Anda di halaman 1dari 12

Analisis Kerusakan Terumbu Karang

Novita Meylia Panti


Program Studi S1 Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo

Abstrak

Terumbu karang merupakan potensi pariwisata bagi pulau kecil namun menjadi
terancam karena keberadaan sampah khususnya di Pulau Panggang. Tujuan diadakan
penelitian untuk mengetahui sebaran terumbu karang dan sampah serta mengetahui
pengaruh sampah pada terumbu karang dan tingkat kerusakannya. Penelitian
dilakukan dengan metode survey terumbu karang dan pengukuran sampah. Survey
terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect. Pengukuran sampah
dilakukan dengan pengukuran luasan sampah yang berada di pinggir pantai. Hasil
berupa peta keberadaan sampah dan keadaan terumbu karang memperlihatkan lebih
jelas adanya pengaruh dan kesinambungan pengaruh sampah pada terumbu karang
dari sisi keruangan. Aktivitas manusia yang sangat rendah serta tidak terdapatnya
biota yang dapat mematikan terumbu karang menjadikan faktor lain yang dapat
mematikan terumbu karang semakin sedikit. Wilayah ini dapat meyakinkan bahwa
keberadaan sampah mempengaruhi terumbu karang. Selanjutnya, ikan herbivora dan
penutupan alga terhubungkan secara terbalik. Kesimpulannya adalah bahwa jika
terumbu karang mengalami gangguan, maka akan berpotensi menyebabkan
peningkatan penutupan makroalga. Ikan herbivora terbukti secara efektif mampu
mengkontrol penutupan makroalga dan sekaligus membantu pemulihan kondisi
ekosistem terumbu karang.
Kata Kunci: Kerusakan, Terumbu karang

Abstract

Coral reefs are a tourism potential for small islands but are threatened due to the
presence of garbage, especially on Panggang Island. The purpose of this research was
to determine the distribution of coral reefs and rubbish and to determine the effect of
rubbish on coral reefs and the level of damage. The research was conducted using a
coral reef survey method and waste measurement. Survey of coral reefs using the Line
Intercept Transect method. Waste measurement is done by measuring the area of
waste located on the beach. The result, in the form of a map of the presence of rubbish
and the condition of coral reefs, shows more clearly the influence and continuity of
the influence of rubbish on coral reefs from a spatial perspective. The very low human
activity and the absence of biota that can kill coral reefs, making fewer other factors
that can kill coral reefs. This area can ensure that the presence of waste affects coral
reefs. Furthermore, herbivorous fish and algal cover were inversely linked. The
conclusion is that if coral reefs are disturbed, it will have the potential to cause
increased macroalgae cover. Herbivorous fish have been shown to effectively control
macroalgae cover and at the same time help restore the condition of coral reef
ecosystems.
Keywords: Damage, coral reefs

1. Pendahuluan
Ekosistem terumbu karang menyediakan berbagai sumber kebutuhan hidup
untuk masyarakat pesisir seperti hasil perikanan, budidaya dan pariwisata. Hampir
60 persen masyarakat Kabupaten Bintan berkonsentrasi di sepanjang pesisir untuk
mencari penghidupan sepanjang tahunnya sehingga memberi tekanan pada
sumberdaya pesisir dan laut melalui rentangan berbagai pengaruh. Kelebihan
tangkap, kerusakan habitat, dan peningkatan sedimen memberikan pengaruh
antropogenik yang sangat luas di Bintan sebagaimana informasi yang diperoleh
dari CRITC COREMAP II-LIPI mengenai interaksi antara ikan karang (CRITC-
COREMAP II-LIPI 2007a) Ikan karang merupakan biota yang sangat erat
hubungannya dengan terumbu karang, sehingga keberadaannya sangat tergantung
kepada kondisi terumbu karang. Jika kualitas terumbu karang mengalami
penurunan maka kelimpahan ikan karang pun akan cenderung menurun. Kondisi
ikan herbivora di perairan Bintan cenderung mengalami penurunan seiring dengan
rusaknya terumbu karang di daerah ini. Hal ini dikuatkan pula dengan informasi
semakin sulitnya nelayan setempat dalam mencari ikan hias. Peningkatan
kerusakan terumbu karang dengan dipacu dengan pertumbuhan alga di terumbu
karang yang telah mati, akan mempengaruhi komunitas terumbu karang karena
alga akan medominasi melalui proses perebutan ruang. Ikan herbivora merupakan
biota yang memakan alga di ekosistem terumbu karang dan berfungsi sebagai
pengontrol pertumbuhan alga di kawasan ekosistem terumbu karang. Alga dan
terumbu karang sama-sama merupakan biota yang menempel di substrat sehingga
terumbu karang dan alga berkompetisi untuk mendapatkan ruang
Semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di
daerah terumbu karang seperti ikan, udang, teripang, dan biota lain, maka aktivitas
masyarakat untuk memanfaatkan kondisi tersebut menjadi sangat besar. Dengan
demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang, seperti
penangkapan ikan yang merusak dan berlebih khususnya terhadap ikan herbivora,
serta penggunaan alat tangkap yang tidak terarah, akan semakin besar pula.
ekosistem terumbu karang telah mengalami perubahan dalam skala global yang
diakibatkan oleh perubahan iklim serta oleh aktivitas manusia (Lasagna et al,
2014). Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Global Coral Reef Monitoring
Network (GCMRN) tahun 2008, kurang lebih 54 % terumbu karang dunia berada
dalam kondisi terancam secara global.
Yusuf (2013), mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia
lebih banyak disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia dalam pemanfaatan
sumber daya laut. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem
yang rapuh sehingga tergolong ke dalam ekosistem yang laju kepunahannya relatif
cepat bila mendapat gangguan. Ekosistem terumbu karang merupakan
sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang
disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya
Pemanfaatan dan pengolahan sumber daya terumbu karang yang tidak
terkontrol akan semakin meluas seiring dengan perkembangan penduduk yang
cepat, serta minimnya pengetahuan masyarakat (Nelayan) dan pentingnya
kelestarian sumber daya terumbu karang, dapat menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan di wilayah terumbu karang sehingga dapat mengurangi dari
sekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang mempunyai daya pulih yang
rendah terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalamnya. Di perairan Wini
kelurahan Humusu C Kecamatan Insana Utara terjadi kerusakan ekosistem
terumbu karang yang di akibatkan oleh 2 (dua) faktor yaitu ; faktor alam seperti ;
gelombang, banjir, gempa, dan faktor manusia yaitu: sebagian masyarakat kecil
sering dengan aktifitasnya di daerah terumbu karang ada pula masyarakat yang
mengambil karang untuk dijadikan sebagai bahan baku kapur
Terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti
Paparan Benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai
pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih
dengan suhu air perairan yang hangat (optimal pada 25-29°C toleransi 18- 40°C),
kedalaman kurang dari 25 meter, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi air
yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi, lalu juga salinitas berkisar
pada nilai 34-36 ‰ dengan batas toleransi 27-42‰. Adapun Penelitian ini
dilakuka untuk dpat membandingkan tingkat kerusakan terumbu karang di
berbagai daerah.

2. Metode
Penelitian yang digunakan oleh para peneliti adalah metode jelajah dan metode
deskriptif. Metode jelajah adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara
menjelajah seluruh area penelitian seluas 400 m2 . Metode deskriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat
serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-
sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena Proses untuk mengetahui keterkaitan
sampah dan terumbu karang diperlukan survey lapangan yang nantinya dapat
dianalisis berdasarkan pendekatan geografi. Survey lapangan terdiri dari pencarian
informasi detail ke pengelola pantai setempat, survey terumbu karang dan survey
sampah. Pengelola pantai setempat dapat didapat informasi seperti keadaan Pulau
Panggang serta data fisik perairan. Survey terumbu karang dengan teknik Line
Intercept Transect didapat data terumbu karang berupa tutupan terumbu karang.

3. Hasil dan Pembahasan


A. Kondisi terumbu karang di pulau panggang
1. Kondisi perairan
Suhu perairan Pulau Panggang mengalami penurunan suhu dari 30° C hingga
29° C. Pengaruh pemanasan global dicurigai sebagai faktor yang
mempengaruhi suhu perairan Pulau Panggang namun bukan ke arah suhu yang
lebih tinggi. Suhu yang berkisar 29°-30° C merupakan suhu yang masih dapat
ditolerir oleh terumbu karang Salinitas perairan Pulau Panggang yang berkisar
31‰-33‰ masih merupakan salinitas yang dapat ditoleransi oleh terumbu
karang. Kecerahan perairan Pulau Panggang stabil berkisar antara 3 meter
hingga 9 meter. Terumbu karang memiliki toleransi kecerahan perairan lebih
dari 3 meter. Kecerahan perairan Pulau panggang yang melebihi 3 meter tentu
masih dalam batas toleransi terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang

2. Kondisi terumbu karang


Keadaan terumbu karang hidup maupun yang sudah mati berkisar antara 50%. Hal
ini menandakan ekosistem seimbang antara yang mampu bertahan karena kondisi
yang kondusif maupun tidak mampu bertahan akibat lingkungan yang tidak
kondusif. Pada wilayah timur laut terlihat paling berbeda dengan wilayah lain
akibat persentase terumbu karang hidup sangat sedikit dan terumbu karang yang
sudah mati sangat banyak.

3. Kondisi Sampah
Sampah yang ditemukan mayoritas sampah organik dan anorganik. Berdasarkan
sampel sampah dengan luas 1 m² teramati 31,7% adalah sampah organik dan 68,3%
adalah sampah anorganik. Sampah organik dapat mencemari lingkungan secara
kimiawi karena setelah terdekomposisi akan mengalami perubahan kimia sehingga
dapat mempengaruhi beberapa fauna laut. Sampah anorganik dapat mencemari
lingkungan khususnya terhadap fauna yang membutuhkan sinar matahari sebagai
bahan fotosintesis, keberadaan platik akan menutup perairan

Total luasan sampah yang terukur tiap wilayah berkisar antara 100 m² hingga
200 m². Pada wilayah timur laut merupakan total luasan sampah terluas.

B. Kondisi perairan di Kabupaten Bintan


1. Kondisi Perairan
Kondisi perairan Kabupaten Bintan berdasarkan kualitas perairan di dua lokasi
pengamatan secara keseluruhan menunjukan hasil yang masih dikategorikan
sesuai untuk biota laut (KepMen LH 51 2004, Lampiran III), kecuali di stasiun
P. Sentot yang memiliki nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu sebesar 12 mg/l.
Hal ini disebabkan oleh musim angin selatan (bulan Juni-Agustus) yang
kencang dari arah Laut Cina Selatan yang membawa partikel tersuspensi ke
lokasi penelitian. Kondisi padatan tersuspensi (TSS) di tiap-tiap stasiun
penelitan di Kabupaten Bintan dikategorikan masih di bawah baku mutu air
laut yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut, yaitu 20 mg/l.

2. Kondisi Terumbu Karang


Tutupan karang hidup berkisar antara 34.69-99.84% (Gambar 1). Secara
umum persentase tutupan karang hidup termasuk dalam kategori ‘baik’.
Terdapat satu lokasi yang berkategori ‘sangat baik’ (stasiun 6), tiga stasiun
berkategori ‘sedang’ yaitu stasiun 1, 5, dan 8 (34.69; 44.33%, dan 49.43%).
Kerusakan terumbu karang terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas manusia
baik di wilayah perairan ataupun di daratan. Kerusakan terumbu karang dari
aktivitas manusia di perairan Kabupaten Bintan diduga ada kaitannya dengan
masih banyaknya praktik penggunaan alat tangkap seperti bubu yang
digunakan oleh masyarakat terutama pada musim tertentu (musim angin
selatan). Berdasarkan tangkapan per unit usaha (CPUE) menunjukan
produktivitas alat tangkap meningkat dari tahun ke tahun di wilayah ini
(CRITC COREMAP II-LIPI 2009).

penggunaan bubu dan bagan tancap tidak hanya dilakukan oleh nelayan di
kawasan ini tetapi juga oleh nelayan di luar wilayah. Bubu sebagai alat
penangkap ikan mendapat respon yang kecil dari masyarakat sampai sekarang
ini.

C. Kondisi Terumbu Karang di pantai empu rencak


Pada kedalaman 3 meter ditemukan prosentase tutupan karang sebesar 4,5
%, sedangkan pada kedalaman 6 meter ditemukan prosentase tutupan karang
sebesar 9,7 %. Dilihat dari besarnya prosentase tutupan karang di perairan
Empu Rancak Mlonggo Kabupaten Jepara dapat dikatakan bahwa kondisi
terumbu karang dalam buruk sekali. Hal ini sesuai dengan kriteria kondisi
terumbu karang yang dikemukakan oleh Gomez dan Yap, 1988, bahwa
kondisi terumbu karang dengan prosentasi 0 -24 % adalah kondisi terumbu
karang dalam kondisi buruk sekali. Apabila persentase tutupan karang berkisar
75-100 % maka disebut kondisinya baik.
Pada kedalaman 3 meter ditemukan keanekaragaman jenis karang
sebanyak 6 genus yaitu : Goniastrea sp., Favia Sp., Galaxea sp., Porites sp.,
Acropora sp., dan Montipora p. sedangkan pada kedalaman 6 meter ditemukan
keanekaraamanan jenis karang yang lebih banyak, yaitu 11 genus terdiri dari :
Acropora sp. , Favites sp, Echinopora sp., Goniastrea sp., Symphyllia agaricia,
Favia sp., Goniopora sp., Porites sp., Montipora sp., Platygyra sp., dan
Montastrea. Sp. Tingginya tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi di
perairan pantai Empu Rancak Mlonggo Kabupaten Jepara dapat dilihat dengan
tingginya prosentase karang mati, baik pada kedalaman 3 meter sebesar 95,54
% maupun pada kedalaman 6 meter sebesar 90,30 % . Namun dari hasil
pemantauan menunjukan bahwa ditemukan nilai yang tinggi pada
keanekaraman jenis dan indek dominasi karang yang masih hidup. Hal ini
mengindikasikan bahwa dilokasi perairan
Rusaknya terumbu karang yang terjadi diduga dipengaruh gangguan alam
serta tekanan oleh aktivitas manusia Sedimentasi oleh peristiwa run off
daratan melalui aliran sungai yang ada, yaitu sungai Mlonggo, terkena jaring
dan jangkar perahu nelayan, pengaruh penyakit karang serta terinjak-injak
oleh aktivitas pariwisata diduga sebagai tekanan akibat aktivitas manusia
(antrophogenik). Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari
bahwa rusaknya kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu adalah
dikarenakan lokasi tersebut digunakan untuk kegiatan pariwisata bawah air.
D. Kondisi terumbu karang di taman nasional kepulauan seribu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik berlokasi di stasiun P1 yang


berlokasi di sebelah utara Pulau Panjang dengan tutupan karang hidup sebesar
43.2%. Stasiun P4 yang terletak di sebelah barat Pulau Panjang juga menunjukkan
tutupan karang hidup yang cukup baik yaitu sebesar 42.3%. Kondisi terburuk
ditemukan pada stasiun P3 di bagian tenggara Pulau Panjang dengan tutupan karang
hidup hanya 5% (Gambar 3). Rubble banyak didapatkan di lokasi setiap lokasi seperti
yang disajikan pada Tabel 5. Persentase rubble melebihi 50% dari jumlah persentase
tutupan karang di 4 lokasi stasiun pengamatan. Hanya P4 (Barat) yang memiliki
persentase di bawah 5% (4.17%). Rubble sebagaian besar berasal dari karang jenis
bercabang (branching).

Karang dengan jenis cabang seperti Acropora walaupun memiliki tingkat


pertumbuhan yang lebih cepat mencapai 0.148 mm namun memiliki kerentanan
yang tinggi. Berbeda dengan karang jenis masif di mana karang jenis masif dan
sub-masif lebih toleran terhadap sedimentasi yang tinggi dan eutrofikasi, sehingga
jenis-jenis ini disebut sebagai “stress-tolerators” Selain itu, karang jenis cabang
yang berukuran kecil juga sangat rentan terhadap gangguan dibandingkan dengan
jenis tabular/massif.

E. Kondisi Terumbu karang di perairan selat pantar


1. Kondisi perairan

Hasil pengukuran kondisi tutupan terumbu karang di beberapa stasiun


penelitan yang terletak pada lokasi penelitian dengan menggunakan Line
Intersept Transect (LIT) dapat di lihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil
penelitian, dari 4 kategori kondisi terumbu karang ditemukan 3 kategori yang
terdapat di lokasi penelitian, yakni kondisi sedang, baik dan sangat baik
dengan nilai presentase tutupan komunitas karang di lokasi penelitian berkisar
dari 27,71%-79,22%.

2. Kondisi Terumbu Karang

Kondisi sedang terdapat di 3 stasiun (Gambar 2) yakni terdapat pada lokasi


Sebanjar, Malal dan Reta yang terletak stasiun 1, 6 dan 7, dengan nilai kisaran
27,71% - 47,19%. Nilai tutupan terendah berada di stasiun 7 (Reta) dengan nilai
kisaran 27,71%, yang tediri dari 10,71% karang bercabang (Acropora) dan karang
keras lainnya (Non-Acropora) sebesar 17,0% dengan bentuk pertumbuhan karang
yakni Acropora Branching dan Branching. Sedangkan tutupan karang tertinggi di
stasiun 1 yakni Sebanjar dengan nilai persentase sebesar 47,19% dengan bentuk
pertumbuhan Branching dan Acropora Tabulate. Tutupan karang mati tertinggi di
stasiun Reta dan terendah di stasiun Sebanjar. Hal ini mengindikasikan bahwa
lokasi ini sering terjadi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan seperti bubu dan bahan peledak, hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Hartoni et al. (2012), bahwa praktek penangkapan ikan dengan
pengeboman adalah penyebab utama degradasi terumbu karang. Patahan karang
yang dihasilkan oleh aktivitas penangkapan ikan tersebut tidak dapat bertahan
hidup dan dapat mengambat pertumbuhan karang baru

Dari 5 wilayah yang diidentifikasi untuk kondisi terumbu karang masing-


masing wilayah memiliki tingkat kerusakan yang berbeda-beda tergantung dari
beberapa hal yang mempenagruhi sebgaian besar tingkat kerusakan dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan akibat aktivitas manusia seperti pembuangan sampah di
laut, penangkapan ikan dengan menggunakan alat peledak, penginjakan terumbu
karang oleh wisatawan, hal ini yang dapat mempengaruhi kerusakan terumbu
karang.
Kerusakan karang diidentifikasi dengan observasi visual lalu didokumentasikan
dengan kamera. Jenis kerusakan yang dapat diamati dengan metodi ini terbatas
pada kerusakan fisik berupa patah atau tergerusnya bagian-bagian tertentu dari
karang serta kerusakan berupa pemutihan karang dimana tampak dengan jelas
perubahan/perbedaan warna karang pada bagian tertentu dengan warna karang
sejenis atau p ada terumbu yang sama yang masih normal/sehat.
Kerentanan merupakan ukuran tinggi atau rendahnya kemampuan organisme
untuk dapat menjalankan fungsinya. Semakin tinggi tingkat kerentanan maka
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme akan mengarah pada kondisi
ketidakstabilan organisme dalam menjalankan fungsinya, dan sebaliknya.
Kerentanan terumbu karang dapat memberikan ukuran kualitas kesehatan terumbu
karang. Semakin tinggi tingkat kerentanan terumbu karang, maka kualitas
kesehatan terumbu karang dikategorikan dalam kondisi buruk, dan semakin
rendah tingkat kerentanan terumbu karang maka kualitas terumbu karang
dikatakan baik.

4.Kesimpulan
Kerusakan terumbu karang di wilayah ini disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya yaitu alamiah dan kegiatan manusia. Kerusakan yang diakibatkan oleh
alam yaitu seperti meningkatnya suhu permukaan laut akibat adanya perubahan
iklim kondisi oseanografi perairan juga mempengaruhi, di mana arus berperan
dalam perpindahan partikelpartikel yang ada di kolom air (Maharani et al., 2018),
salah satunya sedimen. Pembangunan dermaga yang di mana dalam prosesnya
dilakukan pengerukan berpotensi menyebabkan terjadinya sedimentasi yang dapat
menganggu kehidupan terumbu karang. Penyebab kerusakan terumbu karang
berikutnya adalah aktivitas manusia baik yang mempengaruhi secara langsung
maupun tidak langsung seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak, bahan beracun, pencongkelan dan penggalian karang

5.Daftar Pustaka
Aziz Salam, Dodo Sahputra dan Veggy Arman. Kerusakan Karang di Perairan Pantai
Molotabu Provinsi Gorontalo. . Volume 1, Nomor 1
Imanuel Lamma Wabang. Kondisi Terumbu KARANG DI KAWASAN SUAKA ALAM
PERAIRAN SELAT PANTAR DAN LAUT SEKITARNYA DI KABUPATEN ALOR
Yusuf Arief Nurrahman1 , dan Ibnu Faiza. 2020. Kondisi Tutupan Terumbu Karang Di
Pulau Panjang Taman NasionalL Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Vol. 5 No. 1

Anda mungkin juga menyukai