(Animasi)
Menonton film animasi adalah hal lazim untuk para anak-anak,bahkan remaja dan
dewasa memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap animasi,mulai dari tv sampai
komik,semuanya tak lepas dari alur cerita yang imajinatif dan terkesan heroik,namun
tau kah kalian beberapa fakta kini telah didapatkan seputar dampak positif dan negatif
dari menonton film animasi,mempengaruhi imajinasi dan kreativitas, yah okelah pasti ini
dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan ide anak,tapi tak jarang justru dampek
negatif yang muncul mulai dari hal kecil sampai yang besar,simak ulasan kematian
Revino Siahaya, anak berusia 10 tahun, yang disinyalir bunuh diri akibat meniru gaya
dalam film kartu Naruto.
Berdasarkan hasil penyelidikan pihak yang berwajib, memang itdak ada indikasi adanya
pengaruh film tersebut terhadap kematian Revino. Tetapi menurut KPI kasus ini
menimbulkan keresahan dari masyarakat akan sinyalemen bahwa film kartun Naruto
mempunyai pengaruh buruk terhadap perilaku anak.
Kasus Naruto tersebut menambah panjang catatan ihwah film animasi kartun televisi
yang mendapat protes masyarakat. Kita tentu masih ingat, beberapa waktu silam film
animasi kartun Sinchan dan Doraemon, banyak mendapat kritik bagi masyarakat
karena dinilai kurang edukatif dan tidak sesuai untuk anak-anak.
Sinchan dalam beberapa serialnya menampilkan perilaku yang menjurus ke arah
pornografi. Sementara film animasi kartun Doraemon banyak disoroti karena
memanjakan tokoh Nobita dengan hal-hal yang bersifat instan. Ini menyebabkan tokoh
Nobita menjadi sosok anak yang malas dan kurang mandiri, selalu mengandalkan
Doraemon dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Perilaku kedua tokoh
kartun tersebut, dikhawatirkan pihak orangtua bisa memberi pengaruh negatif bagi
perkembangan anak.
Kembali pada Naruto, pada dasarnya film ini memang cukup menarik. Bercerita tentang
petualangan seorang bocah dari perkampungan ninja bernama Konoha. Film animasi
kartun ini menampilkan hal yang berbeda dari sosok ninja pada umumnya. Tokoh-tokoh
ninja dalam kisah Naruto tampil lebih terbuka, fashionable, lepas dari mainstream figur
ninja klasik yang cenderung berpenutup wajah dan misterius. Begitu pula dengan
persenjataan. Kalau ninja klasik banyak mengandalkan kepiawaian dalam memainkan
jurus samurai, tombak dan senjata rahasia, maka Naruto dan kawan-kawan
digambarkan lebih hebat dari itu. Mereka tidak lagi tergantung pada senjata
konfensional karena memiliki kesaktian luar biasa.
Dengan menggunakan teknis animasi modern, ilmu-ilmu yang ditampilkan menjadi
tampak hebat, dramatik, dan heroik. Wajar apabila banyak disukai oleh anak-anak. Tapi,
di lain sisi, harus diakui, sepanjang film ini selalu tak lepas dari adegan kekerasan.
Pertempuran yang tak jarang berujung pada pembunuhan, selalu menjadi pilihan dalam
menyelesaikan setiap masalah, yang diangkat sebagai inti cerita. Tidak berlebihan
apabila orangtua menjadi khawatir.
***
Bila kita cermati, sebenarnya memang banyak film animasi kartun di televisi yang
menampilkan adegan kekerasan. Ironisnya, animasi kartun di televisi bagi sebagian
besar masyarakat masih dianggap sebagai film anak-anak. Padahal kita tidak tahu, film
impor tersebut di negara asalnya apakah memang jelas-jelas untuk konsumsi anakanak, atau tidak?
Sebagai contoh, film animasi kartun Tom and Jerry yang populer dan sangat digemari
oleh anak-anak. Banyak orangtua yang merasa aman-aman saja dan membiarkan buah
hati mereka menonton animasi kartun tanpa perlu mendampinginya. Padahal, film
animasi karya duo animator William Hanna dan Joseph Barbera ini bila diperhatikan
sarat dengan adegan kurang terpuji. Film kartun legendaris yang pertama kali
diproduksi tahun 1940 ini, hampir di setiap penayangannya tampil penuh kekerasan
maupun keisengan yang cenderung ekstrem. Perseteruan abadi tokoh kucing dan tikus
ini selalu diwarnai dengan upaya saling mengalahkan dengan melakukan pemukulan,
penusukan, pembakaran, jebakan, peledakan, penyiksaan terhadap masing-masing
tokoh maupun perusakan materi seperti melempar piring, membanting gelas dan lain
sebagianya. Meski semua itu dikemas dalam balutan humor, sehingga tampak jenaka,
namun bagi anak-anak yang belum bisa berpikir panjang bisa jadi apa yang
diperagakan oleh tokoh Tom dan Jerry dianggap sebagai legalitas bagi mereka untuk
melakukan hal serupa dalam pergaulan sehari-hari.
Lalu bagaimana seharusnya? Film animasi yang bagaimana yang benar-benar ideal
untuk anak-anak? Memang sulit untuk menemukannya. Tapi tak menutup kemungkinan,
bahwa dampak negatif yang selalu dikhawatirkan masyarakat atas film kartun animasi
televisi terhadap anak, bisa diminimalisir.
Misalnya; (satu); ada pelabelan atau pengkategorian yang jelas dan tegas dari KPI atau
lembaga terkait terhadap film animasi kartun televisi, apakah untuk anak-anak, remaja,
dewasa, atau segala usia; (dua), pihak LSF lebih ketat lagi dalam melakukan sensor;
(tiga), orangtua menyempatkan waktu untuk selalu mendampingi anak-anak saat
menonton film animasi kartun, dan siap memberikan penjelasan seperlunya apabila ada
adegan yang tak pantas untuk anak-anak; (empat), komitmen pihak televisi untuk
memproduksi film animasi kartun bernuansa budaya lokal, sekaligus sebagai upaya
memberdayakan dan mengakomodasi potensi animator dalam negeri.
Mengingat dewasa ini ilmu dan teknik animasi banyak diajarkan secara akademis di
perguruan tinggi seni maupun teknik informatika, maka anak bangsa yang handal dan
potensial membuat film animasi cukup melimpah. Banyak cerita rakyat dan kisah-kisah
budi pekerti yang bisa diaktualisasikan kembali menjadi animasi kartun televisi,
sehingga kita tidak dijajah produk film impor, dan tanpa disadari dipaksa untuk permisif
terhadap budaya asing melalui setting, istiadat dan perilaku para tokohnya yang belum
tentu sesuai dengan budaya Indonesia.
disisi lain film animasi jutru memberi dampak positif sebagai media pengajaran bagi
anak usia dini. Film animasi adalah salah satu media pengajaran yang dapat digunakan
untuk menyampaikan bahan ajar pada anak, dengan gambar yang menarik, perhatian
anak akan langsung tertuju ke sana sehingga proses pembelajaran dengan
menggunakan film animasi akan melahirkan suasana yang menyenangkan bagi anak.
(Rivai,M. 2007 : 20)
banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru,
tetapi juga aktifitas lainnya seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan,
memerankan, dan lain-lain".
dalam bentuk animasi kartun juga membuat anak tidak cepat bosan, sehingga dapat
merangsang anak mengetahui lebih jauh lagi serta anak-anak didorong untuk mengenal
dan mengetahui manfaat teknologi, sekaligus merangsang minat mereka untuk belajar
dan antusias terhadap cerita yang ditayangkan pada film animasi khususnya pada
proses pembelajaran yang menunjang pada peningkatan kosakata anak.
Para peneliti telah melakukan banyak penelitian tentang pengaruh penggunaan media
film animasi dalam proses pembelajaran pada siswa. Dengan membandingkan
pengaruh penggunaan film animasi dan penggunaan gambar terhadap kemampuan
membuat cerita narasi pada siswa SMU, Hendriana (2005 : 73) mendapatkan bahwa
penggunaan media film animasi dapat meningkatkan kemampuan membuat cerita
narasi pada siswa secara signifikan. Studi lain yang menguji pengaruh penggunaan
animasi dalam membantu meningkatkan kemampuan berbicara pada anak Tunagrahita,
Ernawati (2008 : 47) melaporkan bahwa penggunaan animasi sangat berpengaruh
terhadap kemampuan berbicara anak Tunagrahita. Berkenaan dengan pembelajaran
kosakata, studi eksperimen yang menguji pengaruh penggunaan media audiovisual
terhadap kosakata anak-anak Sekolah Dasar, dilakukan oleh Dwi Murhadi (2005 : 67)
menunjukkan bahwa pembelajaran kosakata dengan menggunakan media audiovisual
sangat berpengaruh terhadap perbendaharaan kosakata siswa. Selanjutnya, Lutfiyah
(2008 : 68) melakukan eksperimen terhadap peningkatan perbendaharaan kosakata
dasar dengan menggunakan media gambar dan hasilnya menunjukkan bahwa media
gambar berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perbendaharaan kosakata anak.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media film
animasi yang merupakan salah satu media audiovisual dapat berpengaruh terhadap
kemampuan berbahasa pada siswa seperti kemampuan mengarang cerita, berbicara,
dan meningkatkan kosakata siswa. Sehingga peneliti berasumsi bahwa penggunaan
film animasi dalam proses pembelajaran di lembaga PAUD dapat membantu anak
dalam pengembangan berbahasa terutama dalam upaya meningkatkan kosakata dasar.
Anomali kembali terjadi ,beberapa acara televisi anak-anak berakibat buruk untuk otak
anak menurut sebuah studi baru tentang menonton kartun. Dampaknya adalah anakanak tidak bisa berkonsentrasi atau fokus dengan baik setelah menonton film kartun
tertentu.
Hal ini terungkap, seperti dirilis oleh CNN Health (12/09/2011), dari hasil penelitian oleh
ahli dari University of Virginia mengenai dampak film kartun yang mereka sebut dengan
istilah animated kitchen sponge atau yang kita kenal dengan kartun Spongebob
terhadap kemampuan berpikir anak. Selain CNN Health, Washington Post pun
memberitakan hasil penelitian ini.
Peneliti dari University of Virginia tersebut melakukan pengujian terhadap 60 sampel
anak usia 4 tahun dengan memberikan perlakuan yang berbeda. Mereka dibagi ke
dalam tiga kelompok: 20 anak kelompok pertama diberikan tontonan 9 menit film kartun
animasi cepat Spongebob, 20 anak kelompok kedua diberikan tontonan film animasi
lambat Calliou, dan 20 anak kelompok ketiga disuruh menggambar dengan krayon dan
spidol.
Peneliti kemudian melakukan tes kemampuan berpikir anak setelah melakukan aktivitas
tersebut. Hasilnya adalah kelompok anak yang diberikan perlakuan untuk menonton
film Spongebob paling buruk dibandingkan dua kelompok anak lain. Para peneliti
menduga bahwa otak mendapat overtaxed atau lelah dari rangsangan-rangsangan
cepat dari kartun animasi Spongebob.
Untuk jangka panjang, dampak tersebut masih merupakan pertanyaan terbuka yang
harus dibuktikan lebih lanjut. Beberapa penelitian lain telah menemukan hubungan
antara acara televisi dengan rentang perhatian anak-anak, terutama pada anak muda,
sementara yang lain tidak. Peneliti khawatir acara-acara televisi tersebut memberikan
dampak panjang terhadap kemampuan berpikir anak di masa depan. Hal ini disebabkan
anak-anak prasekolah menonton televisi minimal 90 menit sehari, dan menurut para
peneliti lainnya memperkirakan anak-anak muda menonton televisi antara dua sampai
lima jam sehari. Jika ini dikalkulasikan maka jika orang itu hidup 70 tahun, maka 7
sampai 10 tahun masa hidupnya dihabiskan untuk menonton televisi. Hal ini ditambah
lagi dari hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa 32 persen anak dari usia 2
sampai 7 tahun dan 65 persen anak dari usia 8 sampai 18 tahun memiliki televisi di
kamar tidurnya.
American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan orangtua untuk membatasi anakanak dari tontonan televisi dan media hiburan lain (seperti video games dan lainnya)
tidak lebih dari 1 sampai 2 jam per hari dan tidak membiarkan anak berumur 2 tahun
untuk menonton televisi sama sekali. Para peneliti juga mengatakan bahwa ketika otak
anak-anak yang masih berkembang dibombardir dengan stimulasi terlalu banyak, dapat
mengganggu kemampuan mereka untuk belajar fokus secara baik. Dia menyarankan
bahwa orang tua mengawasi apa yang anak-anak mereka menonton.
"Inti dari penelitian ini dan banyak penelitian lain adalah bahwa apa yang ditonton anak
Anda sama pentingnya dengan berapa banyak mereka tonton. Ini bukan tentang
mematikan televisi, ini tentang mengubah saluran," kata Dr Dimitri Christakis, direktur
Pusat Kesehatan Anak University of Washington dan penulis editorial di Jurnal
Pediatric.
Angelina Lillard dan Peterson Jenifer, peneliti yang melakukan riset tersebut sekaligus
penulis jurnal, mengatakan hanya dengan 9 menit anak menonton film kartun
Spongebob tersebut telah memiliki efek negatif pada fungsi eksekutif otak anak. Orang
tua harus waspada terhadap hal ini, karena sedikitnya akan mempengaruhi fungsi otak
dalam jangka pendek.
Sementara itu, Nickelodeon yang dimiliki oleh Viacom International, produsen kartun
SpongeBob SquarePants, merilis pernyataannya untuk CNN ketika ditanya tentang
studi ini. "Dari ke-60 anak yang diteliti, itu bukan target dari film kartun Spongebob.
Kartun itu dirancang untuk anak usia 6 - 11-tahun bukan untuk usia anak 4 tahun,
seperti sampel anak yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, durasi menonton
selama 9 menit adalah metodologi yang dipertanyakan. Durasi selama itu tidak mungkin
memberikan dasar untuk sebuah temuan yang valid, di mana orang tua bisa
mempercayainya.
Namun Christakis mengatakan bahwa metodologi penelitian yang digunakan adalah valid
meskipun penelitian ini menggunakan sampel kecil, tetapi desain penelitiannya lebih kuat dari
penelitian sebelumnya dan temuannya adalah signifikan. Ia menekankan bahwa yang penting
adalah para orang tua mengambil pesan utama dari penelitian ini, yaitu banyak orang tua
memiliki aturan tentang batasan jumlah waktu menonton bagi anak, tetapi jauh lebih sedikit
memiliki batasan pada apa yang mereka tonton.
Adalah gambar hidup atau pada kalangan masyarakat dunia sering disebut sinema.
Gambar hidup merupakan bagian dari seni yang menjadi hiburan dan lahan bisnis
bagi para pelakunya.
film
tidak
lepas
dari
stimulasi
teknologi
fotograf
Pada
awal
kemunculannya didunia ini, perfilman dunia muncul dalam wujud gambar bergerak.
Gambar bergerak ini pertama muncul karena adanya pertanyaan ingin tahu
apakah keempat kaki kuda melayang dan berada pada posisi yang sama, ketika
kuda berlari?. Pertanyaan ini dijawab oleh Eadweard Muybridge dari Stanford
University dengan membuat 16 gambar atau frame kuda yang sedang berlari,
dengan cara merangkai dan menggerakkan gambar gambar tersebut. Kejadian ini
terjadi pada tahun 1878.
Sepuluh tahun dari munculnya gambar bergerak pada tahun 1978, barulah muncul
film
pertama
yang
dikenal
dengan
nama
RoundhayGarden
Scene
yang
disutradarai oleh Louis Le Prince yang berasal dari Prancis. Film yang berdurasi
sekitar 2 detik ini menggambarkan sejumlah anggota keluarga Le Prince sedang
berjalan jalan menikmati hari di taman. Setahun kemudian pada tahun 1989,
barulah
Amerika
Serikat
memproduksi
film
pertamanya
yang
berjudul
Monkeyshines No 1.
Setelah ditemukannya proyektor untuk memutar gambar bergerak pada layar lebar,
dilakukanlah pembuatan dan pemutaran film hitam-putih. Mulai dikembangkannya
teknik pengambilan gambar dan trik kamera, kemudian industri perfilman menjadi
semakin ramai dengan banyaknya bermunculan studio-studio film besar di
Hollywood. Semakin berkembangnya teknologi perfilman yang manjadikan film
menyertakan suara, warna, dan animasi serta 3 dimensi. Hingga saat ini,
perkembangan teknologi film terus berkelanjutan.
Tetapi menurut Sergei Eisentein, tanggal kelahiran film secara resmi adalah 20
Desember
1895.
Disaat
Lumiere
Bersaudara
untuk
pertama
kalinya
Tanggal 30 Maret Sineas Indonesia, Usmar Ismail membuat film pertamanya, yakni
Darah dan Doa. Itulah film pertama yang murni diproduksi bangsa Indonesia.
Kemudian tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Film Nasional.
selalu
memiliki
makna
dan
pesan
yang
ingin
disampaikan
kepada
Konten Seks
Konten sek (Baik itu pornografi ataupun porno aksi) pada film sangat berdampak
negatif (pada perilaku dan mental) masyarakat. Terutama pada anak dan remaja
yang rasa ingin tahunya sangat tinggi.
dan
berdampak
negatif.
Dibutuhkannya
waktu
khusus
untuk
mengkonsumsi film. Dan ini juga berdampak negatif pada anak anak, dengan
banyaknya tayangan kartun pada televisi saat ini, sehingga berkurangnya waktu
anak belajar dan bermain bersama teman temannya.
(film layar lebar,sinetron dan Ftv) yang selalu menyajikan budaya satu daerah,
sehingga mempengaruhi dan hilangnya nilai budaya pada masyarakat lokal.
yang lengkap ia tidak akan dapat dipahami) tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk
menyampaikan terinci tepat tentang realita-realita fisik.
Pada dasarnya, bahasa lisan atau tulisan itu bersifat menganalisis. Menuliskan kata mawar
ialah untuk mengemukakan secara umum dan meringkaskan ide bunga mawar. Kekuatan
sebenarnya dari bahasa-bahasa linguistik tidak pada kesanggupan denotatifnya, tapi pada segi
konotatif bahasa: kekayaan arti yang bisa kita sangkutkan pada sepatah kata yang melebihi
denotatifnya. Jika misalnya, denotasi adalah satu-satunya ukuran kekuatan bahasa, maka bahasa
Inggris yang memiliki perbendaharaan kata yang terdiri dari lebih kurang satu juta kata dan
merupakan bahasa terbesar dalam sejarah akan menjadi tiga kali lebih kuat dari bahasa
Perancis yang hanya memiliki kurang lebih 300.000 kata. Tapi bahasa Perancis mengatasi
perbendaharaan kata-katanya yang terbatas itu dengan penggunaan konotasi yang nyata jauh
lebih besar. Film juga memiliki kesanggupan-kesanggupan konotatif.
Jika dipertimbangkan kualitas denotatif suara dan imaji film sangat kuat, maka menarik sekali
untuk mengetahui bahwa kemampuan konotatif ini juga merupakan bagian dari bahasa film.
Nyatanya, sebagian besar dari kemampuan itu berasal dari kesanggupan denotatif film. Film
dapat menyadap segala macam efek dari seni-seni lainnya, semata-mata karena ia dapat
merekamnya. Dengan demikian, maka semua faktor konotatif dari bahasa lisan dapat
dimasukkan ke dalam sebuah jalur suara film, sedangkan konotasi dari bahasa tulisan dapat
dimasukkan ke dalam title ( belum lagi faktor konotatif dari tari, musik, lukisan dan sebagainya).
Konon film merupakan produk kebudayaan, maka ia memiliki gema yang melampaui apa yang
disebut ahli semiologi diegesis-nya yaitu jumlah denotasinya. Sebuah imaji kembang mawar
tidak sekedar sekuntum mawar sebagaimana adanya sebagai disajikan dalam film Richard
III,misalnya, karena kita menyadari tentang konotasi mawar putih dan mawar merah sebagai
lambang York dan Lancaster. Konotasi-konotasi ini merupakan konotasi yang ditentukan oleh
kebudayaan.
Di samping pengaruh dari kebudayaan umum ini, film memiliki kesanggupan konotatifnya
sendiri yang khas. Kita tahu ( biarpun kita tidak sering mengingatnya secara sadar), bahwa
pembuat film telah melakukan pilihan tertentu : mawar itu diambil gambarnya dari sudut
tertentu, kamera bergerak atau tidak bergerak, warna menyala atau putih, mawar itu segar atau
layu, duri-durinya kelihatan jelas atau tersembunyi, latar belakang terang ( sehingga mawar itu
dilihat dalam hubungan dengan sesuatu ) atau kabur ( sehingga ia terpisah ), shot itu panjang atau
pendek, dan sebagainya. Dan biarpun kita dapat memperkirakan efeknya dalam kesusateraan,
kita tidak dapat mencapainya dengan ketepatan dalam efesiensi sinematik. Seperti kata pemeo,
kadang-kadang sebuah gambar nilainya sama dengan seribu kata. Jika perasaan kita tentang
konotasi sesuatu shot yang khas tergantung pada kenyataan bahwa ia sudah dipilih dari
serentetan kemungkinan shot-shot yang lain, maka kita mengatakan , bahwa ini ialah dalam
bahasa semiologi sebuah konotasi paradigmatik. Artinya, rasa konotasi yang kita pahami
berasal dari shot itu sesudah diperbandingkan hal ini tidak harus dilakukan secara sadar
dengan iringannya dalam contoh atau model ( paradigm) yang tidak direalisasikan, atau dengan
model umum dari tipe shot ini. Sebuah shot low-angle ( sudut pengambilan bawah) dari
sekuntum mawar misalnya, menyampaikan suatu perasaan bahwa mawar itu oleh karena suatu
sebab bersifat dominan, amat berkesan, karena kita secara sadar atau tidak sadar,
membandingkan, katakanlah, dengan sebuah shot dari atas mawar itu yang akan membuat bunga
itu berkurang arti pentingnya.
Sebaliknya, jika arti dari mawar itu bukan tergantung dari perbandingan shot itu dengan shotshot lain yang potensial, tapi tergantung pada perbandingan shot itu dengan shot-shot yang
mendahului atau yang sesudahnya, maka kita dapat bicara tentang konotasi syntagmatiknya;
artinya, makna yang ia peroleh ialah karena shot itu diperbandingkan dengan shot-shot lain yang
memang kita lihat. Kedua macam konotasi yang berbeda ini juga punya padanan dalam
kesustraan. Sebuah kata saja pada selembar halaman kertas tidak memililiki konotasi tertentu,
secara potensial kita juga tahu apa konotasinya, tapi kita tidak bisa mengemukakan konotasi
khusus yang dimaksudkan penulis kata tersebut sebalum kita melihat kata itu dalam hubungan
dengan sesuatu. Barulah kita tahu nilai konotatif apa yang ada pada kata itu, karena kita menilai
artinya dengan jalan secara sadar atau tidak memperbandingkannya dengan ( a) semua kata
seperti itu yang mungkin bisa cocok dalam konteks ini tapi telah tidak terpilih untuk
dicantumkan, dan (b) kata-kata yang mendahuluinya atau yang mengiringinya.
Kedua poros arti ini yang paradigmatik dan yang syntagmatik memiliki nilai nyata sebagai
alat untuk memahami apa arti film. Sesungguhnya, sebagai suatu seni, film hampir seluruhnya
tergantung dari kedua perangkat pilihan ini. Setelah seorang pembuat film memutuskan apa yang
akan di-shot, maka dua pertanyaan yang mendesak adalah : bagaimana men-shot nya ( shot
yang mana yang dipilih untuk dilakukan: paradigmatik) dan bagaimana caranya menyajikan shot
tersebut ( bagaimana mengeditnya : sintagmatik ). Dalam kesusastraan, sebaliknya, pertanyaan
pertama ( bagaimana cara mengatakannya) yang terpenting, sedangkan yang kedua ( bagaimana
menyajikan apa yang sudah dikatakan ) adalah soal kedua saja. Sampai sejauh ini, semiotika
memusatkan perhatian pada segi syntagmatik dari film, karena alasan yang sangat bersahaja : di
sinilah paling jelas film berbeda dari seni-seni lainnya, sehingga kategori syntagmatiknya
( editing, montase) merupakan sesuatu yang paling sinematik.
Film menarik sebagian besar kekuatan konotatifnya dari seni-seni lain dan juga menumbuhkan
kekuatan konotatifnya sendiri, baik secara paradigmatik maupun secara syntagmatik. Tapi, ada
lagi arti konotatif yang lain. Sinema bukan hanya suatu medium inter komunikasi. Dalam film
jarang orang terus melakukan dialog. Kalau untuk interkomunikasi dipergunakan bahasa lisan
dan tulisan, film seperti seni non-representatif umumnya ( seperti bahasa jika dipergunakan
untuk tujuan artistik), merupakan komunikasi satu arah. Sehingga, film-film yang untuk tujuan
paling praktis sekalipun dalam arti tertentu masih bersifat artistik. Film berbicara dengan neologisme. Jika suatu bahasa belum lagi ada demikian Metz menulis, maka orang haruslah
kurang lebih menjadi semacam seniman untuk menggunakannya, biar bagaimana pun buruknya.
Karena mengucapkan bahasa itu sebagian berarti menemukannya sedangkan mengucapkan
bahasa sehari-hari yang sudah ada sebetulnya sekadar memakainya. Maka, pada pernyataan yang
paling bersahaja sekalipun dalam film terdapat konotasi. Sebuah olok-olok lama yang jadi
ilustrasi bagi hal itu : dua orang filosof bertemu, yang seorang mengucapkan Selamat pagi!.
Yang seorang lagi menyambut dengan senyuman, lalu berjalan terus dengan mengerutkan kening
dan bertanya dalam hatinya : Apa maksud ucapannya itu?. Pertanyaan ini merupakan lelucon
jika yang jadi subyek adalah bahasa lisan; tetapi pertanyaan ini pertanyaan wajar sekali jika
diajukan mengenai setiap pernyataan dalam film.
Apa ada lagi cara lain bagi kita untuk lebih jauh membedakan berbagai modus denotasi dan
konotasi dalam film? Dengan meminjam sebuah trikotomi dari ahli pikir C.S. Peirce, Peter
Wollen menyarankan dalam bukunya Sign and Meaning in the Cinema ( 1969) yang sangat
berpengaruh, bahwa isyarat-isyarat sinematik ada tiga macam :
Ikon : sebuah isyarat di mana penunjuk ( signifier) menggambarkan apa yang ditunjuk ( the
signified) terutama melalui kemiripannya, kesamaannya.
Index : yang mengukur kualitas, bukan karena ia sama atau identik dengan itu, tapi karena ia
mempunyai hubungan yang erat dengannya.
Symbol (lambang): suatu isyarat bahwa di mana penunjuk tidak memiliki hubungan langsung
atau hubungan index dengan yang ditunjuk, tapi menyajikan dengan cara lazim yang telah
disepakai ( konvensi).
Walaupun Wollen tidak memasukkannya ke dalam kategori-kategori denotatif dan konotatif
Ikon, index dan symbol dapat dianggap sebagai sesuatu yang pada umumnya bersifat denotatif.
Potret-potret tentu saja merupakan ikon, tapi begitu juga diagram-diagram dalam sistem Peirce.
Index lebih sulit untuk dirumuskan. Dengan mengutip Peirce, Wollen menyarankan dua macam
index, satu yang bersifat teknis gejala-gejala medis adalah index kesehatan, jam dan jam
matahari adalah index waktu dan yang satu lagi bersifat metafora: jalan mengangkang bisa
merupakan tanda bahwa orang itu pelaut. ( Dalam satu hal ini kategori Perice Wollen
mendekati sifat konotatif).Simbol, kategori ketiga, lebih mudah dirumuskan. Dilihat dari cara
Peirce dan Wollen memergunakannya, maka kata ini malahan memiliki perumusan yang luas :
kata-kata adalah symbol ( karena penunjuk menyajikan yang ditunjuk dengan konvensi dan
bukan dengan kesamaan ) . ( Bersambung )
Dikutip dari :
Monaco ,James, 1984. Cara Menghayati Sebuah Film. Terj. Asrul Sani. Jakarta: Penerbi Yayasan
Citra. Hal 156-161.