PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik sistemik di
pleura parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura
parietal melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang
terbuka langsung menuju sistem limfatik. Pleksus limfatikus superfisialis terletak pada
jaringan ikat di lapisan subpleura viseral dan bermuara di pembuluh limfe septa lobularis dan
lobaris. Jaringan limfatikus ini dari pleura kostalis menyusur ventral menuju nodus limfatik
sepanjang arteri mammaria interna atau dorsal menuju ujung sendi kostosternal, dari pleura
mediastinal menuju nodus limfatikus trakeobronkial dan mediastinum, dan dari pleura
diafragmatik menuju nodus parasternal, frenikus medialis dan mediastinum superior. Cairan
pleura tidak masuk ke dalam pleksus limfatikus di pleura viseral karena pleura viseral lebih
tebal dibandingkan pleura parietal sehingga tidak terjadi pergerakan cairan dari rongga pleura
ke pleura viseral. Gangguan duktus torasikus karena limfoma maupun trauma menyebabkan
akumulasi cairan limfe di rongga pleura menyebabkan chylothorax 1.
cmH2O. Tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien
tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien tekanan
di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di
apeks paru dan merupakan penyebab pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan
variasi distribusi ventilasi 1.
Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul fosfolipid yang
diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili mesotel sehingga terbentuk
lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi. Proses tersebut bersama tekanan permukaan
pleura, keseimbangan tekanan oleh gaya Starling dan tekanan elastik rekoil paru mencegah
kontak antara pleura viseral dan parietal walaupun jarak antar pleura hanya 10 m. Proses
respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan
napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan saluran napas
tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan
saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan
pleura) disebut tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan
paru sehingga mempengaruhi jumlah udara paru saat respirasi. Hubungan perubahan tekanan
pleura, tekanan alveolus, tekanan transpulmoner dan volume paru ditunjukkan pada gambar 2
1
Gambar 2. Perubahan volume paru, tekanan alveolar, tekanan pleura dan tekanan
transpulmoner selama respirasi biasa 1
5
Perkiraan besar perbedaan tekanan yang mempengaruhi pergerakan cairan dari kapiler
menuju rongga pleura ditunjukkan pada Gambar 3 1.
Tekanan hidrostatik pleura parietal sebesar 30 cmH2O dan tekanan rongga pleura
sebesar -5 cmH2O sehingga tekanan hidrostatik resultan adalah 30 (-5) = 35 cmH2O.
Tekanan onkotik plasma 34 cmH2O dan tekanan onkotik pleura 5 cmH2O sehingga tekanan
onkotik resultan 34 5 = 29 cmH2O. Gradien tekanan yang ditimbulkan adalah 35 29 = 6
cmH2O, sehingga terjadi pergerakan cairan dari kapiler pleura parietal menuju rongga pleura.
Pleura viseral lebih tebal dibandingkan pleura parietal sehingga koefisien filtrasi pleura
viseral lebih kecil dibandingkan pleura parietal. Koefisien filtrasi kecil pleura viseral
menyebabkan resultan gradien tekanan terhadap pleura viseral secara skematis bernilai 0
walaupun tekanan kapiler pleura viseral identik dengan tekanan vena pulmoner yaitu 24
cmH2O 1.
Perpindahan cairan dari jaringan interstitial paru ke rongga pleura dapat terjadi seperti
akibat peningkatan tekanan baji jaringan paru pada edema paru maupun gagal jantung
kongestif. Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem penyaliran
limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal mikrosirkulasi sistemik masuk ke
jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan)
yang lebih kecil (Gambar 4) 1.
Rongga pleura secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik
parietal, jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan
mikrosirkulasi viseral. Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral
dengan jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal membatasi
sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga pleura dibatasi oleh
7
pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai membran. Penyaliran limfatik di
lapisan submesotel pleura parietal bercabang-cabang serta berdilatasi dan disebut lakuna.
Lakuna di rongga pleura akan membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung
dengan rongga pleura melalui stoma dengan diameter 2 6 nm. Stoma ini berbentuk bulat
atau celah ditemukan pada pleura mediastinal dan interkostalis terutama pada area depresi
inferior terhadap tulang iga bagian inferior dengan kepadatan 100 stomata/cm2 di pleura
interkostalis dan 8.000 stomata/cm2 di pleura mediastinal 1.
Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di
pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawasenyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui
penyaliran limfatik ini. Peningkatan volume tidal maupun frekuensi respirasi meningkatkan
eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi limfatik pleura secara umum 20 28 kali lebih
besar dibandingkan pembentukan cairan pleura. Akumulasi berlebih cairan pleura hingga 300
mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi
kemampuan eliminasi cairan pleura 1.
II.3. HIDROPNEUMOTORAKS
Hidropneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana terdapat udara bebas dan
cairan di dalam rongga pleura yang dapat mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Dengan
kata lain, hidropneumotarks merupakan gabungan antara efusi pleura dengan pneumotoraks.
Etiologi hidropneumotoraks umumnya adalah iatrogenik (post-torakosintesis), adanya
mikroorganisme pembentuk gas, dan trauma. Penyebab lainnya termasuk proses keganasan,
post-pneumonektomi, infeksi, infark paru, penyakit paru cystic, penyakit obstruksi paru, dan
yang jarang terjadi kelainan jaringan ikat seperti sindrom Marfan atau sindrom Ehlers-Danlos
2,3
.
Pada gambaran radiologis, tidak ditemukan meniskus dalam hidropneumothoraks
karena udara yang terjebak menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intratoraks yang
berbatasan dengan cairan dalam rongga pleura dan menghasilkan gambaran horizontal cairanudara. Membedakan antara hidropneumotoraks dengan efusi pleura sederhana saja adalah
penting, karena penatalaksanaan yang tepat pada hidropneumotoraks membutuhkan dua sisi
tertentu pemasangan selang dada (chest tube); satu untuk mengairkan cairan dan yang lain
untuk mengeluarkan udara 3.
Selanjutnya tinjauan pustaka akan membahas patogenesis dari masing-masing
kelainan yang membentuk hidropneumotoraks.
8
II.4. PATOFISIOLOGI
II.4.1. Efusi Pleura
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat
disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
sekitar pleura dapt menyebabkan hemotoraks 2.
Efusi pleura umumnya dibagi menjadi cairan transudat dan eksudat. Efusi pleura
transudatif terjadi saat faktor sistemik berperan dalam perubahan pembentukan atau eliminasi
cairan pleura. Efusi pleura transudatif umumnya terjadinya karena penyakit lain bukan primer
paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumotoraks 2.
Efusi pleura eksudatif terjadi saat faktor permukaan pleura atau pembuluh kapiler di
pleura mengalami perubahan. Efusi cairan eksudat sering terjadi akibat proses peradangan
yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain
seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia
atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti
pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis,
asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi 1,2.
10
Kriteria Light menyatakan bahwa efusi pleura eksudatif bila minimal satu hal berikut
terpenuhi: perbandingan kadar protein cairan pleura dengan kadar protein serum > 0,5,
perbandingan kadar laktat dehidrogenase (LDH) cairan pleuram dengan kadar LDH serum >
0,6 dan/atau kadar LDH cairan pleura > 0,6 atau lebih tinggi 2/3 kali dibandingkan nilai
ambang atas kadar LDH serum 1,2.
II.4.2. Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak, sedangkan sekunder jika
terdapat penyakit paru yang mendasari. Sedangkan pneumotoraks taumatik dibagi menjadi
pneumotoraks traumatik iatrogenik dan non-iatrogenik 2.
Pneumotoraks terjadi karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien
pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi
udara dalam bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian
oleh pleura fibrotik paru yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan
sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematosa. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui jaringan interstitial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian
berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadi bulla atau bleb masih belum jelas, diduga
akibat terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan
distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat tekanan pleura lebih negatif. Pecahnya alveoli
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi
ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan nafas bisa diakibatkan oleh penumpukan
mukus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi 2.
Pada pneumotoraks spontan sekunder patogenesisnya multifaktorial, umumnya terjadi
akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik,
tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru infiltrat lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan
pneumonia P.carinii). Umumnya pneumotoraks spontan sekunder lebih serius keadaannya
dibanding pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder
terdapat penyakit paru yang mendasarinya 2.
11
II.5. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan (prove pungsi), biopsi dan
analisis cairan pleura ataupun pemeriksaan foto rontgen dada 2.
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: sesak nafas, nyeri
dada atau rasa penuh di dada, batuk-batuk, demam (+/-), posisi tidur lebih enak miring ke
arah yang sakit (tergantung jumlah cairan dan penyakit yang mendasari). Biasanya kelainan
akan nampak jelas jika cairan lebih dari 500 cc. Dari pemeriksaan fisik thoraks didapati
inspeksi dinding dada akan tampak cembung pada daerah yang sakit (asimetris) disertai
gerakan nafas yang tertinggal. Palpasi fremitus dapat melemah atau menurun dari normal,
pada resonansi perkusi dapat normal atau meningkat (hipersonor) pada bagian yang berisi
udara kemudian sonor memendek sampai redup pada bagian yang berisi cairan. Sedangkan
pada auskultasi didapatkan suara nafas yang melemah bahkan sampai dengan hilang 2.
Pemeriksaan CT scan dada dapat membantu dan mungkin diperlukan jika dengan
pemeriksaan foto thoraks diagnosis belum dapat ditegakkan. Adanya perbedaan densitas
cairan dan udara dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya
hidropneumotoraks. Perbedaan ini juga lebih sepsifik untuk membedakan antara emfisema
13
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
serta untuk membedakan antara pneumotoraks primer atau sekunder 2.
II.5.3. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 10001500 cc pada setiap kali aspirasi. Asirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru
akut. Edema paru terjadi karena paru mengembang terlalu cepat. Mekanismenya diperkirakan
karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal 2.
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya
dapat dilihat pada tabel 2 2.
14
Eksudat
<3
>3
< 0,5
> 0,5
< 200
> 200
< 0,6
> 0,6
< 1,016
> 1,016
Rivalta
Negatif
Positif
Transudat terjadi jika hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 1). Meningkatnya tekanan
kapiler sistemik, 2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, 3). Menurunnya tekanan koloid
osmotik dalam pleura, 4). Menurunnya tekanan intrapleura 2.
Penyakit-penyakit yang mendasari transudat ialah: 1). Gagal jantung kiri
(terbanyak), 2). Sindrom nefrotik, 3). Obstruksi vena cava superior, 4). Asites pada sirosis
hati (asites menembus diafragma atau masuk melalui saluran getah bening), 5). Sindrom
Meig (asites dengan tumor ovarium), 6). Efek tindakan dialisis peritoneal, 7). Ex vacuo
effusion, karena pada penumotoraks, tekanan intrapleura menjadi sub-atmosfir sehingga
terdapat pembentukan dan penumpukan transudat 2.
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membran adalah karena adanya peradangan
pada pleura: infeksi, infark paru atau neoplasma. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini
(misalnya pada pleuritis tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat 2.
II.6. PENATALAKSANAAN
Penanganan hidropneumotoraks terdiri dari penanganan efusi pleura dan
pneumotoraks. Selain mengobati penyakit yang mendasari, tindakan invasif juga diperlukan
15
sebagai tindakan dekompresi, yaitu pengeluaran udara dan cairan yang terdapat di rongga
pleura 2.
17
Pelurodesis
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (terutama pada efusi pleura
maligna), dapat dilakukan pleurodesis yaitu melengketkannya pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetairan yangrasiklin (terbanyak dipakai) bleomisin,
korinobakterium parvum, Tio-tepa, 5-Flourourasil.
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkanke luar secara
perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukin 500 mg tetrasiklin yang
dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologi ke dalam rongga pelura, selanjutnya diikuti dengan 20
cc garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah posisinya,
sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan ke dalam rongga pleura. Selang kemudian dibuka
dan cairan dalam rongga pleura kembali dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa.
Selang kemudian dicabut 2.
18
BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN PULMONOLOGI
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 42 Tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
Pekerjaan
Status Pekawinan
: Kawin
Suku Bangsa
: Aceh-Jawa
Agama
: Islam
Tanggal Masuk RS
: 26 Mei 2014
Tanggal Keluar RS
: 31 Mei 2014
Keluhan tambahan
19
III.
IV.
Riwayat Kebiasaan
: Merokok (-)
STATUS PRESENT
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
: 24 x/menit, regular
Suhu
: 36,8 oC (Afebris)
PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA
Bentuk
: Normochepali
Mata
Hidung
Telinga
Bibir
Rongga mulut
2. LEHER
Tampak pembesaran kelenjar tiroid (+), TVJ meningkat (-), deviasi trakea
(-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
3. THORAKS
Thoraks Anterior
Inspeksi
Palpasi
Stem fremitus
Kesan
Ka>Ki
Kanan meningkat
Ka>Ki
Kiri melemah
Ka>Ki
Kiri melemah
Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek
Paru kiri
Sonor
Sonor memendek - Redup
Redup
Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()
21
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler ()
Tidak terdengar suara
nafas
Suara nafas
tambahan
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Paru kiri
Rhonki (+)
Rhonki (+)
Rhonki (+)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
Thoraks Posterior
Inspeksi
Palpasi
Stem fremitus
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Kesan
Kanan meningkat
Kiri melemah
Kiri melemah
Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek
Paru kiri
Sonor
Sonor memendek - Redup
Redup
Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler ()
Tidak terdengar suara
nafas
Suara nafas
tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Paru kiri
Rhonki (+)
Rhonki (+)
Rhonki (+)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
22
I.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Haematology
Hasil
Normal
Satuan
Erytrocyte
3,83
4,5 6,2 x 10
mm3
Haemoglobin
7,3
14 -16
g%
9.100
4000 10000
mm3
Trombocyte
293.000
150000 - 350000
mm3
Hematokrit
24,8
35 50
Klinik Darah
Glukosa AD
486
70 140
mg/dl
Albumin
2,3
3,8 5,1
g/dl
Protein total
5,0
6,6 8,7
g/dl
A B AB O
Leucocyte
Bakteriology
Pewarnaan ZNP, ZN
Serology
Golongan Darah ABO
Negatif (-)
O
Foto Thoraks
23
Interpretasi Foto :
a. Identitas Foto
Nama
: Ny.S
Umur
: 42 tahun
Tanggal pembuatan
: 28 Mei 2014
Posisi / Marker
b. Pembacaan Foto
KV
Soft tissue
Klavikula
Scapula
Diafragma
Jantung
Paru
Mediastinum
Para trachea
: Tampak normal
Para hilus
Para kardial
Sinus Costoprhenikus : Tampak tajam pada sisi kanan, sisi kiri tidak tampak
Sinus Kardioprenikus : Tampak tajam pada sisi kanan, sisi kiri tidak tampak
Kesan foto :
Dari hasil foto torak ditemukan adanya perselubungan homogen pada paru kiri bawah
sampai dengan paru kiri tengah disertai air fluid level horizontal (+) pada bagian
atasnya, tampak konsolidasi (+) pada hampir seluruh paru kanan terutama bagian
bawah, avaskularisasi (+) para hilus kiri, dan hipervaskularisasi (+) para hilus kanan.
24
V.
RESUME
Pasien wanita, umur 42 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 3 bulan
SMRS. Batuk terus menerus disertai dahak yang banyak berwarna kuning kecoklatan.
Keluhan disertai sesak (+) saat batuk, demam ringan (+), keringat banyak (+), nafsu
makan menurun (+) dan berat badan menurun (+). Pasien memiliki riwayat keluhan
yang sama sejak 3 tahun yang lalu dan sudah mendapatkan obat paket TB selama 6
bulan hingga tuntas sebanyak 3 kali. Pasien juga menderita DM sejak 3 tahun yang
lalu, namun DM tidak terkontrol dan tidak rutin minum obat.
Pada pemeriksaan fisik: pada leher terdapat pembesaran kelenjar tiroid (+), pada
thoraks terlihat pasien bernafas menggunakan otot bantu napas (+), stem fremitus kiri
lebih lemah dari kanan dengan kesan kiri melemah, perkusi didapatkan sonor
memendek hingga redup pada paru kiri tengah sampai bawah, serta pada auskultasi
terdengar vesikuler melemah sampai hilang pada paru kiri tengah dan bawah,
terdengar juga rhonkhi (+) pada paru kanan.
Pada foto thoraks PA: ditemukan adanya adanya perselubungan homogen pada paru
kiri bawah sampai dengan paru kiri tengah disertai air fluid level horizontal (+) pada
bagian atasnya, tampak konsolidasi (+) pada hampir seluruh paru kanan terutama
bagian bawah, dan avaskularisasi (+) para hilus kiri, serta hipervaskularisasi (+) para
hilus kanan.
VI.
DIAGNOSA BANDING
1. Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c Hipoalbuminemia
2. Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c TB paru relaps
VII.
DIAGNOSA KERJA
Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c Hipoalbuminemia + DM tipe II
25
VIII. PENATALAKSANAAN
Rawat inap :
-
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
FOLLOW UP
Tanggal
27 Mei 2014
Follow
TD : 100/70 mmHg
Terapi
- IVFD NaCL 20 gtt/menit
HR : 80 x/i
RR : 22 x/i
Inj.
T : 36,5 C
Levofloxacin
fls
(500mg/100ml)/12 jam
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
26
28 Mei 2014
TD : 110/80 mmHg
HR : 78 x/i
RR : 22 x/i
Inj.
T : 36,0 C
Levofloxacin
fls
(500mg/100ml)/12 jam
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
sisi
Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
29 Mei 2014
TD : 120/70 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
Inj.
T : 36,7 C
Levofloxacin
fls
(500mg/100ml)/12 jam
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
27
30 Mei 2014
TD : 110/80 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 20 x/i
Inj.
T : 36,8 C
Levofloxacin
(500mg/100ml)/12 jam
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
Tranfusi albumin
Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
31 Mei 2014
fls
TD : 110/80 mmHg
Levofloxacin 500 mg 2 x
HR : 78 x/i
Ranitidin 2 x 1
RR : 22 x/i
T : 36,0 C
Solaneuron tab 2 x 1
Glucodex 1 x 80mg
Metformin 3 x 500mg
Dx : Hidropneumotoraks + DM
seminggu kemudian
Tipe II
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratomo Irandi Putra, Faisal Yunus. Continuing Medical Education, Anatomi dan
Fisiologi Pleura. 2013. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, FKUI/RSUP
Persahabatan. Jakarta; Indonesia.
2. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV. 2007. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. Hal 1056-1068.
3. http://rad.usuhs.mil/amsus/RadiologyCornerHydropneumothorax.html
29