Anda di halaman 1dari 4

ABG Cuma Bisa Hura-hura?

STUDIA Edisi 285/Tahun ke-7 (20 Maret 2006)

Hua…ha…ha…ha!” tawa lepas itu sering terdengar di malam minggu, malam senin,
sampe malam selasa. Terutama pada jam-jam sibuk orang mencetin tombol remote tv
nyari channel hiburan malam. Ya, sekitar jam 7 maleman ke atas gitu deh. Terkadang
diselingi tawa nggak lepas, senyum dikulum, hingga cekikikan khas kuntilanak. Iih…
syereem! Asalnya dari para penikmat hiburan komedi televisi. Mereka adalah komunitas
baru yang behasil diciptakan oleh trans TV, extravaganzaholic. Sapa tuh?

Extravaganzaholic adalah sejenis makhluk hidup yang doyan ketawa akibat ketagihan
hiburan khas Extravaganza. Sejak kehadirannya, variety show yang menghadirkan
komedi rasa baru ini kian populer di kalangan pemirsa tipi. Semua terhibur dengan
tingkah polah dan percakapan para penghuni dunia extravaganza ini yang pada ngocol.
Ada ‘Tato Rame’ Sudiro, Ronald ‘Si Raja Teh’, Indra Birowo, Tieke, Virnie, Sogi, Mike,
dan nggak boleh ketinggalan kuncen planet ini, Aming/Amingwati yang sering kedapetan
‘bias gender’ saat berakting. Hihihi…

Kini, kesuksesan ekstravaganza coba ditularkan produsennya pada generasi penerusnya


yang masih belia. Yup, planet Extravaganza mulai dihuni oleh bintang-bintang muda
yang tergabung dalam gank ekstravaganzabg. Mereka adalah Nia Ramadani, Laudya
Cintya Bella, Cecep Reza, Tities Saputra, Bobby Muscar, Rafi Ahmad, Frans
Indonesianus, Asha Shara dan Dhawiya Zaida.

Wajah-wajah baru di dunia hiburan ini mencoba ngikutin jejak kakek-nenek moyangnya
(Aming dkk). Dengan menghadirkan bintang tamu dan band-band idola remaja,
extravaganzabg pengen dapet tempat di hati remaja en remaji. Sukseskah mereka?
Tonton aja ndiri! (lho, kok malah nyaranin nih? Hehehe..)

Kreativitas juga punya batas


Banyak yang heran dengan kesuksesan hiburan khas Extravaganza. Lantaran pemainnya
bukan para pelawak murni atau mantan personel group lawak. Tapi para aktor dan
entertainer asli yang nggak ada bakat keturunan ngelawak apalagi dikutuk jadi makhluk
pengocok perut. Menurut M. Ikhsan, Pimpinan Kreatif Extravaganza, “Kami mencoba
memahami kultur industri televisi. Melakukan lompatan, mewujudkan berbagai inovasi,
belajar memahami psikologi penonton dan menangkap momen,” (Pikiran Rakyat,
24/07/06)

Bener sobat, kamu yang termasuk extravaganzaholic boleh acungi keempat jempol kamu
(sambil duduk biar nggak jatoh) dengan kreativitas hiburan yang disajikan T-‘enggak’
(dalam bahasa jawa, ora=enggak hehehe... maaf ye Mas Tora) Sudiro cs. Sketsa komedi
yang menyajikan delapan sitkom dalam setiap episodenya ini emang mujarab untuk
ngobatin kejenuhan kita menghadapi permasalahan hidup. Lawakannya merakyat abis.
Tema-tema keseharian dikemas dalam bodoran segar yang mengandalkan percakapan
yang ngocol. Bukan cuma improvisasi pemain atau lawakan fisik yang kurang santun
(meski dikit-dikit ada sih). Udah nggak zamannya, Bro!
Sayangnya, seperti kebanyakan tayangan entertaint, Extravaganza juga nggak bisa lepas
dari unsur bebas nilai. Celotehan dan adegan yang sering diperagakan para pemainnya
nggak sedikit yang nyerempet-nyerempet porno dan cenderung vulgar. Kondisi ini
diperparah dengan kostum seksi yang terbuka, mini, dan full pressed body yang sering
dipake para pemain wanitanya. Hasilnya, nggak cuma memancing tawa penonton tapi
juga imajinasi mereka. Pik-tor tuh!

Sementara dalam extravaganzabg, meski skenario dan adegan yang vulgarnya diperketat,
kehidupan remaja yang kental dengan tawa, canda, dan hura-hura tetep mendominasi
dalam setiap episodenya. Kondisi ini kian melengkapi hiburan-hiburan lain yang banyak
menggiring remaja untuk menikmati hidup dengan fun. Meski tertawa bikin kita bahagia
dan baik untuk kesehatan, tapi kalo hidup cuma diisi dengan ketawa bisa jontor dan tebel
tuh bibir! Hehehe.....

Nah sobat, kreativitas pekerja seni dalam menghibur kita emang itu yang kita tunggu.
Tapi nggak harus pake ngelanggar etika dan sopan santun dong. Apalagi sampe bebas
nilai. Tetep, pemirsa juga berhak dapetin hiburan dan informasi yang mendidik. Sehingga
media bisa menjadi sahabat kita. Betul?

Remaja wajib melek media


Dirut Trans TV, Ishadi SK, mengingatkan kita untuk selalu menempatkan televisi
(broadcast) dalam dua posisi, yaitu sebagai “industri budaya” dan sebagai “institusi
bisnis”. Dalam melangkah di dua posisi itu, akan selalu terjadi pertarungan antara dua
kepentingan, yaitu antara idealisme dengan realita bisnis. (Pikiran Rakyat, 21/09/05)

Kita boleh aja berharap informasi dan hiburan yang kita lahap tiap hari di depan televisi
bikin kita-kita pada pinter dan bermoral. Tapi kayaknya, harapan itu ibarat pungguk
merindukan bulan kalo kita ngeliat acara-acara tivi sekarang. Seperti yang dituturkan
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, Dian Wardiana
Sjuchro, di televisi banyak kekerasan, seks, jurnalisme menyimpang, takhayul, dan
mistik. Malah menurut psikolog Afra Hafny Noer, materi seksual lebih banyak diekspos
daripada (unsur) pendidikannya (Pikiran Rakyat, 21/09/05)

Parahnya, ‘ideologi rating’ yang dijadikan acuan pengelola tv sering menendang


idealisme mereka untuk mencerdaskan pemirsa. Mereka jadi sibuk nyari dan bikin acara
yang ber-rating tinggi dan menyerap iklan banyak meski mengorbankan tanggung jawab
moralnya kepada masyarakat. Weleh-weleh, kalo kita nggak kritis bisa jadi musuh dalam
selimut kehadiran kotak ajaib alias televisi di rumah kita. Iya kan?

Tengok aja, tayangan yang umumnya disajikan bagi remaja isinya cuma ngupas
persoalan percintaan yang cenderung mengarah pada seks bebas, keputusasaan karena
ditinggal pacar, transaksi cinta demi meraih materi, melawan orangtua yang katanya
“demi cinta”, hingga aborsi sebagai jalan keluar akibat kehamilan yang tidak
dikehendaki. Kemudian, persoalan pergaulan tidak luput dari narkoba, dugem, bergaya
hidup mewah, serta persoalan fashion yang identik dengan tren pakaian-pakaian mini,
ketat, aksesori-aksesori nan mahal, ponsel canggih, hingga make up berlebihan. Yang
penting trendy.
Yup, semuanya disajikan dengan vulgar nggak pake sensor. Akibatnya informasi model
gini bisa jadi inspirasi bagi penonton remaja yang masih menganut gaya hidup copy-
paste, nyontek abis seperti yang ada di televisi. Makanya kita kudu ngeh dengan hiburan-
hiburan yang disajikan media elektronik ini. Nggak semua yang kita denger itu bener dan
nggak semua yang kita lihat itu bermanfaat. Catet tuh!

Remaja, sukanya hura-hura?


Kita berharap, tentu bukan anggukan kepala untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun,
kita kudu berani akui kalo informasi dunia remaja yang hadir ke permukaan via media
massa justru banyak yang mengarah ke sana. Kita jadi bertanya: “Kenapa sih nggak ada
tayangan yang menggambarkan sosok remaja yang kreatif di jalur yang benar, serius
dalam belajar, gigih mencari ilmu, dsb yang baik-baik?” Kenapa yang dihadirkan tuh
yang kesannya hura-hura? Padahal, nggak semua remaja gitu deh. Apakah ini ingin
menggiring opini bahwa remaja harus hura-hura, nyantai dan kesannya miskin idealisme?
Penelitian di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan Ujungpandang oleh Gatra yang
bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, turut menjawab pertanyaan di atas. Hasil survei memperlihatkan,
remaja Indonesia cenderung bersikap apolitis dan apatis terhadap keadaan. Mereka lebih
banyak memanfaatkan waktu untuk berhura-hura ketimbang melakukan kegiatan positif.
Lebih dari itu, mereka bersikap permisif terhadap perilaku kebebasan seks.

Data lain menunjukkan, bahwa banyak teman remaja yang nggak terlalu tertarik untuk
memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif, seperti belajar atau
membaca buku. Hampir 31% (246 orang) memilih mejeng di mal atau pertokoan,
berhura-hura, menenggak minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, dan
mementingkan kepuasan indrawi (hedonisme). (Gatra, 3/01/98). Waduh, pegimane
urusannya?

Emang nggak bisa dipukul rata hasil penelitian di atas untuk ngegambarin potret remaja
secara umum. Cuma masalahnya acara televisi yang disajikan bagi remaja sekarang ini
malah makin menguatkan hasil survei di atas. Dalam sinetron remaja, ceritanya seputar
cinta, cemburu, kasmaran, seks bebas, yang dikemas dalam gaya hidup glamour.

Status sih boleh siswa berseragam sekolah, tapi perilakunya mencoreng nama baik kaum
terpelajar. Yang ditonjolin cuma dandanan modis dengan segala aksesoris, hobi nge-
dugem, atau mejeng di mal. Sementara kegiatan belajar-mengajar, diskusi pelajaran
sekolah, kreativitas dalam mempraktekkan ilmu, semangat dalam belajar, rela berkorban
dan saling menolong, atau potret remaja idealis? Aha, kayaknya nggak ada dalam kamus
tayangan-tayangan remaja populer saat ini. Kasian deh ih!

Menjadi generasi cerdas islami


Sobat, indah banget ya kalo idealisme para pengelola tv itu nggak abis digerogotin
‘ideologi rating’. Tentu program televisi yang menghibur dan penuh manfaat dengan
mudah kita nikmati. Kerinduan kita akan hadirnya cerita remaja berkualitas semodel ACI
atau Rumah Masa Depan di jaman baheula akan segera terobati. Perbaikan potret buram
para pelajar dengan menghadirkan sosok-sosok siswa berprestasi yang pantang menyerah
melawan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan bisa jadi teladan. Atau sebuah
kompetisi intelektual yang dikemas dengan gaya populer untuk menghasilkan pelajar
berprestasi tentu menjadi nilai positif dari media untuk kita.

Selain itu, pembinaan untuk membentuk karakter dan pengenalan jati diri remaja juga
nggak boleh ketinggalan. Pihak media punya peranan besar dalam hal ini jika mau sedikit
peduli dengan memberikan informasi yang seimbang terhadap rusaknya budaya populer
yang lahir dari gaya hidup sekuler masyarakat Barat. Agar pemirsa juga cerdas dan
sekaligus islami. Baik pola pikir, maupun pola sikap.

Kalo kita cuma ngisi hidup kita dengan hura-hura dijamin bakal sengsara dunia-akhirat.
Sebab hidup kita kan nggak jalan di tempat. Nggak selamanya kita jadi remaja. Jika
saatnya tiba dan Allah mengizinkan, kita bakal jadi orangtua, berkeluarga, dan punya
tanggungjawab yang harus kita pikul. Kebayang dong kalo kondisi itu lalai kita siapkan
dari sekarang selagi punya kesempatan dan kekuatan di usia muda, masa depan kita bisa
amburadul...dul...dul!

Dan yang paling penting, kontrak hidup kita nggak selamanya diperpanjang. Malaikat
Izrail atas perintah Allah bisa ngecengin kita kapan aja dan di mana saja. Karena itu,
marilah kita menjadi generasi cerdas dan islami seperti yang disabdakan Rasulullah saw:
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa
beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang yang lemah adalah
orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada
Allah.

Predikat generasi cerdas dan islami ini bisa kita raih kalo kita nggak keberatan untuk
mengenal ajaran Islam lebih dalam, memahaminya, dan menjadikannya sebagai aturan
hidup kita. Daripada banyak hura-hura mendingan banyakin nyari pahala. Jadi, ngaji
yuk?! [Hafidz: hafidz341@telkom.net]

Anda mungkin juga menyukai