Anda di halaman 1dari 4

FARMASI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT

ILMU PENGETAHUAN
OPINI | 25 October 2013 | 23:20

Dibaca: 923

Komentar: 0

Asclepius and Hygieia relief

(Telaah Kritis Pendidikan Farmasi dan Profesi Kefarmasian Masa Datang)


Oleh : Andi Surya Amal
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir kembali di tengah-tengah perkembangan IPTEK
yang telah begitu plural. Adapun kepentingan yang begitu mendesak ini adalah meluruskan arah
proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arah pemanfaatannya.
Filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi mengenai ilmu pengetahuan. Hal ini, karena
filsafat itu adalah ilmu pengetahuan yang selalu mencari hakekat, berarti filsafat ilmu
pengetahuan berusaha mencari keseragaman daripada keanekaragaman ilmu pengetahuan.
Farmasi sebagai seni dan ilmu dalam penyediaan obat dari bahan alam, dan bahan sintetis yang
sesuai untuk didistribusikan, dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan penyakit, hadir
di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan. Kehadirannya sebagai disiplin ilmu pengetahuan
yang teoritis sampai pada yang praktis teknologis diharapkan senantiasa mengalami pencerahan
sesuai tujuan awal dari keberadaannya.

Melihat adanya fenomena yang di dalam proses perkembangannya, farmasi mengalami


pergeseran nilai, sehingga diperlukan sebuah rekonstruksi dalam perspektif filsafat ilmu
pengetahuan.
Farmasi dalam paradigma ontologis
Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam ilmu
pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada mulanya hanya
ada satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat yang memang hanya mempersoalkan hal-hal
yang umum, abstrak dan universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab persoalanpersoalan hidup yang konkret, positif praktis dan pragmatis.
Melihat kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus menurut objek
studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan humaniora, ilmu pengetahuan sosial, ilmu
pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan secara kualitatif jenis-jenis ilmu
pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis sampai pada yang praktis
teknologis.
Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang pondasinya dibangun oleh
dua entitas, yakni filsafat moral dan filsafat alam.
Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh
karena manusia itu memang merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri, maka
mungkin juga diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai dengan
tingkah yang lain-lain yang bukan manusia, melainkan yang khusus bagi manusia, yaitu
tindakan-tindakan yang terdorong oleh kehendaknya diterangi oleh budinya (moralnya).
Sedangkan dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat alam dicari
inti alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada umumnya, dan apa
hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam ini merupakan ada
yang tidak mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya. Segala isi alam dengan adanya sendiri
itu mungkin banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah sesuatu yang mempunyai kedudukan
istimewa, yang menyelidiki semua itu : Manusia (Human Being).
Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu sebagai Pure
Sciences yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika. Keempat ilmu alam itu merupakan
kerangka dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman seperti ilmu
kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain sebagainya.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam;Kimia,
Biologi, Fisika dan Matematika. Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya
merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi dikembangkan
dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan ilmu
farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.

Adalah Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan peletak dasar ilmu kedokteran mencetuskan
ide pemilahan farmasi dari kedokteran dengan mencetukan simbol farmasi dan kedokteran secara
terpisah. Namun yang sangat mengesankan, dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah
ketika Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-undang negara tentang
pemisahan farmasi dari kedokteran yang diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah.
Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi,
fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti pertanian,
teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.
Farmasi dalam paradigma epistemologi
Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis
dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi
fisika, kimia farmasi, biofarmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari
dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.
Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis, dan
tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi bahan baku
obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makananminuman. Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan produk farmasi
moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri obat tradisional yang
memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai bahan baku yang
menghasilkan obat Fitofarmaka, baik industri farmasi maupun industri obat tradisional
kesemuanya berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur, harga terjangkau
dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.
Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi (farmasis/apoteker) pada
unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan
lainnya).
Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari
industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap
masyarakat dan tenaga-tenaga paramedis, dan monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan
terhadap penderita (pasien). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi
sangat penting, dan berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat
yang tepat dosis, tepat pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau.
Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu sama lain
dalam satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Farmasis/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian diikat oleh
sebuah etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).
Farmasi dalam paradigma etika

Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu
bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi
hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan
bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu
menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan
kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak
bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.
Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan
bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk
membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi
farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan
masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang
berpendapatan rendah.
Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihakpihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan
yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang
ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu
pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa
datang. Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi
pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan
farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang
berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilainilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil,
pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika.
Penulis saat ini berdomisili di Kuala Lumpur, tengah mengikuti program Ph.D di University of
Malaya
http://filsafat.kompasiana.com/2013/10/25/farmasi-dalam-perspektif-filsafat-ilmupengetahuan--603832.html

Anda mungkin juga menyukai