkapan sungai (catchment area) umumnya disebabkan
oleh sedimen dari erosi akibat penggundulan hutan dan pertambangan, nutrient dari buangan penduduk
dan run-off dari pertanian, residu pestisida dari pertanian dan akuakultur, pengoperasian kapal, tumpahan
minyak dari tabrakan kapal dan anjungan pengeboran minyak, polusi termal dari saluran buangan Power
plant, polusi air buangan industri. Beban polusi ini sangat berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan
tingkat produktivitas pertanian termasuk ternak dan tambak.
Pengambilan ikan yang berlebihan pada daerah perairan pantai bahkan di lepas pantai sering terjadi di
daerah yang berpopulasi tinggi. Indikator over-fishing ini biasanya ditandai dengan kegagalan penangkapan
per unit usaha. Penyebab lain dari menurunnya stok ikan adalah akibat degradasi ekosistem sebagai wadah
pendukung perkembangbiakan ikan. Kehilangan hutan mangrove sebagai tempat pembiakan ikan dan
udang serta perusakan akibat teknik penangkapan ikan yang tidak berkesinambungan seperti penggunaan
dinamit dan sianida juga memberi kontribusi terhadap penurunan mutu ladang perikanan.
Degradasi terumbu karang diakibatkan oleh peledakan serta teknik penangkapan ikan yang merusaknya.
Penambangan terumbu karang disamping merusak juga menyebabkan tidak adanya penahan ombak
sehingga akhirnya menyebabkan erosi di pantai serta perubahan profile dasar laut. Penyebab kerusakan
terumbu karang adalah: (1) Aktivitas pariwisata: kerusakan ini akibat jangkar dari perahu-perahu pengunjung,
diinjak-injak atau diambil sebagai koleksi oleh wisatawan. (2) Polusi: kerusakan ini akibat sedimentasi yang
terbawa oleh sungai, eutrofikasi (overfertilization) yang terbawa oleh air buangan dari hotel atau perumahan
di pantai, sedimentasi yang ditimbulkan oleh pertambangan lepas pantai. (3) Perikanan: kerusakan ini akibat
penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun yang menyebabkan terjadi kematian terumbu
karang. (4) Pembangunan: penambangan terumbu karang untuk bahan/material bangunan.
23
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Degradasi hutan mangrove disebabkan karena nilai ekonomi hutan mangrove yang sangat penting, sehingga
terjadi eksploitasi hutan mangrove yang berjalan sangat cepat. Kerusakan ini dikarenakan oleh cara potong
bersih (clear-cutting) sehingga mangrove tidak dapat ber-regenerasi yang akibatnya terjadi perubahan komposisi
tumbuhan dalam hutan mangrove. Penyebab hilangnya hutan mangrove ini akibat konversi ke tambak,
sawah dan pelabuhan serta aktivitas pengembangan lainnya seperti perumahan, hotel, dan sebagainya.
Degradasi lingkungan pesisir yang umumnya disebabkan oleh tekanan aktivitas pemenuhan kebutuhan
ummat manusia semakin diperparah dengan adanya perubahan iklim. Degradasi ini dapat mengubah
lingkungan pesisir dan laut serta biota dan keragaman hayati yang ada didalamnya.
Kapasitas yang diperlukan dalam menghadapi isu perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan
adalah kelembagaan yang sekaligus mencakup sumber-daya manusia, riset, pengawasan, pengendalian,
hukum dan kebijakan.
Pada tingkat politik dan kebijakan Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam
mengantisipasi isu perubahan iklim dengan menyelenggarakan United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember 2007 yang menghasilkan Bali Road Map. Hasil tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada tanggal 14
Mei 2009 yang lalu. Konferensi kelautan ini menghasilkan kesepakatan dari 74 negara dan 13 lembaga
internasional yang dituangkan dalam Manado Ocean Declaration (MOD).
• Perlunya strategi nasional pengelolaan ekosistem pesisir dan laut yang berkelanjutan sebagai upaya
untuk mengurangi dampak perubahan iklim
• Perlu diimplementasikannya pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu untuk mengurangi resiko
dan kerentanan (vulnerability) masyarakat pesisir beserta infrastrukturnya.
• Perlu dilakukannya riset ilmiah, monitoring kelautan terpadu dan ber-kelanjutan, serta membangun
kesadaran masyarakat.
Pada tingkat teknis, kelembagaan atau institusi yang melaksanakan dan mengelola aksi adaptasi perubahan
iklim pada sektor kelautan dan perikanan sebenarnya sudah ada sejak tahun 2005 yaitu Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), dimana terlihat dari beberapa butir pada Rencana Strategisnya tahun
2005–2009 (KKP, 2005). Sebagai contoh, Misi ke-3 (memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas
lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan; lihat Tabel L.2) pada mulanya diarahkan pada isu
lingkungan hidup, namun ternyata juga telah mencakup isu perubahan iklim. Beberapa kegiatan pokok
24
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
di antaranya juga berkaitan dengan strategi adaptasi perubahan iklim antara lain (1) pengelolaan dan
pengembangan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang,
hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria; (2) penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil;
(3) pemeliharaan dan peningkatan pengelolaan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; serta (4)
peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut dan prakiraan iklim laut.
Demikian pula dengan Misi-1 yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan,
dan pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya dan Misi-2 yaitu meningkatkan peran sektor kelautan
dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, turut mendukung dan memperkuat upaya adaptasi
terhadap perubahan iklim.
Beberapa kegiatan pokok di antaranya juga relevan dengan strategi adaptasi antara lain (1) pemberdayaan
masyarakat kelautan dan perikanan; (2) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan; (3)
diseminasi dan asimilasi hasil riset dan pengembangan iptek kelautan dan perikanan; (4) pengembangan
kawasan budidaya laut, air payau, dan air tawar; (5) pengembangan pelabuhan perikanan dan kapal
perikanan; pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan; (6) pemberdayaan masyarakat pulau-pulau
kecil dan memfasilitasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu; (7) peningkatan kapasitas sumberdaya riset
kelautan dan perikanan.
Di antara unit-unit kerja di dalam KKP yang telah banyak merespon isu-isu perubahan iklim adalah
Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (Dirjen KP3K). Bidang tugas dari unit kerja
tersebut lebih banyak bersifat kewilayahan dan lintas sektoral, disamping fungsi melaksanakan konservasi
pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dengan lingkup kerja ini maka Ditjen KP3K telah melaksanakan
respon terhadap isu perubahan iklim seperti:
• Program MCRMP (Marine and Coastal Resource Management Project) yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota dalam melaksanakan
fungsi dan tanggungjawab menggali, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam di pesisir
dan laut yang berada dalam wilayah-nya. Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2001 – 2009
di 15 provinsi di Indonesia (sumber: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/31/ mcrmp).
• COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah suatu program yang bertujuan
untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang, yaitu dengan memetakan kondisi eksisting,
merehabilitasi dan memelihara, melalui pengawasan dan penyuluhan kepada pemangku kebijakan,
serta penguatan kelembagaan, dan lain-lain. Program ini telah dilaksanakan di beberapa provinsi
seperti Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengggara, dan Papua (sumber:www.coremap.or.id).
Begitu pula dengan program-program tahunan KKP yang dilaksanakan di seluruh provinsi mendukung
upaya adaptasi perubahan iklim seperti program rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut, dan konservasi
dan pemberdayaan pulau-pulau kecil.
25
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
2.4.2. Kerangka Hukum dan Kebijakan Tingkat Nasional Saat Ini
Masalah pada kapasitas hukum dan kebijakan terhadap adaptasi perubahan iklim adalah belum tersedianya
hukum dan perundangan yang secara langsung atau spesifik mengatur hak dan kewajiban dari warga
negara dan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan adaptasi terhadap bahaya alam yang dipicu oleh
perubahan iklim. Namun demikian beberapa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah saat ini telah
menjadi modal dasar untuk dapat mengatur pelaksanaan adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan
dan perikanan, antara lain:
Undang-Undang
• Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-
2025.
• Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan.
• Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian direvisi menjadi
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
• Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SDM Kelautan).
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
26
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah
• Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional &
Lembaga Asing Non-pemerintah pada Penanggulangan Bencana
• Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Tentang Tahapan Tata
Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
• Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
• Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
• Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014
• Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
• Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut
• Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Perlindungan Kawasan Lindung.
• Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan
AMDAL dalam kegiatan pembangunan lahan basah
Mengingat belum adanya hukum dan perundangan yang mengatur secara spesifik dan langsung tentang
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim maka pelaksanaannya dapat merujuk Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana di dalamnya mengikat bagi pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat.
Bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tidak selamanya sama atau serupa dengan karakter
27
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
bencana yang dimaksudkan pada Undang-Undang tersebut di atas, dimana regulasi dan kebijakan
pemerintah yang ada hingga saat ini masih mengambil asumsi bahwa bencana alam selalu bersifat masif
dan mendadak seperti banjir, badai, gelombang badai, tsunami, dan sebagainya. Padahal bahaya yang
dipicu oleh perubahan iklim bisa terjadi secara perlahan-lahan (slow onset) namun pasti seperti kenaikan
suhu dan kenaikan muka air laut.
Dalam mengakomodasi kekhasan karakteristik bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim maka
perlu adanya penyusunan hukum dan kebijakan tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan/atau
penyesuaian hukum dan kebijakan yang telah ada seperti Undang-Undang tersebut di atas.
Perairan yang menutupi sekitar 71% dari permukaan bumi berperan penting sebagai penerima, penyimpan,
dan pendistribusi panas yang diserap dari radiasi sinar matahari melalui sistem sirkulasi arus laut dari
daerah sekitar ekuator ke arah kedua kutub. Sirkulasi termohalin menjadi sistem penyimpan energi dimana
energi panas yang diterima permukaan air laut diangkut dan didistribusikan masuk ke laut dalam selama
ribuan tahun. Melalui distribusi energi panas ini terjadilah proses penguapan air dari permukaan laut yang
menyediakan energi panas laten ke atmosfer dan menstimulasi siklus hidrologi yang bisa membangkitkan
badai dan siklon.
Temperatur laut mempengaruhi kenaikan muka air laut secara langsung melalui kontrol terhadap panas
dan tidak secara langsung melalui energi panas pantulan dari atmosfer yang mempengaruhi gunung es,
lapisan es di kutub, dan siklus hidrologi. Penyerapan karbon dioksida oleh laut secara alamiah dapat
mengimbangi energi panas dari atmosfer ini.
Sistem kesetimbangan antara laut dan atmosfer pembentuk iklim seperti di atas akhir-akhir ini terganggu
oleh aktivitas manusia di muka bumi yang menimbulkan peningkatan produksi gas-gas rumah kaca (GRK)
sehingga menimbulkan perubahan iklim global. Perubahan iklim ini dapat memicu beberapa bahaya alam
di lingkungan laut dan pesisir yang diidentifikasi dan dikaji oleh Working Group I of the Intergovernmental
Panel on Climate Change (WG1-IPCC) sebagai berikut:
2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon) (kode: PKCE)
3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan bahaya
lanjutan berupa:
28
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Bahaya-bahaya tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya dimana suatu daerah
berpotensi mengalami berbagai gaya-gaya iklim atau bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim
sekaligus.
Australian Greenhouse Office (2005) menjelaskan pengaruh perubahan iklim terhadap bahaya yang akan
timbul di wilayah pesisir dan laut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar II.6 berupa:
Perubahan-perubahan tersebut di atas kemudian berpengaruh terhadap: (A) suplai sedimen, (B)
gelombang dan swell (alunan gelombang), (C) arus laut, (D) badai pasut, (E) perubahan muka air laut.
Sedangkan faktor eksternal lainnya yang tidak terkait langsung dengan perubahan iklim adalah pasut dan
(F) tsunami, dimana pasut dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda angkasa luar terutama bulan dan
matahari, sedangkan gelombang tsunami ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, vulkanik, dan tanah longsor
bawah laut. Seluruh elemen dari (A) sampai dengan (F) ini perlu ditinjau dalam menganalisis bahaya-
bahaya yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir dan laut.
Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim terhadap
sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse Office, 2005)
29
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.5.1. Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut
Interkasi laut dan atmosfer terjadi dalam berbagai skala waktu dalam mengontrol baik temperatur udara dan
permukaan laut. Skala waktu ini bervariasi dari harian (siang-malam), musiman, antar dekade (10 tahunan)
hingga abad (100 tahunan). Laju kenaikan temperatur udara dapat diamati dengan menganalisis tren datanya,
seperti yang dilakukan oleh Diposaptono (2009) untuk kota Jakarta dan Semarang (Gambar II. 7) dimana
terjadi kenaikan temperatur udara rata-rata dari 25.5oC menjadi 27.5.oC atau sekitar 3.0oC selama kurung
waktu 125 tahun (1865-1990) atau laju kenaikan temperatur udara sekitar 0.024 oC/tahun.
Analisis kenaikan temperatur permukaan laut (TPL) juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti:
• Levitus dkk (2000) meneliti dan menganalisis sekitar 5 juta data profil TPL pada kedalaman laut
antara 0–300 meter (hingga kedalaman 3000 meter) dan menunjukkan bahwa terdapat kenaikan
TPL secara global sekitar 0.31oC antara tahun 1948–1998 atau laju kenaikan TPL 0.0062 oC/tahun
yang berarti sudah terjadi sejak selesainya Perang Dunia II.
• Aldrin (2008) memperlihatkan tren kenaikan TPL di beberapa stasion di wilayah tengah dan barat
perairan Indonesia (Gambar II.8.a) dengan hasil pengukuran diperlihatkan pada Gambar II.8.b,
dengan laju kenaikan TPL untuk masing-masing statsion berbeda-beda dengan variasi kenaikan
berkisar antara 0.008 oC/tahun di Halmahera hingga 0.0268 oC/tahun di Makassar (Gambar
II.8.c).
30
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju kenaikan
TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008)
• Sofian (2009) menggunakan model proyeksi kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Gambar
II.9) dan dari IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Gambar II.10).
Gambar-gambar tersebut menunjukkan adanya kenaikan temperatur laut rata-rata sebesar 0,65oC, 1.10
o
C, 1.70 oC dan 2.15 oC masing-masing pada tahun 2030 2050, 2080 dan 2100 terhadap temperatur
pada tahun 2000. Tren kenaikan TPL tertinggi terjadi di Samudera Pasifik, sebelah utara Pulau Papua,
dan yang terendah terjadi di pantai selatan Pulau Jawa.
Gambar 2.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009)
31
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model
MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009)
• Selanjutnya NOAA PMEL (2003) dalam Diposaptono (2009) menyajikan variasi TPL (garis
hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru), serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang
(coral bleaching) (garis merah) di daerah Raja Empat, Papua. Bila TPL musiman melewati garis
ambang maka terjadi pemutuhin karang sesaat (seperti tahun 1992 dan 1998), dimana pada kondisi
normal karang tersebut akan pulih kembali. Namun bila tren kenaikan TPL (garis biru) akan terus
naik hingga di masa datang dan melewati temperatur ambang batas (garis merah), maka terjadi
pemutihan karang secara permanen.
32
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta temperatur
ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah)
Kenaikan TPL ternyata berpengaruh terhadap peningkatan kejadian cuaca ekstrem (badai, siklon).
Fenomena ini diungkapkan oleh Saunders dan Lea pada Jurnal Nature edisi 29 Januari 2008 (dalam: USAID,
2009), bahwa setiap kenaikan temperatur muka air laut sebesar 0,5oC berkorelasi dengan peningkatan
frekuensi dan aktivitas badai (hurricane) sebesar 40 persen.
Badai tropis adalah suatu kawasan dengan radius minimal 100 km2 yang pusatnya berupa kumpulan
awan badai. Badai ini biasanya muncul di lintang rendah (5°LU dan 5°LS) yang dipicu dari kumpulan
3 sampai 5 buah awan badai di sekitar ekuator. Makin jauh dari ekuator, makin banyak awan badainya,
yang kemudian membentuk ekor awan badai. Dengan demikian, wilayah Indonesia dengan posisi lintang
antara 6°LU dan 12° LS beruntung tak mendapat kondisi badai yang dahsyat kecuali awan badai karena
badai umumnya berputar menjauhi ekuator. Badai tropis selalu muncul di dua wilayah pada dua musim
(Gambar II.12), yaitu:
• di selatan wilayah Indonesia pada musim hujan, khususnya di Samudra Hindia mulai barat daya,
selatan hingga tenggara wilayah Indonesia, dan
33
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
• di bagian utara pada musim kemarau, khususnya di sekitar Laut Cina Selatan dan sebelah barat
Samudra Pasifik
Meskipun wilayah Indonesia tidak secara langsung terkena badai siklon, namun ekor badai tersebut serta
gelombang laut yang dibangkitkannya sering menerjang pantai-pantai yang menghadap ke Samudera
Hindia, Laut Cina Selatan, Pasifik Barat dan Laut Banda.
Gambar 2.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di wilayah
Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa (catatan BBU=Belahan
Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan)
Trek lintasan badai tropis di Samudera Hindia diberikan oleh BOM Australia (2006) seperti diperlihatkan
pada Gambar II.13.
Gambar II.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006)
34
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Umumnya siklon tropis terjadi pada musim angin barat dan peralihan ke musim angin timur (Desember–
April), yang mana paling sering terjadi pada bulan Januari dan Februari (T.W. Hadi, 2008). Pola musiman
inilah yang menyebabkan kejadian cuaca ekstrem dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Pola
tersebut akhir-akhir ini “diganggu” oleh lebih seringnya kejadian El-Nino dan La-Nina. Selama kejadian
El-Nino, daerah yang berpotensi siklon tropis di Pasifik Barat cenderung bergeser ke arah timur menjauhi
perairan Indonesia, sebaliknya siklon tropis semakin banyak terjadi selama kejadian La-Nina karena
temperatur muka air laut semakin bertambah
Badai tropis dapat menimbulkan kondisi alam yang tidak beraturan. Kejadian awan badai bisa disebut
ekstrem bila terjadi beberapa fenomena berikut:
• Hujan deras berintensitas tinggi (hujan badai), yang dapat menimbulkan dampak turunan seperti
banjir dan merusak infrastruktur.
• Angin kencang yang berputar dan berubah arah dengan kecepatan 60-350 km/jam (angin badai) yang
dapat menerbangkan atap rumah, dan merobohkan pohon dan papan reklame, serta menganggu
sistem transportasi laut.
• Gelombang badai (storm surges) yang dibangkitkan oleh badai tropis dan dapat menimbulkan
gelombang besar dan merambat ke wilayah pesisir, seperti Badai Jacob yang terjadi pada tahun
2007. Badai ini melanda pesisir selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dan menimbulkan dampak
kerusakan di wilayah pesisir, erosi pantai, mengganggu pelayaran dan menyebabkan tidak melautnya
para nelayan. Melalui pemodelan numerik, Ningsih (2009) menunjukkan adanya pengangkatan
muka laut rata-rata (MSL) sekitar 50 cm selama terjadinya badai tersebut (Gambar II.14).
Gambar 2.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai selatan Pulau
Jawa (N.S. Ningsih, 2009)
35
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Di daerah pesisir, elevasi muka air laut rata-rata dipengaruhi oleh gelombang badai dan akan lebih meningkat
dengan keberadaan gelombang angin yang dipengaruhi oleh musim. Gelombang angin ini dianggap dapat
merepresentasikan (proxy) bahaya gelombang badai, karena besar-kecilnya gelombang tergantung pada
angin yang membangkitkannya. Pola gelombang angin musiman untuk bulan Januari mewakili kejadian
pada musim angin Barat (Gambar II.15.a) dan untuk bulan Agustus mewakili kondisi pada musim angin
Timur (Gambar II.15.b). Sedangkan gelombang maksimum yang umumnya terjadi pada bulan Desember
diperlihatkan pada Gambar II.15.c. Data gelombang yang digambarkan pada Gambar II.15 diperoleh dari
altimeter Significant Wave Height (SWH) dari Januari 2006 sampai Desember 2008 (Sofian, 2009).
a. Januari b. Agustus
c. Gelombang maksimum
Gambar 2.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta gelombang
maksimum (Sofian, 2009)
36
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.5.3. Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas
Iklim
Pola curah hujan dan limpasan air tawar secara umum dikontrol oleh sistem sirkulasi monsun dengan dua
musim utama yakni musim penghujan dan musim kemarau. Berdasarkan periode puncak musim hujan,
di Indonesia terdapat tiga tipe daerah iklim (Tjasyono, 1999) yaitu (1) monsunal (satu puncak musim
hujan antara Desember-Januari-Februari), (2) ekuatorial (dua puncak sekitar April-Mei dan Oktober-
November), serta (3) lokal (satu puncak dominan di sekitar Juni-Juli) (Gambar II.16).
Gambar 2.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe ekuatorial, (C)
tipe lokal (Tjasyono, 1999)
Salah satu fakta yang menguatkan dugaan bahwa telah terjadi perubahan pola curah hujan dan temperatur
udara adalah data pengamatan curah hujan dan temperatur udara di Pulau Lombok yang diberikan oleh
Hadi, TW. (2008) seperti yang disajikan pada Gambar II.17
37
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
(a) Curah hujan (b) Temperatur udara
Gambar 2.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau Lombok
(Hadi, TW., 2008)
Pola curah hujan di Pulau Lombok saat ini (1991-2007) relatif sudah berbeda dengan pola sebelumnya
(1961-1990), dimana curah hujan pada bulan Desember saat ini lebih rendah daripada masa sebelumnya,
namun hal yang sebaliknya terjadi pada bulan Maret-April. Pola temperatur udara juga mengalami
perubahan dimana terlihat ada kenaikan sebesar 0,5oC sd 1oC pada saat ini (1991-2007) relatif terhadap
pola sebelumnya (1961-1990), khususnya pada bulan November-April, sedangkan pola temperatur udara
pada bulan Mei-Oktober relatif tidak berubah.
Hasil analisis yang diberikan oleh Sofyan (2009) pada Gambar II.18 menunjukkan bahwa pada bulan
Januari terjadi curah hujan yang tinggi dengan kisaran antara 250 mm sampai 400mm di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Sementara pada bulan Agustus curah hujan di Indonesia terlihat rendah, terutama
pada wilayah di sebelah selatan katulistiwa dengan total curah hujan di bawah 50 mm/bulan.
Gambar 2.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus
38
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Pola angin monsoonal atau musim ini mendapat pengaruh dari fenomena El-Nino dan La-Nina. Kedua
fenomena tersebut dijelaskan pada laporan basis saintifik oleh Sofian (2009). Pola curah hujan rata-rata
musiman di atas dapat dianggap merepresentasikan (proxy) bahaya banjir atau kekeringan akibat fenomena
La-Nina dan El-Nino.
Pada saat ini kedua jenis variabilitas iklim tersebut semakin kerap terjadi. Pada masa lalu siklus El-Nino
sekitar 4-7 tahun (peluang kejadian 25%-14,3%), namun pada tahun 1990–2006 terjadi 6 kali (peluang
kejadian lebih dari 40%). Semakin seringnya fenomena El-Nino dan La-Nina juga terlihat dari proyeksi
model dalam tahun 2010-2030 (Sofian, 2009), bahkan keduanya bisa terjadi bersamaan dalam suatu tahun
(Tabel II.2).
Tabel 2.2 Proyeksi kejadian El-Nino dan La-Nina menggunakan skenario SRES a1b
(Sumber: Sofian, 2009)
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2010 0,98 0,56 1,18 1,48 1,23 1,44 1,74 1,56 1,86 1,93 2,11
2011 1,98 1,91 1,63 1,28 1,53 2,21 1,99 2,24 2,40 2,73 3,06
2012 2,75 2,37 1,61 1,00 0,83 1,18 1,59
2013 1,45 1,22
2014
2015
2016 1,09
2017 1,09 1,18 1,30 0,68 0,95 1,33 1,09 1,67 1,91 2,00 2,09 2,20
2018 1,93 1,97 1,80 1,36 1,09 2,24 1,65 1,74 1,94 2,23 2,36
2019 2,50 2,25 1,85 1,39 1,19 0,73 0,50 0,73
2020 1,03 1,26 1,13 1,41 1,71 2,28 2,16 2,35 1,87
2021 1,51 1,54 1,50 1,09
2022 1,19
2023 1,40 1,32 1,05 0,63 1,13 1,04 0,92
2024 1,33 1,25 1,31 0,95 0,85 1,03
2025 0,53 0,70 0,50
2026 0,73 0,71 1,23 1,87 1,59 1,64 1,43
2027 1,38 2,00 1,91 1,49
2028
2029 1,37 1,47 1,94 2,25 1,92 1,24
2030 0,92 0,80 1,11 0,89 0,77 0,79
Keterangan warna:
El-Nino
La-Nina
Iklim normal
Tabel di atas menyatakan bahwa prediksi fenomena El-Nino dan La-Nina terjadi dengan ritme sebagai
berikut:
• Antara 2023 – 2027: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 6 – 9 bulanan, diselingi dengan
periode normal.
39
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
• Antara 2029 – 2030: El-Nino terjadi dalam jangka 1 tahunan.
Secara umum perubahan pola curah hujan dan limpasan air tawar berpotensi menyebabkan beberapa
perubahan lingkungan fisik yang penting antara lain:
2.5.4. Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas
Iklim
Laut selalu berinteraksi dengan atmosfer baik melalui mekanisme perpindahan panas maupun energi dan
momentum. Bentuk perpindahan panas telah dibahas pada butir II.5.1 dimana efek GRK mempengaruhi
terjadinya kenaikan temperatur baik di atmosfer. Bentuk perpindahan energi dan momentum dari
angin permukaan ada dua macam yaitu timbulnya gelombang dan bergeraknya arus laut. Pembangkitan
gelombang telah dibahas pada butir II.5.2 dimana angin yang sangat kencang sewaktu badai atau siklon
dapat menimbulkan gelombang badai.
Bentuk lain dari perpindahan energi dan momentum antara laut dan atmosfer diwujudkan dengan saling
pengaruh antara angin di atas permukaan laut dan arus laut. Namun demikian pola angin dan arus laut juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti temperatur udara dan temperatur laut. Mekanisme variabilitas
iklim seperti ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dapat mempengaruhi faktor-faktor tersebut dan pada
gilirannya dapat mengubah pola sirkulasi angin dan arus di Indonesia.
Indonesia merupakan daerah maritim yang diapit oleh dua samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua
(Asia dan Australia) sehingga pola angin yang dominan adalah pola monsoon atau musim (Gambar II.19).
Pada waktu musim angin barat (angin bertiup dari barat) yaitu bulan Oktober - Maret, kondisi cuaca
di Indonesia dipengaruhi oleh monsun barat, angin bertiup dari timur laut dan berbelok menuju arah
tenggara setelah melewati katulistiwa. Sebaliknya pada musim angin timuran, angin bertiup dari tenggara
dan berbelok menuju ke timur laut setelah melalui daerah khatulistiwa dari bulan Mei hingga September.
Pengaruh Samudera Pasifik menjadi dominan pada periode angin baratan kecuali sebagian besar Sumatera
yang dipengaruhi oleh karakteristik Samudera Hindia sebelah barat. Sebaliknya pada musim angin timuran,
pengaruh Samudera Hindia menjadi dominan.
40
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
a. Januari b. Agustus
Gambar 2.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari dan
Agustus (Sofian, 2009)
Propagasi angin utara dari bulan Oktober sampai Maret mendorong kolam air laut hangat dari Samudera
Pasifik bergerak ke Samudera Hindia sehingga sebagian besar perairan Indonesia hangat. Sebaliknya pada
musim angin timuran dari bulan Mei sampai September, angin timuran menekan balik air laut dengan
suhu rendah dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik melalui Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina
Selatan, sehingga sebagian perairan Indonesia sebelah selatan lebih dingin daripada di sebelah utara.
Secara umum pola Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow, ITF; Murray, Arief, 1988) dapat
mempengaruhi karakteristik iklim global melalui mekanisme perpindahan panas antara Samudera Pasifik
dan Indonesia melalui Selat Makasar dan Selat Lombok (Gambar II.20).
Pada bulan Januari saat monsun barat, propagasi angin barat daya (angin yang bertiup dari barat daya)
menyebabkan arus di Laut Jawa mengalir ke timur, dan arus di Selat Karimata ke selatan. Sementara arus
di Selat Sunda, mengalir ke timur dan masuk ke Laut Jawa, dengan membawa massa air dari Samudera
Indonesia ke Laut Jawa. Efek topografi dengan menciut dan mendangkalnya kedalaman Selat Karimata
sebelah selatan dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tinggi muka air laut sebesar 40 cm antara Laut
Jawa dan Selat Karimata.
Pada saat monsun tenggara atau waktu musim kemarau, angin mendorong arus di Laut Jawa menuju
ke barat, dan arus di Selat Karimata bergerak ke utara. Air di permukaan Laut Jawa mengalir keluar ke
Samudra Hindia melalui Selat Sunda.
41
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
a. Januari b. Agustus
Gambar 2.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. Tinggi
muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999
(Sofian, 2009).
Berbeda dengan pola arus di Laut Jawa dan Selat Karimata, arus permukaan di Selat Makassar tidak
mengikuti pola dan arah angin musiman. Arus tersebut cenderung untuk bergerak ke selatan. Kecepatan
arus permukaan di Selat Makassar lemah pada musim angin barat, meskipun angin utara sangat intensif.
Lemahnya arus permukaan di Selat Makassar ini disebabkan oleh kuatnya arus permukaan di Laut Jawa
yang bergerak ke timur, sehingga menghalangi laju arus permukaan di Selat Makassar. Sebaliknya, arus
permukaan di Selat Makassar akan menguat pada musim kemarau (angin tenggara), dan mendorong air
permukaan yang bersalinitas dan bersuhu rendah kembali ke Laut Jawa. Kuatnya arus permukaan di Selat
Makassar juga menyebabkan penurunan tinggi muka air laut di pantai utara Pulau Lombok, Laut Flores
dan Laut Jawa bagian timur dan tengah pada bulan Agustus.
Kondisi laut dan atmosfer sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada fase El Nino, melemahnya
angin pasat atau trade wind (angin di daerah Pasifik yang bergerak ke timur) menyebabkan timbulnya gradien
Tinggi Muka Laut (TML), dimana TML di sekitar Peru meninggi dan TML di perairan Indonesia menurun.
Pelemahan angin pasat ini juga ditandai dengan perpindahan “kolam air hangat” (warm pool) keluar dari
Perairan Indonesia menuju ke Pasifik bagian tengah. Di samping itu, berkurangnya fresh water flux (presipitasi
dikurangi evaporasi, PE forcing) membuat TML lebih terdepresi ke titik terendah. Pada periode ini, TML di
perairan Indonesia, terdepresi sekitar 20 cm di bawah rata-rata tahunan (lihat Gambar II.21).
42
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
a. Januari
b. Agustus
Gambar 2.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. TML
berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil estimasi model
HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009)
Pada fase La Nina, terjadi proses yang terjadi terbalik dengan periode El Nino. Angin pasat atau trade wind
menguat menyebabkan warm pool lebih ke barat, meningkatkan intensitas curah hujan, yang menyebabkan
pertambahan PE forcing. Faktor-faktor ini menyebabkan TML di Indonesia bisa naik lebih dari 20cm (lihat
Gambar II.22). Hal ini menyebabkan berbagai kerawanan, terutama terhadap abrasi, erosi dan perubahan garis
pantai, yang tidak hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tapi juga disebabkan oleh naiknya TML.
43
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 – 2008). TML anomali turun
sampai 20 cm pada periode El Niño kuat, dan naik 20cm pada periode La Niña kuat (Sofian, 2009).
Fenomena global ini berbanding terbalik dengan fenomena lokal yang ditunjukkan pada Gambar II.20
(kasus di Laut Jawa). Pada periode El Nino, trade wind (angin baratan) di Pasifik melemah dan angin
timuran lebih intensif, sementara untuk kondisi di Laut Jawa, angin timuran lebih intensif ditandai dengan
semakin tingginya transport massa air laut di Laut Jawa dari Laut Banda dan Selat Makassar pada bulan
Agustus 1997.
Pengaruh kondisi global yang lebih signifikan membuat TML tetap terdepresi meskipun fenomena lokal
melalui kuatnya angin timuran berusaha meninggikan TML (meninggikan transport massa air masuk ke
Laut Jawa pada bulan Agustus 1998). Pada periode La Nina terjadi fenomena berlawanan, yaitu angin
lokal baratan cenderung menguat dan melemahkan air laut yang masuk ke Laut Jawa melalui Laut Banda,
Flores dan Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada bulan Agustus 1999.
Dari uraian di atas pola angin dan temperatur air laut serta pola arus dan tinggi muka air laut rata-rata
dapat dianggap merepresentasikan (proxy) bahaya yang diakibatkan oleh kejadian fenomena ENSO.
Sirkulasi arus lautan serta gerakan air laut secara vertikal (baik upwelling dan downwelling) dapat dipengaruhi
oleh perubahan global dan lokal dari temperatur, salinitas, curah hujan, dan medan angin yang berhembus
di atas permukaan laut serta pasang surut. Gerakan massa air laut secara horizontal dan vertikal tersebut
erat kaitannya dengan ekologis yang terkandung di dalam laut. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai
skala ruang dan waktu dari sirkulasi arus laut ini sangat penting untuk memahami implikasi perubahan
iklim global pada dinamika laut dan sumber daya hayati kelautan, khususnya perikanan tangkap. Di
beberapa daerah laut dan pantai terdapat potensi produktivitas dan perikanan tangkap yang tinggi yang
disebabkan oleh adanya gerakan ke atas dari massa air laut (upwelling) yang mengangkat nutrien dari dasar
laut. Perubahan sistem arus yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global atau akibat variabilitas laut
44
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
berpotensi menaikkan atau menurunkan produktivitas tersebut.
Penguatan angin lokal timuran juga menyebabkan semakin intensifnya upwelling (gerakan air laut naik ke
permukaan) yang terjadi di pantai selatan Pulau Jawa yang ditandai dengan semakin banyaknya klorofil-
a di permukaan air laut seperti yang terlihat pada Gambar II.23. Pada saat itu upwelling lebih intensif
terjadi sehingga konsentrasi klorofil-a di pantai selatan Pulau Jawa, sebagian Sumatra, Bali dan Lombok
meningkat sehingga mencapai 4mg/m3. Pada akhirnya, ketika fase El Nino berlangsung, terjadi kenaikan
potensi perikanan tangkap seiring dengan naiknya konsentrasi klorofil-a yang menjadi ukuran produktivitas
primer tersebut.
a. Januari b. Agustus
c. Agustus 1997
Gambar 2.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada bulan Agustus
1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009).
Kenaikan muka air laut merupakan bahaya yang banyak dikaji dalam isu perubahan iklim. Bahaya ini
merupakan akibat dari dua variabel utama, yaitu ekspansi atau kontraksi termal di laut dan efek sterik
dari pencairan sejumlah massa air yang terkandung atau terperangkap dalam gunung es dan lapisan salju
di sekitar kutub. Secara global proyeksi kenaikan muka air laut dapat dilihat pada Gambar II.24 (Sofian,
2009). Namun jika perubahan massa es dipertimbangkan maka proyeksi kenaikan muka laut dapat dilihat
pada Gambar II.25 (Sofian, 2009)
45
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) dengan
asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Sofian, 2009)
Gambar 2.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000
(Sofian, 2009).
Hasil pengolahan data pasang surut dibeberapa stasion pasut di Perairan Indonesia dan sekitarnya
memperlihatkan tren kenaikan muka laut seperti yang terlihat pada Gambar II.26. Bila data-data tersebut
diekstrapolasi sampai pada tahun 2100 maka terlihat bahwa kenaikan TML berkisar antara 40–70 cm
kecuali di Manila dimana kenaikan TML mencapai 120 cm (Gambar II.27). Hasil ekstrapolasi ini mendekati
hasil proyeksi model.
46
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia dan
sekitarnya (Sofian, 2009).
Gambar 2.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut yang
diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Sofian, 2009).
Distribusi spasial laju kenaikan muka air laut baik dari satelit altimetri maupun dari model dapat dilihat
masing-masing pada Gambar II.28 dan Gambar II.29 (Sofian, 2009). Hasil estimasi kenaikan muka air
laut berdasarkan altimeter, data pasut dan model, menunjukkan tren yang sama dengan tingkat kenaikan
rata-rata sekitar 0,6 cm/tahun sampai 0,8 cm/tahun.
47
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai Desember 2008
dengan mengggunakan spatial trend analysis (Sofian, 2009)
Gambar 2.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan skenario IPCC
SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm (Sofian, 2009)
Gambar 2.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model dengan
penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Sofian,2009)
48
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kenaikan muka air laut tersebut perlu dibedakan dengan fluktuasi (naik turunnya) muka air laut lainnya
pada skala waktu yang bervariasi, seperti gelombang laut (ombak dan alun) yang terjadi akibat angin
permukaan laut, pasang surut (pasut) yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari, gelombang
badai dan gelombang pasang yang muncul akibat terjadinya siklon atau badai di laut, akibat variabilitas
iklim El-Nino dan La-Nina. Namun demikian perlu dicermati adanya terminologi “kenaikan relatif muka
air laut” merujuk pada perubahan muka air laut terhadap permukaan tanah yang bersifat lokal pada lokasi
tertentu. Permukaan tanah pun dapat mengalami gerakan karena pembalikan isostatik, penurunan muka
tanah, kompaksi dan settling karena penumpukan sedimen aluvial di delta estuari, penurunan muka tanah
dari ekstraksi air dan minyak bumi, serta faktor tektonik seperti gempa bumi Gambar II.31 dan Gambar
II.32 memperlihatkan perubahan muka tanah (subsidense dan uplift) akibat aktivitas gempa.
Gambar 2.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias Gambar 2.32 Contoh uplift akibat Gempa
2005 (Sumber: Danny N.H) Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh)
Proyeksi-proyeksi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim hingga tahun 2030 beserta bahaya lain yang
dapat dipicunya dapat disarikan dalam Tabel II.3 berikut.
• Angin kencang
Peningkatan Siklon tropis umumnya terjadi pada musim
• Hujan lebat banjir sungai
frekuensi dan angin barat dan peralihan ke musim angin
• Gelombang badai
2 intensitas timur (Desember – April), dimana paling
• Erosi pantai
kejadian cuaca sering terjadi pada bulan Januari dan
• Banjir rob/genangan pantai
ekstrem Februari (T.W. Hadi, 2008)
• Perubahan endapan sedimen
49
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
No Jenis Bahaya Proyeksi Bahaya Bahaya Lain yang Dipicunya
• Perubahan pola angin, khususnya
Proyeksi EN dan LN (Sofian, 2009): di pesisir dan laut
• 2010-2012: EN-LN bergantian selama 1
tahunan Perubahan pola curah hujan dan
Perubahan aliran sungai:
• 2017-2021: EN-LN bergantian selama
variabilitas iklim • Banjir sungai dan estuaria
1,3 tahunan
3 alamiah (El- • Kekeringan panjang
• 2023-2027: EN-LN bergantian selama
Nino, La-Nina,
6-9 bulanan, diselingi dengan periode
IPO) • Perubahan pola arus laut
normal.
• 2029-2030: EN terjadi 1 tahunan • Pergeseran daerah upwelling
• • Perubahan sirkulasi termohalin
• Banjir rob/genangan pantai
Bahaya-bahaya alam pada sektor Kelautan dan Perikanan yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dianalisis
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pentingnya menggunakan dua parameter analisis bahaya secara umum yaitu intensitas dampak dan
frekuensi (probabilitas) terjadinya bahaya.
b. Pentingnya menggunakan pertimbangan pada skenario terburuk (worst-case scenarios) dalam analisis
bahaya khususnya pada kejadian dengan probabilitas kecil namun dapat menimbulkan dampak yang
besar.
c. Banyak studi menyatakan bahwa perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dapat berlangsung
secara kontinu dengan laju yang terus bertambah dalam beberapa abad mendatang, sehingga
proyeksi-proyeksi perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan.
d. Model-model yang digunakan untuk estimasi atau proyeksi perubahan iklim masih perlu dijustifikasi
atau diverifikasi sebelum diterapkan dalam skala kajian yang lebih detail.
e. Suatu fenomena yang dapat diamati dapat merupakan gabungan dari beberapa bahaya, misalnya
perubahan tinggi muka air laut tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan muka air laut akibat pencairan
es di kutub saja namun juga oleh gelombang badai, pasang surut (pasut), ENSO (lihat Gambar
II.33).
50
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal ini tsunami
tidak diperhitungkan)
Catatan pada butir terakhir tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengkaji tingkat bahaya yang dipicu
oleh perubahan iklim secara akumulatif (keseluruhan). Parameter yang dianalisis adalah tinggi dan luas
penggenangan air laut ke arah pesisir (banjir rob). Parameter tersebut disimulasikan untuk menunjukkan
tingkat bahaya akibat perubahan iklim dengan membandingkan kondisi pesisir masa mendatang (tahun
2030) terhadap kondisi saat ini (baseline data tahun 2000), jika bahaya kenaikan muka air laut terus-menerus
berlangsung dengan proyeksi kenaikan rata-rata sebesar 12 cm pada tahun2030, dan disertai dengan
kejadian jenis-jenis bahaya lain secara terpisah atau secara serentak (lihat kembali Gambar II.33), yaitu:
• Bahaya kejadian cuaca ekstrem yang diwakili oleh gelombang badai yang menimbulkan peninggian
elevasi muka laut dengan maksimum sekitar 3 meter di garis pantai.
• Bahaya yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim La-Nina yang diwakili oleh terjadinya peninggian
muka air laut rata-rata dengan prediksi sekitar 10-20 cm
• Bahaya periodik dari fenomena pasang surut yang normal terjadi sekitar 19 tahun sekali yaitu
pada saat bulan berada pada posisi perigee (jarak terdekat dengan bumi), dimana saat itu terjadi air
pasang tertinggi (perigee-spring highest tide) dengan tinggi maksimum sekitar 1-3 meter dari muka laut
rata-rata. Sebagai gambaran, distribusi tinggi kisaran pasut (jarak vertikal antara level air pasang
tertinggi dan air surut terendah) di Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.34 berikut.
51
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.34 Peta kisaran pasut di Indonesia
Sebagai catatan, kejadian cuaca ekstrem sebenarnya juga menimbulkan bahaya banjir di pesisir namun
ketinggian muka airnya sulit diprediksi secara kuantitatif.
Kajian ini menganalisis tingkat akumulasi bahaya akibat kombinasi dari berbagai jenis bahaya tersebut di
atas melalui tiga skenario (Gambar II.35), yaitu
• Skenario-1 HHWL+SLR yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut saat air pasang tertinggi perigee
(HHWL) disertai dengan kenaikan muka air global (SLR)
• Skenario-2 HHWL+SLR+ENSO yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut pada saat air pasang
tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan kenaikan muka air global (SLR) dan kejadian variabilitas
iklim La-Nina (ENSO),
• Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut yang disertai dengan
air pasang tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan kenaikan muka air global (SLR) dan kejadian
variabilitas iklim La-Nina (ENSO), serta gelombang badai (SS) secara serentak. Skenario ini adalah
kondisi terburuk walaupun probabilitas kejadiannya kecil.
52
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
(a) Skenario-1 HHWL+SLR
Gambar 2.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut,
variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang
tertinggi perigee
53
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.5.7. Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah
Berikut ini akan dideskripsikan berbagai bahaya yang dapat dipicu oleh perubahan iklim di setiap wilayah
di Indonesia. Hasil-hasil simulasi penggenangan air laut di pesisir (banjir rob) skenario-3 juga akan
melengkapi analisis sebagai resume dari bentuk bahaya di pesisir dalam kondisi ekstrem yang dipicu oleh
perubahan iklim.
Sebagai catatan, secara umum hasil simulasi tersebut sebenarnya masih kurang akurat mengingat data
topografi digital SRTM yang tersedia untuk seluruh Indonesia belum dikoreksi lokal dengan tinggi kanopi
pohon dan bangunan.
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah I Sumatra dapat dilihat pada tabel berikut.
54
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan air laut di
pesisir wilayah Sumatra dapat dilihat pada Gambar II.36. Pada kondisi terburuk ini wilayah pesisir timur
Lampung, Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, dan NAD mengalami penggenangan lebih dari tiga
meter karena landainya pesisir. Di pesisir timur Lampung dan Sumatra Selatan penggenangan oleh air laut
masuk ke arah pedalaman hingga sekitar 100 km dari garis pantai saat ini.
55
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah II Jawa-Bali-Madura dapat dilihat pada
tabel berikut.
56
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan air laut di
pesisir wilayah Jawa-Bali-Madura dapat dilihat pada Gambar II.37. Daerah pesisir utara mulai dari Serang,
DKI Jakarta hingga Jawa Tengah dan sekitar Surabaya serta Cilacap mengalami genangan sekitar 3 meter
lebih. Di daerah-daerah itu genangan air laut bisa mencapai sekitar 25 km dari garis pantai pada saat ini.
57
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
Jawa Barat (2008) dan Safwan Hadi, dkk. (2009) telah mengkaji secara lebih detail di pesisir Jakarta
Utara (Gambar II.39) dan pesisir utara dan selatan Jawa Barat (Gambar II.38). Dua kajian tersebut lebih
menegaskan tingkat bahaya penggenangan air laut yang tinggi di pesisir utara Jawa Barat dan pesisir
Jakarta Utara.
Gambar 2.38.a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)
Gambar 2.38.b Simulasi genangan air laut di pesisir selatan Jawa Barat (Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008)
58
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009)
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III Nusa Tenggara dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III
Kenaikan temperatur air Tren kecil terjadi di sepanjang pantai Nusa Gambar II.9, 0,01 – 0,03oC/
laut Tenggara (0-0,01oC/ thn) Gambar II.10 thn
Gambar II.16,
Perubahan curah hujan Januari: Secara umum curah hujan yang terjadi
Bulan Januari
oleh perubahan variabilitas kurang dari 250 mm.
(b) Bulan Agustus 0 – 600 mm
iklim (proksi: curah hujan Agustus: Kekeringan berlanjut hingga curah
rata-rata tahunan) hujan di bawah 50 mm
Gambar II.18
59
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Arus secara dominan dipengaruhi oleh Arus
Lintas Indonesia (Arlindo) yang melewati
Selat Lombok menuju ke selatan namun
dengan magnitudo yang berubah-ubah. Level
Arus: 0 – 1
muka air laut juga tidak banyak berubah dari
Perubahan sirkulasi arus m/dt.
sekitar 10-20 cm di bawah MSL.
laut oleh perubahan Level muka air
Januari: Arlindo yang melewati Selat Lombok Gambar II.20
variabilitas iklim (proksi: laut: -40 – 50 cm
cukup lemah, justru terjadi arus menuju ke Gambar II.21,
pola arus dan fluktuasi terhadap muka
timur di sepanjang kedua sisi utara dan selatan
muka air laut rata-rata air laut rata-rata
Nusa Tenggara.
tahunan) (MSL= mean sea
Agustus: Arlindo cukup kuat (sekitar 1 m/
level)
detik) terjadi di Selat Lombok dan Selat Alas,
sedangkan level muka air laut di pantai selatan
makin turun hingga sekitar 30 cm di bawah
MSL.
Pantai Nusa Tenggara sebelah barat
Gambar II.28,
mengalami tren kenaikan muka air laut sekitar 0,72 – 0,77 cm/
Kenaikan muka laut Gambar II.29,
0,74 cm/tahun, sedangkan di sebelah timur tahun
Gambar II.30
sekitar 0,75 – 0,76 cm/tahun.
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan pesisir di wilayah
Kepulauan Nusa Tenggara dapat dilihat pada Gambar II.40 berikut ini. Pada wilayah ini tidak terlihat
terjadinya genangan air laut di pesisir kecuali sedikit di pantai selatan Pulau Timor. Ada kemungkinan hal
ini disebabkan oleh adanya ketertutupan lahan oleh kanopi pohon hutan.
Kementrian Lingkungan Hidup yang bekerjasama dengan GTZ Jerman telah menginisiasi kajian bahaya
penggenangan pesisir di Pulau Lombok secara detail (Gambar II.41). Di pulau tersebut, terdapat daerah
yang sangat berisiko di sekitar ibukota provinsi NTB yaitu Ampenan.
60
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009)
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV Kalimantan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
61
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbul-kan penggenangan pesisir di
wilayah Kalimantan dapat dilihat pada Gambar II.42 berikut ini. Secara umum faktor kekurang-akuratan
data digital topografi oleh ketertutupan kanopi hutan telah menyebabkan sedikitnya daerah penggenangan
air laut di pesisir Kalimantan. Beberapa daerah tampak mengalami genangan air laut di pesisir seperti
daerah sekitar Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda.
62
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.5.7.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah Sulawesi dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
63
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Gambar 2.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan pesisir di
wilayah Sulawesi dapat dilihat pada Gambar II.43 berikut ini. Beberapa daerah mengalami penggenangan
pesisir cukup ekstrem seperti daerah pesisir Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
64
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.5.7.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VI Kepulauan Maluku dapat dilihat pada
tabel berikut.
65
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 2.44 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku
Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbul-kan penggenangan pesisir di
wilayah Kepulauan Maluku dapat dilihat pada Gambar II.44 berikut ini. Simulasi ini kurang memberikan
hasil yang baik mengingat faktor kurangnya akurasi data digital topografi.
Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII Pulau Papua bagian barat dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII
66
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai
Gambar 2.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat
Hasil simulasi skenario terburuk penggenangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat dapat dilihat
pada Gambar II.45. Ketertutupan kanopi hutan masih menyebabkan hasil simulasi tidak menunjukkan
daerah-daerah genangan pesisir walau sebenarnya daerah pesisir selatan Papua merupakan pantai yang
landai.
67
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
2.6. Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim
Secara umum sektor Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu sektor yang banyak mengandalkan
potensi sumberdaya alam, sehingga masalah atau isu-isu yang timbul selalu dapat dikaitkan dengan tiga
elemen isu sektor yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya baik hayati maupun nonhayati, (2) lingkungan
dari sumberdaya baik secara fisik/geografis maupun ekologis, dan (3) manusia atau masyarakat yang
memanfaatkannya baik untuk kepentingan pemukiman (sosial kemasyarakatan) maupun ekonomi.
Implikasinya adalah bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi tingkat ketersediaan sumberdaya secara
langsung dan/atau melalui faktor lingkungannya. Misalnya, ketersediaan ikan di suatu perairan dipengaruhi
secara langsung maupun tidak langsung oleh perubahan suhu dan arus laut, namun ketersediaan energi
angin di pesisir banyak dipengaruhi secara langsung oleh perubahan pola angin itu sendiri dan secara
tidak langsung oleh variabilitas iklim.
Isu-isu strategis yang berada di dalam lingkup sektor Kelautan dan Perikanan tidak lain merupakan sintesis
dari ketiga elemen isu sektor di atas yang kemudian dikelompokkan ke dalam lima aspek sebagai berikut
(diolah dari: KKP, 2005):
1. Isu-isu lingkungan fisik/geografis, yaitu yang timbul dari kondisi dan letak pesisir, perairan, dan
pulau-pulau kecil. Isu-isu strategisnya antara lain:
• Kurangnya riset dan sosialisasi mengenai mitigasi kebencanaan di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Fokus dari sistem ini adalah pada ancaman bahaya variabilitas iklim serta kejadian
cuaca ekstrem yang berasal dari Samudra Hindia dan Pasifik yang mengapit Indonesia.
2. Isu-isu sosial, ekonomi, dan kependudukan di dalam sistem masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil, antara lain:
• Problem kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
yang umumnya adalah nelayan dan pembudidaya ikan. Kebijakan dan kegiatan adaptasi yang
akan disusun perlu diarahkan agar dapat menjamin keberlanjutan Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang sedang berjalan
• Problem kepadatan penduduk di pesisir tertentu yang berpotensi rawan konflik sosial jika
tekanan sosial ekonomi yang dialaminya semakin ditambah dengan tekanan akibat dampak
perubahan iklim di pesisir.
68
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
3. Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan infrastruktur dan fasilitas vital yang terdapat di pesisir dan
pulau-pulau kecil, antara lain:
• Mulai banyak kasus terendamnya bangunan infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir dan pulau-
pulau kecil terutama pada saat air laut pasang
• Semakin banyak kasus abrasi pantai yang menggerus infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir
akibat intensifikasi gelombang badai (kejadian cuaca ekstrem)
• Pembangunan infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir yang telah berjalan kebanyakan
belum memperhatikan proyeksi-proyeksi perubahan iklim. Perhitungan level dasar bangunan
terhadap bidang muka air laut rata-rata baru didasarkan pada pasang surut dan gelombang laut
rata-rata, tetapi belum memperhatikan bahaya kenaikan muka air laut. Perhitungan kekuatan
struktur bangunan baru memperhatikan akibat dari angin dan gelombang laut rata-rata, tetapi
belum mengantisipasi semakin sering terjadinya badai dan gelombang badai
• Faktor sempadan pantai dalam upaya penataan ruang pesisir secara fisik baru didasarkan pada
kisaran pasang surut laut dan iklim gelombang normal, tetapi belum memperhatikan proyeksi
kenaikan muka air laut dan variabilitas muka laut akibat kejadian ENSO, IPO, dan gelombang
badai
4. Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya yang didominasi oleh
faktor penguasaan IPTEK yang kurang optimal. Hal ini tercermin dari beberapa isu antara lain:
• Sebagian besar nelayan masih bersifat tradisional sehingga belum banyak memanfaatkan
informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground), armada kapalnya berskala kecil
sehingga tidak bisa menjangkau perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan belum
terjalinnya rantai dingin dari lokasi penangkapan ikan hingga lokasi penjualannya
• Masih kurang detailnya informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground) dan pola
pergerakan (migrasi) ikan berpotensi ekonomi tinggi
• Masih kurang dimanfaatkannya informasi pola angin permukaan di laut untuk operasionalisasi
kapal nelayan
• Ketimpangan pemanfaatan stok ikan antar wilayah maupun antar spesies sehingga kadang
timbul penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing)
• Belum optimalnya pengembangan perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar
69
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
laut seperti energi gelombang, arus, pasang surut, dan perbedaan suhu laut (OTEC = Ocean
Thermal Energy Conversion)
Dari berbagai isu di atas maka penguasaan dan penerapan IPTEK menjadi kunci penting upaya
adaptasi terhadap perubahan iklim pada pemanfaatan sumberdaya sektor kelautan dan perikanan.
• Masih banyaknya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil sehingga banyak lahan konservasi diubah menjadi lahan pemukiman dan kegiatan
produktif (industri, tambak, pertanian, pariwisata). Misalnya, degradasi hutan mangrove dari
5,21 juta ha pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha pada tahun 1993 (KKP, 2005). Di samping
itu kondisi terumbu karang telah mencapai tingkat kerusakan rata-rata sekitar 40% pada tahun
2005 (KKP, 2005). Faktor-faktor penyebabnya antara lain: (1) kegiatan manusia, misalnya
penangkapan dengan alat yang merusak (illegal fishing) dan eksploitasi berlebih (overfishing),
pencemaran dan sedimentasi, perencanaan yang kurang tepat, dampak pembangunan di darat,
serta (2) faktor alam seperti pengaruh El-Nino, La-Nina, badai, gempa bumi, dan banjir.
Munculnya berbagai isu tersebut antara lain diakibatkan oleh dua faktor utama: (1) Faktor strategi
pembangunan yaitu masih lekatnya paradigma pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi ke darat
(terresterial), dimana prioritas alokasi sumberdaya pembangunan lebih diarahkan pada sektor-sektor daratan,
sehingga potensi sektor kelautan dan perikanan belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk pemberdayaan
masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan di pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) Faktor kurangnya kesadaran
terhadap potensi dampak perubahan iklim yaitu kurang banyak diperhatikannya aspek-aspek dan proyeksi-
proyeksi dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan sektor. Implikasinya adalah perlunya
menguatkan implementasi lima pilar strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yaitu strategi:
• pro-business (memberdayakan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah di bidang kelautan dan
perikanan), dan
• pro-sustainable (pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim)
70
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Sebagai resume, tema-tema yang dicakup dalam isu-isu strategis sektor meliputi:
2. Kajian mengenai kerentanan, potensi dampak, dan risiko perubahan iklim pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
3. Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, terutama perikanan
tangkap dan perikanan budidaya yang berkaitan dengan penghidupan masyarakat di wilayah
tersebut
4. Pengelolaan ekosistem di wilayah pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau
kecil strategis yang terletak di paling luar
Selanjutnya isu-isu strategis ini akan diimplementasikan dalam bentuk kegiatan adaptasi terhadap
perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana akan diuraikan pada Bab V.
71
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
72
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
3
KeRenTAnAn seKTOR
KeLAuTAn DAn
PeRiKAnAn TeRHADAP
PeRuBAHAn iKLim
73
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Bahaya alam yang dipicu oleh perubahan iklim sebagaimana yang dideskripsikan di atas adalah bersifat
global dimana potensi bahayanya dapat meluas di seluruh wilayah Indonesia. Faktor yang menentukan
lokalitas dari potensi dampak perubahan iklim adalah kerentanan (vulnerability). Suatu bahaya yang
mempunyai besaran (magnitudo) yang tidak terlalu besar akan mempunyai potensi dampak besar jika
mengena pada daerah yang sangat rentan, atau sebaliknya suatu bahaya yang besar hanya menimbulkan
potensi dampak kecil jika terjadi pada daerah yang praktis tidak rentan. Oleh karena itu identifikasi
kerentanan sangat diperlukan dalam kajian risiko atau potensi dampak.
Kerentanan didefinisikan sebagai kekurangberdayaan suatu individu, sistem sosial, atau sistem alamiah
dalam mengantisipasi, menanggulangi, mempertahankan dan menyelamatkan diri/sistem terhadap suatu
bahaya yang berkelanjutan yang dipicu oleh perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis
sejalan dengan kondisi manusia dan lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu kerentanan bergantung dari
tiga faktor yaitu: tingkat keterpaparan terhadap bahaya, tingkat sensitivitas, dan kapasitas adaptif (untuk
menyerap atau mengimbangi kerusakan atau manfaat dari perubahan iklim). Secara konseptual kerentanan
diformulasikan sebagai berikut (UN-ISDR, 2004; USAID, 2007):
Keterpaparan x Sensitivitas
Kerentanan =
Kapasitas Adaptasi
dimana:
• Keterpaparan atau eksposur (exposure) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada
penerimaan manusia dan lingkungannya terhadap terpaan suatu bahaya alam menurut lokasi.
Keterpaparan ini menggambarkan jenis dan jumlah aset di pesisir yang mengalami risiko; meliputi
elemen-elemen fisik, sosial/budaya, ekonomis, dan ekologis.
• Sensitivitas (sensitivity) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada tingkat kerugian
individu atau kelompok atau kegetasan suatu infrastruktur atau lingkungan terhadap terpaan
suatu potensi bencana alam. Sensitivitas ini menggambarkan tingkat dampak terhadap pesisir dan
masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya.
• Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada
kemampuan manusia atau lingkungannya untuk bereaksi dan beradaptasi dalam mereduksi suatu
bahaya sehingga tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Kapasitas adaptasi ini menggambarkan
kemampuan untuk mengatasi perubahan yang sedang dan diprediksi akan terjadi. Elemen-elemen
kapasitas adaptasi tersebut dapat berupa hukum dan kebijakan, kelembagaan, sumberdaya manusia,
serta pengawasan dan pengendalian.
74
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
3.1. Elemen dan Parameter Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan
Sesuai dengan isu-isu strategis sektor di atas (lihat sub-bab II.4), maka diidentifikasi terdapat empat
elemen kerentanan yaitu: (1) lingkungan fisik/ geografis, (2) sosial/kependudukan, (3) ekonomis (berupa
infrastruktur, fasilitas vital, tata guna lahan serta berupa potensi sumberdaya), (4) ekologis. Tabel III.1
berikut ini menyajikan paparan dari beberapa kerentanan yang mewakili setiap elemen kerentanan
tersebut.
Namun demikian, kajian kerentanan secara kuantitatif menemui kendala yaitu kurang tersedianya data
yang representatif untuk digunakan dalam alat bantu SIG (Sistem Informasi Geografis). Beberapa jenis
data parameter kerentanan yang representatif untuk format SIG dapat dianggap menjadi wakil (proxy) dari
elemen kerentanan yang bersangkutan (pada Tabel III.1 diberi tanda *)). Jenis-jenis parameter lain yang
tersedia datanya namun kurang representatif (**) dapat dianalisis secara kualitatif. Deskripsi parameter
kerentanan bisa dilihat pada tabel di Lampiran III dan IV.
Tabel 3.1 Deskripsi elemen dan parameter kerentanan sektor kelautan dan perikanan terhadap
perubahan iklim
Elemen
No Parameter Kerentanan Keterangan
Kerentanan
Elevasi topografi permukaan tanah Gambar III.1 *)
Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *)
Kisaran pasang surut di pantai Gambar II.34**)
Ekonomis: Jumlah dan ragam infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Gambar III.6 *)
3.a Infrastruktur & Sebaran penggunaan lahan Gambar III.7 *)
fasilitas vital Jumlah kota di pesisir
Sebaran lokasi penangkapan ikan (fishing ground) Gambar III.8 **)
Ekonomis: potensi
3.b Sebaran usaha budidaya ikan di laut, air payau, air tawar
sumberdaya
Sebaran potensi sumberdaya non-perikanan
Keanekaragaman hayati terumbu karang Gambar III.9 **)
Distribusi hutan mangrove dan ancaman konversi lahan Gambar III.10 **)
4 Ekologis
Distribusi padang lamun Gambar III.11 **)
Keanekaragaman ikan
75
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.1 Peta elevasi (ketinggian, topografi) permukaan tanah
76
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.3 Peta sebaran jumlah penduduk
Gambar 3.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya pada tahun
2025 (b) (diolah dari data BPS)
77
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.5 Peta sebaran kepadatan penduduk
Gambar 3.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut
78
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan
Gambar 3.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan tangkap di
Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009)
79
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005)
Gambar 3.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005)
80
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005)
3.2. Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan di Setiap Wilayah
Kajian kerentanan terhadap perubahan iklim secara kuantitatif dapat diwakili oleh kajian kerentanan
terhadap dampak bahaya penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut global dan
peningkatan muka air laut yang dipicu oleh gelombang badai dan variabilitas iklim La-Nina (peta sebaran
kerentanan dapat dilihat pada Gambar III.12) dengan elemen dan parameter kerentanan sebagai-mana
pada Tabel III.2 berikut.
Tabel 3.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan terhadap bahaya
penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1)
Lingkungan fisik/
1 Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *)
geografis
81
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Gambar 3.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut
Tingkat kerentanan wilayah secara umum adalah: (1) sangat tinggi hingga tinggi untuk sebagian wilayah
pesisir utara Jawa, sebagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Bali, terutama di sekitar kota-kota besar; (2)
sedang (menengah) untuk sebagian besar pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Jawa Tengah,
sebagian kecil pesisir Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, serta pesisir selatan Kalimantan dan Papua;
dan (3) rendah hingga tidak rentan untuk di sebagian besar pesisir barat Sumatra dan selatan Jawa, sebagian
besar wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua bagian utara.
Di samping itu gambaran kerentanan juga akan dikaji secara kualitatif untuk jenis-jenis dampak seperti
bahaya kenaikan temperatur air laut, erosi pantai yang diakibatkan oleh gelombang badai, dan perubahan
sirkulasi arus laut yang dipicu oleh perubahan pola variabilitas iklim. Kajian kerentanan yang umumnya
meliputi wilayah perairan laut tersebut terpaksa harus dilakukan secara kualitatif karena kurang atau
bahkan tidak tersedianya data-data kuantitatif yang representatif, misalnya jumlah dan sebaran nelayan
yang menangkap ikan di seluruh WPP serta jumlah hasil tangkapannya, jumlah dan sebaran perikanan
budidaya di suatu perairan, dan sebagainya. Kajian kerentanan iklim di wilayah perairan laut ini perlu
diwujudkan menjadi satu usulan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kerentanan dengan tingkat sedang (menengah) terhadap bahaya kenaikan muka air laut mendominasi
hampir semua pesisir Pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Gambar III.12). Kerentanan
tingkat sedang tersebut semakin meluas ke arah daratan di pantai timur yang membentang dari Lampung
hingga Sumatra Utara. Faktor utama dari tingkat kerentanan di pantai timur Sumatra adalah kecilnya
82
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
kemiringan (kelerengan) pantai yaitu antara 0–0,05 derajat (Gambar III.2), sedangkan faktor penambahnya
adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi (Gambar III.3 dan Gambar III.5), serta
banyaknya infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6), khususnya di sekitar kota Bandar Lampung
dan kota Medan.
Resume kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel
3.3 berikut ini.
Tabel 3.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Perubahan pola angin dan Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai barat Sumatra
arus laut sumberdaya dan Kepulauan Mentawai dan Nias (Gambar III.8)
Penggenangan air laut di Faktor utama: kecilnya kelerengan pantai di pantai timur
pesisir akibat kenaikan Sumatra (antara 0 – 0,05).
muka air laut, gelombang (Lihat Tabel III.2) Faktor lain adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk
badai, dan kejadian yang cukup tinggi, banyaknya infrastruktur penting di pesisir,
ENSO khususnya di sekitar kota Bandar Lampung dan kota Medan
Kerentanan dengan tingkat sedang dan tinggi terhadap bahaya kenaikan muka air laut mendominasi
hampir semua pesisir utara Pulau Jawa (dari Anyer hingga sekitar Surabaya, pesisir barat Banten, pesisir
selatan Jawa Tengah dan Malang (Jawa Timur), serta pesisir selatan Pulau Bali (Gambar III.12). Tingkat
kerentanan tersebut menjadi sangat tinggi di beberapa lokasi seperti di sekitar DKI Jakarta, Tangerang,
Cirebon, pesisir utara dan selatan Jawa Tengah, sekitar Surabaya, dan sekitar Denpasar Bali. Beberapa
faktor utama saling berkontribusi terhadap tingginya tingkat kerentanan di wilayah II ini adalah kecilnya
kemiringan (kelerengan) pantai (antara 0–0,05 derajat) (Gambar III.2), jumlah populasi dan kepadatan
83
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
penduduk yang cukup tinggi (Gambar III.3 dan Gambar III.5), dan banyaknya infrastruktur penting di
pesisir (Gambar III.6), khususnya di sekitar kota-kota besar di pesisir Jawa dan Bali.
Ringkasan kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada
Tabel III.4 di bawah.
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Perubahan pola curah Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun di pesisir
Ekologis
hujan barat dan selatan Banten dan Jawa Barat (Gambar III.11)
Perubahan pola angin dan Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali
arus laut sumberdaya (Gambar III.8)
Penggenangan air laut di Faktor utama: kecilnya kelerengan pantai di pantai utara Jawa
pesisir akibat kenaikan dan Bali (antara 0 – 0,05).
muka air laut, gelombang (Lihat Tabel III.2) Faktor lain adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk
badai, dan kejadian yang cukup tinggi, banyaknya infrastruktur penting di pesisir,
ENSO khususnya di sekitar kota-kota besar di pesisir
Hampir seluruh wilayah III Nusa Tenggara ini memiliki tingkat kerentanan yang rendah hingga tidak
rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12). Rendahnya tingkat kerentanan tersebut
banyak dikontribusi oleh beberapa faktor seperti kecilnya populasi dan kepadatan penduduk (Gambar
III.3 dan Gambar III.5), serta infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6). Kerentanan tersebut menjadi
tingkat sedang hanya di beberapa daerah seperti di pesisir utara Pulau Sumbawa mengingat rendahnya
kelerengan pantai.
Kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel III.5
berikut ini.
84
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Tabel 3.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Kenaikan temperatur laut Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang (Gambar III.9)
Perubahan pola curah Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun di pesisir
Ekologis
hujan Lombok, Sumba, dan Timor (Gambar III.11)
Perubahan pola angin dan Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai selatan Nusa
arus laut sumberdaya Tenggara (Gambar III.8)
Secara umum hampir seluruh pesisir wilayah Kalimantan memiliki kerentanan dengan tingkat rendah
terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar 3.12), karena meskipun pantainya landai (Gambar 3.2)
namun populasi penduduk sangat kecil (Gambar 3.3). Di beberapa pesisir seperti antara Sambas dan
Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda terdapat tingkat kerentanan sedang dimana ada faktor tambahan
berupa mulai cukupnya jumlah populasi penduduk (Gambar 3.3) dan lahan-lahan produktif (Gambar
3.7). Secara ringkas kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
85
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Perubahan pola curah Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun hampir di
Ekologis
hujan sepanjang pesisir (Gambar III.11)
Perubahan pola angin Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di Selat Makasar bagian selatan
dan arus laut sumberdaya (Kalimantan Selatan) (Gambar III.8)
Secara umum hampir seluruh pesisir wilayah Sulawesi memiliki kerentanan dengan tingkat rendah hingga
tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12) karena memiliki kelerengan pantai
yang cukup tinggi (sekitar 1,5 – 3; Gambar III.2). Di beberapa pesisir seperti pantai barat Sulawesi Barat,
sekitar Makassar, Pare-Pare, Wajo, Bone, Palopo-Bonebone (Luwu) dan Kendari terdapat kerentanan dengan
tingkat sedang karena pantainya cukup landai dan populasi penduduk yang cukup (Gambar III.3).
Resume kerentanan terhadap perubahan iklim bisa dilihat pada Tabel III.7 berikut.
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Perubahan pola curah Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun hampir di
Ekologis
hujan sepanjang pesisir (Gambar III.11)
Perubahan pola angin dan Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di Selat Makasar bagian selatan
arus laut sumberdaya (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) (Gambar III.8)
86
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Secara umum hampir seluruh pesisir Kepulauan Maluku tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka
air laut (Gambar III.12) karena jumlah penduduk yang relatif rendah (Gambar III.3) dan tidak banyak
infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6). Perkecualian terjadi di sekitar Ambon yang memiliki
kerentanan rendah hingga sedang. Ringkasan kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada
Tabel III.8.
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Kenaikan temperatur laut Ekologis Banyak tersebarnya terumbu karang (Gambar III.9)
Perubahan pola angin dan Ekonomis: potensi Terdapatnya fishing ground di Laut Banda dan Arafura (Gambar
arus laut sumberdaya III.8)
87
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
3.2.7. Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan sekitarnya
Secara umum hampir seluruh pesisir utara Papua dan seluruh pesisir Papua Barat tidak rentan terhadap
bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12) karena kelerengan pantai yang agak tinggi (sekitar 1,5–
3 derajat; Gambar III.2). Sedangkan pesisir selatan Papua memiliki kerentanan sedang hingga rendah
mengingat kelerengan pantai yang sangat rendah. Faktor lain adalah jumlah penduduk yang sangat rendah
(Gambar III.3) dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6) pada hampir seluruh
pesisir. Secara kualitatif, kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya perubahan iklim lainnya dapat dilihat
pada Tabel III.9 berikut.
Tabel 3.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag. barat)
Elemen
Jenis Bahaya Kerentanan yang Deskripsi Kerentanan
Dominan
Perubahan pola curah Banyak terdapat estuari dan padang lamun di pesisir selatan,
Ekologis
hujan barat, dan utara (Gambar III.11)
Penggenangan air laut di Pesisir utara Papua dan pesisir Papua Barat tidak rentan
pesisir akibat kenaikan karena kelerengan pantai yang agak tinggi (sekitar 1,5 – 3).
muka air laut, gelombang (Lihat Tabel III.2) Pesisir selatan Papua memiliki kerentanan sedang hingga
badai, dan kejadian rendah karena jumlah penduduknya sedikit dan tidak banyak
ENSO infrastruktur penting di pesisir walaupun pantainya landai.
88
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
4
POTensi DAmPAK DAn
RisiKO PeRuBAHAn
iKLim TeRHADAP
seKTOR KeLAuTAn DAn
PeRiKAnAn
89
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Potensi dampak perubahan iklim selalu berkaitan dengan tingkat bahaya (yang telah dibahas di Bab II)
dan tingkat kerentanan (dibahas di Bab III). Kajian-kajian risiko dapat dianggap sebagai kuantifikasi dari
potensi dampak perubahan iklim. Pembahasan potensi dampak dan kajian risiko pada bab ini sangat
penting sebagai masukan untuk menyusun alternatif-alternatif strategi adaptasi secara umum.
Potensi dampak perubahan iklim adalah akibat yang dapat terjadi jika tidak dilakukan upaya-upaya kapasitas
adaptasi atau tanpa adanya adaptasi yang terencana (planned adaptation). Keterkaitan antara potensi dampak
dengan kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Gambar IV.1 berikut:
Gambar 4.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009)
Pada diagram di atas potensi dampak dapat dipandang sebagai suatu elemen dari kerentanan dalam
konteks perubahan iklim. Berbagai potensi dampak perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan
dipaparkan pada Tabel 4.1 Berikut berikut (lihat juga Lampiran IV).
90
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Tabel 4.1 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
√ √ √ Banjir rob/ genangan di pesisir Terganggunya aktivitas sosial di pemukiman • Wil.I: pantai timur Sumatra
• Wil.II: pantai utara Jawa, selatan Bali
• Wil.III: Nusa Tenggara,
• Wil.IV: Kalimantan
Terganggunya aktivitas operasional dari
• Wil.V: Sulawesi,
infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir
• Wil.VI: Maluku,
√ √ √ Peningkatan erosi pantai Kerusakan pemukiman di pesisir Pesisir yang berpasir atau berlumpur dan terpapar dengan
laut:
• Samudra Hindia (Wil.I, II, III, VI, VII)
Kerusakan infrastruktur & fasilitas vital di • Samudra Pasifik (Wil.IV, V, VI, VII)
pesisir • Laut Cina Selatan (Wil.I, IV,V)
• Perairan internal Indonesia
• Daerah mangrove
Kerusakan pemukiman, infrastruktur dan • Daerah estuaria, padang lamun
√ √ √ Banjir sungai dan estuari
fasilitas vital di pesisir • Terumbu karang
• Pulau-pulau kecil
91
92
Bahaya yang Memicu
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
Penurunan keter-sediaan air tawar di pesisir • Daerah mangrove
Penurunan debit dan kualitas air untuk pemukiman, fasilitas vital, dan tambak • Daerah estuaria, padang lamun
√
sungai dan estuari; kekeringan Penurunan produk-tivitas tambak air payau • Terumbu karang
dan air tawar • Pulau-pulau kecil
• Daerah mangrove
Bertambahnya intrusi garam pada Penurunan sediaan air tawar di pesisir untuk • Daerah estuaria, padang lamun
√ √ √
massa air sungai dan air tanah pemukiman, fasilitas vital, dan tambak • Terumbu karang
• Pulau-pulau kecil
Pemutihan karang (coral bleaching); Degradasi lingkungan sumberdaya laut dan • Daerah terumbu karang
√ √
Alga blooming pesisir • Pulau-pulau kecil
• Daerah mangrove
Perubahan rejim hidraulik pada Degradasi lahan basah yang berfungsi
√ √ √ • Daerah estuaria, padang lamun
lahan basah sebagai proteksi pesisir
• Pulau-pulau kecil
Diposaptono, dkk (2009) memaparkan potensi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor di wilayah
pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Gambar IV.2).
Skema tersebut menjadi dasar penyusunan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang
akan dipaparkan pada Bab V.
93
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
4.2. Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah
Suatu potensi dampak dapat ditentukan secara kuantitatif dengan menggunakan analisis risiko terhadap
suatu bencana atau bahaya. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanganan Bencana
disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan, atau kehilangan harta dan gangguan terhadap
kegiatan masyarakat.
Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian baik itu
berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan. Risiko juga dapat diartikan sebagai kemungkinan yang
dapat merusak tatanan sosial, masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman
dan kerentanan. Oleh sebab itu hubungan antara variabel bahaya atauancaman bencana, kerentanan serta
risiko adalah (UN-ISDR, 2004): R=H x V dimana: H adalah bahaya (hazard), V kerentanan (vulnerability),
R risiko (risk).
Jika rumusan tentang risiko tersebut dikaitkan dengan rumusan tentang kerentanan pada Bab III di atas,
maka variabel kapasitas adaptasi berbanding terbalik terhadap nilai tingkat risiko. Konsekuensinya, apabila
suatu komunitas memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kapasitas adaptasinya,
maka nilai tingkat risiko menjadi tinggi. Sebaliknya apabila tingkat kapasitas komunitas lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat kerentannya maka tingkat risiko menjadi rendah.
Risiko atau potensi dampak terhadap bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat ditentukan dari
prediksi atau simulasi kondisi penggenangan pesisir sebagaimana dijelaskan pada butir II.5.7 di atas. Hasil
simulasi tingkat risiko masing-masing dari ketiga skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.3 (a),
(b), dan (c).
Analisis risiko terhadap dampak penggenangan air laut di pesisir, khususnya untuk skenario-3 yang
merupakan skenario terburuk, di masing-masing wilayah dideskripsikan berikut ini.
94
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
(a) Skenario-1 HHWL+SLR
Gambar 4.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di pesisir akibat
bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing
disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee
95
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
4.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya
Hampir seluruh pesisir sekeliling Pulau Sumatra serta pesisir bagian barat dari pulau-pulau kecil di sebelah
barat Pulau Sumatra memiliki tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Di
beberapa lokasi di pesisir provinsi Riau, Sumatra Utara, Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Barat, dan
Lampung terdapat tingkat risiko tinggi.
Hampir seluruh pesisir sekeliling Pulau Jawa serta pesisir selatan Madura dan Bali memiliki tingkat risiko
sedang hingga tinggi terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Di beberapa lokasi bahkan memiliki
tingkat sangat berisiko seperti DKI Jakarta dan Tangerang (Banten) serta daerah Tanjung Muria (Jawa
Tengah).
Tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir terdapat di pesisir selatan Pulau
Lombok, pesisir selatan Pulau Sumba, Pulau Sumbawa, Pulau Flores hingga Pulau Alor. Sedangkan tingkat
risiko tinggi terdapat di pesisir selatan Pulau Lombok, pesisir Teluk Saleh di Pulau Sumbawa, pantai Ende
hingga sekitar pantai Larantuka di Pulau Flores.
Pada umumnya pesisir Kalimantan berada dalam tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air
laut di pesisir, kecuali di daerah Nunukan (Kalimantan Timur). Beberapa pesisir seperti sekitar Pontianak
dan Banjarmasin bahkan memiliki tingkat risiko sangat tinggi, dan di pesisir sekitar Samarinda terdapat
risiko tinggi.
Banyak daerah pesisir yang mempunyai tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di
pesisir misalnya pesisir Sulawesi Selatan, pesisir barat Sulawesi Tenggara, pesisir barat Sulawesi Barat,
pesisir Sulawesi Tengah, serta kedua sisi pesisir Sulawesi Utara dan Manado. Beberapa daerah pesisir
terdapat tingkat risiko yang tinggi hingga sangat tinggi seperti di pesisir barat Sulawesi Selatan.
96
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
4.2.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku
Bahaya penggenangan air laut ke pesisir beresiko sedang terdapat di pesisir barat Pulau Halmahera dan
Pulau Buru, sebagian pesisir Pulau Seram, Pulau Tanimbar, dan Kepulauan Aru. Di beberapa lokasi
bahkan memiliki tingkat risiko tinggi seperti di pesisir sekitar Ternate (Pulau Halmahera), pesisir kota
Ambon, pesisir kota Tual di Pulau Kai Kecil, yang banyak disebabkan oleh adanya infrastruktur vital
seperti bandara udara.
Wilayah pesisir selatan Papua (antara Timika dan Merauke) serta pantai sekitar kota Fakfak pada umumnya
memiliki tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Tingkat risiko tinggi
hanya terdapat secara lokal di sekitar kota Jayapura dan Biak mengingat adanya infrastruktur bandara
udara. Wilayah-wilayah lain secara praktis menunjukkan tidak ada risiko sama sekali.
97
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
98
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
5
ARAHAn DAn TAHAPAn
menDATAnG unTuK
inTeGRAsi ADAPTAsi
PeRuBAHAn iKLim
Ke DALAm seKTOR
KeLAuTAn DAn
PeRiKAnAn
99
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Pada dasarnya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah sejumlah strategi dan kegiatan yang dilakukan
sebagai reaksi atau sebagai antisipasi terhadap perubahan iklim yang berupa penyesuaian dalam sistem-
sistem ekologi, ekonomi, dan sosial agar dapat mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (misalnya: Daw et al., 2009). Adaptasi terhadap perubahan iklim meliputi dua
kegiatan pokok, yaitu meningkatkan dan memperkuat kapasitas adaptasi bagi pemerintah dan masyarakat
di pesisir dan pulau-pulau kecil serta menerapkan keputusan adaptasi yaitu mengubah kapasitas adaptasi
tersebut menjadi sejumlah aksi atau kegiatan.
Langkah adapatsi ini secara umum diartikan bahwa segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya
suatu dampak yang ditimbulkannya. Secara sederhana sebagaimana pengertian di atas bahwa dampak
akan timbul bila adanya pertemuaan antara bahaya dengan kerentanan, oleh sebab itu untuk menghindari
dampak besar maka perlu upaya untuk tidak mempertemukan kedua unsur tersebut dengan cara: (i)
Menjauhkan kerentanan terhadap bahaya, sehingga tidak bertemu misalnya menarik mundur penduduk
ketempat yang aman dari bahaya, (ii) Mereduksi bahaya sampai sekecil mungkin, sehingga bahaya tidak
menerjang suatu kerentanan, misalnya pembangunan tembok pantai. Kedua opsi ini terkadang sangat
sulit untuk dilakukan karena menimbulkan permasalahan sosial serta memerlukan biaya tinggi. Kemudian
(iii) Mereduksi bahaya serta menaikan kapasitas dari suatu kerentanan atau dengan cara adaptif atau
akomodatif dengan menggunakan analisis dan menejemen risiko.
Penerapan manajemen risiko ini perlu dilakukan secara sistematis melalui kebijakan administratif (Undang-
Undang dan rencana tata ruang), organisasi, peningkatan kemampuan opersional, pemilihan strategi dan
implementasi serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya sehingga dapat
mengurangi dampak yang ditimbulkannya. Manajemen risiko ini mengkaji seluruh pilihan strategi dan
implementasi, baik dalam penanganan struktural (structural measures) maupun non struktural (non structural
measures) untuk menghindarkan (preventive) atau untuk mengurangi efek yang ditimbulkan oleh bahaya
perubahan iklim secara adaptasi, preperedness dan peningkatan resilence .
Penanganan struktural terhadap kenaikan permukaan laut meliputi sistem perlindungan pantai dengan
membangun tembok penahan ombak berupa breakwater, seawall, dan pintu air yang dikenal sebagai hard
protection, dan perlindungan dengan menggunakan vegetasi pantai (mangrove), sand dune dan terumbu
karang atau dikenal sebagi soft protection. Sedangkan penanganan non-struktural meliputi: pembuatan
undang-undang dan peraturan pemerintah; penegakan hukum; pembentukan organisasi pemerintah dan
non pemerintah yang terkait dengan penanganan bencana, penyedian konsep penataan ruang yang akrab
bencana, penyediaan basis data dan sistem informasi bahaya dan peringatan dini, penyediaan peta bahaya
dan risiko kenaikan permukaan laut, serta pembuatan peta jalur evakuasi dan shelter (tempat aman);
pendidikan masyarakat; serta peningkatan fasilitas-fasilitas penyangga hidup (life line).
Secara konseptual, Diposaptono dkk (2009) memberikan 7 langkah yang bersifat siklus dalam melakukan
adaptasi perubahan iklim (Gambar V.1), yaitu:
.
100
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
Gambar 5.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim
(Diposaptono dkk, 2009)
Adapun arahan-arahan strategi adaptasi untuk sektor kalautan dan perikanan pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi:
101
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
a. Pengelolaan dan pemasaran perikanan tangkap dan budidaya
c. Pengelolaan sumberdaya pertahanan dan keamanan (pulau-pulau kecil strategis terluar yang
terletak di perbatasan negara)
5. Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut secara terpadu
6. Penyusunan regulasi, kebijakan, dan kapasitas institusional untuk adaptasi pada perubahan iklim
Untuk menuangkan arahan-rahan di atas maka dilakukan penyusunan kegiatan-kegiatan meliputi tiga
tahapan yaitu:
(1) perumusan arahan-arahan untuk penentuan strategi adaptasi sesuai dengan kriteria-kriteria
tertentu;
(2) penetapan kegiatan dan sub-kegiatan prioritas adaptasi beserta tahapan-tahapan dan anggaran
indikatif yang diperlukan;
(3) penajaman kegiatan dengan memilih dan mengurutkan 5 (lima) di antara kegiatan-kegiatan prioritas
sebagai kegiatan-kegiatan unggulan.
Berbagai alternatif strategi adaptasi sektor kelautan dan perikanan telah disusun dengan berdasarkan
informasi berbagai bahaya, kerentanan dan potensi dampak dan risiko, yaitu Tabel IV.1 di atas diperluas
menjadi Tabel pada Lampiran IV. Langkah berikutnya adalah memilih alternatif strategi menjadi dan
menyusunnya menjadi sejumlah strategi dan kegiatan yang direkomendasikan. Pemilihan alternatif strategi
tersebut mempertimbangkan dua arahan sekaligus, yaitu tidak hanya untuk mengantisipasi potensi dampak
dan risiko akibat perubahan iklim, namun juga untuk mendukung dan menjamin keberlangsungan strategi
pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Strategi pembangunan sektor ini pada dasarnya diarahkan
untuk mewujudkan lima pilar strategi pembangunan nasional (lihat butir II.6) yaitu strategi pro-poor, pro-job,
pro-growth, pro-business, dan pro-sustainable.
Pada implementasinya, strategi adaptasi perubahan iklim itu meliputi beberapa aspek misalnya fisik
kewilayahan (baik melalui rekayasa maupun penataan ruang dan zonasi), infrastruktur, fasilitas umum,
sosial budaya, potensi sumberdaya, ekosistem, sumberdaya manusia, data dan informasi, hukum dan
kebijakan publik, serta pertahanan dan keamanan. Alternatif-alternatif strategi adaptasi itu kemudian
digolongkan ke dalam empat kelompok yang disesuaikan dengan kerangka kerja sebagaimana dapat
102
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
dilihat pada Gambar I.3 yaitu:
Strategi-1 (Inventarisasi data, sistem informasi, dan riset): Melaksanakan inventarisasi data, sistem
informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim;
Strategi-2 (Perencanaan): Mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu;
Strategi -3 (Regulasi dan Kebijakan): Menyusun dan atau menyesuaikan regulasi dan kebijakan di
sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
103
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
5.2. Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 2010–2030
5.2.1. Kegiatan Prioritas untuk Adaptasi
Dari analisis terhadap alternatif-alternatif strategi adaptasi di Lampiran IV, maka dirumuskan 9 (sembilan)
Kegiatan Prioritas (Tabel V.1 di bawah). Kegiatan-kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam empat klaster
kegiatan dan disesuaikan baik dengan isu perubahan iklim maupun strategi pembangunan nasional.
Tabel 5.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim sektor kelautan dan perikanan
PRO-BUSINESS
PRO-GROWTH
SUSTAINABLE
PRO-POOR
KML/SLR
PRO-JOB
PVI-AAM
Kelompok
PVI-CH
PKCE
KTPL
PRO-
Kegiatan No Kegiatan Prioritas
(Strategi)
Pengintegrasian
adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim ke
Perencanaan 2 √ √ √ √ √ √
dalam perencanaan dan
pengelolaan kelautan dan
perikanan
Penyesuaian elevasi
dan penguatan struktur
4 bangunan dan fasilitas √ √ √ √ √ √
vital di wilayah pesisir
terkait perubahan iklim
Penyesuaian pengelolaan
sumberdaya alam dan
Implementasi 5 ekosistem pesisir dan √ √ √ √ √ √ √ √
pulau-pulau kecil secara
terpadu
Penyesuaian pengelolaan
pulau-pulau kecil
6 √ √ √ √ √ √ √
strategis terkait
perubahan iklim
104
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Antisipasi Bahaya Strategi Pembangunan
PRO-BUSINESS
PRO-GROWTH
SUSTAINABLE
PRO-POOR
KML/SLR
PRO-JOB
PVI-AAM
Kelompok
PVI-CH
PKCE
KTPL
PRO-
Kegiatan No Kegiatan Prioritas
(Strategi)
Penguatan kapasitas
mitigasi kebencanaan
7 klimatologi dan √ √ √ √ √
oseanografi di pesisir,
pulau-pulau kecil dan laut
Penyesuaian pengelolaan
potensi sumberdaya
Implementasi 8 perikanan tangkap √ √ √ √ √ √ √ √
terpadu terkait
perubahan iklim
Penyesuaian pengelolaan
potensi sumberdaya
perikanan budidaya air
9 √ √ √ √ √ √ √ √
laut, air payau, dan air
tawar terkait perubahan
iklim
Kegiatan-kegiatan prioritas di atas kemudian dijabarkan dalam bentuk sejumlah sub-kegiatan yang terkait
beserta dengan wilayah-wilayah fokusnya pada Tabel V.2 di bawah.
105
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
106
Tabel 5.2 Penjabaran kegiatan-kegiatan prioritas adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan
Sektor/Lembaga
Kegiatan
No Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus Lain yang Dapat
Prioritas
Dilibatkan
I. KELOMPOK KEGIATAN INVENTARISASI DATA, SISTEM INFORMASI DAN RISET
Menguatkan kapasitas • Penyusunan norma, standar, pedoman dan kriteria tentang • Wilayah berisiko
pada sektor-sektor yang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tinggi terhadap bahaya
Penyusunan dan terkait di wilayah pesisir • Penyesuaian regulasi dan kebijakan yang terkait dengan penggenangan air laut
atau penyesuaian dan pulau-pulau kecil perubahan iklim di pesisir: Wil.II: Jawa
regulasi, kebijakan, untuk: • Mengakselerasi penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang (utara), Bali, Wil.I:
dan kapasitas • mengantisipasi bahaya Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah Sumatra (timur) • Hukum dan
kelembagaan di yang dipicu oleh memuat isu dan strategi mitigasi bencana termasuk adaptasi • Wilayah berisiko sedang: perundangan
3 sektor kelautan perubahan iklim yang perubahan iklim Wil.I, Wil.III, Wil. • Dewan Perwakilan
dan perikanan sedang dan akan terus • Mengakselerasi penerbitan Peraturan Daerah tentang Rencana IV Kalimantan (barat, Rakyat
terkait perubahan berlangsung Zonasi Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat peta timur, selatan), Wil.V • Pendidikan Nasional
iklim di wilayah • lebih menjamin rawan bencana dan peta risiko bencana terkait perubahan iklim Sulawesi (selatan, barat)
pesisir dan pulau- keberlangsungan • Peningkatan kapasitas kelembagaan (peraturan perundangan, • Wilayah berisiko rendah:
pulau kecil pembangunan sumberdaya manusia, lembaga, dan yang terkait lainnya) Wil.VI, Wil.VII Papua
nasional secara • Peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, (selatan)
keseluruhan khususnya berbasis di desa pesisir dan pulau-pulau kecil
107
Sektor/Lembaga
108
Kegiatan
No Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus Lain yang Dapat
Prioritas
Dilibatkan
IV. KELOMPOK KEGIATAN IMPLEMENTASI
• Wilayah berisiko
tinggi terhadap bahaya • Pekerjaan Umum
Mengevaluasi dan
• Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan penggenangan air laut • Pariwisata
menyesuaikan elevasi
untuk semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir di pesisir: Wil.II: Jawa • Perhubungan
dan kekuatan struktur
Penyesuaian elevasi • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan (utara), Bali, Wil.I: • Energi dan Sumber
bangunan di pesisir
dan penguatan fasilitas vital (pemukiman pesisir, dermaga pelabuhan, jalan Sumatra (timur) Daya Mineral
terhadap isu kenaikan
struktur bangunan dsb). • Wilayah berisiko sedang: • Perumahan Rakyat
muka air laut, semakin
4 dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir Wil.I, Wil.III, Wil. • Pembangunan
seringnya gelombang
di wilayah pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai IV Kalimantan (barat, Daerah Tertinggal
badai, dan semakin
terkait perubahan (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, timur, selatan), Wil.V • Pemerintah provinsi
tidak menentunya pola
iklim pintu air pasut, dsb.) Sulawesi (selatan, barat) dan pemerintah
kejadian variabilitas iklim
• Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) • Wilayah berisiko rendah: kabupaten/kota yang
(ENSO, IPO)
Wil.VI, Wil.VII Papua memiliki wilayah
(selatan) pesisir
Menguatkan kapasitas • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan • Lingkungan Hidup
untuk memelihara dan pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil Wilayah-wilayah pesisir • Pekerjaan Umum
Penyesuaian merehabilitasi ekosistem • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang • Pemerintah provinsi
pengelolaan pesisir dan pulau- dan pulau-pulau kecil (mangrove, lahan basah dan padang banyak terdapat ekosistem dan pemerintah
ekosistem dan pulau kecil guna lebih lamun, estuaria, terumbu karang, garis pantai, paparan benua) yaitu: kabupaten/kota yang
sumberdaya menjamin: • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah pantai • Hutan mangrove memiliki wilayah
5
pesisir dan pulau- • keberlangsungan (vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu karang) • Terumbu karang pesisir dan pulau-
pulau kecil secara hidup masyarakat • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan • Lahan basah, padang pulau kecil
terpadu terkait pesisir, dan pulau-pulau kecil (sumur resapan, dam, tanggul, drainase, dsb.) lamun • Pihak-pihak lain
perubahan iklim • keberlangsungan • Pengembangan dan sosialisasi teknologi penyulingan air laut • Estuaria (swasta dan LSM
pembangunan (desalinasi) dan siklus daur ulang air • Daerah paparan benua baik dalam dan luar
nasional • Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) negeri)
• Pertahanan dan
Keamanan
• Pulau-pulau kecil terluar
• Pekerjaan Umum
• Mengantisipasi isu yang berbatasan dengan
• Lingkungan Hidup
tenggelamnya pulau- • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari pulau- negara-negara ASEAN,
Penyesuaian • Pemerintahan Dalam
pulau kecil akibat pulau kecil strategis, termasuk pulau kecil terluar India, Australia, Timor
pengelolaan dan Negeri
kenaikan muka air laut • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah Tinur, dan Papua Nugini
perlindungan • Hubungan Luar
6 dan makin seringnya • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan • Pulau-pulau kecil
pulau-pulau kecil Negeri
gelombang badai fasilitas keselamatan navigasi yang banyak terdapat
strategis terkait • TNI-AL
• Memperkuat stabilitas • Pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil sumberdaya alam dan
perubahan iklim • Pemerintah provinsi
pulau-pulau kecil • Pengawasan dan perlindungan pulau-pulau kecil strategis terluar fasilitas vital
dan pemerintah
terluar • Pulau-pulau kecil untuk
kabupaten/kota yang
konservasi laut
109
Sektor/Lembaga
110
Kegiatan
No Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas Wilayah Fokus Lain yang Dapat
Prioritas
Dilibatkan
Sebelas WPP-RI:
1. 571: Selat Malaka dan
Laut Andaman;
2. 572: Samudra Hindia
sebelah barat Sumatra
dan Selat Sunda;
3. 573: Samudra Hindia
sebelah selatan Jawa
hingga sebelah selatan
• Pekerjaan Umum
Nusa Tenggara, Laut
• Usaha Mikro,
• Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan Sawu, Laut Timor
Kecil & Menengah
fishing ground dinamik bagian barat;
• Mengantisipasi (UMKM)
• Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut 4. 711: Selat Karimata, L.
Penyesuaian kemungkinan • Lembaga-
yang waktu-nyata (realtime) Natuna, L. Cina Selatan;
pengelolaan pergeseran lokasi lembaga riset
• Peningkatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di 5. 712: Laut Jawa;
potensi penngkapan ikan non Kementerian
lepas pantai hingga batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan 6. 713: Selat Makassar,
8 sumberdaya (fishing ground) lebih ke (BMKG, LAPAN,
hemat BBM Teluk Bone, Laut
perikanan tangkap tengah laut BPPT, Ristek)
• Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan Flores, Laut Bali;
terpadu terkait • Menjamin • Pemerintah provinsi
unit pengolahan. 7. 714: Teluk Tolo dan
perubahan iklim keberlangsungan dan pemerintah
• Penguatan dan pengembangan manajemen stok/logistik (cold Laut Banda;
produksi ikan tangkap kabupaten/kota yang
storage/gudang) untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dan 8. 715: Teluk Tomini, Laut
memiliki wilayah
bahan baku unit pengolahan ikan Maluku, L. Halmahera,
pesisir dan pulau-
L. Seram, Teluk Berau;
pulau kecil
9. 716: Laut Sulawesi,
sebelah utara Pulau
Halmahera;
10. 717: Teluk
Cendrawasih, Samudra
Pasifik;
11. 718: Laut Aru, Laut
Arafuru, Laut Timor
bagian timur
• Pekerjaan Umum
9 klaster perikanan:
Penyesuaian • Pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap • Usaha Mikro,
• Mengantisipasi 1. Serang, Banten;
pengelolaan perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput laut, alga merah) Kecil & Menengah
kemungkinan adanya 2. Sumenep, Jawa Timur;
potensi • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan (UMKM)
jenis ikan dan pakan 3. Dompu, NTT;
sumberdaya • Peninggian, pelebaran, pendalaman dan penguatan pematang • Lembaga-
alami yang tidak tahan 4. Sumba Timur, NTB.
perikanan tambak dan saluran airnya lembaga riset non
9 terhadap kenaikan 5. Pangkep, Sulsel;
budidaya air laut, • Penguatan dan pengembangan peran depo pemasaran ikan Kementerian
suhu 6. Gorontalo,
air payau, dan (benih dan ikan konsumsi) dalam kerangka manajemen stok • Pemerintah provinsi
• Menjamin 7. Teluk Tomini Sulteng;
air tawar terkait • Pengembangan alternatif sumber pakan alami dan kota/ kabupaten
keberlangsungan 8. Mamuju, Sulbar; dan
perubahan iklim • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah yang memiliki
produksi ikan 9. Karimun di Kepri
wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
Penajaman sembilan kegiatan prioritas di atas adalah dengan merumuskan 5 (lima) Kegiatan Unggulan.
Kegiatan-kegiatan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang telah dan sedang
dirasakan oleh sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini. Penentuan kegiatan-kegiatan unggulan
beserta urutannya dapat menggunakan beberapa kriteria antara lain: tingkat efektivitas (dalam merespon
potensi dampak perubahan iklim), biaya, kelayakan, kelayakan secara sosial budaya, kecukupan dalam
mengantisipasi dampak yang sudah/sedang terjadi, kecepatan implementasi, serta konsistensi dengan
kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (USAID (2007). Kegiatan-kegiatan unggulan ini dapat
dilihat pada Tabel V.3 di bawah ini.
Antisipasi Bahaya
No
Dampak yang sedang/ sudah
PVI-CH
AAM
PVI-
terjadi
SLR
gulan
Terendamnya pemukiman,
Penyesuaian elevasi dan
perkantoran, dermaga pelabuhan
penguatan struktur bangunan
2 √ √ √ akibat kenaikan muka air laut
dan fasilitas vital di wilayah
dengan laju 0,6 cm/tahun dan
pesisir terkait perubahan iklim
sering terjadinya gelombang badai
112
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
6.2.3. Pentahapan Kegiatan Prioritas
Kegiatan-1: Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan
iklim:
113
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-2: Pengintegrasian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan
pengelolaan kelautan dan perikanan
114
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-3: Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan
di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim
115
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-4: Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah
pesisir terkait perubahan iklim
116
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-5: Penyesuaian pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil secara terpadu
117
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-6: Penyesuaian pengelolaan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan iklim
118
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-7: Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseano-grafi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil
119
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-8: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait
perubahan iklim
120
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Kegiatan-9: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air
payau, dan air tawar terkait perubahan iklim
121
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
122
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
6
KesimPuLAn
123
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Berwawasan jauh ke depan dan lintas sektor merupakan dua kata kunci dalam merencanakan dan
mengimplementasikan adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan. Wawasan
jauh ke depan menjadi hal yang mutlak mengingat bahaya perubahan iklim ini secara umum bersifat
perlahan tapi pasti (slow onset) dengan proyeksi arah dan intensitas yang sulit diprediksi.
Lintas sektor ini menjadi keharusan karena wilayah pesisir dan laut menjadi salah satu tumpuan dari
berbagai aktivitas sektor lain yang berkepentingan seperti sumberdaya air, pertanian, kehutanan,
transportasi, pekerjaan umum, kesehatan, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya.
Di lain pihak, sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di pesisir berupa penyuluhan,
edukasi, dan peningkatan kesadaran akan bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim juga menjadi
kunci keberhasilan dari implementasi adaptasi perubahan iklim ini. Salah satu hal penting yang perlu
disosialisasikan adalah meluruskan persepsi masyarakat yang keliru dengan menganggap bahwa pada saat
ini perubahan iklim belum berlangsung dan baru akan terjadi pada dekade atau abad mendatang.
Namun demikian implementasi adaptasi perubahan iklim ini mendapat tantangan dari berbagai problem
perekonomian, sosial, dan budaya di Indonesia, misalnya perusakan ekosistem pesisir seperti mangrove
dan lahan basah yang sebenarnya dapat dijadikan penghalang dampak perubahan iklim di pesisir.
124
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
DAFTAR PUSTAKA
Aldrin E. (2008). Predicting Precipitation Intencity for Vulnerability Assessment, Power Point., Presented in a
Round Table Discussion on Dveloping a Methodology and Information Sharing for Vulnerability
assessment to Climate Change in Indonesia, KLH-GTZ, 10 July 2008, Jakarta
Australian Greenhouse Office, Department of the Environment and Heritage (2005). Climate Change Risk
and Vulnerability, Promoting an Efficient Adaptation Response in Australia, Final Report, The Allen Consulting
Group
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat (2008). Pedoman Manajemen Pengurangan
Risiko Kebencanaan Tsunami, Rob dan Gelombang Ekstrim Wilayah Pesisir Jawa Barat.
Daw, T., W.N. Adger, K. Brown, M-C. Badjeck (2009). Climate Change and Capture Fisheries. Dalam:
K. Cochrane, C.D. Young, D. Soto, T.. Bahri (eds.), Climate Change Implications for Fisheries and
Aquaculture: Overview of Current Scientific Knowledge. Food and Agriculture Organization of the
United Nations, Rome, p. 97 – 138.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2005). Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun
2005–2009. Dokumen tersedia pada situs www.KKP.go.id
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). KKP Usulkan Kelautan dan Perikanan menjadi Bidang
Pembangunan Tersendiri. Siaran Pers, 27-9- 2009, tersedia pada situs http://www.KKP.go.id/index.php/
ind/news/1601/
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). Rancangan Blueprint Pengelolaan Industri Kelautan. Workshop
Kebijakan Kelautan Indonesia, 12 Oktober 2009
Dewan Kelautan Indonesia (2008): Perumusan Kebijakan Lintas Sektoral dlam Rangka Percepatan Pembangunan
Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan, Power Point, Seminar UNCLOS, Hotel Jayakarta, 06
Nopember2008
Diposaptono, S., Budiman, F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, cetakan I, Bogor.
Diposaptono, S. (2009), Review Draft Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Sektor Pesisir dan Laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Oktober 2009.
Hadi, T.W, (2008). Kementrian Lingkungan Hidup dan GTZ (2009). Draft Laporan Akhir Kajian Kerentanan
dan Risiko Perubahan Iklim Pulau Lombok, NTB.
Hadi, S., I.M. Radjawane, K. Priyatna, H. Latief, T.W. Hadi, D.S. Soeroso (2009). Kenaikan Permukaan Laut
(Sea Level Rise). Dalam Buku: Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Mengelola Resiko Bencana
125
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
di Negara Maritim Indonesia, Institut Teknologi Bandung.
IPCC (2007). Climate Change 2007 - The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth
Assessment Report of the IPCC. Cambridge, Cambridge University Press.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010). Renstra Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014.
KLH dan GTZ (2009). Laporan Akhir Kajian Kerentanan dan Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di
Pulau Lombok, NTB: Sektor Pesisir dan Laut.
Latief, H. dan Hadi, S.: “Status Oseonografi Pantai dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten–
Kabupaten”. Seminar Nasional Kelautan, Geodesi–ITB–Bandung, 14 hal., 7 April 2001
Murray, S.P., D. Arief (1988). Throughflow into the Indian Ocean through the Lombok Strait, Januari
1985 – Januari 1986, Nature, 333, 444-447
Ningsih, N.S. (2009). Gelombang Badai Pasang. Dalam Buku: Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung,
Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim Indonesia, Bandung.
Nybakken, J.W., (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, PT. Gramedia, Jakarta.
Priyono, B.E.,dkk. (1997). Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia, Direktorat
Jenderal Perikanan Kementerian Perikanan.
Sofyan, I. (2009). Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
Kajian Dasar Akademis (Scientific Basis). Draft Laporan, Bappenas – GTZ.
Susanto, R.D., (2000). El Nino dan Perpindahan Lokasi Ikan. Mailing-list Oseanina.
UN-ISDR (2004). Living with Risk: Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva
USAID (2007). Adapting to Climate Variability and Change: A Guidance Manual for Development Planning.
USAID (2009). Adapting to Coastal Climate Change: A Guidebook for Development Planners. The Coastal
Resources Center – University of Rhode Island (CRC–URI) and International Resources Group (IRG)
Wyrtki, K.(1961) Naga Report Volume 2: Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. The University
of California, California.
--- (2008). Pemerintah Bentuk Sembilan Klaster Rumput Laut. Harian Kompas, Senin, 20 Oktober 2008
http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html
126
ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan
LAmPiRAn
127
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Lampiran 1. Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para Pemangku Kepentingan yang
Terkait
Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan
24 Maret 2009 PPKPL-ITB Dr. Irving Mintzer Melakukan unstructured indepth interview
Hotel Park Lane Unit kerja eselon I KKP yang Mempertajam draft awal Roadmap ini oleh
9 Juli 2009
Jakarta terkait instansi terkait
19 Oktober Biro Perencanaan Unit kerja Penajaman dan finalisasi kegiatan dalam
KKP
2009 eselon I KKP Roadmap
128
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Lampiran 2. Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim
Memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan sumber daya kelautan dan
Misi-3
perikanan
Tujuan Mewujudkan kondisi lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkualitas
Sasaran Menurunnya tingkat kerusakan ekosistem kelautan dan perikanan
Memelihara keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dan
Strategi
perairan tawar.
• Meningkatkan rehabilitasi dan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan beserta
ekosistemnya
Kebijakan • Memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan
• Meningkatkan upaya penanggulangan illegal fishing
• Pengelolaan dan pengembangan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang
rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria
• Penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil
• Pemeliharaan dan peningkatan pengelolaan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil
• Peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut, dan prakiraan iklim laut
• Penamaan pulau-pulau kecil
Sub-kegiatan pokok • Percepatan penyelesaian kesepakatan dan batas wilayah laut dengan negara tetangga
• Rehabilitasi sumber daya kawasan budidaya
• Peningkatan tata pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
• Pengawasan dan pengelolaan ekosistem dan jasa kelautan
• Riset dan pengembangan iptek bagi pengelolaan sumberdaya dan ekosistem kelautan dan
perikanan secara berkelanjutan
• Pengembangan riset ekologi laut
129
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Lampiran 3. Deskripsi Kerentanan
Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005)
130
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Elemen Kerentanan-3: Ekonomis: Infrastruktur dan Fasilitas Vital
• Pemukiman
• Perkantoran, lokasi wisata, area usaha
• Kehutanan
1 Penggunaan lahan
• Perairan
• Semak, padang rumput, tanah kosong
• Pertanian, perkebunan, pertambakan
131
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Elemen Kerentanan-4: Ekonomis: Potensi Sumberdaya
132
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Lampiran 4. Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi dengan Bahaya dan Kerentanan Perubahan Iklim
Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
• Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan
untuk pemukiman di wilayah pesisir
133
Bahaya yang Memicu
134
Perubahan
Fisik Kerentanan Potensi Dampak Alternatif Strategi Adaptasi Wilayah Fokus
Lingkungan
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
• Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan
untuk semua pemukiman di wilayah pesisir • Daerah yang terpapar
• Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan dengan Samudra Hindia
• Pantai yang landai perairan terhadap bahaya gelombang badai (Wil.I, II, III, VI, VII)
• Tinggi gelombang rata-rata • Penguatan struktur bangunan pemukiman di pesisir • Daerah yang terpapar
Kerusakan
Peningkatan erosi kecil • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung dengan Samudra Pasifik
√ √ √ pemukiman di
pantai • Pesisir menghadap samudra pantai (tembok laut, groin, pemecah gelombang, (Wil.IV, V, VI, VII)
pesisir
• Populasi penduduk besar beach nourishment, pintu air pasut, dsb.) • Daerah yang terpapar
dan padat • Pemeliharaan dan rehabilitasi vegetasi pantai dengan Laut Cina Selatan
(mangrove, dsb.), gumuk pasir dan terumbu karang (Wil.I, IV,V)
• Pemunduran dan relokasi pemukiman di wilayah • laut internal Indonesia
tertentu
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
• Pantai yang landai
• Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan
• Posisi menghadap samudra
Terganggunya untuk pulau-pulau kecil strategis • Pulau-pulau kecil untuk
• Kisaran pasut kecil
aktivitas • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya dan konservasi laut
• Gelombang rata-rata tinggi
Tenggelamnya perekonomian ekosistem pulau-pulau kecil secara terpadu • Pulau-pulau kecil kaya
√ √ √ • Banyak, tersebarnya pulau
pulau-pulau kecil Kerusakan • Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu sumberdaya alam
dan sulitnya akses
infrastruktur dan karang • Pulau-pulau kecil banyak
• Populasi penduduk padat
fasilitas vital • Pembangunan struktur pelindung pantai, fasilitas fasilitas penting
• Banyaknya infrastruktur dan
navigasi
fasilitas vital
Penurunan
ketersediaan air
Penurunan debit
• Populasi penduduk padat tawar di pesisir
dan kualitas
• Banyaknya fasilitas vital untuk pemukiman,
√ air sungai dan • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air dan
• Banyaknya usaha tambak air fasilitas vital • Daerah mangrove
estuari; ekosistem pesisir secara terpadu
payau dan air tawar Penurunan pro- • Daerah estuaria, padang
kekeringan • Pengelolaan sumberdaya air di pesisir (sumur
duktivitas tambak lamun
air payau & tawar resapan, dam, tanggul, drainase, dsb.)
• Terumbu karang
• Pengembangan dan sosialisasi teknologi pemrosesan
• Pulau-pulau kecil
Bertambahnya • Banyaknya sistem estuari Penurunan sediaan air laut menjadi air tawar
intrusi garam • Populasi penduduk padat air tawar di pesisir
√ √ √ pada massa air • Banyaknya fasilitas vital untuk pemukiman,
sungai dan air • Banyaknya usaha tambak air fasilitas vital, dan
tanah tawar tambak
135
Bahaya yang Memicu
136
Perubahan
Fisik Kerentanan Potensi Dampak Alternatif Strategi Adaptasi Wilayah Fokus
Lingkungan
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
Penurunan atau
Perubahan • Banyaknya lokasi fishing
peningkatan • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan
produktivitas ground
produksi perikanan pemetaan dinamik fishing ground
primer • Banyaknya usaha nelayan
tangkap • Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing
√ √ Perubahan pola • Banyaknya rumah tangga Sebelas WPP
Penurunan atau ground di lepas pantai
migrasi ikan perikanan
peningkatan • Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga
Pergeseran fishing • Beranekaragamnya populasi
kapasitas unit TPI dan unit pengolahan skala rumah tangga.
ground ikan di laut
pengolahan ikan
Penurunan durasi
penangkapan ikan
di laut penuru-
• Terdapat fishing ground • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca
Perubahan pola nan produksi ikan
• Banyaknya usaha nelayan di laut yang lebih akurat dan waktu-nyata (realtime)
√ √ angin secara tangkap Sebelas WPP
• Banyaknya rumah tangga • Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing
mendadak di laut Peningkatan
perikanan ground di lepas pantai dan hemat BBM
konsumsi BBM
kapal nelayan
• Banyaknya usaha
Perubahan
Perubahan pertambakan • Pengembangan jenis budidaya ikan yang tahan
ketersediaan
komposisi • Banyaknya rumah tangga terhadap perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput
pakan alami untuk
keanekaan perikanan laut, alga merah)
√ √ perikanan budidaya Sembilan klaster perikanan
hayati perairan; • Terdapat terumbu karang, • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan
Perubahan
kerusakan habitat mangrove, padang lamun • Pengembangan alternatif sumber pakan alami
kapasitas unit
di perairan • Keanekaragaman populasi • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah
pengolahan ikan
ikan di laut
Degradasi
• Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan
Pemutihan lingkungan
• Terdapat terumbu karang pulau-pulau kecil secara terpadu
karang (coral sumberdaya laut • Daerah terumbu karang
√ √ • Beranekaragamnya populasi • Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk, terumbu
bleaching); dan pesisir • Pulau-pulau kecil
ikan di laut karang
Alga blooming Penurunan pro-
duksi perikanan
SLR
KTPL
PKCE
KML/
PVI-CH
PVI-AAM
• Terdapat banyak lahan Degradasi lahan • Daerah mangrove
Perubahan rejim
basah basah yang • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan • Daerah estuaria, padang
√ √ √ hidraulik pada
• Terdapat usaha tambak air berfungsi sebagai pulau-pulau kecil secara terpadu lamun
lahan basah
payau proteksi pesisir • Pulau-pulau kecil
137
Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi perubahan iklim
Kurangnya kapasitas riset, • Penguatan jaringan antar basis data dan sistem informasi di instansi-instansi terkait
pemantauan, dan kajian tentang: • Penguatan riset dan pemantauan berskala nasional dan internasional
bahaya/fenomena, kerentanan, • Pemetaan dan analisis bahaya, kerentanan, dan risiko bencana yang dipicu oleh perubahan
potensi dampak dan risiko, adaptasi iklim
dan mitigasi • Penguatan kajian strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir, laut dan
perubahan iklim pulau-pulau kecil
• Penyesuaian hukum dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim (misalnya: UU
No.27 Th.2007, UU No.26 Th.2007, UU No. 24 Th.2007, UU No. 31 Th.2004)
• Penguatan kapasitas kelembagaan untuk perubahan iklim
Kurangnya kapasitas hukum dan
• Penguatan kapasitas SDM untuk mengelola adaptasi perubahan iklim
kebijakan, kelembagaan, sumberdaya
• Penguatan kapasitas pengawasan dan pengendalian untuk perubahan iklim; berbasis di desa
manusia, serta pengawasan dan
pesisir dan pulau-pulau kecil
pengendalian untuk melaksanakan
• Penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Risiko Bencana yang dipicu oleh perubahan iklim
adaptasi dan mitigasi perubahan
• Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
iklim di wilayah pesisir dan laut
di kalangan aparatur, tokoh masyarakat, masyarakat pesisir, generasi muda, dan masyarakat
umum
• Penyesuaian materi lingkungan hidup pada kurikulum sekolah dan perguruan tinggi
Kurang pengalaman mengelola • Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan akibat cuaca ekstrem di pesisir dan laut.
kebencanaan akibat dampak • Penguatan kapasitas untuk transportasi dan sistem persediaan kebutuhan hidup di pesisir
bahaya kejadian cuaca ekstrem dan dan pulau-pulau kecil yang terpencil
variabilitas iklim di pesisir secara • Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan akibat cuaca
terpadu ekstrem di pesisir
138
ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan
Lampiran 5. Kegiatan Prioritas Beserta Tahapan-Tahapannya
Sektor/
Bagian dari
Kegiatan Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Lembaga Lain
No Strategi
Prioritas Bahaya Prioritas 2010-2014 2015-2020 Prioritas 2020-2025 2025-2030 yang Dapat
Adaptasi
Dilibatkan
I. KELOMPOK KEGIATAN INVENTARISASI DATA, SISTEM INFORMASI DAN RISET
• Kontinuitas
• Kontinuitas penguatan
• Penguatan basisdata penguatan basisdata • Evaluasi atas
basisdata terkait
terkait perubahan terkait perubahan penguatan basisdata
perubahan iklim
iklim iklim terkait perubahan
• Kontinuitas penguatan
• Penguatan sistem • Kontinuitas iklim
sistem informasi terkait • Pendidikan
informasi terkait penguatan sistem • Evaluasi atas
139
Sektor/
Bagian dari
140
Kegiatan Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Lembaga Lain
No Strategi
Prioritas Bahaya Prioritas 2010-2014 2015-2020 Prioritas 2020-2025 2025-2030 yang Dapat
Adaptasi
Dilibatkan
II. KELOMPOK KEGIATAN PERENCANAAN
• Menyusun norma,
standar, pedoman • Implementasi dari • Implementasi dari
dan kriteria tentang norma, standar, pe- norma, standar, pe-
adaptasi dan mitigasi doman dan kriteria doman dan kriteria
perubahan iklim adaptasi dan mitigasi adaptasi dan mitigasi
• Penyesuaian regulasi perubahan iklim perubahan iklim
dan kebijakan yang • Implementasi regulasi • Implementasi
terkait dengan dan kebijakan yang regulasi dan
perubahan iklim terkait dengan kebijakan yang
• Percepatan pener- perubahan iklim terkait dengan
141
Sektor/
Bagian dari
142
Kegiatan Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Lembaga Lain
No Strategi
Prioritas Bahaya Prioritas 2010-2014 2015-2020 Prioritas 2020-2025 2025-2030 yang Dapat
Adaptasi
Dilibatkan
IV. KELOMPOK KEGIATAN IMPLEMENTASI
• Identifikasi terhadap
kondisi saat ini
dan proyeksi ke
depan untuk semua
• Penyesuaian elevasi
infrastruktur dan
• Penyesuaian elevasi dan penguatan • Pekerjaan
fasilitas vital di • Penyesuaian elevasi
dan penguatan struktur struktur bangunan Umum
wilayah pesisir dan penguatan
bangunan dan fasilitas dan fasilitas vital • Pariwisata
• Penyesuaian elevasi struktur bangunan
vital • Kajian dan sosialisasi • Perhubungan
dan penguatan dan fasilitas vital
• Kenaikan • Kajian dan sosialisasi pembangunan • Energi dan
Penyesuaian struktur bangunan • Kajian dan sosialisasi
muka air laut pembangunan rumah rumah panggung di Sumber Daya
elevasi dan dan fasilitas vital pembangunan rumah
• Peningkatan panggung di pesisir pesisir Mineral
penguatan • Kajian dan sosialisasi panggung di pesisir
frekuensi dan • Pembangunan dan • Pembangunan • Perumahan
struktur pembangunan • Pembangunan dan
Rekayasa fisik intensitas pemeliharaan struktur dan pemeliharaan Rakyat
bangunan dan rumah panggung di pemeliharaan struktur
4 berwawasan gelombang pelindung pantai struktur pelindung • Pembangunan
fasilitas vital pesisir pelindung pantai
lingkungan badai • Pengembangan Climate pantai Daerah
di wilayah • Pembangunan • Pengembangan
• Perubahan Resilience Village (CRV) • Pengembangan Tertinggal
pesisir terkait dan pemeliharaan Climate Resilience
pola di wilayah pesisir dan Climate Resilience • Pemerintah
perubahan struktur pelindung Village (CRV) di
variabilitas pulau-pulau keci Village (CRV) di provinsi dan
iklim pantai wilayah pesisir dan
iklim alamiah Fokus: Wilayah risiko wilayah pesisir dan pemerintah
• Pengembangan pulau-pulau keci
sedang seperti Wil.I, Wil. pulau-pulau keci kabupaten/
Climate Resilience Fokus: seluruh wilayah
III, Wil.IV Kalimantan Fokus: Wilayah risiko kota yang
Village (CRV) di pesisir dan pulau-pulau
(barat, timur, selatan), Wil. rendah, seperti Wil.VI memiliki
wilayah pesisir dan keci
V Sulawesi (selatan, barat) Maluku, Wil.VII Papua wilayah pesisir
pulau-pulau keci
(selatan)
Fokus: Wilayah risiko
tinggi, seperti Wil.II:
Jawa (utara), Bali, Wil.
I: Sumatra (timur)
• Identifikasi terha-
dap kondisi saat
ini dan proyeksi ke
depan pengelolaan
• Kontinuitas • Kontinuitas
ekosistem pesisir
pengelolaan eko- pengelolaan eko-
dan pulau-pulau
sistem dan sumber- sistem dan sumber-
kecil • Kontinuitas pengelolaan
daya pesisir dan daya pesisir dan
• Pemeliharaan dan eko-sistem dan sumber-
pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil
rehabilitasi eko- daya pesisir dan pulau-
• Kontinuitas • Kontinuitas
sistem dan sumber- pulau kecil • Lingkungan
pengelolaan daerah pengelolaan daerah
daya pesisir dan • Kontinuitas pengelolaan Hidup
pelindung alamiah pelindung alamiah
pulau-pulau kecil daerah pelindung • Pekerjaan
143
Sektor/
Bagian dari
144
Kegiatan Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Lembaga Lain
No Strategi
Prioritas Bahaya Prioritas 2010-2014 2015-2020 Prioritas 2020-2025 2025-2030 yang Dapat
Adaptasi
Dilibatkan
• Identifikasi terhadap
kondisi saat ini dan
proyeksi ke depan • Kontinuitas pengelolaan • Kontinuitas
• Kontinuitas
dari pulau-pulau daerah pelindung pengelolaan daerah
pengelolaan daerah • Pertahanan dan
kecil strategis, alamiah pelindung alamiah
pelindung alamiah Keamanan
termasuk pulau kecil • Kontinuitas • Kontinuitas
• Kontinuitas • Pekerjaan
• Kenaikan terluar pembangunan dan pembangunan
pembangunan dan Umum
muka air • Pemeliharaan dan pemeliharaan struktur dan pemeliharaan
pemeliharaan struktur • Lingkungan
laut rehabilitasi daerah pelindung pantai dan struktur pelindung
pelindung pantai dan Hidup
• Peningkatan pelindung alamiah fasilitas keselamatan pantai dan fasilitas
Penyesuaian fasilitas keselamatan • Pemerintahan
Pengelolaan frekuensi • Pembangunan navigasi keselamatan navigasi
pengelolaan navigasi Dalam Negeri
sumberdaya dan dan pemeliharaan • Kontinuitas pengelolaan • Kontinuitas
pulau-pulau • Kontinuitas • Hubungan Luar
kewilayahan intensitas struktur pelindung sumberdaya air di pengelolaan
6 kecil strategis pengelolaan Negeri
serta gelombang pantai dan fasilitas pulau-pulau kecil sumberdaya air di
terkait sumberdaya air di • TNI-AL
pertahanan badai keselamatan navigasi • Kontinuitas pulau-pulau kecil
perubahan pulau-pulau kecil • Pemerintah
dan keamanan • Perubahan • Pengelolaan pengawasan dan • Kontinuitas
iklim • Kontinuitas provinsi dan
pola sumberdaya air di perlindungan pulau- pengawasan dan
pengawasan dan pemerintah
variabilitas pulau-pulau kecil pulau kecil strategis perlindungan pulau-
perlindungan pulau- kabupaten/
iklim • Pengawasan dan terluar pulau kecil strategis
pulau kecil strategis kota yang
alamiah perlindungan pulau- Fokus: Pulau-pulau kecil terluar
terluar memiliki
pulau kecil strategis yang berbatasan dengan Fokus: Pulau-pulau
Fokus: Pulau-pulau wilayah pulau-
terluar negara-negara Australia, kecil yang banyak
kecil untuk konservasi pulau kecil
Fokus: Pulau-pulau Timor Tinur, dan Papua terdapat sumberdaya
laut
kecil yang berbatasan Nugini alam dan fasilitas vital
dengan negara-negara
ASEAN dan India
• Implementasi
standar prosedur
• Penyusunan standar • Implementasi standar
• Implementasi standar mitigasi bencana
prosedur mitigasi prosedur mitigasi
prosedur mitigasi klimatologi dan
bencana klimatologi bencana klimatologi
bencana klimatologi oseanografi di
dan oseanografi di dan oseanografi di
dan oseanografi di wilayah pesisir dan
wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
pulau-pulau kecil pulau-pulau kecil
pulau-pulau kecil • Kontinuitas • Badan Nasional
• Pengembangan • Kontinuitas
• Kontinuitas pengembangan dan Penanggulangan
sistem peringatan pengembangan dan
pengembangan dan sosialisasi sistem Bencana
dini bencana sosialisasi sistem
sosialisasi sistem peringatan dini • Lembaga-
klimatologi dan peringatan dini
peringatan dini bencana bencana klimatologi lembaga
145
Sektor/
Bagian dari
146
Kegiatan Antisipasi Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Sub-kegiatan Sub-kegiatan Prioritas Lembaga Lain
No Strategi
Prioritas Bahaya Prioritas 2010-2014 2015-2020 Prioritas 2020-2025 2025-2030 yang Dapat
Adaptasi
Dilibatkan
• Kontinuitas pengu-
• Pengembangan dan
atan dan sosialisasi
sosialisasi sistem • Kontinuitas pengu-
• Kontinuitas pengu-atan sistem informasi
informasi dan atan dan sosialisasi
dan sosialisasi sistem dan pemetaan fishing
pemetaan fishing sistem informasi
informasi dan pemetaan ground dinamik
ground dinamik dan pemetaan fishing
fishing ground dinamik • Kontinuitas
• Pengembangan dan ground dinamik
• Kontinuitas penguatan penguatan dan
sosialisasi sistem • Kontinuitas
dan sosialisasi sistem sosialisasi sistem
informasi cuaca di penguatan dan
informasi cuaca di informasi cuaca di
laut yang waktu- sosialisasi sistem • Pekerjaan
laut yang waktu-nyata laut yang waktu-nyata
nyata (realtime) informasi cuaca di Umum
(realtime) (realtime)
• Peningkatan laut yang waktu- • Usaha Mikro,
• Kontinuitas penguatan • Kontinuitas
kapasitas nelayan nyata (realtime) Kecil &
• Kenaikan kapasitas nelayan untuk penguatan kapasitas
untuk mencapai • Kontinuitas Menengah
temperatur men-capai fishing ground nelayan untuk men-
fishing ground di penguatan kapasitas (UMKM)
air laut di lepas pantai hingga capai fishing ground di
lepas pantai hingga nelayan untuk men- • Lembaga-
Penyesuaian • Perubahan ZEE lepas pantai hingga
batas ZEE (Zona capai fishing ground di lembaga
pengelolaan pola • Kontinuitas pengu-atan batas ZEE
Ekonomi Eksklusif) lepas pantai hingga riset non
potensi variabilitas dan pengem-bangan • Kontinuitas pengu-
Pengelolaan • Pengembangan ZEE Kementerian
sumberdaya iklim alamiah sistem rantai dingin atan dan pengem-
dan pemasaran sistem rantai dingin • Kontinuitas pengu- (BMKG,
8 perikanan (perubahan dari kapal ke unit bangan sistem rantai
perikanan dari kapal hingga atan dan pengem- LAPAN, BPPT,
tangkap pola sirkulasi pengolahan. dingin dari kapal ke
tangkap TPI dan unit bangan sistem rantai Ristek)
terpadu terkait arus laut) • Kontinuitas pengu-atan unit pengolahan
pengolahan. dingin dari kapal ke • Pemerintah
perubahan • Peningkatan dan pengem-bangan • Kontinuitas
• Penguatan dan unit pengolahan. provinsi dan
iklim frekuensi dan manajemen stok/ penguatan dan
pengembangan • Kontinuitas pemerintah
intensitas logistik (cold storage/ pengembangan
manajemen stok/ penguatan dan kabupaten/
gelombang gudang) manajemen stok/
logistik (cold storage/ pengembangan kota yang
badai Fokus: WPP bagian timur logistik (cold storage/
gudang) manajemen stok/ memiliki
dan tengah: gudang)
Fokus: WPP bagian logistik (cold storage/ wilayah pesisir
1. 713: Selat Makassar, Fokus: WPP bagian
timur gudang) dan pulau-pulau
Teluk Bone, Laut barat dan selatan:
1. 716: Laut Sulawesi, Fokus: WPP bagian kecil
Flores, Laut Bali; 1. 572: Samudra
sebelah utara Pulau barat dan tengah:
2. 714: Teluk Tolo dan Hindia sebelah barat
Halmahera; 1. 571: Selat Malaka
Laut Banda; Sumatra dan Selat
2. 717: Teluk dan Laut Andaman;
3. 715: Teluk Tomini, Sunda;
Cendrawasih, 2. 711: Selat Karimata,
Laut Maluku, Laut 2. 573: Samudra
Samudra Pasifik; L. Natuna, L. Cina
Halmahera, Laut Hindia sebelah
3. 718: Laut Aru, Selatan;
Seram, Teluk Berau; selatan Jawa hingga
Laut Arafuru, Laut 3. 712: Laut Jawa;
sebelah selatan Nusa
Timor bagian timur
Tenggara;
• Kontinuitas
implementasi • Kontinuitas
• Pengembangan jenis pengembangan jenis implementasi
budidaya perikanan budidaya perikanan pengembangan jenis
• Implementasi
yang tahan terhadap yang tahan terhadap budidaya perikanan
pengembangan jenis
perubahan iklim perubahan iklim yang tahan terhadap
budidaya perikanan
• Pengembangan • Kontinuitas perubahan iklim
yang tahan terhadap
sistem informasi implementasi • Kontinuitas
perubahan iklim
musim pembenihan pengembangan implementasi
• Implementasi
• Kenaikan • Peninggian, sistem informasi pengembangan sistem
pengembangan sistem
suhu air laut pelebaran, musim pembenihan informasi musim • Pekerjaan
informasi musim
• Perubahan pendalaman dan • Kontinuitas pembenihan Umum
147