Anda di halaman 1dari 70

DINAMIKA FOSFAT DAN KLOROFIL

DENGAN PENEBARAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus)


PADA KOLAM BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias gariepinus)
SISTEM HETEROTROFIK

MUHIB RADHIYUFA

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/ 1432 H

DINAMIKA FOSFAT DAN KLOROFIL


DENGAN PENEBARAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
PADA KOLAM BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias gariepinus)
SISTEM HETEROTROFIK

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta

MUHIB RADHIYUFA
106095003199

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/ 1432 H

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN
TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, September 2011

MUHIB RADHIYUFA
106095003199

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Untukmu Ayah Ibu
Lima tahun sudah berlalu
Bersama 23 orang penuntut ilmu
Aku berjibaku
Meraih ijazah sarjanaku
Menapaki hiruk pikuk dan lika-liku ilmu
Di kota central tempat para penjuru negeri mengadu
Bersama doa mu, aku menuntut ilmu
Bersama harapmu, aku menuju cita-citaku
Bersama kasihsayangmu, aku rindu
Kini dapat aku persembahkan untuk mu ayah dan ibu
Sebuah karya yang ku tulis dengan tinta cintamu
Inilah keringat dan jeripayahmu ayah dan ibu
Inilah doa dan linangan air mata malammu ibu
Inilah harapanmu ayah dan ibu
Inilah baktiku pada mu ayah dan ibu
Jangan pernah surut sungai di kelopak matamu
mengalirkan doa ibu
Jangan pernah berhenti bibir mu berharap oh ayah dan ibu
Sampai dunia kurengkuh untuk mu
Sampai Surga ku bawakan untuk mu
Oh ayah dan Ibuku tercinta
Kasih sayangmu tiada tara.
Skripsi ini ku persembahkan
untuk Ayah dan Ibundaku Tercinta

ABSTRAK

Muhib Radhiyufa. Dinamika Fosfat Dan Klorofil Dengan Penebaran Ikan


Nila (Oreochromis niloticus) Pada Kolam Budidaya Ikan Lele (Clarias
gariepinus) Sistem Heterotrofik

Intensifikasi dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan


tambahan. Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya secara intensif
yaitu terjadinya penurunan kualitas air yang disebabkan meningkatnya limbah
nitrogen dan fosfat. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air da
kelangsungan hidup ikan. Salah satu usaha untuk meningkatkan kelangsungan
hidup ikan dengan sistem budidaya perikanan intensif sistem heterotrofik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika fosfat dan klorofil pada
kolam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) sistem heterotrofik dengan
penebaran ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian dilakukan di
Laboratorium Sistem Budidaya Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang-Jawa Barat dari bulan Mei sampai Juni
2011. Pada penelitian ini menggunakan 2 perlakuan dengan 3 ulangan. Adapun
perlakuannya adalah kolam perlakuan ikan lele tanpa penebaran ikan nila dan
kolam perlakuan ikan lele dengan penebaran ikan nila. Data hasil penelitian
ditampilkan secara grafis untuk melihat dinamika dari setiap parameter dan
dijelaskan secara deskriptif. Data hasil pengukuran kadar fosfat dan klorofil
dianalisis dengan korelasi bivariate. Parameter yang diamati dalam penelitian ini
meliputi: kadar fosfat, klorofil dan kualitas air (pH, suhu, oksigen terlarut,
amonia, nitrat, VSS). Hasil penelitian menunjukkan penebaran ikan nila pada
kolam budidaya ikan lele sistem heterotrofik mengalami dinamika kadar fosfat
dan klorofil dimana terjadi penurunan pada akhir penelitian dibandingkan tanpa
penebaran ikan nila. Terdapat hubungan yang erat antara kadar fosfat dengan
kadar klorofil pada perlakuan tanpa penebaran ikan nila dan dengan penebaran
ikan nila dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,743 dan 0,858 dan signifikan secara
statistik (P < 0,05).

Kata kunci : Dinamika fosfat dan klorofil, Ikan lele dan ikan nila

ABSTRACT

Muhib Radhiyufa. Dynamics Of Phosphate And Chlorophyll By Spreading


Tilapia Fish (Oreochromis niloticus) In Catfish (Clarias gariepinus)
Aquaculture Ponds Heterotrophic System
Intensification is characterized by an increase in fish density and additional food.
Problems that always arise in the intensive cultivation of the decline in water
quality due to increased toxic waste nitrogen and phosphate. One of the ways to
improve the survival of fish in intensive aquaculture heterotrophic system. The
purpose of this research to knows the dynamics of phosphate and chlorophyll in
pond culture of catfish (Clarias gariepinus) by spreading tilapia (Oreochromis
niloticus) with a heterotrophic system. This research was performed in the
Laboratory of Aquaculture Systems Workshop Research and Breeding Freshwater
Aquaculture Technology Sukamandi, Subang, West Java, from April to May
2011. This research used two treatments with 3 replications. The treatment is a
treatment pond catfish without spreading tilapia (A) and the treatment pond
tilapia+catfish (B). The data results of research is shown graphically to see the
dynamics of each parameter measured and analyzed by bivariate correlation.
Parameters observed in this research include: levels of phosphates, chlorophyll,
water quality (pH, temperature, dissolved oksigen, ammonia, nitrat, VSS). Results
of this research showed that by spreading tilapia in pond culture of catfish
heterotrophic systems affect the decrease level of phosphate and chlorophyll. An
strong correlation between levels of phosphates and chlorophyll in treatment A
and B by value (r) 0,743 and 0,858 and significant with statistic (P < 0,05).

Key words: Dynamics of phosphate and chlorophyll, catfish and tilapia.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Dinamika Fosfat Dan Klorofil Dengan Penebaran Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Pada Kolam Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) Sistem
Heterotrofik ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang
penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan masukan-masukan dari
banyak pihak. Memang demikian yang penulis rasakan dalam praktek hingga
skripsi ini berhasil diselesaikan, yakni banyak pihak yang mendukung dan
membantu, berupa moril dan materil, baik secara langsung maupun tidak langsung
hingga penyusunan skripsi dapat dilakukan dengan baik dan lancar sesuai waktu
yang ditentukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Muhammad Kasir Sihotang, MM dan Medina Samosir, AM.Pd orang
tuaku tercinta, kakak-kakakku (Muhammad Mukhlas Anshori, ST,
Risnaliati Bona, M. E dan Rafrianika, M.A.P) yang semoga di rahmati
Allah SWT, yang selalu memberikan dukungan moril dan materilnya
sampai terselesaikannya skripsi ini.
2. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi.
i

3. DR. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud selaku Kepala Prodi Biologi Fakultas
Sains dan Teknologi.
4. Bambang Gunadi, M. Si dan DR. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud selaku
pembimbing. Terima kasih atas kesediaan dan kesabarannya dalam
membimbing, serta semua nasihat yang membangun semangat penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
5. DR. Imron, S. Pi, M. Si selaku kepala dan Drs. Wayan Subamia, M. Si
selaku mantan kepala Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang Jawa Barat.
6. Bapak DR. Joni Haryadi M. Sc dan Ibu Dini Fardila, M. Si selaku penguji
seminar hasil, yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada
penulis.
7. Ibu Megga Ratnasari Pikoli, M. Si dan Ibu Dasumiati, M. Si selaku
penguji sidang skripsi, yang telah memberikan masukan dan saran yang
sangat membangun kepada penulis.
8. Ibu Dasumiati, M.Si selaku dosen pembimbing akademik.
9. Zihan Oktavina, S.Si yang setia menemaniku, memberikan semangat dan
saran selama penyusunan skripsi.
10. Lamanto, S. Pi, Rita Febriyana, S. Pi yang telah membimbing dan
membantu penulis selama penelitian.
11. Kang Nurdiansyah, Mang Karim, Mas Ivan, Mas Galih, Didin, Ikhsan,
Kang Uus, Bi Mun, Pak Sofyan, Pak Sumarno, Pak Keming yang telah
membantu penulis selama penelitian.
ii

12. Muhammad Iqbal S. Si, Rosmaniar, S. Si, Yudha Lestira, S. Pi, Efrizal,
S.Pi, Ayudya Safitry Iskandar, S.Pi, Musyrikin, S. Pi, Asep Mulyana, S.
Pi, Astri Kurniasari, S. Pi teman-teman selama penelitian di Subang.
13. Mukhlis Syafaat (Pane), Irfan Hilmi (Gelenk), Apiz, Yapong, Abi, Dery,
Cepi, Eki, Zarken, Arob, Dahry, Sammy teman-teman kosanku.
14. Teman-teman Biologi Angkatan 2006 (Malik, Zian, Nungq, Anggi, Note,
Pipit, Rina, Iis, Nunu, Yelvi, Hera, Nita, Nana, Bandot, Bduz, Adeng,
Aqil, Eco, Bamz, Gelenk, Ipin, Ryan). Terimakasih kawan atas dukungan
dan perhatian kalian, semoga persahabatan ini selalu ada buat kita semua.
15. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatunya, terima
kasih atas segala bimbingan dan bantuannya.
Akhirnya atas bantuan, bimbingan, pengarahan serta dorongan yang
diberikan, semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk kesempurnaan
skripsi ini.
Demikianlah skripsi ini disusun, semoga skripsi ini berguna dan
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah bekal ilmu pengetahuan dan
untuk penulis khususnya. Amin.
Jakarta, September 2011

Muhib Radhiyufa
iii

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .........................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................

vii

DAFTAR TABEL ................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................

ix

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................

1.1. Latar Belakang ...................................................................

1.2. Perumusan Masalah ............................................................

1.3. Hipotesis ..............................................................................

1.4. Tujuan Penelitian................................................................

1.5. Manfaat Penelitian ..............................................................

1.6. Kerangka Berfikir ...............................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................

2.1. Ikan Lele (Clarias gariepinus) .............................................

2.2. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) .......................................

2.3. Padat Penebaran ...................................................................

2.4. Kelangsungan Hidup Ikan ....................................................

2.5. Sistem Heterotrofik ...............................................................

10

2.5.1. Molases ........................................................................

11

2.6. Fitoplankton ...........................................................................

12

2.7. Parameter Kualitas Air ......................................................

14

2.7.1. Suhu ............................................................................

14

2.7.2. Oksigen Terlarut .........................................................

15

2.7.3. Fosfat ...........................................................................

16

2.7.4. Amonia ........................................................................

18

2.7.5. Nitrat ...........................................................................

19
iv

2.7.6. pH ...............................................................................

19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................

21

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................

21

3.2. Alat dan Bahan .......................................................................

21

3.3. Cara Kerja ..............................................................................

22

3.3.1. Rancangan Kolam Pemeliharan ..................................

22

3.3.2. Penebaran Ikan ............................................................

22

3.3.3. Perlakuan .....................................................................

23

3.3.4. Inokulasi Bakteri .........................................................

24

3.3.4. Pemberian Pakan dan Molases ....................................

24

3.4. Pengamatan ............................................................................

25

3.4.1. Pengukuran Fosfat ......................................................

25

3.4.2. Pengukuran Klorofil ....................................................

25

3.4.3. Pengukuran Kualitas Air .............................................

26

3.4.4. Pengukuran Amonia ....................................................

26

3.4.5. Pengukuran Nitrat .......................................................

26

3.4.6. Pengukuran Volatile Suspended Solid (VSS) .............

27

3.5. Analisis Data ..........................................................................

28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................

29

4.1. Kadar Fosfat ...........................................................................

29

4.2. Klorofil ...................................................................................

31

4.3. Kelangsungan Hidup Ikan .

34

4.4. Parameter Kualitas Air .

35

4.4.1. Suhu .

35

4.4.2. pH

37

4.4.3. Oksigen Terlarut .............

38

4.4.4. Amonia ....

40

4.4.5. Nitrat ....

41

4.4.6. Volatile Suspended Solid (VSS) ... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..

45

5.1. Kesimpulan ...

45

5.2. Saran .....

45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 46


LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................... 50

vi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ikan Lele Clariasgariepinus) .................................................

Gambar 2. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ........................................

Gambar 3. Skema Kolam Penelitian . .....................................................

22

Gambar 4. Skema Posisi Kolam .............................................................

23

Gambar 5. Kadar Fosfat Selama Penelitian ....

29

Gambar 6. Kadar Klorofil Selama Penelitian .

32

Gambar 7. Kelangsungan Hidup Ikan Lele dan Ikan Nila ..

35

Gambar 8. Nilai Suhu Selama Penelitian ....

36

Gambar 9. Nilai pH Selama Penelitian ....

38

Gambar 10. Kadar Oksigen Terlarut Selama Penelitian ..

39

Gambar 11. Kadar Amonia Selama Penelitian ....

41

Gambar 12. Kadar Nitrat Selama Penelitian ...

42

Gambar 13. Nilai VSS Selama Penelitian ....

44

vii

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kisaran Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan Lele ......................

Tabel 2. Kode Perlakuan Setiap Kolam .................................................

23

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Antara Fosfat dan Klorofi Pada


Perlakuan A dan B menggunakan SPSS versi 16 ......................

33

viii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Foto Kolam Pemeliharaan ...................................................

50

Lampiran 2. Foto Sampling Ikan .........................................

51

Lampiran 3. Foto Pengukuran Kualitas Air .............................................

52

Lampiran 4. Rata-rata Kadar Fosfat dari Minggu ke-1 sampai ke-6 ...

53

Lampiran 5. Rata-rata Kadar Klorofil dari Minggu ke-1 sampai ke-6 .

53

Lampiran 6. Hasil Analisis Korelasi Antara Kadar Klorofi dengan Parameter


Lingkungan Pada Perlakuan B ........

54

Lampiran 7. Perhitungan Inokulasi Bakteri Komersil ..........................

54

ix

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan produksi ikan akibat

pertambahan penduduk dan tingginya tingkat konsumsi ikan, budidaya ikan


dituntut untuk selalu meningkatkan produksinya secara intensif. Pengembangan
budidaya perikanan yang intensif dicirikan dengan adanya peningkatan
kepadatan ikan dan suplai pakan yang seluruhnya ditambahkan dari luar sistem
(pakan buatan). Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya
perikanan secara intensif yaitu terjadinya penurunan kualitas air yang
disebabkan karena meningkat dan cepat terakumulasinya sisa pakan, bahan
organik, senyawa fosfat dan nitrogen toksik yang dihasilkan karena rendahnya
kecepatan pergantian air (Tchobanoglous dan Burton, 1991).
Budidaya ikan secara intensif dengan peningkatan padat penebaran dan
peningkatan

pemakaian

pakan

buatan

kaya

protein

mengakibatkan

meningkatnya limbah nitrogen toksik dan fosfat. Limbah nitrogen toksik dan
fosfat pada perairan budidaya umumnya berasal dari sisa pakan yang tidak
termakan dan feses ikan. Selama satu periode pemeliharaan ikan secara tidak
langsung selalu diperoleh limbah sisa-sisa pakan dan kotoran ikan. Limbah
nitrogen toksik dalam perairan pada umumnya dalam bentuk ammonia atau
nitrat dan nitrit (Avnimelech, 1988).

Limbah fosfat dalam perairan pada umumnya dalam bentuk ortofosfat


(PO4-3), polifosfat (P2O7) dan fosfor organik. Dalam perairan terjadi proses
fotoautotrofik, dimana fosfat merupakan salah satu unsur penting dalam
pembentukannya. Semakin tingginya proses fotoautotrofik yang diikuti
tingginya kelimpahan klorofil (fitoplankton), maka semakin menurun pula kadar
fosfat. Kelimpahan klorofi (fitoplankton) menyebabkan menurunnya kualitas air
dan air menjadi toksik yang sangat berbahaya bagi ikan. Perombakan bahan
organik membutuhkan oksigen terlarut dalam air, hal ini menyebabkan
berkurangnya oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh ikan untuk
keperluan metabolisme dan pernafasannnya (Boyd, 1989).
Proses mikrobial heterotrofik atau sistem heterotrofik dalam kolam
budidaya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi beban pencemaran kualitas air
dan meningkatkan kualiatas air yang pada prinsipnya dirangsang untuk berubah
menjadi biomassa mikroba atau fitoplankton untuk kemudian dipanen secara
biologis oleh pemakan bakteri dan plankton (filter feeding fish) (Avnimelech
dan Mokay, 1988). Penerapan sistem ini dilakukan dengan memelihara
organisme yang memiliki tropik level lebih rendah dari ikan yang dibudidayakan.
Dalam hal ini, ikan nila yang termasuk salah satu organisme pemakan bakteri
dan plankton yang berasal dari limbah nitrogen dan fosfat pada kolam budidaya.
Sumber nutrien utama bagi ikan bertropik level rendah dalam sistem ini adalah
fitoplankton dan mikroba.
Mengingat konsentrasi nitrogen dan fosfor yang tinggi berbahaya bagi
lingkungan akuatik, maka pengontrolan dinamika kedua senyawa tersebut

menjadi sangat penting dalam manajemen kolam budidaya perikanan. Maka


dilakukan penelitian untuk mengetahui dinamika fosfor untuk memberikan
informasi kebijakan pengelolaan perikanan selanjutnya pada upaya peningkatan
produksi akuakultur dengan intensifikasi. Dalam penelitian ini hanya dibatasi
pada dinamika fosfat dan klorofil pada kolam budidaya ikan lele (Clarias
gariepinus) dengan penebaran ikan nila (Oreochromis niloticus) sistem
heterotrofik.

1.2.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika

fosfat dan klorofil dengan penebaran ikan nila (Oreochromis niloticus) pada
kolam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) sistem heterotrofik?

1.3.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah: Penebaran ikan nila (Oreochromis

niloticus) pada kolam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) sistem


heterotrofik dapat menurunkan kadar fosfat dan klorofil.

1.4.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika fosfat dan

klorofil pada kolam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) sistem heterotrofik
dengan penebaran ikan nila (Oreochromis niloticus).

1.5.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk menentukan manajeman operasional

budidaya ikan lele intensif dengan sistem heterotrofik dan meningkatkan


kelangsungan hidup ikan serta kualitas airnya yang pada akhirnya dapat
mengurangi bahaya pencemaran lingkungan.

1.6.

Kerangka Berfikir
Kebutuhan masyarakat akan produksi ikan
meningkat seiring bertambahnya
populasi manusia

Budidaya intensif

Limbah fosfat meningkat

Penurunan kualitas air dan


kelangsungan hidup ikan

Pemanfaatan ikan Nila dan


sistem hetrotrofik

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut


mengenai Dinamika Fosfat Dan
Klorofil Dengan Penebaran Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) Pada Kolam
Budidaya Ikan Lele (Clarias
gariepinus) Sistem Heterotrofik

Diharapkan dapat
meningkatkan kelangsungan
hidup ikan dan kualitas Air

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Ikan Lele (Clarias gariepinus)


Ikan lele berasal dari Benua Afrika. Ikan ini memiliki berbagai

kelebihan, diantaranya yaitu pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan


beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, jika dikonsumsi rasanya enak dan
kandungan gizinya cukup tinggi (Suyanto, 2006).

10

15

20

Gambar 1. Ikan Lele (Clarias gariepinus)


Foto: Muhib (2011)

Ikan lele umumnya berwarna kehitaman atau keabuan dengan bentuk


badan yang memanjang pipih ke bawah (depressed), berkepala pipih, tidak
bersisik, memiliki empat pasang kumis yang memanjang sebagai alat peraba,
dan memiliki alat pernapasan tambahan (arborescent organ) (Gambar 1).
Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang (Pillay,
1990). Ikan lele mempunyai jumlah sirip punggung 68-79, sirip dada 9-10, sirip

perut 5-6, sirip dubur 50-60 dan jumlah sungut 4 pasang. Sirip dada dilengkapi
sepasang duri tajam/patil yang memiliki panjang maksimum mencapai 400 mm.
Ukuran matanya sekitar 1/8 panjang kepalanya. Giginya berbentuk villiform dan
menempel pada rahang. Secara alami ikan lele bersifat nocturnal, artinya aktif
pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap, tetapi dalam usaha
budidaya ikan lele dibuat beradaptasi menjadi diurnal. Ikan lele bersifat
omnivora cenderung karnivora (Suyanto, 2006).

Tabel 1. Kisaran kualitas air budidaya ikan lele (Khairuman et al., 2002)
Parameter Kualitas Air
Amoniak (NH3)
pH
Suhu
Oksigen terlarut (O2)

2.2.

Kisaran
0,05 ppm
6,5-8
20 30 C Optimal 27 C
> 3 ppm

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila berasal dari sungai Nil. Bibit ikan didatangkan ke Indonesia

secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah
melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan nila disebarluaskan di seluruh
Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah
melalui Direktur Jenderal Perikanan (Rukmana, 1997).
Ikan nila memiliki bentuk tubuh streamline (Gambar 2). Bentuk mulutnya
biasa dan letaknya berada di ujung (terminal). Sirip punggung dengan 16-17 sirip
tajam dengan 11-15 jari-jari (sirip lunak) dan sirip dubur dengan 3 sirip dengan 811 jari-jari. Tubuhnya berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa garis

gelap melintang (belang). Ekornya memiliki jari-jari 7-12 buah. Sirip ekornya
homoserkal dan sisiknya berjenis stenoid (Suyanto, 2006).

Gambar 2. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Foto: Muhib (2011)

Ikan nila memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan


lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat dipelihara di dataran rendah berair payau
maupun dataran yang tinggi dengan suhu yang rendah. Ikan nila dapat hidup
pada suhu 14 38oC dan suhu terbaik 20 30oC. Ikan nila termasuk omnivora
atau pemakan segala, baik tumbuhan maupun hewan. Kebiasaan itu bergantung
pada umurnya. Pada saat larva ikan nila menyukai fitoplankton. Namun pada
saat benih menyukai zooplankton, seperti Daphnia sp, dan Moina sp. Setelah
dewasa menyukai cacing, seperti cacing darah dan tubifex. Menurut kebiasaan
tempat makan, ikan nila termasuk jenis floating feeder yaitu pemakan di
permukaan air, terkadang juga bersifat bottom feeder yaitu pemakan di dasar
perairan. Ikan nila termasuk ikan yang aktif, bergerak cepat ketika diberi pakan
tambahan (Suyanto, 2006).
Ikan nila merupakan spesies akuakultur yang cukup menarik karena
pertumbuhannya cepat sehingga dapat digunakan sebagai filter feeder,

reproduksinya cepat dan mampu menstabilkan kelimpahan fitoplankton. Ikan


nila mampu memfilter bakteri berukuran 1 m dan fitoplankton berdiameter 5
m (Turker et al., 2003).

2.3.

Padat Penebaran
Padat penebaran ikan adalah jumlah ikan atau biomassa yang ditebar

persatuan luas atau volum wadah pemeliharaan ikan. Padat penebaran erat sekali
kaitannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan. Padat penebaran yang tinggi
berpengaruh terhadap kegiatan ikan budidaya yaitu kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan kesehatan ikan. Peningkatan padat penebaran dapat dilakukan
dengan melakukan pengawasan terhadap empat faktor utama lingkungan, yaitu
pengawasan suhu, pemberian pakan, suplai oksigen, dan pembersihan limbah
metabolisme. Pengawasan terhadap empat faktor tersebut memungkinkan untuk
meningkatkan

padat

penebaran

ikan

tanpa

harus

mengurangi

laju

pertumbuhannya (Hepher dan Prugnin, 1984).


Langkah awal yang penting dalam usaha pemeliharaan ikan yaitu
pengaturan padat penebaran. Pengaturan padat penebaran pada suatu sistem
lokasi budidaya ikan bertujuan untuk menentukan secara tepat jumlah ikan
optimal yang ditebarkan pada suatu perairan sehingga dapat menghasilkan
produksi yang baik secara kualitas dan kuantitas. Padat penebaran yang terlalu
tinggi akan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air dan
secara tidak langsung akan mempengaruhi nafsu makan dan pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Semakin tinggi tingkat kepadatan ikan

dapat menyebabkan semakin banyak masalah yang timbul, seperti serangan


penyakit, memburuknya kualitas air serta terjadinya kompetisi dalam mengambil
pakan (Stickney, 1979).

2.4. Kelangsungan Hidup Ikan


Kelangsungan hidup yang biasa disebut Survival rate (SR) adalah
perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir pemeliharaan
dengan jumlah individu yang hidup pada awal pemeliharaan. Kelangsungan
hidup merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Kelangsungan hidup
ikan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang
mempengaruhi yaitu kompetitor, parasit, umur, predasi, kepadatan populasi,
kemampuan adaptasi dari hewan dan penanganan manusia. Faktor abiotik yang
berpengaruh antara lain yaitu sifat fisika dan sifat kimia dari suatu lingkungan
perairan. Jumlah waktu pemberian pakan dan pemberian shelter pada kolam
pemeliharaan akan mempengaruhi kelangsungan hidup ikan karena dapat
mengurangi mortalitas (Effendi, 2003).
Pertumbuhan ikan yang baik akan meningkatkan produksi dari usaha
budidaya. Besarnya produksi bergantung pada tingkat pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan yang dibudidayakan. Semakin besar jumlah ikan yang
hidup dan semakin besar ukuran bobot individunya maka akan semakin tinggi
hasil produksi (Wahyudi, 2006). Padat penebaran yang tinggi berpengaruh
terhadap kegiatan ikan budidaya yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
kesehatan ikan (Kordi dan Tancung, 2007).

10

2.5.

Sistem Heterotrofik
Sistem heterotrofik merupakan sistem budidaya ikan yang menggunakan

bakteri heterorofik dan menggunakan sumber karbon organik sebagai sumber


energinya. Pada sistem heterotrofik ini, amonia akan diubah menjadi biomassa
bakteri. Bakteri heterotrofik akan mengkonversi limbah nitrogen organik
(amonia, nitrit, dan nitrat) menjadi biomassa. Bakteri heterotrofik merupakan
golongan bakteri yang mampu memanfaatkan dan mendegradasi senyawa
organik kompleks baik yang mengandung unsur C, H, dan N. Kelompok bakteri
ini mengawali tahap degradasi senyawa organik dengan serangkaian tahapan
reaksi enzimatis, dan menghasilkan senyawa yang lebih sederhana atau senyawa
anorganik, senyawa tersebut digunakan

sebagai

sumber energi

untuk

pembentukan sel-sel baru dan untuk reproduksi yang menyebabkan pertambahan


populasi. Pemecahan senyawa organik dapat berlangsung lebih cepat apabila
tersedia oksigen yang mencukupi (Parwanayoni, 2008).
Kelangsungan hidup bakteri heterotrofik di perairan tergantung dari
senyawa-senyawa organik baik untuk energinya maupun sebagi sumber karbon
yang diperlukan untuk pembentukan biomasanya. Bakteri heterotrofik lebih
umum ditemukan di perairan. Dibandingkan dengan bakteri autotrofik bakteri
ini merupakan mikroorganisme yang dalam ekosistem berfungsi menghancurkan
bahan-bahan organik pencemar dalam perairan (Achmad, 2004).
Pertumbuhan bakteri hetrotrofik di perairan juga didukung oleh faktor
lingkungan, diantaranya yaitu kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Pertumbuhan
dan perkembangan mikrooganisme banyak dipengaruhi oleh konsentrasi ion

11

hidrogen, misalnya pH. Pada kebanyakan bakteri umumnya tumbuh optimum


antara pH 6,5 - 8,5 (Waluyo, 2009).
Mikroba

yang termasuk

bakteri heterotrofik bersal

dari genus

Mycobacterium, Streptomyces, Agrobacterium, Bacillus dan Pseudomonas.


Genus Bacillus termasuk salah satu bakteri heterotrofik, yang ketergantungan
energinya berasal dari oksidasi atau deasimilasi senyawa karbon organik.
Bacillus sp. dapat hidup dengan baik dalam medium sintetik berisi gula, asamasam organik, alkohol sebagai sumber karbon dan sebagai sumber nitrogen.
Secara morfologi genus Bacillus merupakan batang tebal dengan spora central,
subterminal maupun terminal. pergerakannya dengan flagella. Bacillus sp.
banyak ditemui dalam lapisan rhizosphere dan kemungkinan sebagai habitatnya.
Pada habitat tersebut Bacillus tumbuh aktif pada pH 5,5-8,5 (Abdillah, 2009).
Bakteri heterotrofik Bacillus sp menghasilkan enzim-enzim hidrofilik
ekstrasellular yang memecah polisakarida, lemak serta menggunakannya sebagai
sumber karbon dan energi. Kemampuan dalam menguraikan bahan-bahan
organik ini, menyebabkan bakteri ini berperan penting dalam proses
dekomposisi bahan-bahan organik (Abdillah, 2009).

2.5.1. Molases
Molases merupakan hasil samping dari proses kristalisasi pembuatan
gula tebu. Molases mengandung 48-56% gula dan sedikit unsur-unsur mikro
yang penting bagi kehidupan organisme, seperti cobalt, boron, iodium, tembaga,
mangan, dan seng. Selain itu, molase juga mengandung vitamin dan pigmen.

12

Kandungan gula yang tinggi pada molase sehingga dapat dimanfaatkan dalam
sistem akuakultur sebagai sumber karbon. Sumber karbon yang dapat digunakan
meliputi alkohol, gula, sagu, dan bahan berserat. Alkohol dan gula mudah
dicerna, dapat menstimulus pertumbuhan bakteri lebih cepat, sehingga mampu
untuk berkompetisi dengan fitoplankton dalam mengabsorbsi nitrogen dan fosfor
dalam kolam budidaya. Penggunaan molases sebagai sumber karbon didasarkan
pada harga molases yang relatif murah, memiliki kandungan karbon yang tinggi,
serta penggunaannya cukup mudah (Willet dan Morrison, 2006).
Selain itu, pemanfaatan molases sebagai sumber karbon pada sistem
budidaya perikanan, digunakan sebagai pengontrol biomassa bakteri dan kualitas
air pemeliharaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan organisme yang dibudidayakan. Penggunaan molase mampu
mengurangi nilai amoniak dari kolam budidaya (Willet dan Morrison, 2006).

2.6.

Fitoplankton
Fitoplankton merupakan tumbuhan yang seringkali ditemukan di seluruh

massa air pada zona eufotik, berukuran mikroskopis dan memiliki klorofil
sehingga mampu membentuk zat organik dari zat anorganik melalui fotosintesis
(Nontji, 2006). Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen
yang akan dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai
peranan penting dalam menunjang produktifitas perairan.
Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk
menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai

13

dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan. Namun fitoplankton tertentu
mempunyai peran menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebih
(blooming). Tingginya populasi fitoplankton beracun di dalam suatu perairan
dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya (Nontji, 2006).
Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan
sampai

pada

kedalaman

dimana

intensitas

cahaya

matahari

masih

memungkinkan untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fitoplankton ini


merupakan komponen flora yang paling besar peranannya sebagai produsen
primer di suatu perairan. Fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat
dijadikan sebagai indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan
suatu perairan. Fitoplankton juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di
dalam suatu perairan. Pentingnya peranan fitoplankton sebagai pengikat awal
energi matahari menjadikan fitoplankton berperan penting bagi kehidupan
perairan (Fachrul, 2007).
Fitoplankton mempunyai banyak kelebihan sebagai tolak ukur biologis
yaitu mampu menunjukkan tingkat ketidakstabilan ekologi dan mengevaluasi
berbagai bentuk pencemaran. Setiap jenis fitoplankton berbeda reaksi fisiologis
dan tingkah lakunya terhadap perubahan kualitas lingkungan. Pencemaran
merupakan perusakan kualitas air akibat akumulasi buangan yang dilakukan
oleh manusia, baik buangan yang berguna maupun buangan yang tak berguna
(Fachrul, 2007).

14

Keberadaan fitoplankton di suatu perairan juga dipengaruhi oleh faktor


fisika, kimia dan biologi perairan di daerah tersebut (Odum, 1981).
Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari,
temperatur dan unsur hara (Goldman dan Horne, 1983). Fitoplankton dapat
berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan
kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar produsen primer mata
rantai makanan di perairan (Dawes, 1981).

2.7.

Parameter Kualitas Air

2.7.1. Suhu
Suhu dalam perairan mempunyai sifat yang unik yang berhubungan
dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai
tingkat minimal, sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan
yang terjadi lebih lambat dari pada udara. Suhu dalam perairan mempunyai sifat
yang unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama
mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal sehingga perbedaan suhu
dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dari pada udara
(Odum, 1981). Suhu memiliki peranan yang penting bagi proses fisika, kimia
dan biologi di suatu perairan. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan
laju evaporasi, volatilisasi gas dan reaksi-reaksi kimia di perairan. Kenaikan
suhu perairan dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas di dalam air,
termasuk gas O2, CO2, NH3, dan H2S (Effendi, 2003).

15

Suhu sangat mempengaruhi nafsu makan ikan sehingga berpengaruh


terhadap metabolisme pertumbuhan. Kenaikan suhu yang masih dapat diterima
ikan, akan diikuti kenaikan derajat metabolisme dan selanjutnya kebutuhan
oksigen akan naik pula. Hal ini sesuai dengan hukum Van Hoff yang
menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik
dua sampai tiga kali lipat setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Namun, kenaikan
suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan
oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk
melakukan

proses

metabolisme dan

respirasi.

Peningkatan

suhu

juga

menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba


(Effendi, 2003).

2.7.2. Oksigen terlarut


Oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara
bebas dan hasil fotosntesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.
Kecepatan difusi oksigen dari udara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus,
gelombang dan pasang surut. Kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan
semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.
Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses
difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.
Bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena
proses fotosisntesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak
digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.

16

Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,


stadium dan aktifitasnya (Odum, 1981).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi, pasir halus serta bahan organik seperti plankton dan
mikroorganisme lainnya. Kekeruhan air (turbidity) berhubungan dengan
penetrasi cahaya matahari kekolam air. Tingkat kekeruhan berpengaruh terhadap
laju fotosntesis fitoplankton, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi oksigen
yang terlarut di air (Effendi, 2003).
Tingkat konsumsi oksigen organisme air sangat bergantung pada suhu,
bobot tubuh, fitoplankton, dan bakteri yang ada di dalam perairan. Akumulasi
buangan padat akan meningkatkan biomasa bakteri heterotrofik, sehingga
meningkatkan kebutuhan oksigen. Kadar oksigen terlarut yang baik untuk
pertumbuhan organisme akuatik adalah lebih dari 3.5 mg/liter, sedangkan
konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 1.5 mg/liter dalam jangka waktu yang
lama dapat bersifat lethal bagi organisme akuatik. (Effendi, 2003).

2.7.3. Fosfat
Fosfats di perairan terdapat dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam
bentuk butiran-butiran kalsium fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) dan
sebagian lagi dalam bentuk fosfat anorganik (orthophosphat). Kandungan fosfat

17

yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm
(Widjaya, 1994).
Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang
merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer.
Diperairan

bentuk

fosfor

berubah-ubah

secara

terus

menerus,

akibat

dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang
dilakukan oleh mikroba. Keseimbangan antara bentuk fosfat anorganik pada
berbagai nilai pH. Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0.005-0.02
mg/liter (Widjaya, 1994).
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan
nitrogen dapat menstimulir ledakkan pertumbuhan fitoplankton di perairan.
Fitoplankton yang berlimpah ini dapat dapat membentuk lapisan pada
permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan
cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Pada
saat perairan cukup mengandung fosfor, fitoplankton mengakumulasi fosfor di
dalam sel melebihi kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal dengan
istilah konsumsi lebih. Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada
saat perairan mengalami defisiensi fosfor, sehingga fitoplankton masih dapat
tumbuh beberapa waktu selama periode kekurangan pasokan fosfor. Selama
defisiensi fosfor fitoplankton juga dapat memanfaatkan fosfor organik dengan
bantuan enzim alkalin fosfat yang berfungsi memecah senyawa organofosfor.
Keberadaan enzim alkalin fosfat akan meningkat jika terjadi defisiensi fosfor di
perairan (Boney, 1989).

18

Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam sel, misalnya yang


terdapat pada ATP (Adenosine Triphospate) dan ADP (Adenosine Diphosphate).
Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk
fosfor yang paling sederhana di perairan. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor
yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan
polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu
sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat. Setelah masuk kedalam
tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan
menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan
mengendap didasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi
tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang
bersifat larut dan melepaskan fosfat keperairan, sehingga meningkatkan
keberadaan fosfat diperairan (Effendi, 2003).

2.7.4. Amonia
Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan
nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari
dekomposisi bahan organik dan anorganik oleh mikroba (Rachmiwati, 2008).
Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+). Amonia
bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan amonium dapat terionisasi. Di perairan
alami, pada suhu dan tekanan normal amonia berada dalam bentuk gas dan
membentuk kesetimbangan dengan gas amonium. Ikan tidak dapat bertoleransi
terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu

19

proses pengikatan oksigen di dalam darah. Kadar amonia di perairan alami


biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (Effendi, 2003).
2.7.5. Nitrat
Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan
organik. Nitrogen anorganik salah satunya ilalah nitrat atau ion nitrat (NO 3-)
sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan
mengendap dalam air. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk
nitrogen tersebut ngalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan
ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen.
Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat
dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan
berkurang secara nyata pada pH< 7. Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah
sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis.
Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida (N2O)
dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi
anoksik (tak ada oksigen).

2.7.6. pH
pH adalah banyaknya ion hidrogen yang terkandung di dalam air. Tinggi
rendahnya pH air sangat ditentukan oleh konsentrasi H+ yang terdapat dalam
perairan. Setiap organisme mempunyai pH optimum untuk kehidupannya. Nilai
pH perairan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berhubungan dengan

20

susunan spesies dari ikan. Kisaran pH yang ideal untuk kehidupan ikan adalah
antara 6,5 - 8,5 (Jubaedah, 2006).
Beberapa mikroorganisme yang bersifat heterotrofik juga mampu
pengoksidasi amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat.
Mikroorganisme yang termasuk dalam golongan tersebut diatas antara lain
adalah bakteri (Alcaligenes, Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Bakteri
Arthrobacter mampu menghasilkan nitrat dalam media yang mengandung
amonia sebagai sumber nitrogen (Alexander, 1977).
Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai sumber karbon, sedangkan
bakteri heterotrofik menggunakan senyawa organik, seperti asetat, piruvat, dan
oksaloasetat sebagai sumber karbon. pH merupakan salah satu faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi
amonia (Esoy et al., 1998). pH optimum untuk pertumbuhan bakteri
pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik berkisar dari 7,5 sampai 8,5
(Ratledge, 1994), sedangkan bakteri yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada
lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan hasil yang lebih tinggi pada
kondisi dengan konsentrasi kadar oksigen rendah (Zhao et al., 1999).
pH adalah cerminan dari derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion
hidrogen. Air murni terdiri dari ion H+ dah ion OH- dalam jumlah berimbang
hingga pH air murni biasa 7 atau netral. Air yang bersifat alkalis umumnya
dengan pH lebih dari 7 karena banyak mengandung garam yang bersifat alkalis.
pH air yang banyak mengandung CO2 biasanya lebih rendah dari 7 dan bersifat
asam (Ahmad, 1991).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011.

Penelitian ini bertempat di Laboratorium Sistem Budidaya Loka Riset


Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang,
Jawa Barat.

3.2.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aerator, jaring, Water

Quality Cheker, termometer maksimum-minimum, timbangan digital, botol


sampel, cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, erlemeyer, labu ukur, bunsen,
mikro pipet, kertas saring wathman no.42, spatula, alumunium foil, oven,
spektrofotometer U-I500, cuvette, tissue grinder, Centrifuge, ember, jaring ikan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan lele (Clarias
gariepinus) sebanyak 1000 ekor/kolam (40 ekor/m2), ikan nila sebanyak 750
ekor/kolam (30 ekor/m2), pakan ikan lele (pelet apung 781), molase, bakteri
Bacillus sp, reagent fosfat, akuades, NaOH 6N, MgCO3 Suspension, acetone
solution 90%, HCl 1 N.

21

22

3.3.

Cara Kerja

3.3.1. Rancangan Kolam Pemeliharan


Kolam yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 5 x 5m dengan
kedalaman air dipertahankan setinggi 70 cm. Satu unit kolam disekat menjadi
dua ruangan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Ruang I berisi pemeliharaan
ikan lele dan pada ruang II diletakkan jaring pada beberapa kolam sesuai
perlakuan dan diisikan ikan nila, sebagai organisme filter feeder.
Air dari ruang I dialirkan ke ruang II dengan mesin pompa air
berkapsitas 0,14 liter/detik. Dengan cara ini, air akan mengalir dari ruang I ke
ruang II dan akan kembali ke ruang I.

Ruang I
Ikan lele
5m

Pompa air

Ruang II
Ikan nila
5m
Gambar 3. Skema kolam penelitian

3.3.2. Penebaran Ikan


Ikan lele (Clarias gariepinus) ditebar berukuran 50gr/ekor sebanyak
1000 ekor/kolam (40 ekor/m2) pada enam kolam di ruang I, dan ikan nila ditebar
berukuran 5gr/ekor sebanyak 750 ekor/kolam (30 ekor/m 2) di ruang II hanya
pada tiga kolam sesuai perlakuan. Sebelum ditebar, ikan diseleksi terlebih

23

dahulu. Ikan yang layak digunakan adalah ikan yang memiliki organ tubuh yang
lengkap, aktif (gesit), ukuran seragam dan tidak terinfeksi penyakit.

3.3.3. Perlakuan
Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri atas dua perlakuan
dengan tiga ulangan, yakni tiga kolam tanpa penebaran ikan nila dan tiga kolam
dengan penebaran ikan nila.

Tabel 2. Kode perlakuan tiap kolam


Perlakuan

Kode Perlakuan

B3

A1

Ikan Lele

A2

Ikan Lele

A3

Ikan Lele

B1

Ikan Lele + Nila

B2

Ikan Lele + Nila

B3

Ikan Lele + Nila

A3

B2

B1

A1

Gambar 4. Skema posisi kolam

A2

24

3.3.4. Inokulasi Bakteri


Inokulasi bakteri dilakukan pada ruang pemeliharaan ikan nila untuk
memacu pertumbuhan bakteri pada ruang tersebut. Biakan bakteri ini sebagian
besar mengandung bakteri Bacillus sp.. Dosis yang diberikan sesuai perhitungan
yakni 20 l/kolam. Inokulasi bakteri ini hanya dilakukan sekali pada awal
penelitian (Lampiran 7).

3.3.5. Pemberian pakan dan molases


Pakan diberikan hanya kepada ikan lele yaitu berupa pelet apung
komersial dengan kandungan protein 28-30%. Pemberian pakan dilakukan tiga
kali sehari yaitu pagi sekitar pukul 07.00 WIB, siang sekitar pukul 13.00 WIB
dan sore sekitar pukul 16.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan ditentukan
berdasarkan perhitungan berikut:
Total pakan yang diberikan = 3% x total biomassa ikan
Total pemberian pakan mengikuti pertumbuhan ikan. Biomassa Ikan
diukur setiap 7 hari sekali sehingga jumlah pakan yang diberikan diganti setiap 7
hari sekali.
Pemberian molases diberikan pada semua kolam dan dilakukan setiap
hari pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Pada penelitian ini diasumsikan
bahwa kandungan karbohidrat pada molase adalah 60,79% (WH Foods, 2007).
Karbohidrat mengandung karbon sebanyak 40%. Molases diberikan dengan
dosis yang disesuaikan dengan bobot ikan kolam dan sesuai dengan perhitungan
rasio C/N.

25

3.4.

Pengamatan

3.4.1. Pengukuran Fosfat


Pengukuran fosfat setiap kolam dan dilakukan di Laboratorium.
Pengambilan sampel air dari tiap-tiap kolam dilakukan pada jam 07.00 sebelum
pemberian pakan dan molases. Sampel air 100 ml dalam erlenmeyer
ditambahkan 1 tetes PP (jika terjadi pembentukan warna merah jambu,
dihilangkan dengan penambahan larutan asam kuat dan ditambahkan 1ml larutan
asam kuat tersebut). Dimasukkan batu didih dan dipanaskan perlahan-lahan (90
menit), selama pemanasan, dipertahankan volume larutan antara 25-50 mL
dengan penambahan air suling, kemudian didinginkan dan dinetralkan dengan
penambahan NaOH 6N sampai warna larutan merah jambu tua. Dituangkan
dalam labu takar 100 ml dan diditera. Ditambahkan 8 ml reagen campuran,
diaduk dan dibiarkan 10 menit. Kemudian ukur Absorbansinya dengan
Spektrofotometer pada panjang gelombang () = 880 nm.
Perhitungan :
Fosfat (mg/l) = Abs Contoh x fp
Slope
Keterangan : slope diperoleh dari kurva linearitas deret standar Fosfat.
fp = Faktor pengenceran

3.4.2. Pengukuran Klorofil


Pengukuran klorofil dilakukan di Laboratorium. Pengambilan sampel air
dari tiap-tiap kolam dilakukan pada jam 07.00 sebelum pemberian pakan dan

26

molases. Sampel air 100 ml disaring dengan whatmann GF/C, sambil disaring
ditambahkan 1 ml MgCO3 Suspension. Kertas saring+filtrat dibungkus dan
disimpan dalam tissue grinder, kemudian ditambahkan 2 ml acetone solution
90% dan digiling, setelah itu ditambahkan lagi 8 ml acetone solution 90%
kemudian digiling keras selama 30 menit. Diisi tissue grinder dan dipindahkan
ke dalam 15 ml Tabung Centrifuge (ditutup dan di shaker keras, disimpan dalam
4C selama 3 jam). Chlorophyll extract dikocok di 4000 rpm selama 5 menit.
Extract dipindahkan dalam 1 cm cuvette , baca Absorbansi pd = 750 nm dan =
663 nm. Dinolkan Absorbansi dengan acetone solution 90% setiap kali
pengukuran. 2 tetes HCl 1 N ditambahkan ke dalam Chlorophyll extract dan
dicampur lalu dibaca Absorbansinya pada panjang gelombang = 750 nm dan =
663 nm.
Perhitungan :
Klorofil (mg/m 3) = 26,73 x [(665b 750b) (665a 750a)] x V1/(V2xL)
Keterangan : V = volume ekstrak (l)
V2= volume sampel (m3)
L = lebar cuvette (cm).
663b dan 750b= Nilai absorbansi sebelum penambahan asam
665a dan 750a= Nilai absorbansi setelah penambahan asam

3.4.3. Pengukuran Kualitas Air


Pengukuran kualitas air dilakukan sebelum pemberian pakan dan molases
pada jam 07.00. Pengukuran DO, suhu, pH secara in situ menggunakan alat

27

Water quality checker. Pengukuran amonia, nitrat dan VSS dilakukan di


laboratorium.

3.4.4. Pengukuran Amonia


Sampel air diambil pagi hari sebelum pemberian pakan dan molases. 5
ml sampel air dimasukkan ke tabung reaksi, ditambahkan 0,2 ml larutan fenol,
0,2 ml larutan nitroprussida dan 0,5 ml larutan oksidan. Dibiarkan hingga warna
terbentuk pada suhu ruang (22-27 oC), dikocok dan dibiarkan selama satu jam.
Dianalisis dengan spektrofotometer pada = 640 m.

3.4.5. Pengukuran Nitrat


Sampel air diambil pagi hari sebelum pemberian pakan dan molases. 2
ml sampel air dimasukkan ke tabung reaksi lalu ditambahkan 0,4 ml larutan
Brusin 0,5% dan 4 ml larutan H2SO4 pekat lalu didinginkan. Dianalisis dengan
spektrofotometer pada = 420 m.

3.4.6. Pengukuran Volatile Suspended Solid (VSS)


Sampel air diambil pagi hari sebelum pemberian pakan dan molases.
Sampel air sebanyak 100 ml disaring dengan menggunakan kertas saring
wathman dan vakum, kemudian kertas saring dikeringkan di dalam oven pada
suhu 103C selama 60 menit. Didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A).
Kertas saring dimasukkan kembali ke dalam furnance pada suhu 550C selama
60 menit dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang lagi (B). Hasil
timbangan A dan B dihitung dengan menggunakan rumus :

28

VSS (mg/l) = _____A B_____


V sampel air (ml)

3.5. Analisis Data


Hasil pengukuran setiap paramater ditampilkan secara grafis untuk melihat
dinamika dari setiap parameter dan dijelaskan secara deskriptif. Data hasil
pengamatan kadar fosfat dan klorofil dianalisis menggunakan Korelasi Bivariate
sehingga dapat diketahui lebih jelas hubungan antara kadar fosfat dan klorofil
setiap perlakuan.
Hipotesis:
H0: Tidak ada hubungan (korelasi) antara dua variabel
H1: Ada hubungan (korelasi) antara dua variabel
Berdasarkan Probabilitas :
1. Jika probabilitas > 0,05, H0 diterima
2. Jika probabilitas < 0,05, H0 ditolak (Santoso, 2003)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.

Kadar Fosfat
Berdasarkan hasil pengukuran kadar fosfat selama penelitian diperoleh

rata-rata kadar fosfat pada perlakuan A (ikan lele) dan perlakuan B (ikan lele dan
ikan nila) berkisar antara 0,131-4,937 mg/l. Pada minggu ke-1 rata-rata kadar
fosfat perlakuan A sebesar 2,06 mg/l lebih rendah dibandingkan pada perlakuan B
sebesar 4,07 mg/l. Minggu ke-2 penelitian kadar fosfat setiap perlakuan menurun
yaitu sebesar 2 mg/l pada perlakuan A dan 2,33 mg/l pada perlakuan B. Pada
minggu ke-3 kadar fosfat setiap perlakuan meningkat dengan rata-rata sebesar
3,80 mg/l pada perlakuan A dan lebih rendah dibandingkan pada perlakuan B
sebesar 4,93 mg/l. Pada minggu ke-4 sampai ke-6 penelitian rata-rata kadar fosfat
perlakuan A menurun sebesar 2,618 mg/l dan kembali meningkat di akhir
penelitian (4,236 mg/l), sedangkan rata-rata kadar fosfat pada perlakuan B
cenderung konstan yaitu sebesar 2,6 mg/l.
6,000

(mg/L)

5,000

4,937
4,074

4,000
3,000
2,000

2,060

1,000
0,000

0,150
0,131
0
1

3,948
2,582 2,636

3,804
2,330
2,006

4,236

2,618 2,618
perlakuan A
perlakuan B
4

(Minggu ke-)
Gambar 5. Kadar Fosfat Selama Penelitian

29

30

Hasil penelitian menunjukkan adanya dinamika kadar fosfat pada setiap


perlakuan. Selama penelitian terjadi kenaikan dan penurunan kadar fosfat pada
setiap minggunya. Kadar fosfat pada perlakuan A meningkat di tiap minggunya
hanya pada minggu ke-5 kadar fosfat menurun. Kadar fosfat di perlakuan B pada
minggu ke-1 sampai ke-4 berdinamika, sedangkan pada minggu ke-4 sampai ke-6
kadar fosfat cenderung stabil (Gambar 5).
Penebaran ikan nila pada perlakuan B dapat mempengaruhi dinamika
kadar fosfat. Tingginya kadar fosfat pada perlakuan B dipengaruhi oleh akumulasi
sisa pakan yang tidak termakan dan feses ikan lele dan ikan nila dari jumlah
penebaran 1000 ekor ikan lele/kolam dan 750 ekor ikan nila. Kadar fosfat yang
tinggi berkaitan dengan proses fotoautotrofik dimana terjadi siklus fosfat yaitu
polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Ortofosfat
merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam proses
fotoautotrofik.

Semakin

tingginya

proses

fotoautotrofik

semakin

tinggi

kelimpahan fitoplankton. Selanjutnya terjadi pemangsaan kelimpahan fitoplankton


tersebut oleh ikan nila, menghasilkan feses dan seterusnya siklus fosfat tersebut
terjadi. Hal ini didukung oleh pendapat Henderson dan Markland (1987) yang
menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mg/l dalam air akan merangsang
fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak dengan pesat. Hal ini didukung
juga oleh pendapat Henderson dan Markland (1987) yang menyatakan bahwa
kandungan fosfor > 0,010 mg/l dalam air akan merangsang fitoplankton untuk
tumbuh dan berkembang biak dengan pesat.

31

Semakin banyak ikan, semakin banyak feses yang dihasilkan begitu juga
dengan pemberian pakan tambahan yang tidak termakan yang mengakibatkan
tingginya kadar fosfat dan kelimpahan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan
pendapat Edward dan Tarigan (2003) bahwa fosfat merupakan salah satu nutrisi
yang diperlukan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya.

4.2.

Klorofil
Kelimpahan fitoplankton dapat menjadi indikasi adanya penyuburan

perairan. Kelimpahan fitoplankton sangat ditentukan oleh kandungan bahan


organik perairan yang ditunjukan dari parameter fosfat perairan. Klorofil adalah
pigmen yang terdapat pada fitoplankton, dengan mengamati kadar klorofil dapat
mengetahui kelimpahan dari fitoplankton.
Hasil penelitian rata-rata kadar klorofil pada perlakuan A dan perlakuan B
setiap satu minggu penelitian berkisar antara 0,080-8,108 mg/m3 dan 0,125-8,232
mg/m3 (Gambar 6). Pada minggu pertama rata-rata kadar klorofil perlakuan A
sebesar 7,16 mg/m3 lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan B sebesar 4,12
mg/m3. Pada minggu ke-2 rata-rata kadar klorofil pada perlakuan A sebesar 3,99
mg/m3 dan 5,66 mg/m3 pada perlakuan B. Minggu ke-5 dan ke-6 rata-rata kadar
klorofil perlakuan A dan B relatif menurun dengan kadar klorofil perlakuan A
lebih besar dibandingkan pada perlakuan B.

32

9,000
8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000

8,108

8,232
7,279

7,163

(mg/m3)

5,684
4,125

4,802

3,991

4,294

3,920

4,544

3,600
perlakuan A
perlakuan B

0,080
0,125
0

(Minggu ke-)

Gambar 6. Kadar Klorofil Selama Penelitian


Rata-rata kadar klorofil pada setiap perlakuan menunjukkan grafik yang
berdinamika, cenderung meningkat pada tiga minggu penelitian dan mengalami
penurunan pada akhir penelitian (Gambar 6). Kadar klorofil yang meningkat
disebabkan melimpahnya zat organik yang menjadi sumber nutrien penting bagi
perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton. Kadar klorofil pada perlakuan B
cenderung lebih rendah dibandingkan perlakuan A pada setiap minggunya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B kadar
klorofil menurun. Hal tersebut dikarenakan pada kolam perlakuan B yang terdapat
ikan nila sebagai pemakan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan pendapat Turker et
al. (2003) bahwa ikan nila merupakan spesies akuakultur dengan trofik level
feeding-nya rendah sehingga dapat digunakan sebagai filter feeder yang mampu
menstabilkan kelimpahan fitoplankton dengan memakan fitoplankton yang
berdiameter 5 m.

33

Fitoplankton adalah organisme akuatik yang merupakan pakan alami bagi


organisme yang memiliki trophic level yang lebih tinggi. Selama penelitian kadar
klorofil pada perlakuan A dan perlakuan B diamati karena di dalam kolam terjadi
proses fotoautotrofik alami yang akan membentuk padatan tersuspensi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Schwartz dan Boyd (1994) yang menyatakan
bahwa padatan tersuspensi di kolam berasosiasi dengan biomassa plankton dan
detritus turunan plankton yang dimaksudkan untuk membuktikan adanya
pemangsaan fitoplankton oleh ikan nila yang selama penelitian ikan nila dibiarkan
tumbuh tanpa pemberian pakan.
Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi antara Fosfat dan Klorofi pada Perlakuan A dan
B menggunakan SPSS versi 16
Perlakuan A
Fosfat

Klorofil

Fosfat

Klorofil

Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Perlakuan B
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Fosfat

Klorofil

0.743*

7
0.743

0.046
7
1
7

0.046
7
Fosfat

Klorofil

0.858*

7
0.858*

0.014
7
1

0.014
7

* : Signifikan
Hasil analisis korelasi antara kadar fosfat dengan kadar klorofil pada setiap
perlakuan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar fosfat
dengan kadar klorofil pada perlakuan A, yang dapat dilihat dari nilai korelasi (r)

34

sebesar 0,743 dan signifikan secara statistik (P < 0,05). Hubungan antara kadar
fosfat dengan kadar klorofil pada perlakuan B terdapat hubungan yang erat
dengan nilai r sebesar 0,858 dan signifikan secara statistik (P < 0,05) (Tabel 3).
Hal ini sesuai dengan pendapat Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan bahwa
adanya korelasi positif antara kadar fosfat dengan kadar klorofil.

4.3.

Kelangsungan Hidup Ikan


Kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila terjadi penurunan dari minggu

ke-1 sebesar 100% hingga akhir penelitian sebesar 20-44%. Kelangsungan hidup
ikan lele terendah pada perlakuan A sebesar 23,56% disebabkan terjadinya stres
pada ikan karena penurunan kualitas air dampak sistem kolam tertutup dan tidak
adanya pergantian air pada kolam pemeliharaan yang selanjutnya ikan menjadi
rentan terhadap penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fitriah (2004) bahwa
stres dianggap sebagai faktor utama penyebab penyakit karena stres akan
mengganggu mekanisme sistem imun yaitu mekanisme fisiologis ikan untuk
bertahan dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan, sehingga dapat
mengurangi resistensi ikan.
Di samping itu, penurunan kelangsungan hidup ikan lele dapat pula
disebabkan terjadinya kanibalisme. Selama penelitian dilakukan tiga kali
pemberian pakan yaitu pada pagi, siang dan sore hari, sedangkan pada malam hari
ikan lele tidak diberi pakan sehingga memungkinkan ikan mengalami kelaparan
dan terjadi perbedaan pertumbuhan serta terdapat ikan yang rentan penyakit. Ikan

35

yang lambat pertumbuhannya maka ikan lain akan berukuran lebih besar dan siap
menjadi kanibal terhadap ikan lain apabila malam hari.

50

44,55

SR ( % )

40
30

30,60
23,56

20
10
0
A. lele

B. lele

B. nila

Gambar 7. Kelangsungan Hidup Ikan lele dan Ikan Nila


Kelangsungan hidup ikan nila terjadi penurunan pada akhir penelitian
sebesar 44,55% (Gambar 7). Penurunan kelangsungan hidup ikan nila pada
perlakuan B disebabkan terjadinya stres yang disebabkan ikan nila dibiarkan tidak
diberi pakan yang bertujuan agar ikan nila dapat memakan fitoplankton dan
biomassa bakteri hasil perlakuan heterotrofik yang pada akhirnya ikan nila tidak
mampu bertahan hidup yang selanjutnya ikan akan menjadi rentan terhadap
penyakit dan mati.

4.4.

Parameter Kualitas Air

4.4.1. Suhu
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan tidak
memberikan pengaruh pada nilai suhu. Suhu rata-rata berkisar antara 27-29,63oC.

36

Suhu terendah pada minggu ke-4 sebesar 27,7 oC dan suhu tertinggi pada minggu
pertama sebesar 29,9 oC pada setiap perlakuan (Gambar 8).

30,00
29,63
29,57

29,50

perlakuan A
perlakuan B

29,60
29,43

(0C)

29,00

29,07

29,10

28,83

28,87

28,73

28,50

28,30
28,03

28,00

27,97

27,73
27,70

27,50
0

(Minggu ke-)

Gambar 8. Nilai Suhu Selama Penelitian


Kisaran suhu menunjukan nilai yang hampir sama. Nilai suhu dengan nilai
rata-rata 27-30o C menunjukkan bahwa kondisi suhu perairan cukup baik bagi
pertumbuhan fitoplankton. Berdasarkan analisis korelasi hubungan antara suhu
dengan kadar klorofil pada perlakuan B terdapat hubungan yang berlawanan
dengan nilai r sebesar -0,219 (Lampiran 6). Apabila suhu di perairan tinggi maka
kelimpahan fitoplankton menurun begitu juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Effendi (2003) bahwa kisaran suhu yang optimum untuk
pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30oC.
Dalam siklus fosfat, polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk
membentuk ortofosfat terlebih dahulu. Siklus ini sangat dipengaruhi oleh suhu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa semua

37

polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat yang bergantung pada suhu,


Nilai suhu pada perlakuan yang berkisar 27-30o C mengakibatkan perubahan
polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung normal sehingga tidak terjadi
penumpukan ortofosfat pada semua kolam perlakuan. Kisaran suhu pada
perlakuan A dan B menunjukan nilai yang hampir sama berkisar antara 27-29 oC.
Perubahan suhu mingguan masih dalam batas toleransi kelayakan hidup ikan.
Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan lele antara 27 29oC (Rachmiwati, 2008) dan
suhu ikan nila antara 25 30oC (Wahidin, 2006).

4.4.2. pH
Kisaran nilai pH yang didapatkan selama penelitian adalah 6,8-7,2
(Gambar 9). Hasil penelitian menunjukan perbedaan perlakuan tidak memberikan
pengaruh perbedaan nilai pH dan kisaran nilai pH menunjukan nilai yang stabil.
Hanya pada minggu ke-6 nilai pH pada masing-masing perlakuan mencapai 6,5.
Rendahnya nilai pH pada minggu ke-6 disebabkan oleh proses perubahan
polifosfat menjadi ortofosfat yang merupakan nutrisi yang diperlukan oleh
fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Effendi (2003)
menyatakan bahwa kecepatan perubahan polifosfat menjadi ortofosfat ini
megakibatkan nilai pH menurun.

38

7,30
7,20

7,17

7,10

pH

7,00

7,16

7,11

6,93

7,00

6,90

6,93

6,86

6,80

perlakuan A
perlakuan B

7,19
7,10

6,94

6,92

6,79

6,70
6,60

6,57
6,54

6,50
0

(Minggu ke-)
Gambar 9. Nilai pH Selama Penelitian

Kisaran pH 6,8-7,2 cukup baik untuk pertumbuhan fitoplankton. pH ideal


yang dibutuhkan untuk kehidupan fitoplankton di perairan yaitu sekitar 6,5 8,0
(Pescod, 1973). Hubungan antara pH dengan kadar klorofil pada perlakuan B
menunjukkan hubungan yang lemah dengan nilai r sebesar 0,246 (Lampiran 6).
Kisaran pH dengan nilai 6,5-7,5 masih memenuhi kelayakan bagi pertumbuhan
ikan lele dan ikan nila. Sesuai dengan pendapat Boyd (1982) bahwa nilai pH
yang baik bagi pertumbuhan ikan nila berkisar antara 7-8, dan nilai pH untuk
pertumbuhan ikan lele berkisar antara 6,5-8,5.
4.4.3. Oksigen Terlarut
Sumber oksigen dalam perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang
terdapat di atmosfer sekitar 35% dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan
fitoplankton. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kadar oksigen
terlarut yang hampir sama pada setiap perlakuan yaitu berkisar antara 0,14-0,40

39

mg/l pada perlakuan A, sedangkan pada perlakuan B berkisar antara 0,14-0,40


mg/l. Pada minggu ke-0 kadar oksigen terlarut sebesar 3,73 pada perlakuan A dan
5,60 pada perlakuan B. Minggu ke-1 kadar oksigen terlarut berkisar 0,14-0,25
mg/l cenderung stabil dari awal penelitian hingga minggu ke-6 (Gambar 10).
6,00

5,60

perlakuan A

5,00

perlakuan B

4,00

(mg/L)

3,73

3,00
2,00
1,00

0,30

0,25

0,00
0

0,14
1

0,30

0,30

0,27
3

0,27

0,23

0,40

0,09

0,17 0,14
5
6

(Minggu ke-)
Gambar 10. Kadar Oksigen Terlarut Selama Penelitian
Kadar oksigen terlarut yang berkisar < 1 mg/l pada perlakuan A dan B
disebabkan karena jumlah organisme yang banyak pada kolam perlakuan dan
ditambah organisme lain yang terbentuk di dalam kolam. Penurunan kadar
oksigen terlarut berkaitan dengan proses-proses mikrobial yang terbentuk serta
perombakan bahan-bahan organik dalam perairan.
Hubungan nilai oksigen terlarut dengan kadar klorofil pada perlakuan B
menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar -0,747
(Lampiran 6). Semakin tinggi kadar klorofil, maka kadar oksigen terlarut akan
semakin rendah. Hal ini dikarenakan pada siang hari fitoplankton melepaskan

40

oksigen melalui fotosintesis, meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air.


Namun karena fitoplankton menggunakan oksigen terlarut di malam hari ketika
fotosintesis tidak terjadi, kadar oksigen terlarut menjadi rendah pada pagi hari.
Rendahnya kandungan oksigen terlarut karena kolam penelitian masuk dalam
kategori kolam tertutup sehingga proses pergerakan air mempengaruhi difusi
oksigen kedalam. Menurut Soetomo (1988) kadar oksigen terlarut dalam kolam
dapat mengalami perubahan yang mendadak karena pengaruh proses penguraian
bahan organik, pernapasan dan pembusukan di dalam air kolam sehingga dapat
mengakibatkan habisnya persediaan oksigen.
Kadar oksigen terlarut pada perlakuan A dan B menunjukkan nilai < 1
mg/l. Ikan nila dan lele dapat bertahan pada kadar oksigen terlarut kurang dari 1
mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan Thefishsite (2005) bahwa ikan nila tumbuh
lebih baik apabila pasokan oksigen pada pagi cukup berkisar antara 0,7-0,8 mg/l
dan ikan lele masih dapat tumbuh dengan baik pada oksigen terlarut 1,7 mg/l.

4.4.4. Amonia
Kadar amonia pada perlakuan A dan B berkisar antara 4,29-17,58 mg/l
(Gambar 11). Pada minggu ke-1 penelitian kadar amonia meningkat hingga
mencapai 12, 902 mg/l pada perlakuan A dan 17,580 mg/l pada perlakuan B.
Terjadi penurunan kadar amonia hingga minggu ke-4 dan meningkat kembali
pada minggu ke-5 dan ke-6. Kadar amonia setiap minggu pada perlakuan B lebih
besar dari perlakuan A.

(mg/L)

41

20,0000
18,0000
16,0000
14,0000
12,0000
10,0000
8,0000
6,0000
4,0000
2,0000
0,0000

Perlakuan A
Perlakuan B

17,5805
12,9027

12,1283

10,7962

8,1320

8,4418
6,5830 4,5384
5,1890
4,2906

10,3934
8,7825

0,2742
0,4136
0

(Minggu ke-)

Gambar 11. Kadar Amonia Selama Penelitian


Kadar

amonia

berdinamika

seiring

dengan

bertambahnya

masa

pemeliharaan ikan. Dalam air, amoniak membentuk kesetimbangan antara bentuk


toksik (NH3) dan ion amonium non toksik (NH4+) yang masih dapat dimanfaatkan
dalam pertumbuhan fitoplankton. Hubungan kadar amonia dengan kelimpahan
fitoplankton menunjukkan hubungan yang lemah dengan nilai korelasi (r) 0,337
(Lampiran 6). Kadar amonia dalam kolam mempengaruhi pertumbuhan
fitoplankton. Sesuai dengan penelitian Rika (2011) bahwa amoniak dalam air akan
mengakibatkan kandungan oksigen menurun, yang menyebabkan biota air
(fitoplankton) kekurangan oksigen dan mati.
4.4.5. Nitrat
Kadar nitrat selama penelitian berkisar 2,333-73,858 mg/l (Gambar 13).
Kadar nitrat berfluktuasi dari minggu pertama hingga minggu ke-6. Kadar nitrat
tertinggi pada minggu ke-5 pada kolam perlakuan B dan kadar nitrat terendah
selain pada minggu ke-0 adalah minggu ke-4 sebesar pada 6,334. Kadar nitrat

42

pada minggu ke-4 terjadi penurunan dari minggu sebelumnya. Hal ini dikarenakan
banyaknya nitrat digunakan fitoplankton untuk pertumbuhannya dilihat dari
Gambar. 6 kadar klorofil yang menunjukkan kenaikan kadar klorofil perlakuan A
pada minggu ke-4 . Kadar nitrat berhubungan dengan fosfat dalam pertumbuhan
fitoplankton. Dalam penelitian Yuliana (2007) yang menyatakan bahwa kadar
nitrat 0,11-0,54 mg/l dan fosfat 0,13-0,22 mg/l masih dapat menopang kehidupan
fitoplankton.
80,0000
73,8584

Perlakuan A
Perlakuan B

70,0000
60,0000

64,0737
57,8767
62,7691

(mg/L)

50,0000
40,0000
30,0000

33,4149

22,9778

20,0000

29,1748
19,3901

14,4977
2,4282

10,0000

19,3901

9,9315

6,3438

2,2326

0,0000
0

(Minggu ke-)

Gambar 12. Kadar Nitrat Selama Penelitian


Tinggi rendahnya rata-rata kadar nitrat berkaitan dengan kadar klorofil
yang terdapat di dalam kolam penelitian. Nitrat dan fosfat menjadi nutrisi yang
berperan penting dalam pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton mengkonsumsi
nitrogen dalam banyak bentuk, seperti nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam
amino. Nitrat lebih banyak didapati di dasar yang banyak mengandung unsur
organik. Nitrat bisa diperoleh dari siklus nitrogen dan proses nitrifikasi oleh

43

bakteri autotrof yaitu pengubahan amoniak-nitrit-nitrat. Nitrat tersebut dibutuhkan


dalam proses pertumbuhan fitoplankton.
Hasil analisis korelasi pada perlakuan B menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang lemah antara kadar nitrat dengan kadar klorofil, yang dapat dilihat
dari nilai korelasi (r) sebesar 0,157 (Lampiran 6). Meski berhubungan lemah nitrat
merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan klorofil. Menurut Raymont (1980)
ada jenis plankton yang lebih dahulu menggunakan nitrat untuk pertumbuhannya.

4.4.6. Volatile Suspended Solid


Volatile Suspended Solid (VSS) merupakan salah satu parameter populasi
bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata VSS tiap minggunya pada
masing-masing perlakuan menunjukkan nilai dibawah 1 mg/l, hanya pada minggu
ke-2 pada kolam perlakuan A rata-rata VSS mencapai 2,051 mg/l (Gambar 13).
Tingginya nilai VSS dapat mempengaruhi kadar fosfat dalam perairan. Hal ini
didukung pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa perubahan polifosfat
menjadi ortofosfat pada air limbah yang mengadung bakteri berlangsung lebih
cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada air bersih.
Populasi bakteri cenderung meningkat menjelang akhir penelitian. Hasil
analisis statistik menunjukkan korelasi yang lemah dengan nilai r sebesar 0,317
(Lampiran 6). Bakteri heterotrof dan fitoplankton merupakan organisme penyusun
pada perairan yang memanfaatkan kandungan bahan organik, hal tersebut
menyebabkan adanya persaingan dalam pemanfaatan bahan organik. Verschure et

44

al. (2004) menyatakan bahwa bakteri heterotrof berkompetisi untuk mendapatkan


karbon dan sumber energi.
2,500

Perlakuan A
Perlakuan B

2,051

2,000

(mg/L)

1,500
0,929

1,000
0,624

0,500

0,139
0,074
0,115
0,032
0,000
0
1
2

0,519
0,742
0,455

0,349
0,303
3

(Minggu ke-)

0,067

0,060

Gambar 13. Nilai VSS Selama Penelitian


Nilai VSS pada perlakuan A lebih besar dibandingkan dengan perlakuan B.
Hal tersebut dikarenakan pada kolam perlakuan A tidak ada ikan nila sebagai
biofilter feeder pemakan bakteri. Pemanfaatan ikan nila sebagai pemakan bakteri
sesuai dengan pernyataan Schroeder (1978) yang menyatakan bahwa kumpulan
mikroba merupakan jejaring makanan heterotrofik dan tersambung dengan tingkat
trofik yang lebih tinggi yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan langsung bagi
spesies yang dibudidayakan dengan demikian secara keseluruhan akan
meningkatkan efisiensi transfer energi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Penebaran ikan nila (Oreochromis niloticus) pada kolam budidaya ikan
lele (Clarias gariepinus) sistem heterotrofik mengalami dinamika kadar fosfat dan
klorofil dimana terjadi penurunan dibandingkan tanpa penebaran ikan nila.

5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi fitoplankton
serta kelangsungan hidup pada kolam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus)
sistem heterotrofik.

45

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Ikhwan. 2009. Aplikasi Bakteri Nitrifikasi dan Bacillus subtilis untuk
meningkatkan produktivitas kultur Daphnia magna. Skripsi. Program
Studi Biologi SITH. ITB. Bandung.
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Yogyakarta. Yogyakarta.
Ahmad, T. 1991. Pengelolaan peubah mutu air yang penting dalam tambak
udang intensif. Direktorat Jendral Perikanan. Balai Penelitian Perikanan
Bududaya Pantai : Maros.
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons.
Toronto.
Avnimelech, Y. dan S. Mokady. 1988. Protein biosynthesis in circulated
fishponds. In R.S.V. Pullin, T. Bhukaswan, K. Tonguthai and J.L.
Maclean (eds.). The second international symposium on Tilapia in
Aquaculture. ICLARM Conference Proceeding. Department of Fisheries,
Bangkok; Thailand, and International Center of Living Aquatic
Resources Management, Manila, Philippines.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University of
Agriculture Station. Alabana, USA.
Brune, D.E., G. Schwartz, A.G. Eversole, J.A. Collier, dan T.E. Schwedler.
2003. Intensification of pound aquaculture and high rate photosynthetic
systems. Aquaculture Engineering, 28: 65-86.
Craigh, S. dan L.A. Helfrich. 2002. Understanding Fish Nutrition, Feeds, and,
Feeding. Vignia Cooperative Extension Service Publication.
Davis, C.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. University Press.
Michigan State.
Dawes, C. J. Marine Botany. Willey interscience publ.
Ebeling, J.M., M.B. Timmons, dan J.J. Bisogni. 2006. Engineering analysis of
the stoichiometry of photoautotrophic, autotrophic, and heterotrophic
removal of ammonia nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture. 257:
346-358.
Edward dan M.S. Tarigan. 2003. Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kadar
Fosfat Dan Nitrat Di Laut Banda. Makara, Sains. 7(2): 82-89.

46

47

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Per`airan. Kanasius. Yogyakarta.
Esoy, A.H. Odegaard dan G. Bentzen. 1998. The Effect of Sulphide and Organic
Matter on The Nitrification Activity In Biofilm Procces. Water Science.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Fitriah, Husnul. 2004. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon Berbeda pada
Media Pemeliharaan terhadap Produksi Benih Lele Dumbo (Clarias sp.).
Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Goldman, R.C. dan A.J. Horne. 1983. Lymnology. McGraw Hill International
Book Company.
Gunadi, B. dan R. Hafsaridewi. 2007. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele
(Clarias gariepinus) Intensif Dengan Sistem Heterotrofik Untuk
Pemeliharaan Ikan Nila. Laporan Akhir Kegiatan Riset 2007. Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi.
Henderson, B.S dan H.R. Markland. 1987. Decaying Lakes: The Origins and
Control of Cultural Eutrophication. John Wiley & Sons Ltd. Great
Britain.
Hepher, B. dan Y. Prugnin. 1990. Nutrition of Pond Fishes. University Press.
Cambrige.
Hidayat, R. 2009. Akuakultur Berbasis Trophic Level: Pemanfaatan Limbah
Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.) oleh Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Melalui Penambahan Molase. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Iskandar. 2003. Budidaya Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta
Jubaedah, I. 2006. Pengelolaan Waduk bagi Kelestarian dan Keanekaragaman
Hayati Ikan. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 1 (1).
Jaelani, L.E.W. hadie, dan W. Hadie, 1992, Pengaruh Masa pakai Air Media
pada Pembenihan Udang galah dengan Sistem Resirkulasi terutup sekala
rumah tangga terhadap Petumbuhan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Perikanan Air Tawar. Cipayung.
Khairuman dan Amri, K. 2002. Budidaya Lele Dumbo secara Intensif.
Agromedia Pustaka. Jakarta.

48

Kordi, M. G. H. K., dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jambatan. Jakarta.
Odum, E.P. 1981. Fundamental of Ecology 3rd edition. W.B Sounders.
Philadephia.
Parwanayoni, S. 2008. Pergantian populasi Bakteri Heterotrof, Alga,dan
Protozoa di Lagoon BTDC Penanganan Limbah Nusa Dua Bali. Jurnal
Bumi Lestari. 8 (2) : 180-185.
Pescod, M. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for
Tropical Countries. ASEAN Institute of Technology. Bangkok.
Putra, Nana.S.S.U. 2008. Manajemen kualitas tanah dan air dalam kegiatan
perikanan budidaya. Departement Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Balai budidaya perikanan air payau.
Takalar
Rachmiwati, M, Lelyana. 2008. Pemanfaatan Limbah Budidaya ikan Lele
(Clarias sp.) Oleh Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Melalui
Pengembangan Bakteri Heterotrof. Skripsi. Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation. Kluwer Academic
Publisher. Amsterdam.
Raymont, J.E.G. 1980. Plankton and Productivity in the Ocean. Mc. Millan Co.
New York.
Rika. 2011. Pengaruh Budidaya Keramba Ikan Terhadap Kandungan Amonia,
Nitrat, Fosfat Dan Sulfida Pada Air Danau Maninjau. Skripsi. Univ.
Andalas. Padang.
Rukmana, R. 1997. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Jurnal Oseana. 30 (3): 21- 26.
Schroader, G.L. 1978. Autotrophic and Heterotrophic Production of Microorganism in Intensely Manured Fish Ponds, and Related Fish Yield.
Aquaculture. 14:303-325.

49

Schwartz, M.F. dan C.E. Boyd. 1994. Effluent quality during harvest of channel
catfish from watershed ponds. Prog. Fish-Cult., 56:25-32.
Soetomo, H.A.M. 1988. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Bandung.
Bandung.
Suyanto, S.R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Swadaya. Jakarta.
Stickney, R.R. 1993. Culture of Nonsalmonid Freshwater Fishes. Second
Edition. CRC pess. London-Tokyo.
Turker, H. et al. 2003. Comparative Nile Tilapia and Silver Carp Filtration Rates
of Partitinoed Aquaculture systemPhytoplankton. Aquaculture. 220: 449457.
Waluyo, L. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. UMM press. Malang.
Wahyudi. 2006. Pengaruh Penggunaan Aerator Dan Padat Penebaran Terhadap
Efisiensi Pakan dan Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus
Linn.) Dalam Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata. Skripsi. Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran. Jatinangor
Widjaya, F. 1994. Komposisi Kelimpahan Plankton Laut di Teluk Pelabuhan
Ratu, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan IPB. Bogor .
Widiyanto, Tri. 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk
Bioremediasi di Tambak Udang. Sekolah Pasca sarjana IPB. Bogor.
Willet, D. dan Morrison C. 2006. Using Molasse to Control Inorganic Nitrogen
and pH in Aquculture Ponds.
Winarno, K., O.P. Astirin dan A.D. Setyawan. 2000. Pemantauan Kualitas
Perairan Rawa Jabung berdasarkan Keanekaragaman dan Kekayaan
Komunitas Bentos. Bio. 2 (1): 40-46.
Yuliana. 2007. Struktur Komunitas Dan Kelimpahan Fitoplankton Dalam
Kaitannya Dengan Parameter Fisika-Kimia Perairan Di Danau Laguna
Ternate, Maluku Utara. Protein. 14(1).
Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, dan F.A. Koch. 1999. Controlling
factors for simultaneous nitrification and denitrification in a two-stage
intermittent aeration process treating domestic sewage. Water Resources.
33 (4): 961-970.

Lampiran 1. Foto Kolam Pemeliharaan

Kolam Pemeliharaan
Foto: Muhib (2011)

Kolam Pemeliharaan
Foto: Muhib (2011)

50

Lampiran 2. Foto Sampling Ikan

Penjaringan Ikan
Foto: Muhib (2011)

Pengumpulan Ikan
Foto: Muhib (2011)

Penghitungan dan Penimbangan Ikan


Foto: Muhib (2011)

51

Lampiran 3. Foto Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran Kualitas Air


Foto: Muhib (2011)

Water Quality Checker


Foto: Muhib (2011)

Pengukuran Fosfat dan Klorofil


Foto: Muhib (2011)

52

Lampiran 4. Rata-rata Kadar Fosfat dari Minggu ke-1 sampai ke-6


Perlakuan
A
(Ikan lele)

Minggu
keKolam

A1
A2
A3
Rata-rata

B
(ikan lele+

nila)

B1
B2
B3
Rata-rata

9/8/2010

19/8/10

26/8/10

1/9/2010

6/9/2010

15/9/10

21/9/10

0.082
0.082
0.228

1.251
1.953
2.977

0.658
0.928
4.434

3.031
4.110
4.272

5.566
3.571
2.708

2.276
3.355
2.222

3.247
5.512
3.948

0.131
0.136
0.163
0.152

2.060
1.845
2.222
8.155

2.006
2.869
0.712
3.409

3.804
4.326
6.052
4.434

3.948
3.517
2.276
2.060

2.618
2.654
2.762
2.330

4.236
2.977
3.085
1.845

0.150

4.074

2.330

4.937

2.618

2.582

2.636

Lampiran 5. Rata-rata Kadar Klorofil dari Minggu ke-1 sampai ke-6


Perlakuan
A
(Ikan lele)

Minggu
keKolam

A1
A2
A3
Rata-rata

B
(ikan lele+

nila)

B1
B2
B3
Rata-rata

9/8/2010

19/8/10

26/8/10

1/9/2010

6/9/2010

15/9/10

21/9/10

0.134

6.869

3.983

5.720

9.408

4.972

3.314

0.080

9.809

6.415

7.965

5.747

3.715

3.368

0.027

4.811

1.577

8.152

9.168

5.720

6.950

0.080

7.163

3.991

7.279

8.108

4.802

4.544

0.080

1.497

5.453

10.905

2.031

3.608

3.020

0.027

5.773

7.671

7.324

4.009

5.586

4.838

0.267

5.105

3.929

6.468

6.842

2.566

2.940

0.125

4.125

5.684

1`

4.294

3.920

3.600

53

Lampiran 6. Hasil Analisis Korelasi Antara Kadar Klorofi dengan Parameter


Lingkungan Pada Perlakuan B menggunakan SPSS versi 16

Klorofil Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Suhu
-0.219

pH
0.246

DO
-0.747

Amoniak
0.337

Nitrat
0.157

TVS
0.317

0.637
7

0.595
7

0.054
7

0.460
7

0.736
7

0.489
7

Lampiran 7. Perhitungan Inokulasi Bakteri Komersil


Volume Kolam 20000 liter
Maka, 20000 x 109 cfu/20000 liter = 2x 1013 cfu/20000 liter
Hasil analisis populasi stok bakteri adalah 109 cfu/ml
2 x 1013 cfu / 1 x 109 cfu/ml = 20000 ml
Maka, bakteri yang diberikan pada masing-masing kolam yaitu : sebanyak 20
liter

54

Anda mungkin juga menyukai