Anda di halaman 1dari 57

GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, HEPATOPANKREAS DAN

GINJAL IKAN BUTINI (Glossogobius matanensis, Weber)


DI DANAU MATANO LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN YANG
TERCEMAR LOGAM BERAT NIKEL (Ni) DAN BESI (Fe)

SKRIPSI

NURUL SULFI ANDINI

NIM O 111 11 007

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2015
GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, HEPATOPANKREAS DAN
GINJAL IKAN BUTINI (Glossogobius matanensis, Weber) DI DANAU
MATANO LUWU TIMUR SULAWESI SELATAN YANG TERCEMAR
LOGAM BERAT NIKEL (Ni) DAN BESI (Fe)

NURUL SULFI ANDINI

Skripsi :
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nurul Sulfi Andini


NIM : O111 11 007
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul :

Gambaran Histopatologi Insang, Hepatopankreas, dan Ginjal Ikan Butini


(Glossogobius matanensis,Weber) di Danau Matano Sulawesi Selatan Yang
Tercemar Logam Berat Nikel (Ni) Dan Besi (Fe)

adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi
orang lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab
hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 18 November 2015


Pembuat pernyataan,

Nurul Sulfi Andini


ABSTRAK

NURUL SULFI ANDINI. Gambaran Histopatologi Insang, Hepatopankreas,


dan Ginjal Ikan Butini (Glossogobius matanensis, Weber) di Danau Matano
Luwu Timur Sulawesi Selatan yang Tercemar Logam Berat Nikel (Ni) Dan
Besi (Fe). Di bawah bimbingan DWI KESUMA SARI dan HILAL ANSHARY

Ikan butini (Glossogobius matanensis) merupakan salah satu jenis ikan


perairan tawar yang hidup dan bersifat endemik di Danau Matano. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui gambaran histopatologi insang, hepatopankreas
dan ginjal dari ikan butini. Sampel yang digunakan sebanyak 6 ekor ikan Butini
dengan ukuran kurang lebih 18,5 - 20,5 cm. Preparat organ
(insang,hepatopancreas,dan ginjal) difiksasi menggunakan neutral buffered
formalin (NBF) 10%, dehidrasi menggunakan alcohol bertingkat, embedding
dengan menggunakan paraffin, pemotongan dengan ketebalan 5 µm yang
diwarnai dengan menggunakan HE (Haematoksilin Eosin) kemudian diberi
canada balsam lalu covering. Selain pembuatan preparat histopatologi organ juga
dilakukan pengukuran terhadap kadar logam yang terkandung dalam perairan
Danau Matano. Analisis data yang digunakan adalah dekriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerusakan atau histopatologi yang terjadi
pada organ insang yaitu berupa hipertropi, hemoragi, edema, fusi lamella, dan
penebalan lamella primer. Pada hepatopankreas terdapat degenerasi lemak,
degenerasi hidrofik, sel nekrosis. Dan pada ginjal berupa lisis tubulus ginjal,
membran basalis terlepas, dan sel –sel nekrosis. Dari hasil pengukuran kadar
logam di danau tersebut mengandung nikel sebanyak <0.0184 mg/L, besi
sebanyak 0.0238 mg/L, seng sebanyak 0.0491 mg/L dan tembaga sebanyak
<0,0136 mg/L yang rata-rata menghampiri batas maksimum. Oleh karena itu,
tingginya konsentrasi logam diduga memiliki hubungan dengan abnormalitas
jaringan organ ikan yang diobeservasi dalam penelitian ini.
Kata kunci : butini, insang, hepatopankreas, ginjal, histopatologi
ABSTRACT

NURUL SULFI ANDINI. Histopathology Pictures Of Gills, Hepatopancreas,


and Kidney Butini Fish (Glossogobius matanensis, Weber) in Matano Lake
East Luwu South Sulawesi That Contaminated by Heavy Metals Nickel (Ni)
and Iron (Fe). Under the supervisior DWI KESUMA SARI and HILAL
ANSHARY.

Butini fish (Glosssogobius matanensis) is an endemic freshwater fish


species that inhabit in Matano lake The purpose of this study to describe the
histopathological gill, hepatopankreas, and kidneys of butini fish. The amount of
fish examined are six with a site range from 18,5 cm to 20,5 cm. The organs
(gill,hepatopancreas, and kidney) were fixed in neutral buffered formalin (NBF)
10%, dehydrated in alcohol series, embedded in paraffin, sectioning about 5µm
thickening was stained with HE (Haematoxilin Eosin) staining solution and then
give Canada balsam then cover it. In addition, we also measured heavy metals
concentration in Matano lake. Analysis of the data used is qualitative descriptive.
Histopatologycal change observed in the fish organ were hypertrophy,
haemoraghy, edema, fusion of lamella and thickening of primer lamella.
Hepatopancreas contained fatty degeneration, hydrofik degeneration, and
necrosis. Kidneys showed lysis renal tubulus, basalis membrans were be ride of
and necrosis cell. From the results of measurements the metals levels of the lake
contain nickel as <0.0184 mg / L, iron as much as 0.0238 mg / L, zinc as much as
0.0491 mg / L and copper as <0.0136 mg / L and average are nearly the maximum
limit. And therefore the high concentration of the heavy metals was assumption
have contiguity to the abnormality tissue which observed in this study.

Keywords: butini, gills, hepatopancreas, kidney, histopathology


Kata Pengantar

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Histopatologi Insang,
Hepatopankreas dan Ginjal Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di Danau
Matano Luwu Timur Sulawesi Selatan yang Tercemar Logam Berat Nikel (Ni)
Dan Besi (Fe).
Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah proses dan perjalanan panjang
yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr.drh. Dwi Kesuma Sari dan Dr. Ir.Hilal Anshary,M.Sc selaku
pembimbing skripsi penulis yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberi nasihat dengan penuh kesabaran dan rasa
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Drh. Wahyuni dan drh. Alimansyah Putra selaku penguji penulis. Yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran – saran,
nasihat yang sangat bermanfaat dan senantiasa membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Prof.Dr.drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Prodi Kedokteran Hewan
Unhas dan pembimbing akademik penulis yang telah memberi nasihat
selama penulis menyelesaikan perkuliahan di PSKH UH.
4. Keluarga besar saya, ayahanda dan ibunda yang sangat disayangi Saiful
Bahri,SE dan Ir.Hj.Arisah, adik saya satu-satunya Nuzul Fajrullah yang
selalu dan tidak henti-hentinya memberikan dukungan moril, doa, kasih
sayang, dan tentunya material sehingga peneliti mampu menyelesaikan
skripsi ini.
5. Keluarga peneliti Dra.Hj.Arifah dan Fitri Ayu Ariantie, S.Farm yang telah
menampung peneliti selama berkuliah.
6. Sahabat – sahabat peneliti yang teramat disayangi Tirza Nurul Ramadhani,
Nindha Farlina Gaffar, SP., Ani Wulandari, Umikalsum Yakub, Asnelly
Asri, yang selalu hadir dan selalu memberi semangat terkhususnya disaat
penulis mencapai kejenuhan maksimal selama empat tahun terakhir ini.
7. Teman-teman yang sangat membantu dalam penelitian Muh. Reza Basri,
Muh. Abdi Awal yang telah sangat membantu peneliti dan rekan peneliti
(Umi dan Elly) mulai dari Makassar,Sorowako hingga kembali lagi ke
Makassar. Aini, Ej, Ian, Alif yang telah membantu baik dalam penelitian
maupun pengurusan berkas ujian akhir.
8. Bapak dan Ibu Nelayan yang telah sangat membantu dalam menyediakan
sampel penelitian. Kak Anti, kak Sari yang selalu menemani selama di
Sorowako.
9. Seluruh staf dosen dan pegawai PSKH UH yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini.
10. Teman – teman angkatan 2011 “Clavata”. Lisa,Wance,Adi (penghuni sudut
1350 AC II) yang selalu memberi tawa disela-sela istirahat. Penghuni
sayap kiri depan Quntum,Yuni, Sri, Ciko,Reski dkk. Sudut kiri ujung
Gracia, Irfan dkk. Tengah paling depan The Bahenil (Putri,Anci,Ida dkk).
Menyusul dibelakangnya GengTor (Mely,Elvi,Adlend dkk). Sudut kanan
Ukhti bermartabat (Mus,aini,ifa). Tengah kanan maupun kiri Green House
(Alif,Fahmi.Agus dkk). Dan dilanjutkan oleh qadir,uzul,arga,wahyu,ardi.
Dan terakhir Sudut kanan belakang The Old Genk plus Yani (Iekram,
Raldi, Rahmat, Mesak, Fikri). Yang telah memberikan pengaruh selama
berkuliah di PSKH UH ini.
11. Prada Yusuf Kelana Putra, yang selalu memberikan semangat, dukungan
dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Kakak – kakak VGEN angkatan 2010 yang telah membimbing dan
menjadi contoh untuk juniornya.
13. Adik-adik angkatan 2012 yang telah memberikan penulis kesempatan
untuk belajar kembali lagi materi sebelumnya sebagai asisten Anatomi
Veteriner I dan Bedah Veteriner
Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap
tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, November 2015

NURUL SULFI ANDINI


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................................
iii
ABSTRAK................................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR...............................................................................................
vi
DAFTAR ISI.............................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
x
DAFTAR TABEL.....................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................
2
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................
3
1.5 Keaslian Penelitian..............................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
4
1.1 Ikan Butini...........................................................................................................
4
1.2 Insang..................................................................................................................
5
1.3 Hepatopankreas ..................................................................................................
8
1.4 Ginjal ..................................................................................................................
10
1.5 Profil Danau Matano...........................................................................................
11
1.6 Kerusakan Organ Akibat Logam Berat ..............................................................
12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................
14
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian..............................................................................
14
3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel.............................................
14
3.3 Materi Penelitian.................................................................................................
14
3.4 Metode Penelitian...............................................................................................
14
3.4.1 Pengambilan Sampel.........................................................................................
14
3.4.2 Pembuatan Sediaan Histologi...........................................................................
14
3.4.3 Pengamatan Mikroskopik..................................................................................
15
3.4.4 Pengukuran Kadar Logam.................................................................................
16
3.5 Analisis Data.......................................................................................................
16
3.6 Alur Penelitian....................................................................................................
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................
18
4.1 Pengamatan Makroskopik....................................................................................
18
4.2 Hasil uji kualitas air/kadar logam........................................................................
19
4.3 Pengamatan mikroskopik.....................................................................................
20
4.3.1 Insang ............................................................................................................
20
4.3.2 Hepatopankreas..............................................................................................
24
4.3.3 Ginjal..............................................................................................................
27
BAB V PENUTUP
4.4 Kesimpulan..........................................................................................................
30
4.5 Saran ....................................................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
31
Lampiran
DAFTAR GAMBAR

1. Ikan Butini............................................................................................................
4
2. Insang ikan butini.................................................................................................
6
3. Histologi insang ikan bungo.................................................................................
6
4. Potongan saggital insang Anguilla Anguilla........................................................
7
5. Ilustrasi ikan tampak lateral ................................................................................
8
6. Parenkim hati Rutilus rutilus................................................................................
9
7. Hepatopankreas Cyprinous carpio.......................................................................
9
8. Ginjal Cyprinus carpio ........................................................................................
10
9. Ikan butini f yang mengalami hepatomegaly.......................................................
18
10. Ikan butini A normal.............................................................................................
18
11. Potongan sagital histologi insang ikan butini.......................................................
20
12. Insang Ikan Butini A 100x ...................................................................................
21
13. Insang Ikan Butini pembesaran 400x HE.............................................................
21
14. Insang Ikan Butini pembesaran 400x HE.............................................................
22
15. Potongan melintang hepatopankreas ikan Butini.................................................
24
16. Potongan melintang hepatopankreas ikan Butini 400x........................................
25
17. Histopatologi ikan Butini (Glossogobius matanensis) HE 400x.........................
25
18. Potongan melintang ginjal Ikan Butini (Glossogobius matanensis) 100x...........
27
19. Histopatologi Tubulus- tubulus ginjal Ikan Butini (Glossogobius matanensis). .
28
DAFTAR TABEL

1. Hasil uji air danau Matano terhadap kandungan logam 19


1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Danau Matano merupakan kumoulan dari perairan Malili. Danau Matano
memiliki kedalaman 595 m atau letak dasar danaunya berada pada 203 m di
bawah permukaan laut. Luas Danau Matano 16.408 hektar dengan sumbu
memanjang 28 km pada arah timur barat. Selain Danau Matano yang dikenal
sebagai danau terdalam kedelapan di dunia dan danau terdalam di Asia Tenggara,
terdapat juga Danau Mahalona dengan luas 2.440 hektare dengan kedalaman 60
meter, dan Danau Towuti dengan luas 56.108 hektar (danau terluas kedua di
Indonesia) dengan kedalamannya sekitar 200 meter (Anonim,2010)
Danau Matano mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi karena
memiliki banyak spesies endemik. Diantaranya adalah ikan butini (Glossogobius
matanensis) (Mamangkey,2012). Ikan butini merupakan salah satu spesies dari
famili Gobiidae. Menurut Kottelat et al.,(1993) bahwa pada umumnya famili
Gobiidae merupakan ikan predator walaupun ada juga yang memakan detritus.
Penyebaran ikan butini ini meliputi kompleks perairan Danau Matano dan
endemik di perairan tersebut (Mamangkey,2006). Hal inilah menyebabkan ikan ini
kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun, perihal ikan butini ini sudah
menarik perhatian para peneliti – peneliti asing maupun lokal untuk menelitinya,
baik dari segi taksonomi, anatomi dan lain–lain. Ikan butini memiliki nilai
ekonomis yang tinggi selain dijadikan sebagai ikan hias, ikan butini ini juga
digunakan sebagai bahan konsumsi masyarakat sekitar. Karena memiliki daging
yang empuk, tebal, gurih dan nikmat.
Namun saat ini yang menjadi masalah menurut penduduk setempat adalah
populasi ikan butini yang semakin menurun. Berbagai aktivitas manusia dapat
merusak keadaan kondisi lingkungan sumberdaya ikan butini dan jenis ikan lain
yang dapat menyebabkan menurunnya populasi dan keanekaragaman ikan.
Keberadaan ikan butini dirasakan nelayan setempat semakin berkurang dari tahun
ke tahun yang diindikasikan dengan hasil tangkapan menggunakan salue/pancing
dimana jumlah ikan yang tertangkap semakin menurun (Mamangkey, 2011).
Faktor penyebab menurunnya jumlah jenis ikan menurut Moyle & Leidy
(1992), adalah : a) degradasi dan kepunahan habitat, b) pencemaran, c) introduksi
ikan asing, d) eksploitasi komersial. Selain itu perubahan iklim global (global
climate change) juga merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup ikan
(Allan & Flecker, 1993). Kepunahan ikan air tawar diperkirakan berkisar 78%
disebabkan oleh perubahan habitat, hilangnya fungsi sebagai tempat hidup,
mencari makan, berkembang-biak dan berlindung menyebabkan ikan tidak
mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungan
hidupnya. Dari 86,2% ikan air tawar yang terancam punah ini diperkirakan adalah
ikan endemik (Wargasasmita, 2004).
Kepunahan atau penurunan populasi yang disebabkan oleh beberapa faktor
penyebab tadi dapat diketahui diantaranya melalui gambaran histopatologi dari
organ yang berfungsi dalam metabolisme dan kelangsungan hidup suatu inividu.
Karena dengan hal itu kita dapat mengetahui jika terjadi penyakit atau kelainan
pada tubuh individu tersebut. Dari gambaran histopatologi dapat dilihat secara
jelas kerusakan – kerusakan apa yang terjadi didalam tubuh kemudian dikaitkan
dengan kondisi lingkungan yang mungkin saja bisa menjadi faktor penentu atau
penyebab sehingga keadaan patologi itu bisa terjadi.
Organ – organ pada ikan butini yang akan diteliti disini adalah insang,
hepatopankreas dan ginjal. Masing–masing merupakan organ yang sangat penting
dalam sistem metabolisme tubuh ikan. Insang ikan merupakan organ respirasi
utama. Selain sebagai organ respirasi, insang ini juga dapat dijadikan indikator
apabila terjadi gangguan misalnya gangguan patologi (Brown, 1962; Rastogi,
2007). Misalnya dalam penggambaran histologi terjadi edema, hiperplasia bahkan
nekrosis pada sel-sel insang baik pada lamela primer maupun sekunder. Hal ini
disebabkan letak insang secara anatomi merupakan organ yang sangat mudah
terpapar lingkungan.
Selain insang, hepatopankreas dan ginjal juga merupakan organ yang
sangat penting dalam metabolisme. Keduanya juga mampu menjadi indikator
apabila terjadi gangguan patologi utamanya gangguan patologi yang diakibatkan
oleh logam berat yang terkandung dalam ekosistem perairan. Dan biasanya
akumulasi tertinggi terdapat di organ detoksikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal)
(Palar, 1994).
Informasi mengenai organ ikan butini secara mikroskopik sampai saat ini
belum ada. Metode yang umumnya digunakan untuk mengetahui hal tersebut
adalah bedah bangkai (nekropsi). Dan untuk mengamati gambaran histologi
dilakukan dengan mengambil preparat histologi dari insang, hepatopankreas dan
ginjal.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah gambaran histopatologi insang, hepatopankreas dan ginjal
ikan butini (Glossogobius matanensis)?
1.2.2 Apakah dalam perairan Danau Matano terdapat polusi berupa kandungan
logam berat?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan maka
tujuan penelitian dapat dibagi menjadi tujuan umum dan khusus:

Tujuan Umum
1.3.1 Mengetahui perubahan histopatologi pada organ ikan butini (Glossogobius
matanensis).
1.3.2 Mengetahui beberapa kandungan logam berat di perairan Danau Matano

Tujuan Khusus
1.3.3 Mengetahui gambaran histopatologi insang, hepatopankreas dan ginjal ikan
butini (Glossogobius matanensis).
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi manfaat pengembangan teori
dan aplikatif :

1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu Teori


Sebagai tambahan pengetahuan dan literatur mengenai ikan Butini yang
merupakan salah satu hewan endemik Sulawesi Selatan.

1.4.2 Manfaat untuk aplikasi


a. Untuk Peneliti
Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
b. Untuk Masyarakat
Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya tentang gambaran
histopatologi ikan butini dan membantu dalam penyampaian informasi
maupun penanganan kasus yang berkaitan dengan kelinan-kelainan yang
terjadi pada tubuh ikan utamanya ikan butini.

1.5. Hipotesis
Terdapatnya kandungan logam berat pada Danau Matano mempengaruhi
adanya gambaran histopatologi (abnormalitas) dari organ insang, hepatopankreas,
dan ginjal ikan butini.

1.6. Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai gambaran histopatologi insang, hepatopankreas dan
ginjal ikan butini belum pernah dilakukan. Penelitian yang berkaitan dengan ikan
butini sebelumnya hanya pada aspek biologi yang dilakukan oleh Jack J.
Mamangkey tahun 2004. Dan kebiasaan makan ikan butini yang dilakukan oleh
Sulistiono, Akhmad firmansyah, Sitti Sofiah, Murniati Brojo, Ridwan Affandi dan
Jack J. Mamangkey pada tahun 2003.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Butini


Ikan butini (Glossogobius matanensis) merupakan salah satu jenis ikan
perairan tawar yang hidup diperairan daerah Malili bersifat endemik di perairan
tersebut dan Glossogobius matanensis memiliki arti ekonomis penting karena
selain sebagai ikan hias juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi saat
ini dengan adanya aktifitas manusia disekitar perairan danau tersebut baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun instansi pemerintah sering kali membawa
dampak hilangnya species yang tidak hanya merugikan secara ekologis juga dapat
pula berimplikasi ekonomis karena nilai jualnya yang sangat tinggi sebagai
sumber kekayaan yang tidak dijumpai di negara atau wilayah lainnya
(Mamangkey, 2006).
Ikan butini merupakan salah satu spesies dari famili Gobiidae. Menurut
Kottelat et al.,(1993) bahwa pada umumnya famili Gobiidae merupakan ikan
predator walaupun ada juga yang memakan detritus. Detritus adalah partikel –
partikel organik hasil penguraian berbagai organisme mati dan sisa organisme.
Sisa organisme seperti kotoran hewan, dedaunan, dan ranting yang gugur
diuraikan oleh organime pengurai (dekomposer).
Sistematika ikan Glossogobius matanensis merupakan ikan air tawar yang
hidup di Danau Matano daerah Malili. Menurut Kottelat et al., (1993) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Super class : Pisces
Class : Teleostei
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Gobioidei
Family : Gobiidae
Genus : Glossogobius
Species : Glossogobius matanensis.

Gambar 1. Ikan Butini (Glossogobius matanensis) (Mamangkey, 2011)

Ikan Butini Glossogobius matanensis mempunyai bentuk tubuh yang


memanjang, dengan bagian depan silindris, bagian belakang pipih, berkepala
picak dan bentuk ekor yang tipis. Pipi tidak bersisik dan tidak memiliki geligir
serta gelambir meninggi yang jelas. Mulutnya lebar, letaknya superior sedikit
terminal dan mempunyai bibir yang berdaging. Gigi-gigi pada rahang bawah
terletak dalam beberapa baris. Lidahnya bersegi sampai bercabang dua. Badan
bersisik. Sirip-siripnya lebar dan memiliki dua sirip punggung. Sirip perut tipis,
bersatu dan membentuk piringan penghisap. Sirip ekor lebih pendek dari pada
kepala. Celah insang memanjang sampai bagian bawah dekat pinggiran
preoperkulum atau lebih jauh kedepan (Kottelak et al., 1993).
Glossogobius matanensis mempunyai pori-pori dan papilla peraba pada
kepala. Pori- pori ini merupakan lubang mikroskopis pada kanal kepala yang
mengawali sistem gurat sisi. Kanal ini berawal dari bagian depan atau belakang
lubang hidung diantara kedua mata, dibelakang mata dan kemudian sepanjang
batas atas dari preoperculum dan operculum (Mamangkey, 2012).
Data sebaran ukuran panjang ikan jantan berkisar antara 14,5 – 46,2 cm
dengan panjang rata-rata 30,4 cm. sedang ikan betina ukuran panjang berkisar
antara 17,4 – 40 cm dengan panjang rata-rata 20,9 cm. Berdasarkan kisaran
ukuran panjang total yang cukup bervariasi pada nilai tengah 15,80-44,40 cm,
ikan paling pendek (nilai tengah 15,80 cm) dapat dijumpai pada kedalaman 25 m
hingga 100 meter. Ukuran ikan paling panjang (nilai tengah 44,40 cm) dapat di
temukan pada kedalaman 50, 100 dan 150 meter (Mamangkey, 2011).
Sebaran ukuran panjang ikan pada setiap kedalaman berbeda, nampak
ukuran panjang ikan jantan lebih menyebar pada kedalaman 50, 100 dan 150
meter sedangkan ikan betina pada kedalaman 25, 50 dan 100 meter. Ukuran ikan
butini paling kecil selama pengamatan yaitu 14,5 cm dan ukuran terpanjang
adalah 46,2 cm. Dari variasi ukuran panjang ikan dapat disimpulkan bahwa
ukuran panjang ikan lebih lebar pada kedalaman 50 dan 100 meter baik jantan
maupun betina. Diduga bahwa pada kedalaman ini adalah tempat pemijahan ikan
butini sehingga pada kedalaman ini lebih menyebar ukuran panjang ikan karena
ada penambahan ikan-ikan muda (Mamangkey, 2011).

2.2 Insang
Sebagai biota perairan, ikan mendapatkan oksigen terlarut dalam air. Pada
hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas,
insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa
filamen insang di dalamnya (Fujaya, 1999;103) Menurut Sukiya (2005;16). Setiap
kali mulut dibuka,maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar
lagi melewati celah insang.
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan
mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam
kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya
didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari sel
dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Brown, 1962; Rastogi,
2007).
Menurut Firmansyah (2003;19) gambar 2 menunjukkan bagian – bagian dari
insang ikan butini terdiri dari daun insang (gill filaments), tulang lengkung insang
(gill arch), dan tapis insang. Tapis insang memiliki ciri – ciri agak jarang, pendek
dan kasar. Berdasarkan struktur alat pencernaan dan bentuk tapis insang terlihat
bahwa ikan butini termasuk jenis ikan karnivora.

Gambar 2. Insang Ikan Butini (Glossogobius matanensis)


Di : daun insang; Tl : tulang lengkung insang; Ti : tapis insang.
(Firmansyah, 2003).
4

3 1
6

A 2 B

7 9 10

C
Gambar 3. Histologi insang ikan bungo, potongan sagittal 400x
1. lamella primer; 2. lamella sekunder; 3. venous sinus;
4. eritrosit yang terdapat di venous sinus;
5. kartilago penopang lamella primer; 6. sel klorida;
7. sel pilar; 8. sel mukus; 9. sel epitel;
10. sel eritrosit pada lumen kapiler (Pinontoan, 2015)
Pada perbesaran 400x terdapat struktur dasar insang yang terdiri dari
lamella primer sebagai badan utama pada tiap filamen insang dan lamella
sekunder sebagai bagian kecil dari filamen insang yang terdapat disekitar badan
lamella primer. Pada bagian tengah lamella primer terdapat saluran besar
disepanjang lamella primer yang disebut venous sinus yang diisi oleh eritrosit-
eritrosit (Gambar 14.A) (Pinontoan, 2015)
Filamen-filamen insang ditopang oleh kartilago yang disebut arcus
branchialis yang memiliki penopang yang tersusun atas jaringan kartilago di tiap
lamella primer, selain itu di dasar lamella sekunder terdapat sel klorida (Gambar
12.B). Selain itu terdapat sel-sel mucus berbentuk bulat yang terdapat di antara
lamella sekuder pada lamella primer dengan warna violet. Untuk bagian terluar
lamella sekunder dilapisi oleh sel epitel yang disusun oleh sel pilar dimana
lamella sekunder terdapat eritrosit (Gambar 14.C) (Pinontoan, 2015)

Gambar 4. Potongan saggital insang Anguilla Anguilla 400x


1. filamen insang atau lamella primer;
2. Lamella sekunder dengan jaringan kapiler sentral;
3. eritrosit dalam lumen kapiler lamella sekunder;
4. lacuna (lumen kapiler);
5. sel pilar (berbentuk gulungan);
6. sel epitel (epitel pernapasan);
7. sel mukus;
8. sel yang belum berdiferensiasi;
9. sel klorida (dengan inti bulat menunjukkan nukleolus yang
menonjol) (Genten et al., 2009)
Pada gambar 4, sel klorida dikelilingi oleh sel-sel perkerasan yang
memipih dan dapat diamati pada persimpangan antara lamella primer dan lamella
sekunder. Sel klorida sering terletak di dasar lamella sekunder. Sel ini terlibat
dalam mengatur keseimbangan osmotik. Sel mukus merupakan ciri menonjol pada
epitel insang. Fungsi biologisnya penting karena kaya mukosa pada ikan terhadap
lingkungan berair mereka yang meliputi fungsi yang beragam seperti regulasi ion,
proteksi mekanis dan imunologi. (Genten et al., 2009).
2.3 Hepatopankreas

Ada dua tipe dasar umum hati ikan yaitu yang mengandung jaringan
pankreas dan tidak mengandung jaringan pankreas. Hati ikan dengan eksokrin
jaringan pankreas sering disebut "hepatopankreas" (Genten et al., 2009). Menurut
Nejedlii 2013 dalam penelitiannya pada hati dari dua puluh spesies ikan yang
berbeda ditemukan adanya hepatopankreas, tetapi tidak selalu dalam spesies yang
sama dan kelompok yang sama. Hal tersebut tergantung dari kondisi spesies
tersebut.
Hati adalah kelenjar yang terbesar di luar saluran pencernaan. Hati ikan
memiliki fungsi yang sama dengan mamalia. Fungsinya mencakup asimilasi
nutrisi, produksi empedu, detoksifikasi, pemeliharaan homeostasis metabolisme
tubuh yang meliputi pengolahan karbohidrat, protein, lipid dan vitamin. Hati juga
memainkan peran kunci dalam sintesis protein plasma, seperti albumin, fibrinogen
dan faktor pelengkap lainnya. Histologi hati bervariasi di antara spesies, tetapi ada
fitur umum yang ditemukan di sebagian besar spesies (Genten et al., 2009).

5
1 2
3
4

Gambar 5. Tampak lateral ikan dengan dinding abdomen yang telah disayat
untuk memperlihatkan faring dan rongga pleuroperitonial 1.
Insang, 2. Jantung 3. Hati, 4. Ovari 5. Head Kidney (De
luiis,2007)

Dari gambar 5 diatas merupakan ilustrasi ikan menunjukkan hati terletak di


dalam rongga pluroperitoneal. Dari beberapa spesies kita dapat melihat organ hati
yang berwarna gelap dibagian paling anterior dari cavitas (De Luiiss,2007).
Permukaan hati diselubungi oleh membran sereous dan beberapa jaringan
penghubung dari kapsul ini memanjang hingga parenkima. Struktur lobular terdiri
sebuah vena kecil dibagian tengah yang terlihat di hati vertebra tingkat tinggi.
Pada ikan bagaimanapun, struktur ini sangat tergantung dari jenis spesies dan
pada umumnya tersembunyi atau tak terlihat (Hibiya et al., 1982).
Sel hepar berbentuk lingkaran polygonal yang terdiri dari spherical nucleus
yang jelas biasanya terdapat satu inti. Mitokondria, aparatus golgi reticulum
endoplasmic, dan organel dasar berada di sitoplasma. Biasanya terdapat sejumlah
besar lemak dan glycogen yang diamati di sitoplasma ikan. Maka dari itu,
biasanya metode parafin embedding dan staining (HE) menyebabkan timbulnya
sruktur vakuola pada sel (Hibiya et al., 1982).
Gambar 6. Parenkim hati Rutilus rutilus (MT/400-640x).Photomicrograph
ini menunjukkan hepatosit dipisahkan oleh sinusoid (panah
panjang) mengandung eritrosit (oranye). Hepatosit (panah
pendek) (Genten et al., 2009).
Hepatosit adalah sel besar yang biasanya memiliki pusat inti menunjukkan
nukleolus yang menonjol (panah pendek). Sinusoid dilapisi oleh sel endotel yang
inti yang memanjang dan menonjol ke dalam lumen sinusoidal. Endothelium yang
terpenetrasi oleh pori-pori kecil (Genten et al., 2009).
Pankreas terdiri dari eksokrin dan jaringan endokrin. Eksokrin pankreas
terdiri dari kelompok sel piramidal sebagian besar terdapat di asinus seperti yang
diamati pada mamalia. Sel-sel memiliki sitoplasma basofilik gelap, inti basal yang
berbeda, dan banyak eosinofilik besar butiran zymogen yang mengandung enzim
yang bertanggung jawab untuk pencernaan protein, karbohidrat, lemak dan
nukleotida (Genten et al., 2009).

Gambar 7. Hepatopankreas Cyprinous carpii (MT-400x) (Genten et al., 2009).


Banyak ikan yang tedapat jaringan eksokrin pankreas yang menyebar dan
disebut hepatopankreas. Pada gambar tersebut terdapat parenkim hati (*) dan
potongan longitudinal dari saluran pankreatic venous yang tersusun dari portal
afferen vena (panah pendek – erytrosit dengan warna orange) dan eksokrin
pankreas (panah panjang). Penggambaran mencolok dari gambaran tersebut
adalah pulau pankreatik sepanjang jaringan hepatik (Genten et al., 2009).
2.4 Ginjal

Ginjal terletak bagian dorsal liver pada cavum pleuraperitoneal (De


Luiiss,2007). Seluruh badan ginjal ikan dewasa adalah mesonefros. Fungsi
ekskresi dan osmoregulasi yang erat terkait dan dilakukan oleh insang dan ginjal
pada ikan. Meskipun insang adalah organ utama pernapasan, dia juga penting
sebagai perangkat ekskretoris dan osmoregulatori. Sebagian besar limbah nitrogen
yang di produksi dari ikan dihilangkan oleh ekskresi di insang. Ginjal memainkan
ikan, baik secara besar maupun histologis. Sering (sebagian atau seluruhnya)
menyatu (Clupeidae, Salmonidae, Anguillidae, Cyprinidae, ...) mereka terletak di
lokasi retroperitoneal dari ventral ke kolom vertebral, dan dapat memanjang dari
daerah kepala ke perut posterior sebagai satu organ, atau mereka dapat memiliki
bagian depan dan daerah batang yang jelas (Genten et al., 2009).
Cranial ginjal (pronefros) mengandung berbagai sebuah jaringan yang tidak
memiliki fungsi dalam sistem urinari. Kepala ginjal ini hampir secara eksklusif
merupakan hemopoietic. Ledakan sel-sel yang terletak dalam jaringan stroma
(serat dan sel endotel) sama dengan yang ada pada sumsum tulang dari mamalia
(Hibiya et al., 1982).

Gambar 8. Ginjal Cyprinus carpio (MT/100-250x). (Genten et al., 2009).


Gambar diatas (gambar 8) merupakan penampakan umum dari ginjal ikan
Cyprinus carpio. Pada gambar tersebut menunjukkan renal korpuskel (panah
panjang). Glomerulus diselubungi oleh ruang Bowman (panah pendek).
Glomerulus dipenuhi dengan eritrosit (warna orange) dan ratusan nuklus
didalamnya sebagai podosit dan endothelial sel (Genten et al, 2009)
Korpus ginjal terdiri dari glomerulus dan kapsulnya. Kapsul ginjal terdiri
atasi bagian dalam dan luar yang tersusun atas epitel berlapis tunggal. Tubulus
ginjal tipis dan pendek dan teretak dibagian leher (neck segment) dan tersusun atas
epitel berlapis tunggal dengan epitel yang lemah dengan cilia yang panjang.
Tubulus proximal terbagi menjadi menjadi dua yaitu segmen I dan segmen II.
Segmen I, tubulus ginjal tersusun atas epitel kuboid dengan cilia dan susunan
mikrovili yang rapat di lumen. Nukleus dari epitel ini berukuran besar, bulat atau
oval. Mereka berada dipusat atau bagian bawah sel. Sitoplasma sel terdiri dari
mitokondria dan kelenjar eksetorius (Hibiya et al., 1982).

2.5 Profil Danau Matano

Danau Matano adalah danau air tawar yang merupakan sumber daya utama
di wilayah tersebut dan juga tuan rumah yang unik dari beragam ekosistem
perairan (Von Rintelen dan Glaubrecht 2003; Roy et al. 2004; Herder et al. 2006).
Danau kuno, seperti Danau Matano, memiliki ciri-ciri fisik yang relatif stabil dan
suasana danau yang kondusif cocok untuk pengembangan spesies – spesies
endemik secara besar-besaran. Danau Maili telah dikutip sebagai '' laboratorium
alam yang luar biasa '' untuk mempelajari proses evolusi dan kondisinya telah
disamakan dengan air yang ada pada zaman Galapagos (Crowe et al., 2008).
Selain itu, Myers et al., (2000) telah mengidentifikasi Sulawesi sebagai '' hotspot ''
untuk konservasi biologis berdasarkan pada dua kriteria konsentrasi yang sangat
tinggi yaitu spesies endemik dan hilangnya habitat yang cepat. Besi dan mangan
yang melimpah terdapat di tanah sekitar Danau Malili, dan dengan demikian Fe
dan Mn mungkin sangat penting dalam mengatur komposisi kimia dari Danau
Matano (Crowe et al. 2004).
Danau Matano terletak di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di wilayah
Kabupaten Luwu Timur. Danau Matano memiliki kedalaman 595 m atau letak
dasar danaunya berada pada 203 m di bawah permukaan laut. Luas Danau Matano
16.408 hektar dengan sumbu memanjang 28 km pada arah timur barat. Selain
Danau Matano yang dikenal sebagai danau terdalam kedelapan di dunia dan danau
terdalam di Asia Tenggara, selain itu terdapat juga Danau Mahalona dengan luas
2.440 hektare dengan kedalaman 60 meter, dan Danau Towuti dengan luas 56.108
hektar (danau terluas kedua di Indonesia) dengan kedalamannya sekitar 200 meter
(Anonim,2010).
Suhu biasanya berkurang dengan bertambahnya kedalaman air, tetapi ada
perkecualian seperti Danau Moat, Towuti dan Matano yang suhunya kurang lebih
tetap di semua kedalaman danau. Hal ini dapat terjadi karena danau itu terdapat di
daerah tektonik yang relatif aktif, dan penyimpanan-penyimpanan itu mungkin
karena adanya sumber- sumber air panas (Anon, 1980 ; Whitten, et al. 1987).
Suhu air sangat menentukan seluruh kegiatan dan proses kehidupan ikan,
seperti pernafasan, reproduksi dan pertumbuhan serta mempengaruhi terhadap
kejenuhan oksigen di dalam air. Setiap spesies memiliki batasan optimal untuk
melakukan pertumbuhan, kisaran suhu yang berfluktuasi terlalu tinggi dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fisiologi pada ikan yang dapat menyebabkan
kerentanan terhadap penyakit bahkan kematian (Mamangkey, 2011). Menurut
Boyd dan Kopler (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis
adalah 25 oC hingga 30 oC.
Variasi oksigen terlarut tergantung pada perubahan suhu dan kedalaman
air. Pada lapisan atas variasinya lebih kecil dari pada lapisan bawah termoklin.
Pada musim panas kandungan oksigen terlarut pada lapisan termoklain naik
sedangkan pada musim dingin menurun. Fenomena serupa terjadi pada
konsentrasi nitrat dan fosfat (Mamangkey, 2006).
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa perairan dalam Danau Matano
ditandai dengan konsentrasi oksigen rendah (Lehmusluoto et al 1999;. Haffner et
al 2001.), Tetapi kehadiran suboxic untuk hypolimnion anoxic tetap spekulatif.
Tidak adanya suhu musiman yang kuat fluktuasi di Pulau Sulawesi menghalangi
konvektif musiman membatalkan sebagai mekanisme untuk mengangkut oksigen
ke dalam perairan dalam Danau Matano. Musiman utama pada Pulau Sulawesi,
dan di daerah tropis pada umumnya, dalam jumlah curah hujan yang disampaikan
selama basah (Oktober- Juni) dan kering (Juli-September) musim. Curah hujan
yang intens selama musim hujan ditambah dengan curam topografi di sekitar
Danau Matano menunjukkan limpasan yang dapat berkontribusi untuk
pencampuran (Haffner et al., 2001) dan mungkin menghasilkan intrusi lateral air
yang kaya oksigen ke dalam lebih perairan dalam situasi sebagian analog dengan
Bosporus plume di Laut Hitam (Konovalov et al., 2003). Mengingat mendalam
Danau Matano, pengaturan pegunungan, serta luas permukaan moderat, tidak
mungkin bahwa angin lokal bisa menghasilkan energi yang cukup untuk
mencampur air di cekungan yang dalam Danau Matano adalah danau yang
terdalam di Indonesia serta merupakan danau terdalam nomor delapan di dunia,
yaitu dengan kedalaman 590 Meter (Crowe et al., 2008).
Dan untuk danau disekitarnya, seperti Danau Towuti kandungan oksigen
bervariasi antara 0.15 mg/l hingga 6.60 mg/l di tiap kedalaman maupun antar
kedalaman. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang didapatkan mempunyai
kisaran yang cukup lebar dan oksigen tertinggi antar kedalaman terdapat pada
kedalaman 25 meter sebesar 6,65 mg/l, sedangkan terendah pada kedalaman 200
sebesar 0,15 mg/l (Mamangkey, 2006).

2.6 Kerusakan Organ Akibat Logam Berat

Logam berat terdiri dari logam essensial dan logam non essensial. Logam
essensial adalah logam yang sangat membantu dalam proses fisiologis makhluk
hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari
makhluk yang bersangkutan. Sedangkan logam non essensial adalah logam yang
peranannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui, kandungannya dalam
jaringan hewan sangat kecil, dan apabila kandungannya tinggi akan dapat merusak
organ-organ tubuh makhluk yang bersangkutan.
Insang, hati (hepatopankreas) dan ginjal merupakan organ yang sangat
penting dalam tubuh ikan. Ketiganya memiliki peran yang penting dalam
metabolisme ikan. Menurut Rajamanickam dan Muthuswamy (2008) paparan
logam berat yang melebihi ambang toleransi organ tubuh hewan air akan
menghambat aktifitas enzim alkaline phosphatase (ALP), alanine
aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST) and lactate
dehydrogenase (LDH) terhambat. Sel jaringan organ insang, hati, ginjal, kulit dan
otot sangat peka terhadap toksisitas logam berat.
Menurut Palar (1994) keberadaan dari suatu toksikan dapat mempengaruhi
kerja dari enzim-enzim biologis. Toksikan ini mempunyai kemampuan berikatan
dengan enzim, ikatan ini terjadi karena logam berat mempunyai kemampuan
untuk menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai co-faktor enzim. Akibat
dari terbentuknya ikatan antara substrat enzim dan logam berat akan
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem fisiologis. Hal inilah
yang kemudian menjadi dasar dari munculnya penyakit sebagai manifestasi dari
keracunan oleh toksikan. Kerusakan atau histopatologi yang dapat terjadi pada
organ yaitu dapat berupa atrophy, hipertrophy, hyperplasia, edema, peradangan
Glomerulus, Gumpalan darah, Jaringan ikat, nekrosis, Claudy Swelling (Tresnati,
2007).
Berdasarkan penelitian El-Naggar (2009) yang melaporkan bahwa hati
ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang mengalami perubahan patologis berupa
perlemakan sel dan nekrosis adalah akibat hati telah terakumulasi oleh logam
berat (Fe, Cu, Zn, Mn, Pb, dan Cd). Mohamed (2008) juga melaporkan hati ikan
Oreochromis niloticus dan Lates niloticus mengalami perubahan patologis berupa
perlemakan sel akibat dari akumulasi logam Fe, Zn, Pb, Cu, Cd, dan Co.
Selanjutnya Ahmad et al. (2011) juga melaporkan adanya kerusakan hati ikan Lele
(Clarias batrachus) berupa perlemakan sel dari efek cadmium clorida dengan
konsentrasi 8 ppm selama 30 hari. Alifia dan Djawad (2000) juga melaporkan
adanya kerusakan hati pada juvenile ikan Bandeng yang diberi perlakuan timbal
(Pb) dengan konsentrasi 0,15 ppm bahwa hati telah mengalami perlemakan sel,
dimana penampakan histologi berupa vakuola-vakuola (ruang-ruang kosong). Hal
ini akan menyebabkan fungsi hati yang kompleks menjadi terganggu.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni – September 2015. Tempat
penelitian ini dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Histologi Program Studi
Kedokteran Hewan dan Balai Besar Veteriner Maros sedangkan pengamatan
dilakukan di Laboratorium Diagnostik Klinik Hewan Pendidikan Universitas
Hasanuddin

3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Metode yang digunakan
dalam pengambilan sampel adalah selektif. Sampel diambil dengan cara
memancing atau menangkap secara langsung dengan terlebih dahulu melakukan
penyelaman di daerah populasi ikan Butini. Atau dengan menggunakan alat
berupa pancing dan jaring. Pengambilan sampel dilakukan oleh nelayan setempat
di kawasan Danau Malili.

3.3 Materi penelitian


Dalam penelitian ini digunakan ikan Butini sebanyak 6 ekor. Penentuan
jenis kelamin tidak dilakukan. Sampel yang digunakan adalah ikan Butini dengan
ukuran kurang lebih 18,5 - 20,5 cm. Peralatan yang digunakan adalah satu set alat
bedah nekropsi yaitu gunting bedah, scalpel, pinset anatomis, dan pinset chirurgis;
mikroskop dan optik lens untuk pengamatan histologis; object glass dan covernya;
kamera DSLR Canon EOS 1100D untuk dokumentasi; atlas histologi ikan.

3.4 Metode penelitian


3.4.1 Pengambilan Sampel
Ikan Butini diambil oleh nelayan setempat dengan menggunakan alat
pancing dan melakukan penyelaman pada kedalaman 25 meter hingga ± 50 meter
dimana populasi ikan tersebut berada. Kemudian disimpan dalam suatu wadah
yang telah diisi dengan air dari Danau Matano. Setelah itu, ikan dinekropsi bagian
dorsal dari ujung kepala dibuka dengan hati – hati selanjutnya membuka area
abdomen untuk pengamatan topografik. Pengamatan dilakukan pada organ insang
pada area cranial dan hepatopankreas serta ginjal pada area abdominal.
Pengambilan gambar dengan menggunakan kamera DSLR Canon EOS 1100D .
Setelah dinekropsi, organ ikan yang akan diamati diambil lalu disimpan dalam
larutan formalin (NBF) 10%.
3.4.2 Pembuatan Sediaan Histologi
Sampel jaringan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin (BNF),
volume Buffered Neutral Formalin (BNF) minimal 10 kali volume jaringan. Pada
umumnya waktu yang diperlukan untuk fiksasi sempurna adalah 48
jam.selanjutnya pemotongan specimen. Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan,
dipotong setebal 0,5-1 cm. Potongan spesimen dimasukkan dalam keranjang
pemprosesan dengan disertai dengan label nomor spesimen yang ditulis dengan
pensil. Sisa spesimen dengan Buffered Neutral Formalin (BNF) disimpan dalam
botol bertutup rapat. Selanjutnya botol ini disimpan berurutan dan dibuang apabila
telah melebihi 3 bulan dan ditulis dalam formulir pemusnahan sampel. Kemudian
prossesing dan embedding. Embedding cassete yang telah diisi spesimen jaringan
dimasukkan kedalam tissue processor dengan pengaturan waktu fiksasi sebanyak
2 kali masing – masing 2 jam. Dehidrasi bertingkat 70% 1 jam, 90% 1 jam, 100%
1 jam ,100% 2 jam ,dan 100% 2 jam. Lalu Clearing sebanyak 3 kali dengan
toluene masing – masing 1 jam, dan 1,5 jam. Kemudian impregnasi sebanyak 2
kali masing – masing 2 jam dan 3 jam.
Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor dan masukkan ke
dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding center. Keluarkan contoh
specimen dari keranjang tissue untuk di blok oleh paraffin satu-persatu (agar tidak
tertukar no. contoh specimen). Tempatkan cetakkan dan keranjang pada sisi kanan
dan kiri dispenser paraffin. Contoh spesimen diletakkan diatas cetakkan lalu diisi
dengan paraffin dengan menekan tombol hitam yang telah tersedia pada alat
embedding center. Cetakkan diberi nomer sesuai nomer contoh spesimen yang
letakkan diatas keranjang yang berisi contoh spesimen. Pindahkan cetakan pada
bagian dingin. Setelah beku (mengeras paraffinnnya) pisahkan cetakan dengan
keranjang. setelah terpisah pindahkan keranjang siap untuk dilakukan pemotongan
dengan mikrotom knife. Selanjutnya pemotongan. Pemotongan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 5-6 mikron. Kemudian pewarnaan. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan Haematoksilin Eosin. Dengan cara merendam
pada xylol I dan II masing–masing 2 menit lalupreparat diremdan dalam alcohol
bertingkat 100% I dan 100% II kemudian 95% I dan 95% II lalu direndam dalam
Mayers Haematoksilin selama 15 menit. Lalu direndam lagi dalam Tap Water
selama 20 menit masukkan dalam eosin selama 15 detik sampai 2 menit.
Kemudian dicelupkan dalam alcohol bertingkat 95% III, 95% IV, 100% III. 100%
IV. Masing-masing 2 menit. Kemudian Xylol III,IV,V masing - masing 2 menit.
Setelah selesai pewarnaan dilakukan coverslipping, siapkan coverslips
secukupnya sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja diwarnai lalu teteskan
1-2 tetes “entellan” pada tiap coverslip. balik dan tutupkan pada slide preparat
yang baru saja diwarnai, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara, biarkan
preparat yang sudah tertutup dengan coverslip lalu dibiarkan sampai mengering
sempurna. Bersihkan slide glass dengan xylol lalu berilah nomor sesuai dengan
nomor yang ada dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
.
3.4.3 Pengamatan Mikroskopik
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop, dengan perbesaran lensa
subjektif 10x serta lensa objektif 10x, dan 40x. Pengamatan dan pengambilan
gambar dilakukan dengan menggunakan optik lens. Preparat histologi dari insang,
hepatopankreas, dan ginjal ikan butini kemudian diamati. Bagian yang diamati
pertama adalah insang yang terdiri dari lamella primer dan sekuder, lacuna
beserta sel penyusunnya seperti sel pilar, sel epitel, sel mukus, sel klorida dan
perubahan – perubahan apa saja yang terdapat dalam gambaran histopatologi
insang tersebut. Selanjutnya pengamatan dilakukan pada hepatopankreas dengan
melihat sel – sel hepatosit, sinusoid, pancreas yang terdapat didalam parenkim
hati, dan perubahan patologi yang terjadi. Pada badan ginjal yang akan diamati
adalah glomerulus, tubulus- tubulus ginjal, dan gambaran patologi dari bagian –
bagian penyusun organ tersebut.

3.4.4 Pengukuran Kadar Logam


Pengukuran kadar logam yang terkandung di perairan Danau Malili
dengan menggunakan uji kualitas air dengan metode sampling sesaat (grab
sample). Jenis sampel yang digunakan adalah air dari perairan tersebut. Metode
sampling sesaat adalah air limbah yang diambil sesaat pada satu lokasi tertentu
(Anonim, 2008). Umumnya metode ini dapat dipakai untuk sumber air alamiah
tetapi tidak mewakili keadaan air buangan atau sumber air yang banyak
dipengaruhi oleh bahan buangan. Pemeriksaan parameter tertentu memerlukan
metode sesaat seperti pengukuran suhu, pH, kadar gas terlarut, CO 2, sulfida,
sulfat, sianida dan klorin (Anonim, 2014). Pengukuran ini dilakukan di Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Makassar dan
dilakukan oleh pihak balai tersebut.

3.5 Analisis Data


Analisa data yang digunakan adalah analisis data deskriptif kualitatif. Pada
metode ini akan menjelaskan mengenai gambaran histolopatologi dari insang,
hepatopankreas dan ginjal ikan butini (Glossogobius matanensis).
3.6 ALUR PENELITIAN

Ikan Butini

Nekropsi

Organ ikan sebagai


Pengamatan Anatomi indikator gangguan
patologi

Insang Hepatopankreas Ginjal

Pembuatan slide
histologi

Metode paraffin dan


pewarnaan HE

Pengamatan gambaran histopatologi


organ
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan butini yang digunakan sebagai objek penelitian pada penelitian ini
yang berhasil diperoleh sebanyak 6 ekor selama kurang lebih 4 hari dengan berat
1,7 kg-2,5 kg dan panjang 18,5 cm-20,5 cm. Dari 6 ekor ikan yang dijadikan
sampel penelitian 2 diantaranya mengalami pembesaran hati (hepatomegali). Hal
tersebut diketahui dengan membandingkan dengan ikan lain yang berukuran dan
berat yang hampir sama.
4.1 Pengamatan Makroskopik

Gambar 9. Ikan Butini F yang mengalami hepatomegaly

Gambar 10. Ikan Butini A normal


Dari pengamatan anatomi tersebut dapat dilihat pada ikan Butini F terjadi
perbesaran pada hati yang ditandai dengan ukuran hati yang lebih besar dibanding
ukuran hati ikan lainnya. Perbesaran hati biasanya dikaitkan dengan adanya
malfungsi hati. Perbesran hati biasanya disebakan karena hati bekerja terlalu berat
sehingga mengakibatkan terjadinya hipertropi sel, selain itu juga disebabkan
karena terjadi hyperplasia sel dan terdapatnya deposit lemak. Adanya deposit
lemak pada hepatopankreas ikan Butini juga mengakibatkan warna
hepatopankreas ikan Butini lebih menguning dibanding hepatopankreas ikan
lainnya.
Jumlah ikan tersebut tergolong sedikit. Menurut nelayan setempat yang
membantu penelitian ini hal tersebut disebabkan karena populasi ikan butini yang
semakin menurun dan cuaca yang tidak menentu sehingga mempengaruhi waktu
dari penangkapan ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan Mamangkey 2011 yang
menyatakan bahwa keberadaan ikan butini dirasakan nelayan setempat semakin
berkurang dari tahun ke tahun yang diindikasikan dengan hasil tangkapan
menggunakan salue/pancing dimana jumlah ikan yang tertangkap semakin
menurun.

4.2 Hasil Uji Air/Kadar Logam


Populasi ikan yang semakin menurun salah satunya disebabkan oleh
pencemaran. Dari hasil uji air pada perairan Malili atau danau Matano diperoleh
data sebagai berikut :
No Parameter Satuan Hasil Pengujian Batas Maksimum
yang
diperbolehkan
1. Nikel mg/L <0.0184 -

2. Besi mg/L 0.0238 -

3. Seng mg/L 0.0491 0.05

4. Tembaga mg/L <0,0136 0.02

Tabel 1. Hasil uji air Danau Matano terhadap kandungan logam


Hal tersebut menunjukkan bahwa pada danau tersebut mengandung nikel
sebanyak <0.0184 mg/L, besi sebanyak 0.0238 mg/L, seng sebanyak 0.0491 mg/L
dan tembaga sebanyak <0,0136 mg/L. Dan masing – masing untuk seng dan
tembaga sudah hampir memasuki ambang batas maksimum yang diperbolehkan
dalam Peraturan Guberur Sulsel Nomor 69 Tahun 2010 Tentang Baku Mutu dan
Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup Lampiran I Kriteria Mutu Air (Kelas III).
Sedangkan untuk nikel dan besi batas maksimumnya tidak diatur dalam peraturan
Gubernur Sulsel Nomor 69 Tahun 2010. Namun keduanya merupakan logam berat
yang terlarut dan keberadaannya tidak diperbolehkan ada dalam air bersih maupun
ekosistem perikanan. Logam – logam tersebut diduga berasal dari limbah industry
pertambangan disekitar danau. Selain itu, juga diduga berasal dari limbah
masyarakat yang berada disekitar danau.
Logam berat seperti nikel merupakan salah satu jenis logam berat yang
bersifat toksik, nikel dapat meracuni darah, menggangu system pernafasan,
merusak jaringan, selaput lendir, mengubah system sel dan kromosom. Oleh
karena itu sejak 2006 masyarakat Uni Eropa telah mengusulkan ke WTO untuk
menetapkan nikel sebagai dangerous substance. Kematian ikan akibat logam berat
hal ini disebabkan bereaksinya kation dengan oksigen dan fraksi tertentu dari
lender dan mengganggu proses biokimia yang terjadi didalam darah (Sabilu,
2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabilu (2010) menyatakan bahwa
toksisitas nikel dapat berdampak terhadap kondisi hematologi juvenile ikan
bandeng, menurunkan persentase hematokrit, hemoglobin dan meningkatkan
jumlah leukosit.
4.3 Pengamatan Mikroskopik
Adapun hasil pengamatan secara mikroskopik terhadap organ insang,
hepatopankreas dan ginjal ikan butini adalah sebagai berikut.
4.3.1. Insang
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan
mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam
kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya
didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari sel
dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Brown, 1962; Rastogi,
2007). Oleh sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan
perairan akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan
fungsi insang.
Struktur dasar insang terdiri dari lamella primer sebagai badan utama pada
tiap filamen insang dan lamella sekunder sebagai bagian kecil dari filamen insang
yang terdapat disekitar badan lamella primer. Pada bagian tengah lamella primer
terdapat saluran besar disepanjang lamella primer yang disebut venous sinus yang
diisi oleh eritrosit-eritrosit (Pinontoan, 2015).
Lamella primer tersusun atas sel-sel klorida yang dikelilingi oleh sel-sel
perkerasan yang memipih dan dapat diamati pada persimpangan antara lamella
primer dan lamella sekunder. Sel klorida sering terletak di dasar lamella sekunder.
Sel mukus merupakan ciri menonjol pada epitel insang. (Genten et al., 2009).

3
4
1

Gambar 11. Potongan sagital histologi insang ikan butini 100x HE


1. Arteriol branchial efferen
2. Lamela primer
3. Lamela sekunder
4. Hemorraghi pada lamela primer
Temuan – temuan yang ditunjukkan adalah arteriol branchial efferen,
lamela primer, lamela sekunder, hemorraghi pada lamela primer. Lamella primer
tersebut ditopang oleh jaringan kartilago namun tidak tersusun hingga ke ujung
lamella primer.

a
Gambar 12. Insang Ikan Butini 100x dan pembesaran 400x HE
a. Dilatasi lamella primer
b. Fusi lamella sekunder
Dari gambar 12 diatas ditemukan dilatasi pada lamela- lamela primer (a),
fusi diantara beberapa lamela sekunder (b). Fusi lamela terjadi akibat hiperplasia
sel yang dapat mengurangi efisiensi difusi gas (Hoole et al., 2001). Robert (2001),
menyatakan bahwa pembengkakan pada lamela sekunder dapat dihubungkan
dengan edema lamella, hipertropi sel epitel (bertambahnya ukuran atau volume
suatu bagian tubuh karena peningkatan ukuran dari sel-sel individu), dan
perubahan pada dasar arsitektur sel tiang.

c
a
b

Gambar 13. Insang Ikan Butini perbesaran 400x. HE


a. Sel nekrosis
b. Hemoragi lamella sekunder
c. Penebalan lamella prime
Pada gambar diatas terdapat penebalan pada lamella primer, hemoragi
lamella sekunder yang ditandai dengan warna yang lebih eusinofilik, dan dibagian
interlamellar terdapat sel-sel nekrosis. Pada gambar tersebut sudah tidak
dijumpainya sel-sel penyusun lamella primer berupa sel khlorida, sel mucus,
interlamellar sel antara kedua lamella, sel- sel pilar, sel-sel epitel pada bagian tepi
lamela sekunder dan eritrosit dalam lacuna-lacuna lamella sekunder.
Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan
lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terpapar oleh bahan
pencemar yang ada di perairan. Kerusakan sekecil apapun dapat menyebabkan
terganggunya fungsi insang sebagai pengatur osmosis. Fusi lamella (gambar 10)
dan hiperplasia pada insang ikan dapat disebabkan oleh panas dan polusi (asam,
amonia, logam berat, dan pestisida) yang menyebakan berubahnya struktur sel
klorid. Edema akan diikuti oleh lepasnya epitel dari lamela sekunder yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi epitel sebagai penangkap gas terlarut (Ersa,
2008).
3
1

Gambar 14. Insang Ikan Butini pembesaran 400x, HE


1. Edema pada tepi lamella sekunder
2. Sel – sel nekrosis pada lamella primer
3. Lamela sekunder yang berisi sel–sel nekrosis
4. Interlamellar sel
Pada pembesaran 400x gambar diatas struktur dasar insang yang terdiri
dari lamella primer sebagai bagian utama dan lamella sekunder yang merupakan
bagian kecil dari tiap filamen insang nampak jelas. Lamella primer yang
merupakan badan utama dari filamen insang tersusun atas sel – sel khlorida, sel –
sel mukus dan interlamelllar sel. Sedangkan lamella sekunder tersusun atas sel –
sel pilar diantara lacuna–lacuna (lumen kapiler), dan eritrosit. Yang masing –
3

4
masing sel–sel penyusun badan utama dan bagian kecil dari filamen insang
tersebut tidak nampak jelas karena didominasi oleh sel – sel nekrosis.
Kerusakan sekecil apapun dapat menyebabkan terganggunya fungsi insang
sebagai pengatur osmosis. Pembendungan aliran darah (disebabkan trauma fisik,
zat pencemar ataupun gangguan sistem sirkulasi) pada lamela akan menyebabkan
edema seperti yang terdapat pada gambar diatas. Pada gambar tersebut terlihat
adanya perluasan jaringan dan penebalan jaringan Menurut Hoole et al. (2001)
menyatakan bahwa pembendungan dan edema akan mengurangi efisiensi difusi
gas dan dapat berakibat fatal seperti kematian. Difusi gas terganggu karena luas
permukaan serap pada lamela sekunder insang menyempit.
Edema sering terjadi akibat pemaparan polutan-polutan yang berasal dari
bahan kimia, seperti logam-logam berat (Ploeksic, et al. 2010), metaloid,
pestisida, dan penggunaan bahan-bahan terapeutik (formalin dan H2O2) yang
berlebihan. Menurut Tanjung (1982) tingkat kerusakan pada insang yang
berhubungan dengan toksisitas, yaitu sebagai berikut tingkat I, terjadi edema pada
lamela dan terlepasnya sel-sel epitelium dari jaringan dibawahnya; tingkat II,
terjadi hiperplasia pada basal proximal lamela sekunder; tingkat III, hiperplasia
menyebabkan bersatunya dua lamela sekunder; tingkat IV, hampir seluruh lamela
sekunder mengalami hiperplasia; dan tingkat V, hilangnya struktur lamela
sekunder dan rusaknya filamen. Dengan mengamati kerusakan-kerusakan
histologi insang ikan butini dapat disimpulkan bahwa tingkat kerusakan insangnya
sudah termasuk kerusakan tingkat III.
4.3.2 Hepatopankreas
Ada dua tipe dasar umum hati ikan yaitu yang mengandung jaringan
pankreas dan tidak mengandung jaringan pankreas. Hati ikan dengan eksokrin
jaringan pankreas sering disebut "hepatopankreas" (Genten et al., 2009). Menurut
Nejedlii 2013 dalam penelitiannya pada hati dari dua puluh spesies ikan yang
berbeda ditemukan adanya hepatopankreas, tetapi tidak selalu dalam spesies yang
sama dan kelompok yang sama. Hal tersebut tergantung dari kondisi spesies
tersebut.

5
6
4

3
2

1
2

Gambar 15. Potongan melintang hepatopankreas ikan Butini, HE 100x


1. Pankreas
2. Hepatosit
3. Degenerasi lemak (vakuola – vakuola)
4. Sinusoid
5. Sel – sel nekrosis
6. Hemoragi
Temuan – temuan yang terdapat pada gambaran diatas adalah pankreas
terdapat dalam jaringan hepatic, sel-sel hepatosit, degenarasi lemak, sinusoid, sel-
sel nekrosis, serta hemorraghi berat pada jaringan hepatic tersebut. Keadaan
jaringan yang telah mengalami kerusakan ini disebabkan organ hati telah terpapar
zat toksik. Jika zat toksik yang masuk ke dalam tubuh relatif kecil atau sedikit dan
fungsi detoksifikasi hati baik, maka tidak akan terjadi kerusakan, namun apabila
zat toksik yang masuk dalam jumlah besar maka fungsi detoksifikasi akan
mengalami kerusakan (Lu, 1995). Hemoragi atau pendarahan ditandai dengan
adanya bintik darah dalam pembuluh darah. Hal ini sesuai dengan penelitian
Triadayani et al 2010 pada pemaparan Pb pada konsentrasi 0,10 ppm pada
perbesaran 40x10 menunjukan terjadinya hemoragi. Hal ini dikarenakan semakin
meningkatnya zat toksik yang secara fisologis ada dalam jaringan.
d
b
a
e

b
f e
a
c

d
c

Gambar 16. Potongan melintang hepatopancreas ikan Butini, HE 400x


a. sel – sel hepatosit
b. sel hepatosit yang lisis
c. degenarasi sel lemak
d. nekrotik sel – sel hepatosit
e. degenerasi hidrofik

b
c

Gambar 17. Histopatologi ikan Butini (Glossogobius matanensis) HE


400x. (a) hemoragi, (b) degenerasi lemak, (c) nekrotik sel – sel
hepatosit.
Pada gambar diatas (gambar 16) terdapat degenerasi lemak disertai dengan
degenerasi hidrofik. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel hati stadium
lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma dari sel
dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak nukleus ke tepi sel
(Triadayani et al, 2010). Selain itu pada gambaran tersebut juga terdapat lagi sel-
sel hepatosit yang mengalami nekrosis.
Hepatopankreas pada ikan merupakan salah satu organ vital yang sangat
penting dalam mendetoksifikasi zat- zat yang masuk kedalam tubuh. Pada hasil
pengamatan (Gambar 12, 13 dan 14) terdapat degenerasi lemak. Perlemakan sel
adalah suatu proses degenerasi lemak yang merupakan gangguan pada sel lemak
atau akumulasi lemak yang berlebihan di dalam sitoplasma (Ramadhani et
al,2013). Ditandai dengan adanya vakuola-vakuola (keadaan antar sel-sel hati satu
dengan yang lainnya menjadi merenggang). Berdasarkan penelitian El-Naggar
(2009) yang melaporkan bahwa hati ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang
mengalami perubahan patologis berupa perlemakan sel dan nekrosis adalah akibat
hati telah terakumulasi oleh logam berat (Fe, Cu, Zn, Mn, Pb, dan Cd).
Degenerasi lemak terjadi karena adanya penumpukan lemak (lemak netral)
dengan kerusakan inti sel dan mengecilnya jaringan sel hati (Panigoro et al.,
2007). Menurut penelitian Alifia dan Djawad (2000) menyebutkan bahwa ikan
bandeng (Chanos chanos Forskall) yang terpapar logam timbal mengakibatkan
hati mengalami degenerasi lemak. Degenerasi lemak (Gambar 12,13,14) ditandai
dengan adanya vakuola – vakuola pada gambaran histopatologi.
Selain degenerasi lemak yang terdapat pada hasil pengamatan, terdapat
juga degenerasi hidrofik. Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel hati
stadium lanjut dimana terlihat adanya ruang-ruang kosong di dalam sitoplasma
dari sel dengan vakuola tampak membesar sehingga mendesak nukleus ke tepi sel.
Selain itu pada gambaran tersebut juga terdapat lagi sel – sel hepatosit yang
mengalami nekrotik (Triadayani et al, 2010). Didukung dengan adanya penelitian
yang dilakukan oleh Triadayani et al mengenai pengaruh logam timbal (pb)
terhadap jaringan hati ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) ditemukan bahwa
logam timbal menimbulkan adanya degenerasi hidrofik ditandai dengan adanya
vakuola yang membesar sehingga mendorong nukleus kearah tepi.
.Selain itu juga terdapat hemoragi (Gambar 14) dan nekrosisnya sel – sel
hepatosit (Gambar 12, 13 dan 14). Menurut Lu (1995), nekrosis adalah terjadinya
kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran
plasma. Nurdin (2008) menyebutkan bahwa ikan mas yang terpapar pestisida
mengakibatkan hati mengalami nekrosis. Hal ini disebabkan jika lemak tertimbun
dalam jumlah yang banyak sehingga mengakibatkan kematian sel-sel hati. Pada
hasil pengamatan juga diperoleh ada bagian dari penampang hepatopankreas dari
ikan Butini yang mengalami peradangan (hepatitis) hal ini sesuai dengan
penggambaran hepatitis pada bahwa hepatitis biasanya disertai dengan infiltrasi
sel radang dan dekelilingi oleh cloudy swelling di sepanjang peradangan.
Tingkat kerusakan hati dikategorikan menjadi tiga, tingkat ringan yaitu
perlemakan hati yang ditandai dengan pembengkakan sel. Kerusakan tingkat
sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat ditandai dengan
nekrosis (Darmono,1995). Dalam penelitian ini, tingkat kerusakan hepatopankreas
ikan Butini berada pada tingkat sedang dengan jumlah tingkat nekrosis yang
relatif sedang.
4.3.3 Ginjal
Ginjal ikan merupakan salah satu organ pertama yang terpapar oleh
pencemaran perairan (Thophon dkk., 2003). Kebanyakan perubahan yang di
temukan pada ginjal ikan di perairan yang tercemar berupa degenarasi tubulus
(hipertropi, lisis, nekrosis) dan perubahan pada renal korpuskel seperti hipertropi
glomerulus dan reduksi rongga filtrat (Takashima dan Hibia,1995).

1
2

Gambar 18.Potongan melintang ginjal Ikan Butini (Glossogobius


matanensis). HE 100x.
(1) Glomerulus
(2) Tubulus-tubulus ginjal
(3) Nekrosa tubulus
Pada gambar diatas terdapat temuan –temuan seperti glomerulus, tubulus-
tubulus ginjal yang lisis dan sel – sel nekrosa. Glomerulus yang terdapat pada
gambar tersebut telah mengalami atropi, hal ini dapat dilihat karena sudah tidak
ditemukannya kapsula bowman, dan ruang bowman mengalami penyempitan.
Begitupun juga sel-sel tubulus ginjal banyak yang mengalami atropi ruang
intertubular meluas, selain itu sebagian dari tubulus-tubulus ginjal (tanda panah)
mengalami nekrosis. Pada hasil pengamatan yang dilakukan pada organ ginjal
ditemukan bahwa banyaknya sel–sel nekrosis disekitar tubulus dan glomerulus
mengalami atrophi serta serta penyempitan pada ruang Bowman. Menurut
Takashima dan Hibiya (1995) bahwa glomerulus yang tersusun dari kapiler darah
berfungsi sebagai penyaring selektif dari darah terutama dalam filtrasi darah
normal. Setelah melalui penyaringan pada glomerulus, darah akan direabsorpsi
pada tubulus yang menghasilkan urine sebagai hasil sekresi (Siregar, 1995).
Menurut Bevelander danRamaley (1988) perubahan yang terjadi pada glomerulus
dan kapsula akan mengakibatkan terganggunya fungsi produksi filtrat dan kontrol
komposisi filtrate sendiri, sementara perubahan pada tubula mengakibatkan
terganggunya proses reabsorbsi daripada filtrat.
D
CV B
C

B D
A CV
C

Gambar 19. Histopatologi Tubulus- tubulus ginjal Ikan Butini


(Glossogobius matanensis) HE, 400x dan 1000x. (A)
Lisisnya tubulus (B) nekrosis sel-sel dalam tubulus.
(C) membran basalis terlepas (D) Hipertropi sel
tubulus
Gambar diatas menunjukkan terdapat tubulus- tubulus yang lisis. Selain itu
ruang intertubulus yang semakin meluas disertai dengan terlepasnya membran
basalis tubulus. Sesuai dengan penelitian pengaruh merkuri klorida terhadap
pertumbuhan dan histopatologi ginjal ikan nila (Oreochromis niloticus, Linn)
yang dilakukan oleh Widyaningrum [tahun tidak diketahui], pada perlakuan 1
dengan pemberian konsentrasi merkuri klorida 0,04 ppm dengan perbesaran
40x10 menunjukkan terjadi kerusakan yaitu pada epitel tubulus berupa lisis dan
nekrosis.
Selain itu juga terdapat hipertropi sel. Hipertropi yakni kerusakan jaringan
yang ditandai dengan pertambahan ukuran organ akibat bertambahnya ukuran sel
sehingga sel yang satu dengan yang lainnya saling lepas. Karakteristik dari
hipertropi ini dapat dilihat dengan mengecilnya lumen pada tubulus dan
membesarnya sel-sel tubulus. Hipertropi glomerulus terjadi karena adanya
penyumbatan senyawa yang bersifat toksik, walaupun konsentrasinya rendah
namun terkontaminasi cukup lama dalam tubuh ikan (Takashima dan Hibiya,
1995).
Lisis dan hipertropi merupakan gejala awal nekrosis. Hal demikian
berpengaruh terhadap fungsi ginjal dan metabolisme. Kerusakan pada dinding sel
atau terhambatnya sintesis dinding sel akibat senyawa tertentu akan
mengakibatkan lisis pada sel. Semakin lama ginjal terpapar senyawa toksik, maka
jumlah sel jaringan organ ginjal yang mengalami nekrosis semakin besar
(Takashima dan Hibiya, 1995). Nekrosis menggambarkan keadaan terjadinya
penurunan aktivitas jaringan yang ditandai dengan hilangnya beberapa bagian sel
satu demi satu dari satu jaringan sehingga dalam waktu yang tidak lama akan
mengalami kematian. Kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai degenerasi
sel pada setiap kehidupan hewan merupakan tahap akhir degenerasi yang
irreversibel. Gambaran sitoplasma yang mengalami nekrosis mencakup
eosinophilia yang parah, hilangnya basophilia dan fragmentasi atau hyalinisasi
dari komponen sitoplasma (Takashima dan Hibiya, 1995).
Paparan logam berat pada jaringan ginjal kebanyakan ditemukan organ
glomerulus, tubulus dan otot ginjal. Paparan logam berat yang berlebihan
mengganggu fungsi glomerulus sebagai penyaring dan membersihkan sel-sel
darah. Glomerulus salah organ nerpon ginjal yang sangat rentan akibat toksisitas
logam berat. Kematian nepron ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal dan
kematian ikan. Paparan logam berat pada tubulus dan proksimal tubulus dapat
menyebabkan pembentuk cairan urine dan keseimbangan cairan tubuh terganggu.
Oleh karena itu dengan adanya logam berat yang terkandung dalam
ekosistem perairan masuk dalam sirkulasi darah, sehingga darah tidak dalam
keadaan normal menyebabkan perkembangan organ ginjal menjadi abnormal
dengan berbagai kerusakan. Hal tersebut juga membuktikan logam berat
mempunyai sifat toksik hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kerusakan seperti
nekrosis (kematian sel) pada epitel tubulusnya, athropi (penyusutan sel) pada
epitel tubulus dan glomerulus serta peradangan pada intertubulusnya
(Widyaningrum, [tahun tidak diketahui])
Menurut Anderson (1976) nekrosis merupakan kematian sel atau jaringan
yang bersifat irreversible atau tidak dapat disembuhkan. Penyebab nekrosis cukup
beragam diantaranya adalah toksin bakteri, bahan kimia yang korosif, agen fisik
seperti suhu tinggi dan melemahkan kemampuan suplai darah ,nekrosis ditandai
dengan rusaknya nukleus ( bentuk ireguler, kromotin memadat, nukleolus hilang).
Nekrosis dapat disebabkan karena epitel tubulus dari ginjal ikan butini terpapar
logam berat sebagai suatu zat yang bersifat toksik.
Dari hasil pengamatan secara mikroskopik ditemukan bahwa keadaan sel –
sel insang, hepatopankreas maupun ginjal kebanyakan mengalami nekrosis,
edema, hipertrophy sel. Selain itu banyak ditemukannya degenerasi lemak
utamanya di bagian hepatopankreas ikan. Kerusakan – kerusakan yang terjadi
diduga kuat merupakan hasil dari terpaparnya ikan dengan logam – logam berat
yang terlarut dalam perairan ekosistem ikan tersebut
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa :


a) Insang ikan butini mengalami hipertropi sel, edema, fusi lamella
sekunder, penebalan dan dilatasi lamella primer serta adanya sel –sel
nekrosis
b) Hepatopankreas mengalami degenrasi lemak, dgenerasi hidrofik,
hipertropi sel, dan sel-sel hepatosit yang telah nekrosis
c) Ginjal ikan butini mengalami hipertropi sel, lepasnya membrane basalis
intertubulus, dan sel-sel nekrosis
2. Dari hasil uji air yang dilakukan diperoleh bahwa terdapat sejumlah logam
berat yang terlarut dalam perairan ekosistem dimana ikan tersebut berhabitat.
Nikel sebanyak <0.0184 mg/L, besi sebanyak 0.0238 mg/L, seng sebanyak
0.0491 mg/L dan tembaga sebanyak <0,0136 mg/L. Hal tersebut diduga kuat
menjadi penyebab adanya gangguan atau kerusakan pada sel –sel ikan butini.
Sehingga mampu menyebabkan kematian spesies.

5.2 Saran
Data ini digunakan sebagai masukan untuk pemangku kebijakan tentang
kerusakan jaringan ikan pada penelitian yang berkaitan dengan gambaran
histopatologi ikan. Selain itu, untuk lebih mengetahui gambaran histopatologi
ikan butini peneliti menyarankan untuk menggunakan metode pewarnaan
histologi lanjutan, serta menguji kandungan logam – logam berat lain yang
mungkin terlarut dalam ekosistem danau Matano.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad B., Quresi T. A., Susan M., Pinky K., Rumysa K. 2010. Effect of
Cadmium Chloride on the Histoarchitecture of Liver and Kidney of a
freshwater Catfish, Clarias Batrachus. India. Barkatullah University Bhopal
Alifia, F and Djawad, M.I. 2000. Kondisi Histologi Insang dan Organ dalam
Juvenil Ikan Bandeng (Chanos Chanos Forskall) yang Tercemar Logam
Timbal (Pb). http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/sci_1_2/frida.pdf.
Allan, J. D.and A. S. Flecker. 1993. Biodiversity Conservation In Running Waters.
BioScience 43 : 32-43 pp.
Anderson, P.S.1976. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
bahasa: Peter Anugerah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran
Anon, 1980. World Conservation Strategi. International Union for the
conservation of nature and Natural Resources.
Anonim.2008. Air dan air limbah – Bagian 59: Metoda pengambilan contoh air
limbah. SNI 6989.59:2008. Badan Standarisasi Nasional
Anonim. 2010. Profil Danau Matano. [Online]. http://
profil.danau.matano.limnologi.lipi.go.id. Diakses tanggal 11 Maret 2015.
Anonim. 2014. Panduan Praktikum Laboratorium Lingkungan. Laboratorium
Teknik Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Jurusan Keteknikan Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Bevelander, G dan J. Ramaley. 1988. Dasar-dasar Histologi. Penerbit Erlangga
:Jakarta
Boyd, C.E. and E.L. Kopler. 1979. Water quality management in pond fish
culture.Risearch and Development series No. 22. International Centre for
Aquaculture, Agriculture experiment Satation, Auburn University, Alabama.
30 pp.
Brown, M. E. 1962. The Physiology of Fishes. Academy Press. Inc. New York.
Crowe, S. A. 2004. Biogeochemical Cycling In Ferich Sediments From Lake
Matano, Indonesia, P. 1185–1189. 11th International Symposium On Water-
Rock Interaction. A.A. Balkema.
Crowe, Sean.A, Andrew H. O’Neill, Sergei Katsev, Peter Hehanussa, G. Douglas
Haffner, Bjørn Sundby, Alfonso Mucci, David A. Fowle. 2008. The
Biogeochemistry Of Tropical Lakes: A case study from Lake Matano,
Indonesia. Journal
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Air. Jakarta: UI Press
De Luiiss, Gerrardo and Dino Pulera. 2007. The Dissection of Vertebrae.
University Toronto and George Brown College of Applied Arts and
Technology. Elsevie
El-Naggar AM, Mahmoud SA, Tayel SI. 2009. Bioaccumulation of Some Heavy
Metals and Histopathological Alterations in Liver of Oreochromis niloticus
in Relation to Water Quality at Different Localities along the River Nile,
Egypt. World Journal of Fish and Marine Sciences1 (2): 105-114.
Ersa, I. M. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Usus dan Otot pada Ikan
Mujair (Oreochromis mossambicus) di Daerah Cimpea, Bogor. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Firmansyah, Akhbar. 2003. Kebiasaan Makan Ikan Butini (Glossogobius
matanensis, Weber) di Danau Towuti Luwu Utara Sulawesi Selatan. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Fujaya, Y,1999. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta.Jakarta
Genten F, Terwinghe E, Danguy A. 2009. Atlas of Fish Histology. Enfield (US) :
Science Publishers.
Gland Whitten, A.J., M. Mustafa and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of
Sulawesi. Gajah Mada University Press. Yokyakarta.
Haffner, G. D., P. E. Hehanussa and D. I. Hartoto. 2001. The biology and physical
processes of large lakes of Indonesia : Lakes Matano and Towuti. In M.
Munawar and R.E. Hecky (eds.). The great lakes of the world (GLOW):
Foodweb, health, and integrity, Netherlands. 183-192 pp
Herder, F., J. Nolte, J. Pfaender, J. Schwarzer, R. K. Hadiaty, And U. K.
Schliewen. 2006. Adaptive Radiation And Hybridization In Wallace’s
Dreamponds: Evidence From Sailfin Silversides In The Malili Lakes Of
Sulawesi. Proc. R. Soc. B 273: 2209–2217.
Hibiya, Takashi. Yokote, Motoyoshi. Oguri, Mikio. Sato, Hideo. Takashima
Fumio. Aida Katsumi. 1982. An Atlas Fish Histology Normal And
Pathologival. Tokyo.
Hoole, D., D. Bucke, P. Burgess and I. Wellby. 2001. Diseases of Carp and Other
Cyprinid Fishes. Blackwell Science Ltd, United Kingdom.
Konovalov, S. K.. 2003. Lateral injection of oxygen with the Bosporus plume—
fingers of oxidizing potential in theBlack Sea. Limnol. Oceanogr. 48: 2369–
2376
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN and Wirjoatmodjo S (1993) Freshwater
fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions, Hong Kong,
259 pp.
Lehmusluoto, P. 1999. Limnology in Indonesia, p. 119–234. In R. G. Wetzel and
B. Gopal [eds.], Limnology in developing countries, volume 2. International
Scientific Publications
Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia
Mamangkey, Jack, J. 2011. Konservasi Spesies Ikan Endemik Butini
(Glossogobius Matanensis) Di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Prosiding
Forum Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan III, 18 Oktober 2011.
Universitas Negeri Manado.
Mamangkey, Jack.J. 2006. Ekologi Ikan Butini di Danau Matano Daerah Malili
Sulawesi Selatan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program
Pascasarjana/S3. Institut Pertanian Bogor.
Mamangkey,Jack J and Nasution Syahroma Husni. 2012. Reproduksi Ikan
Endemik Butini (Glossogobius matanensis Weber 1913) Berdasarkan
Kedalaman dan Waktu di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Universitas
Negeri Manado.
Mohamed F. A. S. 2008. Bioaccumulation Of Selected Metals And
Histopatological Alterations In Tissues Of Oreochromis niloticus and Lates
niloticus From Lake Nasser, Egypt. Global Veterinaria 2 (4): 205 – 218
Moyle, P. B. and J. J. Cech. 1988. Fishes : An Introduction to ichthyology,
Engelwood Cliffs. New Jersey. USA. 559 p.
Myers, N., R. A. Mittermeier, C. G. Mittermeier, G. A. B. Da Fonseca, And J.
Kent. 2000. Biodiversity Hotspots For Conservation Priorities. Nature 403:
853–858
Nejedli, Srerenka and Ivana Tlak Gajger. Hepatopancreas in some sea fifi sh from
different species and the structure of the liver in teleost fifi sh, common
pandora, Pagellus erythinus (Linnaeus, 1758) and whiting, Merlangius
merlangus euxinus (Nordmann, 1840). Veterinarski Arhiv 83 (4), 441-452,
2013
Nurdin, M. 2008. Pengaruh Pestisida Paraquat Noxone 297 AS terhadap
Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Histologi Hati Benih Ikan Mas
(Cyprinus Carpio). Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan. Fakultas Pertanian.
Universitas Sriwijaya. Palembang
Panigoro, N., A. Indri., B. Meliya., Salifira., D.C. Prayudha., dan W. Kunika.
2007. Teknik Dasar Histologi dan Atlas Dasar – dasar Histopatologi Ikan.
Balai Budidaya Air Tawar dan Japan International Coperation Agency
(JICA). Jambi.
Pinontoan, Ade Andrew. 2015. Morfologi Sistem Respirasi Ikan Bungo
(Glossogobius Cf. aureus).Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Ploeksic, V., S. R. Božidar, B. S. Marko dan Z. M. Zoran. Liver, Gill, and Skin
Histopathology and Heavy Metal Content of The Danube Sterlet (Acipenser
ruthenus L. 1758). Enviromental Toxicology and Chemistry, 29 (3): 515-
521.
Rahmadani, Arieska Putri, Yusfiati, Roza Elvyra. 2013. STRUKTUR HATI IKAN
SELAIS (Ompok Hypophthalmus Bleeker, 1846) DI PERAIRAN SUNGAI
SIAK KOTA PEKANBARU. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Riau. Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia
Rajamanickam V and Muthuswamy N. 2008. Effect of heavy metals induced
toxicity on metabolic biomarkers in common carp (Cyprinus Carpiol.). Mj.
Int. J. Sci. Tech, 2(1), 192-200.
Rastogi, S. C. 2007. Essentials of Animal Physiology 4th Ed. New Age
International (P) Ltd. New Delhi.
Reitan, Cheril. 2014. LLO Researcher Finds Clues to the Early Earth in
Indonesian Lake. [Online]. http://
Sergei.Katsev.and.Ancient.Oceans.html.University of Minnesota Duluth
Robert R. J. 2001. Fish Pathology 3rd Ed. W.B. Saunders. London.
Roy, D., M. F. Docker, P. Hehanussa, D. D. Heath, And G. D.Haffner. 2004.
Genetic And Morphological Data SupportingThe Hypothesis Of Adaptive
Radiation In The Endemic Fish Of Lake Matano. J. Evol. Biol. 17: 1268–
1276.
Sabilu, Kadir.2010. Dampak Toksisitas Nikel Terhadap Kondisi Hematologi Ikan
Bandeng Chano chanosFosskal Studi Lanjut Fisiologis. Universitas
Haluoleo Kendari.
Siregar, H. 1995. Fisiologi Ginjal. Edisi ketiga. Bagian Ilmu Faal. Fakultas
Kedokteran. Universitas Hasanuddin. Unjung Pandang
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit : Universitas Negeri Malang
Sulistono. 2007. Aspek Biologi Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di Danau
Towuti Sulawesi Selatan.
Takashima and T. Hibiya. 1995. An Atlas of Fish Histology. Normal and
Pathological Features Fumio. Gustav Fischer Verlag. Stuggart. New York.
Tanjung, S. 1982. The Toxicity of Alumunium for Organs of Salvalinus Fontanalis
Mitchill In Acid Water . Jakarta
Thophon, S., M. Kruatrachue, Upathan, E. S., Pokethitiyook, P., Sahaphong, S.,
Jarikhuan, S. 2003. Histopathological alterationsof white seabass, Lates
calcarifer in acute and subchroniccadmium exposure. Environmental
Pollution, 121: 307- 320.
Triadayani, Ade Elha. Riris Aryawati and Gusti Diansyah. 2010. Pengaruh Logam
Timbal (Pb) Terhadap Jaringan Hati Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes
Altivelis). Maspari Journal.
University of Florida. [tahun tidak diketahui]. Respiratory System. [Online]
http://aquaticpath.phhp.ufl.edu/fhm/resp.html. diakses pada tanggal 16 April
2015
Von Rintelen, T., and M. Glaubrecht. 2003. New Discoveries In Old Lakes: Three
New Species Of Tylomelania Sarasin & Sarasin, 1897 (Gastropoda:
Cerithioidea: Pachychilidae) From The Malili Lake System On Sulawesi,
Indonesia. J. Moll. Stud.69: 3–17.
Wargasasmita, S. 2002. Ikan Air Tawar Endemik Sumatra Yang Terancam Punah.
Jurnal Iktiologi Indonesia Vol. 2, No. 2, Th. 2002 : 41-49 pp.
Widyaningrum, Trianik and Tutik Suharyanti.[tahun tidak diketahui]. Pengaruh
Merkuri Klorida Terhadap Pertumbuhan Dan Histopatologi Ginjal Ikan
Nila (Oreochromis Niloticus, Linn). Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
LAMPIRAN I

Data morfometrik sampel Ikan Butini

No Nama Ikan Panjang Berat

1. Ikan A 20 cm 2,4 kg

2. Ikan B 19 cm 1,7 kg

3. Ikan C 20,2 cm 2,4 kg

4. Ikan D 18,5 cm 2,1 kg

5. Ikan E 19 cm 2,1 kg

6. Ikan F 20,5 cm 2,5 kg

Dari hasil data diatas, ikan Butini yang digunakan sebanyak 6 sampel dengan
panjang 18,5 cm – 20,5 cm dan berat 1,7 kg – 2,5 kg.
LAMPIRAN II
TAHAPAN PEMBUATAN PREPARAT HISTOLOGI

 Fiksasi
Sampel jaringan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin (BNF),
volume Buffered Neutral Formalin (BNF) minimal 10 kali volume
jaringan. Pada umumnya waktu yang diperlukan untuk fiksasi sempurna
adalah 48 jam.

 Pemotongan Spesimen
1. Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan, dipotong setebal 0,5-1 cm.
2. Potongan spesimen dimasukkan dalam keranjang pemprosesan dengan
disertai dengan label nomor spesimen yang ditulis dengan pensil.
3. Sisa spesimen dengan Buffered Neutral Formalin (BNF) disimpan
dalam botol bertutup rapat. Selanjutnya botol ini disimpan berurutan
dan dibuang apabila telah melebihi 3 bulan dan ditulis dalam formulir
pemusnahan sampel.

 Prossesing dan Embedding

Embedding cassete yang telah diisi spesimen jaringan dimasukkan


kedalam tissue processor dengan pengaturan waktu sebagai diuraikan
pada table 1 dibawah ini.

Tabel. 2. Prosedur tissue processor dan pengaturan waktu.

No Proses Reagensia waktu

1 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam

2 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam

3 Dehidrasi Alkohol 70% 1 jam

4 Dehidrasi Alkohol 90% 1 jam

5 Dehidrasi Alkohol 100% 1 jam

6 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam

7 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam

8 Clearing Toluen 1 jam

9 Clearing Toluen 1.5 jam


10 Clearing Toluen 1,5 jam

11 Impregnasi Paraffin 2 jam

12 Impregnasi Paraffin 3 jam

Total waktu 20 jam

Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor dan masukkan ke


dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding center. Keluarkan
contoh specimen dari keranjang tissue untuk di blok oleh paraffin satu-
persatu (agar tidak tertukar no. contoh specimen). Tempatkan cetakkan
dan keranjang pada sisi kanan dan kiri dispenser paraffin. Contoh
spesimen diletakkan diatas cetakkan lalu diisi dengan paraffin dengan
menekan tombol hitam yang telah tersedia pada alat embedding center.
Cetakkan diberi nomer sesuai nomer contoh spesimen yang letakkan
diatas keranjang yang berisi contoh spesimen. Pindahkan cetakan pada
bagian dingin. Setelah beku (mengeras paraffinnnya) pisahkan cetakan
dengan keranjang. setelah terpisah pindahkan keranjang siap untuk
dilakukan pemotongan dengan mikrotom knife

 Pemotongan

1. Ambil blok jaringan kemudian difiksir pada microtome. Blok


jaringan dipotong dengan microtome kasar sehingga didapatkan
permukaan yang rata.
2. Gunakan pisau mikrotom yang masih tajam, ketebalan potongan 5-6
mikron. Pilih potongan jaringan terbaik dari pita yang terbentuk.
3. Potongan yang terpilih direntangkan pada floating out yang bersuhu
sekitar 400C yang terlebih. Suhu yang ideal akan mengakibatkan
potongan jaringan merentang sempurna, tidak berkerut.
4. Taburkan gelatin powder sebanyak 5 gram untuk 100 cc aquadest
dan biarkan larut sempurna.
5. Potongan yang bagus, tidak tergores, tidak mengkerut dipilih dan
diambil dengan gelas slide yang sudah bernomer sesuai dengan
nomer epi/patologi.
6. Slide yang berisi tempelan potongan jaringan ditempatkan diatas
pelat pemanas slide, minimal dua jam.

 Pewarnaan
1. Sebelum pewarnaan dilakukan, semua bahan pewarna harus diperiksa
kejernihannya dan disesuaikan dengan jadwal penggantian yang
tersedia (3 kali penggunaan setiap pemakaian).
2. Tahapan pewarnaan:
Tabel 3. Tahap Pewarnaan Mayers Hematoxylin Eosin
No Reagensia Waktu

1 Xylol I 2 menit

2 Xylol II 2 menit

3 Alkohol 100% I 1 menit

4 Alkohol 100% II 1 menit

5 Alkohol 95% I 1 menit

6 Alkohol 95% II 1 menit

7 Mayer’s Haematoxylin 15 menit

8 Rendam dalam Tap Water 20 menit

9 Masukkan dalam Eosin 15 detik -2 menit

10 Alkohol 95 % III 2 menit

11 Alkohol 95 % IV 2 menit

12 Alkohol 100% III 2 menit

13 Alkohol 100% IV 2 menit

14 Akohol 100%V 2 menit

15 Xylol III 2 menit

16 Xylol IV 2 menit

17 Xylol V 2 menit

Setelah selesai pewarnaan dilakukan coverslipping, siapkan coverslips


secukupnya sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja diwarnai lalu teteskan
1-2 tetes “entellan” pada tiap coverslip. balik dan tutupkan pada slide preparat
yang baru saja diwarnai, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara, biarkan
preparat yang sudah tertutup dengan coverslip lalu dibiarkan sampai mengering
sempurna. Bersihkan slide glass dengan xylol lalu berilah nomor sesuai dengan
nomor yang ada dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop cahaya
LAMPIRAN III

Dokumentasi

Gambar 1. Nekropsi

Gambar 2. Fiksasi, dehidrasi, clearing

Gambar 3. Pembenaman (Embedding)


Gambar 4. Blocking

Gambar 5. Pengamatan topografik


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1993 di


Watansoppeng dari ayahanda Saiful Bahri, SE dan ibunda Ir
Hj. Arisah. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 2
Masewali, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke
SMPN 1 Watansoppeng dan lulus pada tahun 2008. Pada
tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1
Watansoppeng. Penulis diterima di Program Studi
Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas
Hasanuddin pada tahun 2011 melalui jalur JPPB. Selama
perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu Himpunan
Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH menjabat sebagai Anggota
Divisi Pendidikan dan Penghayatan Profesi pada periode 2011-2012 dan
Koordinator Divisi Pendidikan dan Penelitian pada periode 2012-2013. Selain
organisasi internal, penulis juga sempat aktif mengikuti ekstrakulikuler kampus
yaitu Paduan Suara Mahasiswa Unhas dan Shorinji Kempo. Penulis juga pernah
aktif sebagai asisten dosen Anatomi Veteriner dan Bedah Veteriner. Selain itu
penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI).

Anda mungkin juga menyukai