Anda di halaman 1dari 29

\BAB I

PENDAHULUAN

Pleura merupakan membran serosa yang melingkupi parenkim paru, mediastinum,


diafragma serta tulang iga; terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal.
Kedua lapisan ini bersatu di hilus arteri dan berpenetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri
dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara histologis kedua lapisan ini
terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening.
Rongga pleura terisi sejumlah tertentu cairan yang memisahkan kedua pleura tersebut
sehingga memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama proses respirasi.
Cairan pleura berasal dari pembuluh pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, kelenjar
getah bening intratoraks, pembuluh darah intratoraks dan rongga peritoneum. Jumlah cairan
pleura dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara pembuluh-pembuluh kapiler pleura dengan
rongga pleura sesuai hukum Starling serta kemampuan eliminasi cairan oleh sistem
penyaliran limfatik pleura parietal. Tekanan pleura merupakan cermin tekanan di dalam
rongga toraks. Perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh pleura berperan penting dalam
proses respirasi. Karakteristik pleura seperti ketebalan, komponen selular serta faktor-faktor
fisika dan kimiawi penting diketahui sebagai dasar pemahaman patofisiologi kelainan pleura
dan gangguan proses respirasi 1.
Pleura sering kali mengalami patogenesis seperti terjadinya efusi cairan, misalnya
hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila rongga pleura berisi
darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks atau empiema tohoracis bila berisi nanah,
pneumotoraks bila berisi udara, ataupun hidropneumotoraks bila rongga pelura berisi udara
dan cairan. Penyebab dari kelainan patologi pada rongga pleura bermacam-macam, terutama
karena infeksi tuberkulosis atau non tuberkulosis, keganasan, trauma dan lain-lain 1,2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI PLEURA


Pleura merupakan membran serosa yang bersifat memungkinkan organ yang
diliputinya mampu berkembang, mengalami retraksi atau deformasi sesuai dengan proses
perkembangan anatomis dan fisiologis suatu organisme. Pleura viseral membatasi permukaan
luar parenkim paru termasuk fisura interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding
dada yang tersusun dari otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur
servikal (Gambar1). Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan
vaskularisasi. Pleura viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari
sirkulasi pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi saraf-saraf interkostalis dan nervus
frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal terpisah oleh
rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura. meliputi masing-masing
paru 1.

Gambar 1. Pleura visceral dan parietal serta struktur sekitar pleura 1

II.1.1 Cairan Pleura


Cairan pleura mengandung 1.500 4.500 sel/mL, terdiri dari makrofag (75%),
limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura normal mengandung
protein 1 2 g/100 mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar
protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul
rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan
pleura 20 25% lebih tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion
natrium lebih rendah 3 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 9% sehingga pH cairan
pleura lebih tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor
aktif mesotel. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan plasma 1.

II.1.2 Struktur Makroskopis Pleura


Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap dan semitransparan. Luas
permukaan pleura viseral sekitar 4.000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg.
Pleura parietal terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pleura kostalis yang berbatasan dengan
iga dan otot-otot interkostal, pleura diafragmatik, pleura servikal dan pleura mediastinal yang
membungkus organ-organ mediastinum. Bagian inferior pleura parietal dorsal dan ventral
mediastinum tertarik menuju rongga toraks seiring perkembangan organ paru dan bertahan
hingga dewasa sebagai jaringan ligamentum pulmoner, menyusur vertikal dari hilus menuju
diafragma membagi rongga pleura menjadi rongga anterior dan posterior. Ligamentum
pulmoner memiliki pembuluh limfatik besar yang merupakan potensi penyebab efusi pada
kasus traumatik 1.
Pleura kostalis mendapat sirkulasi darah dari arteri mammaria interkostalis dan
internalis. Pleura mediastinal mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis, diafragmatik
superior, mammaria interna dan mediastinum. Pleura servikalis mendapat sirkulasi darah dari
arteri subklavia. Pleura diafragmatik mendapat sirkulasi darah dari cabang-cabang
arterimammaria interna serta aorta toraksika dan abdominis. Vena pleura parietal mengikut
jalur arteri dan kembali menuju vena kava superior melalui vena azigos. Pleura viseral
mendapat sirkulasi darah dari arteri bronkialis menuju vena pulmonaris 1.
Ujung saraf sensorik berada di pleura parietal kostalis dan diafragmatika. Pleura
kostalis diinervasi oleh saraf interkostalis, bagian tengah pleura diafragmatika oleh saraf
frenikus. Stimulasi oleh inflamasi dan iritasi pleura parietal menimbulkan sensasi nyeri
dinding dada dan nyeri tumpul pada bahu ipsilateral. Tidak ada jaras nyeri pada pleura viseral
walaupun secara luas diinervasi oleh nervus vagus dan trunkus simpatikus 1.
3

Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik sistemik di
pleura parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura
parietal melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang
terbuka langsung menuju sistem limfatik. Pleksus limfatikus superfisialis terletak pada
jaringan ikat di lapisan subpleura viseral dan bermuara di pembuluh limfe septa lobularis dan
lobaris. Jaringan limfatikus ini dari pleura kostalis menyusur ventral menuju nodus limfatik
sepanjang arteri mammaria interna atau dorsal menuju ujung sendi kostosternal, dari pleura
mediastinal menuju nodus limfatikus trakeobronkial dan mediastinum, dan dari pleura
diafragmatik menuju nodus parasternal, frenikus medialis dan mediastinum superior. Cairan
pleura tidak masuk ke dalam pleksus limfatikus di pleura viseral karena pleura viseral lebih
tebal dibandingkan pleura parietal sehingga tidak terjadi pergerakan cairan dari rongga pleura
ke pleura viseral. Gangguan duktus torasikus karena limfoma maupun trauma menyebabkan
akumulasi cairan limfe di rongga pleura menyebabkan chylothorax 1.

II.2. FISIOLOGI PLEURA


Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan
oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan
transpulmoner yang selanjutnya akan mempengaruhi pengembangan paru dalam proses
respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil
mengatasi rekoilelastik (elastic recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses
respirasi. Jumlah cairan rongga pleura diatur oleh keseimbangan Starling yang ditimbulkan
tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem penyaliran limfatik pleura serta keseimbangan
elektrolit. Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan penumpukan
cairan sehingga terjadi efusi pleura 1.

II.2.1. Fisiologi tekanan pleura


Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan cairan pleura
dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura mencerminkan dinamik aliran cairan
melewati membran dan bernilai sekitar 10 cmH2O. Tekanan permukaan pleura
mencerminkan keseimbangan elastik rekoil dinding dada ke arah luar dengan elastik rekoil
paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura;
lebih negatif di apeks paru dan lebih positif di basal paru. Perbedaan bentuk dinding dada
dengan paru dan faktor gravitasi menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal;
perbedaan tekanan pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8
4

cmH2O. Tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien
tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien tekanan
di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di
apeks paru dan merupakan penyebab pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan
variasi distribusi ventilasi 1.
Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul fosfolipid yang
diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili mesotel sehingga terbentuk
lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi. Proses tersebut bersama tekanan permukaan
pleura, keseimbangan tekanan oleh gaya Starling dan tekanan elastik rekoil paru mencegah
kontak antara pleura viseral dan parietal walaupun jarak antar pleura hanya 10 m. Proses
respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan
napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan saluran napas
tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan
saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan
pleura) disebut tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan
paru sehingga mempengaruhi jumlah udara paru saat respirasi. Hubungan perubahan tekanan
pleura, tekanan alveolus, tekanan transpulmoner dan volume paru ditunjukkan pada gambar 2
1

Gambar 2. Perubahan volume paru, tekanan alveolar, tekanan pleura dan tekanan
transpulmoner selama respirasi biasa 1
5

II.2.2. Fisiologi cairan pleura


Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru,
saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga peritoneum. Neergard
mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura sepenuhnya bergantung perbedaan
tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner 1.
Perpindahan cairan ini mengikuti hukum Starling berikut 1:
Jv = Kf ([P kapiler P pleura] - [ kapiler pleura])
Jv : aliran cairan transpleura, Kf : koefisien filtrasi yang merupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran
dengan luas permukaan membran, P : tekanan hidrostatik, : koefi sien kemampuan restriksi membran terhadap
migrasi molekul besar, : tekanan onkotik.

Perkiraan besar perbedaan tekanan yang mempengaruhi pergerakan cairan dari kapiler
menuju rongga pleura ditunjukkan pada Gambar 3 1.

Gambar 3. Skema tekanan dan pergerakan cairan pada rongga pleura 1

Tekanan hidrostatik pleura parietal sebesar 30 cmH2O dan tekanan rongga pleura
sebesar -5 cmH2O sehingga tekanan hidrostatik resultan adalah 30 (-5) = 35 cmH2O.
Tekanan onkotik plasma 34 cmH2O dan tekanan onkotik pleura 5 cmH2O sehingga tekanan
onkotik resultan 34 5 = 29 cmH2O. Gradien tekanan yang ditimbulkan adalah 35 29 = 6
cmH2O, sehingga terjadi pergerakan cairan dari kapiler pleura parietal menuju rongga pleura.
Pleura viseral lebih tebal dibandingkan pleura parietal sehingga koefisien filtrasi pleura
viseral lebih kecil dibandingkan pleura parietal. Koefisien filtrasi kecil pleura viseral
menyebabkan resultan gradien tekanan terhadap pleura viseral secara skematis bernilai 0
walaupun tekanan kapiler pleura viseral identik dengan tekanan vena pulmoner yaitu 24
cmH2O 1.
Perpindahan cairan dari jaringan interstitial paru ke rongga pleura dapat terjadi seperti
akibat peningkatan tekanan baji jaringan paru pada edema paru maupun gagal jantung
kongestif. Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem penyaliran
limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal mikrosirkulasi sistemik masuk ke
jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan)
yang lebih kecil (Gambar 4) 1.

Gambar 4. Skema fisiologis aliran cairan transpleura 1

Rongga pleura secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik
parietal, jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan
mikrosirkulasi viseral. Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral
dengan jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal membatasi
sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga pleura dibatasi oleh
7

pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai membran. Penyaliran limfatik di
lapisan submesotel pleura parietal bercabang-cabang serta berdilatasi dan disebut lakuna.
Lakuna di rongga pleura akan membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung
dengan rongga pleura melalui stoma dengan diameter 2 6 nm. Stoma ini berbentuk bulat
atau celah ditemukan pada pleura mediastinal dan interkostalis terutama pada area depresi
inferior terhadap tulang iga bagian inferior dengan kepadatan 100 stomata/cm2 di pleura
interkostalis dan 8.000 stomata/cm2 di pleura mediastinal 1.
Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di
pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawasenyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui
penyaliran limfatik ini. Peningkatan volume tidal maupun frekuensi respirasi meningkatkan
eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi limfatik pleura secara umum 20 28 kali lebih
besar dibandingkan pembentukan cairan pleura. Akumulasi berlebih cairan pleura hingga 300
mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi
kemampuan eliminasi cairan pleura 1.

II.3. HIDROPNEUMOTORAKS
Hidropneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana terdapat udara bebas dan
cairan di dalam rongga pleura yang dapat mengakibatkan kolapsnya jaringan paru. Dengan
kata lain, hidropneumotarks merupakan gabungan antara efusi pleura dengan pneumotoraks.
Etiologi hidropneumotoraks umumnya adalah iatrogenik (post-torakosintesis), adanya
mikroorganisme pembentuk gas, dan trauma. Penyebab lainnya termasuk proses keganasan,
post-pneumonektomi, infeksi, infark paru, penyakit paru cystic, penyakit obstruksi paru, dan
yang jarang terjadi kelainan jaringan ikat seperti sindrom Marfan atau sindrom Ehlers-Danlos
2,3

.
Pada gambaran radiologis, tidak ditemukan meniskus dalam hidropneumothoraks

karena udara yang terjebak menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intratoraks yang
berbatasan dengan cairan dalam rongga pleura dan menghasilkan gambaran horizontal cairanudara. Membedakan antara hidropneumotoraks dengan efusi pleura sederhana saja adalah
penting, karena penatalaksanaan yang tepat pada hidropneumotoraks membutuhkan dua sisi
tertentu pemasangan selang dada (chest tube); satu untuk mengairkan cairan dan yang lain
untuk mengeluarkan udara 3.
Selanjutnya tinjauan pustaka akan membahas patogenesis dari masing-masing
kelainan yang membentuk hidropneumotoraks.
8

II.4. PATOFISIOLOGI
II.4.1. Efusi Pleura
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat
disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
sekitar pleura dapt menyebabkan hemotoraks 2.

Gambar 5. Skema pertukaran cairan pleura dalam keadaan abnormal 2


9

Faktor-faktor dan keadaan-keadaan penyebab peningkatan pembentukan cairan pleura


atau penurunan eliminasi cairan pleura pada keadaan efusi pleura dirangkum dalam Tabel 1
1,2

Tabel 1. Penyebab efusi pleura 2

Efusi pleura umumnya dibagi menjadi cairan transudat dan eksudat. Efusi pleura
transudatif terjadi saat faktor sistemik berperan dalam perubahan pembentukan atau eliminasi
cairan pleura. Efusi pleura transudatif umumnya terjadinya karena penyakit lain bukan primer
paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumotoraks 2.
Efusi pleura eksudatif terjadi saat faktor permukaan pleura atau pembuluh kapiler di
pleura mengalami perubahan. Efusi cairan eksudat sering terjadi akibat proses peradangan
yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain
seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia
atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti
pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis,
asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi 1,2.
10

Kriteria Light menyatakan bahwa efusi pleura eksudatif bila minimal satu hal berikut
terpenuhi: perbandingan kadar protein cairan pleura dengan kadar protein serum > 0,5,
perbandingan kadar laktat dehidrogenase (LDH) cairan pleuram dengan kadar LDH serum >
0,6 dan/atau kadar LDH cairan pleura > 0,6 atau lebih tinggi 2/3 kali dibandingkan nilai
ambang atas kadar LDH serum 1,2.

II.4.2. Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak, sedangkan sekunder jika
terdapat penyakit paru yang mendasari. Sedangkan pneumotoraks taumatik dibagi menjadi
pneumotoraks traumatik iatrogenik dan non-iatrogenik 2.
Pneumotoraks terjadi karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien
pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi
udara dalam bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian
oleh pleura fibrotik paru yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan
sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematosa. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui jaringan interstitial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian
berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadi bulla atau bleb masih belum jelas, diduga
akibat terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan
distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat tekanan pleura lebih negatif. Pecahnya alveoli
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi
ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan nafas bisa diakibatkan oleh penumpukan
mukus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi 2.
Pada pneumotoraks spontan sekunder patogenesisnya multifaktorial, umumnya terjadi
akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik,
tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru infiltrat lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan
pneumonia P.carinii). Umumnya pneumotoraks spontan sekunder lebih serius keadaannya
dibanding pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder
terdapat penyakit paru yang mendasarinya 2.

11

II.5. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan (prove pungsi), biopsi dan
analisis cairan pleura ataupun pemeriksaan foto rontgen dada 2.
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: sesak nafas, nyeri
dada atau rasa penuh di dada, batuk-batuk, demam (+/-), posisi tidur lebih enak miring ke
arah yang sakit (tergantung jumlah cairan dan penyakit yang mendasari). Biasanya kelainan
akan nampak jelas jika cairan lebih dari 500 cc. Dari pemeriksaan fisik thoraks didapati
inspeksi dinding dada akan tampak cembung pada daerah yang sakit (asimetris) disertai
gerakan nafas yang tertinggal. Palpasi fremitus dapat melemah atau menurun dari normal,
pada resonansi perkusi dapat normal atau meningkat (hipersonor) pada bagian yang berisi
udara kemudian sonor memendek sampai redup pada bagian yang berisi cairan. Sedangkan
pada auskultasi didapatkan suara nafas yang melemah bahkan sampai dengan hilang 2.

II.5.1. Pemeriksaan Foto Thoraks (X-Ray)


Gambaran foto thoraks yang khas pada hidropneumotoraks adalah cairan pada rongga
pleura membentuk permukaan cairan yang horizontal dari lateral ke medial karena adanya
udara yang terperangkap dalam rongga pleura. Kadang sulit membedakan antara bayangan
cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto
thoraks dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.

Gambar 6. Foto Rontgen AP hidropneumotoraks (air-fluid level horizontal) 3


12

Gambar 7. Foto Rontgen lateral hidropneumotoraks 3

Gambar 8. Foto Rontgen lateral dekubitus hidropneumotoraks 3

Pemeriksaan CT scan dada dapat membantu dan mungkin diperlukan jika dengan
pemeriksaan foto thoraks diagnosis belum dapat ditegakkan. Adanya perbedaan densitas
cairan dan udara dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya
hidropneumotoraks. Perbedaan ini juga lebih sepsifik untuk membedakan antara emfisema

13

bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
serta untuk membedakan antara pneumotoraks primer atau sekunder 2.

Gambar 9. Gambaran CT Scan hidropneumotoraks 3

II.5.3. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 10001500 cc pada setiap kali aspirasi. Asirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru
akut. Edema paru terjadi karena paru mengembang terlalu cepat. Mekanismenya diperkirakan
karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal 2.
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya
dapat dilihat pada tabel 2 2.

14

Tabel 2. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura 2


Transudat

Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl)

<3

>3

Kadar protein dalam efusi

< 0,5

> 0,5

Kadar protein dalam serum


Kadar LDH dalam efusi (I.U)

< 200

> 200

Kadar LDH dalam efusi

< 0,6

> 0,6

Kadar LDH dalam serum


Berat jenis cairan efusi

< 1,016

> 1,016

Rivalta

Negatif

Positif

Transudat terjadi jika hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 1). Meningkatnya tekanan
kapiler sistemik, 2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, 3). Menurunnya tekanan koloid
osmotik dalam pleura, 4). Menurunnya tekanan intrapleura 2.
Penyakit-penyakit yang mendasari transudat ialah: 1). Gagal jantung kiri
(terbanyak), 2). Sindrom nefrotik, 3). Obstruksi vena cava superior, 4). Asites pada sirosis
hati (asites menembus diafragma atau masuk melalui saluran getah bening), 5). Sindrom
Meig (asites dengan tumor ovarium), 6). Efek tindakan dialisis peritoneal, 7). Ex vacuo
effusion, karena pada penumotoraks, tekanan intrapleura menjadi sub-atmosfir sehingga
terdapat pembentukan dan penumpukan transudat 2.
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membran adalah karena adanya peradangan
pada pleura: infeksi, infark paru atau neoplasma. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini
(misalnya pada pleuritis tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat 2.

II.6. PENATALAKSANAAN
Penanganan hidropneumotoraks terdiri dari penanganan efusi pleura dan
pneumotoraks. Selain mengobati penyakit yang mendasari, tindakan invasif juga diperlukan

15

sebagai tindakan dekompresi, yaitu pengeluaran udara dan cairan yang terdapat di rongga
pleura 2.

Water Sealed Drainase (WSD)


Pipa khusus (kateter urine) yang sterile dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan
trokar atau klem penjepit. Sebelum trokar dimasukkan, terlebih dulu dilakukan insisi kulit
pada ruang antar iga ke enam linea aksilaris media untuk mengeluarkan cairan dan juga bisa
dilakukan pada ruang antar iga kedua pada linea mid-klavikula. Sebelum melakukan insisi
kulit, daerah tersebut harus dilakukan disinfeksi dan injeksi anestesi lokal dan kemudian
ditutup dengan kain steril. Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura, pipa khusus segera
dimasukkan dan kemudian trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih
tertinggal di ruang pleura. Pipa khusus tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa yang
lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol.
Masuknya pipa kaca ke dalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung
udara mudah keluar. Apabila tekanan rongga pleura masih tetap positif, perlu dilakukan
penghisapan udara secara aktif (continuous suction) dengan memberikan tekanan -10 cm
sampai 20 cm H2O agar paru cepat mengembang. Jika paru sudah megembang penuh dan
tekanan rongga pleura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan
menjepit pipa tersebut selama 24 jam 2.

Gambar 10. Tempat pemasangan WSD


16

Gambar 11. Water Sealed Drainage (WSD)

Gambar 12. Prosedur pemasangan WSD

17

Pelurodesis
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (terutama pada efusi pleura
maligna), dapat dilakukan pleurodesis yaitu melengketkannya pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetairan yangrasiklin (terbanyak dipakai) bleomisin,
korinobakterium parvum, Tio-tepa, 5-Flourourasil.
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkanke luar secara
perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukin 500 mg tetrasiklin yang
dilarutkan dalam 20 cc garam fisiologi ke dalam rongga pelura, selanjutnya diikuti dengan 20
cc garam fisiologis. Kunci selang selama 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah posisinya,
sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan ke dalam rongga pleura. Selang kemudian dibuka
dan cairan dalam rongga pleura kembali dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa.
Selang kemudian dicabut 2.

18

BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN PULMONOLOGI

I.

II.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. S

Umur

: 42 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Dusun Jati Desa, Simpang Jernih

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status Pekawinan

: Kawin

Suku Bangsa

: Aceh-Jawa

Agama

: Islam

Tanggal Masuk RS

: 26 Mei 2014

Tanggal Keluar RS

: 31 Mei 2014

ANAMNESA (Autoanamnesis dilakukan tanggal 26 mei 2014)


Keluhan utama

: Batuk Berdahak 3 bulan

Keluhan tambahan

: Demam, keringat banyak, nafsu makan


berkurang, berat badan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Aceh Tamiang diantar oleh suaminya dengan
keluhan batuk berdahak yang telah dialami sejak 3 bulan sebelum masuk
RS. Batuk timbul terus menerus disertai dahak yang sangat banyak, dahak
berwarna kuning kecoklatan, darah (-). Pasien juga mengeluh sesak (+) saat
batuk, demam ringan (+) yang hilang timbul, keringat banyak (+), nafsu
makan menurun (+) dan berat badan menurun (+). BAB dan BAK tidak ada
keluhan.

19

Riwayat Penyakit Dahulu

Menurut pengakuan pasien dan suaminya, pasien sudah mengalami keluhan


yang sama sejak 3 tahun yang lalu dan sudah pernah mendapatkan obat
paket TB selama 6 bulan hingga tuntas sebanyak 3 kali. Pasien juga menderita
DM (Diabetes Melitus) sejak 3 tahun yang lalu, namun DM tidak terkontrol
dan tidak rutin minum obat. Hipertensi (-), Asma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal

III.

IV.

Riwayat Kebiasaan

: Merokok (-)

Riwayat Penggunaan obat

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 6 bulan hingga tuntas sebanyak 3 kali

Obat Anti Diabetikum (pasien lupa nama obatnya)

STATUS PRESENT

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Frekuensi nadi

: 78 x /menit, regular, isi cukup

Frekuensi nafas

: 24 x/menit, regular

Suhu

: 36,8 oC (Afebris)

PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA

Bentuk

: Normochepali

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior anemis (-), sklera


ikterik (-), pupil bulat isokor 3 mm ka-ki, reflek
cahaya (+/+)

Hidung

: Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-),


darah (-), deviasi septum (-)

Telinga

: Bentuk normal, sekret (-/-), darah (-/-)

Bibir

: Bibir kering (-), sianosis (-)


20

Rongga mulut

: Mukosa buccal hiperemis (-), ukuran tonsil T1/T1,


faring hiperemis (-)

2. LEHER

Tampak pembesaran kelenjar tiroid (+), TVJ meningkat (-), deviasi trakea
(-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

3. THORAKS
Thoraks Anterior
Inspeksi

Dinding dada simetris

Ketinggalan bernafas (-)

Penggunaan otot bantu nafas (+)

Palpasi
Stem fremitus

Paru kanan, paru kiri

Kesan

Lap. Paru Atas

Ka>Ki

Kanan meningkat

Lap. Paru Tengah

Ka>Ki

Kiri melemah

Lap. Paru Bawah

Ka>Ki

Kiri melemah

Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek

Paru kiri
Sonor
Sonor memendek - Redup
Redup

Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()

21

Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler ()
Tidak terdengar suara
nafas

Suara nafas
tambahan
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan

Paru kiri

Rhonki (+)
Rhonki (+)
Rhonki (+)

Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)

Thoraks Posterior
Inspeksi

Dinding dada simetris

Ketinggalan bernafas (-)

Penggunaan otot bantu nafas (+)

Palpasi
Stem fremitus
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan paru kiri


Ka>Ki
Ka>Ki
Ka>Ki

Kesan
Kanan meningkat
Kiri melemah
Kiri melemah

Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek

Paru kiri
Sonor
Sonor memendek - Redup
Redup

Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()

Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler ()
Tidak terdengar suara
nafas

Suara nafas
tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah

Paru kanan

Paru kiri

Rhonki (+)
Rhonki (+)
Rhonki (+)

Ronkhi (-)
Ronkhi (-)
Ronkhi (-)

22

I.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Haematology

Hasil

Normal

Satuan

Erytrocyte

3,83

4,5 6,2 x 10

mm3

Haemoglobin

7,3

14 -16

g%

9.100

4000 10000

mm3

Trombocyte

293.000

150000 - 350000

mm3

Hematokrit

24,8

35 50

Klinik Darah
Glukosa AD

486

70 140

mg/dl

Albumin

2,3

3,8 5,1

g/dl

Protein total

5,0

6,6 8,7

g/dl

A B AB O

Leucocyte

Bakteriology
Pewarnaan ZNP, ZN
Serology
Golongan Darah ABO

Negatif (-)
O

Foto Thoraks

23

Interpretasi Foto :
a. Identitas Foto

Nama

: Ny.S

Umur

: 42 tahun

Tanggal pembuatan

: 28 Mei 2014

Posisi / Marker

: Posisi PA / Terdapat Marker R pada foto

b. Pembacaan Foto

KV

: Penyinaran Foto cukup

Soft tissue

: Dalam batas normal

Klavikula

: Simetris (+) deformitas (-) destruksi (-)

Scapula

: Superposisi pada skapula kanan dan kiri (-)

Diafragma

: Sebelah kiri tidak tampak karena tertutup oleh perselubungan


homogen

Jantung

: Tidak tampak karena tertutup oleh perselebungan homogen

Paru

: Tampak perselubungan homogen pada paru kiri bawah sampai


dengan paru kiri tengah disertai air fluid level horizontal (+) pada
bagian atasnya, dan tampak konsolidasi (+) pada hampir seluruh
paru kanan terutama bagian bawah.

Mediastinum
Para trachea

: Tampak normal

Para hilus

: Hipervaskularisasi para hilus kanan dan avaskularisasi


pada hilus kiri

Para kardial

: Hipervaskularisasi pada kardial kanan

Sinus Costoprhenikus : Tampak tajam pada sisi kanan, sisi kiri tidak tampak

Sinus Kardioprenikus : Tampak tajam pada sisi kanan, sisi kiri tidak tampak

Kesan foto :

Dari hasil foto torak ditemukan adanya perselubungan homogen pada paru kiri bawah
sampai dengan paru kiri tengah disertai air fluid level horizontal (+) pada bagian
atasnya, tampak konsolidasi (+) pada hampir seluruh paru kanan terutama bagian
bawah, avaskularisasi (+) para hilus kiri, dan hipervaskularisasi (+) para hilus kanan.

24

V.

RESUME
Pasien wanita, umur 42 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 3 bulan
SMRS. Batuk terus menerus disertai dahak yang banyak berwarna kuning kecoklatan.
Keluhan disertai sesak (+) saat batuk, demam ringan (+), keringat banyak (+), nafsu
makan menurun (+) dan berat badan menurun (+). Pasien memiliki riwayat keluhan
yang sama sejak 3 tahun yang lalu dan sudah mendapatkan obat paket TB selama 6
bulan hingga tuntas sebanyak 3 kali. Pasien juga menderita DM sejak 3 tahun yang
lalu, namun DM tidak terkontrol dan tidak rutin minum obat.
Pada pemeriksaan fisik: pada leher terdapat pembesaran kelenjar tiroid (+), pada
thoraks terlihat pasien bernafas menggunakan otot bantu napas (+), stem fremitus kiri
lebih lemah dari kanan dengan kesan kiri melemah, perkusi didapatkan sonor
memendek hingga redup pada paru kiri tengah sampai bawah, serta pada auskultasi
terdengar vesikuler melemah sampai hilang pada paru kiri tengah dan bawah,
terdengar juga rhonkhi (+) pada paru kanan.
Pada foto thoraks PA: ditemukan adanya adanya perselubungan homogen pada paru
kiri bawah sampai dengan paru kiri tengah disertai air fluid level horizontal (+) pada
bagian atasnya, tampak konsolidasi (+) pada hampir seluruh paru kanan terutama
bagian bawah, dan avaskularisasi (+) para hilus kiri, serta hipervaskularisasi (+) para
hilus kanan.

VI.

DIAGNOSA BANDING
1. Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c Hipoalbuminemia
2. Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c TB paru relaps

VII.

DIAGNOSA KERJA
Hidropneumothoraks spontan sekunder e.c Hipoalbuminemia + DM tipe II

25

VIII. PENATALAKSANAAN
Rawat inap :
-

IVFD NaCL 20 gtt/menit

Inf. Albumin 20%

Inj. Levofloxacin 1 fls (500mg/100ml)/12 jam

Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

Ambroxol syr 3 x Cth II

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Transfusi PRC 2 kantong

Rencana pemasangan WSD 2 sisi setelah hipoalbuminemia teratasi

FOLLOW UP
Tanggal
27 Mei 2014

Follow
TD : 100/70 mmHg

Terapi
- IVFD NaCL 20 gtt/menit

HR : 80 x/i

Inf. Albumin 20%

RR : 22 x/i

Inj.

T : 36,5 C

Levofloxacin

fls

(500mg/100ml)/12 jam

Ku : batuk berdahak (+)


sesak napas (), demam (-)
Pem.fisik : suara nafas
vesikuler menurun sampai
hilang pada paru kiri
tengah dan bawah, ronkhi
(+) pada paru kanan,

Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

Ambroxol syr 3 x Cth II

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Transfusi PRC 2 kantong

Rencana pemasangan WSD 2


sisi

Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II

26

28 Mei 2014

TD : 110/80 mmHg

IVFD NaCL 20 gtt/menit

HR : 78 x/i

Inf. Albumin 20%

RR : 22 x/i

Inj.

T : 36,0 C

Levofloxacin

fls

(500mg/100ml)/12 jam

Ku : batuk berdahak (+)


sesak napas (), demam (-)
Pem.fisik : suara nafas
vesikuler menurun sampai
hilang pada paru kiri
tengah dan bawah, ronkhi

Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

Ambroxol syr 3 x Cth II

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Transfusi PRC 2 kantong

Rencana pemasangan WSD 2

(+) pada paru kanan,

sisi

Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
29 Mei 2014

TD : 120/70 mmHg

IVFD NaCL 20 gtt/menit

HR : 82 x/i

Inf. Albumin 20%

RR : 20 x/i

Inj.

T : 36,7 C

Levofloxacin

fls

(500mg/100ml)/12 jam

Ku : batuk berdahak (+)


sesak napas (), demam (-)
Pem.fisik : suara nafas
vesikuler menurun sampai
hilang pada paru kiri
tengah dan bawah, ronkhi
(+) pada paru kanan,

Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

Ambroxol syr 3 x Cth II

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Transfusi PRC 2 kantong

Rencana pemasangan WSD 2


sisi

Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II

27

30 Mei 2014

TD : 110/80 mmHg

IVFD NaCL 20 gtt/menit

HR : 82 x/i

Inf. Albumin 20%

RR : 20 x/i

Inj.

T : 36,8 C

Levofloxacin

(500mg/100ml)/12 jam

Ku : batuk berdahak (+)


sesak napas (), demam (-)
Pem.fisik : suara nafas
vesikuler menurun sampai
hilang pada paru kiri
tengah dan bawah, ronkhi
(+) pada paru kanan,

Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

Ambroxol syr 3 x Cth II

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Tranfusi albumin

Transfusi PRC 2 kantong

Rencana pemasangan WSD 2


sisi

Dx : Hidropneumotoraks + DM
Tipe II
31 Mei 2014

fls

TD : 110/80 mmHg

Levofloxacin 500 mg 2 x

HR : 78 x/i

Ranitidin 2 x 1

RR : 22 x/i

Ambroxol syr 3 x Cth II

T : 36,0 C

Solaneuron tab 2 x 1

Glucodex 1 x 80mg

Metformin 3 x 500mg

Pasien PBJ dan anjuran


kontrol ulang poli paru

Dx : Hidropneumotoraks + DM

seminggu kemudian

Tipe II

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Pratomo Irandi Putra, Faisal Yunus. Continuing Medical Education, Anatomi dan
Fisiologi Pleura. 2013. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, FKUI/RSUP
Persahabatan. Jakarta; Indonesia.

2. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV. 2007. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. Hal 1056-1068.

3. http://rad.usuhs.mil/amsus/RadiologyCornerHydropneumothorax.html

29

Anda mungkin juga menyukai

  • Makalah Anatomi
    Makalah Anatomi
    Dokumen8 halaman
    Makalah Anatomi
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Makala H
    Makala H
    Dokumen11 halaman
    Makala H
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Referat CHF Dita
    Referat CHF Dita
    Dokumen33 halaman
    Referat CHF Dita
    Dwi Darta
    Belum ada peringkat
  • Parkinson
    Parkinson
    Dokumen16 halaman
    Parkinson
    gasomedic85
    Belum ada peringkat
  • Diagnosa Presentasi Dan Posisi Janin
    Diagnosa Presentasi Dan Posisi Janin
    Dokumen18 halaman
    Diagnosa Presentasi Dan Posisi Janin
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Scabies
    Scabies
    Dokumen13 halaman
    Scabies
    Nanda Satria Editama
    Belum ada peringkat
  • Kista Endometriosis
    Kista Endometriosis
    Dokumen31 halaman
    Kista Endometriosis
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Definisi Ketuban Pecah Dini
    Definisi Ketuban Pecah Dini
    Dokumen21 halaman
    Definisi Ketuban Pecah Dini
    Ananda Wulan Darmawan
    100% (2)
  • Biodata
    Biodata
    Dokumen4 halaman
    Biodata
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Makalah TB Paru Dengan DM
    Makalah TB Paru Dengan DM
    Dokumen22 halaman
    Makalah TB Paru Dengan DM
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Preeklamsi + Missed Abortion
    Preeklamsi + Missed Abortion
    Dokumen44 halaman
    Preeklamsi + Missed Abortion
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Per Masala Han
    Per Masala Han
    Dokumen2 halaman
    Per Masala Han
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS TB PARU + DM Tipe II
    LAPKAS TB PARU + DM Tipe II
    Dokumen16 halaman
    LAPKAS TB PARU + DM Tipe II
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Prameshwari
    Prameshwari
    Dokumen1 halaman
    Prameshwari
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Cover TB Paru - DM
    Cover TB Paru - DM
    Dokumen3 halaman
    Cover TB Paru - DM
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Ppok 3
    Ppok 3
    Dokumen16 halaman
    Ppok 3
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Bab II
    Bab II
    Dokumen5 halaman
    Bab II
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Makalah Ppok
    Makalah Ppok
    Dokumen32 halaman
    Makalah Ppok
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kasus 2 FIX
    Makalah Kasus 2 FIX
    Dokumen28 halaman
    Makalah Kasus 2 FIX
    Tri Handayani
    Belum ada peringkat
  • Makala H
    Makala H
    Dokumen11 halaman
    Makala H
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Makalah TB Paru Dengan DM
    Makalah TB Paru Dengan DM
    Dokumen21 halaman
    Makalah TB Paru Dengan DM
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Ppok 1
    Ppok 1
    Dokumen16 halaman
    Ppok 1
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat
  • Ppok 2
    Ppok 2
    Dokumen18 halaman
    Ppok 2
    Nona Novia Hanny
    Belum ada peringkat