Anda di halaman 1dari 6

EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

ISSN 1978-8096

KONDISI PERAIRAN DAN POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla sp)


DI KECAMATAN ALUH-ALUH KALIMANTAN SELATAN
Junius Akbar
Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat
Keywords : Mud crab, S. Oceanica, Scylla serrata, S. transquebarica
Abstract
The purpose of the research was to give information condition and potention of mud crab.
This research used survey method which are a). observation, b). direct interview c). in situ
treatment and d). sampling. Research location at Sungai Musang Village, Aluh-Aluh, Banjar
Regency, South Kalimantan Province. Parameters observe were mud crab species, water
quality (water temperature, salinity, water pH, NO2-N, NO3-N, NH3-N, DO, and transfarance),
and biology (plankton dan mud crab larvae). The results founded that 3 mud crab species 1).
Scylla serrata 2). S. transquebarica and 3) S. oceanica. The range of water temperature was
(30-340C), Salinity (0-1%o), water pH (7,80-8), NO2-N (0,36 mg/L), NO3-N (2,01 mg/L),
NH3-N (0,46-2,5 mg/L), DO (1,65-4,20 ppm), transparance (32 cm), diversity index of
phytoplankton (0,89), and zooplankton (1,58). Ecology and biology, showed that water
quality was suitable to mud crab culture. Mud crab larvae was trap zoae and megalopa stadia
with density of 20 ind/L. Little number of mud crab trapped, was assumed due todisfunction
condition of mangrove forest.
Pendahuluan

Bahan Dan Metode

Sebagai salah satu sumber daya


perikanan yang bernilai ekonomis penting,
kepiting bakau (Scylla sp) diduga
populasinya menurun baik sebagai akibat
dari kegiatan pengrusakan habitat hidupnya,
yaitu lahan mangrove yang dikonversikan
untuk wilayah pertambakan dan pertanian
maupun
peruntukan
lainnya
dan
pemanfaatan kayu-kayu mangrove, maupun
upaya penangkapan kepiting bakau yang
berlebihan (overfishing) yang tidak
memperhatikan aspek kelestarian alamiah.
Dampak ekologis adalah menghilangnya
kepiting bakau pada mata rantai ekosistem
yang akan mengganggu keseimbangan
alamiah ekosistem hutan mangrove.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji kondisi lingkungan perairan yang
baik bagi kepiting bakau di alam. Dari
penelitian ini diharapkan dapat diperoleh
informasi tentang keberadaan kepiting
bakau, yang dapat berguna bagi data dasar
kegiatan budi daya.

Penelitian ini dilaksanakan di perairan


Desa Sungai Musang, Kecamatan AluhAluh Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan. Penelitian ini menggunakan
metode survey dengan perlingkupan data
mencakup
pengamatan/observasi,
wawancara langsung, pengukuran in situ
(kualitas air), dan pengumpulan sampel.
Parameter yang diamati meliputi
kualitas perairan, yaitu suhu air, salinitas,
pH air, NO2-N, NO3-N, NH3-N, DO,
kecerahan, dan biologis berupa plankton
dan larva kepiting bakau. Pengambilan
contoh larva kepiting bakau dengan
plankton net No.25 dengan pertimbangan
kepiting bakau pada fase larva bersifat
planktonik, sehingga kemungkinan untuk
ditangkap dengan plankton net lebih besar.

Junius Akbar/EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

Hasil Dan Pembahasan


Kondisi Wilayah
Kecamatan Aluh-Aluh salah satu
kecamatan di kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan. Letak geografis Kecamatan AluhAluh 30 27 5 Lintang Selatan sampai 1140
Bujur
Timur.
Wilayah
administrasi
Kecamatan Aluh-Aluh sebelah utara
berbatasan dengan Kota Banjarmasin,
sebelah
timur
berbatasan
dengan
Kecamatan Gambut, sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Kurau
(Kabupaten Tanah Laut), dan sebelah barat
berbatasan
dengan
Sungai
Barito
(Kabupaten Barito Kuala).
Berdasarkan SK Bupati Banjar No: 463
tahun 2004 tentang Kode Wilayah
Administrasi Pemerintahan Kabupaten
Banjar. Kecamatan Aluh-Aluh memiliki 19
desa, 14 desa diantaranya merupakan desa
yang terletak di kawasan pesisir, salah
satunya Desa Sungai Musang.
Jarak antara Desa Sungai Musang
dengan ibukota Kecamatan Aluh-Aluh 8
km, jarak Desa Sungai Musang ke ibukota
Kabupaten Banjar (Martapura) 50 km dan
jarak Desa Sungai Musang ke ibukota
Kalimantan Selatan (Banjarmasin) 34 km.
Desa Sungai Musang memiliki luas
wilayah 430 Ha (4,30 km2) atau 5,21%
dari seluruh luas wilayah Kecamatan AluhAluh. Wilayah Desa Sungai Musang
sebelah utara berbatasan dengan Desa
Bakambat, sebelah selatan berbatasan
dengan Pantai Harapan, sebelah barat
berbatasan dengan Sungai/Laut Barito, dan
sebelah timur berbatasan dengan Desa
Pindahan Baru/Labuan Mas. Pemanfaatan
lahan di desa Sungai Musang menurut
keperluannya berupa areal persawahan
pasang surut (249 ha), pemukiman (67 ha),
perkebunan (66 ha), dan lain lain (48 ha).
Kondisi topografi Desa Sungai Musang
secara umum merupakan dataran yang
mendekati Muara Sungai Barito dan
bermuara ke Laut Jawa, dan dipengaruhi
oleh pasang surut Sungai Barito. Sebagian
lahan terdiri atas lahan rawa pasang surut

158

dan semak belukar. Lahan ini terdiri atas


lapisan alluvial yang tebal dan berkembang
dari proses sedimentasi rawa dan sungai.
Kondisi hidrologis Desa Sungai Musang,
selain sungai juga terdiri dari rawa.
Sebagian besar rawa-rawa ini kering pada
waktu musim kemarau. Hasil Penelitian
Arifin et al (2002), tinggi gelombang
berkisar antara 18-25 cm, pecahan
gelombang 50-300 dan periode gelombang
1 s/d 2 25/gelombang. Sedangkan tipe
pasang surut adalah pasang surut campuran
dengan tenggang pasang surut 9,1 cm/jam
Penduduk Desa Sungai Musang
berjumlah 1697 jiwa, yang terdiri atas 772
jiwa laki-laki dan 925 jiwa perempuan.
Tingkat
pendidikan
masyarakatnya
tergolong rendah, sebab penduduk yang
tamat SD/sederajat sebesar 26,87%
(Nurdiansyah, 1987). Sedangkan jenis mata
pencaharian masyarakatnya sebagian besar
sebagai nelayan (157 jiwa), petani (440
jiwa). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan
tata guna lahan di desa Sungai Musang,
yang paling banyak digunakan sebagai areal
atau lahan persawahan pasang surut.
Kondisi Perairan
Berdasarkan hasil pengukuran, suhu air
di desa Sungai Musang 30-340C. Menurut
Kuntiyo et al (1994) suhu yang baik untuk
kepiting bakau dapat sintas dengan baik
berkisar 26-320C, sedangkan Haris et al
(1995), berkisar 17-370C. Hal ini
menunjukkan bahwa suhu perairan di desa
Sungai Musang masih dalam batas yang
optimal bagi kelangsungan hidup dan
pertumbuhan kepiting bakau.
Dalam pengukuran yang dilakukan
diketahui salinitasnya 0-1%o. Menurut
Haris et al (1995), kepiting bakau
mempunyai toleransi salinitas 0-2 ppm dan
laju
pertumbuhan
optimum
dalam
pemeliharaan berada pada salinitas 10-12
ppm dengan keadaan tanah dasar liat
berpasir atau liat berlumpur dan kaya akan
bahan organik. Sedangkan Kordi (1997)
menyatakan, kepiting hidup dengan baik
pada
salinitas
10-35%o.
Walaupun

159

Junius Akbar/EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

salinitasnya relatif rendah, tetapi masih


dapat ditoleransi oleh kepiting bakau.
Berdasarkan hasil pengukuran pH air,
didapatkan nilai pH 7,8-8. Menurut Kordi
(1997) untuk budi daya kepiting bakau pH
yang cocok adalah 7,2-7,8.
Sedangkan
Kuntiyo et al, (1994) menyatakan bahwa
batas optimum pH bagi kelangsungan hidup
kepiting bakau adalah 7,5-8,5. Hal ini
menunjukkan bahwa pH di perairan ini
masih dalam kisaran normal bagi
kelangsungan hidup kepiting bakau.
Dalam
pengukuran
terhadap
konsentrasi nitrit dan nitrat di perairan Desa
Sungai Musang diketahui konsentrasi nitrit
adalah 0,36 mg/L. Nilai konsentrasi nitrit
ini masih berada di bawah batas optimum
bagi kelangsungan hidup organisme
perairan termasuk kepiting bakau. Ilyas et
al, (1987); Ranoemihardjo (1989) dan
Kuntiyo et al, (1994) nitrit yang baik untuk
budi daya kepiting bakau 0,5 ppm,
sedangkan menurut Poernomo (1988), batas
maksimum nitrit dalam persyaratan baku
mutu air bagi budi daya perikanan adalah
0,25 ppm dan optimum 0,0 ppm.
Dalam pengukuran yang dilakukan di
perairan ini diperoleh konsentrasi nitrat
2,01 mg/L. Menurut Kuntiyo et al, (1994)
kandungan nitrat harus 200 ppm,
sedangkan menurut kriteria mutu air
berdasarkan kelas I yang dikeluarkan
pemerintah dalam PP No.82 tahun 2001
tentang PengelolaanKualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Anonim,
2001), dinyatakan bahwa konsentrasi nitrat
maksimum yang dianjurkan adalah 10
mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan nitrat masih dalam batas normal
bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan,
dan perkembangbiakan kepiting bakau.
Sedangkan
konsentrasi
amoniak
berkisar 0,46-2,5 mg/L. Menurut Kordi
(1997), kadar amoniak yang baik bagi budi
daya kepiting bakau adalah 1 ppm,
apabila 1 ppm, sangat membahayakan
bagi kepiting bakau yang dipelihara di
tambak/kolam.
Konsentrasi
ini
menunjukkan bahwa kepiting bakau masih
dapat hidup dengan baik karena menurut

Boyd (1982), bahwa konsentrasi yang


toksik adalah antara 0,6 2 mg/L amoniak
untuk kebanyakan jenis organisme akuatik.
Pengukuran terhadap kecerahan di
perairan Desa Sungai Musang didapatkan
32 cm. Menurut Kuntiyo et al, (1994)
kecerahan yang baik bagi kelangsungan
hidup kepiting bakau berkisar 30-40 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa kecerahan di
perairan ini masih dalam batas optimal bagi
kehidupan dan keberadaan kepiting bakau.
Hubungan Larva Kepiting Bakau dengan
Karakteristik Habitat
Perairan Desa Sungai Musang memiliki
karakteristik salinitas relatif rendah dengan
kandungan nitrit dan nitrat tinggi serta
memiliki suhu yang relatif tinggi pula.
Bersubstrat
liat
berlumpur
dengan
karakteristik vegetasi mangrove Sonneratia
sp yang tinggi dan Rhizophora sp, yang
rendah. Jenis plankton yang teramati
Chlorophyta (Cymatopleura), Chrysophyta
(Melosira,
Tabelaria),
Aschelminthes
(Notholca, Euchianis), dan Crustacea
(Eubranchipus).
Chlorophyta merupakan makanan bagi
Aschelminthes dan crustacea, sedangkan
crustacea itu sendiri merupakan makanan
alami bagi larva kepiting bakau. Makanan
larva kepiting bakau di alam terdiri dari
berbagai organisme planktonik seperti
diatom, larva ekhinodermata, moluska dan
cacing. Kepiting bakau juga memakan
algae dan busukan-busukan dari potongan
kayu, bambu dan benda lainnya
(omnivorous) (Kasry, 1996).
Larva yang ditemukan berdasarkan
pengamatan dengan melihat bentuk dan
ukuran tubuhnya adalah fase zoea dan
megalopa. Jumlah larva kepiting bakau
yang diamati dalam perairan ini adalah 2
ekor/100 mL atau 20 ekor/L air. Jumlah ini
menurut Kasry (1996) sangat rendah. Hal
ini diduga akibat kondisi habitat kepiting
bakau berupa hutan mangrove telah
berubah
menjadi
persawahan
dan
perkebunan.

160

Junius Akbar/EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

Tabel 1. Parameter kualitas air budi daya kepiting bakau


1

Suhu air

Hasil
Pengukuran
30-340C

Salinitas

0-1%o

pH air

7,80-8

Nitrit (NO2N)

0,36 mg/l

Nitrat
(NO3-N)
Amoniak
(NH3 -N)

2,01 mg/l

No

7
8

Parameter

Kandungan
Oksigen
Kecerahan

0,46-2,5 mg/l

1,65-4,20 ppm
32 cm

Tabel 2. Hasil Analisis Phytoplankton.


No
Phyllum
1
2

Chlorophyta
Chrysophyta

Referensi
26-320C
17-370C
15-35 ppt
12-42%o
10-35 ppm
7,5-8,5
7,2-7,8
0,5 ppm
200 ppm
10 mg/l
0,1 ppm
0,6-2 mg/l
1 ppm
3 ppm
5,2 ppm
30-40 cm

Genera
Phytoplankton
Cymatopleura
Melosira
Tabelaria

Kelimpahan (Sel/liter)
Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
Indeks Keseragaman
Indeks Dominasi
Jumlah Taksa
Tabel 3. Hasil Analisis Zooplankton
No
Phyllum
1

Aschelminthes

Genera
Zooplankton
Notholca
Euchianis
Eubranchipus

2
Crustaceans
Kelimpahan (Individu/liter)
Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
Indeks Keseragaman
Indeks Dominasi
Jumlah Taksa
Jenis Kepiting yang Ditemukan

Kepiting bakau yang dikenal juga


dengan kepiting lumpur, kepiting cina, dan
kepiting hijau (Moosa et al. 1985;

Peneliti
Kuntiyo et al.(1994)
Haris et al (1995)
Kuntiyo et al.(1994)
Haris et al (1995)
Kordi, (1997)
Kuntiyo et al. (1994)
Kordi, (1997)
Ilyas, et al.(1987); Ranoemihardjo
(1989); Kuntiyo et al. (1994).
Kuntiyo et al (1994)
Anonim, (2001)
Kuntiyo et al. (1994)
Boyd (1982)
Kordi, (1997)
Kuntiyo et al. (1994)
Haris et al (1995)
Kuntiyo et al. (1994)

Kode Sampel
30
500
100
630
0,8953
0,56485
0,6573
3

Kode Sampel
10
10
10
30
1,5850
1,0000
0,3333
3

Mardjono et al. 1994). Kepiting bakau juga


berbeda sebutannya diberbagai negara,
misal di Australia disebut mud crab, di
Filipina dikenal dengan nama alimango,
di Hawai samoan crab dan di Taiwan

161

Junius Akbar/EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

tsai jin. Kepiting bakau didapatkan


hampir diseluruh perairan pantai, terutama
di daerah yang ditumbuhi hutan mangrove.
Menurut Moosa (1980) dan Haris
(1995) kepiting bakau diklasifikasikan
sebagai berikut :
Filum
Sub Filum
Klas
Sub kelas
Ordo
Sub Ordo
Famili
Sub Famili
Genus
Spesies

: Arthropoda
: Mandibulata
: Crustacea
: Malacostraca
: Decapoda
: Branchyura
: Portunidae
: Portuninae
: Scylla
: Scylla serrata (Forskal, 1775).

Menurut Moosa (1980), genus Scylla


hanya beranggotakan satu spesies yaitu
Scylla serrata. Sedangkan menurut Keenan
et al. (1998), kepiting bakau dibagi menjadi
empat spesies yaitu :
1. Scylla serrata mempunyai ciri-ciri
bentuk tubuh tinggi agak kecil, duri
diantara mata pada karapak agak
tumpul terdapat duri yang lancip pada
carpus dan propondus dan mempunyai
warna kemerahan.
2. Scylla transquebarica, bentuk tubuh
sedang, duri di antara mata pada
karapak tumpul, terdapat duri yang
besar dan jelas pada carpus dan
propondus dan warna coklat kehitaman.
3. Scylla paramamosain, bentuk tubuh
sedang, duri diantara mata pada
karapak tajam dan lancip, memiliki duri
yang jelas pada propondus dan di
bagian carpus tumpul, dan warna hijau
kecokelatan.
4. Scylla olivacea, bentuk tubuh kecil dan
bulat, duri diantara mata sangat tumpul,
duri pada propondus dan carpus
tumpul, dan warna hitam kecokelatan.
Secara morfologi jenis kepiting bakau
(1)
Scylla
oceanica;
(2)
Scylla
transquebarica; dan (3) Scylla serrata
dapat dibedakan dengan melihat bentuk
duri pada daerah carpus (cheliped), bentuk
duri di antara kedua mata dan warnanya

(Rusdi, 1997; Watanabe dan Fushimi,


2002).
Jenis kepiting bakau yang ditemukan
adalah Scylla serrata dan S. tranquebarica
yang oleh masyarakat disebut kepiting
lombok dan kepiting padi. Hal ini
disebabkan kedua jenis kepiting ini
memiliki harga jual yang relatif tinggi
dibandingkan dengan jenis kepiting bakau
S. oceanica atau kepiting kibas. Kepiting
bakau banyak ditemukan di daerah pantai,
laut, muara sungai dan di tambak.
Kepiting bakau dewasa bersifat
pemakan segala dan pemakan bangkai
(omnivorous dan scavenger), dimana
mereka memakan bangkai hewan, bahkan
bangunan-bangunan kayu dan bambu di
tambak (Kuntiyo, et al 1994). Berdasarkan
sifat pemakan kepiting bakau tersebut,
penangkapan kepiting bakau menggunakan
umpan yang berasal dari ikan halo-halo
semacam ikan rucah. Alat tangkap
tradisional yang biasanya digunakan untuk
menangkap
kepiting
bakau
berupa
hancau/rakang, alat kait untuk menangkap
kepiting bakau yang hidup di lobang, dan
tamba.
Kesimpulan
Secara umum kepadatan larva kepiting
bakau di perairan Desa Sungai Musang
relatif rendah, yaitu 20 ekor/L air,
sedangkan jenis kepiting bakau yang
diketemukan
Scylla
serrata,
S.
transquebarica, dan S. oceanica. Hal ini
disebabkan kondisi perairan yang berkaitan
erat dengan makanan alami larva berupa
plankton dan habitat mangrove yang
berubah peruntukannya. Faktor lain yang
juga mempengaruhinya adalah tingginya
aktifitas penangkapan terhadap kepiting
bakau (kepiting bertelur) oleh nelayan yang
berpengaruh terhadap jumlah larva yang
dilepaskan ke perairan.
Daftar Pustaka
Anonim (2001) Peraturan Pemerintah No.
82 Tahun 2001. Tentang Pengelolaan

Junius Akbar/EnviroScienteae 7 (2011) 157-162

Kualitas Air dan Pengendalian


Pencemaran Air.
Anonim
(2002)
Buku
Profil
Desa/Kelurahan (Buku I) Daftar Isian
Data Dasar Profil Desa/Kelurahan.
Monografi Desa Sungai Musang.
Departemen Dalam Negeri RI.
Anonim (2004) Keputusan Bupati Banjar
Nomor 463 Tahun 2004 Tentang
Kode
Wilayah
Administrasi
Pemerintahan Kabupaten Banjar.
Bagian
Pemerintahan
Desa
Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar.
Arifin S, R Simangunsong, Satu JN, Mijani
R, Fatmawti, Eka Iriadenta (2002)
Studi Sistem Informasi Basisdata
Kawasan Pesisir Kecamatan AluhAluh Kabupaten Banjar. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah.
Kabupaten
Banjar.
Provinsi
Kalimantan Selatan.
Boyd CE (1982) Water Quality In
Warmwater Fish Ponds. Auburn
University, Alabama.
Haris A, Achmar M, Andi A, Siti Aisyah
Farhum (1995) Pengaruh Pemberian
Pakan
Alamiah
Terhadap
Kelangsungan Hidup Larva Kepiting
Bakau Scylla serrata Forskal. Ilmu
dan Teknologi Kelautan Universitas
Hassanudin, Ujung Pandang.
Ilyas S, F. Cholik, A Purnomo, A Ismail, R.
Arifuddin, Tadjuddin, DA Ismail, K.
Santoso, ANS Supriyono (1987)
Petunjuk Teknis bagi Pengoperasian
Unit Usaha Pembesaran Udang
Windu. Puslitbang Perikanan. Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Perikanan.
Kasri, Adnan (1996) Budi daya Kepiting
Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit
Bhratara, Jakarta.
Keenan CP, Davie, PJF and Mann DI
(1998) A Revision Of Genus Scylla
de Hann 1993 (Crustacea; Decapoda;
Brachyura; Portunidae). The Rafles
Bulletin Of Zoology. 4.6 (1): 217
245
Kordi KMG (1997) Budi Daya Kepiting
dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem

162

Polikultur. Penerbit Dahara Prize,


Jakarta.
Kuntiyo, Zaenal Arifin, dan Tri Supratno
KP (1994) Pedoman Budi Daya
Kepiting Bakau (Scylla serrata) di
Tambak.
Direktorat
Jenderal
Perikanan. Balai Budi daya Air
Payau, Jepara.
Mardjono M, Anindiastuti, Hamid A,
Djunaidah IS, dan Satyantini WH,
(1994)
Pedoman
Pembenihan
Kepiting Bakau Scylla serrata. Balai
Budi daya Air Payau. Direktorat
Jenderal Perikanan.
Moosa MK (1980) Systematical And
Zoogeographical Observation The
Indo-West-Pacific
Portunidae.
Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI,
Jakarta.
Moosa MK, Indra A dan A Kasry (1985)
Kepiting Bakau Scylla serrata
Forskal,
1775
dari
Perairan
Indonesia. Seri Sumber Daya Alam
122. Lembaga Oseanologi Nasional
LIPI, Jakarta.
Nurdiansyah (1987) Perencanaan Desa
dalam Rangka Penelitian Sistem Unit
Daerah Kerja Pembangunan (UDKP)
di Wilayah Kecamatan. Direktorat
Pembangunan
Daerah
Provinsi
Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
Poernomo A (1988) Faktor Lingkungan
Dominan pada Budi Daya Udang
Intensif. Balai Penelitian Budi daya
Pantai. Puslitbang Pertanian, Maros.
Ranoemihardjo BS (1989) Pengelolaan Air
di Tambak. Direktorat Jenderal
Perikanan. IDRC. INFIS Manual Seri
No. 3
Rusdi, Ibnu (1997) Teknik Budi Daya
Kepiting Bakau (Genus : Scylla).
Departemen
Pertanian.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian. Loka Penelitian Perikanan
Pantai Gondol, Bali. 13 hal.
Watanabe S and Hiroshi Fushimi (2002)
Problems In Species Identification Of
The Mud Crab Genus Scylla
(Brachyura:
Portunidae).
UJNR
Technical Report. No. 28.

Anda mungkin juga menyukai