TONSILLOFARINGITIS TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tonsillofaringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.
Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis tonsillofaring
primer.
B. Penyebaran infeksi
1. Infeksi eksogen
Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman
melalui udara (droplet).
2. Infeksi endogen
Cara infeksi edogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris.
Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan
lesi sering ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding
lateral hipofaring, palatum molle dan palatum durum, kelenjar regional leher
membesar. Infeksi endogen juga daoat ditemukan melalui penyebaran secara
limfogen.
C. Gejala
Keadaan umum pasien buruk
Odinofagia
Disfagia
Anoreksia
Otalgia
Limfadenopati servikal
D. Diagnosis
1. Pemeriksaan sputum basil tahan asam
2. Foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru
3. Biopsi jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan serta
mencari kuman basil tahan asam di jaringan terinfeksi.
E. Pengobatan
Pengobatan untuk tonsillofaringitis tuberkulosis ini adalah sesuai dengan pengobatan
tuberkulosis paru.
Resimen Pengobatan Tuberkulosis
Kategori
Resimen Pengobatan
Pasien TB
TB paru BTA positif baru
(berat)
TB ekstra-paru (berat)
TB paru BTA negatif
Relaps
Kegagalan pengobatan
TB paru BTA negatif
TB ekstra-paru
TB kronis
BTA positif setelah pengobatan
ulang
2
3
Fase awal
Fase lannjutan
2 SHRZ
2 SHRZ
2 SHRZ
6 HE
4 HR
4 H3R3
2 SHZE / 1 HRZE
5 H3R3E3
2 SHZE / 1 HRZE
5 HRE
2 HRZ / 2 H3R3Z3
6 HE
2 HRZ / 2 H3R3Z3
2 HR/4H
Tidak dapat diaplikasikan
(mempertimbangkan penggunaan obatobatan lini kedua)
Dosis harian
Dosis berkala 3x
BB < 50 Kg
BB > 50 Kg
seminggu
Isoniazid
300 mg
400 mg
600 mg
Rifampisin
450 mg
600 mg
600 mg
Pirazinamid
1000 mg
2000 mg
23g
Streptomisin
750 mg
1000 mg
1000 mg
Etambutol
750 mg
1000 mg
1 1,5 g
Etionamid
500 mg
750 mg
Rifampisin
Streptomisin
Etambutol
B. Etiologi
Etiologi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor:
1.
Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2.
Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
3.
Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4.
C. Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekres dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis
sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi
disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang
disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun
sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan
kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin,
polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol
diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek
asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan
rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated)
seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor.
Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa
diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok,
polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vasomotor
yaitu:
1. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. Mengurangi peptide vasoaktif
4. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.
D. Gejala Klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus
atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat
rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur
oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena
asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang
jatuh ke tenggorok (post nasal drip).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan,
yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers). Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena
golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan
yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
E. Diagnosis
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi
5
dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol, tidak
rata. Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada
golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada
rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis
alergi. Test kulit (skin test) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar IgE
total dalam batas normal. Kadang kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung,
akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan
adanya sel neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin
tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
F. Diagnosis Banding
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi
G. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17
1. Menghindari penyebab atau pencetus (avoidance therapy)
2. Pengobatan konservatif (farmakoterapi):
6
a.
hidung
tersumbat.
Contohnya:
Pseudoephedrine
dan
c.
d.
Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray)
b.
c.
d.
e.
f.
H. Komplikasi
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah.
B. Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat
berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis.
Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi, yaitu:
1. Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella
Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung
manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara
lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus,
Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
2. Defisiensi Fe dan vitamin A
3. Infeksi sekunder: sinusitis kronis
4. Kelainan hormon: ketidakseimbangan hormon estrogen
5. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
6. Ketidakseimbangan otonom terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom
7. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
8. Herediter
9. Trauma dan supurasi di hidung dan sinus paranasal.
C. Patogenesis
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi
epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan
kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis
pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi
dua:
1. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
2. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase
alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan
kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi
konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses
autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi
hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan
efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi
gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan
keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik
untuk pertumbuhan kuman. Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu:
a. Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis
b. Silia hidung akan menghilang
c. Epitel hidung terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis
d. Kelenjar hidung mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.
D. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Keluhan penderita rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau,
9
sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh
kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara
dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan
yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang
mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa
hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi
krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.
Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan
Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat:
1. Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit
2. Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas
3. Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai
awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai
mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel
pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental.
Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar
rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi
dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh.
Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan
kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa
hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat
mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat
10
Transiluminasi
b.
c.
Pemeriksaan mikroorganisme
d.
e.
f.
Pemeriksaan Fe serum
g.
h.
E. Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah
rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan
sifilis.
F. Diagnosis Banding
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain:
1. Rinitis kronik TBC
2. Rinitis kronik lepra
3. Rinitis kronik sifilis
4. Rinitis sika
G. Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa perforasi septum, faringitis, sinusitis,
miasis hidung, hidung pelana.
11
H. Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan
lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan
lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah
pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan
demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat
diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.
1.
Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan
simptomatik.
2.
Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi antara lain untuk: menyempitkan rongga hidung
yang
lapang,
mengurangi
pengeringan
dan
pembentukan
krusta
dan
12