Anda di halaman 1dari 2

Sex Tourism

Sex tourism menurut UNWTO adalah suatu trip yang direncanakan oleh turis dengan
bertujuan untuk berhubungan seksual dengan orang yang ada di Negara tujuan. Pariwisata jenis
ini sebenarnya sudah muncul ketika perang dunia ke-2. Pada saat itu tentara-tentara dari luar
menginginkan leisure dan relaxation setelah berbulan-bulan di atas kapal. Sehingga, secara
intensional mereka mencari pekerja seks komersial untuk memuaskan keinginannya.
Tidak dipungkiri lagi bahwa sex tourism membawa banyak wisatawan untuk berkunjung
dan tentunya berujung kepada devisa. Amsterdam, dengan red light districtnya sebagai destinasi
seks utama, meraup keuntungan 1 miliar USD dan menyumbang lima persen kepada
perekonomian Belanda. Multiplier effect juga terjadi di pariwisata ini, karena sang klien butuh
sarana dan prasarana untuk menikmati sex tourism ini. Selain itu, sex tourism dapat memperderas
arus kedatangan turis dengan cepat.
Namun, dari setumpuk keuntungan industri sex tourism ini, ada kejahatan dan keburukan
yang terjadi di balik layar. Salah satunya adalah human trafficking oleh para mucikari di daerah
asal. Hal ini bisa terjadi karena mengikuti selera turis terhadap ras dan umur tertentu. Sebagai
contoh, red light district mengimpor para pekerja seksnya dari Thailand, Caribia, Afrika dan
lainnya. Tentu saja mereka dipaksa menjadi pekerja seks dan oleh mucikarinya diajari
bagaimana menjadi pekerja seks yang diminati. Dalam proses ini, banyak terjadi kekerasan fisik
dan psikologis karena pemaksaan sang mucikari kepada calon pekerja.
Tidak hanya orang dewasa, namun anak-anak juga menjadi korban human trafickking. Di
beberapa Negara berkembang, mereka menyediakan anak-anak sebagai pekerja seks juga. Anakanak ini berumur 12-15 tahun dan memiliki pendidikan yang rendah. Mereka mengalami
berbagai kekerasan seksual dan lebih bisa dibilang sebagai pemerkosaan.
Kekerasan dan tingkat stress yang tinggi juga membuat para pekerja ini memakai
narkoba. Sudah merupakan budaya di kalangan pekerja seks untuk mengganja dan memakai
narkoba lainnya. Alhasil banyak dari mereka yang kecanduan dan meninggal dunia. Penyakit
kelamin seperti HIV/AIDS juga merajalela karena mereka tidak melakukan safe sex.
Pemerintah di beberapa negara mencoba mengurangi efek negatif dari sex tourism ini
dengan melegalkan pekerjaan mereka. Ide mengenai legalisasi prostitusi sudah diterapkan di
beberapa negara dengan berbagai variasi. New Zealand dan sebagian Australia memberlakukan
dekriminalisasi prostitusi dan menjadikan prostitusi sebagai sebuah pekerjaan biasa sehingga
pemerintah bisa memungut pajak dari hasil keuntungan mereka. Para pekerja juga akan
mendapatkan pelayanan cek kesehatan secara gratis. Akan tetapi, hanya sebagian kecil pekerja
(rata-rata strip dancer) yang meregistrasikan pekerjaannya ke pemerintah, alasannya adalah
pekerja tersebut tidak ingin mengakui pekerjaannya secara publik.

Negara-negara Asia rata-rata mengilegalkan prostitusi dan sex tourism namun realitanya
hamper semua negara memilikinya. Indonesia misalnya, karena prostitusi adalah illegal, mereka
melaksanakan prostitusi undercover. Para pekerja seks ini ditemui di tempat umum seperti klub
malam dan bar-bar daerah sekitar. Klien yang tertarik akan diajak keluar ke suatu tempat untuk
melaksanaan transaksi. Sekalinya ada daerah kumpulan brothel seperti Dolly, daerah tersebut
akan ditutup dan pekerjanya dipulangkan.
Berbeda dengan di Thailand, prostitusi terlihat dengan jelas dan promosinnya cukup
besar dibandingkan dengan Indonesia. Namun, dengan maraknya prostitusi, Thailand menjadi
negara tujuan human trafficking dan sekarang dihadapi dengan kasus-kasus kekerasan seksual
pada anak-anak.
Sex tourism memang merupakan sebuah hal yang dilematis, karena kelebihan dan
kekurangannya memiliki dampak yang kuat. Di satu sisi sex tourism bisa mendatangkan banyak
wisatawan dengan menjual 3S (sea, sun, and sex), di sisi lain banyak manusia-manusia yang
menderita akibat sex tourism ini. Apabila sex tourism bisa diregulasikan secara baik,
menghentikan kekerasan dan tidak mengeksploitasi anak-anak, maka saya rasa hal ini akan
mengurangi dampak negatif dari sex tourism ini.
Oleh: Nadhila Fitri Rahmi Harahap
13/348237/SA/16989

Anda mungkin juga menyukai