Anda di halaman 1dari 87

2019

1
Kewarganegaraan
(Telaah Nilai-Nilai Keindonesiaan)

Team Penulis
Pendidikan Kewarganegaraan

2
Pengantar Penulis…

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kekuatan, ketekunan, kesehatan, dan bimbingan kepada penulis
sehingga buku teks Pendidikan Kewarganegaraan bagi mahasiswa ini dapat
terselesaikan.

Buku ini merupakan sebuah karya bersama yang ditulis oleh team penulis
Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
salah satu matakuliah yang bertujuan untuk mempersiapkan generasi muda
agar menjadi warga negara yang baik. Amanat Soekarno tentang Nation and
Character Building (Pembangunan Karakter Bangsa) yang harus dilakukan
secara terus menerus setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, dapat
diimplementasikan pada matakuliah ini. Hal ini dilakukan agar generasi
muda terutama mahasiswa lebih memiliki rasa nasionalisme dan cinta tanah
air yang tinggi terhadap Indonesia serta memiliki wawasan keindonesiaan
yang luas dan tepat. Begitu juga dengan meneruskan usaha R.A Kartini agar
selalu merawat ruang dalam, yakni merawat generasi muda melalui
pendidikan berwawasan kebangsaan.

Buku ini terdiri dari delapan bab, yakni: Bab I membahas tentang
Nilai-Nilai Pancasila sebagai Core Value Pendidikan Kewarganegaraan.
Materi pada bab ini lebih menekankan pada implementasi dari nilai-nilai
Pancasila yang sudah dipelajari pada matakuliah Pendidikan Pancasila. Bab II
membahas tentang negara dan warga negara dan lebih menekankan pada
Negara Hukum Pancasila. Bab III membahas tentang konstitusi dan dinamika
UUD NRI 1945. Bab IV membahas tentang identitas nasional dan kearifan
lokal sebagai pembentuk identitas nasional. Bab V membahas tentang
demokrasi dan lebih menekankan Demokrasi Pancasila yang ideal yang
seharusnya diterapkan di Indonesia, serta dilengkapi bagaimana
perkembangan demokrasi di Indonesia. Bab VI membahas tentang hak asasi
manusia. Bab VII membahas tentang wawasan nusantara yang menekankan
pada perkembangan wilayah dan potensi Indonesia berdasarkan UNCLOS
1982, dan Bab VIII membahas tentang Ketahanan nasional. Bagaimana
bangsa Indonesia menghadapi ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan
baik dari dalam ataupun dari luar dan agar bisa tetap menjadi negara bangsa
yang tangguh.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua yang telah bekerja
sama dengan baik sehingga buku ini akan segera melaju menjadi wacana
publik. Meminjam istilah Yudi Latif bahwa masalah utama bangsa ini adalah
kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri, semoga
karya ini menjadi karya awal yang memelihara motivasi kami untuk
menghasilkan karya-karya selanjutnya. Penulis menerima kritik dan saran
membangun agar dalam edisi berikutnya segala kekurangan yang ada dapat

3
diperbaiki. Semoga dengan buku ini mampu memberikan sepercik
pengetahuan tentang Keindonesiaan kepada pembaca.

Januari 2019

Team Penulis

4
Pengantar

Status sebagai “warga negara” sesungguhnya memiliki konsekuensi


hukum dan politik tertentu. Hal ini tidak banyak disadari karena pada
umumnya kita tiba-tiba saja memiliki status warga Negara dan tidak pernah
merasakan status tanpa kewarganegaraan. Pada saat memiliki status warga
Negara, secara bersamaan diakui haknya sebagai manusia dan sebagai rakyat
yang memiliki kekuasaan tertinggi. Di sisi lain, sebagai warga Negara, berlaku
terhadapnya pembatasan dalam bentuk aturan hukum yang mengikat.

Oleh karena itu di dalam status kewarganegaraan terhadap serangkaian


hak dan kewajiban yang dijalankan melalui mekanisme dan prosedur
penyelenggaraan negara. Untuk menjadi warga Negara yang memiliki
kekuasaan tertinggi tentu diperlukan pengetahuan tentang proses
pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan Negara. Demikian pula
halnya untuk mendapatkan perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak
sebagai warga Negara, tentu dibutuhkan pengetahuan dan kesadaran atas hak
tersebut serta cara untuk mendapatkan perlindungan, pemenuhan, dan
pemajuannya. Tentu saja kesadaran tersebut juga berisi kesadaran tentang
batasan yang tidak boleh dilanggar agar tertib sosial dan hak orang lain juga
tetap dilindungi.

Kesadaran tentang status dan peran warga Negara dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara tersebut diharapkan dapat tumbuh melalui
pendidikan kewarganegaraan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Pada level pendidikan tinggi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
mengamanatkan salah satu Mata Kuliah yang harus ada dalam pendidikan
program sarjana dan diploma adalah Kewarganegaraan. Di dalam Mata
Kuliah ini berisi materi yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Mata Kuliah ini bertujuan agar
mahasiswa dapat menjadi warga Negara yang baik serta memiliki rasa
kebanggan dan cinta tanah air.

Buku ini hadir dimaksudkan sebagai salah satu bahan dalam proses
pembelajaran Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi dengan substansi dan
sajian yang disesuaikan dengan suasana dan masalah kekinian. Saya
mengucapkan selamat kepada segenap Tim Penulis dari Pusat Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian. Semoga membawa manfaat bagi perkembangan
kewarganegaraan dan peradaban Indonesia.

5
DAFTAR ISI

Bab I Pancasila sebagai Core Value Pendidikan Kewarganegaraan.

Bab II Negara dan Warga Negara

Bab III Konstitusi dan dinamika UUD NRI 1945.

Bab IV Identitas Nasional

Bab V Demokrasi dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia.

Bab VI Hak Asasi Manusia

Bab VII Geopolitik (Wawasan Nusantara)

Bab VIII Geostrategi (Ketahanan Nasional)

6
Bagian Pertama
Pancasila sebagai Core Value
Kewarganegaraan

PENDAHULUAN

‘Segala sesuatu pasti mengandung nilai’, klaim non-positivisme ini


meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang tidak bebas nilai, begitupun dalan
Pancasila yang sarat dengan nilai. Nilai adalah kualitas yang melekat pada
sesuatu, menurut Notonagoro nilai dapat berupa material dan immaterial.
Nilai material dimaksudkan berupa bentuk konkrit atau nyata dan bersifat
empiris (yang dibuktikan berdasarkan pengalaman inderawi). Nilai
immaterial berupa kualitas yang bersifat abstrak namun dapat dirasakan.
Pancasila lebih kuat atau lebih cenderung mengandung nilai yang bersifat
immaterial, misalnya nilai keimanan, nilai kemanusiaan, nilai gotong royong,
nilai kekeluargaan, nilai keadilan, dan seterusnya.

Nilai-nilai tersebut harus menjadi orientasi fundamental (rujukan


mendasar) bagi Pendidikan Kewarganegaraan, sebab civic education di
negara-negara selain Indonesia berbeda dengan Pendidikan
Kewarganegaraan atau pengalaman kebangsaan dengan masyarakat
Indonesia. Hal pokok (asl al-mas’alah) yang membedakan dalam pengalaman
bernegara dan berkebangsaan adalah Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila
harus (wajib) menjadi rujukan nilai bagi Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia. Pancasila harus menjiwai atau menyinari praktik-praktik
berbangsa, tindakan warga negara dalam berpolitik, kebijakan ekonomi
kerakyatan yang betul-betul berpihak pada kebaikan rakyat, sebagai warga
negara yang bersosial berbasis kekeluargaan serta manusia yang terkait
dengan dunia sekitar.

1) Sekilas tentang Nilai

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang


umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini, terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah
nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat, agama, dan
epistemologi. Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran. Etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), sementara
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan, seni (Kattsoff, 2004: 319).

Secara etimologis, aksiologi berasal dari kata axiology (Inggris) yang


berakar dari bahasa Yunani axios, artinya layak atau pantas, sementara logos

7
adalah ilmu atau studi mengenai sesuatu. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang
kepantasan atau kelayakan (Bagus, 2005: 33).

Berikut ini beberapa pengertian tentang nilai atau aksiologi.

1) Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis tersebut


ialah memberi pengertian tentang nilai, menelaah ciri atau karakteristik
pada nilai, menelusuri asal-muasal dan tipe, serta menelaah kriteria
sebuah nilai. Analisis model demikian tidak bisa dilepaskan dari
pendekatan epistemologis.

2) Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai


atau sebuah studi yang menyangkut segala yang bernilai.

3) Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat (ontologis) nilai-nilai.

Secara sederhana, nilai adalah kualitas yang melekat pada objek. Sesuatu
atau objek tersebut dapat saja bernilai jika dilihat dari sudut kegunaannya
secara material, ataupun bernilai dari perspektif motivasi atau kepentingan.
Pertanyaannya, adakah suatu objek yang dapat dihargai dan dinilai lebih
tinggi dari sebuah kebaikan? Apakah nilai kemanusiaan dapat dinilai atau
bernilai sesuatu yang tinggi bisa dilihat dari materinya? Misalnya, seorang
dermawan menyantuni anak yatim-piatu. Apakah yang bernilai itu materi
(uang) yang diberikan ataukah nilai kebaikannya? Untuk menjawab hal ini,
dibutuhkan sudut pandang untuk melihatnya, yakni sudut pandang teori
tentang nilai. Manakah nilai yang lebih tinggi, antara nilai material atau
immaterial. Maka pada prinsipnya, nilaipun berjenjang dari tahap yang paling
sederhana hingga hal yang paling kompleks.

Ada tiga persoalan mendasar yang menyangkut mengenai nilai. Pertama,


sudut pandang pertama melihat sebuah nilai mempunyai hakikat subjektif.
Nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku
(subjek). Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme,
dan analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah
fenomena kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan
psikologis serta sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Hal ini
berarti, unsur-unsur subjektivitas manusia mempengaruhi cara seseorang
melihat sebuah realitas. Kedua, nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal. Pandangan yang menekankan pada penalaran akal
budi melihat nilai ada dalam analisis logos semata tanpa tergantung ruang
dan waktu hingga kesejarahan yang meliputinya. Ketiga, nilai merupakan
unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Dalam istilah Fenomenologi,
“biarlah objek yang berbicara kepada subyek”, artinya nilai sesungguhnya
terkandung dalam objek itu sendiri yang ditampakkan kepada subyek
sehingga subyek dapat menampilkannya di permukaan. Subyek diam, pasif,
sementara objeklah yang bersifat (Bagus, 2005: 34).

Atas dasar beberapa definisi dan persoalan pokok tentang aksiologi atau
nilai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah ilmu untuk

8
mempelajari hakikat nilai, struktur nilai, hingga karakteristiknya. Dengan
demikian, memahami hakikat nilai sangat terkait dengan ontologi dan
epistemologi.

Menurut Scheler, terdapat empat jenis value pada kehidupan manusia.


Pertama, nilai sensual yakni nilai ada dan tampak dalam tampilan seperti
menyenangkan dan bersifat pencitraan. Kedua, nilai hidup yakni seperti
keagungan, kemuliaan, dan kesahajaan. Ketiga, nilai kejiwaan atau
kerohanian yakni seperti nilai estetis (keindahan), nilai benar-salah (moral),
dan nilai intrinsik dalam ilmu pengetahuan. Keempat, nilai religius yakni
seperti yang suci, sakral, dan nilai yang terkait dengan keilahian atau
pengalaman keagamaan. Dalam konteks pembedaan atas nilai yang bersifat
subjektif dan objektif, penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut.

2) Nilai Subjektif

Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai


batin dapat bersifat subjektif, terdapat dalam perkembangan kebenaran,
kebajikan dan keindahan. Nilai subyektif terdiri dari :

(a) Nilai Moral

Secara prinsipil merupakan istilah moral dan etika mengandung


perbedaan makna mendasar. Moral mempunyai makna suatu perbuatan baik
atau buruk yang dilakukan seseorang, sementara etika memberikan
pendasaran filosofis atas tindakan moral tersebut. Moral mendorong untuk
berbuat baik dan memberikan penilaian, sementara etika tidak berpretensi
menilai perbuatan itu benar atau salah, etika hanya memberi landasan
filosofis mengapa perbuatan itu dilakukan. Dalam perspektif moral, sebuah
tindakan moral dapat bersumber dari agama, kearifan masyarakat setempat,
ataupun dari nenek moyang masyarakat kita.
Ajaran moral merupakan ajaran, wejangan, khotbah, kumpulan peraturan
dan ketetapan tentang tata cara manusia hidup dan bertindak agar menjadi
manusia baik. Sumber langsung dari ajaran moral adalah
kedudukan/kewenangan misal orang tua, guru, pemuka
masyarakat/agamawan, dan tulisan bijak. Sumber dasar dari ajaran tersebut
adalah agama, tradisi, adat-istiadat, ideologi tertentu.
Berikut merupakan ciri-ciri kekhususan moral. (1) Norma moral langsung
berkaitan dengan inti karakter manusia. Karakter menyangkut inti, kekhasan
manusia yang muncul dari dalam. Maka dari itu, pembahasan mengenai
moral sangat terkait dengan karakter diri seseorang. (2) Norma moral
menjadi norma yang menegaskan kewajiban dasar manusia dalam bentuk
perintah atau larangan. Untuk itu, norma moral berfungsi sebagai imperatif
kategoris. (3) Norma moral berlaku umum, artinya berlaku bagi siapa saja,
kapan saja, dan di mana saja serta dalam situasi apapun. Dasar dari
universalitas tersebut adalah objektivitas dan pertanggungjawaban rasional.
(4) Norma moral berkaitan dengan hati nurani. Hati nurani adalah institusi
tertinggi dari manusia dalam menetapkan sebuah perilaku yang baik (Bertens,
2007).

9
(b) Nilai Sosial

Di dalam kehidupan sosial ada hubungan-hubungan yang menyangkut


antarmanusia yang tidak hanya bernilai material semata, misalnya
menyangkut hubungan dalam konteks bisnis, hubungan dalam konteks
profesional dan lain-lain, akan tetapi juga mengandung nilai sosial yang berisi
nilai kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai yang mampu
mempererat masyarakat tercermin dalam nilai kekeluargaan. Nilai tersebut
merupakan nilai fundamental yang mampu merekatkan hubungan untuk
memahami bahwa dalam konteks masyarakat luas bisa disebut kekeluargaan.
Hal ini merupakan ruh progresif untuk terus saling membantu serta adanya
perasaan simpati dan empati jika terdapat musibah yang menimpa anggota
masyarakat lain serta memperkuat kerekatan sosial.
Nilai-nilai budaya dalam masyarakat khususnya Indonesia memiliki
banyak macam, misalnya nilai gotong royong, nilai yang terkandung dalam
ale rasa beta rasa, dan seterusnya. Nilai-nilai tersebut mendapat tantangan
yang besar di era global dan modernitas. Sangatlah mungkin nilai tersebut
banyak yang tidak bertahan akibat pengaruh kemodernan yang menggiring
pada pola hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
Dibutuhkan tangan-tangan kreatif untuk mengintegrasikan dalam kondisi
tarik-menarik antara nilai sosial yang berangkat dari kearifan lokal dan nilai
yang lahir dari peradaban modern. Mempertahankan nilai sosial yang lama
bukan berarti harus bersikap konservatif, sementara mengambil nilai sosial
yang baru untuk diintegrasikan dengan nilai sosial yang lama bukan tanpa
harus bersikap imitatif. Integrasi kedua nilai sosial-budaya tersebut mampu
memunculkan nilai sosial baru.

(c) Nilai Estetika

Nilai estetika menggambarkan keindahan dari suatu bentuk kesenian atau


karya seni. Istilah ‘seni’ menunjukkan hal-hal yang mengungkapkan
keindahan. Keindahan mengemukakan suatu teori estetika. Kaum seniman
berpendapat bahwa seni merupakan bahasan perasaan. Dapat dipahami
bahwa estetika merupakan suatu teori yang meliputi: (1) penyelidikan
mengenai yang indah, dan (2) penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang
mendasari seni. Maka kiranya, hal ini disimak satu segi teori estetika yang lain,
yaitu (3) pengalaman yang bertalian dengan seni, masalah penciptaan seni,
penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni (Kattsoff, 2004: 378).
Pengalaman estetis merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Ia lahir
berdasarkan pengamatan indrawi yang membawa seluruh diri manusia dalam
pengamatannya. Salah satu contohnya adalah dalam mengamati keindahan
alam dan keindahan karya seni (Sutrisno dan Verhaak, 1995: 14). Keindahan
estetis murni menyangkut pengalaman estetis seseorang dengan segala
sesuatu yang diserapnya, baik secara visual, audial, maupun intelektual.
Penyerapan tidak semata-mata terjadi dengan melihat atau membaca
kata-kata dan mendengar irama yang selaras dari sajak itu, melainkan
memahami dengan kecerdasan makna yang terkandung di dalamnya (Gie,
1997: 18).
Sementara tentang keindahan, para pemikir Barat memiliki perbedaan
pendapat. Setidaknya, terdapat dua pandangan yang cukup representatif
untuk dikemukakan dalam pembahasan ini. Pertama, keindahan diartikan

10
sebagai rasa nikmat yang diobjektivasikan. Menurut Santayana, keindahan
tergantung pada pencerapan manusia terhadap objek, meskipun belum tentu
objek itu indah. Perasaan indah itu ditandai dengan adanya perasaan nikmat.
Kedua, keindahan sebagai objek tangkapan akal. Gagasan ini diwakili oleh
Thomas Aquinas, meurutnya keindahan adalah suatu objek yang dapat
menimbulkan kesenangan pada akal. Objek itu indah karena memiliki
unsur-unsur seimbang, tertib, dan sempurna (Kattsoff, 2004: 389-392).

(d) Nilai Spiritual

Sebagai makhluk Tuhan, secara fitrah manusia terus menerus berusaha


untuk menemukan jalan spiritualnya. Manusia mengalami berbagai
pengalaman religiusitas dalam proses pengembaraan menuju Tuhan. Nabi
Ibrahim menunjukkan betapa dalam menemukan Tuhan menemukan jalan
berliku dan berat. Perenungan dan sikap kritis yang ditunjukkan Nabi
Ibrahim dalam mengarungi keberadaan Tuhan berangkat dari alam sekitar
yang akhirnya menemukan Tuhan. Hal ini juga terjadi dalam berbagai
pengalaman spiritualitas yang dialami para pemuka agama-agama dunia,
sebut saja Nabi Musa, Nabi Isa (Jesus), Nabi Muhammad, Sidharta Gautama,
dan seterusnya.
Jalan lain yang akan ditelusuri dari beberapa petunjuk dalam”pembuktian
ontologis” merefleksikan kemungkinan manusia mengerti istilah seperti
“sesuatu yang tidak dapat dipikirkan, sesuatu yang lebih besar daripadanya
kalau ia tidak mempunyai semacam pengalaman dan kesadaran akan sesuatu
itu”. Jalan ini tidak objektif dalam arti sebuah deduksi, maka sesuatu yang
belum dipastikan ada (Tuhan) akan dideduksikan dari sesuatu yang ada
(kenyataandi dunia), yakni jalan ini bersifat transendental. Jalan ini
sebenarnya akan menguraikan sesuatu yang sebenarnya termuat dalam
kesadaran manusia, tetapi biasanya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, kita
akan mengatakan bahwa sebenarnya manusia mempunyai suatu pengalaman
tentang Tuhan. Tuhan, bukanlah sama sekali sesuatu yang asing, pengalaman
itu bukan objektif karena Tuhan tidak muncul sebagai suatu objek, melainkan
pengalaman itu transcedental. Hal ini berarti bahwa di dalam segala kegiatan
kita selalu sudah bersentuhan dengan Tuhan. Tuhan muncul sebagai syarat
kemungkinan bahwa manusia dapat mengetahui, menghendaki, menghayati
makna, dan menyadari hati nurani (Suseno, 2005: 151).
Akan tetapi penunjukan yang transendental bukan merupakan sebuah
pembuktian. Pengalaman semacam ini tidak pernah dapat “dibuktikan” atau
dideduksikan. Pengalaman ini bukan tentang suatu objek yang bisa ditunjuk.
Pengalaman transendental secara hakiki terlibat dalam pengalaman sebuah
objek (terbatas). Di dalam pengalaman tentang yang terbatas selalu sudah ada
pengalaman tentang yang tak terbatas. Untuk itu, orang tidak dapat
seakan-akan dipaksa untuk mengakuinya. Apabila ada orang menyangkal
bahwa kesadaran akan Yang Tak Terhingga tersangkut dalam pengalamannya,
maka tak ada cara untuk memaksanya. Kemungkinan kita dapat mengajaknya
untuk memperhatikan kesadarannya dengan lebih tajam. Kemungkinan hal
ini lebih dekat dengan fenomenologi, Ia menunjuk, dan bukan membuktikan.
Apabila orang tidak melihat apa yang Ia tunjuk, maka tak ada cara
membuktikan hal yang akan ditunjukkan. Sebab, kesadaran akan Tuhan
bersifat implisit, terlibat dalam apa yang secara eksplisit, secara objektif, dan
disadari. Pada umumnya, manusia hanya tersedot perhatiannya pada objek

11
kesadaran sehingga hal yang terlibat dalam proses penyadaran luput dari
perhatian (Suseno, 2005: 152).

3) Nilai Objektif

Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus dinyatakan dalam


bentuk yang lebih nyata dan riil. Bentuk nyata inilah yang sering disebut
dengan kebudayaan objektif. Dialog antara manusia dengan lingkungan sosial
dan alam terjadi di dalam proses pertukaran. Nilai-nilai yang direalisasikan
secara batin merupakan landasan terhadap perkembangan batin yang lebih
lanjut dan terus menerus dalam sarana yang semakin kompleks.

(a) Nilai Ekonomi

Nilai ekonomi merupakan bentuk perwujudan nilai yang menyangkut


materi atau bentuk fisik yang bisa memberi manfaat pada subjek yang
mengamati suatu objek (Rescher, 1969: 16). Nilai tersebut misalnya,
kesehatan, kenyamanan, dan perlindungan fisik.
Bakker (2005: 17) mengutip pendapat S. Thomas bahwa segala kegiatan
manusia mengarah kepada karya budi sebagai tujuan. Agar akal budi
berfungsi sempurna, maka dibutuhkan keutuhan dan kesehatan badan yang
diusahakan oleh teknik-teknik yang menyediakan keperluan-keperluan
kehidupan. Jadi, jelas bahwa dalam perspektif ini segala tugas dan kewajiban
manusia digerakkan untuk memungkinkan perkembangan daya budi.
Evaluasi nilai dilihat dari sifat keuntungan dalam segi ekonomi. Segi
ekonomi yang didapatkan dari objek adalah ciri utama dari kategori nilai
ekonomi. Nilai ekonomi ada karena penilaian terhadap objek yang bisa
memberi keuntungan dalam hal ekonomi bagi subjeknya (Rescher, 1969: 16).

(b) Nilai Hiburan

Nilai penting lain yang dimaksudkan dalam hal ini adalah nilai hiburan.
Fungsi hiburan merupakan sistem sosial-budaya yang hadir di tengah-tengah
kehidupan sebagai suatu hal yang memunyai arti dan maksud tertentu. Salah
satu maksud dan tujuannya adalah sebagai aktualisasi pikiran dan jiwa
manusia. Selain dapat digunakan untuk memuaskan kebutuhan batin
manusia akan hiburan, keberadaan suatu bentuk kesenian tidak terlepas dari
dukungan masyarakat sebagai makhluk sosial. Masyarakat menggunakan
kesenian sebagai sarana kegiatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

(c) Nilai Lingkungan

Nilai lingkungan memuat hubungan antara manusia, alam dan Sang


Pencipta. Dalam nilai lingkungan, manusia diajarkan untuk menjaga
lingkungan sekitarnya. Hal ini tidak hanya dalam cakupan khusus seperti
lingkungan individu atau rumah tangga, namun juga memuat hubungan
manusia dengan seluruh alam yang menyokongnya.
Habitat atau alam fisik sekitar memunyai pengaruh besar pada proses
kebudayaan. Manusia tidak dapat mempertahankan diri di hadapan alam
sekitarnya selain dengan menjawab tantangannya. Hal tersebut terutama

12
berlaku untuk alam sekitar yang dahsyat. Di sana, habitat merupakan faktor
yang menentukan namun kurang atau lebih habitat ikut serta membinan
kebudayaan. Habitat menandakan keadaan alami dari eksistensi manusia
seperti ciri-ciri fisik dari lingkungan yang didiami oleh sekelompok manusia,
sumber-sumber alam, keadaan, ketinggian, dan ciri-ciri geografi lainnya bagi
mereka untuk bisa menyesuaikan dirinya (Bakker, 2005: 64).

NILAI-NILAI KETUHANAN

1) Pengalaman Kebertuhanan

Kepercayaan kepada “yang adikodrati”, Tuhan, dan pengalaman


religiusitas merupakan gambaran khas semua agama, aliran kepercayaan,
bahkan aliran kebatinan. Kendati demikian, kepercayaan kepada Tuhan
berada dalam banyak perwujudan yang berbeda-beda. Perbedaan manifestasi
ini disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya adalah faktor
pengetahuan, kondisi sosial-budaya, bahkan ekonomi. Lebih dari itu, perlu
digarisbawahi bahwa persoalan kepercayaan merupakan persoalan yang
sangat terkait dengan pengalaman intersubyektivitas. Kepercayaan kepada
yang gaib melahirkan suatu tata nilai yang berguna untuk menopang
keberlangsungan kehidupan manusia. Tata nilai tersebut selanjutnya
melembaga dalam suatu tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun lalu
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Dengan demikian,
terdapat hubungan yang cukup erat antara kepercayaan, nilai, dan tradisi.
Perkembangan pemikiran manusia berjalan ke arah kemajuan (progress).
Tanpa bermaksud untuk mengeneralkan secara keseluruhan, di era modern
masih ada sekelompok orang yang masih memercayai adanya kekuatan dalam
benda, ruh, hingga dewa. Keyakinan tentang Tuhan yang dulu berkutat pada
wilayah benda, ruh, hingga menjadi dewa, bergeser ke arah paradigma
tentang Tuhan yang lebih rasional. Konsep-konsep ketuhanan yang selama ini
dipercaya terbukti tidak bisa diterima akal dan tidak bisa dibuktikan secara
metafisik. Akhirnya, kepercayaan manusia bergeser ke arah satu Tuhan
(monoteisme).
Monoteisme dapat berbentuk deisme atau teisme. Deisme berasal dari
kata latin dues yang berarti Tuhan. Menurut paham deisme Tuhan berada
jauh diluar alam (transenden). Dengan kata lain, Ia tidak berada dalam alam
(immanen). Setelah Tuhan menciptakan alam, Ia tidak memperhatikannya
lagi. Alam berjalan di atas hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya sendiri
dan tidak berubah-ubah. Konsekuensinya, paham ini tidak lagi percaya
terhadap mukjizat, sebab bertentangan dengan hukum alam. Demikian
halnya dengan wahyu dan doa dalam paham deisme. Keduanya tidak lagi
diperlukan sebab Tuhan telah memberi manusia akal. Melalui akal, manusia
sudah bisa membedakan yang benar dan salah serta tidak bertentangan
dengan wahyu karena akal menjadi potensi yang cukup memadai untuk
memenuhi kehendak Allah (Nasution, 1991: 36).
Penganut paham deisme sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan
intervensi melalui kekuatan supranatural. Secara garis besar, paham ini
terbagi menjadi empat, antara lain sebagai berikut.
(1) Tuhan tidak terlibat dalam proses pengaturan alam. Dia menciptakan
alam dan memprogram perjalanannya, akan tetapi Dia tidak menghiraukan
apa yang akan terjadi ataupun apa yang telah terjadi.

13
(2) Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di
alam, akan tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia
memiliki kebebasan untuk berbuat baik atau buruk, semuanya bukan
menjadi urusan Tuhan.
(3) Tuhan mengatur alam sekaligus memperhatikan perbuatan moral
manusia. Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus
tunduk pada hukum moral yang telah ditetapkan di jagad raya ini.
Bagaimanapun, manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang
mati, maka babak terakhir kehidupannya ditutup.
(4) Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi
hukum-hukum moral yang berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat
bahwa ada kehidupan sesudah mati. Seseorang yang berbuat baik akan
mendapat pahala dan yang berbuat jahat akan mendapat hukuman.

Salah satu aspek positif dari paham deisme adalah akal mendapat porsi
yang lebih besar dalam memahami realitas kehidupan ini, begitu juga realitas
ketuhanan (agama). Peranan akal yang sangat dominan ini dapat memberikan
sumbangsih pada upaya melakukan telaah kritis atau
pemahaman-pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis.
Implikasi besar pada paham ini adalah menempatkan tata aturan alam yang
berjalan harmonis di atas hukum alam sesuai dengan ketetapan Tuhan.
Meskipun begitu, pengakuan akan adanya Tuhan sebagai pengatur yang maha
sempurna jelas tergambar dalam konsep ketuhanan.
Selain itu, terdapat juga paham panteisme. Paham ini terdiri atas tiga kata,
yaitu pan, yang berarti seluruh, theo yang berarti Tuhan, dan ism (isme) yang
berarti paham. Panteisme adalah paham yang meyakini bahwa seluruh alam
ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam (Bahtiar, 1997: 89-93).
Seluruh alam kosmos ini adalah Tuhan, semua yang ada dalam
keseluruhannya adalah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam
keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera
adalah bagian dari Tuhan.
Tuhan adalah kosmos dalam keseluruhannya dan benda-benda adalah
bagian dari Tuhan, maka Tuhan dalam panteisme adalah immanen, yaitu
berada dalam alam ini, bukan di luar seperti yang diyakini oleh paham deisme.
Seluruh kosmos ini adalah satu, maka Tuhan dalam aliran panteisme juga
satu, hanya saja Tuhan menurut panteisme memiliki bagian-bagian.
Pandangan panteisme, Yang Maha Besar itu hanya satu dan tidak berubah.
Alam panca indera saja yang berubah dan yang merupakan bagian dari Tuhan,
dan semua itu adalah ilusi belaka (Nasution, 1991: 37). Mengenai persoalan
mukjizat, kalangan panteisme menyebut sebagai hal yang mustahil terjadi
karena semua mahluk adalah Tuhan, dan Tuhan adalah semua. Jika mukjizat
diartikan sebagai peristiwa yang menyalahi hukum alam, maka hal tersebut
tidak berlaku dalam panteisme sebab Tuhan sangat identik dengan alam.
Maka dari itu, tidak ada suatu kekuatan apapun yang berasal dari luar yang
dapat mengganggu tatanan yang sudah ada.
Paham lain berpandangan bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi
sepaham dengan panteisme adalah teisme. Menurut teisme, Tuhan memang
berada di luar alam tapi dekat dengan alam. Berbeda dengan deisme, teisme
menyatakan bahwa alam setelah diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berhajat
kepada-Nya tapi tetap berhajat kepada-Nya. Tuhan merupakan sebab bagi
yang ada di alam ini. Segalanya bersandar pada sebab ini. Tuhan adalah dasar

14
dari semua yang ada dan yang terjadi dalam alam ini. Kosmos ini tidak bisa
berwujud dan berdiri sendiri tanpa Tuhan. Tuhanlah yang terus menerus
secara langsung mengatur alam ini. Dalam teisme alam ini tidak bergerak dan
beredar menurut hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang tidak berubah
tapi bergerak dan beredar berdasar kehendak mutlak Tuhan.
Pengalaman akan kebertuhanan di Indonesia, digambarkan oleh Suseno
bersifat ekstrovet, yakni sikap terhadap dunia luar yang alami dengan
kesatuan numinus (pengalaman spiritual) antara alam, masyarakat, dan alam
adi kodrati. Pengalaman ini terejawantah dalam berbagai ritus, tanpa refleksi
eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Kesatuan masyarakat, alam, dan
alam adi kodrati sebetulnya terungkap dari kepercayaan bahwa setiap
kejadian yang bersifat empiris selalu berkaitan dengan hal yang adi kodrati
atau metaempiris. Kesatuan masyarakat, alam, dan adi kodrati ini diwujudkan
dengan sikap hormat pada nenek moyang, melakukan ritual sesaji, slametan
dan berbagai ritus lainnya. Setiap kejadian di alam empiris ini selalu terkait
dengan alam adi kodrati, maka seseorang dalam perilakunya harus
memperhatikan dan melakukan ritus-ritus tersebut sebagai upaya untuk
menyelamatkan dirinya dari berbagai kejadian yang tidak diinginkan (Suseno,
1985: 82-83).
Keyakinan religiusitas berikutnya adalah bahwa hidup manusia telah
ditentukan oleh Tuhan sangat mewarnai perilaku masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia tidak bisa mengelak dari ketentuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Kelahiran, kematian, jodoh, dan nasib adalah
bentuk-bentuk takdir yang tidak bisa dilawan. Masyarakat harus menjalankan
kehidupannya sesuai dengan tingkat dan kedudukannya karena mereka tak
akan mampu mengubah takdirnya secara definitif. Oleh karena itu, orang
harus bisa mengerti dan memahaminya agar dapat menjalani kehidupan ini
dengan selaras dan seimbang (Suseno, 1985: 82-83).
Pengalaman keagamaan yang cukup ekstrim bagi sebagian masyarakat
Indonesia adalah pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan
dengan numinus. Meskipun tujuan akhir dari lelaku spiritual ini adalah
penyatuan hamba dengan Tuhan, namun penekanannya tidak terletak pada
pengalaman transendensi. Penekanannya justru terletak pada
unsur-unsurnya, yakni teori dan keyakinan. Unsur ini menjadi sarana yang
ampuh untuk membulatkan kekuasaan eksistensinya sendiri (Suseno, 1985:
82-83).
Kekuasaan dipahami bukan yang bersifat empiris semata tapi merupakan
pemberian nur ilahi (Tuhan), hal ini dipahami sebagai etika politik
(teodemokrasi) dan landasan moral penyelenggaraan negara. Seseorang yang
akan menerima kekuasaan dalam masyarakat Jawa akan terlebih dahulu
menerima pulung atau menerima wahyu. Kekuasaan juga diapahami sebagai
bentuk pengejewantahan kekuatan kosmos. Pemusatan kekuatan kosmos
dalam diri penguasa dicari melalui jalan tapa brata, lelana, tanpa pamrih dan
seterusnya. Kekuasaan akan dikatakan berhasil apabila sang raja mampu
memberi ketentraman dan ketenangan pada rakyatnya. Namun jika
kekacauan telah terjadi, berarti bahwa sang raja sudah tak lagi menjalankan
laku spiritual atau sang raja telah melakukan pamrih dan mengumbar
nafsu-nafsunya. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa kekuasaan dalam
masyarakat Jawa sangat terkait dengan moralitas. Moralitas ini bertumpu
dari pengendalian nafsu. Ketidakmampuan menahan nafsu akan secara

15
alamiah melunturkan kekuatan kosmis atau pemberian wahyu (pulung) yang
telah dipercayakan kepadanya selama ini (Suseno, 1991: 82-83).

2) Dialog Antaragama dalam Kebhinekaan Keyakinan

Nilai pragmatis dalam penyatuan hamba dengan Tuhan sebagai gambaran


pengalaman religius yang berakibat pada pandangan bahwa agama apapun
yang dianut tidaklah begitu penting tapi terpenting adalah apakah
pengalaman itu cocok dan bermakna dalam kehidupannya. Sebuah
pengalaman spiritual yang menentramkan jalan hidupnya menjadi esensi
mendasar dari pola keberagamaan masyarakat Indonesia (Jawa khususnya).
sikap yang lebih mementingkan nilai pragmatis ini memunyai nilai positif
bagi upaya membangun masyarakat yang harmonis tanpa tersekat oleh
bentuk-bentuk formal agama (Suseno, 1985: 82-83).
Konsep dasar tersebut membuat Bung Karno menekankan akan
pentingnya Ketuhanan yang Berkebudayaan, menekankan nilai toleran
seperti hormat, kerja sama, dan seterusnya. Berbagai ragam agama di
Indonesia menjadikan kita harus legawa untuk menerima perbedaan itu. Jika
tidak, masihkah keimanan kita terpasung oleh dikotomi nalar kafir dan
muslim, darul harb dan darul salam? Jika Tuhan saja tidak memaksa
manusia untuk menjadi satu komunitas, kenapa pengakuan keragaman begitu
sulit kita hadirkan dalam pengalaman keagamaan kita? Saatnya kita
melakukan kesalehan kultular untuk mengatasi keragaman ini. Kesalehan
multikultural ini sebagai cara pandang yang dapat diterima jika kesalehan dan
keimanan diletakkan sebagai praktis dari etika dan kemanusiaan (Mulkhan,
2007: 69). Dengan demikian, dialog antariman akan bisa lepas dari belenggu
keimanan sempit yang bersifat eksklusif.
Prinsip-prinsip kebebasan beragama harus ditekankan dalam konteks
keberagaman yang plural. Dalam keyakinan keagamaan, keyakinan kepada
Tuhan itu sendiri merupakan rahmat bagi manusia dari Tuhan. Untuk itu,
Tuhan mengakui hak manusia sendiri dalam menentukan jalan hidupnya.
Meski demikian, setiap pilihan keyakinan dan praksis sepenuhnya menjadi
tanggung jawab manusia. Dengan pengertian semacam ini, dapat
digarisbawahi bahwa pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu
pertemuan sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan keadaban (bond of
civility).
Hal penting untuk ditekankan adalah dialog atau musyawarah dalam
pemahaman yang plural di bidang agama. Sayangnya, dialog yang beberapa
tahun terakhir ini banyak dilakukan oleh masyarakat agama masih terbentur
pada yang disebut oleh Knitter (1995) sebagai “toleransi yang malas” (lazy
tolerance). Hal ini berarti bahwa setiap agama mengajak agama lain untuk
mengakui keabsahan masing-masing mengambil jalan yang memuaskan
mereka dalam toleransi. Untuk menciptakan atmosfir yang memungkinkan
kedua komunitas agama menahan diri saling menuduh yang lain sebagai tidak
toleran, keduanya berharap pada tantangan konsep toleransi agama yang
sesungguhnya. Tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip agama yang
mendasar, kedua komunitas harus memiliki niat baik saling mendengar satu
sama lain. Jika keduanya tidak siap dan bersedia untuk bertemu dengan
agama lain dengan sikap pengertian dan hormat, maka “toleransi yang malas”
itu tidak akan berubah kecuali justru menjadi semakin parah (Knitter, 1995:
26-27).

16
Paradigma baru yang tidak eksklusif dalam dialog diperlukan dalam
konteks ini. Paradigma dialog yang inklusif ini dirumuskan oleh Smith (Smith,
1979) sebagai pergeseran orientasi dialog ke arah saling menghormati,
memahami, dan membantu satu sama lain, serta bersama-sama bertujuan
menciptakan dunia yang dapat diterima. Dengan demikian, misi dialog adalah
untuk bekerja sama dengan seluruh umat manusia, bukan mengisolasi diri
(Smith, 1979: 57-68). Menurut Kung dan Kuschel (1999: 32) dialog adalah
bukan sekedar ko-eksistensi tidak hanya mengantarkan pada sikap bahwa
setiap agama berhak untuk bereksistensi tetapi pada pro-eksistensi mengaku
sekaligus mengafirmasi dan mendukung eksistensi agama selama ia bertujuan
untuk kepentingan manusia secara umum.
Panikkar (1994) menyebutkan bahwa dialog harus melangkah lebih jauh
pada tingkatan intrarelegius, yaitu dialog yang tidak hanya menuntut suatu
sikap inklusif paralelisme. Suatu sikap mengakui bahwa agama merupakan
jalan-jalan yang sejajar. Secara etis, dialog tidak dimaksudkan untuk
mencampuri urusan dan ajaran agama lain, juga tidak mau dinobatkan orang
lain dari keyakinannya yang dianut, melainkan untuk memperdalam tradisi
agama sendiri secara lebih kritis.

3) Etnis, Agama, dan Nasionalisme

Nasionalisme kultular yang mengalami kebangkitan setelah perang dunia


II ternyata dibarengi dengan peningkatan sentimen etnisitas bahkan sentimen
keagamaan. Hal tersebut pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik
yang amat kental. Menurut Nodia dalam Azra (2014) nasionalisme ibarat satu
koin yang memunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya
adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik tapi substansinya
tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik
yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Semua ini terlihat jelas melalui
latar belakang kemunculan negara-negara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia,
Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir Kosovo. Nasionalisme yang muncul
merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian
beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah
nasionalisme yang sangat chauvinism dan fascis, seperti terlihat jelas dalam
kasus Serbia (Azra, 2014).
Naisbitt (1994) secara tersirat dalam bukunya Global Paradox menyebut
etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai“new tribalism”. Tribalisme baru
ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindakan kebrutalan,
perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ‘ethnic cleansing’ di wilayah
bekas Yugoslavia. Hal ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya.
Naisbitt dalam Azra (2014) mengutip laporan The Economist, yang
menyatakan bahwa “virus tribalisme . . . mengandung risiko menjadi AIDS
politik internasionalis, yang diam selama selama bertahun-tahun, tetapi
tiba-tiba membara untuk menghancurkan berbagai negara.” Naisbitt dalam
Azra (2014) memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik
bersenjata akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi
dan politik.
Teori tentang ‘tribalisme baru’ sesungguhnya tidaklah terlalu baru.
Konsep tentang ‘tribalisme baru’ ini pertama kali dikembangkan Greely dan
Novak dengan sebutan ‘new ethnicity’. Keduanya berargumen, sejak 1970-an
di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran

17
etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai meltimg pot semakin kehilangan
maknanya. Namun, berbeda dengan ‘tribalisme baru’ kontemporer yang
disebutkan oleh Naisbitt (dalam Azra, 2014), Novak dalam (Azra, 2014)
melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu, yaitu
sensitivitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek
terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok etnis, dan pengujian
secara sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis.
Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan
pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau
tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan
‘tribalisme baru’ yang relatif ‘modern’ seperti terjadi di Amerika Serikat atau
‘tribalisme baru primitif’ di bekas Yugoslavia memunyai konteks sosial dan
historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara (Azra,
2014).
Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam
hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu
tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam
proses pertumbuhan nasionalisme tetapi juga oleh realitas Indonesia yang
sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama. Peta etnografis Indonesia
sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi. Indonesia dihuni
kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang selain memunyai
kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik, dan
kultural yang cukup substansial.
Meskipun demikian, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat sepenuhnya
mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme dalam pertumbuhan
nasionalisme di Indonesia umumnya. Terdapat beberapa faktor yang
menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang
terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang
pengalaman kesejarahan yang sama. Pengalaman Indonesia menunjukkan
bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam
pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung
kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah
contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang berusaha
mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis-a-vis apa yang disebutnya
sebagai ‘kolonialisme Jawa’. Tema “etnisitas” seperti ini tidak mendapatkan
dukungan historis, sosiologis, dan kultural dari kelompok-kelompok etnis
lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang
menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan mengangkat nasionalisme
Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai “Sumatera Merdeka”. Hal ini
jelas keluar dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya. Bisa dipastikan,
tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius tema ini (Azra, 2014).
Azra (2014) sependapat dengan Himmelfarb (dalam Azra, 2014) tentang
ironi yang bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru
menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif,
bahkan menolak kaitannya dengan agama. Agama dipandang tidak hanya
sekedar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini
terlihat, misalnya, dari pandangan Fukuyama (dalam Azra, 2014) yang
menganggap agama hanya menimbulkan dampak negatif terhadap
nasionalime.
Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia
dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas,

18
cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama (dalam Azra, 2014).
Fukuyama (dalam Azra, 2014) benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme
awal (tepatnya protonasiolisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental
dengan sentimen keagamaan hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan
perang agama. Anggapan ini juga mungkin benar dalam hubungannya dengan
brutalitas nasionalime Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam
di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan
ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan
amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme (Azra, 2014).
Kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dalam
pengalaman Indonesia dengan segera dijinakkan oleh faktor Islam sebagai
agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi “supa-identity” dan
fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan
demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya
menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan
dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting bahkan menjadi
dasar nasionalisme khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang
kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai
kelompok etnis di Indonesia (Azra, 2014).
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat
kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini,
penjajahan Belanda secara teologis menurut ajaran Islam adalah kafir
merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan
Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada
tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian, sentimen etnisitas menjadi
sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad
al-Palimbani (1704-1789). Ulama besar asal Palembang yang mengirim
surat-surat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan
Jihad dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari sehingga melahirkan pertempuran
pada 10 November 1945.
Islam menjadi unsur genuine, pendorong munculnya nasionalisme
Indonesia dalam kasus Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu
menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas
lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI)
yang merefleksikan nasionalisme keislaman keindonesiaan sekaligus respons
terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hinda
Belanda baik Cina keturunan maupun Cina totok. Walaupun SI pada
esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi dari gagasan Ratu
Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina ia mampu menjadi
organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah (Azra, 2014).
4) Agama dan Pembangunan (Industrialisasi)
Gencarnya arus modernitas dan kapitalisme global serta semakin
pesatnya gelombang industrialisasi yang juga berimbas pada wilayah
keagamaan di tanah air cukup membuat resah kaum agamawan dan
pengikutnya. Baik disadari atau tidak, arus industrialisasi telah membuat
religiusitas dan kesadaran ilahiyah termaterialisasi. Bentuk-bentuk ritual
keagamaan meski kadang tidak bisa dinalar, bagaimana mungkin terjadi
demikian? Kondisi ini terjadi akibat paradigma kita tentang agama dan
pengalamannya terkontaminasi oleh kuatnya hegemoni nalar tekstual dalam
beragama, akibatnya nilai-nilai yang luhur dalam beragama nyaris musnah
digerus oleh kuatnya industrialisasi dan sekaligus ‘penguburnya’ dari dalam.

19
Kesadaran agama baru ini kiranya akan mampu menggeser paradigma
keagamaan yang formalistik, melalui kesadaran peradaban yang sistesis dan
mistis antara peradaban material dan spiritual sebagai bagian integral
kesadaran kemanusiaan masyarakat industrial. Hal inilah bentuk kesalehan
industrial (Mulkhan, 2007: 58).
Sebagai bentuk respon terhadp hegemoni modernitas dan industrialisasi,
konteks keberagaman kita juga dihadapkan pada kearifan lokal. Pengalaman
unik keagamaan justru menjadi bagian dari multi kesadaran ilahiyah dan
multikultur tanpa bisa diseragamkan dalam satu ideologi. Pembelajaran
agama berbasis kearifan lokal, dihadapkan budaya global yang memunculkan
berbagai bentuk “agama baru” yang saintifik. Agama baru yang sama sekali
berbeda dari tradisi ritual, kesadaran kosmos, dan teologi agama-agama besar
dunia yang pernah ada. Sayangnya, elit-elit agama masih terperangkap pada
tafsir klasik yang bersifat ideologis. Kemunculan agama baru ini baru dapat
dihadang melalui “kehadiran tuhan dalam wajah yang baru dalam tafsit
ajaran-ajarannya yang bersifat objektif dan kemanusiaan” (Mulkhan, 2007:
129).
Konteks pembangunan bangsa selalu dikonotasikan oleh negara sebagai
pembangunan fisik. Untuk itu, peran agama dalam konteks ini sebagai fungsi
kontrol. Penghambaan agama atas kekuasaan di saat kekuasaan menyeleweng
justru mereduksi agama yang memunyai jiwa pembebas. Semua agama yang
diturunkan di muka bumi memunyai fungsi pembebasan. Pembebas yang
dimaksud adalah pembebasan dari ketidakadilan struktural oleh rezim atau
penguasa di masa itu ataupun sebagai pembebasan manusia dari suatu bentuk
‘penghambaan’ pada materi semata. Di sisi lain, agama sangat mungkin
diperankan sebagai ‘etos’ untuk pembangunan secara berkeadilan, baik
pembangunan manusia secara utuh maupun pembangunan dalam bentuk
yang lain. Inilah sebuah gerakan agama non-ideologis yang kultural. Disebut
demikian karena gerakan ini menekankan pada ‘idea moral’ agama namun
bukan agama dalam bentuk formal apalagi ritual yang ditampakkan.

NILAI KEMANUSIAAN INDONESIA


Inti pokok sila kedua adalah manusia. Kata ‘manusia’ merupakan akar
kata kemanusiaan. Manusia merupakan subjek pendukung utama. Manusia
adalah subjek pendukung pokok negara. Oleh karena itu, manusia sebagai
atau menjadi subjek pendukung sila-sila dalam Pancasila. Pancasila menjadi
dasar filsafat dan asas kerokhanian bangsa dan negara Indonesia karena
bangsa sebagai rakyat adalah terdiri atas manusia-manusia.
Unsur hakikat manusia adalah sebagai berikut.
1) Susunan kodrat manusia yang terdiri atas:
a. Raga yang terdiri atas unsur benda mati, unsur binatang dan unsur
tumbuhan;
b. Jiwa yang terdiri atas unsur akal, rasa dan kehendak.
2) Sifat-sifat kodrat manusa yang terdiri atas:
a. Makhluk individu;
b. Makhluk sosial.
3) Kedudukan kodrat manusia terdiri atas:
a. Makhluk berdiri sendiri;
b. Makhluk Tuhan (Notonegoro, 1975: 87-88).

20
Susunan kodrat manusia terdiri atas dua unsur yaitu raga dan jiwa yang
merupakan suatu susunan (modualis, kedua-tunggalan). Manusia adalah
makhluk berbadan yang terdiri dari unsur air mani dan tanah. Sebagaimana
makhluk lain yang terbentuk dari unsur materi, manusia memunyai sifat dan
ciri-ciri makhluk materi yang terikat dengan hukum-hukum alamiah seperti
kemampuan untuk tumbuh, berkembang, bergerak, memunyai nafsu, insting
dan seterusnya. Badan manusia bertumbuh mulai dari kecil menjadi besar
dan ia hanya bisa berkembang sebagai manusia jika badannya memungkinan;
menjadi manusia karena memang terbangun dari badan. Manusia merupakan
suatu struktur hidup yang berproses menurut hukum-hukum biologis.
Struktur badan tersebut terdiri dari beberapa sub-struktur yang tak terhingga
jumlahnya, nampak sebagai bangunan dari sel-sel, dan memunyai diferensiasi
yang berbentuk organ-organ dengan funsgi yang berbeda-beda pula.
Ruh ditiupkan ke dalam jasad hingga terjadilah persatuan antara materi
dan ruh membuat perubahan mendasar bagi diri manusia. Menurut al-Razi,
manusia lalu menjadi sosok makhluk yang bersifat materi dan makhluk
ruhani (spiritual) sekaligus. Persatuan natara materi dan ruh tidak
terpisahkan satu sama lain, kecuali telah dipisahkan oleh kematian. Dengan
demikian, dari sisi pertumbuhan materi/fisik, manusia tumbuh dan
berkembang sebagaimana layaknya makhluk lain. Perbedaannya justru
terletak pada aspek ruh yang telah ditiupkannya ke dalam materi tersebut.
Inilah hakekat manusia yang sebetulnya. Manusia terbentuk dari dua aspek
sekaligus, yakni aspek materi dan nonmateri/ruhani.
Terkandung akal-budi dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk
menciptakan atau melahirkan ilmu dan pengetahuan, serta teknologi.
Sementara itu, rasa mengantarkan manusia mampu menciptakan karya-karya
estetika, keindahan, dan keutamaan. Potensi kehendak pada diri manusia
mengantarkannya untuk mampu bertindak dan berperilaku secara baik atau
bermoral. Atas dasar kemampuan inilah, manusia memunyai berbagai potensi
sekaligus kemampuan yang bisa difungsikan dalam menjalani hidup sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya. Untuk itu, hanya dengan jalan menggunakan
potensi kemanusiaan secara integral, manusia akan mampu membangun
hubungan sosial (lingkungan sekitar, baik dengan alam dan manusia) dengan
baik dan juga akan mampu membangun hubungan dengan yang transenden,
yakni Tuhan secara terus-menerus. Menurut Notonagoro (1975), keduduka
kodrat manusia terdiri dari dua unsur, yakni makhluk berdiri sendiri dan
makhluk Tuhan yang merupakan satu kesatuan (monodualis). Keseluruhan
unsur-unsur tersebut merupakan suatu kesatuan hakikat manusia yang
bersifat monopluralis.
Manusia harus senantiasa berpedoman pada suatu norma yang baik, agar
terlaksana nilai-nilai hakekat manusia. Dalam keadaan demikian, manusia
memunyai sifat dan watak yang luhur yang sesuai dengan hakikat manusia
monopluralis. Watak tersebut menurut Notonagoro (1975) disebut sebagai
tabiat saleh. Tabiat saleh meliputi empat hal yang dideskripsikan sebagai
berikut (Kaelan, 2009: 168-169).
1) Watak penghati-hati (kebijaksanaan)
Sikap perbuatan manusia harus senantiasa merupakan hasil
pertimbangan dari akal, rasa, dan kehendak secara selaras. Akal memberi
pengetahuan tentangh perbuatan yang bagaimana harus dilakukan. Rasa
mengujinya dengan berpedoman pada hasratnya (secara estetis). Kehendak
akan menentukan perbuatan tersebut dilakukan atau tidak (etis).

21
2) Watak keadilan
Hakikat manusia monopluralis harus terjelma dalam suatu perubahan
adil. Dalam perubahan adil susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga,
sifat kodrat manusia sebagai makhluk berdiri sendiri, dan makhluk Tuhan.
Oleh karena itu, manusia harus senantiasa bersifat adil dalam segala
manifestasi perbuatannya yaitu kemampuan untuk memberikan kepada diri
sendiri dan kepada orang lain yang menjadi haknya secara semestinya.
3) Watak kesederhanaan
Setiap perbuatan manusia harus bersifat sederhana, yaitu harus menekan
dan menghindari pelampauan (berkelebihan) dalam wujud kemewahan,
kenikmatan, atau hal-hal yang bersifat enak. Oleh karena itu, hasrat-hasrat
ketubuhan, hasrat individu maupun makhluk sosial harus senantiasa
membatasi diri agar tidak melampaui berkelebihan.
4) Watak keteguhan
Watak keteguhan yaitu kemampuan yang ada pada manusia untuk
membatasi diri supaya tidak melampaui batas. Dalam hal ini, keteguhan
dimiliki untuk menghindarkan diri dari duka maupun hal yang enak. Hal ini
sebagai keseimbangan dengan watak kesederhanaan.
Eksistensi manusia ketika berhadapan dengan orang lain menyangkut
HAM, hakikat manusia yang komplek monopluralis menjadi dasar
berjalannya Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Hal itu adalah
keyakinan bahwa manusia secara kodrat adalah makhluk ciptaan Tuhan
sehingga implikasi dari pandangan tersebut, hak asasi di sampung melekat
pada diri manusia sejak lahir, juga meyakini bahwa Tuhan adalah pemberi
hak asasi. Prinsip dasar tentang manusia (filsafat manusia) menyangkut
keyakinan Tuhan sebagai pemberi hak bagi manusia inilah yang
membedakannya dengan HAM di dunia Barat.
Hak asasi yang melekat pada manusia tidak boleh dicabut oleh siapapun
dan dengan cara apapun. Ketika negara belum ada, hak asasi terlebih dahulu
ada. Maka seharusnya, realisasi kemanusiaan yang beradab semestinya
memperhatikan hak-hak asasi manusia yang telah lama ada. Singkatnya,
negara harus melindungi HAM dan kemanusiaan sebab pada prinsipnya hak
asasi telah ada lebih dahulu, negara tidak boleh mendiskriminasi hak-hak
yang telah dimiliki warga negara.
Prinsip antidiskriminatif yang ditekankan pada sila kedua melahirkan
sikap egaliter, memandang sederajat, sama sebagai manusia seutuhnya tanpa
membedakan manusia lain berdasarkan agama, suku, ras, bahasa, etnis, dan
lain sebagainya. Inilah prinsip mendasar kemanusiaan yang adil dan beradab
yang kemudian oleh negara dibentuk perangkat peraturan untuk
mengaturnya.

PERSATUAN DALAM KEBHINEKAAN


Beragam etnis, suku, budaya dan agama pada masyarakat Indonesia
sesungguhnya bisa menjadi modal sosial (capital social). Hal ini merupakan
sesuatu yang mendasar dalam membangun sebuah peradaban. Akan tetapi,
beragam budaya tersebut malah terkadang bersifat kontraproduktif,
menimbulkan konflik berkepanjangan antarsuku, etnis, dan bahkan agama.
Kebhinekaan dapat dipahami sebagai keragaman budaya dalam suatu
komunitas, dalam pengertian sederhana. Terdapat hubungan timbal-balik
atau interaksi, konflik, saling menghormati dan menghargai, toleran, integrasi,
dan bahkan disintegrasi di dalam keragaman. Masyarakat multikultur adalah

22
masyarakat yang terdiri atas beragam etnis dan kebudayaan yan
beranekaragam. Kehidupan mereka tidak diatur oleh sistem budaya tunggal
dan tertutup, melainkan dalam terminologi postmodern grand narrative,
narasi tungal, melainkan terdiri atas sistem budaya yang beragam dan nilai
yang relatif (J.F. Lyotard, 1991).
Masyarakat multikultur dibedakan dengan masyarakat monokultur.
Monokultur merupakan sebuah masyarakat asli (archais) atau etnis yang
semua anggota masyarakatnya berkarakter sama atau homogen, dan bahkan
pada masyarakat yang terikat secara paksa atau tak sadar berdasarkan
nilai-nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Meskipun
konsep masyarakat multikultur masih problematik, secara umum masyarakat
multikultur dinyatakan sebagai sebuah kumpulan beraneka ragam
masyarakat yang memiliki kebudayaan yang eksis satu sama lain di atas suatu
wilayah (Mahfud, 2006: 86).
Keragaman budaya sesungguhnya memunyai karakter yang bersifat ganda,
yakni di satu sisi kergaman merupakan potensi besar untuk membangun
peradaban besar sedangkan di sisi lain juga menjadi ancaman tersendiri.
Ancaman tersebut berupa konflik yang tidak mampu dikelola secara arif dan
bijak sehingga primordialisme tidak mampu dibendung. Hal ini
mengakibatkan perang antarbudaya atau meminjam istilah Huntington (2002)
terjadi benturan peradaban. Jika konflik horizontal dalam masyarakat
multikultural tidak terjadi artinya telah terbangun toleransi tinggi yang dianut
oleh masyarakat. Dalam konteks lokal, ada asumsi yang berkembang. Hal itu
disebabkan oleh adanya ikatan adat yang begitu kuat sehingga konflik
horizontal bisa diantisipasi sedini mungkin.
Di Indonesia, fenomena divergen-disintegratif semakin jelas setelah
runtuhnya rezim Orde Baru. Bersamaan dengan itu semakin masif
praktik-praktik kapitalisme neoliberal yang merupakan salah satu ciri terkuat
dari globalisasi. Fenomena divergen-disintegratif di Indonesia berjalan
seiring dengan semua itu. Hal itu dipicu oleh proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22
Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 15 Tahun 1999
mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Alih-alih untuk mempersatukan, “mempersamakan” (conformity), semua
elemen negeri ini (slogan Orde Baru) atau menyejahterakan masyarakat
dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (Orde Reformasi) justru
penghargaan dan pengakuan atas kehadiran ‘yang lain’ (The other) terabaikan.
Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan
paradigma “monokulturalisme” dengan mengatasnamakan persatuan dan
kesatuan. Politik sentralistik atau paradigma monokultural tersebut telah
menghancurkan local cultural genuises seperti tradisi “Pela Gandong” di
Ambon dan “Republik Nagari” di Sumatera Barat.
Paradigma tunggal tersebut mengalami anomali sehingga muncul
reaksi-reaksi balik yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi
rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultur. Sementara itu, proses
otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah kini justru
mengakibatkan terjadinya peningkatan gejala “provinsialisme”, “etnisitas”,
dan kesukuan.
Fenomena divergen-disintegratif kian nyata dalam keseharian hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Fenomena tersebut berupa rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, kelompok dan agama, yang menguat serta menimbulkan

23
fragmentaris kelompok dan konflik-konflik horizontal yang sebelumnya tidak
muncul ke permukaan. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus Poso, Kupang,
Mataram, Sampit, Mamasa, Ambon, dan Aceh. Ancaman riil kehidupan
bangsa yang pluralis harus betul-betul diperhatikan. Toleransi, inklusivisme,
dan penolakan terhadap berbagai jenis fundamentalisme dapat dipupuk
apabila ada pengakuan terhadap multikulturalisme yang diyakini sebagai
pendukung pluralisme, yaitu pengakuan atas keberadaan budaya yang sama
tinggi dan sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang plural.
Kita sesungguhnya telah memunyai budaya toleran yang sangat mengakar
apabila dilacak ke belakang. Hal ini terbukti dalam tradisi nusantara di zaman
kerajaan Mataram kuno dan Majapahit. Dialog antar peradaban nampak
dalam pembangunan candi Hindu dan Budha yang berdiri berdampingan,
dan raja-raja jawa disebut “Siwa-Buddha” sebagai wujud representasi dialog
antar-budaya. Kita juga bisa ambil contoh dari masyarakat Tengger di Lereng
Gunung Bromo. Kehidupan yang toleran terbangun dimulai dari kuatnya
fondasi masyarakat yang sangat patuh pada hukum adat, lebih dari sekedar
itu, upaya transmisi budaya toleran ini juga dilakukan secara turun temurun
(Nurudin, dkk., 2003). Hal ini berarti bahwa kearifan lokal menjadi fondasi
dalam membangun masyarakat majemuk.
Sikap toleran dan kerjasama dapat kita telusuri dari makna gotong royong.
Sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan peribahasa dalam Bahasa Jawa
yang mengibaratkan kebersamaan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk
dipikul bersama. Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk
bersama-sama melakukan kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak. Kegiatan ini dilakukan dengan tanpa pamrih, tanpa imbalan, dan
murni untuk mencapai tujuan bersama. Sistem gotong-royong telah
dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia semenjak Kerajaan Hindu di Jawa
seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Gotong royong berbeda dengan
tolong-menolong karena gotong royong menekankan kebersamaan yang kuat
(tangguh) bersama-sama memecahkan atau melakukan kegiatan yang
menyangkut tujuan bersama (Santoso dan Rasyid, 2012: 42-43).
Ketika Bung Karno ‘menemukan’ nilai inti (core value) dari Pancasila
adalah gotong royong maka dapat dipahami bahwa dalam persatuan nasional
ini, nilai “kesetaraan” sangat penting. Praktik gotong royong memperlakukan
setiap partisipan secara setara tanpa memandang agama, tingkat ekonomi,
pendidikan, dan seterusnya. Pokok permasalahannya adalah mengangkat
nilai kesederajatan dalam gotong royong tersebut pada level nasional yang
tentu bertambah luas kompleksitas kebudayaannya. Untuk itu, diperlukan
usaha yang terus menerus dan harus dilakukan oleh penguasa dari rezim
masa lalu hingga sekarang. Pelanggaran kesetaraan dapat berupa dominasi,
marginalisasi, hegemonisasi, tebang pilih dalam keadilan, dan seterusnya.
Oleh karena itu, jangan sampai ada peminggiran, penanaktirian, suara yang
tidak didengar atau bahkan ditolak partisipasinya (Santoso dan Rasyid, 2012:
4-5).

JIWA KEKELUARGAAN DALAM MUSYAWARAH


Terma “kekeluargaan” menjadi jiwa dalam melihat Pancasila.
Kartohadiprodjo (1986) merumuskan jiwa kekeluargaan dalam Pancasila
tersebut dengan rumusan: “Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam
Kesatuan”. kesatuan menunjukkan kehidupan manusia, yaitu selalu dalam
suatu pergaulan hidup tetapi dalam kepribadian setiap individu diakui dan

24
dilindungi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan karena tidak ada
dua orang di dunia ini yang sama kepribadiannya. Namun sebaliknya, dengan
pengakuan adanya kepribadian pada tiap individu yang berbeda-beda,
ditunjukkan dengan “perbedaan” dalam bagian kedua. Hal ini tidak berarti
bahwa mereka bebas hidup merdeka dan dapat mengembangkan
kepribadinnya menurut kesukaannnya, melainkan terikat oleh individu
lainnya dalam satu “kesatuan”. Isi Pancasila di atas dapat menggambarkan isi
jiwa bangsa Indonesia (Kartohadiprodjo, 1986: 16).
Apabila sifat kehidupan suatu kesatuan pergaulan hidup di sekita disebut
bersifat kekeluargaan, maka kekeluargaan dipakai sebagai jiwa dalam
lembaga atau instansi tertentu. Hal ini berimplikasi pada pergaulan hidup
manusia yang anggota-anggotanya bertindak seolah-olah mereka dalam
keluarga (Kartohadiprodjo, 1986: 15).
Pangkal pemikiran filsafat Pancasila menurut Kartohadiprodjo (1986)
adalah kekeluargaan yang berasal dari kata dasar ‘keluarga’. Artinya adalah
sebuah sel menyatu (merupakan kesatuan) tetapi pada saat yang sama
terbangun oleh perbedaan (ayah, ibu, anak-anak). Isi jiwa bangsa tidak dapat
dikenal orang jika bangsa diam dengan mata tertutup, akan tetapi
perbuatan-perbuatan manusia khususnya yang kita namakan kebudayaan
merupakan cermin dari bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, jiwa
manusia dapat kita tanggap afleidin dari kebudayaannya. Salah satu ekspresi
jiwa bangsa Indonesia yang turun temurun sekian abad lamanya adalah
hukum adat (Kartohadiprodjo, 1986: 16). Berdasarkan pikiran ini, maka jiwa
bangsa Indonesia yang tercermin dalam kekeluargaan tersebut terukur dalam
bentuk hukum adat Indonesia (Sutrisno, 2006: 72). Dengan demikian, filsafat
manusia tersusun dalam hubungannya dengan kehidupan atau pergaulan
hidup manusia yang asasnya adalah kekeluargaan.

HAKIKAT KEADILAN SOSIAL


Pembahasan yang menyangkut keadilan sosial berarti tidak berkaitan
dengan keadilan individual. Maksud keadilan sosial adalah menyangkut
seluk-beluk hidup orang kebanyakan. Dalam konteks ekonomi, penciptaan
keadilan sosial menjadi tujuan penting menurut UUD 1945 adalah
perekonomian Indonesia. Secara ideal, keutuhan Indonesia terjamin atas
dasar keadilan secara distributif (artinya, terdapat pemerataan keadilan
berbasi pada keperluan masyarakat loka atau setempat).
Pembahasan bukan pada ketidakadilan individual, tetapi ketidakadilan
sosial. Ketidakadilan individual sehari-hari mungkin dapat terjadi, akan tetapi
ketidakadilan sosial, proses-proses politik, sosial, ekonomi dan budaya
merupakan ketidakadilan struktural. Tuntutan pertama tentang ketidakadilan
sosial adalah pembongkaran struktur-struktur yang tidak adil. Dalam sebuah
kelas atau kelompok buruh, petani, nelayan dan setrusnya sangat mungkin
tertimpa ketidakadilan. Ketidakadilan terjadi bukan karena kebetulan ada
satu atau dua orang yang tidak bersikap adil, tetapi justru mereka
terperangkap dalam struktur-struktur kekuasaan yang tidak adil.
Ketidakadilan yang paling mendesak dan kasar adalah kemiskinan dan
ketergantungan struktural. Dalam sebuah masyarakat, masih banyak
kelompok yang mendapat ketidakadilan yang tidak disebabkan oleh karena
mereka malas atau tidak bekerja, kita dituntut untuk solider dalam melihat
mereka; bahwa justru pembagian dan ketidakadilan distribusi kekayaan alam
di Indonesia belum dilaksanakan (Suseno, 2000: 75-76).

25
Orientasi pembanguna harus diarahkan pada upaya penghapusan
kemiskinan dan ketergantungan struktural. Kebijakan ekonomi harus
diarahkan untuk masyarakat yang memang tertindas oleh sistem yang
membuat mereka tidak berdaya. Dalam konteks ini, keadilan negara harus
berpijak pada kelompok-kelompok termarjinalkan dan tergerus oleh sistem
kapitalis. Peran negara sangatlah penting dalam melaksanakan keadilan
distributif; negara melakukan pengaturan secara merata dalam porsi dan
kebutuhan masing-masing. Hal ini bukan berarti bahwa negara pilih kasih
kepada masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi telah menjadi tugas dan
kewajibannya sebagai amanat konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia:
Tantangan Global. Diakses pada tanggal 28 November 2014 di
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&
id=2255
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Bakker, Anton. 1992. Ontologi: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar
Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius
Gie, The Liang. 1997. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: PUBIB
Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa. Yogyakarta:
Paradigma
Kartohadiprodjo, Soedirman. 1986. Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945
Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Terj. Soermargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Knitter, Paul. 1995. One Earth Many Religion: Multifaith Dialogue and
Global Responsibility. Maryknoll-New York: Orbis Books
Kung, Hans dan Kuschel-Josef. 1999. Etik Global. terj. Ahmad Murtadji.
Yogyakarta: Sisiphus bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Lyotard. J.F. 1991. The Postmodern Condition: report on Knowledge. Geoff
Bennington and Brian Massumi. Manchester: Manchester University
Press
Mahfud, Chairul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Mulkhan, Munir. 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, Harun. 1991. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Notonagoro. 1975. Pancasila: Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh
Nurudin (ed.). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKiS
Raimundo, Panikkar. 1994. Dialog Intrareligius. terj. J. Dwi Helly Purnomo,
dkk. Yogyakarta: Kanisius
Santoso, Listiyono dan Rasyid, Ikhsan. 2012. Makalah Kongres Pancasila.
Surabaya: Unair
Suseno, Franz Magnis. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia
_________________. 1985. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia
_________________. 2000. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia

26
Sutrisni, Mudji dan Verhaak, Christ. 1995. Estetika: Filsafat Keindahan.
Yogyakarta; Kanisius
Watt, William Montgomery. 1996. Muslim-Christian Encounters: Perception
and Misperception. terj. Zaimudin. Jakarta: Gaya Media Pratama

27
Bagian Kedua
Negara dan Warga Negara

PENGANTAR MEMAHAMI NEGARA

1) Pengertian Negara

Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dahulu kala selalu
hidup bersama-sama dalam suatu kelompok (zoon politicon). Dalam
kelompok manusia itulah mereka berjuang bersama-sama mempertahankan
hidupnya mencari makan, melawan bahaya dan bencana serta melanjutkan
keturunannya. Mereka berinteraksi, mengadakan hubungan sosial. Demi
mempertahankan hak mereka untuk dapat hidup di tempat tinggal tertentu
yang mereka anggap baik untuk sumber penghidupan, diperlukan seseorang
atau sekelompok kecil orang-orang yang ditugaskan mengatur dan memimpin
kelompoknya. Kepada pemimpin kelompok inilah diberikan
kekuasaan-kekuasaan tertentu dan kelompok manusia tadi diharuskan
menaati peraturan-peraturan perintah pemimpinnya (C.S.T. Kansil, 2001:
133).
Dengan demikian, negara merupakan gejala kehidupan di sepanjang
sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang dari bentuknya yang
paling sederhana sampai pada bentuk yang paling kompleks di zaman
sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat,
negara selalu menjadi pusat perhatian dan objek kajian bersamaan dengan
berkembangnya ilmu pengentahuan umat manusia (Jimly Asshiddiqie, 2014:
9). Munculnya negara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia
sebagai makhluk sosial,dimana sebagai makhluk sosial manusia memiliki
dorongan untuk hidup bersama dengan manusia lain, berkelompok dan
bekerja sama.
Secara etimologi, negara berasal dari kata staat (Belanda dan Jerman),
State (Inggris), Etat (Perancis), atau Statum (Latin). Artian tersebut berarti
“meletakkan dalam keadaan berdiri”, “menempatkan”, atau “membuat
berdiri”. Negara merupakan kelanjutan dari keinginan manusia untuk
bersama dan berkumpul dengan orang lain dalam rangka menyempurnakan
segala kebutuhan hidupnya.
Semakin luas pergaulan manusia, semakin banyak pula kebutuhan akan
suatu organisasi negara yang dapat melindungi dan memelihara keselamatan
hidupnya (Tim Dosen Pkn, 2011, 87-88). Menurut O.Hood Phillips, dkk.
negara atau state adalah “An independent political society occupying a
defined territory, the member of which are united together for the purpose of
resisting external force and the preservation of internal order” (Jimly
Asshiddiqie, 2014: 9). Berdasarkan pandangan tersebut, dapat diketahui
bahwa negara adalah suatu masyarakat politik independen yang berada di
wilayah tertentu yang mana masyarakat tesebut disatukan secara bersama2

28
untuk tujuan melawan kekuatan yang datang secara eksternal dan
mempertahankan ketertiban/tatanan secara internal.
Sementara itu, definisi negara menurut beberapa ahli lainnya adalah
sebagai berikut:

a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara adalah suatu organisasi di antara


kelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama
mendiami suatu wilayah (teritori) tertentu dengan mengakui adanya
suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
kelompok atau beberapa kelompok manusia tadi (Wirjono Prodjodikoro,
1974: 2).
b. Menurut O. Notohamidjojo, negara adalah organisasi masyarakat yang
bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan
kekuasaannya. Sedangkan menurut Soenarko, negara adalah organisasi
masyarakat yang memunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara
berlaku sepenuhnya sebagai souverein (berdaulat) (O. Notohamidjojo,
2012: 28).
c. Menurut Plato, negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju,
berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang timbul
atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-sendiri tidak
mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam,
yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi
kepentingan mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut
masyarakat atau negara (Soehino, 1980:17).
d. Menurut J.H.A. Logemann, negara adalah suatu organisasi
kemasyarakatan (pertambatan kerja/werkverband) yang bertujuan
dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu
masyarakat (E. Utrecht, 1962: 360).
e. Menurut H.J.W. Hetherington, negara adalah institusi atau seperangkat
institusi yang menyatukan penduduknya dalam suatu wilayah teritorial
yang ditandai secara jelas di bawah otoritas tunggal untuk menjamin
tercapainya tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama (C.F. Strong,
2010: 6).

Dengan memerhatikan beberapa pendapat di atas, dapat diambil


pemahamam bahwa negara adalah organisasi masyarakat yang memilik
wilayah tertentu dan berada di bawah pemerintahan yang berdaulat yang
mengatur kehidupan masyarakat tertentu. Negara merupakan konstruksi
yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur pola hubungan antar manusia
dalam kehidupan masyarakat (Tim Dikti, 2012: 28).

2) Unsur-unsur Pembentuk Negara

Berdasarkan Konvensi Montevideo (Uruguay) tahun 1993 mengenai


hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara (rights and duties of states)
disebutkan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai subjek hukum
internasional apabila telah memiliki dua unsur (Huala Adolf, 2003: 3).
(1) Unsur Konstitutif
a. Rakyat/Penduduk yang tetap
Rakyat suatu negara dapat dibedakan antara penduduk dan bukan
penduduk. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal menetap

29
atau berdomisili di suatu negara. Kalau seseorang dikatakan bertempat
tinggal menetap di suatu negara berarti sulit untuk dikatakan sampai kapan
tempat tinggal itu. Sedangkan yang bukan penduduk adalah orang-orang
yang bertempat tinggal di suatu negara hanya untuk sementara waktu,
dan bukan dalam maksud untuk menetap. Penduduk yang merupakan
anggota yang sah dan resmi dari suatu negara dan dapat diatur sepenuhnya
oleh pemerintah negara yang bersangkutan dinamakan warga negara.
Sedangkan di luar itu semua dinamakan orang asing atau warga negara
asing (Tim Dikti, 2012: 29). Perbedaan antara pemduduk dan bukan
penduduk, warga negara dan bukan warga negara terkait dengan
perbedaan hak dan kewajiban di antara orang-orang yang berada di
wilayah negara. Di antara status orang-orang dalam negara tentunya status
yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah negara
yang bersangkutan adalah status warga negara (Tim Dikti, 2012: 29).

b. Wilayah
Menurut Willoughby, eksistensi negara bergantung pada hak negara atas
suatu territorial yang menjadi miliknya. Wilayah suatu negara, bukan hanya
berupa hamparan daratan tetapi juga meliputi ruang angkasa yang ada di
atasnya dan juga bisa lautan yang ada di sekitarnya (Hans Kelsen, 2011:
297).
a) Wilayah Daratan
Suatu negara biasanya ditentukan batas-batasnya melalui perjanjian
antarnegara, baik yang berbentuk bilateral maupun multilateral.
Batas daratan biasanya ditentukan oleh ciri-ciri alamiah seperti gunung
dan sungai, atau biasa juga dibuat batas buatan dalam bentuk tembok
pembatas. Batas wilayah Negara Indonesia dtetapkan dalam perjanjian
dengan negara lain yang berbatasan, Batas wilayah Negara Indonesia
ditentukan dalam beberapa perjanjian internasional yang dulu
diadakan oleh pemerintah Belanda dengan beberapa negara lain.
Berdasarkan pasal 5 Persetujuan perpindahan yang ditetapkan dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB), perjanjian-perjanjian internasional
itu sekarang berlaku juga bagi negara Indonesia (Tim Dikti, 2012: 30).
b) Wilayah Lautan
Berdasarkan hasil Konvensin Hukum Laut III yang diadakan PBB
tanggal 10 Desember 1982 di Jamaica ditentukan bahwa Laut Teritorial
adalah 12 mil diukur dari garis pantai yang menghubungkan pulau
terluar kepulauan suatu negara yang diukur pada air surut. Untuk
Indonesia, batas laut teritorial tersebut semula diumumkan melalui
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Sesuai pengumuman tersebut,
batas laut teritorial Indonesia adalah 12 mil yang dihitung dari garis
dasar, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau terluar Indonesia, di mana jarak dari satu titik ke titik
lain yang dihubungkan tidak boleh lebih dari 200 mil. Pokok-pokok
azas negara kepulauan sebagaimana termuat dalam deklarasi diakui
dan dicantumkan dalam United Nation Convention The Law of The
Sea (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982
melalui UU. No. 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985 (Tim
Dikti, 2012: 31). Sedangkan Zona Bersebelahan adalah 12 mil dari laut
teritorial suatu negara.

30
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah 200 mil dari garis pantai
menuju laut bebas. Di zona ini, negara pantai berhak menggali dan
mengolah segala kekayaan alam untuk kegiatan ekonomi negara
tersebut. Untuk Indonesia, pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah
mengumumkan batas ZEE yang kemudian disahkan dengan
Undang-Undang No. 5 tahun 1983. Batas ZEE adalah 200 mil dari garis
dasar ke arah laut bebas. Kewenangan negara di wilayah ZEE adalah
kewenangan memanfaatkan sumber daya, baik di laut maupun di bawah
dasar laut. Sedangkan Landas Kontinen adalah dasar lautan, baik dari
segi geologi maupun segi morfologi merupakan kelanjutan dari
kontinen atau benuanya. Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia
mengeluarkan pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia
sampai kedalaman laut 200 meter (Tim Dikti, 2012: 31).

c) Wilayah Udara
Dalam Konvensi Paris tahun 1949, dinyatakan bahwa negara-negara
merdeka dan berdaulat berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi di
wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit, dan
penerbangan. Di Indonesia, ketentuan tentang wilayah udara diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Berdarsarkan
undang-undang tersebut, maka batas wilayah kedaulatan yang termasuk
orbit geostasioner adalah setinggi 35.761 kilometer.

c. Wilayah Eksteritorial
Wilayah eksteritorial adalah wilayah suatu negara yang berada di luar
wilayah negaranya. Dengan kata lain, wilayah negaranya berada di wilayah
negara lain. Beberapa contohnya adalah kantor kedutaan besar yang
berada di suatu negara dan kapal asing yang berlayar di laut bebas
dengan berbendera suatu negara.

d. Pemerintahan yang Berdaulat


Kedaulatan memiliki arti kekuasaan tertinggi. Dengan demikian
pemerintah yang berdaulat berarti pemerintah yang memunyai kekuasaan
tertinggi, kekuasaan yang tidak berada di bawah kekuasaan lainnya.
Kedaulatan negara dapat diartikan sebagai kedaulatan ke dalam dan
kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi
untuk mengatur rakyatnya sendiri. Sedangkan, kedaulatan ke luar adalah
kekuasaan tertinggi yang harus dihormati oleh negara-negara lain.
Dengan kedaulatannya pemerintah berhak mengatur negaranya berdiri
tanpa campur tangan negara lain (Tim Dikti, 2012: 33). Jean Bodin
menyatakan bahwa kedaulan sebagai atribut negara merupakan ciri
khusus dari sebuah negara. Kedaulatan merupakan kekuasaan yang
mutlak dan abadi, tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Menurutnya,
tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi
kekuasaan negara (Hans Kelsen, 2011: 297).

Dalam suatu negara terdapat otoritas atau kekuasaan tertinggi yang


menjalankan kedaulatan. Otoritas atau kekuasaan tertinggi tersebut disebut
dengan pemerintah (Lubis, 2002: 1). Pemerintah berkedudukan sebagai
primus inter pares (bukan pemilik atau penguasa negara dan rakyat), tetapi

31
sebagai pamong, yang mengemban tugas memimpin masyarakat dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara khususnya
dalam berikhtiar untuk mewujudkan tujuan bernegara, dan sebagai demikian,
berkewajiban untuk memartisipasikan rakyat dalam proses pengambilan
keputusan rasional untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang adil dan
makmur (Bernard Arief Sidharta, 2000: 191).

(2) Unsur Deklaratif

Unsur deklaratif terdiri dari pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan


de facto adalah pengakuan berdasarkan kenyataan yang ada atau fakta yang
sungguh-sungguh nyata tentang berdirinya suatu negara. Pengakuan ini ada
yang bersifat tetap dan sementara. Sementara itu, pengakuan de jure adalah
pengakuan berdasarkan pernyataan resmi menurut hukum internasional,
cakupannya lebih luas dengan diadakannya hubungan kebudayaan, politik,
dan ekonomi. Pengakuan de jure biasanya ditandai juga dengan adanya
hubungan diplomatik.

3) Sifat Negara

Negara memiliki tiga sifat yakni sifat memaksa, monopoli, dan total.
Berikut adalah penjelasan dari ketiga sifat tersebut.
(1) Sifat Memaksa
Negara memiliki sifat memaksa artinya bahwa negara memiliki hak atau
kewenangan untuk memaksakan berbagai peraturan yang dibuatnya
untuk ditaati oleh seluruh warganya. Untuk memaksakan berbagai
peraturan yang dibuatnya pemerintah negara memiliki sarana seperti
tentara, polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. Negara berhak menentukan
sanksi bagi pelanggaran atas aturan yang dibuatnya (Tim Dikti, 2012: 34).

(2) Sifat Monopoli


Negara juga membawakan sifat monopoli, yaitu sifat yang menunjukkan
adanya hak atau kewenangan negara untuk mengelola atau menentukan
sesuatu tindakan tanpa adanya hak atau kewenangan yang sama di pihak
lain. Sifat monopoli yang dimiliki oleh negara menyangkut beberapa hal.
Negara memiliki hak monopoli untuk menentukan tujuan dari sebuah
masyarakat, yaitu masyarakat dalam negara yang bersangkutan (Tim Dikti,
2012: 34).

(3) Sifat Totalitas (Mencakup Semua)


Kekuasaan negara berlaku bagi semua orang di wilayah negar yang
bersangkutan. Tidak ada warga masyarakat yang dapat mengecualikan
dirinya dari pengaruh kekuasaan negara. Berkenaan dengan itu bahwa
peraturan yang dibuat oleh negara pada prinsipnya berlaku bagi setiap
orang di wilayah negara itu tanpa kecuali. Ketika peraturan sudah dibuat
atau ditetapkan, semua orang dianggap tahu dan harus menaatinya (Tim
Dikti, 2012: 35). Semua peraturan perundang-undangan berlaku bagi semua
warga negara tanpa kecuali, mencakup seluruh kewenangan negara,
misalnya semua orang harus membayar pajak, semua orang wajib
membela negara, semua orang sama di hadapan hukum, dan sebagainya.

32
4) Fungsi Negara

Fungsi-fungsi negara dijalankan untuk mencapai tujuan dari negara yang


telah ditetapkan secara bersama. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa
minimal ada empat fungsi yang dimiliki oleh negara yaitu (Miriam Budiardjo,
2009:55-56):
(1) Melaksanakan penertiban (law and order): Untuk mencapai tujuan
bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara
harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak
sebagai stabilisator.
(2) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini
dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru di mana tingkat
kesejahteraan masyarakat masih sangat membutuhkan perhatian dari
pemerintah.
(3) Pertahanan: Fungsi ini untuk mempertahankan negara dari kemungkinan
serangan dari luar, sehingga negara harus dilengkapi dengan alat-alat
pertahanan.
(4) Menegakkan keadilan: Untuk mewujudkan keadilan negara memiliki
badan-badan peradilan.

Sedangkan menurut Charles E. Meriam, ada lima fungsi yang melekat


pada negara yang meliputi fungsi keamanan ekstern; fungsi ketertiban intern;
fungsi keadilan; fungsi kesejahteraan umum dan fungsi kebebasan (Tim Dikti,
2012: 37). Sedangkan Mc. Iver mengemukakan fungsi dan tujuan negara
adalah sebagai pemelihara ketertiban, protection (perlindungan),
conservation (pemeliharaan), development (pengembangan) serta fungsi
budaya dan penyelanggaraan umum (Mukthie Fadjar, 2005: 27). Lebih lanjut,
Van Vollenhoven merumuskan empat fungsi negara, yaitu fungsi
menyelenggarakan (bestuur), fungsi mengadili (rechtspraak), fungsi
membuat peraturan (regeling), dan fungsi ketertiban dan keamanan (politic).
Kemudian menurut John Locke, fungsi negara yaitu fungsi membuat
undang-undang (legislatif), fungsi membuat peraturan dan mengadili
(eksekutif), dan mengurus aturan luar negeri, perang dan damai (federatif).
Sedangkan trias politica, membagi kekuasaan negara pada fungsi membuat
undang-undang (legislatif), fungsi melaksanakan undang-undang (eksekutif),
fungsi mengawasi dan mengadili (yudikatif).

5) Tujuan Negara

Tujuan negara merupakan pedoman bagi negara untuk mengatur dan


mengendalikan kehidupan rakyatnya. Untuk itu, tujuan suatu negara penting
untuk menentukan ke arah mana suatu negara ditujukan. Hal ini karena
negara merupakan organisasi yang menata kehidupan suatu masyarakat
secara keseluruhan untuk tujuan-tujuan tertentu (Usep Ranawijaya, 1982:
177). Menurut Roger H. Soltau, tujuan negara memungkinkan rakyatnya
berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (Tim
Dikti, 2012: 36). Sedangkan Harold J. Laski menyatakan bahwa tujuan negara
adalah untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai
keinginan-keinginan secara maksimal (Tim Dikti, 2012: 36). Kemudian John
Locke, tujuan negara adalah untuk melindungi hak alamiah dari rakyat, yaitu
melindungi hak milik, melindungi hidup dan kebebasan baik dari bahaya yang

33
ditimbulkan dari luar maupun bahaya yang ditimbulkan dari dalam (Miriam
Budiardjo, 2009: 55-56).
Tujuan negara Indonesia tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD
1945. Berdasarkan pembukaan tersebut maka tujuan negara Pancasila adalah:
(1) Untuk melidungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (2) untuk memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi; (5) keadilan sosial. Tujuan negara tersebut
hendak diwujudkan di atas landasan Ketuhanan yang Maha Essa;
kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

6) Asal Mula Terbentuknya Negara


Setiap negara memiliki pengalaman berbeda dalam hal terjadinya negara
dan dapat diakui oleh negara lain. Ada beberapa cara untuk mengetahui asal
mula terjadinya suatu negara. Beberapa cara tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
(1) Secara Faktual
Cara faktual merupakan cara mengetahui asal mula terjadinya negara
berdasarkan fakta nyata yang dapat diketahui melalui sejarah lahirnya
negara tersebut. Cara itu misalnya seperti pendudukan (occupatie),
penyerahan (cessie), penaikan (accesie), peleburan (fusi), proklamasi,
pembentukan baru (innovation), pencaplokan/penguasaan (anexatie)
(2) Secara Teoritis
Ada beberapa teori mengenai terbentuknya suatu negara. Berikut adalah
teori-teori pembentukan negara.
a) Teori Ketuhanan
Teori Ketuhanan merupakan meyakini bahwa sesuatu yang terjadi di
dunia atas kehendak Tuhan, termasuk terjadinya negara.
Tokoh-tokohnya seperti Agustinus, Kranenberg, Thomas Aquinas dan
Julius Stahl. Di dalam teori Ketuhanan sumber kekuasaan negara
diperoleh dari Tuhan. Negara tidak akan tercipta kalau tidak ada
kehendak dari Tuhan. Dengan demikian, negara itu dibentuk di bawah
kuasa Tuhan, kekuasaan seorang raja/pemimpin adalah atas
pemberian Tuhan dan tidak ada kedaulatan selain kedaulatan Tuhan.

b) Teori Kekuasaan/Kekuatan
Menurut teori ini, kekuatan menjadi sumber dan pencipta negara,
negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan di mana yang paling
kuat yang akan merupakan pemenang dan sekaligus pembentuk
negara. Pendukung teori ini adalah H.J. Laski Ludwig Gunplowitz,
Karl Marx, H.J. Laski, dan Machiavelli. Jadi menurut teori kekuasaan,
negara merupakan alat dari golongan yang kuat untuk
menindas/menghisap golongan yang lemah.

c) Teori Perjanjian Masyarakat (Kontrak Sosial)


Teori perjanjian masyarakat/kontrak sosial/teori hukum alam pada
pokoknya adalah negara merupakan hasil daripada perjanjian
individu-individu yang pada mulanya tidak memunyai suatu
organisasi pemerintah. Negara terjadi karena adanya perjanjian

34
masyarakat untuk mendirikan negara dan memilih penguasa yang
akan memimpinnya. Dalam hal ini adanya kekuasaan berasal dari
adanya perjanjian dalam masyarakat, bukan berasal dari Tuhan
sebagaimana pandangan dari teori ketuhanan. Tokohnya adalah
Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rosseau.

(3) Berdasarkan Proses Pertumbuhan


Berdasarkan cara ini, asal mula terbentuknya dibedakan melalui dua
proses, yaitu proses primer dan proses sekunder. Pembentukan negara
berdasarkan proses primer ditandai dengan lahirnya persekutuan
masyarakat Gemeinschaft/Genoseanschaft.
Gemeinschaft/Genoseanschaft adalah suatu bentuk negara yang terdiri
dari perkelompokan orang-orang yang menggabungkan diri untuk
memenuhi kepentingan bersama dan didasarkan pada persamaan.
Bentuknya masih sederhana, belum terorganisir, organ-organ seperti
parlemen, kepala negara belum ada. Di sini yang nampak ialah unsur
masyarakat paguyuban. Kedudukan antara individu sama dan segala
sesuatu diusahakan bersama secara gotong royong dan memimpin dalam
masyarakat yang homogen ini siapa yang danggap paling kuat (primus
interpares). di sinilah pertama kali bentuk dari negara yang paling
sederhana sekali yang titik tolaknya adalah “unsur rakyat”. Kemudian
muncul kerajaan (Rijk), yang mana bentuk sederhana tersebut mulai
berkembang, di mana di antara pemegang kekuasaan yang satu dengan
yang lain mulai bertentangan. Dalam tahap ini masih belum ada
pemerintahan yang tetap. Titik berlakunya adalah unsur “Pemerintahan
yang berdaulat”. Lebih lanjut, muncul negara (staat), yang mana unsur
konstitutif dari suatu negara sudah terpenuhi. Dalam bentuk staat ini
unsur rakyat dan unsur pemerintah sudah pasti, dan unsur pemerintahan
yang ada tidak bersaing lagi dan batas-batas wilayah sudah ditentukan.
Kemudian muncullah negara demokrasi (demokratie natie), yang mana
negara berkembang ke tingkat peradaban yang sudah meningkat dan maju.
Secara umum, penjelasan
7) Negara Hukum
Sejarah pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat
tua, dalam buku Plato berjudul Nomoi yang kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan judul The Laws, jelas tergambar bagaimana
ide nomokrasi itu sesungguhnya telh sejak lama dikembangkan dari
zaman Yunani Kuno (Jimly Asshiddique, 2005: 121). Selain The LAws
(Nomoi), terdapat dua karya Plato yang relevan dengan masalah
kenegaraan, yaitu Politeia (The Republic) adalah buku pertama yang
ditulis dengan melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh seorang
yang hasu akan harta, kekuasaan dan gila hormat; dan Politicos (The
Statement) buku kedua ini beranggapan perlu adanya hukum untuk
mengatur warga negara saja dan tidak berlaku bagi penguasa karena
penguasa memiliki pengetahuan tentang hal itu dan dapat membuat
hukum (Yosaphat Bambang Suhendarto, 2008: 28).
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep rechstaat dan the
rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari
perkataan nomos yang artinya norma atau hukum dan cratos yang berarti
pemerintahan, sehingga faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum.

35
Ide Plato kemudia dilanjutkan oleh Aristoteles dengan karyanya
Politica, di samping membahas masalah kenegaraan juga meneliti dan
memperbandingkan 158 konstitusi dari negara-negara Yunani (Yosaphat
Bambang Suhendarto, 2008: 28). Dalam karyanya tersebut, Aristoteles
mengatakan bahwa suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum (Jimly Asshiddiqie, 2005:
121). Aristoteles membedakan antara konsep tentang hukum dan konsep
tentang konstitusi. Hukum berhubungan dengan organisasi antar
lembaga dalam suatu negara, sedangkan konstitusi berhubungan dengan
hal-hal yang harus dikerjakan oleh masing-masing lembaga dalam
menyelenggarakan negara. Dari kedua pemikiran tersebut dapat dilihat
persamaan bahwa dalam menguraikan berbagai model pemerintahan
politik, baik Plato maupun Aristoteles mengidentifikasi satu model
pemerintahan di mana pemerintah melaksanakan kewenangannya dan
terikat oleh hukum (Jimly Asshiddiqie, 2005: 121).
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa istilah untuk gagasan
negara yang berdasarkan atas hukum. Di negara-negara Eropa
Kontinental menggunakan istilah rechsstaat, di Inggris dan
negara-negara Anglo Saxon menggunakan istilah rule of law, di negara
sosialis menggunakan istilah socialist legality dan di negara-negara Islam
menggunakan istilah nomokrasi Islam atau siyasah diniyah.
Menurut Joeniarto, asas negara hukum memunyai arti bahwa dalam
penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasanya harus
didasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan dan kemauan
penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu
perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota masyarakatnya dari
tindakan sewenang-wenang (A. Muk Fadjar, 2005: 8). Burken
mendefenisikan negara hukum adalah negara yang menempatkan hukum
sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum (Ridwan,
2010: 19).
(1) Konsep Rechsstaat
Rechsstaat mengandung pengertian tentang pembatasan kekuasaan
negara oleh tertib hukum (Friedman, 1994: 250). Konsep ini antara lain
dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julis Stahl, Fichte, dan
lain-lain. Rechsstaat lahir dari tradisi hukum negara-negara Eropa
Kontinental yang bersandar pada Civil Law System dan Legisme yang
menganggap hukum adalah hukum tertulis dan berkarakteristik
administratif. Sifat administratif dari rechsstaat muncul disebabkan
karena Raja pada zaman kerajaan Romawi memunyai kekuasaan yang
dominan terutama kekuasaan dalam bidang pembuatan peraturan hukum
melalui dekrit. Kekuasaan tersebut kemudia didelegasikan kepada
pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan tertulis bagi
hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa (Philipus M. Hadjon,
1987: 73). Sifat yang administratif ini diperlukan sebagai langkah untuk
membatasi tindakan administrasi negara agar tidak terjadi perluasan dan
penggunaan kekuasaan negara secara totaliter dan secara tidak terkontrol.
Dalam konteks untuk membatasi administrasi negara, Julis Stahl
menyatakan bahwa rechsstaat adalah suatu negara hukum yang
didasarkan pada unsur-unsur: 1) adanya penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM; 2) adanya konsep trias politica yaitu pembagian

36
kekuasaan atau pemisahan kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan; 4) adanya peradilan administrasi negara
dalam perselisihan.
(2) Rule of Law
Konsep rule of law muncul pertama kali di Inggris dan kemudian
berkembang di negara Anglo Saxon yang menganut sistem hukum
common law yang memunyai karakteristik judicial. Karakteristik judisial
ini muncul karena di dalam sistem common law yang berlaku di Inggris
pada waktu itu raja memunyai kekuasaan untuk memutus perkara. Selain
sebagai penguasa, rajua juga bertindak sebagai hakim yang memegang
badan peradilan yang memunyai tugas untuk memutus perkara. Peradilan
yan dilakukan oleh raja ini, kemudian berkembang menjadi suatu
peradilan negara, sehingga hakim-hakim peradilan merupakan delegasi
dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja, melainkan bertindak
atas nama hukum dan menjalankan hukum yang berlaku. Intinya, hakim
harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris,
sebagaimana sebelumnya seperti yang dilakukan oleh raja (Bahder Johan
Nasution, 2012: 4-5).
Menurut AV. Dicey, istilah Rule of Law memunyai tiga arti yaitu
(Mahfud MD, dkk, 2012: 234):
a) Supremasi Hukum (Supramecy of law): supremasi yang mutlak atau
keutamaan yang absolut dari hukum sebagai lawan daripada pengaruh
kekuasaan yang sewenang-wenang.
b) Persamaan di hadapan hukum (Equality before the law): adanya
kekuatan yang sama dari semua golongan kepada hukum
negara, yang diselenggarakan oleh pengadilan-pengadilan, sehingga
tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat
maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum
yang sama.
c) Konstitusi adalah hasil dari ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari
hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Dengan demikian, pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common
Law, peranan hakim dan peradilan menjadi sangat besar dan
mendorong dikembangannya cara-cara untuk membangun peradilan
yang adil.

(3) Konsep Negara Hukum Sosialis (Socialist Legality)


Konsep negara hukum sosialis atau socialist legality adalah konsep negara
hukum yang dikembangkan dan dianut oleh negara-negara sosialis
terutama di Uni Soviet. Socialist legality lahir untuk menandingi konsep
rule of law yang dianut oleh negara-negara anglo saxon dan juga
rechtsstaat yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental. Sebab,
dalam ideologi sosialis pada dasarnya menyatakan bahwa semua hukum
adalah sebuah instrumen dari kebijakan sosial dan ekonomi, dan tradisi
common law dan civil law merefleksikan masyarakat, ekonomi, dan
pemerintahan yang eksploitatif, imperialistik, borjuis, dan kapitalis (Peter
de Cruz, 2010: 262).
Dalam socialis legality hukum ditempatkan di bawah sosialisme, sehingga
hukum digunakan sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Dengan
demikian, jika dalam konsep rechsstaat dan rule of law, hukum ditujukan

37
untuk melindungi manusia terhadap tindakan yang sewenang-wenang
dari pemerintah, maka dalam soacilist legality hukum ditujukan untuk
memberikan kebahagiaan yang merata dan sebesar-besarnya bagi setiap
manusia, menjamin warga untuk memiliki mata pencaharian yang layak,
pemerataan rejeki yang layak bagi setiap orang, serta penguasaan negara
atas semua alat produksi dan distribusi ysng penting da menguasai hajat
hidup orang banyak (Bernard L, 2011: 15).
Negara yang menganut sistem hukum sosialis dicirikan dengan konstitusi
tertulis, kekuasaan yang sentralistik, sistem pengadilan rakyat, dan
demokrasi proletar (Hardjono, 2009: 2). Sedangkan menurut Muhammad
Tahir Azhary negara hukum sosialis (soscialist kegalityi) memunyai ciri (1)
perwujudan sosialisme, (2) hukum sebagai alat di bawah sosialisme, dan
(3) penekanan pada sosialisme, realisasi sosialisme ketimbang hak-ghak
perorangan (Muhammad Tahir Azhary, 2004: 101).
(4) Konsep Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam)
Konsep negara hukum dalam Islam didasarkan pada kitab suci Al-quran
dan hadist Nabi Muhammad. Dalam hal negara hukum, Islam telah
menetapkan bahwa yang harus berkuasa yang setinggi-tingginya di dalam
negara adalah hukum. Dalam ajaran Islam sebagaimana diatur di dalam
Al-quran, jika suatu negara tidak berdasarkan hukum maka negara itu
zalim (diktator), otokrasi yang berlaku sewenang-wenang; negara fasik
(negara anarkhi), kacvau balau dan tidak teratur dimana
pemerintahannya tidak sanggup menjamin keamanan (A. Mukhtie Fadjar,
2008: 23).
Menurut Louis Garnet konsep negara hukum dalam Islam adalah suatu
negara yang penguasa-penguasanya adalah orang-orang biasa yaitu bukan
merupakan lembaga kekuasaan rohani, dengan satu ciri yang sangat
menonjol adalah egalitaire yang berarti persamaan hak antarpenduduk,
baik yang biasa maupun yang alim mengetahui agama. Baik yang
beragama Islam maupun yang beragama non Islam (Muhammad Tahir
Azhary, yang disebut sebagai nomokrasi Islam atau siyasah diniyah
adalah suatu negara hukum yang memunyai prinsip-prinsip sebagai
berikut (Muhammad Tahir Azhary, 2004: 105-155):
a. Prinsip kekuasaan sebagai amanah: Dalam nomokrasi Islam kekuasaan
adalah amanah dan setiap amanah wajib disampaikan kepada mereka
yang berhak menerimanya, dalam artian bahwa amanah tersebut
dipelihara dan dijalankan atau diterapkan dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Al-quran dan Sunnah Nabi.
b. Prinsip musyawarah: Musyawarah dalam nomokrasi Islam dimaksudkan
untuk menjadi pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa
atau kepala negara. Dalam arti bahwa dalam nomokrasi Islam
musyawarah wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan
tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan
umum atau rakyat.
c. Prinsip keadilan: Prinsip keadilan dalam nomokrasi Islam mengandung
suatu konsep yang bernilai tinggi. Apabila dikaitkan dengan fungsi
kekuasaan negara, maka prinsip keadilan ini mencakup tiga kewajiban
pokok bagin penyelenggara negara atau suatu pemerintahan sebagai
pemegang kekuasaan, yaitu pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan
negara dengan adil, jujur, bijaksana. Seluruh rakyat tanpa kecuali harus
dapat merasakan nikmat keadilan yang timbul dari kekuasaan negara.

38
Semua rakyat harus dapat memperoleh hak-haknya secara adil tanpa
suatu diskriminasi. Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman
dengan seadil-adilnya. Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya.
Hukum berlaku bagi siapa saja tanpa memandang kedudukan. Ketiga,
kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah keridhaan Allah.
Hal ini berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial.
d. Prinsip persamaan: Dalam nomokrasi Islam prinsip persamaan
mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan. Persamaan itu
meliputi persamaan dibidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan
lain-lain.
e. Prinsip pengakuan dan perlindungan HAM: Pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi dalam nomokrasi Islam ditekankan pada tiga
aspek yaitu: pertama, persamaan manusia. Persamaan manusia dalam
nomokrasi Islam telah digariskan dan ditetapkan suatu status atau
kedudukan yang sama bagi semua manusia. Kedua, martabat manusia.
Hal ini berkaitan dengan karamah atau kemuliaan yang diberikan Allah
kepada manusia. Manusia diciptakan dengan suatu martabat yang sangat
berbeda dengan mahluk-mahluk lain ciptaan-Nya, manusian memiliki
atribut atau perlengkapan fisik dan rohani tersendiri yang tidak terdapat
pada mahluk-mahluk lainnya. Ketiga, kebebasan manusia. Kebebasan
manusia dalam nomokrasi Islam setidak-tidaknya ada lima kebebasan
yang dapat dianggap sebagai hak-hak dasar manusia. Lima kebebasan
tersebut adalah (i) kebebasan beragama; (ii) kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat sebagai buah pikirannya; (iii) kebebasan untuk
memiliki harta benda; (iv) kebebasan untuk berusaha dan memilih
pekerjaan; (v) kebebasan untuk memilih tempat kediaman.
f. Prinsip peradilan bebas. Prinsip peradilan bebas berarti bahwa dalam
nomokrasi Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam
makna setiap putusan yang ia ambil bebas dari pengaruh siapapun.
Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap
siapapun.
g. Prinsip perdamaian: Dalam nomokrasi Islam, negara harus ditegakkan
atas dasar prinsip perdamaian. Dalam arti bahwa hubungan dengan
negara-negara lain harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian.
Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan suatu yang
terlarang dalam Al-quran. Dalam nomokrasi Islam, perang hanya
merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela
diri.
h. Prinsip kesejahteraan: Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi
seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Dalam nomokrasi Islam keadilan
sosial dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penimbunan harta di tangan seseorang atau kelompok orang, sementara
anggota masyarakat lainnya mengalami kemiskinan.
i. Prinsip ketaatan rakyat: Prinsip ketaatan rakyat mengandung arti bahwa
seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban menaati pemerintah.
Kewajiban rakyat untuk mentaati pemerintah dalam arti bahwa selama
penguasa atau pemerintah itu tidak bersikap zalim (tiran atau otoriter
atau diktator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada
penguasa atau pemerintah.

39
8) Negara Hukum Pancasila
Konsep negara hukum Indonesia didasarkan pada Pancasila. Keberadaan
Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau cita negara (staatsidee) yang
berfungsi sebagai filosofische gronslag dan common platforms atau
kalimatun sawa di antara warga masyarakat dalam konteks kehidupan
bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme
menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka (Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah, 2012: 367). Kemudian, berdasarkan Pasal 1 ayat (3)
Perubahan UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”.
Pertanyaannya adalah, apakah konsep negara hukum yang sesungguhnya
dianut oleh Indonesia pasca Perubahan UUD NRI 1945. Untuk dapat
mengetahui apakah konsep negara hukum yang sebenarnya dianut oleh
negara Indonesia adalah dengan melihat pada pembukaan dan pasal-pasal
dalam UUD NRI 1945 sebagai keseluruhan sumber politik hukum Indonesia.
Adapun yang menjadikan dasar penegasan keduanya sebagai sumber politik
hukum nasional adalah pertama, pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD
NRI 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara
Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum
Indonesia. Kedua, pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945
mengandung nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa
Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia (M. Mahfud
MD: 25-26).
Bernard Arief Sidartha mengartikan konsep negara hukum Pancasila
sebagai suatu negara hukum yang didasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila yaitu asas kerakyatan yang memunyai tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia serta perdamaian dunia, yang memunyai tiga ciri utama, yaitu:
a. Negara hukum Pancasila di dalamnya semua penggunaan kekuasaan
harus selalu ada landasan hukumnya dan dalam kerangka batas-batas
yang ditetapkan oleh hukum, a fortiori untuk penggunaan kekuasaan
publik. Jadi pemerintahan yang dikehendaki adalah pemerintahan
berdasarkan dengan dan oleh hukum (rule by law and rule of law).
b. Negara hukum Pancasila itu adalah negara yang demokratis yang dalam
keseluruhan kegiatan menegaranya selalu terbuka bagi pengkajian
rasional oleh semua pihak dalam kerangka tata nilai dan tatanan hukum
yang berlaku. Selain itu, badan kehakiman menjalankan kewenangannya
secara bebas, dan birokrasi pemerintahan lain tunduk pada putusan
badan kehakiman, serta warga masyarakat dapat mengajukan tindakan
birokrasi pemerintahan ke pengadilan. Pemerintah terbuka bagi
pengkajian kritis oleh badan perwakilan rakyat dan masyarakat berkenaan
dengan kebijakan dan tindakan-tindakannya.
c. Negara hukum Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata
diri secara rasional untuk dalam kebersamaan berikhtiar, dalam kerangka
dan melalui tatanan kaidah hukum berlaku, mewujudkan kesejahteraan
lahir batin bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu pada nilai-nilai
martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa (Bernard Arief Sidharta,
2011: 48-49).

40
Sedangkan menurut Padmo Wahjono, konsep negara hukum Pancasila
mengandung lima unsur, yaitu (A. Mukhtie Fadjar, 2008: 88-89).

a. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang berarti kita
menghendaki satu sistem hukum nasional yang dibangun atas dasar
wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan Bhineka
Tunggal Ika.
b. MPR adalah lembaga tertinggi yang berwenang mengubah dan
menetapkan UUD yang melandasi segala peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR bersama-sama dengan
Presiden. Sebagai catatan, setelah amandemen terhadap UUD 1945,
maka kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara
melainkan hanya sebagai lembaga tinggi negara sebagaimana halnya
dengan presiden, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK.
c. Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem yang
tertentu yang pasti dan yang jelas dimana hukum yang hendak
ditegakkan oleh negara dan yang membatasi kekuasaan penguasa atau
pemerintah agar pelaksanaannya teratur dan tidak simpang siur harus
merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan.
d. Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tiada kecualinya.
e. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Lebih lanjut menurut M. Mahfud MD, karakteristik dari negara hukum


Pancasila adalah sebagai berikut (M. Mahfud MD, 2006: 23-30).
1) Merupakan suatu negara kekeluargaan. Dalam suatu negara kekeluargaan
terdapat pengakuan terhadap hak-hak individu (termasuk pula hak
milik) atau HAM namun dengan tetap mengutamakan kepentingan
nasional (kepentingan bersama) di atas kepentingan individu tersebut. Hal
ini, di satu sisi sejalan dengan nilai sosial masyarakat Indonesia yang
bersifat paguyuban, namun di sisi lain juga sejalan dengan pergeseran
masyarakat Indonesia ke arah masyarakat modern yang bersifat
patembayan. Hal ini sungguh jauh bertolak belakang dengan konsep
negara hukum barat yang menekankan pada kebebasan individu
seluas-luasnya, sekaligus bertolak belakang dengan konsep negara
hukum sosialis-komunis yang menekankan pada kepentingan komunal
atau bersama. Dalam negara hukum Pancasila, diusahakan terciptanya
suatu harmoni dan keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan nasional (masyarakat) dengan memberikan pada negara
kemungkinan untuk melakukan campur tangan sepanjang diperlukan
bagi terciptanya tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Pancasila.
2) Merupakan negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan. Dengan
sifatnya yang prismatik maka konsep negara hukum Pancasila dalam
kegiatan berhukum, baik dalam proses pembentukan maupun
pengimplementasiannya dilakukan dengan memadukan berbagai unsur
yang baik dalam konsep Rechtsstaat maupun Rule of Law, yakni dengan
memadukan antara prinsip kepastian hukum dengan prinsip keadilan,
serta konsep dan sistem hukum lain, misalnya sistem hukum adat dan

41
sistem hukum agama yang hidup di nusantara ini, sehingga tercipta suatu
prasyarat bahwa kepastian hukum harus ditegakkan demi menegakkan
keadilan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.
3) Merupakan religious nation state. Dengan melihat pada hubungan antara
negara dan agama maka konsep negara hukum Pancasila tidaklah
menganut sekulerisme tetapi juga bukanlah sebuah negara agama seperti
dalam Teokrasi dan dalam konsep Nomokrasi Islam. Konsep negara
hukum Pancasila adalah sebuah konsep negara yang berketuhanan.
Berketuhanan adalah dalam arti bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, dengan begitu maka terbukalah suatu kebebasan bagi
warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinan
masing-masing. Konsekuensi logis dari pilihan prismatik ini adalah bahwa
atheisme dan juga komunisme dilarang karena telah mengesampingkan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4) Memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum
sebagai cermin budaya masyarakat. Dengan memadukan kedua konsep ini
negara hukum Pancasila mencoba untuk memelihara dan mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law) sekaligus pula
melakukan positivisasi terhadap living law tersebut untuk mendorong
dan mengarahkan masyarakat pada perkembangan dan kemajuan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.

Pandangan mengenai negara hukum di Indonesia juga dikemukakan oleh


Jimly Asshidiqie. Menurutnya, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
amandemen, konsep negara hukum Indonesia memilik tiga belas prinsip
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia sekarang ini.
Ketiga belas prinsip tersebut merupakan pilar-pilar utama penyangga berdiri
dan tegaknya suatu Negara Indonesia yang modern, yakni (Jimly Asshidiqie,
2005: 127-134):
1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law). Adanya pengakuan normatif dan
empirik akan asas supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
2) Persamaan dalam hukum (equality before the law). Dalam asas ini, segala
sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya
diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang kecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang disebut
dengan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.
3) Asas legalitas (due process of law). Dalam setiap negara hukum,
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due
process of law) yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
4) Pembatasan kekuasaan. Arti dari asas ini adalah bahwa setiap kekuasaan
harus selalu dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang bersifat check and balances dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.
5) Organ-organ eksekutif independen. Dalam rangka membatasi kekuasaan,
di zaman sekarang ini berkembang adanya pengaturan kelembagaan

42
pemerintah yang bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi
tentara, komisi HAM, dan lain-lain. Independensi lembaga ini penting
untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh
pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
6) Peradilan bebas dan tidak memihak; Menurut asas ini, hakim dalam
menjalankan tugas judisialnya tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang
(ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan
keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif,
legislatif ataupun kalangan masyarakat dan pers.
7) Peradilan tata usaha negara. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim TUN oleh
pejabat administrasi negara. Pengadilan ini perlu disebut sendiri, karena
pengadilan ini yang menjamin agarv warga negara tidak dizalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak
yang berkuasa.
8) Peradilan tata negara (constitutional court). Pentingnya MK
(constitutional court) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem check
and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi, misalnya menguji
konstitusionalitas UU yang merupakan produk legislatif.
9) Perlindungan Hak Asasi Manusia. Adanya perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM merupakan pilar yang sangat penting
dalam setiap negara hukum. Jika dalam suatu negara, HAM terabaikan
atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak
dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat
disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10) Bersifat demokratis (democratische rechsstaat). Dianut dan
dipraktikkannya asas demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
11) Berfungsi sebagain sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechsstaat). Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang
diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan
melalui gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui
negara hukum dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
12) Transparansi dan kontrol sosial. Adanya transparansi dan kontrol sosial
yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum,
sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme
kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran
serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan
kebenaran.
13) Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara hukum Indonesia haruslah
mengandung asas Ketuhanan Yang Maha Esa karena hal ini sesuai dengan
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Sehingga sistem hukum dan cita negara
hukum Indonesia haruslah pula ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

43
WARGA NEGARA
1) Pengertian Warga Negara
Membahas pengertian warga negara tidak akan bisa dilepaskan dari
pembahasan mengenai penduduk. Penduduk (ingezetenen) atau rakyat
merupakan salah satu unsur untuk memenuhi kriteria dari sebuah negara.
Penduduk atau penghuni suatu wilayah negara merupakan semua orang yang
pada suatu waktu mendiami wilayah negara (Samidjo, 1986: 35). Menurut
Soepomo, penduduk adalah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap
dalam suatu negara. Sah artinya, tudak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap
dalam negara yang bersangkutan. Selain penduduk dalam satu wilayah negara
ada orang lain yang bukan penduduk (niet-ingezetenen), misalnya seorang
wisatawan yang berkunjung dalam suatu negara, dan orang asing yang
bekerja di dalam wilayah negara tersebut (Hartono Hadisoeprapto, 1978: 49).
Kemudian berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUD 1945, penduduk ialah warga
Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, penduduk terbagi menjadi warga negara dan orang asing.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan, Warga Negara Republik Indonesia adalah
warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan yang menjadi warga Negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara (Pasal 26 ayat (1)
UUD 1945). Kemudian dalam Pasal 26 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa
hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Negara Indonesia telah beberapa kali membuat peraturan
perundang-undangan mengenai warga negara dan kewarganegaraan yaitu
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk
Indonesia, Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal
18 Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun 2006, disahkan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
2) Peran, Hak, dan Kewajiban Warga Negara
Hubungan negara dengan warga negara sangatlah erat, secara umum
konstitusi mewajibkan negara untuk melindungi kepentingan keseluruhan
rakyat tanpa kecuali. Dalam UUD NRI 1945, kewajiban negara terhadap
warga negara meliputi: pemberian jaminan dalam menjalankan agama,
memberikan pendidikan, memajukan kebudayaan nasional, memberikan
jaminan kesejahteraan sosial, memelihara fakir miskin dan anak terlantar,
serta menyelenggarakan pertahanan negara.
Dengan demikian, warga negara memiliki hubungan timbal balik yang
sederajat dengan negaranya. Ada empat peran warga negara, yaitu:
a) Peran pasif, yakni kepatuhan warga negara terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b) Peran aktif, yakni aktivitas warga negara untuk terlibat (berpartisipasi)
serta ambil bagian dalam kehidupan bernegara, terutama dalam
memenuhi keputusan publik.
c) Peran positif, yakni aktivitas warga negara untuk meminta pelayanan dari
negara untuk memenuhi kebutuhan hidup.

44
d) Peran negatif, yakni aktivitas warga negara untuk menolak campur tangan
negara dalam persoalan pribadi.
Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan hak-hak tertentu yang dapat
dikategorikan sebagai hak konstitusional warga negara, sebagai berikut (Jimly
Asshiddiqie, 2007: 10-13):
a) Hak asasi manusi tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusional
bagi warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak yang tercantum dalam
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga Negara
berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27
ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi,
“Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan
negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”; (v)
Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap Warga Negara berhak mendapat
pendidikan”; Ketentuan-ketentuan tersebut khusus berlaku bagi Warga
Negara Indonesia, bukam bagi setiap orang yang berada di Indonesia;
b) Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang,
akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga Negara
Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal
28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, ”Setiap orang berhak untuk
bekerja….”. Namun, negara dapat membatasi hak orang asing untuk
bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing dilarang memanfaatkan visa
kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau imbalan dengan cara
bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini
bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang
berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin
dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut campur dalam
urusan dalam negeri Indonesia, misalnya secara bebas menyatakan
pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu. Demikian
pula orang warga negara asing tidak berhak mendirikan partai politik di
Indonesia untuk tujuan memengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii)
Pasal 28H ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga
diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing yang
merupakan tanggung jawab negara asalnya sendiri untuk memberikan
perlakuan khusus itu.
c) Hak warga negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui
prosedur pemilihan (ellected officials), seperti presiden dan wakil
presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota
da wakil walikota, kepala desa, hakim konstitusi, hakim agung, anggota
badan pemeriksa keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan
perwakilan yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala
Kepolisian RI, Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi
negara, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan,
baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d) Hak warga negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu
(appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi negara,

45
jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan struktural dan
fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan jabatan-jabatan lain yang
diisi melalui pemilihan.

46
KONSTITUSI & UUD 1945

1. Pengertian Konstitusi
Penyebutan akan konstitusi ini dipetik dari istilah bahasa Perancis yakni
constituer, yang berarti membentuk. Dalam penafsiran Wirjono Projodikoro,
constituer, dalam pemakaian istilah konstitusi bila diartikan sebagai
peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan suatu Negara. Konstitusi
dalam Negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada
pemerintahan Negara biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis.
Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya
menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan
lainnya. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan
prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus
untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik,
prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur,
wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi
umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya.
Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang
mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Dalam bentukan organisasi
konstitusi menjelaskan bentuk, struktur, aktivitas, karakter, dan aturan dasar
organisasi tersebut. Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah
dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi
pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan
dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). namun
menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus
diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan,
pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi, Konstitusi
bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam
bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum
akan tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi. Dewasa ini, istilah
konstitusi sering di identikkan dengan suatu kodifikasi atas dokumen yang
tertulis dan di Inggris memiliki konstitusi tidak dalam bentuk kodifikasi akan
tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara Inggris
dan mana pula juga.
Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu “Constitution” dan
berasal dari bahasa belanda “constitue” dalam bahasa latin (contitutio,
constituere) dalam bahasa Perancis yaitu “constiture” dalam bahsa jerman
“vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan
Undang-Undang Dasar. Konstitusi/UUD dapat diartikan peraturan dasar dan
yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi satu sumber
perundang-undangan. Konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat Negara.
Pengertian konstitusi menurut para ahli:
a. K.C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraaan
suatu Negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk
mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
b. Herman Heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD.
Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis.

47
c. Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat
di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di
dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik,
dsb.
d. L.J Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun
peraturan tak tertulis.
e. Koernimanto Soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin
cisme yang berarti bersama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu
agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
f. Carl Schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:
Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian yaitu:
1) Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan
semua organisasi yang ada di dalam Negara.
2) Konstitusi sebagai bentuk Negara.
3) Konstitusi sebagai faktor integrasi.
4) Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi di
dalam Negara.
Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian yaitu konstitusi
sebagai tuntutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh
penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil
(konstitusi dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti materiil
(konstitusi yang dilihat dari segi isinya).
Konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang
tertinggi sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan.
Konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas
hak asasi serta perlindungannya. Tujuan konstitusi yaitu: a. Membatasi
kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang maksudnya
tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan
baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan
rakyat banyak. b. Melindungi HAM maksudnya setiap penguasa berhak
menghormati HAM orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum
dalam hal melaksanakan haknya. c. Pedoman penyelenggaraan Negara
maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi Negara kita tidak akan berdiri
dengan kokoh. Nilai konstitusi yaitu: a. Nilai normatif adalah suatu
konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi
itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata
berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. b. Nilai nominal adalah suatu konstitusi yang
menurut hukum berlaku, tetapi tidak sempurna. Ketidaksempurnaan itu
disebabkan pasal-pasal tertentu tidak berlaku/tidak seluruh pasal-pasal yang
terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah Negara. c. Nilai
semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan
penguasa saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan
konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
Macam-macam konstitusi : a. Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution/writen constitution) adalah
aturan-aturan pokok dasar Negara, bangunan negara dan tata Negara,
demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu
bangsa di dalam persekutuan hukum Negara. Konstitusi tidak
tertulis/konvensi (nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan
ketatanegaraan yang sering timbul. F. Lasalle dalam bukunya Uber

48
Verfassungswesen, menggolongkan konstitusi ke dalam dua pengertian.
Pertama, konstitusi dalam arti sosiologis antara kekuasaan yang ada dalam
masyarakat dengan golongan yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan.
Inilah yang di sebutnya dengan “riele macht factoren”. Dalam pendapat
Lasalle ini, dapat diterangkan dua arti yang menunjukan pada pengertian
konstitusi, yang pertama berarti bahwa dengan adanya organisasi yang
dilegalisir oleh pemerintah, maka ia dapat menjalankan fungsinya, hal itu
sudah merupakan konstitusi. Kedua, konstitusi dalam arti yuridis yang dapat
diterjemahkan sebagai suatu naskah yang memuat suatu bangunan Negara
dan sendi-sendi pemerintahan
Kelihatannya para penyusun UUD 1945 menganut pemikiran sosiologis
tersebut, sebab dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan : “Undang-Undang
Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Undang-Undang Dasar ialah dasar yang tertulis, sedang disamping
Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis.”

2. Sistem Kontitusional
Pada mulanya kehadiran paham konstitusionalisme (sistem
konstitusional) adalah untuk membatasi pemerintah jangan sampai
bersifat absolut dan menuntut orang-orang yang berkuasa untuk
mematuhi hukum dan peraturan. Kemudian pada perkembangannya
paham konstitusionalisme/sistem konstitusional ini lebih memfokuskan
pengertiannya sebagai pemerintah yang menyelenggarakan kekuasaannya
dengan berdasarkan pada konstitusi (undang-undang dasar).
Adapun ajaran pokok dari paham konstitusionalisme tersebut ada
pada : Anatomi kekuasaan di Negara tersebut semuanya tunduk pada
hukum. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Di Negara tersebut peradilannya di selenggarakan secara bebas dan
mandiri. Adanya pertanggung jawaban kepada rakyat. Sementara bila
melihat kepada substansi konstitusi Indonesia saat ini UUD 1945
Amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat telah meratifikasi keempat
prinsip konstitualisme tersebut. Mengenai anatomi kekuasaan Indonesia
dapat kita lihat pada pasal 1 ayat (3), tentang jaminan HAM ada pada
pasal 26 sampai 34, untuk nuansa peradilan dapat dilihat pada pasal 24
ayat (1) dan pada prinsip akuntinilitas dapat terlihat pada pasal 23 ayat (1).
Akan tetapi, pada hakikatnya penganutan ajaran tersebut tidak hanya
cukup di atas kertas atau dalam dokumen formal saja.
Sebagaimana yang di nyatakan oleh Adnan Buyung Nasution dalam
bukunya yang berjudul Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia :
studi sosio-legal atas konstituante 1956-1959, bahwa meskipun suatu
pemerintah telah memiliki konstitusi atau undang-undang dasar yang
telah mengatur prinsip-prinsip paham konstitusionalisme tersebut, akan
tetapi tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan bernegara,
maka pemerintah tersebut belumlah dapat dikatakan sebagai pemerintah
konstitusional. Atas pemahaman terhadap peham konstitusonalisme
tersebut dapatlah di garis bawahi bahwa konstitusi atau undang-undang
dasar mempunyai derajat supremasi dalam suatu Negara, dalam artian
menjadi roh bagi tertib hukum suatu Negara.

49
3. Materi Muatan Konstitusi
Perihal yang terkandung dalam teori konstitusi itu tidak hanya memuat
masalah yuridis (hukum), namun juga dapat memuat faktorfaktor kekuatan
yang nyata dalam masyarakat. Adapun satu konstitusi dapat dikatakan
memuat teori konstitusi secara lengkap apabila merupakan : 1. Hasil filsafat,
artinya pasal-pasal atau batang tubuh dari konstitusi itu merupakan
pengkhususan dari sendi-sendi, dan dari sendisendi itu dirumuskan ke dalam
suatu peraturan yang lengkap 2. Hasil kesenian, artinya kata-kata yang
digunakan di dalam konstitusi itu sederhana yang menggambarkan dengan
jelas apa yang dimaksudkan ; dan 3. Hasil ilmu pengetahuan, artinya di dalam
peraturan itu tidak terdapat pertentangan antara satu dan yang lainnya,
melainkan sistematis dan harmonis. Selain sebagai dokumen hukum,
konstitusi juga di anggap sebagai pernyataan cita-cita yakni alat untuk
membentuk suatu sistem politik dan system hukum Negara sendiri.
Dalam kaitannya dengan itu, A.H. Struycken berpandangan bahwa
undang-undang (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah
dokumen formal yang berisi :
1. Hasil perjuangan politik bangsa di masa lampau
2. Tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ketatanegaraan bangsa
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak di wujudkan, baik waktu
sekarang maupu untuk masa yang akan datang
4. Suatu keinginan hendak di bawa kemana perkembangan hidup
ketatanegaraan Apabila teori A.H. Struycken ini kita hubungkan dengan
konstitusi Negara kita (Undang-Undang Dasar 1945), sebetulnya para
founding father kita telah memegang teori ini di masa lalu. Pembuktiannya
terdapat pada peletakkan kalimat (dalam pembukaan UUD 1945), “Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia…..” kalimat ini jelas
menunjukan perjuangan politik bangsa di masa lampau. Dari situ dapat
disimpulkan bahwa disamping sebagai dokumen nasional dan tanda
kedewasaan dari kemerdekaan sebagai bangsa, konstitusi juga sebagai alat
yang berisi system politik dan system hukum yang hendak di wujudkan.
Secara lebih detil, telah dirumuskan materi muatan/isi dari konstitusi
(undang-undang dasar) oleh J.G. Steenbeek bahwa pada umumnya konstitusi
berisi tiga hal pokok yaitu: pertama, adanya jaminan hak asasi manusia dan
warga negaranya: kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
Negara yang bersifat fundamental: ketiga, adanya pembagian dan pembatasan
tugas ketatanegaraan juga yang bersifat fundamental.
Sementara bagi Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar
hendaknya memuat ketentuan-ketentuan mengenai:
1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif: pembagian kekuasaan antara pemerintah
Negara bagian dan sebagainya
2. Hak-hak asasi manusia
3. Prosedur mengubah undang-undang dasar
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
undang-undang dasar; dan
5. Merupakan aturan hukum tertinggi yang mengikat semua warga
Negara dan lembaga Negara tanpa terkecuali

50
4. Klasifikasi Konstitusi
Indonesia sekarang telah memiliki pengawal konstitusi yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK). Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Seperti yang dikatakan oleh Hakim
MK Ahmad Fadlil Sumadi, bahwa kehadiran MK dibutuhkan untuk
menegakkan konstitusi yang selama ini hanya ditegakkan lewat mekanisme
politik. Padahal mekanisme politik mendasarkan suara mayoritas untuk
memutuskan suatu perkara dan kerap mengabaikan unsur keadilan.
Contohnya, saat ini untuk “menggulingkan” presiden tidak bisa atas
keputusan MPR saja. Saat ini menggulingkan presiden harus lewat jalur
hukum di MK untuk melihat benarkah presiden telah melakukan suatu
pelanggaran berat.
Perlu kita ketahui konstitusi dapat diklasifikasikan. Menurut salah
seorang ahli kosntitusi dari Inggris, yaitu K.C Wheare mengklasifikasikan
konsitusi sebanyak 5 macam. Bagaimana UUD 1945 dilihat dari 5 macam
klasifikasi yang akan dijabarkan sebagai berikut:
Macam-macam klasifikasi menurut K.C Wheare:
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution
and no written constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitution and rigid
constitution)
c. Konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi (supreme
cosntitution dan not supreme constitution)
d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and
unitary constitution)
e. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer (presidental executive and parliamentary
exacutive constitution).
Pertama, yang dimaksud konstitusi tertulis ialah suatu konstitusi (UUD)
yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal.
Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk tertulis ialah suatu konstitusi
yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal. Contohnya konstitusi
yang berlaku di Inggris, Israel dan New Zealand. Kedua, James Bryce dalam
bukunya Studies in History and Jurisprudence memilah konstitusi fleksibel
dan konstitusi rijid secara luas.
Pembagian ini didasarkan atas kriteria atau berkaitan dengan “cara dan
prosedur perubahannya”. Jika suatu konstitusi itu mudah dalam
mengubahnya, maka ia digolongkan pada konstitusi yang fleksibel. Apabila
cara dan prosedur perubahannya sulit, maka ia termasuk jenis konstitusi yang
rijid. Menurut Bryce, ciri khusus dari konstitusi fleksibel adalah elastis,
diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.
Sedangkan untuk ciri konstitusi yang rijid yaitu mempunyai kedudukan dan
derajat lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain dan hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan
persyaratan berat. Dalam konteks ini, UUD 1945 dalam realitanya termasuk
konstitusi yang rijid. Ketiga, yang dimaksud dengan konstitusi derajat tinggi
adalah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara.
Di samping itu, jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di
atas peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat untuk
mengubahnya lebih berat dibandingkan dengan yang lain. Sementara
konstitusi tidak derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang tidak mempunyai

51
kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi. Persyaratan untuk
mengubah konstitusi jenis ini sama dengan persyaratan yang dipakai unttuk
mengubah peraturan-peraturan yang lain, umpamanya undang-undang.
Sehingga dalam hal ini UUD 1945 termasuk dalam konstitusi derajat tinggi,
hal ini juga dapat dilihat untuk kedudukan UUD 1945 dalam hirarki peraturan
perundangundangan yang diatur dalam Pasal 7 UU n0 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Keempat, klasifikasi
yang berkaitan erat dengan bentuk suatu Negara. Artinya, jika bentuk suatu
negara serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara
pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian.
Pembagian kekuasaan tersebut diatur dalam konstitusi atau
undang-undang dasarnya. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan
tersebut tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaanya tersentralkan di
pemerintah pusat, walaupun dikenal juga sistem desentralisasi. Hal ini juga
diatur dalam konstitusi kesatuannya. Seperti tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1)
UUD 1945 bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik. Sehingga dalam hal ini UUD termasuk dalam konstitusi kesatuan.
Kelima atau terakhir klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan sistem
pemerintahan parlementer.
Untuk sistem pemerintahan presidensial mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:
a. Mempunyai kekuasaan nominal sebagai Kepala Negara, Presiden juga
berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (yang belakang ini lebih
dominan)
b. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi
dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika
Serikat
c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.
d. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif
dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

Sedangkan untuk sistem pemerintahan parlementer yang mempunyai


ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan
kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
b. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebgaian adalah
anggota parlemen.
c. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada
parlemen.
d. Kepala Negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan
umum.

Berdasarkan klasifikasi konstitusi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa


UUD 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi tertulis dalam arti
dituangkan dalam dokumen, konstitusi rijid, konstitusi berderajat tinggi,
konstitusi kesatuan, dan yang terakhir termasuk konstitusi yang menganut
sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 di samping
mengatur ciri-ciri pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri
sistem pemerintahan parlementer.
Di sinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Lebih khusus lagi terhadap penamaan konstitusi sistem

52
pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem parlementer, yang jelas
klasifikasi atas nama ini berkaitan dengan system pemerintahan yang dipakai.
Sebagaimana mengutip teori pemerintah dari C.F. Strong apabila sistem
pemerintah yang di atur dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar) suatu
Negara membuat aturan-aturan sebagai berikut:
 Di samping mempunyai kekuasaan “nominal” sebagai kepala Negara,
presiden juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (yang belakang
lebih dominan).
 Pemerintah tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi
dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika Serikat.

 Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif.


 Pemerintah tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan
tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

5. Perubahan Konstitusi
Pada perkembangan peradaban dunia saat ini, konstitusi seringkali dibuat
harus mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat dan
konsekuensinya konstitusi (undang-undang dasar) suatu Negara di tuntut
untuk berubah. Menurut C.F. Strong, prosedur perubahan konstitusi ada
empat macam caranya yaitu:
a. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
legislatif, akan tetapi ada batasan-batasan tertentu.
b. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu
referendum.
c. Perubahan konstitusi dalam Negara serikat, yang dilakukan oleh
sejumlah Negara-Negara bagian.
d. Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau
dilakukan oleh suatu lembaga Negara khusus yang dibentuk hanya
untuk keperluan perubahan.

Cara perubahan konstitusi yang pertama: Bahwa untuk mengubah


konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislative harus di hadiri oleh
sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu atau 2/3 dari seluruh jumlah
anggota pemegang kekuasaan legislatif harus hadir
Cara perubahan konstitusi yang kedua: Apabila ada kehendak untuk
mengubah konstitusi, maka lembaga Negara diberi wewenang untuk itu
mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam referendum atau peblisit.
Dalam referendum atau peblisit ini rakyat menyampaikan pendapatnya
dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan
kepada mereka
Cara perubahan konstitusi yang ketiga Cara ini berlaku dalam Negara
yang berbentuk Negara serikat. Oleh karena konstitusi dalam Negara yang
berbentu Negara serikat dianggap sebagai “perjanjian” antara Negara-Negara
bagian, maka perubahan terhadapnya harus dengan persetujuan sebagian
besar Negara-Negara tersebut.
Cara perubahan konstitusi yang keempat Cara ini dapat dijalankan
dengan baik dalam Negara serikat maupun Negara yang berbentuk kesatuan.
Apabila ada kehendak untuk mengubah undang-undang dasar, maka sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, di bentuklah suatu lembaga Negara khusus
yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah konstitusi Bagi Strucken,

53
perubahan konstitusi (undang-undang dasar) itu dapat dilakukan dengan dua
keadaan, yakni:
 Normale Rechtsvorming yaitu perubahan UUD dengan melalui suatu
prosedur yang tertentu yang di cantumkan dalam UUD yang sedang
berlaku,contohnya dalam UUD 1945 bilamana untuk mengubah UUD
itu sudah di atur dalam pasal 37
 Abnormal Rechtsvorming yaitu perubahan UUD melalui prosedur
pemaksaan kekuasaan, contohnya seperti perubahan UUD melalui
revolusi, coup de etat.

54
IDENTITAS NASIONAL
1. Pengertian Identitas Nasional
Kata “identitas” berasal dari kata identity berarti ciri-ciri, tanda-tanda,
atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya
dengan yang lain. Sedangkan “Nasional” menunjuk pada sifat khas kelompok
yang memiliki ciri-ciri kesamaan, baik fisik seperti, budaya, agama, bahasa,
maupun non-fisik seperti, keinginan, cita-cita, dan tujuan. Jadi, “Identitas
nasional” adalah suatu ciri yang di miliki oleh suatu bangsa yang secara
filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Menurut Soemarno Soedarsono, Identitas Nasional (Karakter Bangsa)
tersebut tampil dalam tiga fungsi, yaitu:
a. sebagai penanda keberadaan atau eksistensinya. Bangsa yang tidak
mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam kehidupan bangsa dan
Negara
b. sebagai pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan
jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa ini. Hal ini tercermin dalam
kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi ketahanan bangsa pada
khususnya
c. sebagai pembeda dengan bangsa lain di dunia
d. identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi
makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktuall
yang berkembang dalam masyarakat.

2. Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional


Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta
keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktorfaktor yang
mendukung kelahiran identitas nasional tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi: a.
Faktor objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis. b.
Faktor subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Kondisi geografis-ekologis yang membentuk
Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di

55
persimpangan jalan komunikasi antarwilayah dunia di Asia Tenggara, ikut
mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan
kultural bangsa Indonesia. Selain itu faktor historis yang dimiliki Indonesia
ikut mempengaruhi proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia
beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor yang ada di dalamnya.
Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut melahirkan proses
pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara bangsa beserta identitas
bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang di
Indonesia pada awal abad XX. Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel
Castells dalam bukunya, The Power of Identity , mengemukakan teori tentang
munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis
antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor
penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama, mencakup etnisitas, teritorial,
bahasa, agama dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas
berbagai macam etnis, bahasa, agama wilayah serta bahasa daerah,
merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan
masing-masing.
Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal
inilah yang di kenal dengan Bhineka Tunggal Ika. Faktor kedua, meliputi
pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata
modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan Negara. Dalam
hubungan ini bagi suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas
nasional yang bersifat dinamis.
Pembentukan identitas nasional yang dinamis ini sangat ditentukan oleh
tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia dalam membangun
bangsa dan negaranya. Dalam hubungan ini sangat diperlukan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan bangsa dan
Negara Indonesia. Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam
gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi dan pemantapan sistem
pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan
bahasa persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah
merupakan bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Demikian pula
menyangkut biroraksi serta pendidikan nasional telah dikembangkan
sedemikian rupa meskipun sampai saat ini masih senantiasa dikembangkan.
Faktor keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas
alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa
lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori
kolektif rakyat Indonesia. Penderitaan, dan kesengsaraan hidup serta
semangat bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan merupakan faktor
yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat.Semangat
perjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas
untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang
dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan
bangsa ini. Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia
melekat erat dengan unsurunsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya,
etnis, agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui
suatu proses yang cukup panjang.

56
3. Identitas Kebangsaan dan Identitas Nasional Indonesia
Identitas kebangsaan (political unity) merujuk pada bangsa dalam
pengertian politik, yaitu bangsa-negara. Bisa saja dalam Negara hanya ada
satu bangsa (homogen), tetapi umumnya terdiri dari banyak bangsa
(heterogen). Karena itu Negara perlu menciptakan identitas kebangsaan atau
identitas nasional, yang merupakan kesepakatan dari banyak bangsa di
dalamnya. Identitas nasional dapat berasal dari identitas satu bangsa yang
kemudian disepakati oleh bangsa-bangsa lainnya yang ada dalam Negara itu,
atau juga dari identitas beberapa bangsa yang ada kemudian disepakati untuk
dijadikan identitas bersama sebagai identitas bangsa-negara. Menurut Adi
(2012), Muluk (2010), Kartini (2009), Endang (2009), Duverger (2007),
Wirjono (2003), menyatakan bahwa kesediaan dan kesetiaan warga
bangsa/Negara untuk mendukung identitas nasional perlu ditanamkan,
dipupuk, dan dikembangkan terus-menerus. Mengapa? Karena warga lebih
dulu memiliki identitas kelompoknya, sehingga jangan sampai melunturkan
identitas nasional. Disini perlu ditekankan bahwa kesetiaan pada identitas
nasional akan mempersatukan warga bangsa itu sebagai ”satu bangsa” dalam
Negara.
Bentuk identitas kebangsaan bias berupa adat-istiadat, bahasa nasional,
lambang nasional, bendera nasional, termasuk juga ideologi nasional Proses
pembentukan identitas nasional di Indonesia cukup panjang, dimulai dengan
kesadaran adanya perasaan senasib sepenanggungan “bangsa Indonesia”
akibat kekejaman penjajah Belanda, kemudian memunculkan komitmen
bangsa (tekad, dan kemudian menjadi kesepakatan bersama) untuk berjuang
dengan upaya yang lebih teratur melalui organisasi-organisasi perjuangan
(pergerakan) kemerdekaan mengusir penjajah sampai akhirnya Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan membentuk Negara.
Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia sebagai wujud konkret dari
hasil perjuangan bangsa dimaksud adalah :
a. Dasar falsafah dan ideologi negara, yaitu Pancasila.
b. Bahasa nasional atau bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
c. Lagu kebangsaan, yaitu Indonesia Raya
d. Lambang negara, yaitu Garuda Pancasila.
e. Semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
f. Bendera negara, yaitu Sang Merah Putih.
g. Hukum dasar negara (konstitusi), yaitu UUD 1945.
h. Bentuk negara, yaitu NKRI dansbentuk pemerintahannya Republik.

57
i. Beragam kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan
nasional
j. kebudayaan nasional.

4. Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan
perbedaan yang ada pada suatu Negara sehingga terciptanya keserasian dan
keselarasan secara nasional. Sedangkan Identitas nasional secara terminologis
adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain. Antara Integrasi
nasional dan identitas nasional Negara Indonesia sangatlah tekait. Mengapa?
Karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku yang disatukan melalui
persatuan dibawah bendera merah putih dan ‘Bhineka Tunggal Ika’ melalui
proses ini terjadi proses integrasi nasional dimana perbedaan yang ada
dipersatukan sehingga tercipta keselarasan.
Persatuan dari kemajemukan suku inilah yang menjadi salah satu ciri
khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain. Sehingga
adanya kompleksitas perbedaan suku yang bersatu di Indonesia dijadikan
sebagai identitas bangsa sebagai bangsa yang majemuk yang kaya akan suku,
tradisi dan bahasa dalam wujud semboyang ‘Bhineka Tunggal Ika’,
berbeda-beda tapi tetap satu jua. Jadi, antara integrasi nasional dan identitas
nasional memiliki keterkaitan, karena dalam hal ini, di Indonesia Integrasi
nasional di jadikan sebagai salah satu identitas nasional dimana konsep
‘Bhineka Tunggal Ika’ yang merupakan hasil dari integrasi nasional dijadikan
sebagai identitas nasional, semboyan ini tidak akan pernah ada di Negara lain,
Semboyan ini hanya ada di Indonesia dan menjadi identitas bangsa yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lainnya. Seperti yang kita
ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari
kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif
bagi bangsa karena kita bias memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara
bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan
rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya
menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya
yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang
berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multi
dimensional.Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan, kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama,
bahasa dan sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan
dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan
membina stabilitas politik disamping upaya lain seperti banyaknya
keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme
parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap
perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang
diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu
karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat
kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya
persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin
terwujudnya negara yang makmur, aman dan tentram. Jika melihat konflik
yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Papua merupakan cermin

58
dan belum terwujudnya Integrasi Nasional yang diharapkan. Sedangkan
kaitannya dengan Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi nasional
dapat menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang dibangun.

59
DEMOKRASI INDONESIA
1. Demokrasi
Konsepsi demokrasi Penyebutan akan istilah demokrasi pada mulanya
berangkat dari bahasa Yunani, yaitu dengan istilah “democratos” yang
merupakan gabungan dari kata demos yang artinya rakyat, dan “cratos” yang
artinya kekuasaan atau kedaulatan. Dari gabungan atas dua pemaknaan
tersebut, maka dapat diterjemahkan bahwa demokrasi adalah kedaulatan
rakyat. Dengan demikian pada Negara yang menganut sistem demokrasi,
kekuasaan pemerintahnya sangat terbatas dan pemerintah tidak dapat
bertindak sewenang-wenang kepada rakyat.
Menurut Henry B. Mayo, demokrasi sebagai sistem politik ialah dimana
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakilwakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik.
Adapun hakikat dari demokrasi sebagai mana kita pahami terdapat pada
makna pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan
oleh rakyat (government by people) dan pemerintahan untuk rakyat
(government for people). Hakikat yang terkandung pada government of the
people adalah untuk menunjukan bahwa dalam negara demokrasi,
keabsahan/legitimasi terhadap siapa yang memerintah (pemerintah) berasal
dari kehendak rakyat. Sementara makna dari government by people yakni
bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah yang dilakukan pemerintah
prosesnya diawasi oleh rakyat. Government for people terkandung makna
bahwa dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan oleh pemerintah adalah
harus dilangsungkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

2. Makna dan Hakekat Demokrasi


Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai
tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di berbagai Negara. Mahfud
MD “ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan
bernegara. Pertama: Semua Negara di dunia menjadikan demokrasi sebagai
azas fundamental. Kedua: Demokrasi sebagai azas kenegaraan secara
essensial. Pada Tahun 1863, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the
people, by the people and for the people).
Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu mendapat
mandate dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Rakyat adalah
pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi dalam Negara demokrasi.
Apabila pemerintah telah mendapat mandate dari rakyat untuk memimpin
penyelenggaraan bernegara, pemerintah tersebut sah. Seorang pemimpin
seperti presiden, gubernur, bupati, kepala desa, pemimpin politik yang telah
dipilih oleh rakyat, berarti telah mendapat mandate secara sah dari rakyat.
Pemerintahan yang dijalankan adalah pemerintahan demokrasi sebab berasal
dari mandate rakyat (Winarno, 2007: 92). Salah satu pilar demokrasi adalah
prinsip Trias Politica yang membagi kekuasaan politik Negara (eksekutif,
yudikatif dan legislatif.
Lalu apa itu demokrasi? Demokrasi sebagai konsep sesungguhnya
memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang atau perspektif.
Berbagai pendapat para ahli banyak mengupas perihal demokrasi. Contoh

60
yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln di atas, hanyalah salah satu contoh
pengartian demokrasi. Robert Dahl sampai pada pernyataan bahwa “ there is
no democratic theory, there are only democratic theories”. Bahkan Harold
Laski mengutarakan bahwa demokrasi tidak dapat diberi batasan, kerena
rentang sejarahnya yang amat panjang dan telah berevolusi sebagai konsep
yang menentukan.
Berdasar banyak literatur yang ada, diyakini demokrasi berasal dari
pengalaman bernegara orang–orang Yunani Kuno, tepatnya di negara kota
(polis) Athena pada sekitar tahun 500 SM. Yunani sendiri pada waktu itu
terdiri dari beberapa negara kota (polis) seperti Athena, Makedonia dan
Sparta. Pada tahun 508 SM seorang warga Athena yaitu Kleistenes
mengadakan beberapa pembaharuan pemerintahan negara kota Athena
(Magnis Suseno, 1997:100).
Kleistenes membagi para warga Yunani yang pada waktu itu berjumlah
sekitar 300.000 jiwa kedalam beberapa “suku”, masing-masing terdiri atas
beberapa demes dan demes mengirim wakilnya ke dalam Majelis 500 orang
wakil. Keanggotaan majelis 500 itu dibatas satu tahun dan seseorang dibatasi
hanya dua kali selama hidupnya untuk dapat menjadi anggota. Majelis 500
mengambil keputusan mengenai semua masalah yang menyangkut kehidupan
kota Athena. Bentuk pemerintahan baru ini disebut demokratia.Sejarawan
Herodotus (490-420 SM) untuk menyebut sistem kenegaraan hasil
pembeharuan Kleistenes tersebut. Sistem demokrasi Athena akhirnya diambil
alih oleh banyak polis lain di Yunani. Demokrasi di Athena ini bertahan
sampai dihancurkan oleh Iskandar Agung dari Romawi pada tahun 322 SM.
Sejak saat itu demokrasi Yunani dianggap hilang dari muka bumi. Selanjutnya
Eropa memasuki abad kegelapan (Dark Age).
Gagasan demokrasi mulai berkembang lagi di Eropa terutama setelah
kemunculan konsep nation state pada abad ke 17. Gagasan ini disemai oleh
pemikir-pemikir seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704), Montesqiueu (1689-1755), dan JJ Rousseau (1712-1778), yang
mendorong berkembangnya demokrasi dan konstitusionalisme di Eropa dan
Amerika Utara (Aidul 2). Pada kurun waktu itu berkembang ide sekulerisasi
dan kedaulatan rakyat.
Berdasar sejarah singkat tersebut, kita bisa mengetahui adanya demokrasi
yang berkembang di Yunani yang disebut demokrasi kuno dan demokrasi
yang berkembang selanjutnya di Eropa Barat yang dikenal sebagai demokrasi
modern. Lalu apakah demokrasi itu sesungguhnya? Memang tidak ada
pengertian yang cukup yang mewakili konsep demokrasi. Istilah itu tumbuh
sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat Semakin tinggi
kompleksitas kehidupan suatu masyarakat semakin sulit dan tidak sederhana
demokrasi didefinisikan (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 5).
Berdasar berbagai pengertian yang berkembang dalam sejarah pemikiran
tentang demokrasi, kita dapat mengkategorikan ada 3 (tiga) makna demokrasi
yakni demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi sebagai sistem
politik dan demokrasi sebagai sikap hidup.

3. Demokrasi sebagai Pandangan Hidup


Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demokrasi
tidak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tetapi memerlukan
usaha nyata setiap warga dan perangkat penduduknya seperti budaya yang
kondusif sebagai menifestasi dari suatu mind set (kerangka berpikir) dan

61
setting social sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk
kehidupan bernegara, baik oleh rakyat, masyarakat maupun pemerintah.
Untuk itu masyarakat harus menjadikan demokrasi sebagai way of life yang
menuntun tata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, pemerintah dan
kenegaraan. Nurcholish Madjid menyatakan demokrasi bukanlah kata benda,
tapi kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis.
Demokrasi berarti sebuah proses melakukan nilai-nilai civility (keadaban)
dalam bernegara dan bermasyarakat, pandangan hidup demokratis
berdasarkan pada bahan-bahan yang telah berkembang, baik secara teoritis
maupun pengalaman praktis di negeri-negeri yang demokrasinya cukup
mapan paling tidak mencakup 7 norma sebagai berikut:
1. Pentingnya kesadaran akan pluralisme,
2. Musyawarah,
3. Pertimbangan moral,
4. Pemufakatan yang jujur dan sehat,
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi,
6. Kerja sama antar warga ekonomi masyarakat dan sikap mencapai
i’tikad baik masing-masing,
7. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu
dengan sistem pendidikan.

4. Model Demokrasi
Ada lima corak atau model demokrasi, yaitu demokrasi Liberal,
Terpimpin, Sosial, Partisipasi dan konstitusional.
a. Demokrasi Liberal Yaitu pemerintahan dibatasi oleh undang-undang
dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg.
b. Demokrasi Terpimpin: Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan
mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing
sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
c. Demokrasi Sosial: Demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan
sosial yang egalitarianism bagi persyaratan untuk memperoleh
kepercayaan politik.
d. Demokrasi Partisipasi Demokrasi yang menekankan hubungan timbal
balik antara penguasa dan yang dikuasai.
e. Demokrasi Consociational: Demokrasi yang menekankan proteksi
khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerjasama
yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
f. Demokrasi Langsung Terjadi apabila rakyat mewujudkan kedaulatannya
pada suatu Negara dilakukan secara langsung. Lembaga legislatif hanya
berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintah, pemilihan
pejabat eksekutif (Presiden, Gurbenur, Walikota/Bupati) dilakukan rakyat
secara langsung. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif
(Dewan perwakilan Daerah, DPRD) dilakukan rakyat secara langsung.
g. Demokrasi Tidak Langsung. Terjadi bila untuk mewujudkan
kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak
eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak
langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.

5. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi


Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam periode di
antaranya yaitu:

62
a. Demokrasi masa revolusi (1945-1950). Cirinya: demokrasi pluralistik
liberal, kebersamaan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
b. Demokrasi masa orde lama (1950-1959). Demokrasi parlementer,
didominasi partai politik dan DPR, kabinet-kabinet terbentuk tidak dapat
bertahan lama. Koalisi sangat gampang pecah, destabilisasi politik nasional,
tentara tidak memperoleh tempat dalam konstelasi politik.
c. Demokrasi masa orde lama (1959-1968). Demokrasi terpimpin
didominasi presiden, berkembangnya pengaruh komunis, pembentukan
kepemimpinan yang inkonstitusional, meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sospol, pers yang dianggap menyimpang dari “rel revolusi” ditutup
d. Demokrasi masa orde baru (1968-1998). Dominanya peranan ABRI,
dominannya peranan golongan karya, birokratisasi dan sentralistik dalam
pengambilan keputusan, pengibaran peran dan fungsi partai-partai politik,
campur tangan Negara dalam urusan partai-partai politik, dan pers yang
dianggap tidak sesuai dengan pemerintah “dibredel”.
e. Demokrasi masa reformasi (1998-sekarang). Cirinya: reposisi TNI
dalam kaitan dengan keberadaannya, diamandemennya pasal-pasal yang
dipandang kurang demokratis dalam UUD 1945, adanya kebebasan pers,
dijalankannya otonomi daerah

6. Demokrasi di Indonesia
Demokrasi Indonesia merupakan suatu bentuk demokrasi yang utuh
bagi Indonesia, yaitu demokrasi dibidang politik dan ekonomi yang tidak
mengandung paham individualisme. Demokrasi yang utuh bagi Indonesia
diartikan pula oleh bung Hatta sebagai demokrasi yang disesuaikan dengan
tradisi masyarakat asli Indonesia, yakni demokrasi yang menjungjung nilai
kebersamaan dan kekeluargaan. Sifat demokrasi asli Indonesia bersumber
dari semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang hidup dalam hati
sanubari setiap anggota masyarakat asli ini, dimana kehidupan seseorang
dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Manisfestasi dari ciri kebersamaan dan kekeluargaan ini adalah tradisi
melaksanakan rapat/musyawarah untuk mengatasi suatu permasalahan, yang
diikuti dengan pengembalian keputusan dengan secara mufakat. Selain itu
juga dimanifestasikan dalam bentuk tradisi tolong-menolong dalam
menjalani kehidupan sehari-hari kebiasaan melakukan protes terhadap
kebijakan penguasa yang dianggap tidak adil dan kebiasaan menyingkir dari
wilayah kekuasaannya penguasa yang dianggap lalim.
Semua ciri kehidupan masyarakat asli Indonesia tersebut, dijadikan
sendiri untuk mengembangkan tantanan demokrasi dalam Indonesia
merdeka. Menurut Soekarno dan Hatta, demokrasi yang diinginkan Negara
Indonesia yang pada waktu itu sedang diperjuangkan kemerdekaannya, yakni,
bukan demokrasi liberal yang biasanya memihak golongan yang kuat sosial
ekonominya. Selain itu bung Karno menandaskan bahwa Negara Indonesia
tidak didirikan sebagai tempat merajalelanya kaum kapitalis sehingga
kesejahteraan hanya terpusat pada segelintir golongan tertentu.
Indonesia didirikan untuk menjamin meratanya kesejahteraan seluruh
rakyatnya. Negar ini didirikan juga untuk mewujudkan terjaminnya hak sosial
kewarganera dan tercapai nya suatu demokrasi ekonomi sebagai mana
penegasan bung Karno bahwa “saudara-saudara, saya usulkan: kalau kita
mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ekomische democratie

63
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” Demokrasi Indonesia
adalah kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat 2
amandemen ke 3 UUD 1945. Kedaulatan rakyat dalam rangka Indonesia
menurut bung Hatta berarti; “….bahwa kedaulatan ada pada rakyat.
Segala hukum (recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar
pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang
banyak, dan aturan kehidupan harulah sempurna dan berbahagia bagi rakyat
kalau ia beralaskan kedaulatan rakyat.”
Sementara bila dihubungkan dengan filsafat bangsa Indonesia pada
hakiktnya demokrasi Indonesia itu merupakan demokrasi yang dijiwai dan di
integrasikan dengan sila-sila yang terkandung pada Pancasila sebagaai dasar
Negara. Hal itu berarti bahwa hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai
dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, haruslah
menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusian sesuai dengan harkat dan
martabat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan
haruslah pula dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.

64
HAK ASASI MANUSIA
1. Pengertian HAM
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup, tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun, dan berlaku secara universal. Hak ini sifatnya
sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati
yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. Sebagai warga
negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa
membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, hak asasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hakhak tersebut
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Pengertian tersebut dapat
kita baca dalam ABC Teaching Human Rights, yang merumuskan HAM
dengan pengertian, “Human rights could be generally defined as these rights
which are inherent in our nature and without which can not live as human
being”.

2. Sejarah Lahirnya HAM dan Perkembangannya


Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Magna Charta dicetuskan pada 15
Juni 1215 yang mencanangkan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan
absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan
hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta
pertannggungjawabannya di muka hukum.
Dari piagam inilah kemudian lahir doktrin bahwa raja tidak kebal hukum
lagi serta bertanggung jawab terhadap hukum. Pasal 40 pada dari Piagam
Magna Charta yang menegaskan “….. No one will we deny or delay, right or
justice” (…..Tidak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda
tegaknya hak atau keadilan). Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti
oleh perkembangan yang lebih konkrit, dengan lahirnya Bill of Rights di
Inggris pada tahun 1689. Kehadiran Bill of Rights telah menghasilkan asas
persamaaan yang harus diwujudkan, betapapun berat resiko yang dihadapi,
karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.
Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori “kontrak
sosial” oleh J.J Rousseau. Ia menyatakan bahwa “Tidaklah masuk akal apabila
manusia menyerahkan kebebasannya untuk perbudakan dan maka peserta
kontrak haruslah bebas”. Setelah itu kemudian disusul oleh Mountesquieu
dengan doktrin trias politikanya yang terkenal yang terkenal yang
mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk mencegah tirani. Selanjutnya
disusul lagi oleh John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di AS dengan
gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan. Perkembangan
HAM selanjutanya ditandai dengan kemunculan The American Declartaion of
Independence di Amerika Serikat yang lahir dari semangat paham J.J
Rousseau dan Mountesquieu. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia
adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk akal
bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
Hak-hak manusia yang dirumuskan sepanjang abad ke -17 dan 18 ini
sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law),
seperti yanag dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan J.J Rousseau
(1712-1278) dan hanya membatasi pada hak-hak yang bersifat politisi saja,

65
seperti kesamaan hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Akan tetapi, pada abad ke-20 hak-hak politik ini dianggap kurang sempurna.
Dan mulailah dicetuskan hak-hak lain yang lebih luas cakupannya. Satu
diantara yang sangat terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh Presiden
Amerika Serikat F.D Roosevelt pada awal Perang Dunia II; The Four
Freedom.
The Four Freedom dari Presiden Rooosevelt ini yang dinyatakan pada 6
Januari 1941, yang isinya sebagai berikut:
The first is freedom of speech and expression every where in the world.
The second is freedom of every person to worship God in his own way
every where in the world. The third is freedom from want which,
translated into world terms, mean economic understandings which will
secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants every
where in the world. The fourth is freedom from fear which, translated
into world terms, mean a worldwide reduction of armaments to such a
point and in such a trought fashion that no nation will any neighbor
anywhere in the world.”
Artinya: Pertama, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Kedua,
kebebasan memeluk agama dan beribadah (menyembah Tuhan), sesuai
dengan ajaran agama yang dipeluknya. Ketiga, kebebasan dari kemiskina
dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang
damai dan sejahtera bagi penduduknya. Keempat, kebebasan dari ketakutan,
yang meliputi usaha pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun
bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan melakukan serangan
terhadap tetangganya.

3. Macam-macam HAM
a) Hak Asasi Pribadi (Personal Right):
 Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah
tempat
 Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
 Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
 Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan
agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
b) Hak Asasi Politik (Political Right):
 Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
 Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
 Hak membuat dan mendirikan parpol/partai politik dan
organisasi politik lainnya
 Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c) Hak Asasi Hukum (Legal Equality Right):
 Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan
 Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil/pns
 Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
d) Hak Asasi Ekonomi (Economy Property Rigths):
 Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli - Hak kebebasan
mengadakan perjanjian kontrak
 Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa,
hutang-piutang, dll
 Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

66
 Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
e) Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights):
 Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
 Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum
f) Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right):
 Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
 Hak mendapatkan pengajaran
 Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat
dan minat

4. Hukum HAM di berbagai Negara


a) Hukum HAM di Yunani
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348
SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya
hak-hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk
melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak
mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM)
mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada
kemauan dan kehendak warga negaranya.
b) Hukum HAM di Inggris.
Inggris sering disebut-sebut sebagai Negara pertama di dunia
yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi
kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut
tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil
disusun dan disahkan.Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal
adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang
bertindak sewenangwenang terhadap rakyat dan para bangsawan.
Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan
rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak
Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna
Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni
1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan
hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak
seorang pun dari warga Negara merdeka dapat ditahan atau dirampas
harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun
dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum.
Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih
sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh
pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya
perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa
hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada
kekuasaan raja. Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
 Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati
kemerdekaan, hak, dan kebebasan gereja Inggris.
 Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk
memberikan hak-hak sebagi berikut:
 Para petugas keamanan dan pemungut pajak berjanji akan
menghormati hak-hak penduduk.
 Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa
bukti dan saksi yang sah.

67
 Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap,
dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa
alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
 Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur
ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

Petition Of Rights
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai
hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan
kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar
menuntut hak-hak sebagai berikut:
 Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
 Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
 Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan
damai.

Hobeas Corpus Act


Hobeas Corpus Act adalah undang-undang yang mengatur tentang
penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679.
Isinya adalah sebagai berikut:
 Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah
penahanan
 Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut
hukum

Bill Of Rights
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan
diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang:
 Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
 Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
 Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin
parlemen
 Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan
masing-masing
 Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja

c) Hukum HAM di Amerika Serikat:


Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak
alam, seperti hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty,
and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat
Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun
1776. Pemikiran John Locke mengenai hak- hak dasar ini terlihat jelas
dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan
Declaration of Independence of The United States.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4
Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi
oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak-hak asasi manusia
karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa
diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia
dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan
untuk menikmati kebahagiaan.

68
John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia
telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan
bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status
warga, Locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai
warga negara hakhak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan
Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan
hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi
rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau.
Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika
Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia
adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.

Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan”


yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari
1941 yakni :
 Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of
speech and expression)
 Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya (freedom of religion)
 Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear)
 Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want)

Kebebasan-kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari


kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme
Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan-kebebasan tersebut juga
merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai
perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini
pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang
paling pokok dan mendasar.

d) Hukum HAM di Perancis


Perjuangan hak asasi manusia di Perancis dirumuskan dalam suatu
naskah pada awal Revolusi Perancis. Perjuangan itu dilakukan untuk
melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal
dengan “Decaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen” yaitu
pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan
yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan,
kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite,
fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia
masyarakat Perancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika
meletus dan mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de
I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi
manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Perancis yang
kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga
dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini diprakarsai
pemikir-pemikir besar seperti: J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu.
Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain:
1) Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka
2) Manusia mempunyai hak yang sama

69
3) Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain
4) Warga Negara mempunyai hak yang sama
5) Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut
undang-undang
6) Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan
7) Manusia merdeka mengeluarkan pikiran
8) Adanya kemerdekaan surat kabar
9) Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat
10) Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul
11) Adanya kemerdekaan bekerja, berdagang, dan melaksanakan
kerajinan
12) Adanya kemerdekaan rumah tangga
13) Adanya kemerdekaan hak milik
14) Adanya kemedekaan lalu lintas
15) Adanya hak hidup dan mencari nafkah

5. Hukum HAM di Indonesia


Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi seandainya di sebuah
bangsa tidak ada peraturan hukum? Atau mungkin peraturan hukum
sudah ada, namun apa yang akan terjadi apabila di negara-bangsa
tersebut tidak ada upaya penegakan hukum? Benarkah penegakan hukum
itu penting dan diperlukan? Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu,
bahwa sudah sejak lama Cicero menyatakan Ubi Societas Ibi Ius, di mana
ada masyarakat, di sana ada hukum. Bahkan, apabila kita kaji kitab suci
yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Anda pasti akan
menemukan betapa banyak aturanaturan yang dinyatakan dalam setiap
ayat kitab suci tersebut. Namun, tampaknya ada peraturan hukum saja
tidak cukup. Tahap yang lebih penting adalah penegakan dan kepastian
hukum.
Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan hukum
demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat. Apa yang tertera
dalam peraturan hukum (pasal-pasal hukum material) seyogianya dapat
terwujud dalam proses pelaksanaan/penegakan hukum di masyarakat.
Dengan kata lain, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat
sehingga masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak
dan kewajibannya.

Mari kita perhatikan kasus yang terjadi di masyarakat sebagai berikut.

Kasus Sandal Jepit Ketidakadilan bagi Masyarakat Kecil Ada


sesuatu hal yang menarik yang terjadi di Negara ini dalam sidang
kasus ‘Sandal Jepit’’ dengan terdakwa siswa SMK di pengadilan
Negeri Palu. Sungguh ironi, ketika seorang anak diancam hukuman
lima tahun penjara akibat mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad
Rusdi Harahap dan Briptu Simson Sipayung, anggota Brimob
Polda Sulteng pada Mei 2011 lalu sehingga terjadi gerakan
pengumpulan 1.000 sandal jepit di berbagai kota di Indonesia.
Bahkan media asing seperti Singapura dan Washington Post dari
Amerika Serikat menyoroti sandal jepit sebagai simbol baru
ketidakadilan di Indonesia dengan berbagai judul berita seperti
‘’Indonesians Protest With FlipFlops’’,’’Indonesians have new symbol

70
for injustice: sandals’’, ‘’Indonesians dump flip flops at police station
in symbol of frustration over uneven justice’’, serta ‘’Indonesia fight
injustice with sandals’’. Sumber:
http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/

Bagaimana pendapat Anda setelah menyimak kasus di atas?


Setujukah Anda dengan tindakan pihak pengadilan terhadap perbuatan
siswa SMK? Bagaimana dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak? Apakah perbuatan siswa SMK dapat
dibenarkan dalam sistem hukum di Indonesia? Dari fakta tersebut sangat
jelas bahwa keberadaan hukum dan upaya penegakannya sangat penting.
Ketiadaan penegakan hukum, terlebih tidak adanya aturan hukum akan
mengakibatkan kehidupan masyarakat “kacau” (chaos). Negara-Bangsa
Indonesia sebagai negara modern dan menganut sistem demokrasi
konstitusional, telah memiliki sejumlah peraturan perundangan,
lembaga-lembaga hukum, badan-badan lainnya, dan aparatur penegak
hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan secara terus
meneru.

71
GEOPOLITIK INDONESIA
(WAWASAN NUSANTARA)

Geopolitik dapat diartikan sebagai sistem politik atau


peraturan-peraturan dalam wujud kebijakan dan strategi nasional yang
didorong oleh aspirasi nasional geografik (pertimbangan geografi, wilayah
teritorial) suatu negara, yang jika dilaksanakan akan berdampak langsung
atau tidak langsung pada sistem politik suatu negara. Sebaliknya politik
negara tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga akan berdampak
pada geografi negara yang bersangkutan (Kaelan, 2007: 122).
Jika dirunut dari asal katanya, geopolitik berasal dari kata geo berarti
bumi dan politik berarti pengaturan hidup bersama. Geopolitik dengan
demikian adalah pengaturan dan pengelolaan (politik) yang berkenaan dan
berlangsung di atas letak tanah wilayah geografis di bumi itu sendiri (Tim,
1980: 34).
Istilah geopolitik semula diartikan oleh Ratzel sebagai ilmu bumi politik
(political geography). Istilah ini kemudian dikembangkan dan diperluas oleh
ilmuwan politik Swedia, Kjellen (1864-1922) dan Haushofer (1869-1964) dari
Jerman menjadi Geografical Politics dan disingkat Geopolitik. Perbedaan
istilah tersebut terletak pada tekanan politik atau geografi. Ilmu politik bumi
(political geography) lebih menekankan dan mempelajari geografi dari aspek
politik, sedangkan geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek
geografi.

A. Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia


Geopolitik Indonesia didasarkan pada nilai-nilai yang tercantum dalam
sila-sila Pancasila, khususnya pada nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Hal itu jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang cinta damai namun lebih cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia
menentang penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Geopolitik dalam kontek Indonesia kerap kali disebut dengan istilah
wawasan nusantara. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat
tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN, wawasan nusantara adalah:
“...wawasan yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan
Undang-Undang 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara untuk mencapai tujuan
nasional.”

Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia


mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan
wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara mencapai tujuan nasional (dalam Soemarsono, dkk., 2001: 82).

72
B. Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Wawasan
Nusantara
Ada sumber historis (sejarah), sosiologis, dan politis terkait dengan
munculnya konsep Wawasan Nusantara. Sumber-sumber itu
melatarbelakangi berkembangnya konsepsi Wawasan Nusantara.
1. Latar Belakang Historis Wawasan Nusantara
Lahirnya konsepsi wawasan nusantara bermula dari Perdana Menteri
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang pada tanggal 13 Desember 1957
mengeluarkan deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi
Djuanda. Isi deklarasi tersebut sebagai berikut:
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulaupulau yang termasuk Negara Indonesia
dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan
pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan
mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar
tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan
keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan
teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulaupulau
Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan
diatur selekas-lekasnya dengan Undang-Undang"

Isi pokok deklarasi ini adalah bahwa lebar laut teritorial Indonesia 12
mil yang dihitung dari garis yang menghubungkan pulau terluar
Indonesia. Dengan garis teritorial yang baru ini wilayah Indonesia
menjadi satu kesatuan wilayah. Laut di antara pulau bukan lagi sebagai
pemisah, karena tidak lagi laut bebas, tetapi sebagai penghubung pulau.
Sebelum keluarnya Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia didasarkan
pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO
1939) atau dikenal dengan nama Ordonansi 1939, sebuah peraturan
buatan pemerintah Hindia Belanda. Isi Ordonansi tersebut pada intinya
adalah penentuan lebar laut lebar 3 mil laut dengan cara menarik garis
pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat.
Dengan peraturan zaman Hindia Belanda tersebut, pulau-pulau di
wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau
hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Laut
setelah garis 3 mil merupakan lautan bebas yang berarti kapal asing boleh
dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Laut
dengan demikian menjadi pemisah pulau-pulau di Indonesia.
Guna memperkuat kedaulatan atas wilayah negara tersebut
dibentuklah undang-undang sebagai penjabarannya. Setelah keluarnya
Deklarasi Djuanda 1957 dibentuklah Undang-Undang No. 4 Prp Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Sampai saat ini telah banyak peraturan
perundangan yang disusun guna memperkuat kesatuan wilayah
Indonesia.
Tidak hanya melalui peraturan perundangan nasional, bangsa
Indonesia juga memperjuangkan konsepsi wawasan nusantara berdasar
Deklarasi Djuanda ini ke forum internasional agar mendapat pengakuan

73
bangsa lain atau masyarakat internasional. Melalui perjuangan panjang,
akhirnya Konferensi PBB tanggal 30 April 1982 menerima dokumen yang
bernama “The United Nation Convention on the Law of the Sea”
(UNCLOS). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut diakui asas
Negara Kepulauan (Archipelago State). Indonesia diakui dan diterima
sebagai kelompok negara kepulauan, Indonesia. UNCLOS 1982 tersebut
kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985.
Berdasar konvensi hukum laut tersebut, wilayah laut yang dimiliki
Indonesia menjadi sangat luas, yakni mencapai 5,9 juta km2, terdiri atas
3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 perairan zona ekonomi
eksklusif (ZEE). Luas perairan ini belum termasuk landas kontinen
(continent shelf).

2. Latar Belakang Sosiologis Wawasan Nusantara


Berdasar sejarah, wawasan nusantara bermula dari wawasan
kewilayahan. Ingat Deklarasi Djuanda 1957 sebagai perubahan atas
Ordonansi 1939 berintikan mewujudkan wilayah Indonesia sebagai satu
kesatuan wilayah, tidak lagi terpisah-pisah. Sebagai konsepsi kewilayahan,
bangsa Indonesia mengusahakan dan memandang wilayah sebagai satu
kesatuan. Namun seiring tuntutan dan perkembangan, konsepsi wawasan
nusantara mencakup pandangan akan kesatuan politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan, termasuk persatuan sebagai satu
bangsa. Sebagaimana dalam rumusan GBHN 1998 dikatakan
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini berarti lahirnya
konsep wawasan nusantara juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosiologis
masyarakat Indonesia. Tahukah anda bahwa bangsa Indonesia itu
beragam dan terpecah-pecah sebelum merdeka? Bahkan antarbangsa
Indonesia sendiri mudah bertikai dan diadu domba oleh Belanda melalui
politik devide et impera.
Berdasar pada kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, wawasan
nusantara yang pada awalnya berpandangan akan “kesatuan atau
keutuhan wilayah” diperluas lagi sebagai pandangan akan “persatuan
bangsa”. Bangsa Indonesia tidak ingin lagi terpecah-pecah dalam banyak
bangsa. Untuk mewujudkan persatuan bangsa itu dibutuhkan penguatan
semangat kebangsaan secara terus menerus. Semangat kebangsaan
Indonesia sesungguhnya telah dirintis melalui peristiwa Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1908, ditegaskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928, dan berhasil diwujudkan dengan Proklamasi Kemerdekaan bangsa
pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, jauh sebelum Deklarasi
Djuanda 1957, konsep semangat dan kesatuan kebangsaan sudah tumbuh
dalam diri bangsa. Bahkan semangat kebangsaan inilah yang berhasil
membentuk satu bangsa merdeka.
Hal di atas, keadaan sosiologis masyarakat Indonesia dan juga
keberlangsungan penjajahan yang memecah belah bangsa, telah
melatarbelakangi tumbuhnya semangat dan tekad orang-orang di wilayah
nusantara ini untuk bersatu dalam satu nasionalitas, satu kebangsaan
yakni bangsa Indonesia. Semangat bersatu itu pada awalnya adalah

74
bersatu dalam berjuang membebaskan diri dari penjajahan, dan
selanjutnya bersatu dalam wadah kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya bagaimana mempertahankan semangat kebangsaan dan
pandangan bersatu sebagai bangsa? Ketika bangsa Indonesia merdeka
tahun 1945 dengan dilandasi semangat kebangsaan dan rasa persatuan
sebagai satu bangsa, ternyata wilayahnya belum merupakan satu kesatuan.
Wilayah negara Indonesia merdeka di tahun 1945 masih menggunakan
peraturan lama yakni Ordonansi 1939, di mana lebar laut teritorial
Indonesia adalah 3 mil tiap pulau. Akibatnya, wilayah Indonesia masih
terpecah dan dipisahkan oleh lautan bebas. Oleh sebab itu, perlu
diupayakan bagaimana agar terjadi satu kesatuan wilayah guna
mendukung semangat kebangsaan ini. Salah satunya dengan konsep
wawasan nusantara yang diawali dengan keluarnya Deklarasi Djuanda
1957. Dengan demikian Wawasan Nusantara tidak hanya wawasan
kewilayahan tetapi juga berkembang sebagai wawasan kebangsaan. Esensi
wawasan nusantara tidak hanya kesatuan atau keutuhan wilayah tetapi
juga persatuan bangsa.

3. Latar Belakang Politis Wawasan Nusantara


Dari latar belakang sejarah dan kondisi sosiologis Indonesia
sebagaimana telah dinyatakan di atas, Anda dapat memahami betapa
perlunya wawasan nusantara bagi bangsa Indonesia. Selanjutnya secara
politis, ada kepentingan nasional bagaimana agar wilayah yang utuh dan
bangsa yang bersatu ini dapat dikembangkan, dilestarikan, dan
dipertahankan secara terus menerus.
Kepentingan nasional itu merupakan turunan lanjut dari cita-cita
nasional, tujuan nasional, maupun visi nasional. Cita-cita nasional bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea II
adalah untuk mewujudkan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur sedangkan tujuan nasional Indonesia
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV salah
satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
Visi nasional Indonesia menurut ketetapan MPR No VII/MPR/2001
tentang Visi Indonesia Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera,
maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.
Wawasan nusantara yang bermula dari Deklarasi Djuanda 1957
selanjutnya dijadikan konsepsi politik kenegaraan. Rumusan wawasan
nusantara dimasukkan dalam naskah Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagai hasil ketetapan MPR mulai tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Setelah GBHN tidak berlaku disebabkan MPR tidak lagi diberi
kewenangan menetapkan GBHN, konsepsi wawasan nusantara
dimasukkan pada rumusan Pasal 25 A UUD NRI 1945 hasil Perubahan
Keempat tahun 2002. Cobalah Anda telusuri kembali rumusan-rumusan
Wawasan Nusantara tersebut sejak dari GBHN 1973 sampai rumusan
GBHN 1998.
Wawasan nusantara pada dasarnya adalah pandangan geopolitik
bangsa Indonesia. Apa itu geopolitik? Geopolitik berasal dari bahasa
Yunani, dari kata geo dan politik. “Geo” berarti bumi dan “Politik” politeia,
berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri (negara) dan teia yang

75
berarti urusan. Sementara dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu
rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk
mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Tindakan, cara dan perilaku
masyarakat dipengaruhi oleh kondisi geografi tempat masyarakat hidup.
Selanjutnya geopolitik dipandang sebagai studi atau ilmu. Geopolitik

C. Esensi dan Urgensi Wawasan Nusantara


Sebagaimana telah dikemukakan di muka, esensi atau hakikat dari
wawasan nusantara adalah “kesatuan wilayah dan persatuan bangsa”
Indonesia. Mengapa perlu kesatuan wilayah? Mengapa perlu persatuan
bangsa? Sebelumnya Anda telah mengkaji bahwa sejarah munculnya wawasan
nusantara adalah kebutuhan akan kesatuan atau keutuhan wilayah Indonesia
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu harus merupakan
satu kesatuan, tidak lagi terpisah-pisah oleh adanya lautan bebas. Sebelumnya
kita ketahui bahwa wilayah Indonesia itu terpecah-pecah sebagai akibat dari
aturan hukum kolonial Belanda yakni Ordonansi 1939. Baru setelah adanya
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, wilayah Indonesia barulah
merupakan satu kesatuan, di mana laut tidak lagi merupakan pemisah tetapi
sebagai penghubung.
Wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki keunikan antara lain:
a. Bercirikan negara kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah
17.508 pulau.
b. Luas wilayah 5.192 juta km2 dengan perincian daratan seluas 2.027
juta km2 dan laut seluas 3.166 juta km2. Negara kita terdiri 2/3 lautan
/ perairan
c. Jarak utara selatan 1.888 km dan jarak timur barat 5.110 km
d. Terletak diantara dua benua dan dua samudra (posisi silang)
e. Terletak pada garis katulistiwa
f. Berada pada iklim tropis dengan dua musim
g. Menjadi pertemuan dua jalur pegunungan yaitu Mediterania dan
Sirkum Pasifik
h. Berada pada 60 LU- 110 LS dan 950 BT – 1410 BT
i. Wilayah yang subur dan habittable (dapat dihuni)
j. Kaya akan flora, fauna, dan sumberdaya alam

Wawasan nusantara yang pada awalnya sebagai konsepsi kewilayahan


berkembang menjadi konsepsi kebangsaan. Artinya wawasan nusantara tidak
hanya berpandangan keutuhan wilayah, tetapi juga persatuan bangsa. Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen. Heterogenitas bangsa
ditandai dengan keragaman suku, agama, ras, dan kebudayaan. Bangsa yang
heterogen dan beragam ini juga harus mampu bersatu. Cobalah anda
kemukakan mengapa bangsa Indonesia yang beragam ini harus kita pandang
sebagai satu kesatuan?
Bangsa Indonesia sebagai kesatuan juga memiliki keunikan yakni:
1. Memiliki keragaman suku, yakni sekitar 1.128 suku bangsa (Data BPS,
2010)
2. Memiliki jumlah penduduk besar, sekitar 242 juta (Bank Dunia, 2011)
3. Memiliki keragaman ras
4. Memiliki keragaman agama
5. Memiliki keragaman kebudayaan, sebagai konsekuensi dari
keragaman suku bangsa

76
Konsep Wawasan Nusantara menciptakan pandangan bahwa Indonesia
sebagai satu kesatuan wilayah merupakan satu kesatuan politik, sosial budaya,
ekonomi serta pertahanan dan keamanan. Atau dengan kata lain perwujudan
wawasan nusantara sebagai satu kesatuan politik, sosialbudaya, ekonomi dan
pertahanan dan keamanan. Pandangan demikian penting sebagai landasan
visional bangsa Indonesia terutama dalam melaksanakan pembangunan.

1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik


Memiliki makna:
1) Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya
merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan
matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.
2) Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan
berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini
berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang
seluasluasnya.
3) Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib
sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad
dalam mencapai cita-cita bangsa.
4) Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa
dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa
menuju tujuannya.
5) Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan
satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
6) Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan
sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang
mengabdi kepada kepentingan nasional.
7) Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa
lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik
luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan
menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal
tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat, aspiratif, dan
terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
Memiliki makna:
1) Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif
adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup
sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
2) Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh
daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam
pengembangan kehidupan ekonominya.
3) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan
satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat

77
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan
menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata.
Di samping itu, implementasi wawasan nusantara pada asepek ekonomi
mencerminkan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam yang
memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta
kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial


Budaya
Memiliki makna:
1) Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus
merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat
kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya
keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa.
2) Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan
corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang
menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya,
dengan tidak menolak nilai–nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan
nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan
menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk
perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia Tuhan. Implementasi
ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan
bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,
serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia tidak menolak
nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya
bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
4. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan
Pertahanan dan Keamanan
Memiliki makna:
1) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada
hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
2) Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan
keamanan akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang
lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada tiap warga negara
Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara
ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga
negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman. Berdasar
uraian di atas, wawasan nusantara berfungsi sebagai wawasan pembangunan.
Bahwa pembangunan nasional hendaknya mencakup pembangunan dalam
bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan secara
terpadu, utuh dan menyeluruh.

78
GEOSTRATEGI INDONESIA
(KETAHANAN NASIONAL)

Ketahanan nasional (national resilience) merupakan salah satu konsepsi


kenegaraan Indonesia. Ketahanan sebuah bangsa pada dasarnya dibutuhkan
guna menjamin serta memperkuat kemampuan bangsa yang bersangkutan
baik dalam rangka mempertahankan kesatuannya, menghadapi ancaman
yang datang maupun mengupayakan sumber daya guna memenuhi kebutuhan
hidup. Dengan demikian, ketahanan bangsa merupakan kemampuan suatu
bangsa untuk mempertahankan persatuan dan kesatuannya, memperkuat
daya dukung kehidupannya, menghadapi segala bentuk ancaman yang
dihadapinya sehingga mampu melangsungkan kehidupannya dalam mencapai
kesejahteraan bangsa tersebut. Konsepsi ketahanan bangsa ini dalam konteks
Indonesia dirumuskan dengan nama Ketahanan Nasional disingkat Tannas.
Upaya menyelenggarakan ketahanan nasional ini dapat diwujudkan dengan
belanegara.

A. Konsep dan Urgensi Ketahanan Nasional dan Bela Negara.


Istilah Ketahanan Nasional memang memiliki pengertian dan cakupan
yang luas. Sejak konsep ini diperkenalkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional
Republik Indonesia (Lemhanas RI) pada sekitar tahun 1960-an, terjadi
perkembangan dan dinamika konsepsi ketahanan nasional sampai sekarang
ini. Marilah kita telusuri istilah ketahanan nasional ini.
Secara etimologi, ketahanan berasal dari kata “tahan” yang berarti tabah,
kuat, dapat menguasai diri, gigih, dan tidak mengenal menyerah. Ketahanan
memiliki makna mampu, tahan, dan kuat menghadapi segala bentuk
tantangan dan ancaman yang ada guna menjamin kelangsungan hidupnya.
Sedangkan kata “nasional” berasal dari kata nation yang berarti bangsa
sebagai pengertian politik. Bangsa dalam pengertian politik adalah
persekutuan hidup dari orang–orang yang telah menegara. Ketahanan
nasional secara etimologi dapat diartikan sebagai mampu, kuat, dan tangguh
dari sebuah bangsa dalam pengertian politik. Bagaimana dengan pengertian
ketahanan nasional secara terminologi?

1. Wajah Ketahanan Nasional Indonesia


Gagasan pokok dari ajaran Ketahanan Nasional adalah bahwa suatu
bangsa atau negara hanya akan dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya apabila negara atau bangsa itu memiliki ketahanan nasional.
Sekarang cobalah Anda refleksikan pada diri sendiri. Seseorang akan mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya hanya apabila orang tersebut
memiliki ketahanan diri. Benarkah demikian? Apakah sebenarnya yang
dimaksud Ketahanan Nasional atau disingkat Tannas itu?
Menurut salah seorang ahli ketahanan nasional Indonesia, GPH S.
Suryomataraman, definisi ketahanan nasional mungkin berbeda-beda karena
penyusun definisi melihatnya dari sudut yang berbeda pula. Menurutnya,
ketahanan nasional memiliki lebih dari satu wajah, dengan perkataan lain
ketahanan nasional berwajah ganda, yakni ketahanan nasional sebagai
konsepsi, ketahanan nasional sebagai kondisi dan ketahanan nasional sebagai
strategi (Himpunan Lemhanas, 1980).

79
Berdasar pendapat di atas, terdapat tiga pengertian ketahanan nasional
atau disebut sebagai wajah ketahanan nasional yakni: (1) ketahanan nasional
sebagai konsepsi atau doktrin; (2) ketahanan nasional sebagai kondisi; (3)
ketahanan nasional sebagai strategi, cara atau pendekatan.
Untuk dapat memahami ketahanan nasional sebagai suatu konsepsi,
pengertian pertama, perlu diingat bahwa ketahanan nasional adalah suatu
konsepsi khas bangsa Indonesia yang digunakan untuk dapat menanggulangi
segala bentuk dan macam ancaman yang ada. Konsepsi ini dibuat dengan
menggunakan ajaran “Asta Gatra”. Oleh karena itu, konsepsi ini dapat
dinamakan “Ketahanan nasional Indonesia berlandaskan pada ajaran Asta
Gatra”. Bahwa kehidupan nasional ini dipengaruhi oleh dua aspek yakni aspek
alamiah yang berjumlah tiga unsur (Tri Gatra) dan aspek sosial yang
berjumlah lima unsur (Panca Gatra). Tri Gatra dan Panca Gatra digabung
menjadi Asta Gatra, yang berarti delapan aspek atau unsur.
Apakah ketahanan nasional dalam pengertian pertama ini dapat dianggap
sebagai doktrin? Dikatakan lanjut oleh GPH S. Suryomataraman, bahwa
apabila bangsa Indonesia ini tidak hanya menganggap ketahanan nasional
sebagai konsepsi tetapi sudah merupakan suatu kebenaran yang dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan, maka
ketahanan nasional telah dianggap sebagai doktrin.
Ketahanan nasional sebagai kondisi, pengertian kedua, sebagai ilustrasi,
apabila kita mengatakan bahwa ketahanan nasional Indonesia pada masa kini
lebih tinggi tingkatannya dibanding tahun lalu. Kondisi Indonesia tersebut
diukur dengan menggunakan konsepsi ketahanan nasional Indonesia yakni
ajaran Asta Gatra. Ketahanan nasional nasional dirumuskan sebagai kondisi
yang dinamis, sebab kondisi itu memang senantiasa berubah dalam arti dapat
meningkat atau menurun. Jadi kondisi itu tidak bersifat statis. Ketahanan
nasional sebagai strategi, pengertian tiga, berkaitan dengan pertanyaan
tentang apa sebab dan bagaimana Indonesia bisa “survive” walaupun
menghadapi banyak ancaman dan bahaya. Jawaban sederhana adalah karena
bangsa Indonesia menggunakan strategi “ketahanan nasional”. Jadi, dalam
pengertian ketiga ini, ketahanan nasional dipandang sebagai cara atau
pendekataan dengan menggunakan ajaran Asta Gatra, yang berarti
mengikutsertakan segala aspek alamiah dan sosial guna diperhitungkan
dalam menanggulangi ancaman yang ada.
Tentang tiga wajah ketahanan nasional ini selanjutnya berkembang dan
terumuskan dalam dokumen kenegaraan, misalnya pada naskah GarisGaris
Besar Haluan Negara (GBHN). Pada naskah GBHN tahun 1998 dikemukakan
definisi ketahanan nasional, sebagai berikut:
1. Untuk tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional yang
selalu harus menuju ke tujuan yang ingin dicapai dan agar dapat secara
efektif dielakkan dari hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan yang
timbul baik dari luar maupun dari dalam maka pembangunan nasional
diselenggarakan melalui pendekatan Ketahanan Nasional yang
mencerminkan keterpaduan antara segala aspek kehidupan nasional
bangsa secara utuh dan menyeluruh.
2. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis yang merupakan integrasi
dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakikatnya
ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa
untuk dapat menjamin kelangsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan
negara. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan

80
ketahanan nasional. Selanjutnya Ketahanan Nasional yang tangguh akan
mendorong pembangunan nasional.
3. Ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik,
ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan pertahanan
keamanan.
a. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang
berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang
mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara
persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal
penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa.
b. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia
yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandung kemampuan
memelihara sistem politik yang sehat dan dinamis serta kemampuan
menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
c. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa
yang berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila
yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang
sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian
ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan
kemakmuran rakyat yang adil dan merata.
d. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan
kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun,
bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam
kehidupan yang serba selaras, serasi, seimbang serta kemampuan
menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan
kebudayaan nasional
e. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa
yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan
keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan
hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara
dan menangkal segala bentuk ancaman.

2. Dimensi dan Ketahanan Nasional Berlapis


Selain tiga wajah atau pengertian ketahanan nasional, ketahanan nasional
Indonesia juga memiliki banyak dimensi dan konsep ketahanan berlapis. Oleh
karena aspek-aspek baik alamiah dan sosial (asta gatra) mempengaruhi
kondisi ketahanan nasional, maka dimensi aspek atau bidang dari ketahanan
Indonesia juga berkembang. Dalam skala nasional dan sebagai konsepsi
kenegaraan, ada istilah ketahanan nasional. Selanjutnya berdasar
aspek-aspeknya, ada ketahanan nasional bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya, pertahanan keamanan. Dari situ kita mengenal istilah ketahanan
politik, ketahanan budaya, ketahanan sosial, ketahanan ekonomi dan
ketahanan keamanan. Jika diperinci lagi pada bidang-bidang kehidupan yang
lebih kecil, kita mengenal istilah ketahanan energi, ketahanan pangan,

81
ketahanan industri, dan sebagainya. Ketahanan nasional berdimensi ini dapat
digambarkan sebagai berikut

Konsep ketahanan nasional berlapis, artinya ketahanan nasional sebagai


kondisi yang kokoh dan tangguh dari sebuah bangsa tentu tidak terwujud jika
tidak dimulai dari ketahanan pada lapisan-lapisan di bawahnya. Terwujudnya
ketahanan pada tingkat nasional (ketahanan nasional) bermula dari adanya
ketahanan diri/individu, berlanjut pada ketahanan keluarga, ketahanan
wilayah, ketahanan regional lalu berpuncak pada ketahanan nasional (Basrie,
2002). Ketahanan nasional berlapis dapat digambarkan sebagai berikut:

3. Bela Negara Sebagai Upaya Mewujudkan Ketahanan Nasional


Istilah bela negara, dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 27 Ayat 3
UUD NRI 1945. Pasal 27 Ayat 3 menyatakan “Setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Dalam buku
Pemasyarakatan UUD NRI 1945 oleh MPR (2012) dijelaskan bahwa Pasal 27
Ayat 3 ini dimaksudkan untuk memperteguh konsep yang dianut bangsa dan
negara Indonesia di bidang pembelaan negara, yakni upaya bela negara bukan
hanya monopoli TNI tetapi merupakan hak sekaligus kewajiban setiap warga
negara. Oleh karena itu, tidak benar jika ada anggapan bela negara berkaitan

82
dengan militer atau militerisme, dan seolah-olah kewajiban dan tanggung
jawab untuk membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 27 Ayat 3 UUD NRI 1945 tersebut dapat disimpulkan
bahwa usaha pembelaan negara merupakan hak dan kewajiban setiap negara
Indonesia. Hal ini berkonsekuensi bahwa setiap warganegara berhak dan
wajib untuk turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pembelaan
negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan
perundang-undangan yang berlaku termasuk pula aktifitas bela negara. Selain
itu, setiap warga negara dapat turut serta dalam setiap usaha pembelaan
negara sesuai dengan kemampuan dan profesi masingmasing. Dalam
Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal 9 ayat 1
disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan
negara”.
Dalam bagian penjelasan Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tersebut
dinyatakan bahwa upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga Negara
yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain
sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap
warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab,
dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
Jika bela negara tidak hanya mencakup perang mempertahankan negara,
maka konsep bela negara memiliki cakupan yang luas. Bela negara dapat
dibedakan secara fisik maupun nonfisik. Secara fisik yaitu dengan cara
"memanggul senjata" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara
secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Pengertian ini
dapat disamakan dengan bela negara dalam arti militer. Sedangkan bela
negara secara nonfisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk
mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara
meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan
terhadap tanah air serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara,
termasuk penanggulangan ancaman.
Bela negara demikian dapat dipersamakan dengan bela negara secara
nonmiliter. Bela negara perlu kita pahami dalam arti luas yaitu secara fisik
maupun nonfisik (militer ataupun nonmiliter). Pemahaman demikian
diperlukan, oleh karena dimensi ancaman terhadap bangsa dan negara
dewasa ini tidak hanya ancaman yang bersifat militer tetapi juga ancaman
yang sifatnya nonmiliter atau nirmiliter. Yang dimaksud ancaman
adalah ”setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam maupun luar negeri yang
dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan segenap bangsa”.
Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan
bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan
keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter pada hakikatnya adalah
ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter, yang dinilai mempunyai
kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan segenap bangsa.

83
B. Alasan Diperlukan Ketahanan Nasional dan Bela Negara
Tahukah Anda tentang negara Yugoslavia? Ya, negara itu sekarang ini
tinggal kenangan. Wilayah itu kini terpecah dalam banyak negara baru,
seperti Bosnia Herzegovina, Kroasia, Serbia, Slovenia, Makedonia, dan
Montenegro. Bahkan Kosovo telah memproklamirkan dirinya sebagai negara
baru meskipun tidak banyak mendapat pengakuan dari negara lain.
Yugoslavia dikenal sebagai negara republik terbesar Semenanjung Balkan.
Merdeka pada tahun 1945 dengan merubah bentuk kerajaan menuju republik
di bawah kepemimpinan Josep Bros Tito. Nama resminya adalah "Republik
Rakyat Federal Yugoslavia" yang berideologi komunis. Namun sejak tahun
1990-an mulai timbul perpecahan dan perang saudara sampai tahun 2001. Di
antara rentang waktu tersebut, negara-negara bagian mulai
memproklamirkan kemerdekaannya. Tanggal 4 Februari 2003, Republik
Federal Yugoslavia dibentuk ulang menjadi Uni Negara Serbia dan
Montenegro. Dengan ini, berakhirlah perjalanan panjang negara Yugoslavia.
Jadilah sekarang ini negara Yugoslavia tinggal kenangan.
Apakah yang menyebabkan kehancuran Yugoslavia? Jawaban
sederhananya adalah karena tidak kuat lagi tingkat ketahanan nasional
negara Yugoslavia, terutama dari segi ketahanan aspek ideologi. Dalam
sejarah dunia, ada banyak contoh negara yang hilang atau bubar ketika
mengarungi kehidupannya. Misalnya negara Cekoslovakia, negara Uni Sovyet.
Dalam lingkup kecil, ketahanan nasional pada aspek-aspek tertentu juga
turut menentukan kelangsungan hidup sebuah bangsa. Masih ingatkah Anda,
pada tahun 1997-1998, ketahanan ekonomi Indonesia tidak kuat lagi dalam
menghadapi ancaman krisis moneter, yang berlanjut pada krisis politik.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketahanan nasional memiliki
banyak dimensi atau aspek, serta adanya ketahanan nasional berlapis.

C. Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Ketahanan Nasional


dan Bela Negara
Terdapat latar belakang sejarah, sosiologis, dan kepentingan nasional
sehingga muncul konsep Ketahanan Nasional ini. Secara historis, gagasan
tentang ketahanan nasional bermula pada awal tahun 1960-an di kalangan
militer angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama SESKOAD (Sunardi,
1997). Masa itu sedang meluasnya pengaruh komunisme yang berasal dari
Uni Sovyet dan Cina. Pengaruh komunisme menjalar sampai kawasan Indo
Cina sehingga satu per satu kawasan Indo Cina menjadi negara komunis
seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja. Tahun 1960-an terjadi gerakan komunis
di Philipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan gerakan komunis
Indonesia mengadakan pemberontakan pada 30 September 1965 namun
akhirnya dapat diatasi.
Sejarah keberhasilan bangsa Indonesia menangkal ancaman komunis
tersebut menginspirasi para petinggi negara (khususnya para petinggi militer)
untuk merumuskan sebuah konsep yang dapat menjawab, mengapa bangsa
Indonesia tetap mampu bertahan menghadapi serbuan ideologi komunis,
padahal negara-negara lain banyak yang berguguran? Jawaban yang
dimunculkan adalah karena bangsa Indonesia memiliki ketahanan nasional
khususnya pada aspek ideologi. Belajar dari pengalaman tersebut, dimulailah
pemikiran tentang perlunya ketahanan sebagai sebuah bangsa.
Pengembangan atas pemikiran awal di atas semakin kuat setelah berakhirnya
gerakan Gerakan 30 September/PKI.

84
Pada tahun 1968, pemikiran di lingkungan SSKAD tersebut dilanjutkan
oleh Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) dengan dimunculkan istilah
kekuatan bangsa. Pemikiran Lemhanas tahun 1968 ini selanjutnya
mendapatkan kemajuan konseptual berupa ditemukannya unsur-unsur dari
tata kehidupan nasional yang berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial dan
militer. Pada tahun 1969 lahirlah istilah Ketahanan Nasional yang intinya
adalah keuletan dan daya tahan suatu bangsa untuk menghadapi segala
ancaman. Kesadaran akan spektrum ancaman ini lalu diperluas pada tahun
1972 menjadi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG).
Akhirnya pada tahun 1972 dimunculkan konsepsi ketahanan nasional yang
telah diperbaharui. Pada tahun 1973 secara resmi konsep ketahanan nasional
dimasukkan ke dalam GBHN yakni Tap MPR No IV/MPR/1978
Berdasar perkembangan tersebut kita mengenal tiga perkembangan
konsepsi ketahanan nasional yakni ketahanan nasional konsepsi 1968,
ketahanan nasional konsepsi 1969, dan ketahanan nasional konsepsi 1972.
Menurut konsepsi 1968 dan 1969, ketahanan nasional adalah keuletan dan
daya tahan, sedang berdasarkan konsepsi 1972, ketahanan nasional
merupakan suatu kondisi dinamik yang berisi keuletan dan ketangguhan. Jika
dua konsepsi sebelumnya mengenal IPOLEKSOM (ideologi, politik, ekonomi,
sosial, militer) sebagai Panca Gatra, konsepsi 1972 memperluas dengan
ketahanan nasional berdasar asas Asta Gatra (delapan gatra). Konsepsi
terakhir ini merupakan penyempurnaan sebelumnya (Haryomataraman
dalam Panitia Lemhanas, 1980). Perkembangan selanjutnya rumusan
ketahanan nasional masuk dalam GBHN sebagai hasil ketetapan MPR yakni
dimulai pada GBHN 1973, GBHN 1978, GBHN 1983, GBHN 1988, GBHN
1993 sampai terakhir GBHN 1998. Rumusan GBHN 1998 sebagaimana telah
dinyatakan di atas merupakan rumusan terakhir, sebab sekarang ini GBHN
tidak lagi digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan
Sekarang ini sebagai pengganti Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang
pada hakekatnya merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden
terpilih. Misalnya dokumen RPJMN 2010-2014 tertuang dalam Peraturan
Presiden RI No. 5 Tahun 2010. Pada dokumen tersebut tidak lagi ditemukan
rumusan tentang ketahanan nasional bahkan juga tidak lagi secara eksplisit
termuat istilah ketahanan nasional. Namun demikian, jika kita telusuri
naskah RPJMN 2010-2014 masih dapat kita temukan kata-kata yang terkait
dengan ketahanan nasional, misal istilah ketahanan pangan
Menilik bahwa rumusan ketahanan nasional tidak ada lagi dalam
dokumen kenegaraan oleh karena GBHN tidak lagi digunakan, apakah dengan
demikian konsepsi ketahanan nasional tidak lagi relevan untuk masa sekarang?
Dengan mendasarkan pengertian ketahanan nasional sebagai kondisi dinamik
bangsa yang ulet dan tangguh dalam menghadapi berbagai ancaman, maka
konsepsi ini tetaplah relevan untuk dijadikan kajian ilmiah. Hal ini
disebabkan bentuk ancaman di era modern semakin luas dan kompleks.
Bahkan ancaman yang sifatnya nonfisik dan nonmiliter lebih banyak dan
secara masif amat mempengaruhi kondisi ketahanan nasional. Misalnya,
ancaman datangnya kemarau yang panjang di suatu daerah akan
mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di daerah yang bersangkutan.
Ketahanan Nasional tetap relevan sebagai kekuatan penangkalan dalam
suasana sekarang maupun nanti, sebab ancaman setelah berakhirnya perang

85
dingin lebih banyak bergeser kearah nonfisik, antara lain; budaya dan
kebangsaan (Sudradjat, 1996: 1-2).
Ketahanan juga mencakup beragam aspek, dimensi atau bidang, misal
istilah ketahanan pangan dan ketahanan energi. Istilah-istilah demikian dapat
kita temukan dalam rumusan RPJMN 2010-2015. Dengan masih digunakan
istilah-istilah tersebut, berarti konsep ketahanan nasional masih diakui dan
diterima, hanya saja ketahanan dewasa ini lebih difokuskan atau ditekankan
pada aspek-aspek ketahanan yang lebih rinci, misal ketahanan pangan dan
ketahanan keluarga.
Sekarang ini, wajah ketahanan yang lebih ditekankan adalah ketahanan
sebagai kondisi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui dalam
kondisi yang bagaimana suatu wilayah negara atau daerah memiliki tingkat
ketahanan tertentu. Tinggi rendahnya ketahanan nasional amat dipengaruhi
oleh unsur-unsur ketahanan nasional itu sendiri. Unsur-unsur tersebut dalam
pemikiran Indonesia dikenal dengan asta gatra yang berarti delapan unsur,
elemen atau faktor. Sekarang ini, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
RI sebagai lembaga negara yang mengembangkan konsep ketahanan nasional
Indonesia, sudah membuat badan khusus yang yang bertugas mengukur
tingkat ketahanan Indonesia. Badan ini dinamakan Laboratorium
Pengukuran Ketahanan Nasional, sebagai bagian dari Lemhanas RI.

86
MATERI PENDALAMAN
(KUIS)

BAGIAN PERTAMA
1. Apa yang dimaksud dengan kewarganegaraan?
2. Mengapa Pancasila menjadi core value bagi Pendidikan Kewarganegaraan?
3. Tuliskan persyaratan suatu negara dikatakan sebagai negara merdeka?
4. Apa pengertian identitas dalam pengertian Yunani kuno?
5. Mengapa identitas nasional menjadi penting dalam konteks
kewarganegaraan?
6. Berilah satu contoh tentang perlakuan rasa adil kepada orang kecil/lemah
yang tidak mendapatkan keadilan! Dan berilah solusi hukumnya.
7. Jelaskan pengertian konstitusi dalam pengertian yang lebih detail!
8. Apa maksud dari demokrasi?
9. Mengapa Indonesia memilih demokrasi Pancasila?
10. Tuliskan minimal dua (2) perbedaan antara demokrasi dan monarkhi.

BAGIAN KEDUA
1. Jelaskan apa pengertian: Hak dan Kewajiban
2. Mengapa Hak tidak boleh diganggu gugat dari pihak dari luar diri
manusia?
3. Tuliskan sejarah yang melatarbelakangi munculnya Hak Asasi Manusia?
4. Apa arti geopolitik?
5. Beri penjelasan lebih rinci tentang pemaknaan Geopolitik menjadi
wawasan nusantara!
6. Tuliskan unsur-unsur Wawasan Nusantara!
7. Apa saja tantangan yang mungkin dan sedang terjadi dalam wawasan
nusantara?
8. Jelaskan pengertian Geostrategi!
9. Tuliskan sifat-sifat Ketahanan Nasional
10. Mengapa Geostrategi dimaknai di Indonesia sebagai Ketahanan Nasional?

87

Anda mungkin juga menyukai