Anda di halaman 1dari 24

2

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

PEMBACA

yang budiman. Selasa, 14


Maret lalu, redaksi modus dikejutkan
dengan kehadiran puluhan mahasiswa
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar
Raniry, Banda Aceh. Jangan salah sangka
dulu, mereka tidak sedang menggelar aksi
demonstarsi atau unjuk rasa.
Sebaliknya, mereka adalah para peserta
pelatihan jurnalistik yang melakukan
kunjungan ke media yang Anda pegang ini.
Kunjungan itu diprakarsai oleh Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAIN Ar
Raniry selaku pelaksana kegiatan. Berbagai

Redaksi
diskusi soal jurnalistik dan perkembagan
media pun terjadi dalam pertemuan singkat
tersebut.
Bukan itu saja pembaca, kepada para
peserta pelatihan yang berminat untuk terjun
ke dunia jurnalistik, kami juga membuka
kesempatan untuk magang bagi mereka di
media yang Anda pegang ini. Adalah
Amarullah, seorang mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurusan dakwah Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) yang telah menggunakan
kesempatan tersebut.

Sejak Sabtu, 11 Maret 2006 lalu, pria


kelahiran 10 Desember 1979 di Aceh Utara,
ini resmi magang di redaksi modus. Tidak
hanya Amarullah, tawaran untuk magang juga
datang dari IAIN Ar Raniry beberapa waktu
lalu, melalui selembar surat resmi. Tapi
entah mengapa sampai kini, belum ada yang
menggunakannya. Intinya pembaca, kami
sangat terbuka untuk berbagi pengalaman
dan pengetahun dengan siapa saja. Tentunya
sebatas kemampuan yang ada. Dan sekarang
selamat membaca.***

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

ak Kaoe
y
Nyak
aoey
Ny

Bugak Ateuh
Beunteung
AK KA
OEY
NYAK
KAOEY
NY

sedih mendengar kisah


dari si Gam Peureukuek yang baru pulang
dari Bagok, Aceh Timur. Di daerah itu
katanya ada seorang pria tua, yang punya
saham di perusahaan yang bernama
Republik Indonesia. Pria itu adalah Teungku
Rajab Leubee Sabi. Untuk membiayai
kehidupan Republik, ia menyetorkan
sahamnya dengan membeli obligasi yang
dikeluarkan pemerintah senilai 11.000, atau
setara dengan 110 manyam emas saat itu.
Bukan hanya Rajab Leubee Sabi, ratusan
pengusaha Aceh lainnya pun pada awal-awal
kemerdekaan tersebut, membeli obligasi
yang dikeluarkan pemerintah. Tapi
sayangnya, jangankan mendapat keuntungan,
saham itu tidak pernah dikembalikan. Kalau
pun ada yang mendapat fasilitas dari
pemerintah, hanya segelintir orang yang
dianggap bisa dikondisikan. Menurut Endatu,
mungkin inilah yang namanya pula bugak
ateuh beunteung, beunteung mantong bugak
hana le, tapula guna bak aneuk ureung, bak
aneuk bajeung guna han leumah.
Malah setelah itu, masyarakat Aceh tak
henti-hentinya ditipu oleh pemerintah dengan
berbagai janji dan embel-embel kosong.
Sementara kekayaannya dikuras terus. Kini
ketika masyarakat Aceh mengusung RUUPA sebagai sebuah jaminan bagi kemakmuran
hidupnya, Jakarta lagi-lagi tidak menunjukkan
keikhlasannya dengan kedok nasionalisme.
Sementara nasionalisme yang ditunjukkan
masyarakat Aceh dari masa ke masa
dikaburkan, kalau tak elok disebut dilupakan.
Nyak Kaoey bilang inilah yang namanya,
awai boh bayeuk dudoe boh birah, pane lom
leumah seuneulhop kana, meunyoe han ek
ta timbon tamah, pane lom leumah gunameuguna. Aceh tak ubahnya bagai raket bak
pisang, galah bak rangkileh, oh lhueh
dijuemeurang kupeu lom guna raket paleh.
Untuk itu, langkah advokasi terhadap
RUU-PA harus terus dilakukan, agar boinah
dan marwah rakyat Aceh terpelihara. Terkait
dengan itu, berbagai hal harus dilakukan,
meski politik itu kadang-kadang tidak
selamanya harus lurus. Ingat kata Endatu
dirhom geutanyoe ngon bajoe, tarhom jih
ngon nuga, dirhom geutanyoe ngon ek lumoe,
tarhom jih ngon ek guda. Intinya, kiban jipeh
geundrang meunan tanari. Yang penting
RUU-PA sebagai jaminan hidup bangsa Aceh
disahkan tanpa ada hal yang dikurangi.
Kembali ke soal obligasi. Hal itu
menunjukkan, bahwa masyarakat Aceh
merupakan rakyat yang sangat setia. Dalam
hadih maja malah watak orang Aceh itu
digambarkan, ureung Aceh meunyoe hana
teupeh boh kreh jeut taraba, tapi meunyoe
ka teupeh bu lubeh han jipeutaba. Ingat
itu!***

Penerbit: PT AGSHA MEDIA MANDIRI. Bank Account: Bank BPD Aceh, PT. Agsha Media Mandiri, 01.05.641993.1, Alamat Redaksi: Jln.
Pasar Pagi No. 01. Komp. Beurawe Shopping Center, Banda Aceh; Telepon: 0651-29508, 0651-7407175, Faks.: 0651-29508, e-mail:
modus_aceh@yahoo.com, Biro Lhokseumawe; Jl. Tumpok Teureundam No. 17, Pasar Inpres, Lhokseumawe Penanggungjawab/Pemimpin
Redaksi: Muhammad Saleh, Konsultan Hukum: Ansharullah Ida, SH, Redaktur Khusus: Ir. Basri Ali, Sekretaris Redaksi: Iskandar
Norman, Liputan: Banda Aceh; Umri P, Davi Abda, Gayo Lues; FIrdaus JP, Sigli; Idris Ismail, Meulaboh; Muzakkir, Takengon; Jurnalisa,
Sabang; Z. Ky, Bireuen; Suryadi, Ikhwati, Langsa; Abu Bakar Sidiq, Indra Buana, Kutacane; Asnawi, Lhokseumawe; Murthalamuddin
(Ka. Biro), Muhajir, Lyona VK, Siti Aima, Hafifuddin (Ka. Sirkulasi), Tata Letak: Khairul Umami, Ilustrasi: Husniarsyah, Pemasaran/
Sirkulasi: Firdaus, Pipit W, Iklan: Nurmala, Tata Usaha: Al Misbah (kepala) M Ichsan, Armedi, Keuangan: Fitriani.
(Redaksi menerima sumbangan tulisan yang sesuai dengan misi tabloid ini. Tulisan diketik dua spasi, maksimal lima halaman kuarto. Redaksi berhak merubah isi tulisan
tanpa menghilangkan makna, arti dan substansi dari tulisan tersebut)
Dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik, wartawan MODUS dibekali dengan Kartu Pers. Tidak dibenarkan menerima atau meminta apapun dalam bentuk apapun dari siapapun.

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Catatan

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Tuhan Tak Bermain Dadu


PEKAN ini, emosi saya mungkin juga Anda

Muhammad Saleh

Dalam konteks
pembunuhan Yuli,
heboh khalwat
Nazariah dan
pemisahan penonton
show Radja & Ratu.
Bagi saya tak lebih
kurang beratnya
dengan mereka yang
ingin melenyapkan
Tuhan dan
mengajukan
semacam Teori
Segala Sesuatu
(Theory of
Everythingred).
Padahal, alam
semesta ini juga
memiliki keunikan
atas isyarat dan dasar
keniscayaan yang
logis

kembali tersulut. Batin sedikit menjerit. Tapi,


kecerdasan spiritual saya, kok malah tertawa.
Yuli Safrina, seorang gadis yatim, tewas
mengenaskan. Menurut polisi, kasir di salah
satu bengkel sepeda motor di Kreung Geukuh,
Aceh Utara ini, sempat diperkosa pula. Tak
jelas, apakah perbuatan biadab itu, dilakukan
sebelum dibunuh atau sesudahnya. Apakah, ada
kaitan atau hubungan khusus antara korban
dengan pelaku, sebelum peristiwa tadi terjadi?
Di Aceh Timur, si dara Nazariah digerebek
polisi dari jajaran Polres Langsa. Kabarnya,
sedang indehoi bersama Don Eugineo
Castilla Barea, anggota Aceh Monitoring Mission (AMM), asal negeri Spanyol. Keduanya,
diduga sedang bugil damai di kamar, Losmen
Diah, kota itu.
Sabtu malam, 11 Maret lalu. Stadion
Harapan Bangsa, Banda Aceh, justeru hirukpikuk dengan lautan manusia. Tak kurang
sekitar 20 ribu anak muda kota ini, tumpah ke
stadion yang kini semakin tak terawat. Mereka,
larut dalam ritme, syair serta kecantikan Mulan
Kwok, sang vokalis Ratu. Sejujurnya, sebagai
laki-laki normal, saya tertarik juga dengan
semua yang dimiliki Mulan. Tak tahu,
bagaimana dengan Anda.
Seperti show artis terdahulu (Peterpan
red). Penampilan Radja & Ratu, pembunuhan
Yuli Safrina serta dugaan praktik khalwat
Nazariah. Semua itu terjadi di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebuah negeri yang sudah
menyatakan dirinya menganut dan menjalankan
Syariat Islam secara kaffah.
Malam itu, kendati ada sekat domestik
(pemisahan penonton laki-laki dengan
perempuanred), tetap saja teriakan dan
goyang bersama menjadi simbol yang tak
terbendung. Ratu dengan lirik: Teman Tapi
Mesra (TTM), sebuah simbolisasi pergaulan
kaum muda kosmopolitan yang patut diduga,
lepas dari tata krama. Sementara Radja sempat
melantunkan: Jujur. Sebuah protes terhadap
konflik cinta dan perasaan asmara. Bisakah
semua itu disebut sebagai manifestasi atau
potret histeria kaum muda Aceh masa kini yang
kian borju? Entahlah.
Menariknya, keinginan Wilayatul Hisbah
(WH) untuk memisahkan penonton di lapangan
terbuka, hanya sempat bertahan tiga lagu.
Setelah itu, penonton laki-laki dan perempuan,
berbaur bagai gule rampo. Jangan tanya di
tribun. Sejak awal, antara laki-laki dan
perempuan, memang tak ada pemisahan.
Yang membuat batin saya tertawa,
sekaligus geli adalah. Show tadi
dimulai sekitar 20.30 Wib atau
bada Shalat Isya. Itu berarti,
pertunjukkan belum dapat dimulai,
sebelum ritual wajib (shalat)
berlangsung. Pertanyaannya adalah,
bagaimana dengan ribuan penonton yang sejak
pukul 17.00 Wib, sudah berada di stadion?
Agaknya, sangat sulit dicari dalil pembenaran
kalau mereka melaksanakan Shalat Magrib dan
Isya di lokasi show.
Dalam konteks ini, kehidupan dunia
ternyata tak bergerak lurus dengan praktik atau
kesadaran manusia terhadap Tuhannya. Lantas,
dimanakah makna Syariat Islam Kaffah yang
selama ini menjadi momok atau sekaligus
simbol iman dan Islamnya orang-orang Aceh?
Kalaulah saya bisa protes, tak adil rasanya, jika
petugas WH, dengan penuh arongan beberapa
waktu lalu, melakukan sweeping di Kroni
Cafee, Sultan Hotel yang menghebohkan itu.
Adakah perbedaan atau show artis lokal di Hotel Sultan dengan Radja & Ratu di Stadion
Harapan Bangsa?
Saya ingat buku A Brief History of Time
(Riwayat Sang Kalared) yang terkenal itu.
Sang pengarangnya, Stephen Hawking

memulai sebuah cerita dengan memaparkan


seorang perempuan yang menginterupsi
perkuliahan mengenai alam semesta untuk
menyatakan bahwa dia mengetahui lebih baik.
Katanya, dunia betul-betul merupakan
sebuah piring ceper yang terletak di atas
punggung seekor kura-kura raksasa. Ketika
ditanyakan oleh si pemberi kuliah. Di atas apa
kura-kura itu berada? Dia menjawab. Kurakura itu sepenuhnya ada di bawah.
Bagi saya, cerita itu tak lebih sebagai suatu
simbolisasi persoalan esensial yang dihadapi
oleh seluruh manusia. Saya mungkin juga
Anda, terhadap persoalan mencari jawabanjawaban muktahir mengenai misteri
eksistensi fisik. Bagi perempuan yang
menginterupsi tadi, bisa jadi ingin
menjelaskan bahwa, dunia dari sudut
pandang sesuatu yang lebih fundamental.
Sebab, boleh jadi serangkaian sebab-musabab
soal eksistensi fisik, pada gilirannya terletak
di atas beberapa hukum atau prinsip-prinsip
etika.
Adalah sulit untuk dipuaskan dengan
mundur tak terhingga. Tidak ada menara kurakura! kata John Wheeler. Tidak ada
struktur, tidak ada rencana organisasi, tidak
ada kerangka-kerja, ide-ide yang diletakkan
oleh struktur atau pun level lain dari ide-ide.
Secara umun yang ada hanya adinfinitum jatuh
kepada kegelapan tanpa-dasar.
Kepercayaan semacam ini tentu memiliki
sejarah yang panjang? Sebagaimana filosof
Spinoza berargumentasi bahwa dunia
tidak bisa lain. Bahwa Tuhan tidak
memiliki pilihan. Alam semesta Spinoza,
didukung dari keniscayaan logis-murni.
Bahkan, bagi mereka yang percaya kepada
kontingensi dunia, seringkali tertarik kepada
penalaran serupa, dengan berargumentasi
bahwa dunia dijelaskan oleh Tuhan, dan Tuhan
adalah niscaya secara logis. Tuhan bisa saja
bermain dadu kalau DIA BERKEHENDAK.
Dalam konteks pembunuhan Yuli, heboh
khalwat Nazariah dan pemisahan penonton
show Radja & Ratu. Bagi saya tak lebih kurang
beratnya dengan mereka yang ingin
melenyapkan Tuhan dan mengajukan semacam
Teori Segala Sesuatu (Theory of Everything
red). Padahal, alam semesta ini juga memiliki
keunikan atas isyarat dan dasar keniscayaan
yang logis.
Ada sebuah buku kecil berjudul: Vicious
Circles and Infinity (Lingkaran Setan dan
Ketakterhinggaan), yang menarik untuk
dibaca. Buku ini menampilkan potret
lingkaran manusia yang masingmasing duduk di atas pangkuan orang di belakangnya. Sebaliknya
mendukung orang yang di depannya.
Putaran saling mendukung yang
tertutup ini, mensimbolisasikan
konsepsi John Wheeler tentang alam
semesta. Fisika memunculkan keterlibatanpengamat. Memunculkan informasi; informasi
memunculkan fisika. Statemen yang agak
kabur ini berakar dari ide-ide fisika kuantum,
di mana pengamat dan dunia yang diamati
saling terkait erat; karena itu dikatakan
keterlibatan-pengamat
(observer
participacy).
Interpretasi Wheeler tentang mekanika
kuantum hanya melalui aktivitas pengamatan
semata. Sementara realitas fisik dunia menjadi
teraktualisasikan. Namun demikian, dunia fisik
yang sama menurunkan pengamat-pengamat
yang bertanggung-jawab untuk mengkonkretkan eksistensinya. Lebih jauh,
konkritisasi ini bahkan meluas ke hukumhukum fisika itu sendiri. Kenapa?, karena
Wheeler menolak sepenuhnya gagasan tentang
hukum-hukum abadi dan percaya dengan
asumsi serta teori kemungkinan bermain judi

(dadured). Itu sebabnya, hukum-hukum fisika


tidak dapat eksis dari keabadian menuju
keabadian. Mereka mesti telah terwujud pada
dentuman besar.
Susunan rasional di atas, seluruhnya
dibangun berdasarkan asumsi tentang
rasionalitas manusia. Adalah sah untuk mencari
penjelasan-penjelasan tentang benda-benda,
makna dan simbol-simbol dari sebuah ajaran
agama, tak kecuali Islam. Hanya saja, apakah
kita larut dan taklik semata-mata kepada simbol
dari ajaran agama atau justeru
melaksanakan semua ajaran dan
nilai dari ajaran agama itu sendiri
dengan sungguh-sungguh.
Penuh keyakinan, tanpa
keraguan
dan
harus
menyalahkan serta merasa diri
serta ibadah kita yang paling
benar.
Harus diakui bahwa konsep kita tentang
penjelasan rasional boleh jadi diturunkan dari
pengamatan kita tentang dunia dan warisan
evolusioner dari diri kita sendiri. Karena itu,
jelaslah bahwa alam semesta adalah absurd dan
hampa-makna.
Kalaulah saya boleh berpendapat.
Pelaksanaan syariat Islam yang kita anut dan
jalankan saat ini, tak lebih hanya sebuah
pemahaman tentang eksistensi dan sifat-sifat
yang terletak di luar kategori biasa dari
pemikiran manusia rasional. Itu pun, sering
sekali mendominasi logika dan dialektika kita,
untuk dan atas nama: Syariat Islam. Padahal,
kita bisa melihat bagaimana sesungguh
aplikasi penalaran manusia dalam
pengertiannya yang paling halus dan paling
tersusun dalam beragama. Meskipun
terkadang penuh dengan paradoks dan
ketidakpastian.
Teorema Godel mengingatkan saya atau
kita semua bahwa metode aksiomatik dalam
menciptakan deduksi-deduksi logis dari asumsiasumsi yang ada, tidak dapat secara umum
menyediakan sebuah sistem yang keduanya
mungkin sempurna dan konsisten. Sebaliknya,
akan selalu ada kebenaran yang terletak di
seberang sana, yang tak dapat dicapai dari
kumpulan aksioma-aksioma yang terhingga.
Karena itu, pencarian sebuah skema logis
tertutup yang menyediakan penjelasan
sempurna dan taat-asas dengan sendirinya
mengalami kegagalan. Seperti bilangan cabalistic dari Chaitin, hal semacam itu mungkin
ada secara abstrak di luar sana. Eksistensinya
dapat kita kenal dan mungkin, kita hanya meraih
sedikit pengetahuan saja tentang semua itu.
Bagi saya, sepanjang kita menegaskan
identifikasi pemahaman dengan penjelasan
rasional dari jenis yang saya dikenal, tidak bisa
tidak akan berujung dengan kesulitan seperti
kura-kura tadi. Baik kemunduran tak terhingga,
atau seekor kura-kura super yang menjelaskandirinya secara misterius, ataupun lingkaran dari
sejumlah kura-kura yang tak terjelaskan. Sebab,
di sana selalu ada misteri, ada klaim dan juga
mistisisme.
Bukankah kita hanya manusia biasa, yang
tak luput dari khilaf dan serba kekurangan serta
ketidaktahuan dari apa yang sesungguhnya
terjadi dijagat raya ini, tak kecuali ajaran agama?
Kita juga terkadang ingin merubah segala,
begitu kata Radja dalam lagunya. Bahkan,
berpikir untuk bisa berpura-pura, munafik serta
memasang topeng di wajah kita. Kita sering
berpikir dan mengajak Tuhan bermain dadu,
melakonkan sebuah peruntungan yang tidak
pasti. Padahal, kita semua tahu dan paham,
bahwa tak ada yang mustahil dari sifat Allah.
Semua wujud dan pasti. Termasuk putaran
bumi, kematian serta nasib. Ini bermakna.
Tuhan tak pernah bermain dadu. ***

Utama

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

RUU-PA

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

Antara Aspirasi dan Substansi


ANJONG Mon Mata, yang biasa

Dalam kunjungannya, tim Pansus


menemui beberapa elemen
masyarakat Aceh. Sebut saja
Gubernur NAD. Saat tiba, kedua
puluh anggota Pansus tadi dipesijuek
di Pendopo Gubernur. Mereka
berada di Aceh selama tiga hari masa
kerja.
Selanjutnya, serangkaian
pertemuan dilakukan. Misalnya
dengan tokoh masyarakat, alim
ulama, mantan GAM, AMM, DPRD,
Muspida, bupati serta walikota yang
ada di Aceh. Mereka juga bertemu
dengan BPKS, BRR serta Badan
Reintegrasi Aceh. Tim Pansus juga
bertemu dengan sejumlah
akademisi, Badan Eksekutif
Mahasiswa dan LSM.
Sebelum tim Pansus bertemu
elemen-elemen masyarakat sipil
tadi, di bandara mereka lebih dahulu
di sambut aksi memo oleh beberapa
aktifis yang menuntut pemekaran
Provinsi ALA. Namun, tidak ada
anggota tim yang menemui mereka.
Sebelum sampai ke pendopo,
mereka sempat singgah ke
pemakaman massal di kawasan
Lambaro, Aceh Besar.
Salah seorang anggota Pansus, T
Rifki (Fraksi Demokrat)
mengatakan, pertemuan yang di
lakukan tim advokasi RUU-PPA

Anggota Pansus RUU-PA sedang berdialog dengan mahasiswa


DPRD NAD dengan sejumlah fraksi
di DPR-RI dan ketua partai politik
sudah maksimal. Menurutnya, dalam
pertemuan itu, tim dari Aceh
menyatakan semua hal yang mereka

sampaikan merupakan suatu yang


telah di format di Aceh dan sesuai
dengan aspirasi masyarakat Aceh.
Karena itu, pertarungan di
pembahasan tak banyak. Namun,

mau tidak mau, fraksi-fraksi akan


membandingkan draf versi Depdagri
dan versi NAD, kata T Rifki yang
juga wakil rakyat dari NAD.***
Davi Abda

Kenapa Sejumlah Pasal Dipertahankan?


Tim ahli DPRD NAD, menyusun sejumlah argumentasi dan rasionalisasi terhadap sejumlah pasal
R
UU-P
A yyang
ang w
ajib diper
tahanak
an. Soal redaksional tak lagi dipermasalahk
an.
UU-PA
wajib
dipertahanak
tahanakan.
dipermasalahkan.
RUU-PA
dipertahanakan.

Umri P/modus

sepi, Jumat pekan lalu, mendadak


jadi ramai. Tapi jangan salah, tak ada
acara pementasan seni maupun
seminar. Yang ada hanya pertemuan
yang dibungkus dengan tema:
penjaringan aspirasi antara anggota
Pansus RUU-PA DPR-RI dengan
sejumlah elemen masyarakat sipil di
Aceh. Hari itu, pertemuan pertama
dilakukan dengan unsur Mahkamah
Syariah. Selain Gubernur NAD dan
unsur Muspida lainnya.
Menariknya, belum lagi
pertemuan itu tuntas, sejumlah
mahasiswa menghadang tim Pansus
yang hendak mengelar pertemuan di
Anjong Mon Mata. Mereka
mengatasnamakan dirinya Solidaritas
Mahasiswa Aceh Untuk Damai. Tak
tanggung-tanggung, mereka
menuntut para wakil rakyat ini,
untuk konsisten dan komit,
memperjuangkan RUU-PA secara
utuh. Kami atas nama rakyat Aceh
menolak RUU-PA versi
pemerintah, teriak seorang
demonstran.
Buntutnya, Ketua Pansus DPRRI, Fery Mursidan Balkan, diminta
untuk menandatangani sebuah
pernyataan atau surat kesepakatan.
Kami tak ingin ada lagi
pertumpahan darah di Aceh. Kami
minta bapak-bapak menemui kami di
sini. Kami adalah bagian dari
masyarakat Aceh yang juga perlu di
dengar, sambung salah satu
demonstran lainnya yang disambut
denga pekikan Allahuakbar.
Memahami situasi yang terjadi,
Ketua Pansus RUU-PA, Fery
Mursidan Baldan berserta
anggotanya, menemui demonstran di
luar Anjong. Suasana memang
sempat panas, saat mahasiswa
mendesak mantan Ketua Umum PBHMI ini, menandatangani selembar
surat pernyataan. Teken-teken,
teriak mahasiswa yang lain. Suasana
sempat gaduh. Meski begitu, Fery
tetap mampu menguasai lapangan.
Jangan main paksa beginilah. Kalau
dipaksa saya tidak teken. Sebentar,
kalau ilmu demo begini, saya juga
pernah. Ngak usah digitu-gituin, soal
teken, teriak Fery. Udahlah, ilmu
kita sama soal demo ini, hanya waktu
saja yang berbeda, kata Fery lagi.
Tak lama kemudian. Ya, kita
teken ya. Bismillah, ini komitmen
kami, sambung Fery. Spontan,
mahasiswa menyambutnya dengan
pekikkan Allahukabar dan hidup
mahasiswa. Tak lama kemudian,
aksi demontrasi itupun bubar dengan
tertib.
Sekilas, aksi demontrasi
mahasiswa tadi memang sederhana.
Sebab, hal seperti itu biasa terjadi,
tak kecuali di Aceh. Meski begitu,
aksi tersebut menjadi sangat
bermakna, tat kala ada dugaan
sejumlah pasal dari RUU-PA, sempat
mengalami pemangkasan dari draf
asli yang diusung DPRD NAD
beberapa waktu lalu ke Mendagri di
Jakarta.
Entah benar sinyalemen itu,
yang pasti banyak elemen
masyarakat di Aceh yang mengecam
tindakan tersebut. Solusinya, tim
Pansus DPR-RI mencari solusi
kebuntuan tersebut ke Aceh.

AK Jailani/modus

Atas nama menjaring aspirasi. Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI, berkunjung ke Aceh, Jumat dan Minggu, pekan lalu.
Kedatangan itu disambut aksi demonstrasi, disamping harapan agar tidak terjadi pemangkasan terhadap sejumlah
substansi dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sejauh mana bisa bertahan?

SEMUA argumentasi itu tertuang

pada sebuah bundel setebal 204


halaman. Dalam rangkuman itu,
sangat jelas disebutkan mengapa pasal
demi pasal yang diduga, telah
dipangkas tim Depdagri, wajib dan
harus dipertahankan.
Sebut saja Pasal 1 angka (2) dan
Angka (3) tentang ketentuan umum.
Dalam draf RUU-PA versi DPRD
NAD ditertulis. Aceh adalah merupakan suatu wilayah yang diberi
kewenangan pemerintah sendiri
dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dipimpin
oleh Gubernur atau nama lain, yang
batas-batasnya merujuk pada
perbatasan 1 Juli 1956.
Pada angka tiga. Pemerintah Aceh
adalah pemerintahan sendiri yang
diwujudkan melalui suatu proses
demokratis dan adil untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan

Aceh dalam Negara dan Konstitusi


Republik Indonesia, yang dipimpin
oleh Gubernur atau nama lain.
Nah, argumentasi yang wajib
dipertahankan adalah. Istilah pemerintahan sendiri, berarti mengurus
secara mandiri urusan/kewenangan
yang telah diakui sebagai kewenangan
Aceh. Jadi, tidak dimaksudkan sebagai
upaya memisahkan diri dari NKRI.
Istilah ini, juga telah lama dikenal
dalam rangka pelaksanaan desentrasilisasi di Indonesia. Istilah ini
telah dipakai sejak tahun 1903 dalam
desentralisasi wet, tanggal 23 Juli
1903. Sementara alasan angka tiga
pada pasal 1 tadi adalah. Istilah
pemerintahan sendiri juga dikenal
dalam khasanah perundang-undangan
NKRI yaitu dalam UU No 22 tahun
1948 tentang penetapan Aturanaturan Pokok mengenai Pemerintahan
Sendiri di daerah-daerah yang berhak

mengatur dan mengurus rumah


tangganya sendiri.
Dalam konsideran menimbangnya juga menyebutkan, bahwa perlu
ditetapkan UU berdasarkan Pasal 18
Undang-Undang Dasar yang menetapkan pokok-pokok tentang
pemerintah sendiri di daerah-daerah
yang berhak mengatus dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Pengunaan
istilah pemerintahan sendiri juga
dimaksudkan untuk memberikan
kekhususan/keistimewaan yang
membedakan pelaksanaan otonomi
untuk Aceh dengan daerah-daerah lain.
Hanya itukah? Nanti dulu. Pada
pasal 4 RUU-PA versi DPRD NAD
tertulis. Kabupaten adalah bagian dari
wilayah Aceh yang dipimpin oleh
seorang walikota dan memiliki hak
untuk mengatur urusan rumah tangga
kabupaten secara otonom. Sedangkan
Kota adalah bagian wilayah Aceh yang
dipimpin oleh seorang walikota dan
memiliki hak untuk mengatur urusan
rumah tangga kota secara otonom.
Atas konsep ini, tim Depdagri
merubahnya menjadi. Pemerintahan
Aceh adalah penyelenggara segala
urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
di daerah provinsi sebagaimana
dimaksud pada angka 2. Pemerintah
kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pemerintah
kabupaten/kota. Kabupaten/kota
adalah bagian wilayah Aceh yang

dipimpin oleh seorang bupati dan


memiliki hak untuk mengatur urusan
rumah tangga kabupaten secara
otonom.
Dari semua konsep tandingan
versi Depdagri, mendapa pasal
tersebut perlu dipertahankan?
Alasannya adalah. Argumentasi
Depdagri tak dapat diterima. Itu
disebabkan, bertentangan dengan
point 1.4.1 MoU Helsinki yang secara
tegas mengatakan ada pemisahan
kekuasaan antara eksekutif dan
legislatif. Pengertian ini, sekaligus
mengaburkan fungsi DPRA sebagai
pelaksana kekuasaan legislatif Aceh.
Kecuali itu, pemisahan eksekutif dan
legislatif bergina untuk. Mencegah
intervensi antar lembaga. Kedua,
meningkatkan profesionalisme
lembaga dan ketiga, optimalisasi
fungsi pengawasan.
Tentu saja, semua itu masih sangat
kecil. Masih ada sejumlah pasal-pasal
lainnya, yang dipangkas Depdagri dan
patut dipertahankan oleh berbagai
elemen masyarakat sipil di Aceh.
Pertanyaannya, seberapa besarkah
kemampuan kita, baik dari sisi
finansial maupun kepakaran dalam
mengadu argumentasi di DPR-RI
nantinya. Ini penting, sebab memasuki paruh kedua bulan Maret 2006
ini, pembahasan RUU-PA tidak lagi
sebatas menjaring aspirasi, tapi sudah
masuk ke wilayah substansi. Ibarat
pepatah. Sekali terlambat, seumur
hidup tak ada kembali. ***
Shaleh L.Seumawe

MODUS

Utama

Tabloid Hukum dan Politik

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

RUU-PA

Murahnya Harga RUU-PA

AK Jailani/modus

P
os anggaran pendamping, pembahasan R
UU-P
A hingga kini tak jelas justrungn
y a. Eksek
utif dan
RUU-P
UU-PA
justrungny
Eksekutif
Pos
RUU-PA
justrungnya.
Legislatif berdalih takut menyalahi aturan. Sebelumnya, untuk pembelaan mantan Gubernur NAD,
Abdullah Put
eh. Sekre
tariat Pr
o vinsi NAD, malah memplo
Puteh.
Sekretariat
Pro
memplott dana sampai Rp 4 miliar
miliar..
Provinsi

JUJUR saja, pengakuan Ketua Tim

Pendamping RUU-PA, DPRD NAD,


Abdullah Saleh, sempat disambut prokontra di Aceh. Ada yang bilang,
pengakuan tadi tak etis, karena
terkesan membuka aib sendiri.
Sebaliknya, ada yang mengaku
terhenyuh. Sebab, ini menyangkut
nasib dan masa depan empat juta
rakyat Bumi Serambi Mekkah.
Padahal, saat mantan Gubernur NAD,
Abdullah Puteh dijerat hukum. DPRD
dan Pemda NAD, mengalokasikan
dana hingga Rp 4 miliar. Kenapa untuk
4 juta rakyat Aceh, terkesan ragu-ragu
dan takut, ujar Rufiadi SH, Direktur
Aceh Judicial Monitoring Institut
(AJMI) kepada modus, pekan lalu.
Kata Rufriadi, seharusnya
kenyataan ini tak perlu terjadi. Sebab,
menyangkut harkat dan martabat
rakyat Aceh. Bayangkan, kata dia, tak
kurang 30 tahun Aceh dilanda konflik.
Berbagai sarana dan prasarana rusak
dan hancur. Jika dihitung dengan uang,

sudah trilyunan, terbuang percuma.


Kini, masa damai, seharusnya berapa
pun anggaran untuk ini perlu dicarikan
solusinya. Bukan sebaliknya,
berlindung pada aturan yang ada. Tentu,
kita tak sepakat dengan menghalalkan
segala cara. Itu artinya, peran cerdas
dan bijak eksekutif dan legislatif sangat
diharapkan rakyat, papar Rufriadi.
Sejauh ini, memang belum
terdengar secara pasti tentang alokasi
anggaran pendamping untuk pembahasan RUU-PA. Akibatnya, satu tim
terpadu (Pemda-DPRD NAD) ke
Jakarta, terpaksa pulang karena alasan
kehabisan dana. Kalau pun ada, itu
semua sebatas biaya perjalanan dinas.
Ya, cukup untuk hotel, makan dan
keperluan lainnya. Di luar itu, kami
terpaksa mikir-mikir dulu. Sebab,
memang tidak ada alokasi untuk itu.
Meski begitu, kita tidak boleh mundur.
Apa pun alasannya, RUU-PA ini harus
berhasil sesuai dengan aspirasi rakyat
Aceh, kata Abdullah Saleh yang juga

anggota Fraksi PPP DPRD NAD.


Wakil rakyat ini tentu saja pantas
untuk berkeluh kesah. Sebab, sejak
pembahasan RUU-PA di DPRD NAD,
tak ada satu sen pun anggaran yang
diplot. Kalau pun ada, hanya bantuan
advokasi dari salah satu LSM di Jakarta.
Hampir tiga bulan kami pulang
malam. Untuk poding pun terpaksa
merogoh kantong sendiri. Memang ini
tugas kami, tapi kami juga manusia,
timpa Jamal Yunus, anggota DPRD
NAD dari Fraksi PBB.
Jamal mengaku tak habis pikir.
Sebab, Pemda NAD sendiri, sempat
mengunakan anggaran sekitar Rp 2
miliar untuk pembahasan RUU-PA
versi Pemda NAD. Alasannya saat itu,
Pemda NAD melibatkan tiga
perguruan tinggi negeri (PTN) yaitu:
Unsyiah, IAIN Ar-Raniry serta
Unimal Lhokseumawe. Finalnya,
sempat digelar seminar raya
pembahasan RUU-PA di Gedung ACC
Dayan Dawood, Banda Aceh.

Sementara, mereka tidak kecipratan


apapun. Kalau kita sedikit mau kritis,
kemana saja uang Rp 2 miliar itu
dibawa tim eksekutif. Toh, konsep yang
dipakai pun akhirnya hasil godokan
DPRD NAD bersama sejumlah tim
ahli, ujar Jamal yang juga Ketua Badan
Perancang dan Kajian (BPK) DPRD
NAD.
Sekedar mengulang saja. Tat kala
pembahasan RUU- Otonomi Khusus
Aceh-kemudian menjadi UU No: 18/
2000. Pemda NAD kabarnya sempat
menghabiskan dana sekitar Rp 1,5
miliar. Itu yang resmi dari pos
anggaran Sekretariat Daerah Provinsi
NAD. Belum lagi sumbangan dan
bantuan perusahaan vital. Harga
tersebut, tentu masih sangat kecil dan
minim jika dibandingkan dengan
pembahasan UU Otonomi Khusus bagi
Papua. Kabarnya, wilayah paling timur
Indonesia ini, mampu memplot
anggaran hingga Rp 10 miliar.
Segetir itukah kondisi keuangan

Pemda NAD hari ini? Atau kemanakah


rasa senasib dan sepenanggungan yang
dulu sangat terkenal membalut rakyat
Aceh? Bayangkan, dalam sejarah berdirinya republik Indonesia, Aceh tercatat dengan tinta emas sebagai daerah
yang paling royal, loyal serta setia.
Saat pemerintahan Indonesia
sedang sekarat misalnya, rakyat Aceh
begitu kompak menyumbang emas
dan uang untuk pembelian pesawat
terbang bagi perjalanan diplomasi
Soekarno-Hatta. Itu terjadi tahun
1949. Termasuk membeli sejumlah
obligasi kepada pemerintah. Kecuali
itu, rakyat dan pengusaha Aceh, juga
ikut memberi andil terhadap
pembangunan tugu Monas di Jakarta.
Tak kurang, sekitar 54 kilogram
emas murni disumbangkan bagi
monumen yang kini menjadi kebanggaan rakyat Jakarta. Ada lagi,
menjelang kejatuhan Soeharto tahun
1998. rakyat Aceh kembali menyumbang seberat 25 kilogram emas murni
serta sejumlah mata uang dolar.
Sumbangan itu diterima, melalui Siti
Hardianti Indra Rukmana atau Mbak
Tutut. Sayangnya, baik dana untuk
pembelian pesawat hingga sumbangan
krisis monoter. Rakyat Aceh tak
pernah menggugat, kemana saja emas
dan uang itu digunakan.
Berbagai catatan di atas, tentu saja
hanya sebagai gambaran, betapa rakyat
Aceh, memiliki kemampuan dan
kesanggupan untuk memberdayakan
dirinya sendiri, tanpa mengharap
bantuan dari luar. Masalahnya, kemana
sikap kesatria dan loyal itu saat ini?
Kalaulah saja, ada pengusaha Aceh yang
bermurah hati, rasanya tak sulit untuk
mengumpulkan sejumlah dana bagi
pendampingan RUU-PA yang kini
sudah berlabuh di Senayan.
Ambil contoh kalangan KADIN
dan Gapensi NAD. Jika ada masingmasing seratus orang anggota dan
ikhlas menyumbang Rp 1 juta saja,
maka akan terkumpul Rp 200 juta.
Belum lagi partisipasi pengusaha Aceh
yang ada di Medan atau Jakarta.
Berapa lah Rp 1 juta itu. Bagi
pengusaha, dana sebesar itu bisa jadi
hanya untuk tip service saat duduk dan
melobi proyek di hotel bintang lima di
Jakarta. Nah, jika dana itu disalurkan
untuk RUU-PA, saya kira empat juta
rakyat Aceh akan berdoa buat
mereka, ujar Abdullah Saleh kepada
modus, pekan lalu. Adakah yang
memulai? Kita tunggu saja.***
Shaleh L. Seumawe

Sejujurnya, RUU-PA untuk Siapa?


JA
W
ABAN paling klasik dan politis tentu
JAW
WABAN

rakyat. Namun, kalau boleh sedikit cerdas dan


kritis, rakyat yang mana? Saya tidak tahu,
apakah ada RUU-PA atau tidak, yang penting
bisa aman. Saya bisa cari rezeki dengan mudah.
Itu saja, kata Abdullah Mahmud, salah seorang
pedagang sayur di Kota Lhokseumawe.
Pernyataan Abdullah, tentu tak bisa dijadikan
aspirasi tunggal, apalagi untuk memahami
RUU-PA secara utuh. Sebab, tak sedikit elemen
sipil, yang mengaku dan berkepentingan
dengan RUU-PA. Misalnya, politisi, birokrasi,
pengusaha serta Gerakan Aceh Merdeka. Bagi
Abdullah Mahmud, jaminan kedamaian adalah
pokok. Untuk apa UU Aceh kalau nanti ada
perang lagi. Saya sudah merasakan sejak jaman
DI/TII, AM, GPK hingga GAM. Bisa selamat
saja syukur, cetus Abdullah, lugu.
Harapan damai, memang tidak menjadi
milik Abdullah, tapi sudah menjadi cita-cita

kolektif dari berbagai pihak. Singkatnya, dari


strata sosial yang lebih tinggi atau keren disebut
kelas menengah di Aceh. Sejujur, MoU damai
RI-GAM telah membuat rakyat Aceh bangkit
kembali dari keterpurukannya. Kita jalan
malam pun, sekarang sudah aman. Kita bisa
minum kopi jam 03.00 pagi di Ule Gle atau
Bireun. Ini nikmat perdamaian, jelas
Syafruddin Budiman, anggota DPRD NAD dari
Fraksi Perjuangan Ummat.
Nah, tat kala kesadaran itu muncul dan
menjadi milik semua elemen. Pertanyaannya
adalah. Mengapa hingga kini belum juga
terdengar adanya partisipasi aktif dari kalangan
kelas menengah Aceh terhadap RUU-PA?
Padahal, jika RUU-PA ini berhasil di-golkan
sesuai dengan draf yang diajukan. Pihak yang
paling besar mengambil keuntungan adalah para
politisi, birokrasi, pengusaha. Termasuk
sejumlah kandidat calon Gubernur/Wakil

DOK/modus

Pasif dan minusnya partisipasi kalangan kelas menengah


di A
ceh tter
er
hadap pembahasan R
UU-P
A , menimbulk
an
Aceh
erhadap
RUU-P
UU-PA
menimbulkan
terhadap
RUU-PA,
k
acana. Sebenarn
y a, R
UU-P
A ini untuk siapa?
wacana.
Sebenarny
RUU-P
UU-PA
kembali
embali w
Sebenarnya,
RUU-PA

Gubernur, Bupati serta Walikota. Apa mereka


bisa maju dengan tenang kalau keadaan kacau?
Andaikan para komisaris dan direksi BPD Aceh,
mau menyumbang sedikit hak mereka dari hasil
pembagian dana deviden lalu, mungkin sangat
membantu proses pembahasan RUU-PA ini.
Tapi, nyatanya mana dana yang miliaran itu?
gugat Abdullah Saleh.
Sejauh ini memang nyaris tak terdengar
kelompok nelayan, tukang becak atau pun petani
garam, bicara soal RUU-PA. Yang justeru tampil

adalah para politisi, birokrasi serta aktivis LSM


yang memang mendapat proyek dari kerja
besar ini. Padahal, kerja-kerja semacam itu
tidaklah gratis. Mereka mendapat hak atau
penghasilan yang tidak sedikit. Sementara
seorang petani garam tradisional di Jangka,
Matang Glumpang Dua, Bireun, selalu berharap
agar harga garam bisa naik. Atau petani di
Sibreh, Aceh Besar, yang rindu harga gabah
tetap stabil kalau tak bisa naik. Alamak!***
Shaleh L. Seumawe

Utama

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Tabloid Hukum dan Politik

Kilas Balik

Romantisme
yang Terpasung

AK Jailani/modus

Sebuah catatan lama menyebutkan orang Aceh sebagai orang yang ter.
Bila sayang akan terlalu sayang. Sebaliknya, kalau benci terlalu benci. Hal
ini seakan selaras dengan idiom dalam masyarakat Aceh yang
menyebutkan, ureung Aceh meunyoe hana teupeh (maaf-red) boh kreh jeut
taraba, tapi meunyoe ka teupeh, bu leubeh han jipeutab
a. Benarkah?
jipeutaba.

SEJARAH

mencatat, ketika
Republik Indonesia baru lahir, Aceh
menyokong dana perjuangan yang luar
biasa. Pembelian pesawat Jenis Dakota
untuk perjalanan diplomasi luar negeri
Presiden Soekanro-Hatta sebagai
contohnya. Pesawat yang diberi nama
Seulawah 01 itu kemudian menjadi
cikal bakalnya maskapai penerbangan
Garuda Indonesia. Hal ini seperti
diungkapkan Abu Mansoer Ismail (106
Tahun), mantan Sekretaris Tgk Daud
Beureueh (lihat, modus edisi 16
Tahun III, 19-24 Agustus 2005,
Sejarah Aceh Terkoyak.).
Abu Mansor sampai kini mengaku
sangat kecewa terhadap Soekarno.
Alasannya, dua tahun setelah Republik
Indonesia diproklamirkan, Presiden
pertama RI itu berkunjung ke Aceh
(1947). Soekarno mengatakan kepada

Abu Beureuh bahwa seluruh daerah


di Indonesia sudah membeli pesawat
untuk republik, tinggal Aceh yang
belum.
Mendengar itu Abu Beureueh pun
menanyakan berapa harga sebuah
pesawat? Soekarno mengatakan satara
dengan delapan kilogram emas.
Setelah itu Abu Buereuh memanggil
saya dan Tgk H Husein untuk mencari
emas sebanyak delapan kilogram,
untuk diserahkan kepada Soekarno,
ungkap Abu Mansoer.
Lalu, berbekal secarik surat
keterangan dari Abu Beureuh, hari itu
juga Abu Mansoer Ismail bersama Tgk
H Husein, bergerak dari satu rumah
ke rumah lain. Sasarannya para
pengusaha yang punya simpanan emas
di Kutaraja. Dan hari itu juga emas
terkumpul. Itulah modal dari rakyat

Aceh untuk pembelian pesawat Dakota


Seulawah 01 dan Seulawah 02, cikal
bakal maskapai penerbangan Garuda
Indonesia.
Tidak hanya sampai di situ. Ketika
pemerintah Republik Indonesia
mengalami kesulitan ekonomi,
sehingga pemerintah harus mengajukan kepada rakyat untuk membeli
obligasi yang dikeluarkan pemerintah,
untuk menyumbat kebocoran kas
negara yang hampir kosong. Di Aceh,
lagi-lagi Abu Mansoer mendapat tugas
dari Gubernur Militer Aceh Langkat
dan Tanah karo, Tgk Muhammad
Daod Beureueh, untuk mengumpulkan
sejumlah dana pembelian obligasi yang
dikeluarkan pemerintah. Selaku
Sekretarisnya, Abu Beureueh
menyuruh saya membuat surat untuk
setiap daerah agar membeli obligasi

yang dikeluarkan pemerintah. Saya


juga yang kemudian mengumpulkan
uang kemana-mana untuk pembelian
obligasi itu. Ratusan juta berhasil kami
kumpulkan. Saya surati Presiden
Soekarno agar datang ke Aceh untuk
mengambil dana itu, tapi karena tidak
sempat, Soekarno akhirnya mengirimkan utusannya ke Aceh, jelas
Abu Mansoer sambil menggaruk
kepalanya berkali-kali.
Bukan itu saja, masih menurut
Abu Mansoer, ketika Yogjakarta, pusat
pemerintahan Republik Indonesia di
duduki oleh Belanda, Presiden
Soekarno dan wakil Presiden
Muhammad Hatta, ditawan. Hubungan
pemerintah dengan luar negeri
terputus. Apalagi radio RRI tidak
mengudara. Karena Soekarno dan
Hatta sudah ditahan, maka dibentuklah

MODUS

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang pada mulanya


berkedudukan di Bukit Tinggi, akan
tetapi karena alasan keamanan,
dipindahkan ke Kutaraja, Aceh.
Staf Angkatan Laut dan Angkatan
Udara pun dipindahkan ke Kutaraja.
Semua perbelanjaan, baik bagi PDRI
maupun bagi staf Angkatan Laut dan
Angkaatan Udara ditanggung oleh
rakyat Aceh. Bahkan perbelanjaan bagi
perjuangan Dr. Sudarsono di India dan
L.N. Palar di Perserikatan BangsaBangsa (PBB) di New York ditanggung
rakyat Aceh, lanjut Abu Mansoer.
Sumbagan rakyat Aceh untuk
Republik Indonesia terus berlanjut.
Malah untuk pembangunan Tugu
Monumen Nasional (Monas) rakyat
Aceh menyumbang 50 kilogram emas.
Begitu juga pada tahun 1998,
menjelang kejatuhan Soeharto dari
kursi kepresidenan. Meski hidup
dalam krisis moneter, lagi-lagi
masyarakat Aceh menyumbang 25 kilogram emas untuk negara.
Namun romantisme Aceh dan
Jakarta itu, terpenggal dengan berbagai
kebijakan Jakarta yang dirasakan mengabaikan Aceh. Mulai dari janji Soekarno
kepada Abu Beureueh untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh yang tak
ditempati. Malah Aceh dileburkan
dalam Provinsi Sumatera Utara, yang
kemudian membuat Abu Buereuh
memberontak terhadap republik.
Meski Abu Bureueh kemudian
turun gunung, benih-benih pemberontakan itu terus tersemai dalam
pergolakan baru, yakni Aceh Merdeka.
Hal ini pula yang membuat Jakarta
berang dan memberlakukan status
Daerah Operasi Militer (DOM) pada
1989 sampai 1998 di Aceh. Lagi-lagi
Aceh merasakan tamparan Jakarta.
Dan Romantisme itu pun kembali
terpasung.
Pertanyaannya adalah, akan sejarah
terulang? Kali ini untuk empat juta
rakyat Aceh. Pembahasan RUU-PA
yang konon sangat minus dengan
anggaran pemerintah, akan ditopang
oleh para saudara atau pengusaha Aceh.
Adakah saudagar Aceh yang terketuk
hatinya untuk menyisihkan sebagian
hartanya untuk sebuah tekad: menjaga
dan merawat perdamaian?***
Iskandar Norman

Rajab Lubee Sabi

Berharap Sebuah Pengakuan


diberikan negara kepadamu, tapi
tanyakanlah apa yang telah kamu
berikan kepada negara. Ungkapan itu
nampaknya dipahami betul oleh Rajab
Lubee Sabi (70 tahun), seorang warga
Desa Keude Bagok, Kecamatan
Bagok, Kabupaten Aceh Timur.
Ketika tahun 1946, pemerintah Indonesia mengelami kesulitan ekonomi.
Ia menjual hartanya untuk membeli
obligasi dari pemerintah.
Kala itu, semua rakyat dianjurkan
oleh pemerintah untuk membantu
kesulitan keuangan negara dalam
menghadapi agresi Belanda. Anjuran
itu disampaikan sampai ke tingkat
bawah, melalui setiap kepala desa.
Rajab pun kemudian menjual sebagian
hartanya untuk membeli obligasi
tersebut. Saya beli obligasi 11.000,
saat itu harga emas satu manyam 10
yen. Jadi kalau saya totalkan harga
obligasi yang saya beli seharga 110
mayam emas, jelas Rajab Lubee Sabi.
Pada tahun 1947, ia pun
mendapatkan kwitansi resmi dari
obligasi tersebut, yang ditandatangani

oleh Usman Adami. Uang untuk


membeli obligasi itu didapatkannya
dari hasil tani dan menjual ternak
lembu warisan ayahnya. Orang tuanya
merupakan salah seorang Ulee
Balang Cut di Bagok, Aceh Timur,
keturunan ulama yang ahli ilmu falak.
Sementara Rajab merupakan
mantan tentara mujahidin. Ia
bergabung sejak 29 Desember 1946.
Ia ditempatkan dalam kompi pimpinan
Daud Malem. Ia baru berhenti dari
laskar mujahidin pada 29 Desember
1949. Selama menjadi tentara ia
pernah terlibat dalam perang dengan
Belanda di Pos Sicurai, perbatasan
Aceh dengan Sumatera Utara.
Sebagai tenaga cadangan yang
ditugaskan untuk melakukan
pengintaian terhadap keberadaan
pasukan Belanda.
Terhadap jasanya itu, ia tidak
pernah mendapat pengakuan dari
pemerintah. Ia pun tidak mengurusnya. Ketika kawan-kawan
seperjuanganya mendapat dana
veteran. Ia lebih memilih tidak
mengurusnya. Alasannya, Tgk

Mahmud, seorang ulama yang juga


gurunya, mengatakan kalau ia
mengambil dana veteran itu, berarti
perjuanganya itu tidak ikhlas. Dan
pahala jihad di medan juang akan
hilang.
Pasca meletusnya pemberontakan DI/DII, tahun 1957, Rajab
memilih meninggalkan Aceh, setelah
difitnah karena berselisih paham
antara dirinya dengan anggota
DI/TII.
Ia
pergi
meninggalkan istri yang
saat itu sedang hamil tua.
Setelah DI/TII mereda,
ia kembali ke

Iskandar Norman/modus

JANGAN tanyakan apa yang telah

kampung halamannya.
Diusia senjanya, tak banyak yang
diharapkan dari pemerintah, selain
sebuah pengakuan, bahwa ia pernah
membantu negara melalui obligasi,
karena hanya itu yang bisa dibanggakannya. Saya tidak mengharap obligasi itu dibayar. Tapi saya
ingin itu diakui, agar kelak anak cucu
saya tahu apa yang telah saya
perbuat, katanya mengakhiri
pembicaraan.***
Iskandar Norman
dan Murthalamuddin
(Lhokseumawe)

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Kolom

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

7 M Tanpa Tender!
SEJARAH modern tercipta karena tulisan.

Jaleswari Pramodhawardani
Peneliti LIPI

Hampir tak ada tim


seleksi proposal yang
memiliki latar
belakang
pengetahuan budaya
yang boleh
diandalkan, yang
dapat fasih berbicara
tentang proposal
yang masuk. Proses
kualifikasi yang tidak
memadai akan
melahirkan output
yang tidak seperti
yang diharapkan.
Kesan kuat tentang
Panitia Satker yang
hanya mengejar
deadline tanpa
memedulikan
peluang alternatif
untuk menunda
sedikit waktu
sehingga ada
proposal yang layak
untuk didukung
bantuan dana terlihat
jelas.

Tulisan (criture) adalah media menakjubkan


yang mampu menahan lebih lama ingatan,
kumparan yang mengikat jutaan galaksi tanda
ketika mnemonik manusia semakin sekunder.
Meskipun Plato menilai kehadiran tulisan
merupakan skandal terbesar dalam sejarah
manusia, karena sifatnya dokumentasinya
yang menyebabkan manusia akhirnya malas
mencari kebenaran (logos) melalui jiwa dan
ingatannya peran tulisan tetaplah tak mudah
diabaikan.
Dalam buku Empire of Signs (1970),
Roland Barthes, seorang linguis Perancis
mengatakan tulisan merupakan gejala yang
sangat mencengangkan dari alam kehadiran
bunyi (fonetis). Tulisan adalah suspenser,
menggelisahkan banyak hal, mengungkap
misteri, menelusup ke alam bawah sadar tanda
yang dibiarkan menyebar oleh seorang penulis,
dan mencari hubungan referensial dalam
konvensi bahasa yang digunakan. Barthes
mengemukakan kekagumannya terhadap
tulisan-tulisan yang imajinatif dengan sikap rela
mati untuk sebuah tulisan yang writerly; sesuatu
yang menyebabkan pembaca mau menggali
terus dan melahirkan kembali tulisan baru yang
lebih sempurna.
Dalam konteks ini, mungkin agak ironis
dengan kenyataan yang ditemui di lapangan.
Ada kekaguman yang salah terbawa, kekeliruan
menafsirkan beban berat peradaban sejarah
para penulis dan filosof. Menurut pemberitaan
di salah satu media di Aceh, Dinas Kebudayaan
NAD berencana menerbitkan tujuh buah buku
tentang Aceh dengan biaya sebesar Rp. 7 miliar.
Keseluruhan buku yang direncanakan terbit
adalah buku sejarah Aceh, entah kontemporer
seperti tsunami dan konflik kekerasan, ataupun
buku sejarah memorial seperti tentang
Kerajaan Iskandar Muda dan sederet para
Srikandi Aceh yang jelita dan pemberani
(Serambi Indonesia, 19 November 2006).
Tentu saja ini berita yang mengejutkan bagi
semua pihak. Bukan saja tema buku yang akan
ditulis telah terlalu sering terdengar, dan
masuk dalam lalu lintas parole masyarakat Aceh
dan dunia, tetapi memang gagasan seperti itu
telah begitu banyak diproduksi sebagai tulisan.
Selain itu, biaya yang begitu besar tersebut
tentu menjadi masalah ditengah kebutuhan
penting lainnya yang berkaitan dengan para
korban bencana.
Ya, tulisan boleh banyak hadir, tapi ini tentu
saja berbeda. Tapi dimana bedanya? Bisakah
Dinas Kebudayaan menghadirkan sedikit
argumentasi yang meyakinkan bahwa buku
yang dihadirkan ini adalah sebuah perjumpaan
baru di era narasi yang kompleks; era tulisan
yang mengolah banyak sisi, dari analisis
kebudayaan hingga non-kebudayaan? Bisa jadi
pertanyaan-pertanyaan tersebut terlalu
prematur untuk dilontarkan. Tak layak
berprasangka sebelum melihat hasilnya.
Namun sekedar menduga-duga dengan
seluruh kesadaran historis yang saya miliki
tentang Dinas Kebudayaan NAD, yang
mungkin tidak jauh berbeda dengan seluruh
struktur birokrasi pemerintahan negara di
republik ini, apakah mungkin hal ini
bisa terlaksana sesuai dengan harapan?
Sejujurnya, saya agak meragukannya.
Pertama, kita telah melihat bagaimana
kinerja Satker Kebudayaan BRR yang tak lain
adalah mutan genetis dari Dinas Kebudayaan
mengembangkan proyek kebudayaan untuk
Aceh selama ini. Dari informasi yang ada
selama ini, proses seleksi proposal penelitian
BRR tersebut melalui mekanisme kerja yang
cukup menyedihkan.
Hampir tak ada tim seleksi proposal yang
memiliki latar belakang pengetahuan budaya
yang boleh diandalkan, yang dapat fasih
berbicara tentang proposal yang masuk. Proses
kualifikasi yang tidak memadai akan
melahirkan output yang tidak seperti
yang diharapkan. Kesan kuat tentang Panitia
Satker yang hanya mengejar deadline tanpa

memedulikan peluang alternatif untuk


menunda sedikit waktu sehingga ada proposal
yang layak untuk didukung bantuan dana terlihat
jelas.
Bagaimanapun sebuah perencanaan program seperti pembangunan kebudayaan
memerlukan sebuah riset serius dengan kaidah
penulisan yang benar melalui perangkat kajian
budaya yang mendalam. Inilah yang disebut
Clifford Geertz sebagai thick description,
sebuah penelitian mendalam dengan teknik
pengolahan yang menyusur jatuh ke lembah
permasalahan dan masuk ke fenomena mental
masyarakat, dalam inti pikiran yang tersendat
oleh berbagai macam sistem kekuasaan yang
mengukungnya.
Kedua, tema-tema yang diinginkan
tersebut telah tersebar luas dalam beragam
buku, makalah, draf akademik, baik yang
dipublikkan secara terbatas ataupun meluas.
Walaupun tidak bermaksud untuk
membandingkan, namun saya pikir untuk
penelitian antropologis Aceh belumlah ada yang
mampu menggantikan posisi Snouck
Hurgronje di sisi kedalamannya. Buku-bukunya
tentang masyarakat dan budaya Aceh dan Gayo
(telah diterjemahkan oleh INIS-IndonesianNetherlands Cooperation in Islamic Studies)
adalah harta karun pengetahuan budaya yang
tak terkira bagi masyarakat Aceh dan dunia.
Kekayaan data, kecermatan mengamati,
kemampuan menyimpan setiap detail dengan
objektif dan sekuler, ditambah talenta
keilmuannya
yang
luar

biasa adalah sosok yang sulit dicari ganti saat


ini.
Buku yang berbicara periode genting Aceh
sekitar tahun 1870-an juga telah dituliskan
sangat menarik oleh Paul Vant Veer dalam De
Atjeh Oorlog (1969). Dengan gaya
kewartawanannya yang penuh semilir sastra
buku ini layak dijadikan referensi utama sejarah
Aceh. Dalam buku yang telah diterjemahkan
menjadi Perang Aceh (1987), Vant Veer dengan
lugas mengejek bangsanya sendiri yang telah
memaksakan sebuah perang yang cukup lama
dan mengorbankan banyak biaya dari seluruh
koloni yang dimiliki Belanda, hanya karena
ambisi narsisitik para jenderal perang saat itu.
Atau untuk menunjuk sebuah karya yang
lebih tua, karya H.C Zengraaft, Atjeh, yang
melukiskan apa yang dikatakan Vant Veer
secara lebih sakarstik. Dalam buku yang juga
telah diterjemahkan itu Zengraaft menuliskan,
Orang-orang Aceh, baik pria maupun
wanita, sesungguhnya telah berjuang gigih
sekali untuk apa yang mereka pandang
sebagai kepentingan nasional dan
agamaOleh karena itu tidaklah perlu kita
memakai istilah-istilah penghianat dan
pemberontak yang menurunkan derajat
kemenangan pasukan kita dan membuat
pertimbangan yang kurang adil bagi lawan
yang gagah berani itu.

Karya seperti ini mungkin belum bisa


tergantikan, kecuali hadir penulis sejarah baru
yang lebih kritis dan mampu dengan kerendahan
hati melihat borok diri sendiri sembari tidak
segan memaparkan kebenaran bahkan ketika
itu datangnya dari musuh, seperti yang
dilakukan oleh Zengraaft dan Vant Veer dalam
bukunya.
Untuk karya-karya yang dituliskan oleh
putra Aceh juga telah cukup banyak. Kita dapat
mengupas kembali penulisan sejarah Aceh yang
dilakukan Mr. T. Iskandar, Prof. Ali Hasjmy,
Prof. T. Ibrahim Alfian, Dr, Isa Sulaiman, A.K.
Jakobi, dll. Belum lagi jika ikut dihitung
memoar yang dibuat oleh para saksi mata
sejarah seperti Hasan Saleh, Simbolon, M.
Noer El-Ibrahimy, Syamaun Gaharu, dll.
Di tingkat para ilmuwan Barat yang
menuliskan masalah Aceh juga tak kurang
ampuhnya. James T. Siegel, penulis Rope of
God, cukup fantastik mengambarkan berbagai
macam tradisi folklore masyarakat Aceh
termasuk kesenian bela diri yang kini mulai
dilupakan, geude-geude: gulat Aceh yang
terinspirasi dari gerakan shalat. Tak kalah
menariknya upaya mengungkap sisi pinggir
sejarah Aceh seperti terlihat dalam buku-buku
Anthony Reid, Dannys Lombard, Lance Castle,
dll.
Ketiga, ketika pilihannya adalah menuliskan
buku, mungkin hal yang paling penting
dilakukan sebagai tahap awal adalah melakukan
riset. Dalam penulisan buku semacam ini riset
paling berharga adalah penelusuran
kepustakaan, karena apa yang akan dieksplorasi
adalah sesuatu yang post-pactum, selewat
masa. Sedangkan wawancara dan kunjungan
kerja adalah hal sekunder, meskipun hal ini
tidak boleh diabaikan juga.
Riset kepustakaan berarti membangun tata
krama baru dalam membaca. Sesungguhnya
yang diinginkan tidak sekedar mengungkit
forma kata, kalimat, grafis, dan ide dari apa
yang telah dituliskan penulis sebelumnya. Akan
tetapi melakukan apropiasi, menyerap inti
bacaan untuk dianalisis dan dijadikan tubuh
baru. Proses ini tak sama dengan hanya
merekat-rekatkan saja dari semeja adonan lalu
menghadirkannya sebagai bacaan yang dingin
dan beku..
Riset kepustakaan adalah mengolah diri
menuju pembacaan kritis demi mengungkap
sesuatu yang lama dengan cara baru. Inilah
takdir tulisan writerly yang diangankan Barthes.
Tulisan adalah resonansi pengungkapan, dengan
hati-hati menyusun komposisi, dan
mengaransemen kembali data/fakta/tanda
sehingga membentuk bisikan yang bergetar.
Tentu saja di belakang seluruh proses ini mesti
didukung penulis-peneliti yang handal dan
profesional di bidangnya. Inilah harga yang
sepadan untuk kerja yang maksimal.
Kebutuhan di Aceh saat ini masih di level
penguatan bacaan. Jalan benar yang harus
ditapaki adalah memperbanyak pusat-pusat
kepustakaan, informasi, dan komunikasi dengan
seluruh referensi kebudayaan yang telah
dimilikinya. Apalagi referensi tentang Aceh
lebih banyak terdapat di luar negeri seperti di
Kota Leiden, Paris, dan London. Proyek
penulisan masih dapat ditunda, sehingga
seluruh persiapan penulisan, terutama
persiapan tim penulis betul-betul matang untuk
menuliskan kembali sisi balik kegemilangan
Aceh itu
Di tengah kegersangan yang masih
ditinggalkan oleh tsunami setahun lalu, mungkin
kita perlu untuk mengubah pola pikir kita,
bagaimana sebuah skala prioritas kebutuhan
diletakkan diantara kebutuhan-kebutuhan
penting lainnya. Kebutuhan yang tidak saja
berdimensi kemanusiaan namun mengacu
kepada persoalan kepatutan. Agar derita tsunami tidak makin bertambah-tambah. Saya
yakin elite Aceh punya orientasi ke arah
sana.***

Daerah

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Tabloid Hukum dan Politik

Bireuen

MODUS

Teungku Karu Karena Beulanja


Ditengarai telah melakukan penipuan dan penggelapan dana. Ketua Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Najmussalam,
gk H. M Ali Husein dipecat dari jabatann
y a, melalui Rapat Anggo
ta TTahunan
ahunan
K
ecamatan P
andrah, K
abupat
en Bireuen, TTgk
Pandrah,
Kabupat
abupaten
jabatanny
Anggota
Kecamatan
Kabupaten
jabatannya,
(RA
T).
T
api,
ia
menilai
rapat
t
er
sebut
tidak
sah.
Benar
k
ah?
(RAT). Tapi,
ter
ersebut
Benark
tersebut
Benarkah?
pagi, 8 Maret 2006 lalu. Ratusan
santri dan santriwati, serta Pengurus
Kopontren Najmussalam, menghadiri sebuah
perhelatan tahunan. Perhelatan tadi bertajuk:
Rapat Anggota Tahunan (RAT). Tujuannya,
membahas pertanggung jawaban Kepengurusan Kopontren Najmussalam periode
2003-2008, serta pemilihan kepengurusan
baru periode 2008-2011.
Rapat dipimpin Tgk Abdullah Sulaiman.
Dalam pertemuan itu sempat disinggung soal
kepemimpinan Ketua I Kopontren, Tgk H M
Ali Husein, yang dinilai cenderung otoriter.
Lalu, ia pun meminta agar Badan Pengawas
Konpotren menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada anggota, meski tidak
dihadiri oleh Tgk H M Ali Husein.
Nah, selanjutnya, laporan pertanggung
jawaban disampaikan Tgk Syahrul Kamal.
Kata Tgk Syahrul, tanggal 12 Agustus 2000,
pengurus yang diwakili Tgk H. M. Ali Husein
dalam kapasitas sebagai Ketua I Kopontren
telah mengikatkan Kopontren dengan
membuat perjanjian kerjasama pengelolaan
kayu dengan PT. Kumala Sukses Makmur
Abadi, Jakarta. Perjanjian itu sesuai dengan
Akte Perjanjian No. 6 tanggal 12 Agustus
2000, yang dibuat dihadapan Notaris Yanti Budi
Harsono, SH, seorang notaris di Bogor.
Konsekwensinya, Ali Husein disebutkan telah
menerima uang Rp 300 juta.
Lalu pada tanggal 7 Juli 2004, Tgk H Ali
Husein, kembali menerima kuasa dari
Kopontren, yang diberikan Tgk. Ahmad
Ridwan dan Drs. Tgk. Jafaruddin. Surat kuasa
tadi sesuai dengan akte notaris, nomor 9 yang
dibuat di hadapan Notaris Try Yuliza, SH di
Bireuen. Tujuannya, masih terkait dengan
pengelolaan bisnis yang dikembangkan
pondok pesantren yang sempat heboh karena
isu illegal logging.
Rupanya, soal kuasa dan kontrakmengontrak tadi tak sampai di situ. Tanggal
20 Januari 2006, Tgk H. M. Ali Husein,
kembali mengikatkan perjanjian dengan Tgk.
Irsyandi Muhammad Daud. Kontrak tadi
sesuai Akte No. 9 tanggal 20 Januari 2006
yang dikeluarkan Sri Mawarni Setyowati,
Notaris di Jakarta. Tak jelas, dalam kaitan apa
perjanjian itu dilakukan, yang pasti Teungku
H. M. Ali Husein, disebut-sebut kembali
menerima uang sebesar Rp 1 milyar. Namun,
walau sempat dua kali menerima kucuran dana
dari pihak ke tiga, uang tadi ternyata tidak
disetor ke kas Konpontren oleh Tgk H Ali
Husein. Sebaliknya, pada tanggal 8 Desember
2005, ia malah melaporkan Sekretaris
Kopontren Najmusalam, Drs Tgk Jafaruddin
ke Polda NAD. Dalam laporan polisi nomor
LP/84/XIII/2005/Dit Reskrim. Tgk Jafar
disebutkan telah melakukan praktik illegal
logging di areal HPH milik Kopontren seluas
tiga puluh ribu hektar lebih.
Saling lapor pun tak dapat dihindari. Kali
ini datang dari badan pengawas. Tgk Ali
Husein dilaporkan ke polisi dengan tuduhan
telah melakukan pemalsuan tanda tangan
pengurus Kopontren untuk kepentingan
pribadinya. Disebutkan oleh badan pengawas,
dia selalu menghindar ketika akan dilakukan
pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen
keuangan Kopontren.
Contohnya tanggal 6 Maret 2006, persis
pukul 8.00 wib. Badan Pengawas menerima
surat faksimile dari Konsultan Hukum/Kantor
Pengacara Dr. H. Eddi Pranyoto Waluyo S
dan rekan, yang bertindak untuk dan atas nama
Ir. Hari Sunaryo di Jakarta. Surat itu ditujukan
kepada Kopontren Najmussalam. Isinya,
pemberitahuan Tgk H M Ali Husein ke Polda
NAD. Dia dituduh telah melakukan tindak
pidana penipuan dan penggelapan.
Nah, atas laporan tadi, lalu Badan
pengawas Kopontren Najmussalam menyim-

Ikhwati/modus

SENIN

pulkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh


Tgk. H. M Ali Husein baik sebagai ketua I
maupun sebagai penerima kuasa telah
menyalahi atau melebihi kewenangannya. Dia
dituding telah melanggar anggaran dasar
Kopontren Najmussalam.
Tudingan itu sangat beralasan. Sebab,
setiap ikatan kerja sama dengan pihak ketiga
yang dilakukan Ali Husein tidak dilaporkan
ke Kopontren. Maka semua itu sepenuhnya
menjadi tanggungjawab pribadinya, bukan
tanggung jawab Kopontren, kata Tgk
Abdullah Sulaiman. Kepengurusan Ali Husein
dalam Kopontren Najmusaslam pun diminta
untuk ditinjau ulang. Laporan badan pengawas
tersebut ditanda tangani Tgk Muhammad
Usman sebagai Ketua dan Tgk Jamilah
sebagai anggota.
Setelah pembacaan laporan pertanggung
jawaban tersebut, pimpinan rapat, Tgk
Abdullah Sulaiman, meminta kepada para
peserta rapat untuk menanggapinya. Hasilnya,
seluruh peserta rapat menyetujui pemecatan
Tgk Ali Husein dari kepengurusan Kopontren
Najmussalam.
Rapat kemudian dilanjutkan dengan agenda
memilih
kepengurusan
Kopontren
Najmussalam periode 2006 sampai 2011.
Seorang gadis bernama Herawati (22) mengusulkan untuk mengangkat Tgk. Syahrul
Kamal, S.Ag sebagai Ketua I Kopontren
Najmussalam yang baru menggantikan Tgk.
H. M. Ali Husein, dan secara aklamasi usulan
tersebut diterima oleh peserta rapat. Beberapa
saat kemudian kepengurusan baru langsung
dilantik oleh Hasnawati, SE yang merupakan
perwakilan Deperindagkop Bireuen.
Sekedar informasi saja. Kopontren
Najmussalam bergerak di bidang pertanian.
Mereka memiliki sawah tiga hektar,
perkebunan sawit seluas 25 hektar.
Sementara bidang peternakan ada kambing,
ayam dan bebek. Ada juga warung serba ada
(Waserda) yang berlokasi di Pandrah dan
Jeunib serta bidang HPH seluas 30.848 hektar
di Kawasan Blang Beururu, Krueng Peudada
sampai Krueng Batee Iliek.***
Ikhwati (Bireuen)

Tgk Ali Husein:

Semua Itu Omong Kosong!


Kabarnya Anda dipecat dari
pengurusan
Kopontren
Najmusalam, komentar Anda?
Itu tidak sah. Rapat Anggota
Tahunan (RAT) itu ada mekanismenya. Kalau hanya kumpul-kumpul,
lalu potong lembu untuk makan
bersama itu bukan rapat namanya, itu
kenduri.
Bagaimana Anda melihat
kondisi Kopontren Najmussalam?
Kopontren tidak punya apa-apa.
Lalu oleh para anggota meminta
kepada saya untuk mencari modal.
Lalu, sejak tahun 1997 saya menginvestasikan dana
saya Rp 6,5 milyar lebih ke situ. Tapi karena itu
dana saya, saya pun minta agar diberikan
kepercayaan penuh.
Maksudnya?
Saya minta diberikan kuasa penuh. Dan pada
13 November 1998, hal itu diberikan. Saya
mendapat kuasa penuh untuk melakukan segala
perbuatan hukum dalam arti seluas-luasnya atas
nama Kopontren Najmussalam. Surat kuasa penuh
itu berlaku selama-lamanya dan tidak dapat
dibatalkan.
Lalu?
Karena banyak dana saya yang sudah saya
investasikan. Lalu pada 7 Juli 2004, saya membuat
akta dihadapan notaris. Bahwa saya bisa melakukan
segala tindakan hukum, termasuk mengeluarkan
dan menandatangani giro. Surat kuasa penuh itu
dalam akta tadi ditegaskan tidak akan berakhir oleh
sebab apapun.
Mengapa bisa seperti itu?
Ya, karena saya ingin menyelamatkan saya
punya dana. Sewaktu-waktu kalau saya tidak lagi
menjadi ketua, saya bisa tarik uang saya kembali.
Koperasi itu hanya formalitas, tidak ada iuran
anggotanya. Semua dananya dari saya.
Lalu apa peran anggota dan pengurus

lainnya?
Pengurus tidak aktif. Mereka
tidak punya sumber daya.
Anda juga disebutan menarik
uang dari pihak ke tiga atas nama
Kopontren Najmusalam, tapi
uang tidak Anda setor ke
koperasi. Benarkah?
Ya. Saya telah berjuang melakukan pengurusan atas nama
koperasi, dengan dana pribadi saya,
sehingga HPH seluas 30.000 hektar
lebih itu terwujud. Nah, untuk
mengelolanya kan butuh dana yang
besar. Maka saya lakukanlah kerja
sama dengan pihak ke tiga. PT Keumala misalnya,
sebagai langkah awal kerja sama mereka kasih Rp
300 juta. Tapi setelah saya selidiki ternyata
perusahaan itu illegal. Otomatis dana itu hangus,
mereka pun tidak memintanya lagi.
Tapi Hary Sunaryo dari PT Keumala kok
melaporkan Anda ke pihak kepolisian dengan
tuduhan penipuan?
Saya belum tahu kalau ia membuat laporan itu.
Tapi perusahaan itu bukan milik dia. Dia hanya
perantara.
Lalu bagaimana dengan dana yang Anda
ambil Rp 1 milyar dari Tgk Irsyadi atas nama
Kopontren?
Tidak ada itu, Tgk Irsyadi itu adik angkat saya.
Anda juga disebutkan melakukan
pemalsuan tandatangan pengurus?
Tidak ada itu, tanda tangan siapa? pengurus yang
mana? Buktikan kalau ada.
Soal laporan Anda ke Polda NAD
bagaimana?
Itu saya lakukan karena telah terjadi praktek
illegal logging di kawasan Peudada, masih termasuk
dalam HPH milik Kopontren. Mereka mengeluarkan kayu tanpa izin, maka saya laporkan ke
polisi. Laporan mereka itu bohong semua!***
Iskandar Norman

MODUS

Rehabilitasi & Rekonstruksi

Tabloid Hukum dan Politik

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Saat Janji Sesuai Kata


Hingga kini masih ada NGO yang belum merealisasikan pembangunan rumah korban tsunami. BRR mengimbau agar setiap
NGO yang sudah berkomitmen membangun rumah untuk masyarakat Aceh, dapat melaksanakannya sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan.

KALAUPUN

pada limit waktu


tertentu, menjelang medio 2007,
masih ada NGO yang belum
membangun rumah, maka rumah
tersebut akan diambil alih oleh BRR.
Yang penting, tidak boleh ada rumah

korban tsunami yang tidak dibangun.


Karena itu masyarakat, jangan
khawatir menanggapi lambatnya
realisasi dari NGO dalam
membangun rumah. Kita ingin pada
pertengahan
tahun
depan

pembangunan 120 ribu bagi korban


tsunami Aceh-Nias selesai, kata Juru
Bicara BRR, Mirza Keumala, kepada
Modus Selasa (14/3).
Soal rumah, agaknya kian
membuat pimpinan dan staf BRR

Aceh & Nias, berpikir ekstra.


Maklum, masalah yang satu ini, terus
mendapat sorotan dari banyak pihak.
Kecuali itu, rumah adalah kebutuhan
pokok dan mendesak bagi korban
gempa dan tsunami Aceh.
Begitupun kata Mirza, semua
pihak
harus
menggunakan
pendekatan, memahami dan mengerti
kondisi NGO bila mereka belum bisa
merealisasikan janjinya. Mirza
memperkirakan, kelambanan itu bisa
saja terjadi karena saat ini NGO
mempunyai masalah internal. Karena
itu, katanya, jangan tergesa-gesa
menilai mereka tidak memenuhi
janjinya.
Mungkin saja saat ini NGO
tersebut masih banyak kendala.
Karena itu BRR berprasangka baik
terhadap mereka, bahwa mereka
akan komit (terhadap janjinya untuk
membangun rumah bagi korban tsunami. Namun apabila ada NGO yang
jelas-jelas merugikan kita, maka
pihaknya akan mengambil tindakan
tegas, tandasnya.
Menyangkut dengan tindakan apa
yang akan diberikan pada NGO
nakal, Mirza mengatakan, hal itu
sepenuhnya menjadi wewenang
kepala Badan Pelaksana (Bapel) BRR
NAD-Nias. Kecuali itu, dirinya juga
tidak bisa memastikan peringatan atau
saksi apa yang akan diberikan kepada

NGO yang nakal itu. Apabila


secara nyata ada NGO yang
merugikan Aceh, maka akan ada
tindakan tegas dari BRR, dan bisa saja
NGO itu disuruh angkat kaki dari
Aceh. Tapi yang pasti hal itu
merupakan wewenang kepala Bapel,
ujar Mirza.
Menyangkut jumlah perusahaan
yang telah mengembalikan berkas
prakualifikasi pengadaan jasa
konsultasi dan jasa pemborongan yang
dilaksanakan
Satker BRR
Pengembangan Perumahan dan
Permukiman. Menurut Mirza, hingga
berakhir pada Senin (13/3), tercatat
3.088 perusahaan. Sebanyak 2.885
kontraktor dan 203 konsultan.
Menyangkut sistem penentuan
pemenang pelelangan untuk
pekerjaan pembangunan 40 ribu unit
rumah yang dibiayai dari sumber dana
APBN 2006, menurut Mirza, akan
ditentukan melalui penunjukan
langsung (PL) setelah di evaluasi oleh
komite rumah.
Menurutnya, anggota komite
rumah terdiri dari Ramli Ibrahim
(Sekretans BRR), T.Kamaruzzaman
(Deputi Monitoring dan Evaluasi),
Andi Siswanto (Deputi Perumahan),
E Purwanto (Deputi Infrastruktur),
Sudirman Said (Deputi Komunikasi
dan Informasi), dan Junius sebagai
Deputi Perencanaan***
Davi Abda

Meunasah Juga Kecipratan, Teungku!

Jumlah
Kecamatan

Jumlah
Gampong

Sabang
Banda Aceh
Aceh Besar
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Barat
Simeulue
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Lhokseumawe
Langsa
Aceh Barat Daya
Gayo Lues
Aceh Jaya
Nagan Raya
Aceh Tamiang
Bener Meriah

2
5
9
14
5
9
5
7
3
4
2
5
6
2
2
3
2
3
2
4
3

4
10
38
55
35
53
15
38
10
25
4
17
15
8
7
8
6
12
15
15
10

TOTAL

97

400

dayung, dua pulau terlampaui.


Agaknya, itulah tekad BRR NADNias,
khususnya sektor Deputi agama, Sosial, dan
Budaya. Bayangkan, selain memfasilisi kegiatan
yang berkaitan dengan agama, sosial dan budaya,
keberadaan meunasah, juga tak terlupakan
begitu saja. Maklumlah, program revitalisasi
meunasah ini, dinilai sebagai ruang publik adat
yang strategis bagi masyarakat Aceh.
Deputi Agama, Sosial, dan Budaya BRR
NAD-Nias, Faud Mardhatillah menegaskan hal
itu kepada modus beberapa waktu lalu. Kata
dia, program ini untuk menghidupkan kembali
fungsi sosial meunasah di Aceh.
Bagi rakyat Aceh, sejak dulu meunasah
memiliki peran sentral dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Kita berharap program ini dapat memperkuat jati diri, identitas
kultural, dan solidaritas sosial masyarakat Aceh
yang dikenal riligius, katanya seraya
menambahkaan kegiatan ini akan dilanjutkan
lagi untuk tahun anggaraan 2006.
Untuk pagu anggaran 2005, program
melalui satuan kerja (Satker) Revitalisasi dan
Pengembangan Kebudayaan pada tahun 2005
tadi, telah memplot anggaran sebasar Rp.
6.243.705.000. Jumlah dana itu dijabarkan dalam
bentuk kegiatan pemberian bantuan bagi
meunasah-meunasah di Aceh. Dana itu
termasuk biaya administrasi dan distribusi.
Program ini diharapkan jadi bagian dari
upaya mengaktifkan kembali fungsi meunasah
yang tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi
juga sebagai pusat kegiatan dan interaksi sosial
masyarakat. Kecuali itu, meunasah dapat
kembali digunakan sebagai tempat musyawarah
dalam menyusun rencana pembangunan desa,
media penyelesaian sengketa antara warga,
pusat informasi masyarakat, kegiatan
keagamaan, berupa kenduri gampong,

Kahar/modus

Umri P/modus

Kabupaten/Kota

SEKALI

meurukon, dalail khairan, TPQ Anak-Anak,


majelis taqlim, kegiatan dakwah dan sarana
pendidikan warga, serta berbagai kegiatan
sosial kemasyarakatan lainya
Program ini dilaksanakan Majelis Adat Aceh
(MAA) NAD. Program revilitasi meunasah ini
diperuntukkan bagi 400 meunasah yang
tersebar di 21 Kabupaten/Kota yang ada di
Aceh. Tiap meunasah mendapat bantuan dana
Rp. 15.000.000.
Untuk menyukseskan program ini, panitia
telah mensosialisasi melalui keuchik dan MAA
Kabupaten/Kota. Panitia juga berkoordinasi
dengan pihak terkait seperti Bupati dan Camat,
Keuchik dan Imum Meunasah. Khusus
menyangkut transpanrasi dan akunstabilitas

kegiatan. BRR Aceh-Nias berharap, panitia


telah menyiapkan mekanisme kontrol
melalui monitoring dan evaluasi yang
melibatkan Satker, MAA, Bupati, Camat,
Keuchik, dan Imum Mukim. Mereka juga
terikat pakta integritas dan kontrak kerja yang
ditandatangani bersama.
Untuk memudahkan pengawasan dari
masyarakat, pihak BRR juga mengelar
imbauan tertulis yang dipampang di setiap
meunasah yang mengajak seluruh masyarakat
untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan
sehingga penyaluran dan pengelola bantuan
ini betul-betul dapat terlaksana dengan baik
demi kemaslatan umat. Semoga.***
Davi Abda

10

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Iklan

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Iklan

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

11

12

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Parlementaria
D P R D

Tabloid Hukum dan Politik

N A D

MODUS

Mengisi Kursi Kosong


Dr
gk Ahmad Habib LLubis
ubis dari P
ar
tai Nahdatul Ummah (PNU) dilantik menjadi anggo
ta DPRD NAD antar w
aktu. Dia
Drss TTgk
Par
artai
anggota
waktu.
Partai
ang
meninggal
k
arena
bencana
gempa
dan
tsunami.
T
er
k
ait,
sejumlah
k
ur
si
osong
mengantik
an
M
Y
unus
Mah
y
ani
y
mengantikan
Yunus Mahy
karena
Ter
erk
kur
ursi k
kosong
Mahyani yang
Terkait,
kursi
dijajaran Sekretariat DPRD NAD, pimpinan dewan juga melantik sejumlah pejabat eselon III.
Sekretariat DPRD NAD

tidak menyangka menjadi anggota


dewan. Tugas ini sangat berat, terutama dalam
membawa aspirasi rakyat. Tapi, walau
bagaimana pun, beban ini harus saya dipikul,
begitu kata Drs Tgk Ahmad Habib Lubis, yang
sejak, 10 Maret 2006 lalu, resmi menjadi
anggota DPRD NAD.
Politisi Partai Persatuan Nahdatul Ummah
Indonesia (PNUI) ini, dilantik Ketua DPRD
NAD H Sayed Fuad Zakaria SE, mengantikan
M Yunus Mahyani yang meninggal dunia karena
bencana tsunami. Selanjutnya, Tgk Ahmad akan
bergabung dalam Fraksi Perjuangan dan Komisi
E, DPRD NAD Bidang Keistimewaan Aceh.
Dalam cacatan modus, Tgk Ahmad Habib
Lubis, adalah anggota DPRD sesi kedua yang
dilantik, mengantikan rekan mereka yang
meninggal dunia, akibat bencana gempa dan tsunami. Sebelumnya, ada juga yang berasal dari
Partai Golkar dan PBR serta PBB. Tgk Ahmad
sendiri berasal dari Daerah Pemilihan (DP) III,
meliputi Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Jaya.
Sebelum menjadi wakil rakyat, Tgk Ahmad
merupakan tamatan Pasantren Madina Mustafa
Wiyah Purba Baru, Tapanuli Selatan. Dia pernah
menjadi pegawai di Kantor Departemen Agama
Aceh Timur, selama tiga tahun. Sebelas tahun
di Aceh Barat dan terakhir di Banda Aceh. Sejak
1 Februari 1999 lalu, ia resmi pensiun.
Dua hari kemudian, Sabtu 12 Maret 2006.
Jajaran Sekretariat DPRD NAD, juga melantik
sejumlah pejabat eselon tiga. Menurut
Sekretaris Dewan DPRD NAD Drs H Basran
Basry A. Thaleb, mutasi ini mutlak dilakukan
karena sudah 10 tahun lebih jabatan itu kosong.
Sekarang, seluruh struktur di Sekretariat
DPRD NAD sudah terisi. Seperti pengisian di
jabatan Kopri (Korp Pegawai Repubrik Indonesia), kata Hasan Basry.

Sekretariat DPRD NAD

SA
Y
SAY
YA
A

Pelantikan tadi disaksikan seluruh jajaran


Sekretariat DPRD NAD itu dan para Wakil
Ketua DPRD NAD. Jabatan itu sendiri, menurut
Sekwan DPRD NAD, akan dievaluasi selama
tiga bulan berjalan. Jika rapor dan kinerjanya
jelek, maka akan kita ganti dengan yang lain.
Dan, ini semua sudah melalui proses konsultasi
dengan Pejabat Gubernur NAD. Saya akan
bebankan berbagai tugas-tugas terkait Kopri
kepada pejabat yang bersangkutan, papar Hasan
Basri.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
NAD, nomor Peg.821.23/ 002/2006 nama-nama
yang dilantik itu antara lain. M. Azharsyah Arief,
BA. Sebelumnya sebagai Staf pada Sekretariat

DPRD NAD. Posisi baru sebagai Sekretaris


Unit KOPRI DPRD NAD. Selanjutnya, Nurdin
Ubit, S. Sos, jabatan lama Staf Subbag Rumah
Tangga (RT) pada Sekretariat DPRD NAD.
Jabatan baru Pj Wakil Sekretaris Unit KOPRI
pada Sekretariat DPRD NAD.
Lalu, Edwar Iriansyah, jabatan lama Staf
Subbag Adm, Umum/Kepegawaian pada
Sekretariat DPRD NAD. Jabatan baru
Kasubbag Tata Usaha pada Unit KOPRI pada
Sekretariat DPRD NAD. Terakhir, M. Syukur,
jabatan lama Staf Subbag Humas pada Sekretariat
DPRD NAD. Jabatan baru Pj Kasubbag pada
Unit KOPRI pada Sekretariat DPRD NAD.
Ketua DPRD NAD, Sayed Fuad Zakaria

berharap, pengisian dan pergantin sejumlah


posisi di jajaran Sekretariat DPRD NAD, dapat
memberi warna baru, terutama peningkatan
tugas maupun kinerja. Sebab katanya, beban
kerja yang harus dijalani seluruh staf dan
karyawan DPRD NAD, kian berat dan
bertambah. Untuk itu, tanpa kerja keras dan
sinergi yang harmoni, mustahil tugas-tugas tadi
dapat berjalan dengan lancar dan tertib.
Karenanya, bangunan komunikasi antar sesama
karyawan maupun anggota DPRD NAD,
hendaknya dapat terus dijaga dan tingkatkan,
kata Sayed kepada modus, usai pelantikan.
Dari amatan modus, sejak beberapa bulan
lalu, beban kerja di jajaran Sekretariat DPRD
NAD, bisa disebut berat dan besar. Ini sejalan
dengan pembahasan RUU-PA serta sejumlah
aktivitas rutin lainnya. Bahkan, ada yang sempat
sakit karena lelah. Sebaliknya, tak sedikit ada
karyawan dan staf yang kelihatan masih belum
maksimal menjalankan tugas dan fungsinya.
Bayangkan, bahkan ada yang sudah pulang atau
pergi entah kemana, saat jam kerja padat, sekitar
pukul 11.00 Wib. Padahal, hingga saat ini masih
berlaku jam kerja hingga pukul 14.00 Wib.
Karena itu, saya minta Sekwan untuk terus
melakukan evaluasi dan penilaian bagi staf dan
karyawan. Sebab, ada juga karyawan dan staf
yang rela dan loyal kerja hingga sore, bahkan
malam hari, ungkap Sayed Fuad.
Sejalan dengan itu, Sekwan DPRD NAD
menyatakan kesepakatannya. Kalau sakit tentu
kita bisa maklum. Namanya juga manusia bukan
robot. Tapi, kalau tanpa alasan yang jelas dan
kinerjanya buruk, saya usulkan pindah saja ke
dinas, tegas Sekwan NAD, Drs Hasan Basri A
Thaleh.***
Umri PM

MODUS

Parlementaria

Tabloid Hukum dan Politik

D P R D

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

N A D

13

Anggaran Disentil, Setda Ditolak


AK Jailani/modus

Sidang Paripurna I DPRD NAD, membahas


anggaran 2006, mencapai kata sepakat.
Namun, ada beberapa item mata anggaran
yang dinilai Panitia Anggaran Dewan, aneh.
Rencana kehadiran Plt Setda NAD dalam rapat
lanjutan pun ditolak.

BASR
UN
BASRUN

Yusuf SH, bicara


lantang. Juru Bicara Panitia
Anggaran DPRD NAD dari Fraksi
PPP itu, sesekali menaikkan
intonasi bicara, tatkala melaporkan
pendapat, usul dan saran panitia
anggaran DPRD Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, terhadap Nota
Keuangan dan Rancangan APBD
NAD 2006, Senin malam lalu.
Sidang paripurna I yang
dimulai, Jumat 10 Maret lalu, telah
memberikan suatu apresiasi kepada
saudara Penjabat Gubernur NAD
dan jajaranya, yang telah mampu
menekan tampilan angka defisit dari
Rp 173.927.736.033 menjadi Rp
151.653.822.460 atau berkurang
sebesar Rp 22.273.913.573. Namun,
di sisi lain terdapat kesepahaman
yang bermuara kepada kesepakatan
antara Panitia Anggaran Dewan
dengan Tim Anggaran Eksekutif
yang ditampilkan dalam dokumen
RAPBD Tahun 2006. Masih ditemui
adanya ketidak sesuaian, yang
mengakibatkan terjadinya
penambahan anggaran di luar
batasan kesepakatan. Diantaranya,
Biro Pemerintahan Setda Prov
NAD disepakati Rp 5.930.621.400,
terjadi penambahan sebesar Rp
1.539.048.500, sehingga menjadi Rp
7.469.669.900. papar Basrun.
Rapat pleno dua, masa
persidangan satu tahun 2006 itu,
dipimpin Wakil Ketua DPRD NAD,
Waisul Qarany Aly. Dihadiri Ketua
DPRD NAD, Sayed Fuad Zakaria, Pj
Gubernur NAD, Mustafa Abu Bakar,
Wakil Ketua DPRD NAD, Raihan
Iskandar serta sejumlah anggota
DPRD maupun kepala dinas dan
instansi. Tak kecuali Plt Setda NAD,
Husni Bahri Top SH, M. Hum.
Dalam laporannya, Basrun lebih
jauh mengungkapkan. Kejanggalan
serupa juga terjadi di Dinas
Pariwisata. Lihatlah, anggaran yang
disepakati sebesar Rp
4.230.426.338,- Namun, terjadi
penambahan sebesar Rp
349.999.998, sehingga menjadi Rp
4.580.426.338. Begitu juga dengan
Bapedalda. Disepakati Rp
5.065.845.400, terjadi penambahan
sebesar Rp 460.004.600, sehingga
menjadi Rp 5.525.850.000.
Disamping itu, masih ada Unit
Pengguna Anggaran lain yang
mengalami persoalan serupa dan
tidak mungkin diuraikan satu
persatu. Oleh karena itu Panitia
Anggaran Dewan menyarankan agar
ditertibkan kembali. Karena
penambahan anggaran tidak
terdeteksi dalam program dan
kegiatan sehingga sangat
berpengaruh pada penciutan angka

defisit, kata Basrun yusuf.


Sampai di sini, sidang masih
berjalan normal dan biasa saja. Pun
begitu, saat Basrun usai
membacakan laporan dan sidang
akan ditutup oleh pimpinan sidang,
Waisul Qarany Aly, tiba-tiba,
Muchlis Muchtar SH dari PBR
menginterupsi. Interupsi
pimpinan. Kami tak bisa terima hal
seperti ini, karena penambahan
dilakukan secara diam-diam. Untuk
itu, sebelum penyampaian
pemandangan umum anggota
dewan, masalah ini harus
diselesaikan terlebih dahulu oleh
panitia anggaran eksekutif dengan
legislatif, usul Mukhlis. Spontan
saja, usulan Mukhlis disambut
serius sejumlah anggota dewan
seperti T. Harmen Nuriqmar, dan
M Gade Salam.
Dukungan sama datang dari
Ishak Kasem. Pimpinan, saya
setuju dan sepakat dengan usulan
rekan tadi. Namun, saya tak sepakat
bila rapat atau sidang dilakukan
penjadwalan ulang. Karena rapat ini
sendiri sudah empat kali dilakukan

penjadwalan ulang. Kalau ini yang


terjadi, maka pembahasan RAPBD
tidak akan selesai bulan ini. Kita
bisa melakukan koreksi secara
maraton, pintanya. Pendapat Ishak
Kasem, kemudian didukung Ketua
Panitia Anggaran DPRD, Marhaban
Makam. Tak lama kemudian, sidang
ditutup Waisul Qarani Aly, tanpa
adanya kesimpulan pasti apakah
perubahan yang dituding sepihak itu
akan dibahas secara khusus melalui

penjadwalan ulang rapat paripurna


atau secara marathon.
Nah, setelah sidang ditutup,
tiba-tiba Pj Gubernur NAD,
Mustafa Abu Bakar, meminta waktu
beberapa saat kepada anggota
dewan untuk menyampaikan
informasi mengenai kemungkinan
ketidakhadiran dirinya dalam
sidang-sidang lanjutan. Itu
disebabkan banyaknya agenda
penting yang harus diikuti di

M Gade Salam

Saya Hanya Ingatkan!


Anda interupsi, menolak
kehadiran Plt Setda NAD. Kenapa?
Begini, interupsi itu hanya sebatas
mengingatkan saja.
Maksudnya?
Sebelum semua terjadi
Terjadi apa?
Begini. Sejak awal dewan tak
sepakat dengan Husni Bahri TOB
sebagai Sekda. Makanya, dia tidak
dimasukkan dalam bursa atau calon.
Namun, oleh Pj Gubernur, memasukkan juga. Nah, ada indikasi kawankawan sebagian akan keluar jika Husni
Bahri TOB hadir, mewakili Gubernur.
Tapi, Husni kan hanya sebatas datang?
Itu benar, masalahnya kawan-kawan tidak merasa
harmoni, itu saja.
Termasuk Fraksi PPP?
Oh ya, ada indikasi seperti itu
Lalu?
Saya berpikir, dari pada beliau malu kemudian, lebih
baik saya sampaikan sejak awal.
Dari mana Anda tahu kalau sebagian anggota
dewan akan keluar?
Inikan lembaga dewan dan saya anggotanya. Jadi,
saya lebih tahu. Itu pun kalau di dengar. Kalau tidak ya
tidak ada masalah. Tapi, saya sudah menginggatkan.
Ya, tapi Anda langsung menyebut nama?
Apa salahnya. Memangnya ada dua Sekda NAD?
Kan satu. Karenanya, tidak mungkin saya berandai-

andai atau mentamsilkan dengan nama


lain. Ini kan jaman terbuka, tak perlu
lagi basa-basi.
Seandainya, Husni Bahri TOB
tetap juga hadir?
Saya pribadi akan keluar dari
sidang.
Yang lain?
Itu saya tak bisa jamin. Semua
terserah pribadi masing-masing.
Sudah separah inikah?
Bukan soal parah atau tidak. Tapi,
masalah konsistensi dalam bersikap.
Dewan tidak sepakat dan mengusulkan
nama Husni, tapi dialah yang
ditetapkan sebagai Plt Sekda. Itu berarti eksekutif
sengaja tak mau bersinergi dengan dewan.
Tapi, itukan sepenuhnya hak Gubernur?
Itu benar, tapi sistem kerja antara dewan dan
Gubernur kan ada mekanisme. Eksekutif itukan mitra
legislatif. Karena itu, dalam batasan saran atau pendapat
itu dibenarkan. Soal didengar atau tidak, itu hak
Gubernur. Jadi, sekali lagi dalam hal Husni Bahri TOB,
saya hanya berniat baik untuk mencegah terjadinya halhal yang tidak patut dalam sidang-sidang pembahasan
anggaran selanjutnya. Lebih dari itu tidak.
Tentu tidak semua sepakat dengan cara-cara
Anda?
Sekali lagi, itu hak semua orang. Tidak ada yang
benar dan salah dalam masalah ini.***
Shaleh L. Seumawe

Jakarta. Ya, salah satunya saya


harus mengikuti evaluasi akhir
tentang penetapan Bupati/Walikota
yang telah habis masa jabatannya,
yang dilakukan di Depdagri. Karena
itu, saya mohon pengertian dan
solusi karena tidak dapat mengikuti
sidang-sidang, ujar Mustala Abu
Bakar.
Entah bagaimana kemudian,
tiba-tiba M Gade Salam dari Fraksi
PPP melakukan interupsi. Padahal,
persidangan resmi sudah ditutup
oleh pimpinan sidang. Interupsi
pimpinan, saya kira kita semua
mengerti dan setuju terhadap
permintaan saudara Pj Gubernur
yang berhalangan hadir dalam rapat
paripurna berikutnya. Karena,
semua itu juga untuk kepentingan
daerah. Tetapi tolong, saudara
gubernur jangan mewakilkan pada
Plt Sekdaprov untuk rapat di dewan
nantinya. Karena kami menolak
Hoesni Bahri TOB sebagai Plt
Sekdaprov. Apalagi kalau dijadikan
definitif, cetus Gade Salam lantang
dan mendapat aplus dari perserta
sidang.
Menyusul interupsi Gade,
Iangsung saja Jamaluddin T Muku
dari Fraksi Demokrat menyambar.
Interupsi, saya sependapat dengan
saudara Gade Salam. Kami tolak
Sekda wewakili Gubernur dalam
rapat dewan berikutnya. Kan masih
ada Asisten II atau yang lainnya bisa
hadir, ujar Jamaluddin T Muku.
Hujan interupsi rupanya tak
reda hingga Jamaluddin T Muku.
Interupsi pimpinan. Itu pendapat
pribadi yang dikemukan tadi. Kami
tidak menolak Plt Sekda untuk
mewakili Pj Gubernur dalam rapat
paripuma berikutnya, kata Muslim.
Entah karena berbeda dengan dua
anggota tadi, pernyataan Muslim
Aiyub tadi membuat sejumlah
anggota DPRD lainnya, langsung ke
luar ruang sidang. Padahal, saat itu
Muslim belum selesai berbicara.***
Shaleh L Seumawe dan Umri PM

Pelindung/Penasehat: H. Said Fuad Zakaria, SE, H. Tgk. Waisul Qarany Ali, H. Zainal Abidin, H. Raihan Iskandar, Lc, Pengarah: Muhammad Saleh, Penanggung Jawab:
Drs. H. Hasan Basry A. Thaleb, Pimpinan Redaksi: Burhanuddin, SE, Wakil Pimpinan Redaksi: Mahyar, SH, M.hum, Penyunting/Staf Redaksi: Muhammad Nazib, S.Sos, T.
Ismediansyah, S.Sos, Hj. Ervi Usriya, SE, M.Si, Wartawan modus, Alamat Redaksi: Gedung DPRD Provinsi NAD, Jl. Tgk. H.M. Daud Beureueh.
Informasi ini terlaksana atas kerjasama Tabloid Hukum dan Politik modus ACEH dengan Sekretariat DPRD Provinsi NAD

14

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Iklan

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

JAM sudah menunjukan pukul 23.00

WIB, Rabu malam (8/3) lalu. Suasana


Jalan Syah Kuala, Kecamatan Langsa
Kota, juga sudah terlihat sepi. Kalau
pun ada, hanya satu atau dua orang yang
masih lalu-lalang. Tak kecuali, di
Losmen Diah, yang dulu dikenal berada
di Jalan Irian.
Meski begitu, suasana tenang yang
membalut Losmen Diah, mendadak
jadi kisruh. Tamu dan warga sekitar
losmen, dikejutkan dengan kedatangan
aparat kepolisian. Malam, maaf siapa
saja tamu malam ini. Kok ada mobil
AMM. Bisa kami tahu siapa di dalam
kamar, tanya polisi yang kemudian
diketahui dari Satuan Intelkam, Polres
Langsa, sambil melihat buka tamu.
Tak lama kemudian. Orang
AMM menginap di kamar 10 Pak,
jelas petugas resepsionis yang
bertugas malam itu sambil memperlihatkan daftar tamu dan ada tertera
nama Eugineo Castilla Barea (40)
anggota Aceh Monitoring Mission
(AMM) asal Spanyol.
Entah curiga atau ada maksud lain,
tiba-tiba anggota polisi tadi langsung
menuju kamar nomor 10. Dan, tanpa
diduga, saat dibukakan pintu. Eugineo
Castilla Barea, sedang bertelanjang
dada. Tubuhnya hanya ditutupi kain
handuk yang dililitkan di pinggang bak
orang hendak mandi. Bersamaan dengan itu, ada seorang perempuan dalam keadaan setengah bugil, hanya
memakai pakaian dalam. Dia terkejut
dan langsung lari ke dalam kamar
mandi. Diketahui kemudian, perempuan itu Naz (29), warga BTN Sei. Pauh
Langsa. Kabarnya, dia bertugas sebagai
penterjemah di AMM Langsa. Malam
itu juga, kedua insan bukan muhrim
ini digelandang ke Mapolres Kota
Langsa.
Sumber modus di sekitar tempat
kejadian perkara (TKP) menyebutkan,
pengerebekan itu berawal dari
kecurigaan polisi dari Satuan Intelkam
Polres Langsa. Maklumlah, Kamis
malam itu, mereka melihat ada mobil
dinas AMM berada di Losmen Diah.
Padahal, jam sudah menunjukan Pukul
23.00 Wib. Kecuali itu, diluar
kelaziman. Para awak AMM yang
bermarkas di Hotel Kartika, justeru
ada di Losmen Diah.
Karena pandangan ganjil dan aneh
inilah, lalu polisi mencoba menanyakan
prihal tamu AMM kepada petugas
Losmen Diah. Hasilnya, memang ada
anggota AMM yang patut diduga
sedang indehoi bersama penterjemahnya, Naz.
Kejadian itu dibenarkan Kasat
Reskrim Polres Langsa, Iptu. Bambang Rubianto. Kata dia, masalah ini

Di Balik Berita

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

15

Lepas Syahwat Menjelang Pulang


Seorang anggota AMM Distrik Langsa, digerebek polisi sedang berduaan dengan perempuan
(penterjemahnya) di salah satu kamar losmen. Murni cinta atau sekedar melepas syahwat?

ditangani Satuan Intelkam Polres


Langsa. Kedua insan berlainan jenis ini
tertangkap basah, sedang mesum di
Losmen Diah. Namun, tidak dilakukan
penahanan terhadap keduanya. Tapi,
Wakapolres Langsa, Kompol Rudi
membantah adanya kejadian tersebut.
Rudi mengutip keterangan Zoel, abang
kandung Nazriah. Kata Zoel, adiknya
itu saat ini sedang tidak berada di
rumah. Nazriah di Medan, jelas Zoel.
Untuk memastikan kejadian ini,
pihak AMM Langsa sangat sulit untuk
dimintai keterangan. Namun, sumber
modus di AMM Langsa, membenarkan adanya kejadian itu. Kata sumber
tadi, Naz adalah salah seorang
penterjemah di AMM Langsa dan baru
bekerja tiga bulan. Kontrak kerjanya
baru saja diperpanjang setelah kontrak
pertama selesai.
Kata sumber itu, ada empat
penterjemah di AMM Langsa dan
hanya dua yang diperpanjang masa
kerjanya. Naz salah seorang di
antaranya. Sementara, anggota AMM
di Langsa, tinggal empat orang, sisanya
sudah dipulangkan ke negara asalnya

dan telah dilakukan acara perpisahan


pada Sabtu malam, 11 maret lalu.
Mungkin, Naz ingin memberi hadiah
perpisahan buat Eugineo Castilla
Barea, celetuk seorang warga saat
polisi meninggalkan Losmen Diah.
Naz, gadis berkulit hitam manis
serta memakai lensa minus. Dia, anak
keempat dari enam bersaudara. Kedua
orang tuannya telah meninggal dunia.
Lalu, Naz tinggal di BTN Sei. Pauh
bersama kakaknya. Dia alumni F-KIP,
Bahasa Inggris, Unsam Langsa dan
baru saja di wisuda tahun 2005 lalu.
Menurut Zoel abang kandung Naz,
ia belum bisa menceritakan kejadian
ini yang sebenarnya. Sebab, belum
mendapat pengakuan yang utuh dari
Naz. Zoel berjanji akan memberikan
keterangan setelah adanya keputusan
dari keluarga. Kami akan bermusyawarah keluarga terlebih dahulu dan
akan saya ceritakan yang sebenarnya,
apa yang menimpa adik saya tetapi
tidak sekarang ungkap Zoel.
Beberapa tetangga tempat Zoel
tinggal, mengaku tak percaya dengan
apa yang terjadi dan telah dilakukan

Naz bersama Eugineo Castilla Barea


di Losmen Diah. Itu disebabkan, anak
dari almarhum mantan Kepala MIN
ini, dikenal pendiam, penurut bahkan
termasuk anak alim. Saya yakin Naz
di jebak, ungkap salah seorang
tetangga Naz.
Masih berkaitan dengan AMM.
Lain di Langsa, lain pula di Banda Aceh.
Sebanyak 125 anggota misi Pemantau
Aceh atau AMM segera mengakhiri
tugasnya dan akan meninggalkan Aceh,
15 Maret 2006. Sementara 85 anggota
lainnya akan terus bertugas hingga 15
Juni 2006, termasuk Ketua AMM,
Pieter Feith.
Penegasan itu disampaikan Pieter
Feith, Sabtu (11/3) malam di Anjong
Mon Mata, Pendopo Gubernur NAD,
Banda Aceh, saat berpamitan secara
resmi kepada Pemda NAD dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hadir
dalam perpisahan itu Mayor Jenderal
TNI Bambang Dharmono (Perwakilan
Pemerintah Indonesia di AMM) serta
Kamaruzzaman dan Amni bin Ahmad
Marzuki (keduanya mewakili GAM).
Dan Principal Deputy Head of Mis-

sion AMM, Letnan Jenderal Nipat


Thonglek dari Thailand dan Deputy
Head of Mission Operation AMM,
Jaakko Oksanen dan Firlandia..
Menurut Bambang, berdasarkan
penilaian dan evaluasi yang dilakukan
pemerintah selama enam bulan di
Aceh. AMM telah melaksanakan
mandat dengan baik untuk menciptakan
perdamaian di Aceh. Proses ini berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.
Itu semua karena profesionalisme
teman-teman di AMM, ungkap
Bambang. Kata dia, awal kedatangan
AMM ke Aceh, memang sempat menimbulkan reaksi banyak, termasuk
ada yang menentang keberadaan tim
itu dalam proses perdamaian Aceh.
Namun, perlahan-lahan resistensi itu
hilang. Sehingga Aceh berada pada
posisi sangat baik dan kondusif, ujar
Bambang Darmono.
Nipat Thonglek menyampaikan
terima kasihnya kepada Uni Eropa
yang telah memberi kesempatan
kepada ASEAN untuk terlibat dalam
memantau proses perdamaian di
Aceh. Secara terpisah, Kepala Bagian
Pers AMM, Kirsten Mogensen, dalam
siaran persnya mengatakan, 85
anggota AMM lain masih tetap
bertahan di Aceh hingga tiga bulan
mendatang atau hingga berakhirnya
misi AMM pada 15 Juni 2006. Mereka
akan memantau proses pergantian
perundang-undangan di Aceh, pemilihan kepala pemerintahan, dan
proses lain yang belum tuntas.
Menurut Mogensen, AMM juga
telah menutup beberapa kantor
distrik, seperti di Subulussalam (Aceh
Singkil), Lamho (Aceh Jaya), dan Blang
Kejeren (Gayo Lues). Berbagai
perlengkapan kantor dan rumah
tangga akan disumbangkan ke lembaga
setempat, termasuk sekolah dan pusat
kesehatan, ungkapnya. Kendati lebih
dari 100 anggota AMM akan ditarik
pekan depan, menurut Mogensen,
Ketua AMM Pieter Feith akan tetap
memimpin hingga masa tugasnya
berakhir, 15 Juni 2006, dibantu Principal Deputy Head of Mission yang
baru, Brigadir Jenderal Dato Mohammad Rozi Bahrom dari Malaysia. ***
Abu Bakar Sidiq dan
Indra Buana (Langsa)

16

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Hukum
Narkoba

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

Nikmat Shabu Berlabuh


di Pengadilan
Kasus shabu-shabu yang menohok mantan Ketua Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu) dan ipar Bupati Gayo Lues, kini
berlabuh di Pengadilan Negeri Blang Kejeren. Kedua
terdakwa membantah terlibat dan mengelak barang bukti
bukan milik mereka.
Fidaus JP/modus

TENTU

alasan tersebut hak keduanya.


Namun dari sejumlah saksi, majelis hakim
mendapat alibi hukum yang berbeda. Sebut saja
saksi dari jajaran kepolisian setempat. Aparat
penegak hukum itu mengaku, memergokinya
keduanya sedang menyedot shabu-shabu.
Karena keterangan itu pula, Syafruddin
Telpi, 44 tahun, dan Suprayogi, 45 tahun, hanya
bisa tertunduk lesu. Suaranya serak, saat
menjawab beberapa pertanyaan majelis hakim.
Syafruddin yang hari itu mengenakan kemeja
hijau lengan panjang, dipadu celana jean warna
hitam dan rambut cepak, terkesan ingin
menepis semua tuduhan yang diarahkan
kepadanya.
Dalam persidangan Sabtu, 4 Maret 2006 lalu.
Polisi memperlihatkan bong (alat hisab shabushabu), pipa alat hisab dan kemasan plastik berisi
shabu shabu sebagai barang bukti. Semua alat
bukti tadi ditemukan, dalam kandang ayam di
samping rumah Suprayogi. Meski begitu, dalam
persidangan terdakwa membantahnya. Itu
bukan kandang ayam. Tapi kandang burung,
ujar Syafruddin Telpi kepada majelis hakim.
Kata Syafruddin, tempat itu merupakan
kantor dia bekerja. Di situlah saya menerima
tamu. Baik itu pejabat, wartawan, LSM, maupun
kontraktor. Bahkan, aparat Satuan Gabungan
Intelijen (SGI) dan aparat Bawah Komando
Operasi (BKO), tak kecuali tokoh masyarakat
serta ulama. Saya layani semuanya 1 X 24 jam.
Termasuk mantan GAM, juga sering tidur di
situ, papar Syafruddin.
Sekedar mengingatkan saja. Sebelum
perkara ini dilimpahkan ke pegadilan. Salah
seorang warga pernah melihat Suprayogi di
belakang Pendopo Bupati Gayo Lues.
Seharusnya dia berada di rumah tahanan
(Rutan) Blangkejeren. tutur sumber yang tak
mau ditulis jatidirinya.
Ada apa? Sidik punya sidik. Terhitung 2
Februari 2006, Kejaksaan Negeri (Kejari)
Blangkejeren, telah mengeluarkan Surat
Perintah Pengalihan Jenis Penahanan. Surat itu
bernomor: Print 14/N.1.26/Epp1/02/2006. Hal
tersebut berdasarkan surat dari Kepala Rutan
Blangkejeren No.W1.En.PK.01.110-223
tertanggal 26 Januari 2006, yang ditujukan
kepada Kejari Blangkejeren. Pokok surat itu
menyatakan terdakwa dalam keadaan sakit.
Sampai di sini masalah ada muncul. Polimik
baru muncul setelah masyarakat mencium
adanya penangguhan tahanan tadi. Kota Blang
Kejren sontak geger. Maklumlah, Syafruddin
Telpi dan Suprayogi juga pengiat LSM. Dia bebas
berkeliaran. Kenapa mereka sudah bebas. Sakit

kok jalan jalan, benarkah sakit, kata Burhannudin, salah seorang warga di Blangkejeren.
Akibatnya, banyak kalangan menilai ada indikasi
ketidakberesan dari proses hukum keduanya.
Begitupun, menurut jaksa dari Kejari
Blangkejeren, Hardiman,SH dan Dede Hendra
MR SH, kedua terdakwa sakit. Itu sesuai dengan
surat tanggal 28 Februari 2006. Berdasarkan
pertimbangan surat keterangan dokter Rumah
Sakit Umum lapangan Blangkejeren (RSUL),
diteken Dr Eddy Daryanto, Sp, B dan surat
permohonan penangguhan penahanan dari
keluarga terdakwa. Nomor Ist/I/2006 tertanggal
30 Januari 2006, maka kami memberi izin, kata
Hardiman.
Itu sajakah? Tunggu dulu! Kondisi terdakwa
pun kata Hardiman, tidak memungkinkan
menjalani masa penahanan. Hal itu juga
diperkuat Reza Fahdeli SH, Kepala Kejaksaan
Negeri Balngkejeren. Kita hanya menjalankan
perintah. Disuruh keluarkan kita keluarkan.
Disuruh masuk, kita masukan, ujar Reza
kepada wartawan, 4 Maret 2006, tanpa
menjelaskan siapa yang menyuruh keluarkan.
Lantas, benarkah keduanya sakit? Menurut
dr. Eddy Daryanto, Sp.B. Terdakwa Suprayogi
mengalami tekanan darah tinggi. Tekanan
darahnya 190/130. Jadi harus dikontrol setiap 6
jam sekali. Sekarang saya yang menanggani
mereka. Terdakwa Syafruddin Telpi, terjangkit
ganguan kelamin (impotensi) sehingga lahirlah
surat keterangan sakit pertama. Nomor :11 13
0 12/607/RSUL/2006. Disusul generasi surat
kedua dengan Nomor : 11 13 0 12/609/RSUL/
II/2006, kata dr Eddy kepada modus, pekan
lalu.
Di depan pengadilan, dua pemuda yang
tergolong dekat dengan pejabat Gayo Lues ini
mengaku, barang bukti tersebut bukan milik
mereka. Bong itu bukan milik saya, kata
Syafruddin Telpi. Bahkan, dia mengaku barang
itu tidak pernah dilihatnya. Saat polisi datang
mengerebek, kami sedang membahas SMS
yang masuk ke HP saya, ujarnya. Tapi, tak jelas
apa isi SMS tadi. Dan, pengakuan tersebut,
diamini Suprayogi yang lebih sering dipanggil
Yogi.
Kepada Majelis Hakim, M Nizar SH (ketua)
didampinggi M Kasim SH dan Faisal Mahdi SH
(anggota), Syafruddin Telpi yang juga kontraktor
itu bercerita. Sekitar pukul 18.00 Wib, 30
Desember 2005 lalu, dia menuju rumah Yogi.
Arah selatan Pendopo Bupati Gayo Lues. Di sana,
keduanya membicarakan proyek perkebunan.
Singkat cerita, mereka putuskan untuk melobi
kepala tata usaha Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Gayo Lues. Beliau kami telpon.


Lalu, kami jumpa di Blower. KTU menyuruh
kami menghadap ke kantor besoknya. Kemudian
saya minta kasur kepada Yogi. Dia bilang, coba
minta sama Hendrik (ajudan Bupatired).
Hendrik memberikan empat kasur. Nah, kasur
itu kami bawa ke rumah saya sekitar pukul 23
WIB lebih, ujar Syafruddin.
Uniknya, persidangan yang sama, Ketua
Majelis Hakim berbeda. Kali ini, M Kasim, SH
(Ketua), Ahmad Nasir SH dan Nizar Effendi
SH (anggota). Terdakwa Yogi mengaku. Saya
hanya mendengar cerita dari orang lain. Beliau
ini (Syafruddin Telpi-red) sering mengunakan
shabu-shabu. Kalau saya tidak pernah lagi
semenjak berhenti setahun yang lalu. Hanya
sebatas cerita, tegasnya.
Masih pengakuan Yogi, dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) disebutkan. Barang bukti
itu milik Syafruddin Telpi. Dan sewaktu disita
polisi saya melihatnya. Anehnya di depan
persidangan dia membantahnya. Barang bukti
itu baru saya lihat setelah di kepolisian, ujarnya.
Tentu hak terdakwa untuk membantah.
Namun, Bripda Pol Zaini Akmal dan Bripda Pol
Kharuddin Fuadi, tampil untuk bersaksi. Dia
mengaku. Memang saat penggerebekan ke
TKP, 31 Desember 2005 lalu, sekitar pukul
00.00 Wib, mereka tidak mengantongi surat
perintah dari atasan. Bahkan kepala desa pun
tidak mengetahuinya, sebut Khairuddin. Kendati
begitu kata Khairuddin Fuadi, mereka bertindak
berdasarkan laporan masyarakat bahwa di TKP
telah lama menjadi ajang penyalahgunaan
psikotropika tanpa izin. Kami memergoki Yogi
sedang menghisap dan menghembuskan asap

dari mulutnya. Tangan kiri memegang bong,


tanggan kanan memegang mancis, sedangkan
Syafruddin Telpi ngobrol sambil memegang
Hp, papar Khairuddin Fuadi.
Menanggapi tuduhan itu, Yogi membantah.
Saya tidak pegang bong, tapi merokok sambil
membahas SMS yang masuk ke Hp Syafruddin
Telpi. Pun demikian, daya kelitnya melemah tat
kala Majelis Hakim, M Kasim SH dan M Nizar
SH, terus mengorek keterangan. Kata majelis,
hasil laboratorium kriminal (Labkrim) Polri di
Medan, tertanggal 11 Januari 2006, keduanya
terbukti positif menegak shabu-shabu.
Memahami uraian majelis hakim tersebut,
Yogi diam seribu bahasa. Sebab, hasil tes urin
atas nama Syafruddin Telpi dan Suprayogi, positif
mengandung zat metanvetamin golongan II.
Karena itu, mereka ditohok melanggar UndangUndang Psikotropika.
Atas temuan tadi, Jaksa Penuntut Umum
(JPU), Dede Hendra MR,SH mendakwa
Suprayogi melanggar pasal 62 UU-RI Tahun
1997 ayat (1) ke -1 tentang psikotropika.
Dakwaan yang sama dijerat kepada Syafruddin
Telpi. Ditambah lagi dengan dakwaan melanggar
Pasal 65 UU RI No.5 Tahun 1997 Ayat (1) ke-1
tentang Psikotropika. Mereka terancam
hukuman 5 tahun penjara.
Masalahnya adalah, bernyalikah Jaksa
Penuntut Umum untuk membuktikan tuntutannya? Atau seriuskah Pengadilan Negeri Blang
kejeren menjerat terdakwa, yang juga kolega
kerabat pejabat Negeri Seribu Bukit itu? Tentu,
keputusan ada di tangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blangkejeren. Kita tunggu saja.***
Firdaus JP (Gayo Lues)

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Hukum

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Gugatan

17

Davi AD/modus

Ada Perkara di Rumah Sardin

Karena dinilai telah melakukan tindakan wan prestasi (ingkar janji) terhadap sewa menyewa rumah,
Sardin Hasan (55) digugat oleh NGO Mentor Initiatif ke pengadilan. Upaya damai gagal.
PASCA

tsunami, persoalan sewa


menyewa rumah, nampaknya masih
menjadi persoalan pelik di Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Setidaknya
hal itu dialami oleh Jhon Alexander
Sempliner. Direktur Mentor Initiative, sebuah LSM internasional yang
bergerak di bidang kesehatan, seperti
fogging dan pencegahan malaria.
Untuk tujuan tersebut, pihaknya
telah mengantongi izin dari Menteri
Kesehatan (menkes) Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari, melalui
surat bernomor 876/Menkes/VI/
2005, tanggal 20 Juni 2005. Di Aceh,
mereka menjalin kerja sama dengan
Dinas Kesehatan (Dinkes) NAD,
dalam sebuah MoU pengendalian
penyakit menular.
Untuk kelancaran pekerjaan di
Aceh. Mentor pun mencari sebuah
rumah sewa untuk dijadikan kantor.
Cari ke sana dan kemari, dapatlah
rumah milik Sardin Hasan (55) di Jalan
Syiah Kuala, Nomor 12 A, Kecamatan
Kuta Alam, Banda Aceh, dengan harga
sewa Rp 507.000.000,- per tahun.
Sebagai tanda jadi sewa
menyewa, Sardin Hasan pun
meminta uang muka senilai dua bulan
harga sewa, yakni Rp 84.600.000.
Uang itu diserahkan pihak Mentor
kepada Sardin pada 9 Juli 2005.
Dengan uang itu, pihak Mentor
meminta agar Sardin memperbaiki
rumah tersebut, yang beberapa
bagian mengalami kerusakan akibat
diterjang tsunami pada 26 Desember
2004 lalu. Mereka juga meminta agar
Sardin menambah tiga kamar mandi,
meninggikan pagar, menimbun
halaman rumah dengan kerikil, serta
menaikkan daya listri. Sardin pun
menyanggupinya.
Dalam masa renovasi rumah itu,
setelah sebagian kamar siap, pihak
Mentor meminta untuk menempatinya. Alasannya mereka tidak
punya tempat tinggal. Karena sudah
mendesak mereka ingin segera
menempati rumah itu, sementara sisa
harga sewa akan dibayar dua bulan
mendatang, tapi Sardin keberatan.
Sebaliknya, pada Agustus 2005, Sardin
Hasan malah menyewakan rumah
tersebut kepada Oxfarm, tanpa
sepengetahuan pihak Mentor.
Tak terima dengan perlakuan

tersebut, pihak Mentor pun membawa


persoalan tersebut ke pengadilan,
melalui Law Office, Yahya Alisa, SH
and Associates. Dan, 6 Februari 2006,
Mentor melalui kuasa hukumnya
Yahya Alinsa, SH, Baiami, SH dan
Dahlia Farida SH, resmi mendaftarkan
gugatannya ke Pengadilan Negeri (PN)
Banda Aceh.
Dalam gugatan bernomor 01/
Pdt.G/2006/PN-BNA, Mentor
menggugat Sardin Hasan (tergugat
satu) dan Direktur Oxfarm Cabang
Aceh Besar sebagai turut tergugat.
Dalam gugatan setebal empat
halaman tersebut, Yahya menilai,
Sardin Hasan telah melakukan
tindakan ingkar janji (wan prestasi)
dengan mengalihkan sewa rumah
tersebut kepada pihak Oxfarm.
Karena itu pula, Yahya meminta
kepada Tito Suhud, SH MH, hakim
tunggal yang menyidangkan kasus
itu, agar rumah tadi diletakkan sita
jaminan sementara (conservatoir
beslaag) selama proses hukum.
Selain itu menghukum Sardin Hasan
untuk mengembalikan uang panjar
Rp 84.600.00 yang diterimanya dari
pihak Mentor.
Dalam sidang lanjutan, Selasa 14
Maret 2006 lalu, setelah sidang dibuka
pukul 10.15 Wib, hakim tunggal, Tito
Suhud SH, kembali menyarankan
kepada pihak yang bersengketa untuk
melakukan upaya damai. Yahya Alinsa
selaku kuasa hukum Mentor menyatakan siap dengan upaya tersebut.
Sebaliknya, Fatchullah, kuasa hukum
Sardin Hasan menyatakan akan tetap
melanjutkan proses hukum.
Dalam sidang dengan agenda
penyampaian jawaban tergugat,
Fatchullah SH, mengatakan, pihak
Mentor dianggap telah mengundurkan diri dari sewa menyewa
rumah itu, karena sebelum tanggal 9
Juni 2005, tidak menyanggupi
pembayaran sisa uang sewa.
Sebaliknya, pada 1 Juni 2005,
Mentor menyewa rumah lain milik
Yuliansyah Yunus di Jalan Pari, Nomor
48, Lampriet, Banda Aceh. Hal tersebut telah terbukti bahwa penggugat
mengundurkan diri secara nyata
terhadap sewa-menyewa rumah milik
klien saya, jelas Fatchullah.
Namun, sudah tiga kali sidang

kasus itu digelar, pihak Oxfram selaku


turut tergugat dalam kasus itu, tidak
pernah hadir di persidangan. Karena
itu, Tito Suhud, selaku hakim yang

menyidangkan kasus itu, kembali


meminta panitera pengadilan untuk
memanggilnya kembali. Tolong
panitera memanggilnya kembali,

pinta Tito usai persidangan. Sidang


akan dilanjutkan Selasa, 21 Maret
2006.***
Iskandar Norman

18

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Kriminal
Pembunuhan

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

Dek Nong Tidak Masuk Kerja


Gadis berkaos merah itu terbaring kaku layaknya sedang tidur pulas. Kedua tangannya diletakkan di atas perut, dengan
kepala diganjal bantal bersarung biru. Sementara pinggang sampai kakinya ditutupi kain sarung bermotif kotak-kotak.
TTadinya
ang periang, dengan rambut sebahu. TTapi,
api, si pembunuh ttelah
elah mengubah parasn
y a yyang
ang
adinyy a ia seorang gadis manis yyang
parasny
adin
parasnya
manis itu menjadi memar hingga bola matanya tak terlihat lagi.
TUTUP

pintu, amankan TKP! perintah


Kapolsek Dewantara, Ipda Pol Budiman
kepada salah seorang anak buahnya, Sabtu
malam, 11 Maret 2006. Lalu, dia berjongkok
di pinggir ranjang. Sorot matanya tak lepas
pada seorang wanita muda yang terbaring
kaku tanpa nyawa. Seumur saya jadi polisi,
baru kali saya melihat pembunuhan sekeji
ini, kata Budiman, geram.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara
(TKP), diketahui gadis itu bernama Yuli
Safrina, salah seorang karyawan di Bengkel
Naga Toba, Krueng Geukuh, Aceh Utara.
Bengkel itu milik Kimson Sinaga. Dia sudah
empat bulan bekerja sebagai kasir di bengkel
resmi honda tersebut. Bengkel itu hanya
sekitar dua kilometer dari rumahnya di Dusun
Baru, Desa Tambon Baroh, Kecamatan
Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.
Sebelum bekerja di bengkel tadi, ia
berprofesi sebagai pembuat berbagai peganan
kue, yang dijajakan setiap pagi di warung kopi
dekat rumahnya. Nasib, sempat merubah jalan
hidupnya sebagai kasir di bengkel honda
tersebut. Meski begitu, belum lama ia sempat
menikmati hasil kerjannya. Maut telah
menjemputnya secara tidak wajar.
Menurut pekerja di Bengkel Naga Toba,
Yuli adalah alumni STM Negeri Bireuen.
Walau berstatus wanita, dia pekerja yang
sangat disiplin. Bayangkan, saban hari, persis
jam delapan pagi, ia sudah berangkat ke
bengkel. Baru, setelah setengah hari bekerja
atau sekitar jam dua siang. Yuli kembali ke
rumahnya untuk istirahat. Satu jam kemudian
kembali lagi, dan baru pulang jam enam sore.
Meski begitu, sejak Sabtu, 11 Maret 2006
lalu, Yuli tidak masuk kerja tanpa alasan yang
jelas. Hal ini membuat rekan serta
tetangganya curiga, tak kecuali atasan Yuli,
Kimson Sinaga.
Entah perasaan apa yang membalut
Kimson, Sabtu sore itu juga, dia ke rumah Yuli
Safrina. Itu disebabkan, gadis yang biasa disapa
Dek Nong ini tidak masuk kerja. Tapi setelah
beberapa kali mengetuk pintu tidak ada

Astaghfirullah! Warga kaget, menemukan


tubuh gadis itu terbujur kaku tanpa nyawa di
ranjang tidurnya. Kejadian itu pun dilaporkan
ke Polsek Dewantara.
Kapolsek Dewantara, Ipda Budiman yang
memimpin penyelidikan, langsung
mengamankan TKP. Kesimpulan sementara
malam itu, Yuli dibunuh sekitar sepuluh atau
dua belas jam sebelumnya (Jumat malam-red).
Kuat dugaan korban dibunuh di lantai
kamar dan diperkosa. Karena seprai warna
merah dikasur korban terlihat rapi, begitu juga
dengan bantal warna biru yang mengganjal
kepalanya, serta kain motif kotak-kotak yang
menutupi bagian bawah tubuh korban.
Mata sebelah kanan korban memar dan
bengkak menutupi bola matanya. Dilehernya
terdapat bekas cekikan dan goresan kuku di
bahu. Polisi berkesimpulan, pelakunya
berkuku panjang. Korban juga mengenakan
celana dalam, tapi bagian sampingnya telah
putus. Kemungkinan, setelah diperkosa,
celana dalam itu dipakaikan kembali. Hal ini
diperkuat dengan ditemukannya darah dan
mani dari vagina korban yang luka berat.
Semua perhiasan emas yang dikenakan
korban, seperti kalung dan cincin hilang. Di
lantai kamar itu, polisi juga menemukan
kemasan minuman kaleng, puntung rokok,
BH korban, cairan sperma dan bercak darah.
Menurut Syafruddin, kakak korban.
Malam itu, setelah magrib, Yuli mampir ke

jawaban, Kimson akhirnya kembali ke bengkel.


Di rumah berdinding papan itu, gadis
kelahiran 5 Juni 1982 tersebut, tinggal
bersama adiknya, Eka Nanda Sari, seorang
siswa kelas dua Sekolah Menengah Umum
(SMU) Negeri Dewantara. Mereka hidup dari
penghasilan Yuli dan gaji veteran almarhum
ayahnya Rp 300 ribu per bulan. Malam naas
itu, Eka tidak di rumah, karena sedang
mengikuti acara kemah pramuka.
Sebelumnya, sekitar jam sembilan pagi,
Syafaruddin, kakak korban, pernah
menjambangi rumah itu. Namun ia juga tidak
menemukan adiknya. Hal itu pun ditanyakan
pada istrinya. Tapi istrinya menjawab,
mungkin Dek Nong sedang kerja di bengkel.
Siang hari ia kembali lagi, tapi lagi-lagi ia tidak
berjumpa dengan Yuli.
Rumah papan kediaman Yuli tersebut,
terasing dari rumah-rumah lainnya. Sebelah
kanannya merupakan bangunan toko tak
berpenghuni. Sebelah kiri ada gardu listrik.
Sementara dibelakangnya dibatasi dengan
sebuah rumah yang berpagar tinggi. Rumah
kediaman Yuli terletak dekat tugu PT PIM.
Rumah itu pernah dibakar orang tak dikenal
pada tahun 1999 silam.
Setahun kemudian, Alamsyah, bapak Yuli
meninggal dunia. Tak lama kemudian Rohaya,
ibunya pun menikah lagi dan pindah ke
Lambaro Skep, Kota Banda Aceh. Pada tahun
2000, rumah itu dibangun kembali dengan
bantuan TNI. Dan tinggallah Yuli bersama
adiknya.
Rumah itu, saban hari ramai dengan temanteman sepergaulan Yuli. Malah pekerja
bengkel di samping rumahnya, sering mandi
dan makan di rumah tersebut. Tapi hari itu,
rumah Yuli benar-benar sepi. Para tetangga
tidak melihat Yuli dari pagi. Mereka sempat
curiga. Ada apa?. Lalu, mereka melaporkan hal
itu kepada Kakan, kakaknya Yuli.
Setelah berkonsultasi dengan Rajali,
suaminya dan warga lainnya. Mereka pun
memeriksa sekeliling rumah, ternyata pintu
belakang rumah itu tak terkunci.

rumahnya dan meminta sedikit lauk untuk


makan malam. Kakar iparnya pun meminta
agar ia tidur di rumah mereka, karena Eka,
adik Yuli tidak berada di rumah. Tapi ia
menolak tawaran itu, karena tidak ingin
meninggalkan rumah dalam keadaan kosong.
Sebelum pulang ia mengambil udang di
rumah kakaknya itu, untuk dicampur dengan
mie goreng di warung dekat rumahnya. Para
saksi mata malam itu melihat ia membuat mie
udang itu bersama Ucok, pria berusia 45
tahun asal Medan, yang bekerja sebagai
tenaga tekhnik di PT PIM. Ucok tinggal di
komplek perumahan PT PIM sendirian,
sementara anak dan istrinya ditinggalkan di
Medan.
Atas bantuan seorang petugas satuan
pengaman (Satpam) di perusahaan tersebut.
Polisi berhasil mengkap Ucok dikediamannya
untuk dimintai keterangan. Dari beberapa
orang yang diperiksa. Ucok pun ditetapkan
sebagai tersangka, karena di rumahnya
ditemukan baju rendaman yang masih ada
sisa-sisa bercak darah. Selain itu, rokok yang
dihisapnya pun sama dengan putung rokok
yang ditemukan di TKP. Kejahatan selalu
selangkah lebih awal dari aparat penegak
hukum. Tapi tak ada kejahatan yang
sempurna, kecatatan itu pula yang menjadi
dasar pengungkapannya.***
Iskandar Norman dan
Murthalamuddin (Lhokseumawe)

Iskandar Norman/modus

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Modal Sosial
untuk Aceh

Sudirman Said
SEPUL
UH tahun lalu seorang pemikir bernama Francis Fukuyama
SEPULUH

melansir sebuah buku yang sempat menjadi pembicaraan luas di seluruh


dunia, berjudul Trust. Salah satu bagian penting dari buku itu
mengupas tentang apa yang disebutnya sebagai social capital atau
modal sosial. Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai norma
informal yang dapat mendorong kerjasama antar anggota masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, modal sosial akan tampak dari suasana
saling percaya antar warga masyarakat. Tingginya saling percaya akan
menjadi persemaian bagi tumbuh suburnya gagasan baru, kreativitas,
dan inisiatif produktif. Karena rasa saling percaya yang tinggi itulah,
maka ada penghargaan yang tinggi pula terhadap setiap upaya perbaikan.
Ada hubungan erat antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan
dan kemakmuran suatu masyarakat atau bangsa. Negara atau bangsabangsa yang tingkat kesejahteraannya tinggi adalah bangsa-bangsa yang
memiliki modal sosial tinggi. Argumennya, rasa saling percaya antar
warga masyarakat dan kemauan untuk bekerjasama menyebabkan
biaya transaksi dan biaya kontrol menjadi rendah. Sumber daya
yang ada, dapat dioptimalkan untuk melakukan kegiatan yang
membangun nilai tambah bagi kehidupan masyarakatnya. Melalui
kegiatan yang membangun nilai tambah inilah maka multiplier effects
bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dapat terwujud.
Sementara itu, dalam tatanan masyarakat dengan modal sosial
rendah, diperlukan perangkat kontrol yang berlapis-lapis. Anggota
masyarakat sibuk memperjuangkan kepentingan diri, sementara ruang
untuk saling memberi sangat sempit. Proses kreatif bukannya dihargai,
tetapi disikapi dengan curiga, bahkan antipati. Pada tingkat yang lebih
ekstrem, masyarakat seperti ini mudah sekali terpicu oleh konflik sosial.
Antar anggota masyarakat dan antar kelompok sibuk saling menyerang,
menguliti kelemahan dan kesalahan, bahkan saling menjatuhkan.
Sumber daya dan energi yang dimiliki masyarakat dan negara banyak
dihabiskan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan nilai tambah.
Kehidupan keseluruhan menjadi sulit, boros, dan membebani warga.
Budaya yang berkembang dalam masyarakat seperti ini adalah budaya
yang mengedepankan negativisme dan skeptisisme. Masyarakat yang
seperti ini sulit untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmurannya.
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan
cadangan modal sosial, antara lain faktor sejarah, kebudayaan, dan
pendidikan. Yang paling menarik adalah bahwa agama dan globalisasi
disebut sebagai sumber penting bagi peningkatan modal sosial. Agama
(apapun) merupakan sumber bagi tumbuhnya nilai-nilai luhur yang
menumbuhkan rasa saling percaya dan keinginan bekerjasama.
Sedangkan globalisasi memaksa warga dunia untuk berinteraksi dan
hidup bersama.
Membangun kembali Aceh dan Nias, sungguh memerlukan modal
sosial yang sangat besar. Jika benar masyarakat Aceh relijius, dan jika
bencana tsunami telah membawa Aceh dan Nias ke dalam komunitas
global; semestinya suasana seperti sekarang ini menjadi persemaian
bagi tumbuhnya modal sosial? Dapatkah kita berusaha keras untuk
memupuk rasa saling percaya? Dapatkah antar komponen warga
membangun suasana saling mendukung? Itulah tantangan terbesar
kita.***

Suara Hati

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

19

20

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Reportase

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

Penderita Kelainan Jiwa

Jailani Takut Warna Hijau


berfungsi dengan baik.
Agustiar juga sering mengamuk,
memecahkan berbagai barang di
rumahnya. Bahkan dinding sebuah
gubuk di belakang rumah dihancurkannya. Tak tahan dengan keadaan
Agustiar yang semakin beringas, orang tuanya bersama para tetangga,
merantainya di batang pohon kelapa.
Meski dalam keadaan ekonomi yang
serba kekurangan. Darmi terus
berupaya mengobati putranya. Meski
untuk menebus sebuah resep ia harus
menahan lapar.
Akhir 2005 lalu, sebuah LSM di
Lhokseumawe membawa Agustiar ke
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh.
Namun baru dua minggu menjalani
perawatan, ia kabur dan kembali ke
kampung halamannya, dengan kondisi
sakit jiwa yang bertambah parah.
Kondisi ini pula yang kemudian
digunakan oleh sebagian orang untuk
kepentingan pribadi.
Suatu malam empat pemuda
menggarong sebuah rumah. Dan
Agustiar dibawa serta. Setelah
berbagai barang mewah diambil,
kepada Agustiar diberikan sebuah
sepeda bekas, yang kemudian
dikayuhnya sampai pagi di halaman
rumah itu.
Ia pun ditahan pihak kepolisian,
setelah tuduhan maling dialamatkan
padanya. Di dalam penjara, perlakuan
kasar kembali diterima pria sakit jiwa
itu. Hal inilah yang kemudian
membuat kadar sakit jiwanya
bertambah parah. Ironisnya lagi,
persoalan itu oleh pihak kepiolisian
diteruskan ke Pengadilan Negeri (PN)
Lhokseumawe. Setelah tiga kali
persidangan, majelis hakim pun
membebaskan Agustiar, karena
terbukti menderita sakit jiwa.
Berbekal kasih sayang seorang
ibu, Agustiar berangsur-angsur
sembuh. Namun bagi Darmi, hal itu
tidaklah bertahan lama. Pasalnya,
kawan sebayanya memberikan
Agustiar rokok yang telah dicampur
ganja. Sarafnya pun kembali sakit. Ia
kembali mengamuk dan menghancurkan barang-barang di
rumahnya.
Obat yang dulu mampu menyadarkannya, ternyata tak lagi
mujarab untuk mengobati sakit jiwa
Agustiar. Tak tahan dengan semua
kenyataan ini, Agustiar pun akhirnya
dirantai di batang kelapa di belakang
rumahnya. Dua bulan kemudian ia pun
berangsur-angsur pulih, meski tidak
lagi layaknya manusia normal.
Menariknya, sebagai seorang
anak yang mengalami gangguan jiwa,
Agustiar sangat sayang kepada ibunya.
Apapun perkataan ibunya selalu
dituruti, meski pun ia sedang
mengamuk dan meraung-raung. Ia
sangat takut kalau ibunya itu
meninggalkannya. Setiap ia mengamuk, ibunya cukup berkata akan
meninggalkannya bila tidak diam.
Maka Agustiar pun kembali tenang.
Tidak hanya Agustiar, hal yang
sama juga dialami Jailani (30) warga
Desa Kambam, Kecamatan Muara
Batu, Kabupaten Aceh Utara. Pada
usia 11 tahun, Jailani yang masih duduk
di kelas lima sekolah dasar,

mengalami tindak kekerasan dari


aparat keamanan yang melakukan
patroli di daerahnya. Hal ini seperti
diungkapkan M Rusli (50) dan Rohani
(45) orang tua Jailani, yang sehari-hari
berprofesi sebagai petani.
Menurut keduanya, kisah tragis
itu bermula ketika aparat keamanan
melakukan penyisiran ke desa itu.
Jailani yang masih berusia sekolahan,
berpapasan dengan alat negara
tersebut. Merasa takut, ia pun lari.
Lalu, aparat keamanan mengejar dan
menyiksannya. Tengkuknya memar
setelah dihantam dengan popor
senjata, wajahnya lembam, dan satu
tulang rusuknya patah.
Setelah kejadian itu, Jailani
menjadi anak pemurung, tapi kadangkadang menjadi beringas. Bocah yang
dulu sangat penurut, berubah menjadi
anak yang tak bisa dikendalikan dan
bertindak semaunya. Setiap melihat
warna hijau ia menjerit histeris.
Seminggu kemudian, oleh dokter di
Lhokseumawe, ia dinyatakan
mengalami gangguan jiwa.
Kewalahan dengan keadaan
Jailani, kedua orang tuanya menyerahkan Jailani kepada sebuah LSM
untuk dibawa ke RSJ Banda Aceh.
Namun hanya beberapa hari di Banda
Aceh, ia kabur. Dan, hampir dua tahun
keberadaan Jailani tak terlacak.
Kekhawatiran demi kekhawatiran
pun menerpa M Rusli dan Rohani,
orang tua Jailani. Apalagi ketika orang-orang di kampungnya, menyarankan agar diadakan kenduri untuk
Jailani. Kenduri yang seolah-olah
mensahihkan kalau anaknya itu telah
meninggal dunia. Namun sebagai
seorang ibu, Rohani punya naluri dan
keyakinan kalau anaknya itu masih
hidup.
Berbekal keyakinan itu pula,
Rohani berupaya mencari putranya.
Bahkan sampai melakukan penerawangan ke beberapa orang pintar.
Berbagai doa ia panjatkan kehadirat
Allah. Keyakinannya semakin
bertambah, ketika salah seorang
ulama di Aceh Utara yang didatanginya
mengatakan bahwa Jalani ada di
Meulaboh, Aceh Barat.
Untuk pergi ke negeri Teuku
Umar itu, M Rusli dan Rohani tak ada
biaya. Maklumlah, persoalan ekonomi
menjadi kendala utama. Bahkan untuk
makan saja, ia mesti ikat pinggang
sekencang mungkin. Namun berbekal
air yang telah dirapal mantra oleh
ulama tadi, kedua petani miskin itu,
setiap usai shalat selalu berdoa agar
bisa kembali bertemu dengan buah
hatinya itu. Tak lama kemudian, Jailani
pun ditemukan di Meulaboh. Atas
bantuan Palang Merah Indonesia, ia
dipulangkan ke kampung halamannya
di Aceh Utara.
Sayangnya, sampai di kampung
halamannya, suasana belum banyak
berubah. Aparat keamanan masih
gencar melakukan sweping ke rumahrumah warga. Apalagi saat itu status
darurat militer diberlakukan di Aceh.
Jailani pun kembali ditangkap. Ia
dibawa ke sebuah pos TNI di kawasan
PT AAF. Perlakuan kasar pun kembali
diterimanya. Hal itu membuat gangguan jiwa Jailani bertambah parah.

DOK/Hippayat

Aceh menyambut penuh suka cita


perjanjian damai RI-GAM di Helsinki,
15 Agustus 2005 lalu. Tapi, tidak untuk
Darmi, seorang guru honorer di Aceh
Utara. Bagi wanita berusia kepala
empat ini, perjanjian damai tadi,
setidaknya menyisakan sebuah
kepahitan hidup. Lihatlah, Agustiar
(25) putra pertamanya, menderita
gangguan jiwa, setelah mengalami
perlakukan kasar dari aparat
keamanan.
Kegetiran hidup wanita penghasilan Rp 300 per bulan ini kian
lengkap, saat dia berjuang sendirian
untuk menafkahi ketiga anaknya.
Sementara, sang suami pergi,
meninggalkan dia dan ketiga anaknya
di Desa Beuluka Tubai, Kecamatan
Dewantara, Kabupaten Aceh Utara,
begitu saja.
Biduk rumah tangga itu mesti
dikayuhnya sendiri, setelah sang
suami, M Daudsyah, merantau ke
Malaysia. Tragisnya, setelah tiga
tahun pergi ke negeri jiran itu, tak
satu kabar pun diterima Darmi.
Praktis, ia mesti banting tulang
menghidupi ketiga anaknya. Kalau pun
ada sedikit penghasilan dari jasanya
sebagai guru honor. Tak lebih
kondisinya ibarat, gali lobang, tutup
lobang.
Sebelumnya, ia bisa sedikit lega
dan penuh harap. Agustiar, anaknya
dapat menjadi tumpuan keluarga.
Tapi, kenyataan berkata lain, putra
pertamanya itu malah mengalami
gangguan jiwa alias gila. Status tak
enak ini muncul, setelah Agustiar
dianiaya oleh oknum aparat
keamanan. Kejadian itu sekitar tahun
2005 lalu. Saat, Naggroe Aceh
Darussalam (NAD) masih berstatus
Darurat Militer atau Darmil.
Ceritanya begini, Agustiar diduga
sebagai anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Dan, suatu ketika,
ditengah malam buta, Agustiar
dibawa oleh oknum aparat keamanan,
yang kemudian diketahui berasal dari
kesatuan Paskhas yang bermarkas di
Bandara Malikussaleh. Tuduhannya,
pria berbadan kekar ini menyimpan
senjata api. Naif, sebuah tuduhan yang
kemudian merubah kewarasan
hidupnya. Pun demikian, pada waktu
tertentu, ia juga bisa bertindak
layaknya pria normal, meski hanya
sesaat.
Karena tuduhan tadi, ia ditahan
tiga hari tiga malam di markas itu.
Menurut Darmi, anaknya itu sempat
mengalami perlakuan kasar. Kepada
modus, Darmi bercerita. Agustiar,
pernah dipukul di tengkuk dan tulang
belakang. Akibatnya, hampir seluruh
badan lembam.
Sejak kejadian itu, Agustiar yang
dulunya ceria dan harapan tumpuan
keluarga, berubah menjadi lelaki
pemurung, marah, dan kadangkadang merapal berbagai mantra
layaknya seorang dukun. Khawatir
dengan kondisi anaknya itu, Darmi
pun membawanya ke salah seorang
dokter di Kota Lhokseumwe.
Hasilnya, oleh dokter disebutkan
bahwa Agustiar mengalami stres
tingkat tinggi. Urat sarafnya tidak bisa

Ridwan Yunus

Barak Reuleut

Hati Rohani kembali tersayat. Ia


pun mengadukan hal itu kepada
Hasballah Juli, seorang anggota polisi
kenalannya di Aceh Utara, yang
kemudian membawanya ke tempat
anakya itu disandera. Dan setelah
melalui serangkaian introgasi dari
aparat kemanan. Ia pun diizinkan
membawa pulang anaknya, dalam
kondisi babak belur.
Tak ingin hal yang sama terulang.
Jailani kemudian dipasung di
rumahnya. Baik Rohani maupun M
Rusli, hanya bisa pasrah dengan
kondisi anaknya itu. Penderitaan
petani miskin itu semakin lengkap
saja. Anaknya yang lain, Mukhtar Wali
(25) mengalami cacat polio sejak kecil.
Dengan penghasilan ala kadar, Rusli
dan Rohani terus berusaha menyembuhkan dan membesarkan
keduanya anaknya itu, dengan
penderitaannya masing-masing.
Tidak hanya Agustiar dan Jailani.
Menurut catatan Hippayatsebuah
yayasan yang bergerak di bidang
rehabilitasi mental di Aceh Utara

terdapat dua puluh penderita


gangguan jiwa lainnya di daerah yang
sulu kadung disebut kota petro dolar
ini. Jumlah itu belum termasuk
daerah-daerah lain yang pernah
menjadi pusat pusaran konflik di
Aceh.
Ridwan Yunus, salah seorang
Direktur di yayasan itu menyebutkan,
seluruh Aceh diperkirakan para
penderita gangguan jiwa mencapai
ribuan orang. Khusus untuk Aceh
Utara, pihaknya bersama pemda
setempat, berencana menggunakan
barak kosong di kawasan Reuleut
sebagai tempat terapi center untuk
para penderita gangguan jiwa itu.
Ditengah berhamburannya dana
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di
Aceh. Ridwan Yunus menilai, baik
Pemda NAD maupun BRR, masih
terpaku pada rehabilitasi pisik semata,
sementara mental masih belum
tersentuh. Bisa jadi lupa atau tak ingat
sama sekali.***
Iskandar Norman, Lyona VK
dan Siti Aima (Lhokseumawe)

Iskandar Norman/modus

BISA jadi, sekitar empat juta rakyat

Iskandar Norman/modus

Untuk bisa makan, Darmi (42) mesti menggadaikan piring. Untuk mengobati anaknya yang mengalami gangguan jiwa
eajaiban TTuhan.
uhan. Derita itu tterasa
erasa semakin men
y a y at, k
e tik
a suami yyang
ang ttelah
elah
akibat k
onf
lik
y a mengharap k
konf
onflik
lik,, ia han
hany
keajaiban
meny
ke
tika
konflik,
hanya
menyayat,
ketika
memberinya tiga orang anak, meningalkannya begitu saja.

Agustiar di rumahnya, Beuluka Teubai, Dewantara

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Wawancara

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

21

Ir Tarmizi A Karim MSc

Pembangunan Tak
Bisa Berjalan Tunggal
Sebagai P
ejabat Bupati A
ceh Utara, Ir TTarmizi
armizi A K
arim Msc, ak
an mengakhiri masa
Pejabat
Aceh
Karim
akan
jabatannya pada Maret 2006. Pria kelahiran Lhoksukon, 24 Oktober 1956 ini, selain
dikenal sebagai politisi, juga dikenal ahli pembangunan pedesaan. Dalam bahasa yang
lebih lugas, ia menyebutnya sebagai local inisiatif, yakni suatu sistem pembangunan
button up, yang melibatkan masyarakat penerima manfaat dalam setiap pengambilan
keputusan.
Program Pengembangan Gampong (PPG) merupakan salah satu terobosan suami Hj
Inayati Saaduddin Jamal itu, dalam pengembagan masyarakat desa. Diakhir masa
jabatann
y a sebagai bupati, w
ar
ta
w an modus, Mur
thalamuddin dan LLyona
uk
an
jabatanny
war
arta
taw
Murthalamuddin
VK,, melak
melakuk
ukan
y ona VK
jabatannya
wartawan
melakukan
wawancara khusus dengan alumni Pasca Sarjana Manajemen Pembangunan American
er
sity
ashingt
on, Amerik
a Serik
at tter
er
sebut. Berik
ut pe
tik
ann
Univer
ersity
sity,, W
Washingt
ashington,
Amerika
Serikat
ersebut.
Berikut
petik
tikann
annyy a:
Univ
University,
Washington,
tersebut.
petikannya:
Menurut
Anda,
bagaimana
pencapaian hasil pembangunan di Aceh
Utara selama ini?
Pencapaian pembangunan kita lakukan
secara bertahap. Fase pertama adalah masa
awal kosentrasi kepada penyelesaian konflik
dan hal-hal yang bersifat emergency. Sekarang
masuk ke fase perdamaian, kita arahkan
kepada pembangunan infrastruktur dan
bantuan-bantuan kepada masyarakat yang
sifatnya permanen. Kita juga merintis konsepkonsep pemberdayaan masyarakat atau
enpowering.
Bagaimana konsep enpowering itu?
Memberikan kesempatan yang luas bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, sehingga dana-dana yang kita
arahkan kepada program-program pemberdayaan, langsung didesain dan dilaksanakan, dipelihara dan diawasi oleh
masyarakat sendiri. Itu kita sebut dengan dana
Program Pembangunan Gampong (PPG).
Jadi sama seperti konsep World Bank
dalam program PPK?
Ya, apa yang kita ramu dalam konsep
enpowering semuanya dengan tujuan
bagaimana institusi rakyat itu bisa tumbuh
dengan baik. Kemudian rakyat bisa belajar
menghasilkan sesuatu sampai ke tujuan
fungsional pembangunan itu sendiri.
Sebenarnya, ke mana fokus
pembangunan Aceh Utara?
Kita punya sebuah frame platform yang
kuat untuk ke depan, sesuai dengan potensi
daerah, potensi industri dan pertanian.
Realnya, pertanian yang bisa memberikan
manfaat kepada industri. Aceh Utara bagus
untuk pengembangan kelapa sawit dan coklat.
Sekarang sudah kita kembangkan lima ribu
hektar lahan untuk coklat. Selain itu ada juga
komoditi katagori cash group seperti kedelai,
yang juga kita desain lima ribu hektar. Maka
untuk mendapatkan nilai tambah (value added)
kita butuh industri processing. Selama ini kan
kita hanya menjual bahan bakunya saja, maka
sedikit nilai ekonomi yang bisa dinikmati. Tapi
dengan adanya industri prosesing, kita bisa
mengolahnya sendiri, sehingga nilai ekonomi
yang didapatkan bertambah. Tentu untuk
semua itu butuh peningkatan etos kerja kita
semua. Masyarakat juga butuh edukasi untuk
mengubah pola pikir dalam bekerja.
Lalu bagaimana dengan sektor
perikanan?
Kita akan dirikan sebuah Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) di daerah Tanah
Pasir, yang dibiayai oleh APBN. Nilainya
ratusan milyar. Fasilitas ini akan dikembangkan sebagai titik tumpu masa depan
perikan di daerah ini. Selama ini, potensi besar
yang ada tidak bisa tergerakkan. Maka fasilitasfasilitas yang dibangun mudah-mudahan bisa
menggerakkan potensi tersebut.
Industri di Aceh Utara sekarang kan
sudah lesu. Tentu akan melahirkan

banyaknya penganguran. Apa yang harus


dilakukan untuk mengantisipasi hal
tersebut?
Apa yang terjadi sekarang, seharusnya
sudah diantisipasi dan diketahui sejak pertama
didesain. Tapi kita tidak boleh putus asa, karena
masih banyak potensi alam yang bisa kita
kembangkan. Kalaupun gas sudah berakhir, kita
harus menggali resauces yang masih bisa
diperbaiki, seperti renewablel resauce, ada
pertanian, peternakan, perikanan, juga ada
industri kecil, seperti pembuatan mebel dari
bahan baku enceng gondok.
Jadi penyusunan APBD ke depan
harus mengacu ke sana?
Ya. APBD itu harus marketable, sehingga
ada efek baliknya. Selama ini masyarakat
kurang punya sebuah pandangan masa depan.
Dalam kemiskinannya, ia hanya berpikir
pasrah terhadap keadaan. Kita ingin agar
mereka bisa melihat masa depan yang lebih
luas, dan baru dia berpikir ke depan
pembangunan itu harus berkelanjutan dan
ramah lingkungan. Kita harus belajar dari masa
lalu. Dulu kita memotong hutan, melakukan
pertanian yang tidak ramah lingkungan, semua
itu akan merugikan kita dalam jagnka panjang.
Bahkan dalam konsep pembangunan
berkelanjutan. Di laut maupun di darat, kita
mengusahakan dengan konsep berkelanjutan.
Kita tidak mengambil sampai habis. Dengan
demikian, maka kelestarian akan tetap terjaga.
Soal pendidikan bagaimana?
Kita mempunyai beberapa perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta. Kita bagi
dua kelompok, satu kelompok umum dan satu
kelompok universitas yang mengarah kepada
konsep pendidikan agama. Jadi konsep sain
dipadukan dengan agama. Ada juga lembaga
pendidikan seperti Politehknik, sehingga kita
mendapatkan pola pendidikan yang permanen.
Jadi kita punya lembaga yang sangat
menunjang.
Penegakan syariat Islam juga dinilai
masih kontroversial, ini bagaimana?
Betul, hal ini masih dilematis sampai
sekarang. Kita selalu mengatakan penerapan
syariat Islam secara kaffah. Sebetulnya,
asosiasi dari kaffah itu yang masih kurang
dipahami. Intelektual Islam harus kuat. Islam
jaya dengan intelektualitas. Islam kuat karena
mampu memberikan rahmatan lil alamin. Jadi
harus ada perpaduan antara keilmuan agama
dan dunia.
Fisolosofi Anda?
Noblim culture, yaitu pemahaman bahwa
semua orang itu punya potensi untuk
dikembangkan. Potensi itu ada dan kadang bisa
secara cepat, tapi ada juga yang gagal. Kita
beri kesempatan kepada semua individu untuk
bisa berkreasi dalam pembangunan. Kepada
masyarakat kita berikan kepercayaan untuk
berbenah diri demi kemandiriannya. Baik
dalam konsep birokrat maupun dalam konsep
kemasyarakatan.

Selama kepemimpinan Anda di Aceh


Utara, ada tidak obsesi-obsesi yang
belum tercapai?
Ada. Itu semua terkendala karena beberapa
aspek. Untuk memberikan pemahaman
pembangunan yang berkelanjutan, kadang kala
masih banyak yang belum bisa memahaminya.
Jadi perlu adanya penambahan skill, baik kepada
masyarakat biasa maupun birokrat, agar
mereka memahami bagaimana konsep-konsep
pembangunan.
Persoalan lainnya, angka kemiskinan
di Aceh Utara sangat tinggi. Apa
terobosan Anda?
Kalau perdamaiannya ini bisa abadi, maka
itu akan berbanding lurus dengan tingkat
kemiskinan, yang bisa kita capai dengan
intervensi pembangunan.
Tapi bukankah hal itu telah dilakukan
dan angka kemiskinan juga tidak
mengalami penurunan?
Itu terjadi karena dia bertolak belakang
dengan konsep-konsep investasi. Investasi itu
selalu menjadi waise ketika konflik terjadi.
Tapi kita lihat sekarang usai konflik,
masyarakat sudah mulai beraktivitas sendiri.
Itu artinya bahwa penurunan angka kemiskinan
berbanding dengan keamanan.
Sekarang ada BRR, bagaimana
sinergi pemerintah daerah dengan
lembaga tersebut?
Banyak hal yang masih perlu
disejajarkan. Saya melihat ada yang terputus
dalam membangun link. Link ini merupakan
sebuah keterkaitan, jadi jangan berkesan
bahwa ada konsep yang terpisah antara BRR
dan pemerintah daerah.Sebetulnya dua-dua
sudah berusaha menuju kepada titik
percepatan yang bagus buat masyarakat.
Dinamika kehidupan masyarakat dan
kebutuhan masyarakat sangat cepat
dibandingkan laju pembangunan yang
mampu dijalankan oleh dua lembaga ini.
Jadi, laju pembangunan yang dilakukan
oleh BRR dan pemerintah daerah itu
kalah cepatnya dibandingkan
dengan dinamika masyarakat
setelah perdamaian itu
terjadi.***

...semua orang itu


punya potensi untuk
dikembangkan.
Potensi itu ada dan
kadang bisa secara
cepat, tapi ada juga
yang gagal. Kita beri
kesempatan kepada
semua individu
untuk bisa berkreasi
dalam
pembangunan.

22

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

Hikayat Robinson Crusoe


oleh: Teuku Mansor Leupung

Peugah hai droe bak Rabbana,


Ingat desja nyang ka jadi.
Wahe tuhan nyang kuasa,
Tulong hamba nyang that asi.

Tabloid Hukum dan Politik

MODUS

Dari Peureulak
ke Bandar Khalifah
Untuk menyelamatkan aset sejarah. Masyarakat Peureulak membentuk Forum Peduli
Situs Kerajaan Islam Peureulak. Forum yang dipimpin Syarifuddin S Malem, S.Pdi itu,
terus berupaya melakukan pengkajian sejarah Peureulak. Menurutnya,
peralihan nama ibu kota kerajaan dari peureulak ke Bandar
Khalifah, punya cerita tersendiri.

Meung na tulong sidroe gata,


Mubahgia hamba ini.
Lon meulakee kabul pinta,
Gata kaja gasehani.
Ban fireuman nyang ka nyata,
Kalam Gata id(eu)uni.
Istadjib lakum ka samporna,
Khueuen ulama waki Nabi
Keubit sunggoh lon meudua,
Sang nazluha ngon yakini.
Tan lon sosah raja dosja,
Seubab gata that afdlali.
Walaakabiirat fa izaa qablakum faz lahu
Laasa ghiirah fa iza qablaka azlah.
Keu lon neubri ampon dosja,
Mara-bahya dum neupeusie
Panyang umu bak troih gisa,
Meuah dosja bapa ummi.
Lam pulo nyoe neupeulahra,
Bak mumada ngon razeuki.
Lam pulo njou lon syit sidroe,
Laen hansoe tulong diri.
Hudep mate laba rugoe,
Gata sidroe njang keutahwi.

Salah satu sudut kota Peureulak

Rahman-rahim sifeuet sampoe,


Kuasa droe lagi Ani.
Lon neuhukom bak kheundak droe,
Rizla kamoe njang abeudi.
Ribinson kheuen sira jimoe,
Po samlakoe peudjok diri.
kusyuk hate leungo asoe,
Dong lam uroe rapat gaki.
Lheueh meudua raboh jaroe,
jijak dudoe ho teukeudi.
Mata let-lot keudeh-keunoe.
Linggang djaroe kanan-kiri.
Jieu rimba that bahrullah,
Huteuen luah hana sakri.
Huteun seumak hantom soe cah,
Hana beukah buet ensani.
Pasi puteh njang that luah,
Teuma siblah kareueng biji.
Kareueng hampa bate beukah,
Meunan ulah bineh pasi.
Ho nyang tangieng hate gundah,
Pulo luah lagi sunji.
Robinson jak beuot langkah,
Deuek deungon graih tho ngon bibi.
Jak mita ie pat nyang mudah,
Uroe tampah hana sakri.
Dalam huteuen nyang that sosah,
Tan peukakaih ngon cah duri.
Hingga dijak troih bineh gle,
Hajuet hate rasa ngeuri.
Hana jarak deungon pante,
Hajad hase meuteumee ie.
Saboh kubang sinan hadle,
Ie njan ile peutangpagi.
Sidjuek rasa hana sabe,
Mar jible-ble pudjoe rabbi.
(bersambung)

Syarifuddin Malem

PERALIHAN nama itu terjadi pada abad

ke sembilan masehi. Ketika itu, Meurah (raja)


Peureulak, Syahril Nuwi, meminta kepada
pedagang Arab yang berada di Peureulak,
untuk menyampaikan salamnya kepada
Khalifah Harun Al Rasyid di Baghdad.
Sekaligus memberitahukan bahwa raja
Peureulak beserta rakyatnya telah memeluk
Islam. Syahril Nuwi pun meminta agar Harun
Al Rasyid mengirimkan sejumlah ulama ke
Peureulak untuk memperkuat ajaran Islam.
Seratus ulama pun dikirim sebagai tim
dakwah. Tim tersebut dikenal dengan nama
Nakhoda Khalifah, karena dipimpin langsung
oleh Khalifah Al Makmum Bin Haruan Al
Rasyid. Pengiriman tim dakwah dari Baghdad
ke Peureulak tersebut, sesuai dengan
komitmen Daulah Bani Abbasiah, untuk
meningkatkan penyebaran agama Islam di
luar Jazirah Arab.
Dalam rombongan Nakhoda Khalifah itu
terdapat cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib,
bernama Sayed Ali Al-Muktabar. Sayed Ali
adalah putra dari Muhammad Ad-Dibai bin
Jafar Assadiq bin Muhammad Al- Baqir bin

Ali Muhammad Zainal Abidin bin Husen bin


Ali bin Abi Thalib. Nakhoda Khalifah
mendarat di Bandar Peureulak pada tahun 173
H atau 790 M. Sejak itulah, Bandar Peureulak
berubah nama menjadi Bandar Khalifah.
Ketika sebagian misi selesai dilaksanakan,
Khalifah Al-Makmun dan beberapa anggota
rombongan kembali ke Baghdad. Sementara
Sayed Ali Al-Muktabar tetap berada di
Peureulak sampai akhirnya menikahi putri
Makdum Tansyuri dari Istana Kerajaan
Peureulak. Dari pernikahan tersebut lahirlah
seorang putra dan diberi nama Abdul Aziz.
Kelak Abdul Aziz di angkat menjadi Sultan
Peureulak dengan gelar Sayed Maulana
Abdul Aziz Syah.
Abdul Azizi menjadi raja pertama
Kerajaan Islam Peureulak sejalan dengan
deklarasi berlakunya Syariat Islam pada
tanggal 1 Muharram 225 H atau 850 M. Sejak
saat itu jadilah Kerajaan Islam Peureulak dan
Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai pusat
penyebaran agama Islam keseluruh
Nusantara.
Kini, Bandar Khalifah hanya tinggal
kenangan dalam catatan sejarah. Kawasan ini
hanya terdiri dari beberapa gampong. Antar
lain, Paya Meuligo dan Bandrong, menjadi
bagian dari Kemukiman Blang Simpo
Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh
Timur. Di Paya Meuligo terdapat bekas
Pertapakan Istana (Meuligo) Kerajaan
Peureulak dan di Bandrong terdapat sejumlah
kuburan (jirat) tua. Salah satunya adalah
makam Sultan Sayed Maulana Abdul Aziz
Syah.
Bandar Khalifah dan Nakhoda Khalifah
merupakan dua nama yang dianggap sakral
oleh sebahagian masyarakat Peureulak
dewasa ini. Banyak yang menggunakan salah
satu dari dua nama tersebut sebagai nama
Madrasah dan Taman Pendidikan Al-Quran (
TPA ). Misalkan Madrasah Diniyah Nakhoda
Khalifah yang terdapat di Mesjid Zadul Muad
Peureulak. Ada pula yang mengabadikan nama
tersebut sebagai nama jalan, masjid, Taman
Kanak- Kanak (TK), Koperasi, dan Yayasan.
Bandar Khalifah pun pernah diusulkan

untuk diangkat kepermukaan, dengan


menjadikannya nama ibu kota kabupaten Aceh
Timur. Namun hal itu mendapat pro-kontra
dalam masyarakat. Sebagaian masyarakat
menyambut baik karena ide tersebut
merupakan upaya mengangkat batang
terendam. Maklum, sedikit sekali generasi
muda yang memahami sejarah Islam
Peureulak. Dengan dilestarikan nama Bandar
khalifah sebagai ibu kota kabupaten,
diharapkan dapat mendorong generasi muda
untuk kembali mempelajari dan menekuni
sejarah, terutama sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Asia Tenggara yang
berawal dari Peureulak dan Pasai.
Malah, Pj. Bupati Aceh Timur, Azman
Usmanuddin pernah mengusulkan kepada
DPRD Aceh Timur supaya Bandar Khalifah
di pakai menjadi nama Ibu Kota Kabupaten.
Namun masih terdapat pro-kontra dikalangan
anggota dewan. Sebelumnya, Azman telah
pula mengusulkan agar Kecamatan Peudawa
dijadikan sebagai Ibu Kota Aceh Timur.
Dengan adanya dua buah usulan yang saling
kontoversi ini, apakah DPRD Aceh Timur
dapat menyetujuinya? Sampai saat ini belum
ada yang bisa menjawab. Bahkan ada anggota
dewan yang terheranheran atas sikap Pj.
Bupati Aceh timur. Pasalnya, soal tempat
belum putus sudah diusulkan lagi nama lain.
Beginilah kami di Aceh Timur keluh salah
seorang anggota dewan.
Dilain pihak Syarifuddin menilai bahwa
sebagai upaya untuk meredam perselisihan
pendapat antara masyarakat Peureulak dan
masyarakat Idi yang masing-masing
menginginkan agar daerahnya dijadikan Ibu
Kota Aceh Timur. Ide tersebut bolehlah
dianggap bermanfaat namun bila ditinjau dari
sudut pandang kesejarahan, ide tersebut
sangat tidak relevan. Menurut Presiden FPSKIP itu, bila hal tersebut disetujui maka akan
terjadi pengaburan sejarah. Yakni nama
Peudawa akan hilang dan berubah menjadi
Bandar Khalifah. Bukankah Peudawa juga
mempunyai sejarahnya sendiri?***
Abu Bakar Siddiq (Langsa)

Murthalamuddin/modus

Ingat salah teumeureuka,


Kheuen nahuda hana meusie.
Jileueng jaroe jibeuet dua,
Get suara mise bansi.

Tarikh Nanggroe

MODUS

Tabloid Hukum dan Politik

Jeritan Hati

NO. 44/TH. III/16 - 22 MARET 2006

23

Ketika dia menangis di hadapanku,


meminta aku agar tidak
meninggalkannya, dengan angkuh aku
berkata, aku tidak lagi
membutuhkanmu!.
SEJAK kelas dua SMU, aku sudah

Playboy Juga
Bisa Patah Hati
Playboy yang kerap gonta-ganti pasangan, ternyata juga bisa sakit
hati, ketika wanita yang dicintai mencampakkannya. Ini adalah
kisah Ridwan, nama samaran, kisah playboy yang kena batunya.
Tak mampu menghadapi kenyataan pahit, ia pun pernah mencoba
bunuh diri. Bagaimana kisahnya? Selasa, 7 Maret lalu, di kantin
Setdakab Bireuen, pria berusia 24 tahun itu, bercerita kepada
Ikhwati dari modus. Inilah penuturannya.

memulai pertualangan cintaku dengan


banyak cewek. Dengan wajah di atas
rata-rata, dengan mudah aku bisa
menggaet mereka. Adalah Fitri, nama
samaran, korban pertama cintaku. Ia
seorang siswi pindahan dari sebuah
SMU di Lhokseumawe.
Sejak pertama melihat gadis
hitam manis itu, aku sudah bertekad,
ia harus jadi pacarku. Dan dalam
tempo dua hari, aku berhasil meluluhkan hatinya. Hari-hari selanjutnya, kami selalu bersama. Aku dapat
merasakan bagaimana tulus cintanya
padaku. Tapi waktu itu, aku merasa,
masa bodoh dengan cinta. Aku hanya
memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadiku, seperti mengerjakan tugastugas sekolah.
Baru dua bulan pacaran dengannya, aku mulai bosan. Ia pun kutinggalkan begitu saja, tanpa kata
putus. Aku bahkan tidak peduli ketika
ia datang dan mempertanyakan
perubahan sikapku. Ketika dia
menangis di hadapanku, meminta aku
agar tidak meninggalkannya, dengan
angkuh aku berkata, aku tidak lagi
membutuhkanmu!.
Setelah mencampakkan Fitri, aku
terus melakukan pertualangan cintaku
dengan beberapa siswi lainnya.
Bahkan sampai aku menjadi pegawai
honorer di kantor Bupati Bireuen.
Di antara sederetan gadis yang
kukenal, Halimah, nama samaran,
merupakan gadis yang sangat susah
kudapatkan. Sebagai santriwati di
sebuah pesantren di Peusangan, ia
merupakan gadis pemalu yang santun.
Tapi aku tidak menyerah begitu saja.
Setelah tiga bulan melakukan
pendekatan, akhirnya ia mau juga
berkenalan denganku. Aku hanya bisa
berbicara dengannya seminggu
sekali, itu pun tanpa bisa bermesraan.
Bahkan aku tidak pernah bisa
memegang tangannya sekalipun.
Setelah enam bulan menjalin
hubungan dengannya. Ia mengutarakan niatnya agar hubungan kami
lebih serius. Ia memintaku untuk
melamarnya. Aku mulai berpikir dua
kali, karena aku memang belum siap
untuk menikah. Karena itu pula, ia
meminta hubunganku dengannya
diakhiri saja. Tak lama kemudian
kudengar kabar kalau ia sudah
dijodohkan dengan pria pilihan orang
tuanya. Aku sangat gembira mendengar kabar itu, karena aku memang
tidak pernah serius mencintainya.
Setelah berpisah dengan Halimah, aku pun berencana menghentikan sementara petualangan
cintaku. Aku lebih memfokuskan diri
pada kegiatanku bermain bola di
kompetisi lokal. Saat aku bertanding
ke Aceh Utara, aku bertemu dan
tertarik pada seorang gadis yang
menontot pertandingan bola kami.
Usai pertandingan aku langsung
berinisiatif menemuinya, mengajak
kenalan. Ia memperkenalkan dirinya
dengan nama Tari, seorang guru honorer di Lhokseumawe. Ia sangat
ramah dan tidak sombong. Sejak
perkenalan itu, kami sering sms-an
dan telepon-teleponan. Dia sangat
enak diajak ngobrol, bahkan ia sering
menjadi tempat curhatku, soal
masalah keluargaku. Bagiku itu
merupakan suatu hal yang aneh,
karena sebelumnya aku tidak pernah

menyampaikan persoalan keluargaku


kepada siapapun.
Kekagumanku padanya pun
semakin bertambah, ketika kuketahui
perjuangan hidupnya untuk merubah
nasib ke arah yang lebih baik. Suatu
hari, ia mengutarakan isi hatinya
padaku, bahwa ia menyukaiku, aku
pun menyatakan hal yang sama. Aku
menyukainya meski ia setahun lebih
tua dariku.
Jadilah kami sepasang kekasih.
Semakin hari cintaku padanya
semakin besar. Bahkan aku bertekad
untuk menjadikannya pelabuhan
terakhir bagi cintaku. Cinta kami pun
bertambah lengket saja, ketika aku
bisa berkenalan dengan baik dengan
keluarganya. Aku pun mencoba untuk
mengubah prilakuku menjadi lebih
dewasa. Aku tidak mau ia sakit hati,
apalagi menyakitinya.
Setelah lima bulan kami menjalin
hubungan, tiba-tiba aku melihat
perubahan sikap Tari. Ia mulai jarang
membalas sms-ku, apalagi menelpon.
Bahkan ketika aku mengajaknya untuk
bertemu, ia selalu mengelak dengan
alasan sibuk dengan kerjaannya.
Aku pun mencoba untuk memahami dan mengerti dengan
kesibukannya. Tapi rasa rindu yang
tak tertahan menghalangiku. Hari
minggu aku berusaha menemuinya.
Dan hari itu menjadi hari yang sangat
menyakitkan bagiku. Dengan
gamblang ia berterus terang kalau ia
tidak lagi mencintaiku.
Mukaku bagai tertampar, ketika
ia mengatakan telah mencintai pria
lain yang lebih baik dariku. Aku pun
yang dulunya begitu angkuh menyakiti
hati wanita, kini merasakan rasa sakit
yang sama. Aku tidak bisa menerima
keputusan itu. Sekuat apapun aku
meyakinkannya untuk kembali
menjalin hubungan, ia sudah bulat
dengan putusannya. Sebuah putusan
yang sangat menyakitkan bagiku.
Aku yang dulu ceria, kini berubah
menjadi pria pemurung. Luka hati
yang pernah kutoreh pada sejumlah
pacarku, kini dengan rasa pedih yang
sama menerpaku. Akibat kejadian itu,
akupun menjadi malas masuk kantor.
Aku benar-benar berubah. Pernah
kucoba untuk melupakannya. Namun
sekuat apapun usahaku, hatiku belum
bisa tegar menerima kenyataan pahit
itu. Aku pun menjadi pria frustasi.
Sabtu sore aku memutuskan
mengakhiri hidupku dengan meloncat
ke dalam sumur di belakang rumahku.
Entah berapa lama kemudian,
ketika kubuka mataku, puluhan
saudaraku berjubelan mengerubungiku yang terbujur di. Dari
mereka aku baru tahu, ternyata
usahaku bunuh diri tidak berhasil,
setelah pamanku menyelamatkanku
dari dalam sumur. Tapi aku sedikit
lega, setidaknya keluargaku tidak
mengetahui alasanku meloncat ke
dalam sumur.
Dua minggu kemudian, aku
memutuskan meninggalkan Aceh
untuk melupakan Tari. Aku pergi ke
Medan, ke tempat saudaraku. Aku
tetap yakin, ini merupakan karma
bagiku yang telah menyatiki belasan
pacarku sejak aku mengenal cinta di
bangku SMU. Kini tak ada lagi yang
bisa kulakukan dengan kenanganku itu,
selain memikirkan bagaimana aku
menyembuhkan hati ini.***

ASSALAMUALAIKUM
Aceh...! Sapa Mulan Kwok, salah satu
personil Ratu, memecah suara gaduh
penonton di Stadion Harapan Bangsa,
Banda Aceh, Sabtu malam lalu.
Walaikumsalam..!!!, jawab sekitar dua
puluh ribuan penonton. Lalu Mulan,
menggoyang penonton dengan lagu
pembukanya. Jangan Bilang SiapaSiapa. Lagu itu merupakan salah satu
tembang hits Ratu. Dan, penonton pun
histeris. Bagai terhipnotis, mereka
bergayung sambil mengacungkan
tangan.
Itulah suasana pembuka konser
Radja & Ratu, bertajuk A Mild Live
Rock In Love. Berbeda saat tampil di
daerah lain di Indonesia. Di Banda
Aceh, Ratu tampil dengan pakaian
tertutup. Mulan dengan busana serba
hitam yang dipadukan dengan dasi
kotak-kotak merah. Kepalanya dibalut
songkok, juga dilengkapi sepatu boot
putih sebetis. Dalam aksi panggungnya, Mulan tampak begitu mood dan
enerjik, menghibur penggemarnya.
Begitu juga Maia Ahmad pentolan
Grup Ratu. Istri personil Grup Dewa,
Ahmad Dhani ini, tampil dengan gaya
sangat berbeda. Biasanya seksi, malam
itu menggunakan kerudung dan
selendang berwarna merah
dengan baju hitam dan celana
motif kotak-kotak plus sepatu
boot coklat selutut.
Dibandingkan dengan penampilan
sebelumnya di daerah yang berbeda,
penampilan pertama Ratu di Aceh
memang terkesan lain. Ratu Beda kan!!
Suka enggak?! Terima kasih Aceh buat
Ratu tampil beda!! Itulah kalimat yang
dilontarkan Mulan yang begitu
komunikatif menyapa penggemarnya.
Malam itu, Ratu membawakan
beberapa lagu, termasuk salah satunya
tembang lawas, Di dadaku Ada Kamu,
yang dipopulerkan oleh si Burung
Camar, Vina Panduwinata dengan
aransemen versi Ratu yang lebih R&B.
Lalu, ada tembang Teman Tapi Mesra,
dari album Ratu and Friends. Lagu itu
dikemas sebagai penutup dari Ratu.
Lagu yang belakangan ngetrend di
kalangan anak muda ini menjadi klimaks
penampilan Ratu malam itu di Banda
Aceh. Penonton yang telah menunggu
pun serentak meloncat ikut irama lagu
yang sudah tak asing di telinga.
Persis pukul 21.30 Wib, panggung
yang berketinggian sekitar dua meter
lengkap dengan tampilan layar monitor di sisi kanan dan kiri panggung,
langsung diambil alih oleh anak-anak
Radja dengan hentakan lagu pertamanya Bulan. Tampak Radjaku,
julukan fans Radja berjingkrakan
mengikuti lirik lagu tersebut.
Memang, malam itu setiap lagu
yang dibawakan Ian Cs, selalu
mendapat aplaus dari penonton. Ini
bukti kalau penampilan Radja paling
ditunggu pengemarnya. Padahal,
sebelumnya Radja sudah pernah
tampil di Aceh, yaitu di Gedung
ACC Dayan Dawood, Darussalam
Banda Aceh.
Sebelum acara berlangsung,
jajaran Dinas Syariat Islam Kota
Banda Aceh, memberikan pengarahan kepada penonton untuk
mematuhi aturan Syaritat Islam
yang berlaku di Aceh. Ditekankan
pada penonton yang hadir agar lakilaki dan perempuan tidak bercampur.
Dan ini yang pertama kali pihak Dinas
Syariat Islam diberi kesempatan untuk
memberi arahan.
Konser sempat dihentikan sejenak
di sela-sela penampilan Ratu. Ini
dikarenakan para penonton mulai
bercampur antara wanita dan laki-laki.
Namun konser tetap berlangsung
setelah panitia penyelenggara memberikan arahan agar para penonton lakilaki memisahkan diri dengan
perempuan. Meski begitu, setelah tiga
lagu Radja bergema, pelan-pelan,
penonton laki-laki menyatu dengan
perempuan. Seakan, mereka larut dari
lirik dan syair yang dilantunkan. Inikah
yang disebut histeria kaum muda Aceh?
Entahlah!***
Davi Abda

Anda mungkin juga menyukai