Anda di halaman 1dari 9

PATOLOGI IMAJINASI PADA CERITA ANAK-ANAK

TAYANGAN TELEVISI INDONESIA

Hampir seluruh program tayangan televisi sangat diminati anak-anak. Televisi


bak benda magnit yang dapat menarik mereka untuk terus menatap dan duduk
berlama-lama mengikuti apa yang ditayangkan. Berbagai program tayangan umumnya
disikapi sebagai hiburan utama bagi kalangan anak menengah bawah (5-14 tahun) di
Indonesia. Dari penelitian AGB Nielsen Media Research pada triwulan pertama tahun
2008, jam menonton anak-anak per hari adalah 3 jam 24 menit, atau lebih lama 30
menit dibandingkan kalangan menengah atas usia sebaya.
Kekuatan inilah yang membangun pola menghabiskan waktu anak-anak. Tidak
lagi nampak anak-anak dengan canda rianya bermain petak umpet, main gundu, main
dakon, congklak, atau sekedar berkumpul bersama teman-teman sambil pasaran atau
manten-mantenan. Acara pun beralih dengan sebuah pola baru: nonton televisi.
Frekuensi dan lama menonton televisi pada anak-anak, jauh lebih tinggi dibandingkan
frekuensi mereka belajar atau mengaji. Itu berarti bahwa proses sosialisasi anak akan
lebih besar dipengaruhi isi siaran televisi daripada petuah guru atau orang tua.
Suara yang didengarkan dan visualisasi yang bergerak mendikte mata untuk
terus tidak lepas dari apa yang ditayangkan. Tidak peduli apakah muatannya.
Walaupun banyak para orang tua mengeluh dan protes, namun ada pula yang
membiarkan dengan alasan daripada anak-anak malah membuat keributan. Para orang
tua menjadikan televisi sebagai cara untuk ‘mengamankan’ diri dari gangguan anak-
anak. Dengan memutar televisi, maka anak-anak pun menjadi anak manis yang tidak
akan mengganggu lagi.
Televisi pada dasarnya berfungsi sebagai media untuk mendidik masyarakat.
Cita-cita membangun masyarakat yang ideal sesungguhnya dapat disemai melalui
tayangan-tayangan televisi. Media TV dapat berperan serta dalam usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dengan daya pengaruhnya, televisi bisa berfungsi—mengutip fungsi
pendidikan nasional—membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dengan antusiasme masyarakat (dan juga anak-anak) menyaksikan tayangan televisi,
rekayasa sosial bisa dilakukan, seperti membentuk sikap terpuji dan perasaan simpati-
empati, menjunjung nilai-nilai keadaban ataupun menegakkan kehidupan demokrasi.
Salah satu program hiburan tayangan televisi untuk anak adalah pengemasan
cerita anak dalam bentuk sinetron anak. Sebagai salah satu produk karya sastra, cerita

1
anak tidak bersifat otonom atau berdiri sendiri secara isolatif (Wellek dan Warren,
1989). Cerita anak memiliki keterkaitan dengan gejala kehidupan yang melingkupinya,
antara lain persoalan sosial, politik, sejarah, atau moralitas tertentu. Budidarma
(1984:79) menyatakan bahwa sastra yang baik, termasuk di dalamnya cerita anak yang
baik, selalu mengajak pembacanya untuk berbuat baik. Perbuatan baik itu dinamakan
moral.
Menyikapi pernyataan di atas, memang sejatinya demikianlah kehadiran televisi
dan karya sastra, yang dalam hal ini diwakili oleh cerita anak-anak. Kita menginginkan
cerita anak dalam sinetron anak menyuguhkan cerita yang bernilai edukatif. Tidak
usah yang berat atau muluk-muluk, tapi yang ringan, tidak terkesan menggurui, namun
tetap menghibur. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Pengemasan cerita anak-
anak dalam wadah sinetron anak-anak sungguh membuat para orang tua yang mengerti
akan pendidikan menjadi terhenyak dan mengelus dada. Walaupun tidak dipungkiri,
kehadiran sinetron anak-anak, semisal Si Entong, Eneng dan Kaos Kaki Ajaib,
Samsonwati, dan yang sekarang Ronaldowati, di awal-awal penayangannya membuat
para orang tua sedikit berlega hati. Di tengah maraknya sinetron percintaan remaja,
sinetron mistik, dan sinetron religi yang notabene semakin melenceng dari aqidah,
sinetron anak tersebut menjadi oase tersendiri bagi para orang tua untuk sebuah
tontonan yang menghibur dan mendidik bagi putra-putri mereka.

Sinetron Si Entong dan Eneng dan Kaos Kaki Ajaib: Layakkah Ditonton Anak-Anak?
Fakta yang ada, kehadiran sinetron anak si Entong, yang tayang perdana di
stasiun televisi swasta 17 April 2006 ini, memang langsung menyihir perhatian anak-
anak. Dalam tempo singkat, ratingnya pun melonjak hingga mengantongi tak kurang
dari 165 episode. Sinetron ini menjadi idola anak-anak. Sinetron yang bergenre drama
komedi religi ini dibintangi oleh Fahri (Entong), Reina Ipeh (Fatimah), Adi Bing Slamet
(Ustad Somad), Hafiz API (Salim), Ana Sherly, (Mpok Lela), dan lain-lain.
Sinetron ini mengisahkan tentang Entong (sesuai judul menjadi tokoh sentral),
anak tunggal Fatimah yang tidak lagi memiliki ayah. Guru ngaji Entong adalah Ustad
Somad. Setiap harinya ada saja konflik antara Entong dengan musuh bebuyutannya,
Memet, Udin, Ucup, dan Siti. Meski sebenarnya yang dominan nakal adalah Memet,
ketiga kawannya cenderung mengikuti apa maunya Memet. Apalagi Siti, meski menjadi
anggota gank-nya si Memet, tapi selalu mencuri-curi kesempatan agar bisa bertemu
dengan Entong. Maklum Siti suka sama Entong. Banyak kejadian kocak khas Betawi

2
dalam sinetron ini. Berbagai peristiwa dikemas dengan menarik meski sebenarnya
kejadian yang biasa terjadi sehari-hari. Barangkali di sinilah kekuatan sinetron Si
Entong ini. Ada saja keberuntungan Entong yang membuat iri si Memet. Dalam cerita
ini Entong selalu memiliki benda ajaib, hasil pemberian seseorang yang misterius,
yang mungkin penjelmaan malaikat, karena perbuatan baik si Entong. Benda ajaib
inilah yang selalu membantu setiap kesulitan yang dialami Entong sehingga membuat
iri Memet.
Sukses Si Entong kemudian melahirkan sinetron serupa, yaitu Eneng dan Kaos
Kaki Ajaib. Lazimnya hukum pasar, produk yang laku keras akan memicu lahirnya
produk-produk sejenis. Sinetron yang dibintangi pesinetron cilik Jessica Anastasyia ini,
mengisahkan kehidupan seorang gadis kecil yang ditinggal kerja ibunya jadi TKW dan
diasuh oleh paman dan bibinya yang cerewet dan suka menyuruh. Kemudian si Eneng
yang suka menolong itu, mendapatkan kaos kaki ajaib dari pengemis yang ditolongnya.
Kaos kaki tersebut bisa mengeluarkan benda-banda ajaib ketika Eneng mengalami
kesulitan atau diganggu temannya. Jalan cerita ini, mirip dengan cerita serial kartun
Doraemon. Jika pada serial kartun Doraemon tokohnya adalah Nobita dan Doraemon
yang bisa mengeluarkan barang-barang ajaib, pada sinetron Eneng tokoh utamanya
adalah Eneng dan kaos kaki ajaib yang berperan seperti Doraemon.
Dari perspektif bisnis, stasiun televisi yang menayangkan sinetron anak itu jelas
telah meraup keuntungan yang sangat besar. Namun, logika bisnis ini belum tentu
berbanding lurus dengan tumbuhnya nilai-nilai positif-rasionalistik dalam perspektif
pendidikan. Layakkah sinetron itu sebagai tontonan anak? “Si Entong” dan “Si Eneng”
yang digemari, sejauh mana memberikan didikan yang dimaksudkan? Apakah
justru tidak berbalik? Tayangan berbalut khayalan imajinasi yang akan mempermudah
mendapatkan apa saja, baikkah ditonton? Bukankah seharusnya sebuah realitas
yang mestinya diajarkan sejak dini pada anak-anak?

Cerita Anak-Anak dan Dunia Imajinasi


Cerita anak adalah cerita yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi
dan dipahami oleh anak, dan hal itu umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan
mudah diimajinasikan. Cerita anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang
menurut ukuran orang dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat
berbicara, kisah futuristik robot manusia atau manusia robot, dan sebagainya. Bacaan
komik fiksi yang juga dianimasikan seperti Superman, Batman, Spiderman, Gundam, X-

3
Men, Cat Woman, Naruto, dan tokoh cerita superhero fiksi lainnya, sangat digemari
anak-anak. Apalagi setelah diangkat ke layar lebar, gambaran kekuatan tokoh
superhero yang ada di komik jadi lebih terasa nyata dengan bantuan teknologi.
Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan
memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak-anak.
Cerita anak-anak sebagai bagian dari karya sastra selalu mengandalkan
kekuatan imajinasi dan menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada
anak. Dengan membaca bukunya dan kemudian menyaksikan ceritanya di televisi
maupun di film, imajinasi anak dibawa untuk mengikuti kisah cerita yang dapat
menarik seluruh kedirian anak. Lewat cerita itu, anak akan memperoleh pengalaman
yang luar biasa (vicarious experience). Ketika anak berhadapan dengan cerita seperti
Bawang Merah Bawang Putih, Cinderella, atau Harry Potter, rasa-rasanya seperti
diajak berpetualang meninggalkan pijakannya di bumi. Imajinasi anak ikut berkembang
sejalan dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang dinikmati. Ia akan
segera melihat dunia dengan sudut pandang baru. Membaca cerita sastra akan
membawa anak keluar dari kesadaran ruang dan waktu, keluar dari kesadaran diri
sendiri, dan setelah selesai anak akan kembali ke kediriannya dengan pengalaman
yang baru, dengan sedikit perubahan akibat pengalaman yang diperolehnya dan
dengan kemampuan berimajinasi secara lebih. Orang mustahil dapat mengembangkan
seluruh kediriannya tanpa peran serta imajinasi. Daya imajinasi berkorelasi secara
signifikan dengan daya cipta. Berkat campur tangan imajinasi pula karya-karya besar,
bahkan teori besar bermunculan. Tanpa imajinasi tidak akan muncul karya-karya
besar.
Jadi imajinasi akan memancing tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas.
Imajinasi di sini bukanlah khayalan semata, tetapi lebih menunjuk pada makna
creative thinking, pemikiran yang kreatif, jadi ia bersifat produktif.
Sinetron anak-anak kerap kali memunculkan tokoh-tokoh fiktif, bahkan tidak
masuk akal. Sebagai misal, seorang anak diceritakan dalam sinetron begitu
gampangnya mendapatkan pertolongan dari benda-benda, misal dari panci, tongkat,
karpet (dalam cerita si Entong) atau kaos kaki (dalam cerita Eneng dan Kaos Kaki
Ajaib) ketika mendapatkan kesulitan dalam perjalanan hidupnya. Sepertinya cerita
semacam itu adalah wajar karena seperti yang sudah dipaparkan di atas sebuah cerita
anak selalu menampilkan imajinasi yang sering tidak masuk di akal. Namun, bila
perwujudan imajinasi itu selalu diketengahkan dengan cara-cara kekhayalan yang

4
melebihi batas logika seperti yang terdapat dalam kedua sinetron yang dicontohkan,
tayangan sinetron seperti itu justru meninabobokan anak-anak dengan buaian yang
bersifat khayal semata. Dalam sinetron tersebut anak tak diajarkan menghadapi
kenyataan hidup yang sebenarnya. Bukankah benda-benda yang ajaib itu tak pernah
ada dalam kehidupan nyata?
Melihat si Entong, sisi-sisi imajinasi anak dimasukkan dan terkesan kerap
dieksploitasi sehingga mengarah ke hal-hal yang tidak masuk akal alias khayal. Dari
judul per episodenya bisa dideteksi kekhayalannya misalnya Pancing Ajaib, Gelang
Laba-laba Ajaib, Baju Ajaib, Tongkat Ajaib, dan lainnya. Ada juga judul yang tidak
memakai kata ajaib, tapi alur ceritanya tetap seputar keajaiban. Pada episode Senter
Wasiat, misalnya, senter yang dimiliki Entong, jika disorotkan ke wajah orang, maka
wajahnya langsung menjadi cantik atau ganteng. Jika disorotkan ke makanan, maka
makanan tiba-tiba jadi banyak. Begitu pula dalam episode Memet Jadi Dua, Ustad
Somad menjelaskan ketika mengisi pengajian kepada Entong dan teman-temannya,
bahwa manusia itu punya teman dalam dirinya, yang disebut hati nurani atau hati
kecil. Memet yang penasaran ketika sampai di rumah langsung bercermin dan mencari-
cari teman dalam dirinya. Tentu saja tidak ditemukan. Ternyata ketika Memet pergi
malah bayangannya di cermin tidak mau pergi. Tetap ada di cermin, bahkan bisa
keluar kemudian main layaknya Memet yang asli. Bayangannya itu disebut Mumut.
Demikian tak jauh beda dengan Eneng dan Kaos Kaki Ajaib. Kemiripan sinetron
Eneng dan serial Doraemon terjadi pada saat episode Eneng dan kawan-kawannya
mencari perampok toko pak Sabar, kemudian si kaos kaki memberikan alat sebuah
kamera yang bisa memotret dari semua arah, kemudian dari kamera itu keluar foto
perampok dari muka yang kelihatan wajahnya. Si Eneng mencari dan bertanya kepada
semua orang hingga akhirnya tidak sengaja dia bertanya pada si perampok itu sendiri.
Akibatnya dia dibawa dan disandera si perampok. Ketika dalam perjalanan menuju
tempat persembunyian perampok itu, kamera ajaib itu memotret rumah perampok.
Foto itu kemudian Eneng beri perangko ajaib dari kaos kaki sehingga bisa terbang
menuju rumahnya. Kemudian rampok itupun bisa ditangkap. Kisah ini sama persis
dengan versi Doraemon, judulnya Kamera 6 Dimensi. Termasuk kamera ajaib dan
perangko ajaib serta kejadian ditangkap perampok itu. Pada episode yang lain, ketika
Eneng harus mengambil buku catatanannya tertinggal dirumah sementara rumahnya
dikunci, lalu si kaos kaki memberikan pintu ajaib yang bisa masuk kemana saja sama
seperti pintu ajaibnya Doraemon.

5
Sinetron Anak, Sekedar Hiburan?

Para produser dan sutradara sinetron berpendapat bahwa hal terpenting dalam
sebuah tayangan sinetron adalah hiburan sehingga dapat mengobati kepenatan,
kejenuhan dan membuat pemirsa menjadi rileks. Apakah dengan dalih seperti itu,
sebuah hiburan adalah hiburan, dan itu bebas nilai? Sangat disayangkan kalau para
pembuat sinetron memiliki pandangan demikian. Hiburan memang sebagai bagian dari
kesenian dan ekspresi berkesenian. Namun, bila sebuah hiburan membawa ekses yang
tidak baik karena terpengaruh sebuah adegan atau obrolan dan ungkapan dari sebuah
tayangan yang tidak mendidik, bahwa hal itu sekadar efek biasa dari sebuah hiburan?
Sesederhana itukah dalam berpikir? Padahal, kebiasaan akan berubah menjadi
karakter. Apa yang terjadi pada usia anak-anak, akan membekas, dan teringat. Di
sinilah telah terjadi "cuci otak" dan akan membentuk kepribadian saat dewasa. Akibat
menonton dalam jumlah waktu yang lama/tidak proporsional ada semacam pelaziman,
bahwa apa yang terjadi di televisi adalah sesuatu yang wajar, normal, norma standar,
biasa terjadi di kehidupan sekitar kita. Berangkat dari pengertian yang demikian
timbullah peniruan sekaligus identifikasi akibat imitasi dalam waktu yang lama.

Sehingga sebuah keniscayaan bila ada tokoh yang ditonton anak-anak sering
berkata dan berkelakuan tidak baik, seperti tokoh Mamake (Ibu Memet), lagi-lagi
dalam sinetron Si Entong, yang mempunyai kebiasaan mengorek telinga dan
mengucapkan kata “Preettttt”, Mpok Lela yang kerap menyumpahi orang lain,
terutama Fatimah, serta Memet yang sering ingin mencelakakan Entong, dan lain-lain,
kemudian anak-anak mencontohnya dalam kehidupan nyata dan berlaku kasar kepada
teman-temannya. Apa pendapat kita? Bukankah ini mengajarkan kebobrokan moral dan
kebodohan, mengesampingkan tata cara hidup berdampingan di dalam lingkungan
masyarakat.
Sudah saatnya kita menerapkan prinsip bahwa hiburan yang kadang disebut
sebagai hasil ekspresi dari sebuah estetika, tetap harus berdampingan dengan etika.
Tidak hanya menampilkan estetika (keindahan seni menghibur), tapi sekaligus selaras
dengan etika.

Patologi Imajinasi

6
Cerita dalam sinetron anak berjalan dengan langgam yang seragam. Narasi
cerita senantiasa mengusung keajaiban. Setiap permasalahan selalu berawal dari
konflik yang berbau kekerasan. Solusinya justru menawarkan jalan pintas yang
menerabas batas rasionalitas.
Dalam sinetron itu akal sehat nyaris tidak mendapat tempat. Serial Si Entong,
misalnya, seperti yang sudah dicontohkan di atas, banyak mempertontonkan berbagai
keajaiban. Judul-judulnya saja diembel-embeli "ajaib", seperti Kotak Pos Ajaib, baju
ajaib, pancing ajaib, dan kursi ajaib, dan sebagainya. Sama halnya dengan Eneng dan
Kaos Kaki Ajaib yang menakar solusi atas permasalahan dari kaus kaki ajaib milik
Eneng. Setali tiga uang, sinetron anak yang lain pun demikian.
Di sinilah persoalan mulai timbul. Sinetron dengan tema sentral keajaiban akan
mengacak-acak logika dan sistematika berpikir anak. Entah disadari atau tidak, kelak
sinetron itu akan membidani lahirnya generasi sumbu pendek. Sebuah generasi
berpikiran instan yang merindukan keajaiban sebagai solusi dari tiap permasalahan
yang dihadapinya. Manajer humas salah satu stasiun televisi pernah mengeluarkan
pernyataan bahwa cerita-cerita khayal nan ajaib dalam sinetron anak dapat
mengembangkan daya imajinasi anak.
Pernyataan itu kiranya perlu ditinjau ulang. Imajinasi anak memang harus
diberdayakan sejak dini. Namun, jika pemberdayaan itu menjauhi logika akal sehat
dan mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, sudah tentu harus dihindari.
Pengaburan batas antara fakta dan fiksi ini oleh Jean-Paul Sartre (The Psychology of
Imagination, 1972) akan melahirkan patologi imajinasi. Anak akan merekam obyek
imaji yang tidak riil sebagai suatu tuntutan terhadap realitas. Proses perekaman ini
terjadi secara spontanitas tanpa perlu singgah di stasiun logika, tetapi langsung
menghunjam kesadaran mental.

Humanisme televisi
Sinetron anak dengan "keajaiban" sebagai menu utamanya merupakan petanda
matinya humanisme televisi. Kegelisahan Keith Tester semenjak setengah abad silam
nyata-nyata menemukan relevansinya. Keith Tester (Media, Culture, and Morality,
1998) melihat media massa, terutama televisi di sejumlah negara Barat, telah
menanggalkan misi utamanya, yakni mengembangkan nilai humanisme. Nilai
humanisme yang bertumpu pada moral dan budaya sudah diabaikan dan diganti dengan

7
nilai-nilai yang menghamba pada orientasi keuntungan dan hiburan (profit and
entertainment oriented) serta prinsip kesenangan (pleasure principle).
Penggerusan nilai humanisme juga berimbas pada pudarnya misi edukasi dalam
sinetron anak tersebut. Bahwa televisi sebagai media yang cukup efektif untuk
menanamkan nilai-nilai edukatif telah diamini oleh banyak pakar pendidikan.
Tayangan televisi akan melekat dalam kepribadian anak sekaligus merangsang anak
untuk menirunya. Penelitian Baron (2002) soal tayangan kekerasan di televisi dapat
dijadikan bukti. Anak yang aktif menyaksikan tayangan televisi dengan sisipan adegan-
adegan kekerasan cenderung ingin melakukan hal serupa kepada temannya, dibanding
anak yang menonton program netral alias tidak mengandung unsur-unsur kekerasan.

Perhatian orangtua
Mengingat sulitnya, jika tidak disebut mustahil, menjauhkan televisi dari
kehidupan anak, sebagai orangtua yang bijak patutlah kita melakukan sejumlah hal.
Pertama, mendampingi dan memberi penjelasan kepada anak saat menonton
televisi. Maksudnya, jika anak bertanya, jawaban harus diberikan secara rinci sesuai
perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui anak. Jika tidak ada penjelasan
(terutama) dari orangtua, ia terdorong untuk mencari sendiri dengan mencoba-coba
dan meniru. Anak tak pernah mengerti apakah hasil pencariannya itu benar atau salah.
Kedua, membuat kegiatan jadwal anak. Anak hendaknya dibiasakan mengerti
bahwa ada waktu tersendiri untuk berbagai kegiatannya, misalnya kapan belajar,
kapan bermain, dan kapan menonton televisi. Kendati anak merasa rileks ketika
menonton televisi, namun ia tetap butuh waktu bermain. Televisi mengondisikan anak
menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga
pasif (cukup dengan duduk tanpa banyak bergerak). Karena itu, anak tetap perlu
waktu bermain terutama dengan anak-anak sebaya lain. Sekurang-kurangnya agar anak
tetap aktif dan mampu bersosialisasi. Jatah berlari-larian, bersenda gurau dengan
teman atau bermain dengan mainan perlu diberikan kepada anak.
Ketiga, seleksi program tayangan. Jika pun tak sempat mendampingi anak
menonton televisi, sebaiknya orangtua bisa menyeleksi mana tayangan yang cocok dan
mana yang tidak cocok bagi anak. Untuk itu, orangtua harus terlebih dahulu menonton
tayangan tersebut dan mengadakan evaluasi secara kritis.
Keempat, kerja sama seluruh anggota keluarga. Dalam keluarga, kesamaan
persepsi mengenai anak dan masalah televisi harus dipertemukan. Seluruh anggota

8
keluarga mesti menyadari untuk berpartisipasi aktif demi membangun kepribadian dan
mentalitas anak yang positif melalui televisi.
Kelima, konsistensi tindakan. Inilah yang paling penting. Pengawasan dan
pendampingan anak saat menonton televisi hasilnya akan mentah jika dilakukan
dengan setengah-setengah. Artinya, orangtua tak boleh bosan memberi pengertian
kepada anak sehingga ia tahu dengan jelas mana yang boleh dan mana yang tidak,
mana yang baik dan mana yang buruk.
Demikianlah sekurang-kurangnya dengan lima langkah taktis di atas kita tak
perlu cemas dan khawatir yang berlebihan dengan dampak sinetron anak terhadap
pembentukan karakter (character building).

Anda mungkin juga menyukai