Anda di halaman 1dari 8

Pengertian revitalisasi

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota
yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala
revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup
perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu
mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra
tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi
masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya
keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung
aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang
terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas
(Laretna, 2002). Disini kita akan membahas mengenai revitalisasi pasar tradisional yang akan
diterapkan di kedua pasar tradisional di kota malang yaitu pasar dinoyo dan pasar blimbing, yang
sempat terjadi berbagai silang pendapat tidak setuju mengenai revitalisasi pasar.
Latar Belakang
Lingkungan persaingan yang dinamis antara pasar tradisional dan modern mengakibatkan
posisi pasar tradisional mengalami pergeseran dengan dugaan terjadinya penurunan daya tarik pasar
tradisional seiring dengan perubahan dinamis pasar modern yang disesuaikan dengan kondisi
pembeli. Revitalisasi beberapa pasar tradisional melalui renovasi bangunan ternyata belum cukup
untuk meningkatkan daya tarik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pasar tradisional masih
memiliki peluang berkembang berdampingan dengan pasar modern (co-exist), karena harga jual
barang dagangan yang masih dapat bersaing dengan harga barang di pasar modern dan masih
memiliki pembeli yang lebih memilih pasar tradisional dibandingkan pasar modern. Kelompok
pembeli tersebut meliputi pembeli berpendapatan rendah, pedagang keliling, usaha olahan makanan,
dan warung. Peranan pemerintah daerah sebagai pemilik, memposisikan pasar tradisional sebagai
salah satu potensi sumber pendapatan asli daerah (PAD), namun belum menyertainya dengan
pengelolaan pasar yang profesional, sehingga daya saing pasar tradisional dipersepsikan menurun
menghadapi ancaman meningkatnya daya tarik pasar modern.

Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen (2006), pasar modern di Indonesia tumbuh 2% per
tahun terhitung dari tahun 2004 ke tahun 2005. Sedangkan pasar tradisional justru menyusut 2%
per tahun terhitung dari tahun 2004 ke tahun 2005. Dapat dilihat bawasanya perkembangan pasar
modern yang setiap tahun terus meningkat juga diiringi penurunan pasar tradisional. Pasar-pasar
modern tersebut kini juga dikemas dalam tata ruang yang baik, bersih, nyaman dan aman.
Pengalaman berbelanja tidak akan lagi disuguhi dengan suasana yang kumuh, semrawut, becek,
kotor dan minimnya fasilitas seperti terbatasnya tempat parkir, tempat sampah yang bau dan
kotor, keamanan kurang terjamin dan lain sebagainya. Faktor keamanan seperti kecopetan atau
berhadapan dengan penjual yang tidak ramah tidak akan dijumpai di pasar-pasar modern.
Dengan adanya pasar modern, belanja bukan lagi menjadi kegiatan yang membosankan dan
melelahkan,.
Dengan segudang kelebihan yang ditawarkan, tentu saja dengan mudah pasar-pasar
modern akan menarik perhatian masyarakat. Pangsa pasar yang selama ini dikuasai pasar
tradisional perlahan sekarang mulai beralih ke pasar modern. Ditambah dengan dukungan
manajemen dan sistem informasi yang tertata apik, bukan tidak mungkin pasar-pasar modern
tersebut akan memimpin pasar dalam waktu sekejap.
Pasar-pasar modern yang umumnya hanya dikuasai oleh segolongan tertentu menggeser
alokasi kekayaan dan distribusi barang dan jasa yang selama ini dikuasai pasar tradisional.
Padahal, pasar-pasar tradisional justru menghidupi hajat hidup orang dalam jumlah yang jauh
lebih banyak. Apabila fenomena ini diacuhkan begitu saja, tentu pengaruh langsung maupun efek
turunannya akan terasa sangat signifikan.
Kedatangan pasar-pasar modern tersebut memang mustahil untuk dielakkan. Sebagai
konsekuensi dari globalisasi dan liberalisasi ekonomi, cepat atau lambat mereka akan melakukan
investasi untuk merebut pangsa pasar di Indonesia. Apalagi mereka menawarkan kenyamanan,
keamanan, pengalaman baru dalam berbelanja, dan banyak kelebihan lainnya.
Eksesnya, mau tidak mau, pedagang-pedagang kecil harus menurunkan margin demi
bertahan dalam persaingan yang sangat sengit ini. Mungkin akan sangat terdengar lazim bila
mereka hanya mengambil untung 100-200 rupiah saja per barang yang mereka jual. Hal ini wajib
dilakukan karena praktis pangsa pasar mereka turun cukup drastis. Pembeli yang bertahan di
pasar-pasar tradisional tinggal pedagang kulakan dan pengelola warung makan kecil-kecilan.

Sementara pelanggan lain yang jumlahnya sangat besar, kini beralih pada pasar-pasar modern
yang berwujud minimarket, supermarket, maupun hypermarket yang makin menggurita.
Pada tahun 2010 ternyata Pemerintah Pusat melalui Menteri Perdagangan sudah
mengeluarkan biaya untuk revitalisasi 120 pasar tradisional se-Indonesia dengan total anggaran
Rp 505 miliar. Anggaran bersumber dari APBN itu ditujukan untuk mengembangkan pasar
tradisional agar tidak mati dan kalah dengan pasar modern. Menperdag Mari Elka Pengestu
kepada pers di Jakarta menyatakan, untuk merealisasikan tujuan itu pemerintah daerah harus
mampu mengelola pasar tradisional secara kreatif dan inovatif. Dengan adanya kebijakan
penggunaan anggaran negara tersebut, jelas bahwa pemerintah sebenarnya memiliki komitmen
untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Saat ini sudah sepuluh pasar tradisional
percontohan di Indonesia, yang kebagian dana revitalisasi sebesar Rp 7,5 miliar. Menperdag
berharap, agar mampu bersaing, pasar tradisional dikelola secara terpadu antara penyedia
kebutuhan masyarakat, sekaligus juga sebagai wahana pariwisata dan kuliner.
Alih-alih berpikir kreatif dan inovatif, Pemkot Malang dengan dalih merevitalisasi
Pasar Dinoyo dan Pasar Blimbing, justru melego kedua pasar tradisional tersebut kepada pihak
investor. Dalam bentuk kerjasama dengan pihak investor, atas aset Pemkot Malang itu dibuatkan
perjanjian Bangun Guna Serah. Maksudnya, pemanfaatan barang milik Pemkot Malang dengan
cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian dikelola pihak investor
dalam jangka waktu tertentu.
Pada saat Kementerian Perdagangann bertekad merevitalisasi pasar tradisional, dua Pasar
Besar di Kota Malang, yakni Pasar Blimbing dan Pasar Dinoyo, bakal disulap menjadi mal dan
apartemen. Tarik ulur antara Pemkot Malang dengan para pedagang tradisional di gedung dewan
sudah berakhir. Kedua pihak sepakat bila kedua pusat belanja wong cilik itu dihancurkan dan
digantikan dengan pusat belanja serta hunian bagi kalangan berduit.
Meski demikian pihak investor berjanji tidak akan menggusur para pedagang asli, yang
sudah menempati dan mengais rejeki di tempat tersebut. Namun demikian menyangkut site plan
tampaknya masih belum ada kata sepakat. P3D (Persatuan Pedagang Pasar Dinoyo),
berkeinginan lahan pasar di kawasan barat Kota Malang itu dibagi menjadi dua. Yang sebelah

barat diperuntukan untuk mal, sedangkan sebelah timur tetap untuk pasar tradisional.
Permasalahan yang nyaris sama juga terjadi pada rencana revitalisasi Pasar Blimbing.
Berdasarkan rancangan perjanjian kerjasama antara Pemkot Malang, baik dengan
investor Pasar Dinoyo maupun Pasar Blimbing, terungkap bahwa kebijakan tersebut murni ide
dari pihak investor. Dalam salah satu pasal perjanjian kerjasama tersebut, bentuk kerjasama
dalam hal ini adalah Bangun Guna Serah. Maksudnya, pemanfaatan barang milik Pemkot
Malang dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya itu kepada Pemkot Malang
setelah berakhirnya jangka waktu.
Untuk mengoptimalkan luas lahan, pada bekas lahan Pasar Blimbing akan dibangun pasar
modern dan apartemen. Lokasi bagi pedagang tradisional memang tetap ada, tapi lokasinya dan
tentu saja sarana dan prasarananya tetap kalah dengan mal. Sedangkan pada bekas lahan Pasar
Dinoyo, akan dibangun pasar modern berdampingan dengan pasar tradisional. Logika
pembangunan yang menjungkirbalikan kebijakan pemerintah pusat, hanya demi peningkatan
PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata.
TEORI REVITALISASI DAN RANCANG KOTA
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa
tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.

Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan

dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik
bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan
(urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan,
khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu
lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun
sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi
pemikiran jangka panjang.
2.

Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak

urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang
bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal

(local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P.
Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang
bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3.

Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan

terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar
membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat
meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi
sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk
menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu
didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
Jerat Hukum
Setidaknya ada beberapa jerat hukum yang bakal merugikan para pedagang tradisional
dalam proyek revitalisasi Pasar Dinoyo maupun Pasar Blimbing. Antara lain, dalam perjanjian
kerjasama itu bentuk kerjasamanya adalah Bangun Guna Serah, yakni pemanfaatan barang milik
daerah (Pemerintah Kota Malang) dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, yang kemudian dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya
tanah dan bangunannya diserahkan kembali kepada Pemkot Malang setelah berakhirnya jangka
waktu.
Yang perlu mendapatkan perhatian dalam klausul perjanjian tersebut, seperti dalam
perkara yang sama di pelbagai daerah, banyak menimbulkan kerawanan (baca: kerugian) bagi
Pemerintah Daerah bersangkutan oleh sebab ketiadaan klausul perjanjian yang memberikan
batasan masa perjanjian kerjasama dengan pihak investor, sehingga pihak investor dapat
beberapa kali melakukan perjanjian perpanjangan pengelolaan kembali kedua obyek pasar
daerah tersebut.
Berikutnya, ketika perjanjian diakhiri serta tidak diperpanjang kembali, dan kemudian
diserahkan kepada Pemerintah Daerah bersangkutan, baik tanah beserta bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya di atasnya, yang secara kualitas sudah tidak layak dimanfaatkan.
Dengan kata lain mengalami kerusakan yang membutuhkan dana rakyat (baca: APBD) untuk
memperbaikinya. Dalam situasi demikian, biasanya Pemerintah Daerah bersangkutan akan
menawarkan kembali kepada investor lain.

Pula, dalam perjanjian dimaksud pihak investor bakal mendapatkan sertifikat Hak
Pengelolaan (HPL) bersamaan dengan rekomendasi dari Pemkot Malang untuk mengurus Hak
Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL). Secara legal
formal hak tersebut memberikan hak sepenuhnya kepada pihak investor untuk menjaminkan
dan/atau mengagunkan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak
Pengelolaan (HPL) berikut fasilitas pendukungnya baik sebagian maupun seluruhnya kepada
pihak ketiga.
Dengan hak menjaminkan dan/atau mengagunkan bangunan baik sebagian maupun
keseluruhan pada obyek perjanjian dimaksud kepada pihak lain berikut Hak Guna Bangunan
(HGB) atas nama investor tersebut, tentu bakal menimbulkan kerawanan khususnya bagi
pedagang tradisional. Misal, terjadi wan-prestasi yang dilakukan oleh pihak investor terhadap
Bank Umum/Lembaga Keuangan pemberi kredit, meski telah yang mempunyai program asuransi
surety bond (perjanjian asuransi yang melibatkan penanggung/penjamin) dengan perjanjian
pengikatan tersendiri dari perjanjian pokoknya), posisi hukum obyek perjanjian berupa barang
milik daerah (baca: aset Pemkot Malang), tetap dapat dibebani sita jaminan (conservatoir
beslag). Bahkan dapat dilakukan sita eksekusi oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak
ketiga selaku pemberi kredit.
Bilamana terjadi tindakan sita jaminan (conservatoir beslag), bahkan sita eksekusi
(executoriaal beslag) oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak ketiga selaku pemberi kredit,
tidak ada perlindungan hukum yang cukup kuat bagi para pedagang baik pedagang tradisional,
pedagang pada mall/pasar swalayan bersangkutan, maupun penghuni apartemen guna
mempertahankan hak-haknya. Kecuali melakukan gugatan hukum secara perdata di pengadilan
yang membutuhkan biaya cukup besar dan jangka waktu yang lama.
Masalah yang sempat terjadi
Dalam perkembangannya, rencana pembangunan mal dan apartemen di atas lahan Pasar
Blimbing, masih kisruh. Melalui P3B (Persatuan Pedagang Pasar Blimbing), para pedagang
tradisional tidak setuju dengan site plan yang diajukan pihak investor, karena keberadaan lokasi
dagang mereka berada di belakang mal. Para pedagang meminta lokasi dagang mereka tetap

diletakkan di lantai dasar mulai bagian depan hingga belakang, sebagaimana yang telah
disosialisasikan pihak Pemkot bersama investor.
Kekisruhan yang sama juga terjadi pada site plan Pasar Dinoyo. P3D (Persatuan
Pedagang Pasar Dinoyo), berkeinginan lahan pasar di kawasan barat Kota Malang itu dibagi
menjadi dua. Yang sebelah barat diperuntukan untuk mal, sedangkan sebelah timur tetap untuk
pasar tradisional. Bahkan guna mempertahankan hak-haknya, P3D telah mengundang pihak
Komnas HAM, berkenaan dengan rencana pengembangan kedua Pasar Besar itu.
Anggota Komnas HAM Syafruddin Ngulma Semeulue, bersama stafnya Ono Hartono,
Dini Surya, dan Nila Widyawati, yang telah dua kali melakukan inspeksi ke Pasar Blimbing
maupun Pasar Dinoyo, juga sempat melihat lokasi PPS (Pasar Penampungan Sementara). Untuk
Pasar Dinoyo, lokasi PPS berada di wilayah Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru,
sedangkan untuk Pasar Blimbing lokasi PPS berada dim Jl. LS Sucipto, Kelurahan Pandanwangi,
Kecamatan Blimbing. Komnas HAM meminta, sebelum masalah site plan tuntas dibahas di
antara pihak pedagang dengan pihak Pemkot, relokasi pedagang ditunda dulu.
Sebagaimana telah diberitakan melalui situs ini, dalam perjanjian kerjasama (PKS) yang
sudah ditandatangani, pihak investor bakal mendapatkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL).
Bersamaan dengan itu Pemkot Malang memberikan rekomendasikan kepada investor untuk
mengurus Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama investor di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL).
Maka, secara legal formal hak tersebut memberikan hak sepenuhnya kepada pihak investor untuk
menjaminkan dan/atau mengagunkan Hak Guna Bangunan (HGB), baik atas tanahnya maupun
fasilitas pendukungnya untuk sebagian maupun seluruhnya kepada pihak ketiga.
Dengan hak menjaminkan dan/atau mengagunkan kepada pihak lain tersebut, berpotensi
menimbulkan kerawanan, khususnya bagi pedagang tradisional. Misal, terjadi wan-prestasi oleh
pihak investor terhadap Bank Umum/Lembaga Keuangan pemberi kredit, meski telah yang
mempunyai

program

asuransi

surety

bond

(perjanjian

asuransi

yang

melibatkan

penanggung/penjamin), posisi hukum obyek perjanjian berupa barang milik daerah berserta
fasilitas pendukung di atasnya, tetap dapat dibebani sita jaminan (conservatoir beslag). Lebih
jauh, bahkan dapat dilakukan sita eksekusi oleh pihak pengadilan atas permohonan pihak ketiga
selaku pemberi kredit.

Beruntungnya untuk sekarang ini perselisihan antara pemkot malang dan pedagang pasar
dinoyo sudah berakhir, Perselisihan Pemkot Malang dengan pedagang Pasar Dinoyo terkait
rencana revitalisasi pasar itu berakhir. Keduanya sepakat meneruskan rencana peningkatan Pasar
Dinoyo, meski tidak merobak site plan. Berdasarkan kesepakatan dicapai kedua pihak yang
dimediasi Komnas HAM, bahwa soal site plan yang selama ini menjadi pemicu perselisihan
antara Pemkot Malang dengan pedagang itu diputuskan tidak diubah. Hanya saya perlu
dilakukan reposisi, terutama menyangkut lokasi antara pasar modern dengan Pasar tradsional
yang tetap bersebelahan. Tapi untuk perselisihan antara pemkot malang dengan pedagang di
pasar blimbing masih belum menemui titik temu.
Penutup
Melihat wacana pelaksanaan revitalisasi pasar di Malang, perlu adanya pengkajian lebih dalam
lagi. Karena, apa yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Malang terhadap bentuk revitalisasi
yang akan diterapkan di dua pasar tradisional (Pasar Blimbing dan Pasar Dinoyo) cenderung
melenceng dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian
Perdagangan tentang revitalisasi Pasar Tradisional diseluruh wilayah Indonesia. Pemerintah
pusat mencanagkan revitalisasi pasar tradisional secara transparan dan untuk lebih meningkatkan
peran pasar tradisional yang semakin kalah bersaing dengan pasar modern, melalui perbaikan
menejemen pasar, infrastruktur, dan pra sarana yang ada dalam pasar tradisional itu sendiri. Hal
ini tentunya berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang yang
justru melego kedua pasar tradisional tersebut kepada para Investor, yaitu dalam bentuk
kerjasama dengan pihak investor, dengan dibuatnya perjanjian Bangun Guna Serah. Maksudnya,
pemanfaatan barang milik Pemkot Malang dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian dikelola pihak investor dalam jangka waktu tertentu.
Seharusnya pada masa seperti ini pemerintah lebih melihat kepada kesejahteraan masyarakat,
yang salah satunya adalah memelihara dan mengembangkan pasar tradisional lebih baik lagi agar
pemerataan ekonomi yang diidam-idamkan bukan hanya sekedar wacana belaka. Apa yang
dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang dalam masalah revitalisasi ini merupakan salah satu
contoh nyata dalam pemerosotan tingkat produktivitas masyarakat dengan semakin sedikitnya
lahan bagi masyarakat bersaing dalam hal ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai