H041171003
PENGERTIAN WILAYAH
PESISIR
PENGERTIAN WILAYAH PESISIR
Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian,
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut (Kismartini dan Burhan,
2019).
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan
laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun
yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang
surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang
dipengeruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya
air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen,
2001).
BATAS WILAYAH
PESISIR INDONESIA
BATAS WILAYAH PESISIR INDONESIA
Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah di mana
daratan berbatasan dengan laut. Batas ke arah darat meliputi :
(1) secara ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses- proses kelautan
seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut; (Kismartini dan Burhan, 2019).
(2) secara administrasi: batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitive
secara arbiter 2 km dari garis pantai (Kismartini dan Burhan, 2019).
Adapun batas ke arah laut meliputi :
(1) secara ekologis: kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di
daratan seperti sedimentasi, dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah
laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan; (Kismartini dan
Burhan, 2019).
(2) secara administrasi: batas 4 mil dari garis pantai ke arah laut (Kismartini dan Burhan,
2019).
Perbandingan Batas Wilayah
Pesisir Indonesia dan Negara Lain
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Quennsland Australia
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Quennsland Australia batas wilayah
pesisirnya adalah; ke arah darat sejauh 400 m dari garis rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 3 mil dari Garis
Dasar/Coastal Baseline.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Washington State
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Washington State batas wilayah pesisirnya
adalah; ke arah darat sejauh 61 m dan ke arah lautnya sejauh 3 mil dari Garis Dasar/Coastal Baseline.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Spanyol
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Spanyol batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 500 m dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 12 mil.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Brazil
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Brazil batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 2 km dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 12 km dari rata-rata pasang tinggi.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir China
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara China batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 10 km dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh sampai kedalaman 15 meter.
Struktur atau Keterkaitan Komponen atau Ekosistem
di Wilayah Pesisir
Hubungan Keterkaitan Ekologi dari Ekosistem
Mangrove, Lamun, dan Terumbu Karang
Proses-proses kimiawi yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem
lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar proses kimiawi dalam ekosistem
mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini
diantaranya adalah kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation. Konsentrasi
nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove termasuk ekosistem yang seimbang karena
sangat efektif dalam menyimpan (sink) nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer
unsur hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses mineralisasi oleh bakteri.
Faktor fisik dan kimiawi dari mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak dapat
diakumulasi secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida yang stabil dalam kondisi anoksik
mengurangi bioavailabilitas dari logam trace dalam sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan
terendap dalam ikatan fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol polusi logam
berat di daerah tropis. Kemampuan mangrove untuk mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah
satu contoh dari bentuk keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang bersifat
toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi logam berat yang terbawa oleh aliran air
dan partikel tersuspensi oleh mangrove akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang.
LANJUTAN
Namun, jika ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang juga akan
terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan
fisiologis dalam jaringan tubuh organisme laut. Hal ini akan mendorong munculnya penyakit yang cepat atau lambat
dapat memusnahkan komunitas lamun dan terumbu karang. Para peneliti biologi laut memperkirakan bahwa komunitas
lamun yang hilang dari pesisir pantai tersebut tidak akan pernah dapat kembali lagi (Harald Asmus dan Raghnild Asmus
2006).
Proses transfer nutrien dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan
menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di antara ekosistem yang ada di daerah
pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih
dahulu sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove gugur dari pohon dan jatuh di
permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang
becek dan lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Proses
dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat
yang lebih mudah dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini
dikenal sebagai POM (Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih
sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit
feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter
feeder).
Keterkaitan Ekosistem secara Ekologis
Terumbu karang secara ekologis mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan
serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena
terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan 18 lautan.
Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di sekitar
padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem
terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti:
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan perhubungan laut.
Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun mempunyai keterkaitan ekologis
(hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik,
maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu
ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Yang jelas
interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta
sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan.
Permasalahan dan Solusi Ekosistem
Terumbu Karang, Ekosistem Lamun,
dan Ekosistem Mangrove
TERUMBU KARANG
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di dasar
laut tropis dibangun terutama oleh biota penghasil
kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga
berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di
dasar lainnya, seperti jenis jenis moluska, crustacea,
echinodermata, polychaeta, porifera dan tinucata serta
biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya
termasuk jenis-jenis plankton dan jenis jenis ikan
lainnya. Terumbu karang merupakan sumberdaya alam
penting di Indonesia. Terumbu karang di Indonesia
menempati luas hingga 7500 km² dari luas perairan
Indonesia. Luasan ini termasuk di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 7,1 juta Km². Luasan terumbu
karang ini tersebut tercatat sekitar 71% yang sudah
rusak, sedangkan yang masih baik berkisar 22,5%, dan
sangat baik 6,5% (Darmawan, 2010).
PERMASALAHAN
TERUMBU KARANG
a. Jangkar
Pesisir merupakan tempat
habitat sebagian besar terumbu
karang. Akan tetapi, pesisir juga
merupakan tempat pelabuhan
kapal-kapal nelayan. Buangan
jangkar yang dilakukan oleh
awak-awak kapal pada pesisir
pantai secara tidak sengaja akan
merusak terumbu karang yang
berada di bawahnya.
b. Pengambilan oleh Wisatawan
Eutrofikasi merupakan
pencemaran air yang disebabkan oleh
munculnya nutrient yang berlebihan
ke dalam ekosistem air. Eutrofikasi
akan mengakibatkan pertumbuhan
alga yang sangat cepat yang disebut
juga blooming algae. Hal ini dapat
merusak padang lamun karena akan
menghalangi intensitas cahaya yang
masuk ke perairan. Kurangnya cahaya
yang masuk akan mengakibatkan
lamun tidak dapat berfotosinteis.
c. Pencemaran Air Laut
Pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land
based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based).
Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari
berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah
rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, etc.
Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat
sungai-sungai atau limpasan (runoff) yang membawah
limbah terutama logam berat dan senyawa
organolokrin. Berikut ini merupakan gambar
pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land
based). Pencemaran dari kegiatan di laut dapat
terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik
dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran,
atau debalasting muatan kapal tanker. Hal ini dapat
merusak lamun. Berikut ini merupakan gambar
pencemaran dari kegiatan di laut.
d. Sedimentasi
Penetapan prioritas pada level ini, di dasarkan pada alternatif terbaik yang ingin
dicapai dalam pengelolaan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun secara
berkelanjutan. Berdasarkan penilaian, urutan utama prioritas kegiatan wisata
bahari di Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun dikembangkan berbasis
konservasi; prioritas kedua, kegiatan wisata bahari dikembangkan bersama
perikanan budidaya laut (KJA) dan perikanan tangkap (fishing ground); prioritas
ketiga adalah, kegiatan wisata bahari dikembangkan bersama kegiatan budidaya
laut (KJA); dan prioritas terakhir yakni, kegiatan wisata bahari dikembangkan
bersama kegiatan perikanan tangkap (fishing ground). Penentuan rangking
alternatif dilakukan dengan cara menentukan eigenvalue (eigenvector) masing-
masing alternatif (Marasabessy, dkk., 2018).
1. Pengelolaan Pariwisata Bahari
Pengelolaan dan pengembangan pesisir dan laut di Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun sebagai kawasan wisata bahari
harus dilihat sebagai salah satu gerakan untuk “mengubah perilaku” semua pihak, baik masyarakat, pelaku usaha/swasta
(pemilik resort/villa dan biro perjalanan) dan pemerintah daerah. Dalam konteks ini adalah perubahan mindset serta
tindakan dari kegiatan yang merusak menjadi ke arah yang lebih positif. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan yaitu: 1).
Pendekatan pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable turism approach) yaitu, area wisata ditetapkan berdasarkan
kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan. Wisatawan murni hanya melakukan aktivitas berwisata saja selama ada di
pulau, fasilitas tempat tinggal, makan dan hiburan lainnya dilakukan pada maindland, sehingga dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan masyarakat Negeri Sawai dan wisatawan yang berkunjung dengan baik dan tetap menjaga kelestarian daerah
tujuan wisata yang dikunjungi. Gladstone et al., (2013), menjelaskan, pembangunan infrastruktur pendukung ekowisata yang
di bangun pada kawasan pesisir dan pulau kecil secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan
ekosistem pesisir dan laut. 2). Pendekatan pemberdayaan masyarakat (community empowerment approach) yakni,
masyarakat Negeri Sawai ditempatkan sebagai subjek untuk mengelola potensi wisata bahari di kedua pulau, dengan
menyesuaikan pada karakter sosial, budaya dan ekonomi di wilayah tersebut. Pendekatan ini perlu dilakukan, karena
masyarakat lokal di kawasan kedua pulau adalah pihak yang paling memahami kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Keterlibatan masyarakat Negeri Sawai sejak awal untuk menghasilkan kesesuaian program dengan menampung aspirasi yang
berkembang sesuai kebutuhan serta menjamin komitmen masyarakat sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang kuat; 3)
Pendekatan ekowisata (ecoturism approach) yakni, bentuk pengelolaan suatu kawasan yang masih alami dengan beragam
potensi untuk dijadikan destinasi wisata berdasarkan prinsip pelestarian sumber daya alam dan ekosistem dalam kawasan
tersebut, mampu membuka akses jejaring ekonomi, sosial dan budaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat lokal di sekitar kawasan (Marasabessy, dkk., 2018).
2. Pengelolaan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA)
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha KJA lokal diketahui usaha budidaya KJA belum dapat
berjalan dengan baik, karena masih rendahnya pengetahuan secara teknik budidaya laut sistem KJA,
kurangnya sosialisasi kegiatan KJA yang efektif dan konstruktif berdasarkan kesesuaian perairan dan
daya dukung kawasan oleh pemerintah daerah. Hal lain adalah, adanya kesulitan mendapatkan bibit
ikan yang berkualitas, sulitnya penanganan pasca panen dan sulitnya pemasaran bagi produksi yang
dihasilkan. Walaupun secara fisika dan kimia oseanografi perairan kedua pulau ini sangat sesuai untuk
kegiatan budidaya sistem KJA. Pendekatan keberlanjutan ekosistem pada kegiatan ini ialah; pada
kawasan tertentu dilakukan pengaturan letak dan posisi unit KJA agar tidak mengalami penumpukan.
Kedalaman perairan merupakan faktor pembatas yang paling berpengaruh pada budidaya KJA di
kawasan ini, hal tersebut dikarenakan kondisi topografi dasar laut yang bervariasi (slope, flate, crest
dan lagoon), sehingga mempengaruhi letak/tempat pemasangan KJA. Upaya untuk mengefektifkan
kegiatan budidaya pada kawasan ini, dilakukan dengan pembagian zona berdasarkan kesesuaian fisik
perairan dan daya dukung kawasan dalam menampung aktivitas tersebut. Pada lokasi perairan yang
lebih dalam hanya dijadikan zona buffering (penyangga), dengan tujuan agar meminimalisasi
kematian ikan akibat adanya pencemaran dari satu unit KJA ke unit KJA yang lain (Marasabessy, dkk.,
2018).
LANJUTAN
Budidaya ikan kerapu memerlukan kualitas air dan kondisi oseanografi yang
optimal. Pencemaran yang disebabkan pada lokasi unit KJA terjadi karena pengaturan
pemberian pakan dan perawatan jaring keramba yang tidak sesuai. Penempatan
posisi rumah jaga pada dasarnya berfungsi sebagai tempat pemantauan (control)
aktivitas ikan dan kondisi perairan. Selain itu fungsi rumah jaga turut berperan dalam
kegiatan perawatan budidaya. Posisi dan letak yang salah dapat mempengaruhi
kesehatan dan kualitas air dari ikan yang di budidayakan. Fungsi rumah jaga lainnya
adalah sebagai tempat menjemur jaring KJA yang telah berlumut dan setelah itu
dilakukan pencucian menggunakan compressor dengan cara penyemprotan hingga
permukaan jaring menjadi bersih. Aktivitas ini jika terus-menerus dilakukan di sekitar
unit KJA dengan jarak yang dekat maka akan menyebabkan pencemaran akibat
limbah/kotoran sisa pencucian jaring dapat kembali masuk ke dalam unit KJA yang
lain. Oleh karena itu perlu diatur posisi letak KJA yang efektif antar unit dalam suatu
kawasan (Marasabessy, dkk., 2018).
LANJUTAN 2
Menurut Dahuri et al., (2008) kemampuan teknologi budidaya (mencakup
pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan, pemeliharaan larva,
pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, manajemen pemberian
pakan dan manajemen kesehatan ikan) pada sebagian besar masyarakat
pesisir dan pulaupulau kecil masih rendah. Keadaan ini diduga terjadi karena
kegiatan budidaya tidak dapat terlepas dari perubahan budaya masyarakat
lokal Negeri Sawai yang pada awalnya sebagai nelayan tangkap, kemudian
menjadi petani ikan di kegiatan budidaya. Untuk itu salah satu upaya untuk
mendukung kegiatan budidaya di kawasan ini adalah dengan melakukan
pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia mencakup pola hidup, keterampilan terapan untuk mendukung usaha
seperti budidaya, penangkapan dan pengolahan, keterampilan manajerial dan
pemasaran, serta peningkatan pemahaman atas pelestarian lingkungan.
3. Pengelolaan Perikanan Demersal
Beberapa pendekakatan yang dapat dilakukan dalam melakukan pengelolaan perikanan secara
berkelanjutan di kawasan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun adalah: 1). Pengelolaan
perikanan tangkap melalui pendekatan pengaturan musim penangkapan ikan pada waktu-
waktu ikan memijah dan berkembang dengan melakukan sasi laut (kearifan lokal). Hal ini
memerlukan dukungan semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat nelayan (Marasabessy
et al., 2018). Ada dua bentuk pengaturan musim penangkapan ikan. Pertama, menutup musim
penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan dapat memijah dan
berkembang. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan ikan karena sumber daya ikan telah
mengalami degradasi, dan ikan yang ditangkap semakin sedikit (Beddington dan Retting, 1983;
Nikijuluw, 2002); 2). Secara umum alat tangkap yang dipakai oleh nelayan sekitar kedua pulau
adalah alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu pancing ulur dan pancing tegak. Walaupun
demikian jumlah armada penangkapan ikan yang banyak dan berasal dari Desa dan Dusun di
sekitar kedua pulau dapat menimbulkan kerentanan terhadap daya dukung penangkapan ikan.
LANJUTAN
KASIH