Anda di halaman 1dari 77

SITI NUR INDAH MELATI B.

H041171003
PENGERTIAN WILAYAH
PESISIR
PENGERTIAN WILAYAH PESISIR

Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian,
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut (Kismartini dan Burhan,
2019).
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan
laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun
yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang
surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang
dipengeruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya
air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen,
2001).
BATAS WILAYAH
PESISIR INDONESIA
BATAS WILAYAH PESISIR INDONESIA
Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah di mana
daratan berbatasan dengan laut. Batas ke arah darat meliputi :
(1) secara ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses- proses kelautan
seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut; (Kismartini dan Burhan, 2019).
(2) secara administrasi: batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitive
secara arbiter 2 km dari garis pantai (Kismartini dan Burhan, 2019).
Adapun batas ke arah laut meliputi :
(1) secara ekologis: kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di
daratan seperti sedimentasi, dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah
laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan; (Kismartini dan
Burhan, 2019).
(2) secara administrasi: batas 4 mil dari garis pantai ke arah laut (Kismartini dan Burhan,
2019).
Perbandingan Batas Wilayah
Pesisir Indonesia dan Negara Lain
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Quennsland Australia
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Quennsland Australia batas wilayah
pesisirnya adalah; ke arah darat sejauh 400 m dari garis rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 3 mil dari Garis
Dasar/Coastal Baseline.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Washington State
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Washington State batas wilayah pesisirnya
adalah; ke arah darat sejauh 61 m dan ke arah lautnya sejauh 3 mil dari Garis Dasar/Coastal Baseline.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Spanyol
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Spanyol batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 500 m dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 12 mil.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Brazil
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara Brazil batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 2 km dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh 12 km dari rata-rata pasang tinggi.
Perbandingan Batas Wilayah Pesisir Indonesia dan Perbandingan Batas Wilayah Pesisir China
Indonesia menetapkan batas wilayah pesisirnya adalah ke arah darat sejauh wilayah administrasi kecamatan yang
berbatasan dengan laut dan ke arah laut sejauh 12 mil. Sedangkan di negara China batas wilayah pesisirnya adalah; ke
arah darat sejauh 10 km dari rata-rata pasang tinggi dan ke arah lautnya sejauh sampai kedalaman 15 meter.
Struktur atau Keterkaitan Komponen atau Ekosistem
di Wilayah Pesisir
Hubungan Keterkaitan Ekologi dari Ekosistem
Mangrove, Lamun, dan Terumbu Karang

Tingginya kompleksitas ekosistem laut tropis,


baik di dalam maupun antar ekosistem,
membuat penelitian interaksi suatu kajian
yang sangat rumit dan dinamis. Oleh karena
itu, mekanisme yang pasti dalam interaksi
antara ketiga ekosistem ini masih terus
diteliti sampai saat ini. Menurut Ogden dan
Gladfelter (1983) interaksi rumit dalam
ekosistem laut tropis ke dalam lima kategori,
yaitu interaksi fisik, interaksi bahan organik
terlarut, interaksi bahan organik partikel,
interaksi migrasi biota dan interaksi dampak
manusia.
Ekosistem Mangrove Ekosistem Lamun

Ekosistem Terumbu Karang


. Keterkaitan Ekosistem secara
Fisik
Keterkaitan ekosistem secara fisik antara mangrove, lamun
dan terumbu karang berlangsung 2 arah, baik dari arah
darat menuju ke laut maupun dari laut menuju ke darat.
Pergerakan massa air dari darat atau laut merupakan faktor
fisik utama yang 15 mempengaruhi ekosistem di daerah
pesisir. Menurut Hogarth (2007) mangrove memiliki
kemampuan untuk menjebak zat hara, memerangkap
sedimen dan melindungi pantai dari hempasan gelombang
yang besar. Kemampuan ini berkaitan erat dengan uniknya
struktur akar yang dimiliki mengrove. Bentuk akar yang
bercabang-cabang dengan struktur yang rumit dan
kompleks menyebabkan mangrove memiliki kemampuan
membentuk daratan baru dari sedimen yang masuk ke
daerah pesisir melalui sungai.
Keterkaitan Ekosistem secara
Biologis
Penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan apakah daerah mangrove dan lamun benar-benar
secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan karang untuk membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah
hanya sebagai tempat alternatif (fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 jenis
biotope (habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang ditumbuhi komunitas
mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi mangrove (tanpa mangrove), daerah
berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun dan mangrove serta daerah berlumpur di teluk yang tidak
ditumbuhi lamun dan mangrove (daerah kosong tanpa vegetasi).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Nagelkerken et al (2000) melaporkan bahwa
beberapa spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove sebagai daerah asuhan tempat
membesarkan juvenile (nursery ground). Kelimpahan dan kekayaan jenis (species richness) tertinggi
ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove. Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menciptakan suatu variasi
habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh tepi
(edge effect) seperti tampak pada penelitian Nagelkerken et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan
daerah tepi yang saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar spesies
sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut.
Keterkaitan Ekosistem
secara Kimiawi

Proses-proses kimiawi yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem
lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar proses kimiawi dalam ekosistem
mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini
diantaranya adalah kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation. Konsentrasi
nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove termasuk ekosistem yang seimbang karena
sangat efektif dalam menyimpan (sink) nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer
unsur hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses mineralisasi oleh bakteri.
Faktor fisik dan kimiawi dari mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak dapat
diakumulasi secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida yang stabil dalam kondisi anoksik
mengurangi bioavailabilitas dari logam trace dalam sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan
terendap dalam ikatan fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol polusi logam
berat di daerah tropis. Kemampuan mangrove untuk mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah
satu contoh dari bentuk keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang bersifat
toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi logam berat yang terbawa oleh aliran air
dan partikel tersuspensi oleh mangrove akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang.
LANJUTAN
Namun, jika ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang juga akan
terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan
fisiologis dalam jaringan tubuh organisme laut. Hal ini akan mendorong munculnya penyakit yang cepat atau lambat
dapat memusnahkan komunitas lamun dan terumbu karang. Para peneliti biologi laut memperkirakan bahwa komunitas
lamun yang hilang dari pesisir pantai tersebut tidak akan pernah dapat kembali lagi (Harald Asmus dan Raghnild Asmus
2006).
Proses transfer nutrien dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan
menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di antara ekosistem yang ada di daerah
pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih
dahulu sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove gugur dari pohon dan jatuh di
permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang
becek dan lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Proses
dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat
yang lebih mudah dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini
dikenal sebagai POM (Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih
sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit
feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter
feeder).
Keterkaitan Ekosistem secara Ekologis
Terumbu karang secara ekologis mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan
serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena
terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan 18 lautan.
Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di sekitar
padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem
terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti:
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan perhubungan laut.
Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun mempunyai keterkaitan ekologis
(hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik,
maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu
ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Yang jelas
interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta
sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan.
Permasalahan dan Solusi Ekosistem
Terumbu Karang, Ekosistem Lamun,
dan Ekosistem Mangrove
TERUMBU KARANG
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di dasar
laut tropis dibangun terutama oleh biota penghasil
kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga
berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di
dasar lainnya, seperti jenis jenis moluska, crustacea,
echinodermata, polychaeta, porifera dan tinucata serta
biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya
termasuk jenis-jenis plankton dan jenis jenis ikan
lainnya. Terumbu karang merupakan sumberdaya alam
penting di Indonesia. Terumbu karang di Indonesia
menempati luas hingga 7500 km² dari luas perairan
Indonesia. Luasan ini termasuk di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 7,1 juta Km². Luasan terumbu
karang ini tersebut tercatat sekitar 71% yang sudah
rusak, sedangkan yang masih baik berkisar 22,5%, dan
sangat baik 6,5% (Darmawan, 2010).
PERMASALAHAN
TERUMBU KARANG

a. Jangkar
Pesisir merupakan tempat
habitat sebagian besar terumbu
karang. Akan tetapi, pesisir juga
merupakan tempat pelabuhan
kapal-kapal nelayan. Buangan
jangkar yang dilakukan oleh
awak-awak kapal pada pesisir
pantai secara tidak sengaja akan
merusak terumbu karang yang
berada di bawahnya.
b. Pengambilan oleh Wisatawan

Terumbu karang sangat indah


sekali, sehingga memikat hati para
penyelam. Namun, tidak sedikit dari
penyelam mengambil biota laut
tersebut sebagai hiasan, oleh-oleh,
bahkan dijadikan sebagai barang
dagang. Hal itu dapat mengurangi
terumbu karang dan mengakibatkan
punahnya terumbu karang.
c. Sampah
Membuang sampah ke laut dan
pantai dapat mencemari air laut.
Bahan kimia yang terkandung
dalam sampah, misalnya sampah
plastik dapat mengganggu
ekosistem air laut sehingga biota
laut akan terganggu dan akan
mengalami kerusakan pada
ekosistem air laut, dengan begitu
maka biota laut seperti terumbu
karanga akan mengalami kesulitan
untuk berkembang.
d. Pengumpulan dan Pengerukan

Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan bak


konstruksi atau dijual untuk cindera mata juga merusak
terumbu karang. Demikian pula, pengerukan dan
pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu
karang.
e. Pemanasan Global
Terumbu karang juga terancam oleh
pemanasan global. Pemutihan terumbu karang
meningkat selama dua dekade terakhir, masa
dimana bumi mengalami beberapa kali suhu
terpanas dalam sejarah. Ketika suhu laut
meningkat sangat tinggi, polip karang kehilangan
algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah
warna mereka menjadi putih dan akhirnya mati.
Pemanasan global juga mengakibatkan cuaca
ekstrim sukar diperkirakan seperti badai tropis
yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik
ekosistem terumbu karang yang sangat besar.
Meningkatnya permukaan laut juga menjadi
ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-
pulau kecil.
F. Aliran Drainase

Aliran drainase yang mengandung pupuk dan


kotoran yang terbuang ke perairan pantai
mendorong pertumbuhan algae yang akan
menghambat pertumbuhan polip karang,
mengurangi asupan cahaya dan oksigen.
Penangkapan secara berlebihan membuat masalah
ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya
makan algae juga ikut tertangkap.
g. Penambangan
Penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman di
pesisir juga merusak terumbu karang. Limbah dan polusi dari pemukiman penduduk
secara tidak langsung dapat menghancurkan terumbu karang.
h. Pupuk Pestisida
Penggunaan pupuk dan pestisida buatan pada lahan pertanian juga merusak
terumbu karang di lautan. Walaupun jarak lahan pertanian dengan bibir pantai
sangat jauh, residu kimia dari pupuk dan pestisida buatan pada akhirnya akan
terbuang ke laut melalui air hujan yang jatuh di lahan pertanian.
i. Pengelolaan Tempat Rekreasi
Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan
lingkungan, seperti penyewaan kapal, peralatan pemancingan dan penyelaman
seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar ke karang
dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang
mengambil, mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang
terjadinya kerusakan terumbu karang.
j. Penangkapan dengan Bahan
Peledak
Penggunaan bahan peledak
untuk penangkapan ikan oleh
nelayan akan mengakibatkan
penangkapan ikan secara
berlebihan, sehingga
menyebabkan tangkapan ikan
akan berkurang dimasa
berikutnya. Penggunaan kalium
Nitrat (sejenis pupuk) sebagai
bahan peledak akan
mengakibatkan ledakan yang
besar, sehingga membunuh ikan
dan merusak karang di sekitarnya.
k. Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai,


penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai atapun
penebangan hutan tropis menyebabkan tanah hutan
mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan
terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-
pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih
lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena
kurangnya cahaya.
l. PenangkapaIkan dengan
Sianida
Kapal-kapal penangkap ikan
seringkali menggunakan sianida dan
racun-racun lain untuk menangkap
ikan-ikan tropis untuk akuarium dan
sekarang digunakan untuk
menangkap ikan-ikan yang akan di
konsumsi di restoran-restoran yang
memakai ikan hidup. Sianida ini tidak
hanya dapat membunuh ikan tetapi
juga dapat mematikan terumbu
karang.
m. Pencemaran Air

Produk-produk minyak bumi


dan kimia lain yang dibuang di
dekat perairan pantai, pada
akhirnya akan mencapai
terumbu karang. Bahan-bahan
pencemar ini akan meracuni
polip karang dan biota laut
lainnya.
n. Penebangan Hutan Mangrove

Hutan mangrove dan padang lamun


yang berfungsi sebagai penyaring juga
menjadi rusak dan menyebabkan sedimen
dapat mencapai terumbu karang.
Penebangan hutan mangrove untuk
keperluan kayu bakar dapat merubah area
hutan mangrove untuk keperluan kayu
bakar, dapat merubah area hutan mangrove
tersebut menjadi pantai terbuka. Dengan
membuka tambak-tambak udang dapat
merusak tempat penyediaan udang alami.
Solusi Permasalahan
Ekosistem Terumbu
Karang
1. Peningkatan Kesadaran dan
Partisipasi Masyarakat.

Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat adalah upaya untuk


meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan pentingnya peranan
terumbu karang dan mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif dan
bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang
secara lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan
penting terumbu karang, seperti sebagai tempat pengembangan wisata
bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan makanan dan lain-lain.
Penting juga untuk menanamkan arti dan manfaat terumbu karang bagi
kelangsungan hidup masyarakat pesisir sejak masa kanak-kanak.
2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat

a. Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif


seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang
akan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Pembinaan
ini disertai dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui
berbagai sistem yang telah ada dan tidak membebani masyarakat.
b. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara
lestari.
3. Pengembangan Kelembagaan

a. Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam


penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan, aparat
keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati lingkungan.

b. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai


pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi
terumbu karang.
4. Penelitian, Monitoring dan
Evaluasi

Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara


langsung berhubungan dengan terumbu karang. Dalam
kaitan ini akan dibentuk sistem jaringan pemantauan dan
informasi terumbu karang dengan membangun simpul-
simpul di beberapa propinsi. Kegiatan ini akan diawasi
langsung oleh LIPI yang telah memiliki stasiun-stasiun di
beberapa tempat, seperti: Biak, Ambon dan Lombok.
5. Penegakan Hukum
Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci
yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi
dan pengelolaan terumbu karang. Masyarakat memegang peranan penting
dalam mencapai tujuan komponen penegakan hukum. Salah satu peranan
masyarakat dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah
sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana mereka
berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak hukum mengenai
pelanggaran yang merusak terumbu karang di daerahnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki status terumbu karang
yang terancam punah. Untk itu, maka harus ada upaya untuk pemulihan
terumbu karang tersebut. Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan
upaya yang paling sulit untuk dilakukan, serta memakan biaya tinggi dan
waktu yang cukup lama.
Upaya Pemulihan Ekosistem
Termbu Karang
A. Zonasi
Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir yang sudah rusak. Pada
prinsipnya wilayah pesisir dipetakan untuk kemudian direncanakan strategi pemulihan dan prioritas
pemulihan yang diharapkan. Pembagian zonasi pesisir dapat berupa zona penangkapan ikan, zona
konservasi ataupun lainnya sesuai dengan kebutuhan/pemanfaatan wilayah tersebut, disertai dengan zona
penyangga karena sulit untuk membatasi zona-zona yang telah ditetapkan di laut. Ekosistem terumbu
karang dapat dipulihkan dengan memasukkannya ke dalam zona konservasi yang tidak dapat diganggu oleh
aktivitas masyarakat sehingga dapat tumbuh dan pulih secara alami.
B. Rehabilitasi
Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi aktif, seperti
meningkatkan populasi karang, mengurangi alga yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan karang.
B.1 Meningkatkan Populasi Karang
B.2 Mengurangi Alga Hidup yang Bebas
B.3 Meningkatkan Ikan-Ikan Karang
Ekosistem Lamun

Ekosistem padang lamun merupakan


ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh
lamun sebagai vegetasi yang dominan
serta mampu hidup secara permanen
di bawah permukaan air laut.
Ekosistem padang lamun merupakan
suatu ekosistem yang kompleks dan
mempunyai fungsi dan manfaat yang
sangat panting bagi perairan wilayah
pesisir. Padang lamun di daerah tropis
merupakan ekosistem alam yang paling
produktif (Tangke, 2010).
Permasalahan Ekosistem Lamun
a. Gangguan Alam
Fenomena alam seperti tsunami, letusan gunung api, siklon, dapat
menimbulkan kerusakan pantai, termasuk juga terhadap padang lamun.
Tsunami yang dipicu oleh gempa bawah laut dapat menimbulkan gelombang
dahsyat yang menghantam dan memorak-perandakan lingkungan pantai,
seperti terjadi dalam tsunami Aceh (2004).
Gempa bumi, seperti gempa bumi Nias (2005) mengangkat sebagian
dasar laut hingga terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian
lainnya lebih dalam. Debu letusan gunung api seperti letusan Gunung
Tambora (1815) dan Krakatau (1883) menyelimuti perairan pantai sekitarnya
dengan debu tebal, hingga melenyapkan padang lamun di sekitarnya.
b. Eutrofikasi

Eutrofikasi merupakan
pencemaran air yang disebabkan oleh
munculnya nutrient yang berlebihan
ke dalam ekosistem air. Eutrofikasi
akan mengakibatkan pertumbuhan
alga yang sangat cepat yang disebut
juga blooming algae. Hal ini dapat
merusak padang lamun karena akan
menghalangi intensitas cahaya yang
masuk ke perairan. Kurangnya cahaya
yang masuk akan mengakibatkan
lamun tidak dapat berfotosinteis.
c. Pencemaran Air Laut
Pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land
based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based).
Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari
berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah
rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, etc.
Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat
sungai-sungai atau limpasan (runoff) yang membawah
limbah terutama logam berat dan senyawa
organolokrin. Berikut ini merupakan gambar
pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land
based). Pencemaran dari kegiatan di laut dapat
terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik
dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran,
atau debalasting muatan kapal tanker. Hal ini dapat
merusak lamun. Berikut ini merupakan gambar
pencemaran dari kegiatan di laut.
d. Sedimentasi

Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan


material. Sedimentasi disebabkan oleh pembalakan
hutan dan penebangan hutan mangrove yang
menimbulkan erosi dan mengangkut sedimen ke laut
melalui aliran air. Sedimentasi akan menyebabkan
meningkatnya kekeruhan air sehingga lamun bisa mati
dan bisa rusak karena tidak dapat berfotosintesis. Selain
itu sedimentasi juga dapat menutup padang lamun.
e. Reklamasi

Reklamasi merupakan kegiatan


pembangunan diwilayah pesisir yang
menutupi laut untuk pengadaan
atau pembuatan daratan. Kegiatan
reklamasi dapat merusak padang
lamun karena akan menutupi
padang lamun.
f. Penangkapan Ikan dengan Alat Tak Ramah
Lingkungan

Penangkapan ikan menggunakan


peledak dan racun bubuk dapat
merusak padang lamun. Hal ini karena
lamun merupakan daerah fishing
ground yang terdapat banyak ikan.
Peledak dan racun bubuk dilakukan
oleh nelayan - nelayan jahil yang tidak
memikirkan keberlanjutan sumber
daya alam terutama ekosistem padang
lamun. Contohnya yaitu kegiatan
pengangkapan ikan menggunakan
peledak.
g. Pengerukan

Pengerukan adalah pengambilan tanah atau


material dari lokasi di dasar air, biasanya perairan
dangkal seperti danau, sungai, muara ataupun laut
dangkal, dan memindahkan atau membuangnya ke
lokasi lain. Pengerukan juga disebut pengankatan
material atau substrat dasar. Pengerukan di laut dangkal
yang merupakan habitat lamun akan merusak lamun,
pasalnya pengerukan akan mengankat sustrat yang juga
akan mengangkat lamun. Pengerukan juga akan
meningkatkan kekeruhan. Pengerukan merupakan efek
dari pembangunan kawasan pesisir seperti
pembangunan pelabuhan. Laut yang dangkal akan
dikeruh untuk di tingkatkan kedalamannya.
Solusi Permasalahan Ekosistem
Lamun

a) Pengelolaan Berwawasan Lingkungan


Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan
laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam,
perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi
akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu
sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam
pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam
setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan
lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
b) Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah
comanagement (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang
bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan.Pengelolaan berbasis
masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai
kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu
mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan
hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhannya.
c) Pendekatan Kebijakan
Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun
memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan
berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini
mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta
merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang
lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan
wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu;
dan (4) keterpaduan stakeholders (pemakai).
d) Rehabilitasi Padang Lamun
Diperlukan tindakan rehabilitasi sumber daya hayati lamun
pada spesies Halophila spinulosa karena rendahnya
kerapatan spesies dan adanya aktivitas manusia yang
merusak komunitas lamun. Tindakan rehabilitasi berupa
pembentukan kelembagaan yang mengarah pada strategi
pengelolaan komunitas lamun secara tepat dan terpadu
dengan penekanan pada aspek social masyarakat,
pemberian penyuluhan kepada masyarakat serta
penanaman spesies lamun Halophila spinulosa. Selain itu
diperkukan upaya preservasi sumberdaya hayati lamun
pada spesies Cymodocea rotundata karena tingginya
kerapatan spesies dengan cara pengawetan spesies lamun
Cymodocea rotundata dan membiarkan populasinya tetap
seimbang menurut proses alami di habitatnya dan
menjaga keutuhannya agar tetap dalam keadaan asli.
d.1) Rehabilitasi Lunak

Rehabilitasi lunak bisa mencakup hal-hal sebagai berikut: (Tangke, 2010).


a) Kebijakan dan strategi pengelolaan.
b) Penyadaran masyarakat (Public awareness)
c) Pendidikan
d) Pengembangan riset
e) Mata pencaharian alternative
f) Pengikut sertaan masyarakat
g) Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary)
berbasis masyarakat
h) Peraturan perundangan
i) Penegakan hukum secara konsisten
d.2) Rehabilitasi Keras
Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di
lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau
dengan transplantasi lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Penanaman
lamun yang dikenal dengan "transplantasi" merupakan salah satu cara untuk
memperbaiki ataumengembalikan habitat yang telah mengalami kerusakan.
Pertama dimulai oleh Addy tahun 1947 pada jenis Zostera marina, Fuss & Kelly
pada jenis Thallasia testudinum dan Halodule wrightii (Phillips, 1974), dan jenis
Thallasia testudinum oleh Thorhaug (Thorhaug, 1974). Jenis lain yang sering
digunakan dalam transplantasi khususnya di luar negeri adalah jenis-jenis Zostera
marina, Halodule wrightii, Thalassia testudinum, Syringodium filiforme, dan Ruppia
maritima (Phillips, 1980). Sedangkan di Indonesia adalah jenis Cymodocea
rotundata dan Thalassia hemprichii (Azkab, 1987, 1988).
Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove (bakau)


adalah ekosistem yang berada di daerah
tepi pantai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut sehingga lantainya
selalu tergenang air. Ekosistem
mangrove berada di antara level pasang
naik tertinggi sampai level di sekitar atau
di atas permukaan laut rata-rata pada
daerah pantai yang terlindungi
(Supriharyono, 2009), dan menjadi
pendukung berbagai jasa ekosistem di
sepanjang garis pantai di kawasan tropis
(Donato, dkk., 2012).
Permasalahan Ekosistem
Mangrove

1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena


ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah
pesisir sangat tinggi.
2. Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan
(perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri,
wisata dan lain lain) tanpa mempertimbangkan kelestarian
dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Akibat Rusaknya Hutan
Mangrove
1. Instrusi Air Laut
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya produksi
tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut
dll.
7. Peningkatan pencemaran pantai.
Solusi Permasalahan Ekosistem
Mangrove
1. Penanaman Kembali Mangrove
Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat
dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis
konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang
kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat
diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa
wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove
secara bertanggungjawab.
4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove
8. Penegakan hukum
PENGELOLAAN TERPADU PULAU NUSA
MANU DAN PULAU NUSA LEUN
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut di pulau-pulau kecil (PPK) saat ini
merupakan permasalahan yang krusial. Secara umum PPK sangat
berpotensi mengalami kerusakan habitat, perubahan pada
proses alami ekosistem dan pencemaran. Secara khusus PPK juga
rentan terhadap bencana alam dan aktivitas manusia, seperti;
penambangan pasir dan praktik destructive fishing (penangkapan
ikan dengan racun dan bom ikan). Kerentanan PPK ini
disebabkan oleh lokasi terpencil, sumber daya yang terbatas,
ketergantungan yang tinggi pada barang impor, biaya transportasi
yang tinggi dan rawan terhadap bencana alam (Adrianto dan
Matsuda, 2002, MEA, 2005; Barrientos, 2010). Pengelolaan PPK
semakin kompleks seiring terjadinya konflik kepentingan secara
internal dalam masyarakat dan pada tingkatan pemerintahan
(Marasabessy, dkk., 2018).
PULAU NUSA MANU DAN NUSA
LEUN

Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun


yang merupakan representatif dari pulau-pulau
lain di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten
Maluku Tengah. Secara geografis kedua pulau
ini berbatasan; bagian Utara dengan Laut
Seram Utara, bagian Selatan dengan Negeri
Sawai, bagian Barat dengan Desa Saleman dan
bagian Timur dengan Desa Opin. Pulau Nusa Manu
dan Pulau Nusa Leun merupakan pulau-pulau kecil
dengan luas masing-masing sekitar 0.31 km2
dan 0.73 km2, berada di utara Pulau Seram, tidak
berpenduduk, hanya ditempati oleh beberapa
orang pengelola resort dan nelayan yang
singgah beristirahat sebentar menunggu
perjalanan pulang (Marasabessy, dkk., 2018).
Potensi Terumbu Karang
Terumbu karang di sekitar kedua pulau ini
termasuk yang paling luas dengan kerakteristik
terumbu karang yang melingkar mengelilingi
kedua pulau tersebut. Secara keseluruhan dari
hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tipe
terumbu karang di kedua pulau ini adalah
berbentuk (fringing reef), yaitu terumbu karang
tepi laut, tertambat di daratan, bentuk seperti
sabuk dan mempunyai lebar beberapa feet
(Shepard 1948). Jumlah total sebaran terumbu
karang pada perairan kedua pulau ini berdasrkan
analisis citra satelit untuk penutupan terumbu
karang sekitar 193 338 Ha, atau mengalami
penurunan luasan tutupan terumbu karang
sebesar 94,1 Ha pada kurun waktu 8 tahun dari
luas sebelumnya sebesar 278 340 Ha (Ayal 2009).
KARAKTERISTIK TERUMBU KARANG
POTENSI MANGROVE

Karakteristik Ekosistem Mangrove Pulau Nusa Manu dan Nusa Leun


Sebaran Mangrove
Jenis Mangrove yang Ditemui pada
Pulau Nusa Manu dan Nusa Leun
Kerapatan dan Penutupan
Pengelolaan Pulau Nusa Manu
dan Pulau Nusa Leun
Penyusunan AHP, dibuat berdasarkan pembagian peran dari masing-masing stakeholder
seperti; aktor kunci, membuat kriteria dan menetapkan alternatif pengelolaan yang tepat.
Pendekatan AHP, menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan Pulau Nusa Manu dan Pulau
Nusa Leun sebagai pulau kecil yang tidak berpenduduk dilakukan berdasarkan prioritas
peruntukan ruang aktivitas pada kedua pulau tersebut. Kedua pulau ini meskipun masuk
dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah namun dalam pengelolaannya sesuai otonomi
daerah dengan mengacu pada UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta
isu Nasional tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia, membuat hal ini tidak dapat
terlepas dari adanya dukungan (good political will) dari Pemerintah Pusat dengan kewenangan
pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi Maluku untuk melakukan
pemberdayaan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun sebagai pulau kecil tidak berpenduduk
(Marasabessy, dkk., 2018).
Struktur Hierarki Dalam
Penentuan Skala Prioritas
Pengelolaan Pulau Nusa Manu dan
Nusa Leun dengan pendekatan AHP,
melalui beberapa level tingkatan yakni,
level aktor, kriteria dan alternatif
Level Aktor
Dasar penetapan prioritas pada level aktor di disesuaikan pada pengaruh masing-masing aktor terhadap
pengelolaan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun secara berkelanjutan. Berdasarkan penilaian pada level
aktor, urutan prioritas aktor adalah pemerintah, sebagai penyelenggara kebijakan negara dalam perspektif
pengelolaan dan pengembangan pulau kecil untuk menjamin kehidupan seluruh masyarakat di sekitar kawasan,
kemudian level kedua adalah masyarakat lokal, sedangkan swasta (pengusaha wisata bahari dan plasma usaha
perikanan lokal) dan institusi non birokrasi (akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM dan pemerhati
lingkungan) memiliki nilai yang sama (Marasabessy, dkk., 2018).
Dalam proses pengelolaan gugusan pulaupulau kecil, khususnya di Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun,
peran pemerintah lebih penting dibanding ketiga aktor lainnya karena: (1) Pemerintah merupakan institusi
negara yang berkewajiban menjaga, mengelola dan melindungi seluruh sumber daya alam, membuat dan
menyelenggarakan kebijakan maritim secara nasional maupun regional di Maluku. Memberikan pengaruh
terhadap kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil dan mampu menciptakan pemanfaatan ruang laut dan pesisir
yang sesuai sehingga memberikan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha; (2) Pelaksana amanat UU
No.27 tahun 2007 jo UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan (3) Keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
yang di dalam struktur organisasinya terdapat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian
Kelautan dan Perikanan, merupakan institusi yang paling berkompeten untuk melakukan pengelolaan,
pemanfaatan, pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia termasuk Pulau Nusa
Manu dan Pulau Nusa Leun secara berkelanjutan (Marasabessy, dkk., 2018).
Level Kriteria
Kriteria pengelolaan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun ditetapkan berdasarkan pada tingkat
kepentingan masing-masing kriteria yang telah disusun dalam konteks pengelolaan kedua pulau secara
berkelanjutan. Berdasarkan penilaian tersebut, urutan prioritas kriteria adalah lingkungan, sosbud,
ekonomi dan politik. [Gambar 9]. Penentuan prioritas ini sesuai dengan hasil wawancara dan diskusi
mendalam dengan para stakeholder Negeri Sawai yakni Saniri Negeri (Pejabat Negeri, tokoh adat dan
agama, tokoh masyarakat), tokoh pemuda, nelayan (penangkap ikan, dan budidaya), pengusaha lokal
(plasama ikan dan pariwisata/swasta). Hasil yang diperoleh adalah, bahwa faktor lingkungan (ekologi)
pada kedua pulau memiliki prioritas paling tinggi dibanding ekonomi, sosial dan politik (Marasabessy,
dkk., 2018).
Secara umum, terdapat tiga wilayah atau zona yang harus ada di kawasan pulau-pulau kecil, yaitu:1).
Kawasan preservasi yang hanya diperuntukkan bagi kegiatan pendidikan dan penelitian; 2). Kawasan
konservasi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan secara terbatas; dan 3). Kawasan
pembangunan secara intensif. Keterkaitan ketiga wilayah tersebut harus disusun dalam rencana tata
ruang wilayah pulaupulau kecil sebagai infrastruktur pendukung dalam kebijakan pengelolaan kawasan
pulaupulau kecil. Bengen dan Retraubun (2006) menjelaskan prinsip pembangunan yang
menggabungkan kepentingan kualitas lingkungan alami dan kualitas pembangunan sosial budaya dan
ekonomi, akan berjalan baik dengan mengutamakan keterpaduan socioecologycal system secara
terintegrasi dalam kawasan pulau-pulau kecil.
Level Alternatif

Penetapan prioritas pada level ini, di dasarkan pada alternatif terbaik yang ingin
dicapai dalam pengelolaan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun secara
berkelanjutan. Berdasarkan penilaian, urutan utama prioritas kegiatan wisata
bahari di Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun dikembangkan berbasis
konservasi; prioritas kedua, kegiatan wisata bahari dikembangkan bersama
perikanan budidaya laut (KJA) dan perikanan tangkap (fishing ground); prioritas
ketiga adalah, kegiatan wisata bahari dikembangkan bersama kegiatan budidaya
laut (KJA); dan prioritas terakhir yakni, kegiatan wisata bahari dikembangkan
bersama kegiatan perikanan tangkap (fishing ground). Penentuan rangking
alternatif dilakukan dengan cara menentukan eigenvalue (eigenvector) masing-
masing alternatif (Marasabessy, dkk., 2018).
1. Pengelolaan Pariwisata Bahari
Pengelolaan dan pengembangan pesisir dan laut di Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun sebagai kawasan wisata bahari
harus dilihat sebagai salah satu gerakan untuk “mengubah perilaku” semua pihak, baik masyarakat, pelaku usaha/swasta
(pemilik resort/villa dan biro perjalanan) dan pemerintah daerah. Dalam konteks ini adalah perubahan mindset serta
tindakan dari kegiatan yang merusak menjadi ke arah yang lebih positif. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan yaitu: 1).
Pendekatan pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable turism approach) yaitu, area wisata ditetapkan berdasarkan
kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan. Wisatawan murni hanya melakukan aktivitas berwisata saja selama ada di
pulau, fasilitas tempat tinggal, makan dan hiburan lainnya dilakukan pada maindland, sehingga dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan masyarakat Negeri Sawai dan wisatawan yang berkunjung dengan baik dan tetap menjaga kelestarian daerah
tujuan wisata yang dikunjungi. Gladstone et al., (2013), menjelaskan, pembangunan infrastruktur pendukung ekowisata yang
di bangun pada kawasan pesisir dan pulau kecil secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan
ekosistem pesisir dan laut. 2). Pendekatan pemberdayaan masyarakat (community empowerment approach) yakni,
masyarakat Negeri Sawai ditempatkan sebagai subjek untuk mengelola potensi wisata bahari di kedua pulau, dengan
menyesuaikan pada karakter sosial, budaya dan ekonomi di wilayah tersebut. Pendekatan ini perlu dilakukan, karena
masyarakat lokal di kawasan kedua pulau adalah pihak yang paling memahami kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Keterlibatan masyarakat Negeri Sawai sejak awal untuk menghasilkan kesesuaian program dengan menampung aspirasi yang
berkembang sesuai kebutuhan serta menjamin komitmen masyarakat sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang kuat; 3)
Pendekatan ekowisata (ecoturism approach) yakni, bentuk pengelolaan suatu kawasan yang masih alami dengan beragam
potensi untuk dijadikan destinasi wisata berdasarkan prinsip pelestarian sumber daya alam dan ekosistem dalam kawasan
tersebut, mampu membuka akses jejaring ekonomi, sosial dan budaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat lokal di sekitar kawasan (Marasabessy, dkk., 2018).
2. Pengelolaan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha KJA lokal diketahui usaha budidaya KJA belum dapat
berjalan dengan baik, karena masih rendahnya pengetahuan secara teknik budidaya laut sistem KJA,
kurangnya sosialisasi kegiatan KJA yang efektif dan konstruktif berdasarkan kesesuaian perairan dan
daya dukung kawasan oleh pemerintah daerah. Hal lain adalah, adanya kesulitan mendapatkan bibit
ikan yang berkualitas, sulitnya penanganan pasca panen dan sulitnya pemasaran bagi produksi yang
dihasilkan. Walaupun secara fisika dan kimia oseanografi perairan kedua pulau ini sangat sesuai untuk
kegiatan budidaya sistem KJA. Pendekatan keberlanjutan ekosistem pada kegiatan ini ialah; pada
kawasan tertentu dilakukan pengaturan letak dan posisi unit KJA agar tidak mengalami penumpukan.
Kedalaman perairan merupakan faktor pembatas yang paling berpengaruh pada budidaya KJA di
kawasan ini, hal tersebut dikarenakan kondisi topografi dasar laut yang bervariasi (slope, flate, crest
dan lagoon), sehingga mempengaruhi letak/tempat pemasangan KJA. Upaya untuk mengefektifkan
kegiatan budidaya pada kawasan ini, dilakukan dengan pembagian zona berdasarkan kesesuaian fisik
perairan dan daya dukung kawasan dalam menampung aktivitas tersebut. Pada lokasi perairan yang
lebih dalam hanya dijadikan zona buffering (penyangga), dengan tujuan agar meminimalisasi
kematian ikan akibat adanya pencemaran dari satu unit KJA ke unit KJA yang lain (Marasabessy, dkk.,
2018).
LANJUTAN
Budidaya ikan kerapu memerlukan kualitas air dan kondisi oseanografi yang
optimal. Pencemaran yang disebabkan pada lokasi unit KJA terjadi karena pengaturan
pemberian pakan dan perawatan jaring keramba yang tidak sesuai. Penempatan
posisi rumah jaga pada dasarnya berfungsi sebagai tempat pemantauan (control)
aktivitas ikan dan kondisi perairan. Selain itu fungsi rumah jaga turut berperan dalam
kegiatan perawatan budidaya. Posisi dan letak yang salah dapat mempengaruhi
kesehatan dan kualitas air dari ikan yang di budidayakan. Fungsi rumah jaga lainnya
adalah sebagai tempat menjemur jaring KJA yang telah berlumut dan setelah itu
dilakukan pencucian menggunakan compressor dengan cara penyemprotan hingga
permukaan jaring menjadi bersih. Aktivitas ini jika terus-menerus dilakukan di sekitar
unit KJA dengan jarak yang dekat maka akan menyebabkan pencemaran akibat
limbah/kotoran sisa pencucian jaring dapat kembali masuk ke dalam unit KJA yang
lain. Oleh karena itu perlu diatur posisi letak KJA yang efektif antar unit dalam suatu
kawasan (Marasabessy, dkk., 2018).
LANJUTAN 2
Menurut Dahuri et al., (2008) kemampuan teknologi budidaya (mencakup
pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan, pemeliharaan larva,
pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, manajemen pemberian
pakan dan manajemen kesehatan ikan) pada sebagian besar masyarakat
pesisir dan pulaupulau kecil masih rendah. Keadaan ini diduga terjadi karena
kegiatan budidaya tidak dapat terlepas dari perubahan budaya masyarakat
lokal Negeri Sawai yang pada awalnya sebagai nelayan tangkap, kemudian
menjadi petani ikan di kegiatan budidaya. Untuk itu salah satu upaya untuk
mendukung kegiatan budidaya di kawasan ini adalah dengan melakukan
pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia mencakup pola hidup, keterampilan terapan untuk mendukung usaha
seperti budidaya, penangkapan dan pengolahan, keterampilan manajerial dan
pemasaran, serta peningkatan pemahaman atas pelestarian lingkungan.
3. Pengelolaan Perikanan Demersal

Beberapa pendekakatan yang dapat dilakukan dalam melakukan pengelolaan perikanan secara
berkelanjutan di kawasan Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun adalah: 1). Pengelolaan
perikanan tangkap melalui pendekatan pengaturan musim penangkapan ikan pada waktu-
waktu ikan memijah dan berkembang dengan melakukan sasi laut (kearifan lokal). Hal ini
memerlukan dukungan semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat nelayan (Marasabessy
et al., 2018). Ada dua bentuk pengaturan musim penangkapan ikan. Pertama, menutup musim
penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan dapat memijah dan
berkembang. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan ikan karena sumber daya ikan telah
mengalami degradasi, dan ikan yang ditangkap semakin sedikit (Beddington dan Retting, 1983;
Nikijuluw, 2002); 2). Secara umum alat tangkap yang dipakai oleh nelayan sekitar kedua pulau
adalah alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu pancing ulur dan pancing tegak. Walaupun
demikian jumlah armada penangkapan ikan yang banyak dan berasal dari Desa dan Dusun di
sekitar kedua pulau dapat menimbulkan kerentanan terhadap daya dukung penangkapan ikan.
LANJUTAN

Pengaturan dalam membatasi armada penangkapan perlu dilakukan pada kawasan


perairan kedua pulau, khususnya pada fishing ground yang berbatasan langsung
dengan aktivitas lain, seperti kegiatan ekowisata bahari (diving dan snorkeling) dan
kegiatan budidaya KJA. Pelarangan jenis alat tangkap yang destruktif dapat dilakukan
secara permanen, hal ini dilakukan untuk melindungi sumber daya ikan dengan
tujuan dapat menjamin kelangsungan usaha nelayan kecil/tradisional yang ada di
sekitar kawasan kedua pulau; 3). Pengendalian upaya penangkapan ikan dilakukan
untuk meningkatkan hasil tangkapan, kinerja ekonomi nelayan penangkap ikan
melalui pengurangan biaya dan penyesuaian kapasitas penangkapan ikan yang
berlebihan, selain itu dapat juga dilakukan melalui pengaturan perijinan
(Marasabessy, dkk., 2018).
LANJUTAN 2
Pengelolaan perikanan demersal perlu disesuaikan berdasarkan kegiatan
penangkapan ikan dari sebelumnya setiap hari selama satu bulan ke sistem kuota
kapal atau Vessel Quota Share (VQS), yaitu sebuah bentuk kegiatan penangkapan
ikan yang dapat berganti oleh setiap nelayan dengan melakukan registrasi terkait
dengan armada penangkapan ikan. Hal ini dilakukan agar dapat mengatur jumlah
hasil tangkapan ikan dengan harga pembelian yang sesuai melalui perijinan kapal
yang diatur secara berkala (Mortensen et al., 2018). Upaya strategis yang dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan nelayan tradisional di kawasan Pulau Nusa Manu
dan Pulau Nusa Leun sebagai berikut: 1). Pemberdayaan nelayan Negeri Sawai dan
sekitarnya dalam wadah koperasi; 2). Motorisasi nelayan tradisional; 3). Pola
kemitraan inti plasma; dan 4). Pengaturan zona penangkapan ikan untuk
meminimalisir konflik sosial antar nelayan dan menghindari kerusakan ekosistem
yang berakibat pada turunnya ketersediaan sumber daya ikan pada kawasan Pulau
Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun (Marasabessy, dkk., 2018).
TERIMA

KASIH

Anda mungkin juga menyukai