ILMU PENGETAHUAN
OPINI | 25 October 2013 | 23:20
Dibaca: 923
Komentar: 0
Adalah Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan peletak dasar ilmu kedokteran mencetuskan
ide pemilahan farmasi dari kedokteran dengan mencetukan simbol farmasi dan kedokteran secara
terpisah. Namun yang sangat mengesankan, dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah
ketika Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-undang negara tentang
pemisahan farmasi dari kedokteran yang diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah.
Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi,
fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti pertanian,
teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.
Farmasi dalam paradigma epistemologi
Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis
dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi
fisika, kimia farmasi, biofarmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari
dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.
Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis, dan
tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi bahan baku
obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makananminuman. Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan produk farmasi
moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri obat tradisional yang
memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai bahan baku yang
menghasilkan obat Fitofarmaka, baik industri farmasi maupun industri obat tradisional
kesemuanya berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur, harga terjangkau
dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.
Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi (farmasis/apoteker) pada
unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan
lainnya).
Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari
industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap
masyarakat dan tenaga-tenaga paramedis, dan monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan
terhadap penderita (pasien). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi
sangat penting, dan berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat
yang tepat dosis, tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau.
Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu sama lain
dalam satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Farmasis/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian diikat oleh
sebuah etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).
Farmasi dalam paradigma etika
Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu
bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi
hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan
bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu
menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan
kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak
bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.
Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan
bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk
membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi
farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan
masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang
berpendapatan rendah.
Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihakpihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan
yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang
ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu
pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa
datang. Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi
pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan
farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang
berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilainilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil,
pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika.
Penulis saat ini berdomisili di Kuala Lumpur, tengah mengikuti program Ph.D di University of
Malaya
http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/25/farmasi-dalam-perspektif-filsafat-ilmupengetahuan--603832.html