Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN STROKE NON HEMORAGIK (SNH)

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler
(Hendro Susilo, 2000).
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan
oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit
serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002)
Stroke non hemoragik dapat berupa iskemik, emboli, spasme ataupun thrombus
pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau gangguan tidur.
Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses udema oleh karena
hipoksia jaringan otak (Price, 2006)
B.

KLASIFIKASI

1. Stroke non hemoragik


a. Trombosis cerebri, terjadi penyempitan lumen pembuluh darah otak perlahan karna proses
arterosklerosis cerebral dan perlambatan sirkulasi serebral.
b. Embolisme cerebral, penyempitan pembuluh darah terjadi mendadak akibat abnormalitas
patologik pada jantung. Embolus biasanya menyumbat arteri cerebral tengah atau cabangcabangnya,yang merusak sirkulasi cerebral.
2. Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan

aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya
menurun.
(Corwin, 2009)
C. ETIOLOGI
a. Trombosis cerebri ( bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
b. Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang
lain)
c. Iskemia cerebral( penurunan aliran darah ke otak)
d. Aterosklerosis
(Smeltzer,2002)
D. MANIFESTASI KLINIS
a.

Sementara
Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan
atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul
lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.

b. Sementara,namun lebih dari 24 jam


Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit
(RIND)
c.

Gejala makin lama makin berat (progresif)


Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut
progressing stroke atau stroke inevolution

d. Sudah menetap/permanen
(Harsono, 2002)

1. Timbulnya defisit neurologis secara mendadak/sub akut


2. Didahului gejala pradormal
3. Terjadi pada waktu istirahat/bangun pagi
4. Kesadaran biasanya tidak menurun ( kecuali bila emboli cukup besar )

5. Terjadi pada usia lebih dari 50th.


( Mansjoer, 2000).
E. PATOFISIOLOGI
Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (thrombus, emboli, perdarahan
dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia karena gangguan paru dan
jantung). Arterosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting trhadap otak. Thrombus dapat
berasal dari flak arterosklerotik atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran
darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan oedema dan nekrosis diikuti thrombosis dan hypertensi pembuluh darah.
Jika aliran darah kesetiap bagian otak terhambat karena trombus dan embolus maka
mulai terjadi kekurangan O2 kejaringan otak. Kekurangan selama 1 menit dapat menyebabkan
nekrosis mikroskopis neuron-neuron area kemudian di sebut infark.
Kekurangan O2 pada awalnya mungkin akibat iskemik umumnya (karena henti
jantung / hipotensi ) / hipoksia karena proses anemia / kesulitan bernafas. Jika neuron hanya
mengalami iskemik,maka masih ada peluang untuk menyelamatkannya. Suatu sumbatan pada
arteri koroner dapat mengakibatkan suatu infark disekitar zona yang mengalami kekurangan O2
Stroke karena embolus merupakan akibat dari bekuan darah, lemak dan udara, emboli
pada otak kebanyakan berasal dari jantung.
Sindrom neuron vaskuler yang lebih penting terjadi pada stroke trombotik dan embolik
karena keterlibatan arteri serebral mediana
(Hudak, G. 1996).

F. PATHWAY
Arterosklerosis

emboli

Trombosis

Sulit menelan

NVII

Saraf N II

G. KOMPLIKASI
1. Hemiparesis dan Hemiplagia
2. Afraksia
3. Afasia : sensorik, motorik, global
4. Disartia: kesulitan dalam berkata
5. Disfagia : sukar menelan
6. Perubahan penglihatan
7. Perubahan berpikir abstrak
8. Emosi labil
9. Inkontinensia
( Hudak, 1996)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan radiologi
(1) CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau
menyebar ke permukaan otak (Linardi Widjaja, 1993)
(2) MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik (Marilynn E.
Doenges, 2000)
(3) Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau
malformasi vaskuler (Satyanegara, 1998)
(4) Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi
kronis pada penderita stroke (Jusuf Misbach, 1999)
b) Pemeriksaan laboratorium
(1) Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor
masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama (Satyanegara, 1998)
(2) Pemeriksaan darah rutin
(3) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali (Jusuf Misbach, 1999)
(4) Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
(Linardi Widjaja, 1993)

I.

PENATALAKSANAAN
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis
sebagai berikut :
1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan :

a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendiryang


sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihanlatihan gerak pasif.
(Mansjoer, 2000).
J. PROSES KEPERAWATAN
a.

Pengkajian Primer
-

Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat


kelemahan reflek batuk
Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi

Circulation

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
Disability
Klien dalam keadaan tidak sadar

b. Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
-

kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.

mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )


Data obyektif:

Perubahan tingkat kesadaran

Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) ,


kelemahan umum.
-

gangguan penglihatan

2. Sirkulasi
Data Subyektif:
-

Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,


endokarditis bacterial ), polisitemia.
Data obyektif:

Hipertensi arterial

Disritmia, perubahan EKG

Pulsasi : kemungkinan bervariasi

Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal


3. Integritas ego
Data Subyektif:

Perasaan tidak berdaya, hilang harapan


Data obyektif:

Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan

kesulitan berekspresi diri


4. Eliminasi
Data Subyektif:

Inkontinensia, anuria

distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara usus( ileus
paralitik )
5. Makan/ minum
Data Subyektif:

Nafsu makan hilang

Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK

Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia

Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah


Data obyektif:

Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )

Obesitas ( factor resiko )


6. Sensori neural
Data Subyektif:

Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )

nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.

Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati

Penglihatan berkurang

Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka
ipsilateral ( sisi yang sama )

Gangguan rasa pengecapan dan penciuman


Data obyektif:

Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah


laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif

Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke,


genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam
( kontralateral )

Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )

Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/


kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global /
kombinasi dari keduanya.

Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil

Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik

Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi
lateral
7. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:

Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya


Data obyektif:
-

Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial

8. Respirasi
Data Subyektif:
-

Perokok ( factor resiko )


9.Keamanan
Data obyektif:

Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan

Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang


kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit

Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali

Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh

Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang


kesadaran diri
10. Interaksi social
Data obyektif:

Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi


(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

1. Diagnosa
a. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan
intracerebral. (Marilynn E. Doenges, 2000)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia (Donna D.
Ignativicius, 1995)
c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak
(Donna D. Ignativicius, 1995)
d. Gangguan eliminasi alvi(konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake
cairan yang tidak adekuat (Donna D. Ignativicius, 1995)
e. Resiko gangguan nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan
menelan ( Barbara Engram, 1998)
f. Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama (Barbara
Engram, 1998)
g. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penurunan refleks batuk dan menelan.(Lynda Juall Carpenito, 1998)

h. Gangguan eliminasi uri (inkontinensia uri) yang berhubungan dengan penurunan


sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi (Donna D.
Ignatavicius, 1995)

2. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :
a. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intra
cerebral
1) Tujuan :
Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
2) Kriteria hasil :
Klien tidak gelisah
Tidak ada keluhan nyeri kepala
GCS 456
Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan
16-20 kali permenit)
3) Rencana tindakan
a) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab gangguan perfusi
jaringan otak dan akibatnya
b) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total
c) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial tiap dua
jam
d) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung (beri bantal tipis)
e) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
f) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
g) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
4) Rasional
a) Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
b) Untuk mencegah perdarahan ulang
c) Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk
penetapan tindakan yang tepat

d) Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan draimage vena dan


memperbaiki sirkulasi serebral
e) Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial
terjadi perdarahan ulang
f) Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK.
Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap
perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya
g) Memperbaiki sel yang masih viabel
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia
1.

Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya

2.

Kriteria hasil

Tidak terjadi kontraktur sendi

Bertambahnya kekuatan otot

Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas

3.

Rencana tindakan

a)

Ubah posisi klien tiap 2 jam

b)

Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang tidak
sakit

c)

Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit

d)

Berikan papan kaki pada ekstrimitas dalam posisi fungsionalnya

e)

Tinggikan kepala dan tangan

f)

Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien

4.

Rasional

a)

Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek
pada daerah yang tertekan

b)

Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernapasan

c)

Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk
digerakkan

c. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan sirkulasi


darah otak
1)

Tujuan

Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal

2)

Kriteria hasil

Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi

Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isarat


3)

Rencana tindakan

a)

Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isarat

b)

Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi

c)

Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya
ya atau tidak

d)

Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien

e)

Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi

f)

Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara

4)

Rasional

a) Memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien


b) Mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain
c) Mengurangi kecemasan dan kebingungan pada saat komunikasi
d) Mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif
e) Memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi
f) Melatih klien belajar bicara secara mandiri dengan baik dan benar
d. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot mengunyah dan menelan
1)

Tujuan

Tidak terjadi gangguan nutrisi


2)

3)

Kriteria hasil
-

Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan

Hb dan albumin dalam batas normal

Rencana tindakan

a. Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk


b. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan
c. Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan
menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan
d. Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu
e. Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang
f. Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika
klien dapat menelan air

g. Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan


h. Anjurkan klien untuk berpartisipasidalam program latihan/kegiatan
i. Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau makanan
melalui selang
4)

Rasional

a. Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien


b. Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi
c. Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler
d. Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan
usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan
e. Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar
f. Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam mulut,
menurunkan terjadinya aspirasi
g. Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya
tersedak
h. Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan nafsu
makan
i. Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika
klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut
e. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubngan dengan imobilisasi, intake
cairan yang tidak adekuat
1) Tujuan
Klien tidak mengalami konstipasi
2) Kriteria hasil
-

Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat

Konsistensi feses lunak

Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )

Bising usus normal ( 7-12 kali per menit )

3) Rencana tindakan
a. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi
b. Auskultasi bising usus
c. Anjurkan pada klien untuk makan makanan yang mengandung serat
d. Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi

e. Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien


f. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laxatif,
suppositoria, enema)
4) Rasional
a. Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi
b. Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik
c. Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi
reguler
d. Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang
sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
e. Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto
abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik
f. Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan
massa feses dan membantu eliminasi
f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
1) Tujuan
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
2) Kriteria hasil
-

Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka

Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka

Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka


3) Rencana tindakan

a.

Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika
mungkin

b.

Rubah posisi tiap 2 jam

c.

Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang
menonjol

d.

Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada
waktu berubah posisi

e.

Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi

f.

Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap
kulit
4) Rasional

a.

Meningkatkan aliran darah kesemua daerah

b.

Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah

c.

Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol

d.

Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler

e.

Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan

f.

Mempertahankan keutuhan kulit


g. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi
1) Tujuan :

Jalan nafas tetap efektif.


2) Kriteria hasil :
-

Klien tidak sesak nafas

Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan

Tidak retraksi otot bantu pernafasan

Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit

3) Rencana tindakan :
a. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat
ketidakefektifan jalan nafas
b. Rubah posisi tiap 2 jam sekali
c. Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)
d. Observasi pola dan frekuensi nafas
e. Auskultasi suara nafas
f. Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien
4) Rasional :
a. Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya
ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernafasan
c. Air yang cukup dapat mengencerkan sekret
d. Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas
e. Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas
f. Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru
h. Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan penurunan
sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
1) Tujuan :

Klien mampu mengontrol eliminasi urinya


2) Kriteria hasil :
-

Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia

Tidak ada distensi bladder

3) Rencana tindakan :
a. Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering
b. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
c. Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus
dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)
d. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang
telah direncanakan
e. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per
hari bila tidak ada kontraindikasi)
4) Rasional :
a. Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih
yang berlebih
b. Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis
c. Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih
d. Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine
sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih
e. Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu
ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin Elizabeh.J.2009 Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9 Alih bahasa Tim
penerbit PSIK UNPAD, EGC, Jakarta,
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan,
Edisi 3, EGC, Jakarta.
Harsono. (2000). Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI,
Volume II, EGC, Jakarta.
Lismidar, (1990). Proses Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.
MansJoer, Arif 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta.
Price S.A., Wilson L.M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
4, Buku II, EGC, Jakarta.
Susilo, Hendro. (2000). Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke, Suatu
Pendekatan Baru Millenium III. Bangkalan.
Widjaja, Linardi. (1993). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Stroke. Lab/UPF Ilmu
Penyakit Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Pemeriksaan fisik

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu


mengetahui dan memahami materi mengenai pemeriksaan fisik secara umum
dengan tepat.

1. Augustinus, Andy Santosa. 2000. Pemeriksaan Fisik Cetakan Kelima. Jakarta:


Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) St. Carolus.
2. Musrifatul Uliyah, A. Aziz Alimul Hidayat . Keterampilan Dasar Praktik
Klinik untuk Kebidanan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.2008.

Pemeriksaan fisik berasal dari kata physical examination berarti


memeriksa tubuh dengan atau tanpa alat untuk mendapatkan informasi yang
menggambarkan kondisi klien. Pemeriksaan fisik merupakan salah satu bagian
dari rangkaian pengkajian, dalam asuhan kebidanan pengkajian merupakan
tahapan yang pertama dilakukan oleh seorang perawat atau bidan sebelum
menentukan masalah kebidanan atau keperawatan.
Kemampuan bidan atau perawat melakukan pemeriksaan fisik secara
komprehensip sangat diperlukan karena data yang diperolah dari pemeriksaan
fisik ini akan menjadi dasar dalam penentuan masalah. Untuk dapat memahami
pemeriksaan fisik yang baik dan benar dibutuhkan pemahaman terhadap konsep
anatomi, fisiologi tubuh manusia dan pathofisiologi serta didukung oleh
ketrampilan melalui latihan-latihan sehingga menjadi terbiasa. Dalam
pemeriksaan fisik juga diperlukan integrasi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor dari pemeriksa sampai pada menginterprestasikan dan
mengintegrasikan data temuan satu dengan data temuan yang lainnya.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau
masalah kesehatan yang dialami oleh pasien (Azis dan Musrifatul, 2008).
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kesehatan pasien,
menambah informasi, menyangkal data yang diperoleh dari riwayat pasien,
mengidentifikasi masalah pasien, menilai perubahan status pasien,
mengidentifikasi masalah pasien, menilai perubahan status pasien, dan
mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah diberikan. Dalam melakukan
pemeriksaan fisik, terdapat teknik dasar yang perlu dipahami, diantaranya:
1. Inspeksi
Inspeksi merupakan proses pengamatan atau observasi untuk mendeteksi masalah
kesehatan pasien. Cara efektif melakukan inspeksi yaitu:
Atur posisi pasien sehingga bagian tubuhnya dapat diamati secara detail.
Berikan pencahayaan yang cukup
Lakukan inspeksi pada area tubuh tertentu untuk ukuran, bentuk, warna,
kesimetrisan, posisi, dan abnormalitas.
Bandingkan suatu area sisi tubuh dengan bagian tubuh lainnya.
Jangan melakukan inspeksi secara terburu-buru.
2. Palpasi

Palpasi merupakan pemeriksaan dengan indera peraba, yaitu tangan, untuk


menentukan ketahanan, kekenyalan, kekerasan, tekstur, dan mobilitas. Palpasi
membutuhkan kelembutan dan sensitivitas. Untuk itu, hendaknya menggunakan
permukaan palmar jari, yang dapat digunakan untuk mengkaji posisi, tekstur,
konsistensi, bentuk massa, dan pulsasi. Pada telapak tangan dan permukaan ulnar
tangan lebih sensitif pada getaran. Sedangkan untuk mengkaji temperature
hendaknya menggunakan bagian belakang tangan dan jari.
3. Perkusi
Perkusi merupakan pemeriksaan dengan melakukan pengetukan yang
menggunakan ujung-ujung jari pada bagian tubuh untuk mengetahui ukuran,
batasan, konsistensi organ-organ tubuh, dan menentukan adanya cairan dalam
rongga tubuh. Ada dua cara dalam perkusi yaitu cara langsung dan cara tidak
langsung. Cara langsung dilakukan dengan mengetuk secara langsung
menggunakan satu atau dua jari. Sedangkan cara tidak langsung dilakukan dengan
menempatkan jari tengah di atas permukaan tubuh dan jari tangan lain, telapak
tidak pada permukaan kulit. Setelah mengetuk, jari tangan ditarik ke belakang.
4. Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi yang dihasilkan
oleh tubuh melalui stetoskop. Dalam melakukan auskultasi, beberapa hal yang
perlu didengarkan diantaranya:
a. Frekuensi atau siklus gelombang bunyi.
b. Kekerasan atau amplitude bunyi.
c. Kualitas dan lamanya bunyi.
Dalam melakukan pemeriksaan fisik yang perlu dipahami diantaranya:
A. Penyusunan Data Subjektif
Data subjektif didapat dari klien atau keluarganya maupun orang yang
menghantar (tetangga, polisi, dan lain-lain). Data ini disebut juga anamnesa atau
riwayat sakit/ kesehatan.
Penyusunan pertanyaan sebaiknya disusun secara padat, singkat dan relevan
dengan patofisiologi penyakitnya. Buatlah kolom judul keluhan, sejak kapan
terjadi dan uraian tentang judul keluhan dari awal kejadian sampai saat hari
pengkajian termasuk perubahan-perubahan yang terjadi selama waktu itu yang
bisa merupakan perubahan perbaikan maupun memburuknya keadaan. Kemudian
tanyakan dan catatlah: Apa respon klien terhadap setiap perubahan tersebut dan
apa hasil sesudah respon tersebut dilakukan klien.
B. Pemeriksaan Keadaan Umum
Penilaian keadaan umum meliputi:
1. Keadaan sakit pasien
Menilai keadaan sakit pasien dari hasil inspeksi umum terhadap penderita dapat
dilaporkan sebagai berikut:
Pasien tampak sakit berat
Pasien tampak sakit sedang
Pasien tampak sakit ringan
Pasien tampak tidak sakit
Penilaian ini dilengkapi dengan data objektif dari hasil pengamatan (inspeksi)
umum seperti:
Pasien menggunakan oksigen

Pasien menggunakan NGT


Pasien menggunakan respirator
Pasien terpasang cairan infus
Pasien sangat sesak
Pasien harus pada posisi orthopnea
Pasien bisa makan sendiri
Pasien bisa jalan-jalan
Pasien tampak gembira dan sebagainya.
Data apapun yang didapat, akan menjadi bahan pertimbangan untuk memberi
penilaian apakah ia sakit berat, sedang, ringan atau tampak tidak sakit.
Kepentingan penilaian ini dikaitkan dengan urutan prioritas sikap apalagi bila
menangani cukup banyak pasien pada situasi tertentu seperti pada ruang gawat
darurat, kerusuhan-kerusuhan, ataupun di bangsal dengan banyak pasien. Pasien
gawat kita atasi kegawatannya dengan tindakan menurut azas kedaruratan
sebelum menyelesaikan pemeriksaan secara lengkap.

2. Menilai tanda-tanda vital


a. Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah derajat hubungan antara Hemispherium Cerebri dengan
Reticular Activating System (di bagian atas batang otak).
Kesadaran mempunyai dua komponen:
Fungsi mental keseluruhan. Komponen ini berhubungan dengan Hemispherium
Cerebri.
Derajat awas-waspada. Komponen ini berhubungan dengan Reticular
Activating System (=Ascending Reticular System).
Penilaian kualitatif tingkat kesadaran, secara klinis dan umum digunakan adalah:
Compos mentis
: sadar penuh
Apatis
: perhatian berkurang
Somnolens
: mudah tertidur walaupun sedang diajak bicara
Soporus
: dengan rangsangan kuat masih memberikan
respon gerakan
Soporo-comatous : hanya tinggal reflek cornea (sentuhan ujung
kapas pada cornea, akan menutup kelopak mata).
Coma
: tidak memberi respon sama sekali.

Ada tiga hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang
menggunakan Skala Coma Glasgow, yakni:
Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka. Keadaan coma, tidak ada respon
sama sekali dan tidak membuka mata.
Bila dijumlahkan, menjadi:
Score yang kurang atau sama dengan 7 disebut coma.
Score yang lebih atau sama dengan 9 disebut tidak coma.

b. Pemeriksaan/ pengukuran dan pencatatan


1. Mengukur tekanan darah

Secara baku (bunyi Korothkoff dan metoda A.H.A) : lebar manset 2/3 lebar
lengan, posisi pasien duduk/berbaring, pada lengan kanan atau kedua lengan,
memompa secepat mungkin sampai 20-30 mm di atas hilangnya nadi A. Radialis.
Menempatkan stetoskop dengan benar, menurunkan permukaan air raksa
dengan kecepatan 3 mm/ detik, mendengar bunyi Korothkoff dengan seksama
sambil menempatkan ketinggian kedua mata mengikuti turunnya permukaan air
raksa.
Bunyi-bunyi Korothkoff
Akan terdengar bersamaan dengan nadi/ fase pemompaan ventrikel.
KI
: adalah bunyi pertama yang terdengar, sifatnya lemah,
nadanya agak tinggi terdengar (tek, tek)
KII
: adalah bunyi seperti K Iyang disertai bising (teksst,
teksst) atau (tekrrd, tekrrd)
KIII
: adalah bunyi berubah menjadi keras, nada rendah, tanpa
bising (De:g, De:g).
KIV
: saat pertama kali bunyi jelas melemah (De:g, De:g
deg, deg )
KV
: saat bunyi hilang
Nilai sistolik diambil dari Korothkoff I.
Nilai diastolik diambil dari Korothkoff V.
Kecuali :
Pada anak kecil (Balita).
Pada keadaan terus terdengarnya bunyi walaupun permukaan air raksa sudah nol
(hal ini cukup sering kita temui).
Catatan: pada dua keadaan di atas digunakan K IV untuk pencatatan nilai
diastolik.
Setelah mendapatkan nilai sistolik dan diatolik maka segera hitung M.A.P (Mean
Arterial Pressure) yaitu tekanan arteri rata-rata:
M.A.P =sist +diast
2

Makna dari M.A.P adalah penilaian Perfusi Ginjal. Ginjal perlu minimal M.A.P
70 mmHg untuk mencapai fungsi ginjal yang memadai.
Kurang dari ini fungsi ekskresi berbagai zat akan menurun sampai anuria dan
potensial akan memperburuk keadaan pasien.
Kriteria hipertensi menurut JNCVI, 1997 untuk usia 18 tahun ke atas:
Seorang dikatakan mempunyai Tekanan Darah Tinggi bila diukur dalam keadaan
istirahat cukup dan kondisi tenang, sedikitnya dalam dua kali kunjungan
didapatkan nilai rata-rata dalam kriterianya sebagai berikut:
Kategori
Sistolik
Diastolik
mmHg
mmHg
Optimal
< 120
dan
<80
Normal
<130
dan
<85
Normal tinggi
130-139 atau
85-89
Hipertensi

Tingkat I
Tingkat II
Tingkat III

140-159
160-179
>= 180

atau
atau
atau

90-99
100-109
>= 110

2. Menghitung nadi. Nadi dihitung selama satu menit penuh. Tempat-tempat palpasi
denyut nadi:
A. Radialis
A. Brachialis
A. Femoralis
A. Poplitea
A. Dorsalis pedis
A. Carotis
A. Temporalis
Tiga komponen yang harus dilaporkan pada pemeriksaan nadi adalah:
Frekuensi
Teratur-tidaknya
Isinya
Frekuensi nadi palpasi perlu dibandingkan dengan frekuensi jantung pada saat
bersamaan. Perbedaan nilai nadi dengan frekuensi jantung disebut pulsus deficit,
ini menunjukkan adanya fibrilasi-atrium. Isi nadi melemah/ berkurang saat
inspirasi lalu penuh/ kuat saat ekspirasi ini menunjukkan adanya gangguan pada
kantung pericardium, seperti:
Pericardial effusion
Pericarditis constrictiva
Hemopericardium
Isi nadi seperti itu disebut Palsus paradoxus.
3. Mengukur suhu tubuh (oral, axillar, rectal) lamanya pengukuran sesuai dengan
yang tertera pada thermometer, jangan lupa mengeringkan axilla sebelumnya..
4. Menghitung pernapasan. Frekuensi nappas dihitung 1 menit penuhdan diamati
jenisnya. Bila didapat hal yang mencolok seperti dyspnea, orthopnea, dyspnea
deffort) sebaiknya dituliskan di sini. Bila tidak ada, maka uraian lengkap
dituliskan pada kolom pemeriksaan thorax.
5. Catatan tentang hal umum yang mencolok. Bila ada sesuatu hal penting/mencolok
yang ada hubungannya dengan kelangsungan hidup/ vital pasien, baik dilaporkan
di kolom ini, misalnya:
Perdarahan banyak dan masih berlangsung.
Robekan dinding perut dan viscus keluar.
Fraktura iga menembus kulit.
Pasien sianosis (respiratory failure)
Tercium bau-bauan tertentu seperti:
o Bau darah (walau tidak tampak)
o Bau aseton (DM), amoniak (renal failure), mousyodor (bau kandang tikus putihliver failure)
o Bau faeces (obstruksi usus)
C. Pemeriksaan Sistematik
1) Keadaan rambut dan hygiene kepala

Rambut hitam, coklat, pirang, warna perak, berbau atau warna-warni bendera
yang khas untuk defisiensi vitamin A. Mudah rontok, kulit kepala kotor, berbau
secara umum menunjukkan tingkat hygiene seseorang. Pada kulit kepala bisa
ditemui lesi seperti Vesicula, Pustula, Crusta karena varicella, dermatitis.
2) Hidrasi kulit daerah dahi
Dapat diketahui dengan palpasi, penekanan ibu jari pada kulit dahi, karena
mempunyai dasar tulang. Pada dehidrasi bisa ditemukan finger print pada kulit
dahi.
3) Palpebrae
Edema palpebrae mudah tampak, cairan edema mudah terkumpul di palpebrae
karena jaringan palpebrae sangat longgar, dan lebih tampak bila pasien bangun
tidur atau pasien berbaring lama. Sesuai dengan hukum gravitasi, bila edema tidak
menyeluruh, bisa terjadi edema palpebrae hilang/berkurang setelah pasien
beraktivitas dengan posisi tegak karena kemudian cairan lebih banyak
terkumpuldi ekstremitas bawah.
Tempat pemeriksaan edema selain di kelopak mata adalah daerah sacrum dan
pretibia dorsum pedis. Peradangan (Blepharitis, hordeolum/ bintitan) bisa juga
ditemui. Kelopak mata yang selalu tertutup/ tidak mampu membuka disebut ptosis
dan kelopak mata yang tidak bisa menutup rapat disebut lagophtalmus.
4) Sclera dan konjungtiva
Ikterus tampak lebih jelas di sclera dibanding pada kulit. Teknik memeriksa sclera
dengan 2 jari menarik palpebrae, pasien melihat ke bawah.
Radang pada conjungtiva bisa terjadi, baik pada conjunctiva bulbi maupun
conjungtiva palpebrae. Keadaan anaemik bisa diperiksa pada warna yang pucat
pada konjungtiva palpebrae inferior. Perdarahan sub-conjunctival bisa juga
terjadi baik pada conjungtiva bulbi maupun palpebrae. Rembesan darah di
conjungtiva palpebrae akan menimbulkan warna kebiruan di seluruh kelopak
mata, disebut Black eye atau Brill hematom bila mengenai kedua mata.
5) Tekanan bola mata/ Tekanan Intra Okular
Pemeriksa menggunakan dua jari telunjuk memeriksa membandingkan antara TIO
bola mata kiri dan kanan dengan cara menekan bergantian pada bola mata atas
dengan kelopak mata tertutup, merasakan tekanan intra okular, yang normal kiri
sama dengan kanan. Kewaspadaan terhadap pasien glaucoma umumnya terhadap
pasien berumur lebih dari 40 tahun.
6) Pupil dan Refleks Cahaya
Pupil normal berbentuk bulat, sama besar (isokor) diameternya kira-kira 3mm.
bila disinari diameternya akan mengecil kiri dan kanan yang disebut refleks
cahaya langsung dan tak langsung.
7) Visus/ Ketajaman penglihatan
Visus/ ketajaman penglihatan diperiksa pada mata, kiri dan kanan satu per satu.
Digunakan optotype Snellen yang dipasang pada jarak 6 meter dari penderita.
Teknik pemeriksaan: pasien diminta menyebut huruf atau angka yang ditunjuk

oleh pemeriksa. Kemampuan menyebut sampai deretan huruf yang mana,


tercantum di tepi Ooptotype Snellen:
Visus mata Emetrop diberi angka 6/6.
Visus 6/60 hanya bisa menghitung jari-jari dari jarak 6 meter.
Visus 6/300 hanya bisa melihat gerak jari-jari dari jarak 6 meter.
Visus 6/tak terhingga hanya bisa melihat terang-gelap.
Mata buta/anopsia tidak bisa melihat terang sama sekali.

8) Rongga hidung dari depan/ Rhinoscopia Anterior


Diperiksa septum hidung, di tengah atau tidak, ada benda asing, sekret hidung,
jernih, purulen, perdarahan, peradangan mucosa, polip. Digunakan spekulum
hidung atau pasien diminta membesarkan rongga hidungnya. Agak ke dalam
diperiksa juga Concha nasalis media dan inferior (tampak dari luar).
9) Daun telinga, lubang telinga dan membran tympani
Canalis bersih, bercerumen atau bernanah. Sesudah bersih atau dibersihkan,
barulah membrane tympani dapa diperiksa. Membran tympani yang utuh dengan
posisi baik akan memantulkan refleks cahaya politzer pada penyinaran lampu
senter. Lubang perforasi kecil bisa tampak, atau tidak tampak membran tympani
sama sekali karena sudah jebol total. Membran tympani utuh dengan refleks
negatif (tidak ada) menunjukkan keadaan kedudukan berubah: cembung (ada
nanah di telinga tengah) atau cekung karena retraksi (tekanan telinga tengah lebih
rendah dari atmosfir).
10) Fungsi pendengaran: Test Rinne, Webber dan Schwabach
Hasil Test Rinne : positif/negatif.
Hasil Test Weber : lateralisasi ke kiri/kanan atau tidak ada lateralisasi.
Hasil Schwabach : memendek atau sama dengan pemeriksa.
Garpupenala yang digunakan:
Test Rinne freq.
: 256 Hz
Test Weber freq.
: 512 Hz
Test Schwabach freq.
: 512 Hz
11) Higiene rongga mulut, gigi-geligi, lidah, tonsil dan pharynx
Rongga mulut : diperiksa bau mulut, radang mucosa (stomatitis), dan adanya
Aphtae (sariawan). Stomatitis harus dibedakan dengan Aphtae.
Labio/palate/genato schizis juga dilaporkan dalam kolom ini.
Gigi-geligi : diperiksa adanya makanan, karang gigi, carries, sisa akar, gigi yang
tanggal, perdarahan, abses, benda asing (gigi palsu), keadaan gusi,
meradang/gingivitis dan ada tidaknya radang jaringan penyangga gigi
(periodontitis).
Lidah : kotor/coated akan ditemui pada keadaan: Hygiene mulut yang kurang,
Demam typoid, Tidak suka makan, Pasien coma, perhatikan pula tepi lidah yang
hiperemik yang dapat ditemui pada pasien Typhoid fever.
Tonsil : tonsilla pallatina berada di antara kedua pilar Plica tonsilaris. Ukuran
besarnya tonsil dinyatakan dengan:
T0 bila sudah dioperasi
T1 ukuran normal yang ada
T2 pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
T3 pembesaran mencapai garis tengah

T4 pembesaran melewati garis tengah


Tonsil diperiksa apakah meradang atau tidak. Kadang-kadang didapati nanah
melekat (GO) atau membran putih perak melekat pada infeksi Difteria. Infeksi/
caries pada gigi seringkali menjadi fokus infeksi terhadap tonsil sehingga
peradangan menjadi kronik.
Pharynx : dinding belakang oro-pharinx diperiksa apakah ada peradangan,
pembesaran adenoid dan lendir/ secret yang ada.
12) Kelenjar getah bening leher, sub mandibulla, dan sekitar telinga
Kelenjar getah bening dapat terjadi karena infeksi di fokus lain, seperti: dari
pharynx, tonsil, gigi, larynx, dan telinga. Infeksi toxoplasmosis memberi gejala
pembesaran kelenjar getah bening leher juga.
13) Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid diperiksa mula-mula dengan inspeksi atas, bentuk, dan besarnya
bila ada pembesarannya telah nyata. Dengan cara palpasi satu tangan dari samping
atau dua tangan dari arah belakang, jari-jari meraba permukaan kelenjar dan
pasien diminta menelan. Dalam keadaan normal, kelenjar tiroid tidak dapat
dirasakan perbedaannya dengan jaringan sekitarnya.
Apabila dirasakan ada sesuatu yang dapat diraba, saat menelan kelenjar tiroid
akan ikut naik turun. Hal ini memastikan bahwa yang diraba tadi adalah benar
kelenjar tiroid. Palpasi tiroid dilaporkan mengenai bentuknya, simetris atau tidak,
diraba keras atau kistik, ataukah noduler (berbenjol).
Auskultasi tiroid: bila ditemukan adanya Bruit tiroid mungkin ini suatu keganasan
karena aliran darah dan pembuluh darah bertambah banyak (neovaskularisasi).
14) Tekanan vena jugularis
Tekanan vena jugularis merupakan gambaran/cermin secara tidak langsung atas
fungsi pemompaan ventrikel. Karena setiap kegagalan pemompaan ventrikel
menyebabkan terkumpulnya darah lebih banyak pada sistem vena. Analog dengan
keadaan ini adalah over load cairan infuse yang diberikan juga meningkatkan
tekanan vena jugularis. Jadi, dengan inspeksi dapat tampak apakah vena jugularis
mengembang dengan nyata atau tidak.
Pengukuran tekanan vena jugularis:
Pasien dibaringkan dengan bantal pada kepala. Bendunglah daerah supra
clavicula agar vena jugularis tampak jelas. Kemudian tekan ujung proximal vena
jugularis (di dekat Angulus mandibulae) sambil melepas bendungan supra
clavicula. Amati tingginya kolom darah yang ada.
Ukurlah jarak vertikal permukaan atas kolom yang ditemukan terhadap bidang
horizontal yang melalui Angulus Ludovici. Katakanlah jaraknya a cm di bawah/ di
atas bidan horizontal tadi.
Maka nilai tekanan vena jugularisnya:
JVP
= 5 a cm air (bila di bawah bidang horizontal)
= 5 + a cm air (bila di atas bidang horizontal)
Bila permukaan kolom darah tepat pada bidang horizontal tersebut, maka: JVP =
5 + 0 cm air.
Angka 5 berasal dari jarak Atrium Kanan ke titik Angulus Ludovici kira-kira 5
cm.
15) Ada tidaknya kaku kuduk/tengkuk

Setiap rangsang meningeal, baik karena peradangan maupun perdarahan SubArachnoid menimbulkan kekakuan otot-otot leher/spasme otot. Spasme otot ini
disebut kaku kuduk/tengkuk yang merupakan ciri atas adanya iritasi/rangsangan
meningeal.
16) Thorax dan fungsi pernapasan
Untuk memeriksa daerah thorax, diperlukan ingatan kembali tentang garis-garis
imaginer.
Linea mid-sternalis
Linea sternalis
Linea mid-clavicularis
Linea axillaris anterior, media, posterior
Linea scapularis
Linea vertebralis
Angulus Ludovisi, Angulus Costae, dan Arcus Costae
Secara berurutan pemeriksaan thorax harus meliputi inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
Inspeksi :
a. Amati bentuk, apakah biasa/normal atau ada kelainan bentuk seperti:
Kiposis, lordosis, scoliosis, gibbus (kiposis yang ekstrim).
Bentuk dada burung (Pigeon chest) = sternum menonjol.
Bentuk dada tukang sepatu/cekung (Funnel chest).
Barrel chest (besar-menggembung muka belakang).
b. Amati pernapasan pasien seperti:
Terdengar stridor inspirasi/ekspirasi
Menghitung frekuensi pernapasan, yang normalnya 16-24 x per menit. Dan juga
ada perbandingan frekuensi napas dengan frekuensi jantung kira-kira 1:4. Napas
yang lebih dari 24 kali per menit disebut tachypnea dan bila kurang dari 16 x per
menit disebut bradipnea.
Catat pula pola/irama pernapasannya. Teratur, periodik Cheynnes stokes, periodik
Biot, Kussmaul (cepat-dalam), Hiperventilasi (hanya dalam), atau irama satu-satu
pada psien sebelum meninggal.
Amati ada tidaknya dyspnea (setiap ketidaknyamanan bernapas dalam bentuk
apapun):
o Tanda-tanda retraksi intercostals,
o Tanda-tanda retraksi supra sternal,
o Pernapasan cuping hidung,
o Deffort inspirasi, seperti pada difteria,
o Deffort ekspirasi, seperti pada asma bronkiale dan
o Orthopnoe, lebih nyaman bernapas pada posisi duduk.
c. Ada dua hal lain yang dihubungkan dengan fungsi pernapasan:
Pengamatan sianosis di sekitar bibir, mulut, dan dasar kuku.
Clubbing of the finger (seperti ujung pemukul gendering).
d. Amati suara batuk yang terdengar (produktif, kering, whooping, pendek-pendek/
dehem-dehem).
Palpasi:

Palpasi pada dinding thorax menggunakan seluruh telapak tangan dan jari, kiri
dan kanan dengan maksud meraba dan merasakan getaran dinding dada sewaktu
pasien mengucapkan kata tujuh puluh tujuh berulang-ulang.
Getaran yang dirasakan disebut Vocal fremitus, perabaan dilakukan di seluruh
permukaan dada (kiri, kanan, depan, belakang). Umumnya, pemeriksaan ini
bersifat membandingkan bagian mana yang lebih bergetar atau kurang bergetar.
Pemadatan jaringan paru (pneumonia, keganasan) akan terasa lebih bergetar.
Pleural effusion dan Pneumo thorax akan terasa kurang bergetar.
Perkusi:
Perkusi dinding thorax, dengan cara mengetuk dengan jari tengah-tangan kanan
pada jari tengah-tangan kiri yang ditempelkan dengan erat di dinding dada di
celah intercostals (kecuali pemeriksa kidal tentu sebaliknya).
Penilaian suara yang ditimbulkan oleh perkusi:
Sonor adalah suara perkusi jaringan paru normal.
Redup adalah suara perkusi jaringan yang lebih padat/konsolidasi paru-paru
seperti, pneumonia.
Pekak adalah suara perkusi jaringan yang padat seperti pada:
o Adanya cairan di rongga pleura
o Perkusi daerah jantung, dan
o Perkusi daerah hepar.
Hypersonor/tympany adalah suara perkusi pada daerah yang lebih berongga
kosong seperti: daerah Caverne-caverne paru, penderita asma kronik terutama
dengan bentuk dada Barrel chest akan terdengar seperti ketukan benda-benda
kosong, bergema. Perkusi dilakukan dengan cara membandingkan kiri-kanan pada
setiap daerah permukaan thorax.
(1) Dengan perkusi juga dapat diperiksa rentang turunnya diafragma, sejak akhir
ekspirasi sampai inspirasi maksimal yang normalnya berkisar 3-5 cm. Rentang
turunnyadiafragma diperiksa di:
Thorax bagian belakang
Atas di batas paru-hepar/ ICS-4 kanan.
Bila paru-paru collaps, maka diafragma sisi yang bersangkutan tidak turun pada
inspirasi maksimal.
(2) Dengan perkusi thorax-depan, sekaligus menilai batas-batas jantung (perkusi di
atas jantung terdengar pekak). Pada keadaan normal:
Batas atas jantung ICS 2-3
Batas kanan jantung linea sternalis kanan
Batas kiri jantung linea medio-clavicularis kiri (pada pasien dengan dada lebar
batas kiri jantung: 1 jari medial dari linea mid-clavicula kiri).
Auskultasi:
Auskultasi paru adalah mendengarkan suara pada dinding thorax dengan
menggunakan stetoskop, caranya: pasien diminta bernapas cukup dalam dengan
mulut terbuka dan letakkan stetoskop secara sistematik dari atas ke bawah dengan
membandingkan kiri-kanan.
Ada tiga suara yang didengar pada pemeriksaan auskultasi:
1. Suara napas
Vesicular, suara napas vesicular terdengar di semua lapangan paru yang normal.
Bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.

Broncho-vesicular, suara napas Broncho-vesicular terdengar di daerah


percabangan bronchus dan trache. Jadi, sekitar sternum dan region interscapular,
nadanya sedang lebih kasar dibandingkan vesicular, inspirasi sama panjang
dengan ekspirasi.
Bronchial, suara napas bronchial terdengar di daerah trakea (leher) dan supra
sterna notch. Bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek dibandingkan
dengan ekspirasi.
Bila didapat suara broncho-vesikular atau bronchial di lapangan paru (yang
semestinya vesicular), tentu merupakan suatu kelainan.
Bila tidak terdengar suara sama sekali, hal ini bisa karena paru-parunya
collaps/atelektasis atau pleural effusion yang banyak jumlahnya. Jumlah cairan
pleura yang tidak banyak bisa menimbulkan suara Vesicular yang melemah.
Bila terdengar suara seperti tiupan pada mulut botol, disebut suara Amforik
merupakan suara resonansi dari rongga-rongga Caverne yang ada dalam paruparu.
2. Suara ucapan (tujuh puluh tujuh) = vocal resonans
Penderita diminta mengucapkan tujuh puluh tujuh berulang-ulang setiap
sesudah inspirasi secara berbisik dengan intonasi yang sama kuat. Pemeriksa
mendengarkan dengan stetoskop secara sistematik di semua lapangan paru serta
membandingkannya kiri dan kanan.
Suara normal : perlu mengenal/membiasakan mendengar pada orang sehat.
Intensitas dan kualitas di kiri sama dengan di kanan.
Bronchophoni : suara terdengar jelas ucapannya dan lebih keras dibandingkan
daerah sisi yang lain. Umumnya, ini akibat dari adanya proses
pemadatan/konsolidasi paru.
Pectoriloquy : suara terdengar jauh dan tidak jelas (=nggrenyem). Bisa terdapat
pada effusion atau atelektasis.
Egophony : suara bergema seperti seorang yang hidungnya tersumbat (=bindeng)
dan terasa dekat. Suara semacam ini bisa didapat pada pemadatan paru yang
disertai caverne/berongga-rongga besar. Tidak jarang ditemui pada sebuah paru
sekaligus ada daerah effusion, ada daerah konsolidasi, mempunyai caverne, ada
daerah yang masih normal maka vocal resonansnya bercampur sesuai distribusi
kelainan parunya.
3. Suara tambahan
Pada pernapasan normal tidak didapati suara tambahan. Suara tambahan
menunjukkan ada kelainan.
Macam-macam suara tambahan:
Rales, bunyi yang dihasilkan oleh eksudat lengket saat saluran-saluran halus
pernapasan mengembang pada inspirasi:
o Rales halus, terdengar meritik halus pada akhir inspirasi jadi pendek saja.
o Rales sedang, terdengar lebih kasar dan di tengah fase akhir inspirasi.
o Rales kasar, terdengar lebih lama, yaitu pada seluruh fase inspirasi.
Ronchi, ciri khas ronchi adalah nada rendah dan sangat kasar terdengar baik pada
saat inspirasi maupun ekspirasi. Ciri lain ronchi adalah akan hilang bila pasien
disuruh batuk. Ronchi terjadi akibat terkumpulnya cairan mucus dalam trakea atau
bronkus-bronkus besar (misalnya pada edema paru).
Wheezing adalah bunyi musikal terdengar ngiiiik atau pendek ngiik. Yang
bisa didapat pada fase inspirasi maupun ekspirasi, bahkan biasanya lebih jelas
pada ekspirasi. Wheezing terjadi karena ada eksudat lengket tertiup aliran udara

17)

dan bergetar nyaring. Biasanya, didapat pada bronchis acuta. Bila hanya terdengar
pada fase ekspirasi, ini akibat udara melewati celah sempit bronchial. Pada
keadaan ini, terdengarnya wheezing disertai ekspirasi yang memanjang.
Pleural Friction-Rub, suatu bunyi yang terdengar kering persis seperti suara
gosokan Amplas pada kayu. Rales dan ronchi terdengar basah karena seperti
gemercik cairan, Pleural friction-rub terjadi karena peradangan pleura, terdengar
sepanjang fase pernapasan (inspirasi sepenuhnya). Paling jelas suara ini terdengar
di daerah posteri-lateral bawah dinding thorax.
Jantung
Pemeriksaan jantung meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Pengamatan pertama mencari ictus cordis, yaitu denyutan dinding thorax
karena pukulan ventrikel kiri pada dinding thorax. Bila normal, akan berada di
ICS-5 pada medio clavicularis kiri selebar 1 cm saja. Inspeksi ictus cordis sulit
didapat pada pasien-pasien yang gemuk, berotot besar atau kelenjar mammae
yang besar. Dengan mengetahui letak ictus, secara tidak langsung bisa diperoleh
gambaran tentang ada tidaknya pembesaran jantung (pembesaran jantung ictus
cordis bisa sampai berada di linea axillaris anterior). Ictus cordis yang sangat
nyata/ kuat sesuai juga dengan meningkatnya kerja ventrikel kiri seperti pada
seorang yang sangat berdebar ketakutan atau hipertensi sistolik.
Bulging precordial (daerah precordial yang lebih menonjol dari dinding thorax
yang lain) menunjukkan kemungkinan pembesaran ventrikel kanan atau
aneurysma pangkal aorta.
Palpasi
Pada Ictus cordis, meraba Ictus cordis dengan telapak jari II-III-IV (seringkali
juga ictus tidak nampak namun bisa teraba). Dirasakan kekuatan pukul dan
ditentukan lebarnya ictus cordis yang normal tidak lebih dari 1 cm persegi.
Kalau teraba lebih lebar dan pukulannya kuat serta letaknya bergeser ke kiri hal
ini sesuai dengan hipertrofi ventrikel kiri (misalnya karena hipertensi yang lama).
Sedangkan hipertrofi ventrikel kanan akan menimbulkan gerakan naik turun di
daerah linea sternalis kiri. Keadaan ini disebut Right Ventricular Lift/Heaving.
Memeriksa ada tidaknya Thrill, yaitu getaran ictus cordis, tidak lain ini adalah
murmur (pada auskultasi) derajat 5-6 yang keras/kasarnya dapat kita raba.
Perkusi
Pada pemeriksaan perkusi ditentukan batas-batas jantung, karena daerah
jantung terdengar pekak. Dengan demikian, dapat ditentukan ukuran jantung
apakah lebih besar daripada batas-batas normal ataukah tidak membesar.
Pembesaran jantung yang dapat diperiksa dengan perkusi adalah pembesaran
ventrikel kiri, yaitu akan membesar ke kiri agak ke bawah.
Pembesaran ventrikel kanan kurang dapat ditentukan dengan perkusi karena
pembesarannya lebih ke arah antero posterior. Perkusi pada pasien gemuk atau
sangat berotot akan menyulitkan penentuan batas-batas janntung dengan baik.
Auskultasi
Auskultasi jantung yaitu mendengar bunyi jantung dengan alat stetoskop.
Untuk itu, diperlukan suasana yang tenang agar bunyi jantung terdengar baik.
Kesalahan terbanyak pada auskultasi adalah ingin mendengar sekaligus/seketika
semua bunyi-bunyi jantung yang semestinya satu demi satu sesuai dengan
tempatnya, bunyi jantung mana yang kita perhatikan. Mula-mula gunakanlah sisi
membrane dengan tekanan kuat untuk mendengar nada-nada yang lebih tinggi,

a.

b.

c.

1.
2.
3.
4.
5.

kemudian sisi bell dengan tekanan ringan untuk mendengar nada-nada yang lebih
rendah.
Bunyi jantung (BJ)
BJ I adalah bunyi menutupnya katup Mitral dan Tricuspidalis.
BJ II adalah bunyi menutupnya katup Aorta dan Pulmonalis.
Ada lima tempat mendengar BJ untuk empat buah katup:
Katup aorta/A di ICS-2 Linea Sternalis Kanan di sini terutama disimak BJ II-A.
Katup Pulmonalis/P di ICS-2 Linea Sternalis Kiri dan ICS-3 Linea Sternalis Kiri,
di sini terutama disimak BJ II-P.
Katup trikuspida/T di ICS-4 Linea Sternalis Kiri, di sini terutama disimak BJ I-T.
Katup Mitral/Mdi ICS-5 Linea Medio-Clavicularis Kiri (atau di apeks (ictus)
cordis), di sini terutama disimak BJ I-M.
Pada keadaan normal BJ II (A dan P) dan BJ I (T dan M) adalah bunyi tunggal
karena menutupnya katup A bersamaan dengan P, dan T bersamaan dengan M.
BJ III didengar di daerah M. BJ III terdengar sesudah BJ II dengan jarak cukup
jauh. Namun, tidak melewati separuh fase diastolic, nadanya rendah (sehingga
lebih jelas dengan sisi bell).
Irama pacu kuda/ Gallop rhythm.
BJ III timbul akibat getaran derasnya pengisian diastolic dari atrium kiri ke
ventrikel kiri yang sudah membesar, darah jatuh ke ruang lebar kemudian
timbul getaran.
Fase sistolik dan fase diastolik
Fase sistolik
: yaitu fase antara BJ I dan BJ II.
Fase diastolik
: yaitu fase antara BJ II dan BJ I berikutnya.
Fase diastolik lebih lebar/lama daripada fase sistolik. Jika pada fase ini
diantaranya terdapat suara-suara tambahan baik suara tambahan pada fase sistolik
atau suara tambahan pada fase diatolik atau pada kedua-duanya. Suara tambahan
ini disebut bising jantung atau murmur (m).
Bising jantung/ murmur (m)
Murmur adalah fibrasi/getaran yang terjadi di dalam jantung atau pembuluh darah
besar yang diakibatkan oleh bertambahnya arus Turbulensi darah. Arus darah
yang normal adalah stream line.
Hal inilah yang menimbulkan bising.
Bila didengar murmur harus dideskripsi:
Tempatnya (M, T, P) dan penjarannya/tidak menjalar.
Terjadinya pada fase sistolik atau diastolik.
Derajatnya.
Tinggi rendahnya nada.
Kualitasnya.
Beberapa interpretasi
BJ I
TM
Sangat keras
Pasien cemas
Hipertiroid
Hipertensi
Anemia
Mitral stenosis/MS
Lemah
Decomp cordis
Pericardial effusion
Infark miokard
AV blok derajat I
Split
BBB (Bundle Branch

A II

Keras

P II

Lemah
Keras

Block)
Hipertensi sistemik
Aneurisma
Aorta insufisiensi
Co artatio Aortae
Aorta stenosis
Mitral stenosis
Decomp kiri
Hipertensi pulmonal
Truncus arteriosus
Pulmonary Stenosis

Lemah
BJ II split pada inspirasi : RBBB, ASD, PS, MI
BJ II split pada ekspirasi : LBBB, AS
BJ III pada anak kecil, remaja, wanita hamil : bukan kelainan
BJ III dengan disertai keluhan gejala Decomp cordis lain disebut irama Gallop.
Hal ini bisa ditemukan pada penyakit gagal jantung atau pemberian cairan infus
yang overload.
18) Abdomen
Pada pemeriksaan abdomen kita harus kembali mengingat pembagian daerah
abdomen menurut :
Regio
- Epigastrica
- Hipochondrica kiri-kanan
- Umbilicalis
- Lumbalis kiri-kanan
- Hipogastrica
- Illiaca (=inguinal) kiri-kanan
4 kuadran
- Kuadran kanan atas
- Kuadran kiri atas
- Kuadran kanan bawah
- Kuadran kiri bawah
Khusus untuk pemeriksaan abdomen, urutannnya adalah inspeksi,
auskultasi, barulah palpasi dan perkusi, karena palpasi/perkusi bisa meningkatkan
frekuensi dan intensitas peristaltik usus sebelum diperiksa.
Inspeksi
1. Pada inspeksi perlu disimak apakah abdomen membusung/membuncit atau datar
saja, tapi perut (flank) menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak.
2. Amati bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena di kulit abdomen.
Bila ada, maka perhatikanlah arah alirannnya.
Kalau didapat pelebaran vena yang berasal :
o Dari bagian atas abdomen mengalir ke atas lagi ini berarti selesai dengan obstruksi
vena porta hepatica / tekanan V.porta meningkat.
o Dari bagian bawah abdomen aliran menuju ke atas abdomen, hal ini sesuai dengan
obstruksi vena cava inferior.
Aliran normal pembuluh darah di kulit abdomen berasal dari pertengahan
abdomen; ada yang menuju atas, ada yang menuju bawah dan tidak terlalu
menonjol.
3. Inspeksi juga mengamati apakah daerah abdomen tampak benjolanbenjolan/massa. Laporkan bentuk dan letaknya.
Auskultasi

Segera dilakukan sesudah inspeksi, stetoskop diletakkan pada daerah


epigastrium dan 4 kuadran abdomen.
Mendengar suara peristaltik usus
Normal berkisar 5-35 kali per menit
Bunyi peristaltik yang keras dan panjang disebut borborygmi, ditemui pada
gastroenteritis atau obstruksi usus pada tahap awal (sampai bisa metalic sound).
Peristaltik yang berkurang ditemui pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit
tidak terdengar bunyi peristaltik sama sekali barulah kita katakan peristaltik
negatif/tidak ada, (pada pasien post operasi). Daerah epigastrium di auskultasi
untuk mencari Bruit Aorta, Bruit Arteri Renalis dicari di regio lumbalis kirikanan. Bruit Arteri Femoralis dicari di lipat paha kiri-kanan.
Palpasi
Sebelum anda lakukan palpasi, bertanyalah apakah ada bagian perut pasien
yang terasa nyeri (spontan) tanpa palpasi, sebab bila pasien mengatakan ada,
daerah tersebut harus di palpasi terakhir.Palpasi abdomen dimulai dengan palpasi
umum terhadap keseluruhan dinding abdomen untuk mencari tanda nyeri umum
(peritonitis, pancreatic). Kemudian mencari dengan perabaan ada/tidaknya
masa/benjolan (Tumor, feces). Periksa juga turgor kulit perut untuk menilai
hidrasi pasien. Sesudah itu, periksakanlah dengan tekanan pada regio supra pubica
(cystitis), titik Mc Burney (Appendicitis) Regio epigastrica (gastritis) dan regio
iliaca (adnexitis, K.E.T). Barulah kita secara khusus melakuakan palpasi hepar
dan lien.
Palpasi Hepar
Teknik palpasi hepar dengan telapak tangan dan jari tangan dimulai dari
kuadran kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan
gelembung perut dan berupayalah merasakan sentuhan tepi hepar pada tepi jari
telunjuk. Pembesaran hepar menuju arah inferior. Pada keadaan normal hepar
berada dibelakang arcus costa sehingga tidak teraba.
1.
2.
3.
4.
5.

Apabila hepar dapat di raba, dibuat deskripsi sebagai berikut :


Ukuran hepar di tepi bawah arcus costae (dalam cm atau lebar jari)
Perabaan keras, lunak atau biasa.
Tepi hepar : tajam atau tumpul
Permukaan rata atau berbenjol-benjol
Nyeri tekan atau tidak
Hepar membesar pada keadaan-keadaan :
Bendungan karena Decomp cordis
Malnutrisi
Gangguan fungsi hati/radang hati (Hepatitis, Thypoid fever, Malaria, dengue,
Tumor hepar dan sebagainya)
Hepar yang didapat teraba 1 jari pada bayi dan anak-anak merupakan keadaan
yang sering ditemui. Hal ini bukan berarti suatu pembesaran hepar.
Palpasi Lien
Teknik palpasi lien dengan cara bimanual (= 2 tangan), jari-jari tangan kiri
mengangkat dengan cara mengait dinding perut kiri atas dari arah belakang,
sedangkan jari-jari tangan berupaya meraba lien dari arah depan abdomen kiri atas
mencari/meraba lien yang ditandai dengan adanya Incissura lienalis. Pembesaran

lien mengikuti arah garis yang melewati umbilicus menuju kuadran kanan bawah
abdomen.
Besarnya lien diukur menurut ukuran Schuffner dari arcus costae kiri sampai
umbilicus mempunyai skala Schuffner -4S-1-2-3-4 dibagi menurut 4 bagian jarak
dari arcus costae sampai umbilicus. Lien yang membesar didapat pada Thypoid
fever, Dengue H. Fever, hipersplenisme, Leukemia dan sebagainya. Harus hatihati melakuakan palpasi pada lien yang sudah sangat membesar karena bisa
mengakibatkan ruptura lien, palpasilah dengan lembut/hati-hati.
Palpasi Titik Mc Burney
Titik Mc Burney berada pada batas sepertiga luar dan dua pertiga dalam dari
garis imaginer yang menghubungkan umbilicus dengan SIAS kanan.
Pada radang akut appendix akan didapat nyeri tekan dan nyaeri lepas yaitu
rasa nyeri timbul saat daerah ini ditekan maupun dengan mendadak dilepaskan.
Perhatikan ekspresi wajah pasien saat menekan maupun saat mendadak
dilepaskan.
Nyeri tekan kontra lateral dalah nyeri pada titik Mc burney saat pemeriksa
menekan daerah kuadran kiri bawah abdomen. Hal ini terjadi karena dengan
tekanan kuadran kiri abdomen, udara/massa di dalam colon (Descendens,
Transversum, Ascendens maupun coecum) teregang dan timbul nyeri pula bila
appendix vermiformisnya meradang akut. Bisa terjadi ditemukan masa sebesar
telur dan nyeri tekan pada palpasi daerah ini. Hal ini menunjukan adanya
peradangan kronik dan sudah terjadi infiltrat di sebut appendicullar infiltrat.
Perkusi
Perkusi dilakukan dengan teknik yang sama seperti perkusi thorax. Suara
perkusi abdomen yang normal adalah timpani. Masa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar, ascites, vesica urinaria, masa tumor). Perkusi
dilakukan pada semua kuadran.
Pemeriksaan adanya asites : cairan dalam rongga perut mengikuti hukum
gravitasi, selalu berada dibagian bawah. Perkusi dimulai dari tengah abdomen
dengan pasien posisi terlentang, menyusuri dinding abdomen; perkusi terus
dilakukan menuju lateral. Perubahan suara dari timpani menjadi pekak merupakan
batas cairan ascites yang ada, kemudian pasien di pindah posisi menjadi berbaring
miring/lateral. Apabila memang ada cairan dalam rongga abdomen tentu akan
berpindah ke bagian bawah mengikuti gaya gravitasi. Maka daerah lateral
abdomen yang semula pekak setelah berada diatas menjadi timpani karena cairan
berpindah, sebaiknya daerah umbilicus sekarang menjadi pekak. Dalam bahasa
inggris disebut Shifting dullness.
Perkusi Ginjal
Perkusi ginjal dilakukan di dinding abdomen belakang pada sudut costovertebral (Costo vertebral angle), dengan dialasi telapak tangan kiri, kita lakukan
perkusi dengan sisi ulnar kepalan tangan kanan (pada pemeriksa kidal tentu
sebaliknya).
Pada peradangan/infeksi saluran kemih (U.T.I/Pyelonefritis) akan didapatkan
tanda nyeri pada perkusi ini.
19) Kelenjar Limfe Inguinal, Genitalia dan Anus
a. Kelenjar limfe inguinal diperiksa dengan palpasi, teraba membesar, nyeri tekan
atau tidak, pembesaran dan nyeri merupakan petunjuk adanya infeksi dari daerah
tungkai, kelamin atau metastase tumor testis/prostat.

b.

Pemeriksaan genitalia eksterna


Pria :

Diperiksa apakah kulit sekitar kelamin mengalami infeksi/jamur/kutu


(pediculosis pubis)

Testis kiri-kanan, ada/tidak, hidrocele, radang (orchitis);

Mulut uretra : discharge nanah (G.O)

Atau phymosis, preputium tidak bisa ditarik;

Lesi herpers, condyloma-acuminata

Keganasan dan sebagainya.


Wanita :
Bila tersedia, pemeriksaan sebaiknya dilakukan diatas meja gynaekologik. Amati
vulva secara keseluruhan adakah prolapsus uteri, benjolan kelenjar bartholin.
Amati secret vaginal :

Normal-jernih-tidak gatal

Lochea rubra-sampai 3 hari post partum

Lochea alba 9 hari kemudian

Coklat : mungkin CA, endometriosis

Keju air : mungkin monilla/candida

Putih mucoid : infeksi stafilokokus

Streptokokus

Putih berbusa : tricomonas vaginalis

Kuning kehijauan, lengket : GO


c. Anus
Anus diperiksa bersamaan dengan genitalia pada wanita. Pada pasien laki-laki,
posisi pasien berbaring miring dengan lutut terlipat menempel di perut/dada.
Periksa adanya - Hemoroid externa
- Fissura
- Fistula
- Tanda keganasan
20) Lengan dan tungkai
a. Pemeriksaan Edema
Edema bisa terjadi didaerah pretibia, sekitar malleolus, Dorsum pedis, jari-jari.
Selain itu edema bisa terjadi di palpebrae atau didaerah tulang sacrum terlebih
pada pasien-pasien berbaring lama (jangan lupa di periksa). Edema di periksa
dengan menekankan jari dipermukan kulit dan kecekungan yang terjadi akan tidak
segera hilang (pitting edema). Hal ini terjadi karena terkumpulnya cairan
dijaringan extra selular (= interstitial) lebih banyak dari biasanya (Decomp corsis,
nefrotik dan sebagainya). Non pitting edema seperi pada hypothyroidisme
(myedema) adalah edema intra selular, tidak cekung pada penekanan.
b. Menilai rentang gerak (Range of motion), diperiksa simetrisitas lengan dan
tungkai, panjang dan besarnya dibandingkan antara sisi kiri dengan kanan.
Keadaan ini patologik seperti : polio, fraktura tulang, kelumpuhan akan
memberikan gambaran tidak simetris. Gerakan pasif ke berbagai arah dinilai
apakah mengalami hambatan/keterbatasan gerak yang mungkin akibat dari
kelainan sendi atau jaringan di sekitar sendi.
c. Uji kekuatan otot

Diawali dengan memeriksa tonus otot, trofi otot (tonus dihubungkan dengan
ketegangannya, trofi dihubungkan dengan ukuran otot) dengan cara inspeksi
palpasi. Bandingkan kiri dan kanan demikian pula dengan kekuatan otot.
Kekuatan otot dinilai dengan angka nol sampai lima :
0 Otot sama sekali tidak mampu bergerak tampak berkontraksi pun tidak, bila
lengan/tungkai dilepaskan, akan jatuh 100% pasif.
1 Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh
2 Mampu menahan tegak yang berarti mampu menahan gaya gravitasi (saja), tapi
dengan sentuhan akan jatuh
3 Mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi tidak mampu melawan
tekanan/ dorongan dari pemeriksa
4 Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain
5 Kekuatan utuh
Uji kekuatan otot sekali-kali bukan membandingkan kekuatan pasien dengan si
pemeriksa.
d. Menilai reflek-reflek fisiologik
Reflex fisiologik diperiksa pada ketukan tendon yang akan dijawab dengan
kontraksi otot. Diperiksa refleks tendon : biceps, triceps, lutut, achiles.
e. Mencari reflex patologik babinski
Reflex patologik babinski normal tidak ditemui.
Caranya : lakukanlah goresan dengan benda berujung tumpul pada telapak kaki seperti pada
gambar dibawah ini.
Normal :
Kelima jari-jari kaki akan melakukan gerak plantar flexi. Hasil seperti di atas disebut tanda
babinski negatif
Pada kerusakan/lesi upper motor neuron (= U.M.N) akan didapat jawaban :
Ibu jari akan bergerak dorso flexi
4 jari lainnya bergerak plantar flexi
Hasil seperti ini disebut tanda babinski positif (= abnormal).
f. Mencari tanda-tanda khusus, seperti :
Clubbing of the finger , ujung-ujung jari seperti ujung tongkat genderang.
(Pada penyakit jantung bawaan, kronik, kelainan darah, TBC/COPD kronik).
Terjadi pada semua keadaan dimana jaringan kekurangan oksigen secara
menahun/lama.
Spider naevi, pelebaran, arteriola berbentuk laba-laba pada pasien Cirrhosis
hepatis yang sudah lanjut, bahkan bertambah banyak pada keadaan coma
hepaticum.
Gambaran khasnya, apabila ditekan kemudian dilepaskan, darah akan mengisi
kembali arteriola ini dari arah sentral ke seluruh jari-jarinya seperti letupan
kembang api di udara malam.
Uremic Frost- salju ureum
Didapat pada pasien uremia. Setelah keringat yang mengandung ureum menguap,
tertinggal bedak ureum. Pemeriksaan dengan perabaan dan bukan saat pasien
baru saja dimandikan.
21) Payudara pada pasien perempuan
Lakukanlah pemeriksaan secara legeartis. Pasien berbaring dengan sedikit
ganjal di punggungnya, posisi baring berada di tepi meja pemeriksaan yang sesuai
dengan sisi payudara mana yang akan diperiksa (bergantian kiri-kanan). Dengan

demikian ada ruang gerak yang cukup untuk sendi bahu sewaktu pemeriksaan
dilakukan.
Inspeksi
Periksalah apakah tampak retraksi kulit daerah mamae akibat tarikan
ligamentum cowperi seperti kulit jeruk . adakah discharge berbau dari puting
susu, ulcus, bayangan benjolan yang tampak sehingga tidak simetris bentuknya.
Palpasi
Lengan kanan pasien ditopang dengan lengan kiri, pemeriksa, sewaktu tangan
kanan pemeriksa melakukan palpasi pada setiap kuadran mamae pasien dan fossa
axillarisnya. Diperiksa elastisitasnya, adakah kekakuan/lekatan dengan dasar,
diperiksa ada tidaknya benjolan tumor, bila ditemukan buatlah deskripsi tentang :
bentuk, ukuran, konsistensi dan keadaan permukaaannya. Palpasi selalu
dilanjutkan ke kelenjar limfe axillar untuk memeriksa adanya metastase tumor ke
daerah tersebut.
22) Collumna vertebralis
Pasien pada posisi duduk, membelakangi pemeriksa.
Inspeksi
Amati bentuk dari susunan Collumna Vertebralis akan adanya kelainankelainan seperti Scoliosis, Kyposis, Gibbus, Meningocele, Spina bivida (spina
bivida oculta di tutupi rambut).
Palpasi
Tekanlah processus spinosus dari cervical sampai lumbo-sacral mencari tanda
nyeri yang mungkin di dapat, seperti pada pasien HNP.
23) Uji Syaraf Cranial
Uji syaraf kranial sudah merupakan pemeriksaan khusus neurologis yang rutin
bagi pasien penyakit syaraf. Tetapi sebagian dari padanya merupakan bagian dari
pemeriksaan umum,yaitu :
Fungsi
N II
Ketajaman penglihatan (Visus)
N VIII
Pendengaran dan keseimbangan
Juga catatan tentang cara berjalan yang khas sewaktu pasien masuk ruang
pemeriksaan adalah catatan dari aspek neurologik.
Cara pemeriksaan saraf cranialis :
NI
Olfactorius penghiduan
Fungsi penghiduan diperiksa dengan bau-bauan seperti tembakau, wangi-wangian
yang di minta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup.

N II

Opticus
Diperiksa dengan pemeriksaan visus terhadap setiap mata. Digunakan
optotype snellen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien. Visus ditentukan
dengan kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada.
N III
Oculomotorius
N IV
Trochlearis
N VI
Abduscens
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata ke
segala arah, diameter pupil dan reflex akomodasi.

NV

N VII

N VIII

Paling sensitif terhadap kenaikan tekanan intra kranial, ia akan mengalami


gangguan paling awal, bola mata tak dapat melirik ke lateral (perhatikan pasienpasien dengan nyeri kepala hebat yang tidak hilang-hilang)
Trigeminus
N V berfungsi sensorik dan motorik : sensorik diperiksa pada permukaan kulit
wajah bagian dahi, pipi dan rahang bawah dengan goresan kapas dan mata
tertutup. Motorik diperiksa dengan kemampuan menggigitnya; rabalah kedua
tonus musculus massester saat diperintahkan untuk gerak menggigit.
Fascialis
Fungsi motorik N VII : Diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan
dahi, mencucurkan bibir, tersenyum, meringgis, (memperlihatkan gigi-gigi depan)
bersiul, menggembungkan pipi.
Fungsi sensorik N VII : Diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang
dijulurkan (gula, garam, asam)
Vestibulo-acusticus
Fungsi keseimbangan diperiksa dengan test romberg. Penderita berdiri tegak
dengan mata tertutup. Bila pasien terhuyung-huyung dan jatuh berarti alat
keseimbangan juga diperiksa dengan berdiri satu tumit atau berjalan pada garis
lurus.
Pemeriksaan pendengaran, dengan menggunakan garpu penala.
Test Rinne (garpu penala 256 Hz)
Penala digetarkan, tangkainya ditempelkan pada proc.mastoideus, tepat saat tidak
terdengar pasien memberi tanda, kemudian pindahkan ujung getar ke muka liang
telinga pasien. Normal masih terdengar suara, hal ini disebut Rinne positif.
Rinne positif bisa berarti normal, bisa berarti tuli perseptif tidak total, tuli
konduktif memberi hasil rinne negatif.

Test Weber (garpu penala 512 Hz)


Penala digetarkan tangkainya ditempelkan pada garis tengah kepala pasien pada
vertex atau glabella. Pasien diminta menyebutkan sisi telinga mana yang lebih
keras mendengar. Jawaban bisa salah satu terdengar lebih keras atau sama keras.
Satu sisi lebih keras disebut lateralisasi ke sisi kiri atau kanan. Sama keras disebut
sebagai tidak ada lateralisasi. Lebih keras terdengar di kiri bisa berarti 2 hal :
a. Telinga kiri tuli konduktif
b. Telinga kanan tuli perseptif
Sama keras bisa pula berarti 3 hal :
a. Kedua telinga normal
b. Kedua telinga tuli konduktif
c. Kedua telinga tuli perseptif
Test Schwabach (garpu penala 512 Hz)
Maksud pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran suara melalui
tulang tengkorak ke cochlea antara pemeriksa dengan pasien. Syarat pemeriksa
pendengarannya normal. Setelah garpu penala digetarkan, ditempelkan pada proc.
Mastoideus paisen, segera saat tidak terdengar suara, pasien memberi tanda. Lalu
dengan segera pula dipindahkan ke proc. Mastoideus pemeriksa. Bila ternyata
masih terdengar, diktakan Schwabach pasien memendek (lebih pendek dari
pendengaran pemeriksa). Bila urutan pemeriksaan dibalik, hasilnya tetap
memendek, berarti ada gangguan pada sistem cochlea pasien (= tuli perseptif).
Normal test Schwabach memberi hasil : sama dengan pemeriksa.

Ketiga test :
Rinne, Weber dan Schwabach disusun, dicantumkan kesimpulan-kesimpulannya
lalu ditarik kesimpulan akhir dengan mengumpulkan hal-hal yang cocok dan
menyingkirkan hal-hal yang cocok dan menyingkirkan hal-hal yang tidak cocok,
maka didapat diagnosa keadaan pendengaran pasien :
Normal
Tuli konduktif kiri/kanan
Tuli perseptif kiri/kanan atau kombinasinya
Latihan menarik kesimpulan perlu dilakukan pada praktek laboratorium.
Pendengaran pada bayi diperiksa dengan adanya respons berkedip bila diberikan
suara tepuk tangan dari jarak kira-kira 30 cm.
N IX
Glossopharyngeus dan N X/Vagus
Diperiksa letak Uvula, ditengah atau deviasi serta kemampuan menelan pasien.
N XI
Accessorius
Diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan (Kontraksi M.
Trapezius) dan gerakan kepala.
N XII
Hypoglossus
Diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus, gerakan lidah
mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam.

Penulisan dokumentasi hasil pemeriksaan fisik


Kasus:
Ny. D berusia 25 tahun, baru menikah 3 bulan yang lalu datang ke rumah sakit
untuk memeriksakan kondisinya. Ibu mengeluhkan bahwa dirinya merasa pusing
yang hebat sejak 2 hari yang lalu sampai sekarang, sejak 5 bulan yang lalu dirinya
sering mengalami lemas, letih, lesu serta sering pusing dan mual saat berdiri dari
posisi semula jongkok, saat ini ibu tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan dan
tidak menggunakan pil KB, beberapa minggu ke belakang, ibu sering merasakan
telinganya sering mendenging. Sebelum pemeriksaan ini, ibu tidak pernah
memeriksakan dirinya ke tenaga kesehatan. Menstruasi ibu teratur, tetapi ibu
pernah beberapa kali mengalami pingsan saat menstruasi.
Saat itu bidan langsung melakukan pemeriksaan fisik terhadap ibu dan didapati
bahwa ibu mengalami anemia.
Berikut ini contoh pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik pada kasus anemia
Dokumentasi Pemeriksaan Fisik
A. Biodata
Pasien/klien
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat

:
:
:
:
:
:

Ny. D
25 tahun
S1
Pegawai swasta
Islam
Jl. Ahmad Yani No.11
Rt 05/08 Bandung

Suami/ Istri
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat

:
:
:
:
:
:

Tn. B
27 tahun
S1
Pegawai swasta
Islam
Jl. Ahmad Yani No. 11
Rt 05/08 Bandung

B. Keluhan utama
: ibu mengatakan merasa pusing yang hebat
sejak 2 hari yang lalu sampai sekarang. Sejak 5 bulan yang lalu sampai sekarang
ibu sering merasa lemas, letih dan lesu serta sering pusing dan mual saat berdiri
dari posisi semula jongkok. Beberapa minggu kebelakang ibu sering merasakan
telinganya mendenging.
C. Riwayat penyakit sekarang
: tidak ada penyakit berat
D. Riwayat penyakit masa lalu
: ibu belum pernah melakukan pemeriksaan
sebelumnya
E. Riwayat penyakit keluarga
: ibu mempunyai penyakit jantung, diketahui
sejak tahun 2007
F. Riwayat psiko-sosial
: hubungan ibu dengan suami dan keluarga
baik.
G. Aktivitas sehari-hari
a. Pola makan dan minum
: makan 3x sehari (menu: nasi, lauk pauk, sayuran,
telur, buah-buahan, daging jarang karena tidak terlalu suka)
Minum 8 gelas sehari, jarang minum susu.
b. Pola BAB dan BAK
: BAB 1x sehari, konsistensi : lunak
BAK 5-6x sehari, warna kuning muda
c. Istirahat dan tidur
: Tidur siang : tidak pernah,
Tidur malam: 6-7 jam
d. Aktivitas sehari-hari
: Bekerja sebagai pegawai swasta,
aktivitas di balik meja kerja
e. Pola seksual
: berhubungan seksual seminggu 3x

A.
B.
C.
D.
E.
F.

G.
a.
b.

c.

DATA OBJEKTIF
Keadaan umum
: baik
Bentuk tubuh
: proporsional
Status emosional
: stabil
Kesadaran
: compos mentis
Tanda-tanda vital
: TD: 90/60 mmHg N: 88x/menit S: 36,80C (axilla)
P: 20 x/menit
Antropometri
: TB: 154 cm BB: 49 Kg
Lila: 24 cm
Lingkar perut
: 77cm
Panjang ekstremitas atas
: kanan: 58 cm
kiri: 58 cm
Panjang ekstremitas bawah : kanan: 98cm
kiri: 98 cm
Kepala
Rambut
Inspeksi : warna hitam, agak tipis halus, distribusi merata, tidak rontok
Palpasi : kepala tidak ada benjolan/ massa, tidak ada deformitas
Wajah
Inspeksi : pucat
Palpasi : hidrasi kulit baik, tidak ada finger print
N.VII fasialis
Motorik : ibu dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi, tersenyum, meringgis,
menggembungkan pipi.
Mata
:
Inspeksi
: bentuk simetris,
Konjungtiva
: pucat
sklera: putih
N.III (Oculamotorius) gerakan bola mata : sesuai
Reflek pupil
Reflek pupil
Mata kiri
Mata kanan
Langsung
Mengecil
Mengecil
Tidak langsung
Mengecil
Mengecil
Reflek akomodasi
NII (optikus): Visus: mata emetrop
NIV (Trochlearis) : lapang pandang:
NVI (Abduscens) : T.I.O bola mata kiri = T.I.O bola mata kanan
Sinus
: tidak ada

d. Hidung
Inspeksi
asing

: septum hidung di tengah, tidak ada sekret ataupun benda


Sudut
Nasal
Inferior
Superior
Lateral

e.

Telinga kiri

N I (olfaktorius) : dapat mencium bau dengan benar


Telinga
Inspeksi
: canalis bersih
NVIII (Vestibulo-acusticus) Pendengaran
:

Telinga kanan

Teknik
Riene (256 Hz)
Weber (512 Hz)
Schwabach (512 Hz)

Telinga kanan
Positif
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan
pemeriksa

Telinga kiri
Positif
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan
pemeriksa

f.

Mulut
Inspeksi
: warna bibir pucat
NIX (Glossopharyngeus) : letak uvula di tengah, kemampuan menelan baik.
NXII (Hypoglossus)
: kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus
Motorik
: bisa menggerakkan lidah
NVIII Facialis : sensorik : pengecapan rasa manis, pahit, asin terasa jelas.
g. Leher
Inspeksi
: bentuk simetris
JVP
: 5 + 0 cm air
Pemompaan ventrikel: normal
Kaku kuduk
: tidak kekakuan otot-otot leher
h. Dada
Inspeksi
: bentuk simetris
Palpasi
: vokal fremitus
: normal
Perkusi
: suara paru-paru
: vesicular kanan= vesicular
kiri
ekspansi paru: tidak ada
Batas atas jantung : ICS 2-3
batas kanan jantung: linea sternalis kanan
Batas kiri jantung : linea medio-clavicularis kiri Batas bawah jantung
Auskultasi
: bunyi nafas sterna :
bunyi paru-paru:
Suara tambahan : tidak ada rales, ronchi, wheezing dan pleural friction rub

Bunyi jantung

Bunyi jantung
Hasil
BJ II (aorta)
Normal
BJ II (pulmonalis)
Normal
BJ II (pulmonalis)
Normal
BJ I (trikuspidalis)
Normal
BJ I (mitralis)
Normal
Heart Rate (HR)
: 88 x/menit
Nadi
: 88 x/menit
i. Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tepi perut tidak menonjol, umbilicus tidak menonjol.
Auskultasi : bising usus 20x/ menit
Palpasi
: tidak ada hepatomegali
Perkusi
: suara tympani, tidak ada asites
j. Punggung
Inspeksi : bentuk simetris
Auskultasi : suara napas dan bunyi jantung normal
Palpasi
: tidak ada pembengkakan
Perkusi
: tidak ada cairan
NXI Accesorius : bisa mengangkat bahu kiri dan kanan dan bisa menggerakkan
kepala

k. Genitalia (tidak dilakukan pemeriksaan genitalia)


Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan genitalia
Palpasi
: tidak dilakukan pemeriksaan genitalia
l. Ekstremitas
Inspeksi : kuku tangan kanan : pucat
kuku tangan kiri
: pucat
inspeksi : kuku kaki kanan
: pucat
kuku kaki kiri
: pucat
kekuatan otot

:
Tangan kanan
5
Kaki kanan
5

Reflek

Tangan kiri
5
Kaki kiri
5

:
Otot

Kiri
Bisep
Positif
Trisep
Positif
Archiles
Patella
Reflek Babinzki
NVIII (Vestibulo-acusticus) Keseimbangan
Pemeriksaan penunjang
Hb
: 9,4 gr/dL
Leukosit
: 7500 /mm3
Trombosit
: 350.000 /mm3

Tangan

Kaki
Kanan
Positif
Positif

Kiri

Positif
Positif
Positif
: Pasien dapat berjalan pada
garis lurus

Kanan
Positif
Positif
Positif

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau
masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan fisik bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang kesehatan pasien, menambah informasi, menyangkal
data yang diperoleh dari riwayat pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai
perubahan status pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai perubahan
status pasien, dan mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah diberikan.
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, terdapat teknik dasar yang perlu dipahami,
diantaranya Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi.

Anda mungkin juga menyukai