Anda di halaman 1dari 36

A.

ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT


Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis
dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20
gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangannya 2,5-3 cm. Pada
bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang melekatkan
prostat pada symphisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula
seminalis, vas deferens, fascia denonvilliers dan rectum. Fascia denonvilliers
berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fascia ini cukup keras dan
biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu
stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus
ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada voramentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal sfingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan sfingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragma urogenitalis yang dibentuk
oleh lapisan kuat fascia pelvis dan perineal membungkus otot levator ani yang
tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya
lebih sedikit dan fascia lebih sedikit30.

Anatomi Reproduksi Pria

Menurut klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari lima lobus yakni


Lobus anterior terletak di depan uretra dan tidak mempunyai jaringan

kelenjar.
Lobus medius adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak diantara uretra
dan ductus ejakulatorius, bagian atas lobus medius berhubungan dengan

trigonum vesica dan mengandung banyak kelenjar.


Lobus posterior terletak dibelakang uretra dan di bawah ductus ejakulatorius,

juga mengandung banyak kelenjar.


Lobus dextra dan lobus sinistra terletak disamping uretra dan dipisahkan
oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostat juga

mengandung banyak kelenjar.


Sedangkan menurut McNeal, prostat dibagi atas

Zona perifer yakni merupakan 70% dari volume prostat dan mengelilingi
distal uretra, 70-80% kanker prostat berasal dari zona ini

Zona central merupakan 25% dari volume prostat dan mengelilingi ductus

ejakulatorius
Zona transisi merupakan 5% dari volume prostat dan mengelilingi
proximal uretra, kelenjar pada zona ini tumbuh seumur hidup dan benign

prostate hyperplasia terjadi pada zona ini


Zona anterior fibromuskular terdiri dari otot dan jaringan fibrosa (Snell,

2006).
Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar
prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika,
dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel
toraks dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid28.
Fungsi kelenjar prostat yaitu mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan
sekresi vagina yang asam, karena sperma lebih dapat bertahan dalam suasana
yang sedikit basa. Selain itu prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan
dan fibrinolisis. Enzim-enzim pembekuan prostat bekerja untuk membekukan
semen sehingga sperma yang diejakulasi tetap bertahan di saluran reproduksi
wanita, segera setelah itu bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisis sehingga
sperma dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita28.
Saat otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi maka sekret yang
berasal dari banyak kelenjar masuk ke uretra pars prostatica. Jika terjadi
pembesaran pada prostat maka akan menyumbat uretra sehingga terjadi obstruksi
pada saluran kemih28.
Dihidrotestosteron (DHT) yang dibentuk dari testosteron di sel sertoli dan di
beberapa organ memiliki peranan dalam pertumbuhan prostat dan merangsang
aktivitas sekretorik prostat. Prostat juga dipengaruhi oleh hormon androgen,
bagian yang sensitif terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang
sensitif terhadap estrogen adalah bagian sentral. Karena itu pada orang tua bagian
sentral-lah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang
berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut28.

Gambar Kelenjar Prostat dan Uretra

Arteri prostat berasal dari arteri vesica inferior, arteri pudendalis interna, arteri
hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral
persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu
operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam pleksus vena
periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan
ke vena illiaca interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presacral.
Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastasis karsinoma prostat secara
hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis9.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan vesica urinaria bagian
inferior yaitu pleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat
dialirkan kedalam lymph nodus illiaca interna (hypogastrica), sacral, vesical, dan
illiaca eksterna9. Innervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostaticus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4
dan simpatik dari nervus hipogastricus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti saat
ejakulasi. Sistem simpatik memberikan innervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat dan leher kandung kemih. Di tempat itu banyak reseptor adrenergik-a.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat

akibat hiperplasia jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan


mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih28.
B. DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia atau BPH adalah pembesaran prostat jinak yang
menghambat aliran urin dari kandung kemih. Pembesaran ukuran prostat ini
akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periuretra7.
Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul
di periuretra dan zona transisi dari kelenjar yang kemudian menekan kelenjar
normal yang tersisa11. BPH merupakan tumor jinak yang kadang tidak
menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang pada akhirnya akan
mendesak urethra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita23.

C. ETIOLOGI
Saat ini penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar Dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai pernyebab timbulnya hiperplasia prostat yakni:
1. Teori Dihidrotestosteron (DHT)

Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron.


Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit
aktif DHT dengan bantuan enzim 5-reduktase. DHT inilah yang secara
langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar
prostat20.
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah
reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel
prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal20.

Gambar Teori Dihidrotestosterone dalam BPH

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron


Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun sedangkan
kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen-testosteron
relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Akibatnya dengan testosteron yang menurun merangsang

terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar20.
3. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor).
Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi
sel stroma itu sendiri yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel epitel
maupun stroma20.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostasis
kelenjar prostat. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat.
Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian
sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat20.
5. Teori stem cell
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun akan
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel20.
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
1. Kadar Hormon

Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan


risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten
yaitu Dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-reductase, yang memegang
peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat10.
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada kandung
kemih (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena
pengaruh usia tua menurunkan kemampuan kandung kemih dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi
karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala4.
Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan

androgen.

dihidrotestosteron

dan

Hormon

tersebut

androstenesdion.

mencakup

Testosteron

testosteron,

sebagian

besar

dikonversikan oleh enzim 5-reductase menjadi dihidrotestosteron yang lebih


aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi 4.
Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur
deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia kadar testosteron
mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada
usia 60 tahun keatas4.
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi
BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling
rendah23.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya
kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota
keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga
yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap
penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota
keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali23.
5. Obesitas

Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe
bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang
membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban
di perut inilah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-lama organ
seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga
akan mengganggu kinerja testis2.
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap
pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen
dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada
laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu cara
pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh adalah teknik indirekm
diantaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass Index (BMI) dan Waist
to hip ratio (WHR)2.
6. Pola Diet
Kekuarangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh
pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena
defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya
berakibat penurunan kadar testosteron. Selain itu makanan tinggi lemak dan
rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron. Walaupun kolesterol
merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone yang merupakan bahan
baku

DHEA

(dehidroepian-androsteron)

yang

dapat

memproduksi

testosteron, tetapi bila berlebihan tentunya akan terjadi penumpukan lemak


pada perut yang akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis,
sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan
seksual. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produksi testosteron yang
nantinya mengganggu prostat2.
7. Aktivitas Seksual
Kelenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan
hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan
alasan kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami

peningkatan tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke


prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan
kelenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak bersih akan
mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual
yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon
testosteron2.
8. Kebiasaan Merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan
aktivitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar
testosteron2.
9. Kebiasaan minum-minuman alkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin b6 yang
penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat.
Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain.
Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin
meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada DHT2.
10. Olahraga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit
mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar
dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko
gangguan prostat. Selain itu, olahraga akan mengontrol berat badan agar otot
lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah
jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan
organ seksual2.
11. Penyakit Diabetes Mellitus
Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dl
mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan
penyakit Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH
dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal2.
E. PATOFISIOLOGI

10

Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars


prostatika dan menghambat aliran urin, sehingga menyebabkan tingginya tekanan
intravesica. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik
kandung kemih yakni hipertrofi otot detrussor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula dan divertikel kandung kemih. Perubahan struktur pada kandung kemih
tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower
Urinary Tract Symptoms (LUTS). Tekanan intravesica yang tinggi diteruskan ke
seluruh bagian kandung kemih tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari kandung kemih ke
ureter atau terjadinya refluks vesico-ureter. Jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidrunefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal20.
Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi akibat kelelahan dari otot
detrussor yang tidak mampu berkontraksi akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa
tidak tuntas pada akhir miksi jika keadaan ini berlanjur, pada suatu saat akan
terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena
produksi urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak mampu lgi
menampung urin sehingga tekanan intravesica terus meningkat. Apabila tekanan
kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi akan
terjadi inkontentinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita seringkali mengedan
sehingga lama-kelamaan bisa menyebabkan hernia atau hemoroid20.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda
obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih
pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi
lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala irirtasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor yaitu bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,

11

miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga
kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih
sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis20.
Gejala dan tanda ini dievaluasi menggunakan International Prostate Symptom
Score (IPSS) untuk menentukan beratnya keluhan klinis. Analisis gejala ini
terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 yang
memiliki nilai maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh sebagai berikut :
Skor 0-7 : bergejala ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat
Dalam 1 bulan
terakhir
1.Seberapa sering anda
merasa masih ada
sisa selesai kencing?
2.Seberapa sering Anda
harus kembali
kencing dalam
waktu kurang dari 2
jam setelah selesai
kencing?
3.Seberapa sering Anda
mendapatkan bahwa
Anda
kencing terputus-putus?
4.Seberapa sering
pancaran kencing
Anda lemah?
5.Seberapa sering
pancaran kencing
Anda lemah?
6.
Seberapa sering
Anda harus
mengejan untuk
mulai kencing?

Tidak
perna
h

Kurang dari
sekali dalam
lima kali

Kurang
dari
setengah

Lebih dari
setengah

Hampir
selalu

Kadangkadang
(sekitar
50%)
3

12

Skor

7.Seberapa sering Anda


harus bangun untuk
kencing, sejak mulai
tidur pada malam
hari hingga bangun
di pagi hari?

Skor IPSS total (pertanyaan 1 sampai 7)=


Selain 7 pertanyaan diatas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu
pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (Quality og Life atau QoL) yang
juga terdiri dari 7 kemungkinan jawaban.
Senang
sekali

Senan
g

Pada
umumnya
puas

Campuran
antara puas
dan tidak

Pada
umumnya
tidak puas

Tidak
bahagia

Buruk
sekali

Seandainya
Anda
harus menghabiskan
sisa hidup dengan
fungsi kencing
seperti
saat
ini,
bagaimana

perasaan

Anda?

F. GAMBARAN KLINIS
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimptomattik baru terjadi kalau
neoplasma telah menekan lumen uretra prostatika, uretra menjadi panjang,
sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler
ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang
lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit,
karena dapat ditoleransi dengan baik9.
Derajat penderita BPH dibagi berdasar gambaran klinis yakni :

Derajat I ; Colok dubur, penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan

sisa volume urin <50 ml


Derajat II ; Colok dubur, penonjolan prostat jelas, batas atas dapat

dicapai, sisa volume urin 50-100 ml


Derajat III ; Colok dubur, batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa

volume urin > 100 ml


Derajat IV ; Terjadi retensi urin total27.

13

Pada penderita BPH dengan retensi urin, pemasangan kateter merupakan


suatu pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibatakibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih26.
1. Gejala umum BPH adalah
Sering kencing
Sulit kencing
Nyeri saat berkemih
Urine berdarah
Nyeri saat ejakulasi
Cairan ejakulasi berdarah
Gangguan ereksi
Nyeri pinggul atau punggung
Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala
obstruktif dan gejala iritatif 20.

Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss of


force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak puas saat
selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi sesudah
kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir berkemih

(terminal dribbling).
Gejala iritatif meliputi frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria),
terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit
menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria),

kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria).


2. Tanda
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi
kenyal pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE).
Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu
dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 223.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan

14

oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan


tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan
pemeriksaan itu. Pada 5th International Consultation on BPH (IC-BPH)3 membagi
kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi pemeriksaan awal
(recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional), sedangkan
guidelines yang disusun oleh EAU12 membagi pemeriksaan itu dalam:
mandatory. Recommended, optional, dan not recommended.
1. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit
yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah

mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah

mengalami cedera, infeksi atau pembedahan)


Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan

keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan
mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini
berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala
ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5
dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan
diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Skor 0-7 bergejala ringan


Skor 8-19 bergejala sedang
15

Skor 20-35 bergejala berat15.


2. Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik
pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi kandung
kemih. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan
salah satu tanda dari keganasan prostat3. Mengukur volume prostat dengan
DRE cenderung under estimate daripada pengukuran dengan metode lain,
sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya
memang besar24.
Pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, sulkus
medialis yang pada keadaan normal teraba di garis tengah, mengalami
obliterasi karena pembesaran kelenjar. Oleh karena pembesaran kelenjar
secara longitudinal, dasar kandung kemih (kutub/pole atas prostat) terangkat
ke atas sehingga tidak dapat diraba oleh jari sewaktu colok dubur. Jika pada
colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai
suatu karsinoma5.
Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya
26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas
pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%24.

Pemeriksaan Colok Dubur/ Rectal Toucher

16

Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan
fungsi neuromuskuler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE
diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral3.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu kandung kemih atau penyakit lain yang menimbulkan
keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma kandung kemih in situ atau
striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya
kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan
adanya karsinoma kandung kemih perlu dilakukan pemeriksaan sitologi
urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan
kateter.
b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat
BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih
sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan
mortalitasmenjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa
ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvicalis 0,8% jika kadar
kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar
kreatinin serum. Oleh karena itu, pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
17

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ spesifik tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi
kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan
volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju
adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia
adalah:
40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun :0-3,5 ng/ml
60-69 tahun :0-4,5 ng/ml
70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area), perlu
dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi
dengan volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0,15 perlu dilakukan biopsi
prostat. Bila nilai PSAD < 0,15 tidak perlu dilakukan biopsi prostat.
Nilai PSA > 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat. Di
Indonesia, di mana rata-rata nilai PSA pada penderita BPH 12,9-24,6
ng/ml, nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30
ng/ml. Untuk nilai PSAD > 0.20 baru perlu dilakukan biopsi prostat. Di
Taiwan diperoleh angka nilai daerah kelabu 4,1-20,0 ng/ml dengan nilai
25 PSAD > 0,20 baru dilakukan biopsi.
18

Tingginya angka PSA di Indonesia berhubungan erat dengan kateterisasi


dan volume prostat, mengingat sebagian besar pasien datang dalam
keadaan retensi dan dalam volume prostat yang besar2.
d. Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia
sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa
jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah
urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia
idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi intravesika, atau karena
poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan
7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik.
e. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses
miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran
maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan
ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan
terapi.
Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya
kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat
disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula
Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun
demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara
nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut:
Qmax < 10 ml/detik 90% BOO

19

Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO


Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien
tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan
disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah
pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya
disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik
setelah.
f. Pemeriksaan Residual Urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine
yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah miksi. Jumlah residual
urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53
mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak
lebih dari 12 mL.
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan
melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra
setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur
sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui
kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak
mengenakkan

bagi

pasien,

dapat

menimbulkan

cedera

uretra,

menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.


Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur
residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama
maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume
residual urine yang cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual
urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml),
sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml)
hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.
g. Pencitraan Traktus Urinarius
20

Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap


traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat.
Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli
urologi untuk mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih
bagian atas, (b) divertikel atau selule pada kandung kemih, (c) batu pada
kandung kemih, (d) perkiraan volume residual urine, dan (e) perkiraan
besarnya prostat. Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan
memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan
adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas. Sedangkan yang
menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang
membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu
pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan
adanya:
(a) hematuria,
(b) infeksi saluran kemih,
(c) insufisiensi renal (pemeriksaan USG),
(d) riwayat urolitiasis,
(e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan
sistografi
maupun
uretrografi
retrograd
guna
memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada kandung
kemih saat ini tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih
berguna jika dicurigai adanya striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,
dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan
ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin,
kecuali hendak menjalani terapi:
(a) inhibitor 5- reduktase,
(b) termoterapi,
(c) pemasangan stent,
(d) TUIP
(e) prostatektomi terbuka.

21

Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui


pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika
terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal
(TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma
prostat.
h. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan kandung kemih. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra
dan leher kandung kemih, batu kandung kemih, trabekulasi kandung
kemih, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya
pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga
tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi
dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka.
Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan
adanya karsinoma kandung kemih sistoskopi sangat membantu dalam
mencari lesi pada kandung kemih.
i. Pemeriksaan Urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan
penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat
membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi
leher kandung kemih dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot
detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani
pembedahan Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan
disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi
otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan

22

bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional


pada evaluasi pasien BPH bergejala.
Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini
merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat
obstruksi prostat, dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan
pembedahan. Menurut Javle (1998), pemeriksaan ini mempunyai
sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.
Indikasi pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah: berusia kurang dari
50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine >300 mL,
Qmax >10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah
pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya
kandung kemih neurogenik11.

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup. Terapi
yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihannya adalah mulai terapi (watchful waiting), medikamentosa dan terapi
intervensi. Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate
(TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH11.
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan
tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa
guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala
dengan skor sedang (IPSS 8-19)24. Pasien dengan keluhan sedang hingga
berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan

23

terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan


respon terhadap watchful waiting12.
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya
diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya:
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat

influenza

yang

mengandung

fenilpropanolamin,
(4) kurangi makanan pedas dan asin,
(5) jangan menahan kencing terlalu lama11.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju
pancaran urine, maupun volume residual urine 11. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin erlu difikirkan untuk
memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila mencapai tahap
tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu,
apalagi

membahayakan

kesehatannya,

direkomendasikan

pemberian

medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa


hal, yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang
digunakan, pemilihan obat dan evaluasi selama pemberian obat11. Perlu
dijelaskan pada pasien bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak
murah dan akan dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien
memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu
mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.

24

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk (1) mengurangi


resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik.
Jenis obat yang digunakan adalah:
A) Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa:
a. preparat non selektiif : fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek : prazosin, afluosin dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama : doksaosin, terazosin dan
tamsulosin
B) Inhibitor 5 reductase, yaitu finasteride dan dutasteride
C) Fitofarmaka
Antagons reseptor adrenergik-
Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher kandung kemih dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif
yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran
miksi dan mengurangi keluhan miksi. Nammun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang
tidak diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan
menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler11.
Diketemukannya obat antagonis adrenergik -1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada -2 dari
fenoksibenamin.
Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang selektif
mampu mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di
antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long
acting yaitu teraosin, doksaosin dan tamsulosin yang cukup diberikan
sekali sehari11.
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti dapat
memperbaiki

gejala

BPH

menurunkan

keluhan

BPH

yang

mengganggu, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan


pancaran urin. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor
25

gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax
hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudan
dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti
terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6-12
bulan11.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reductase, golongan antagonis
adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan
pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antgonis
adrenergik- tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta
memperhatikan kadar PSA, lain halnya dengan sebelum pemberian
inhibitor 5- reductase.
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang
hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda.
Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi
postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada
mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan
hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh dizziness setelah
pemberian dosazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian
tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural
terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan

26

kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin dan plasebo. Dapat


dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak tampak
nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis
adrenergik yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor
adrenergik-1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi
retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian

tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%11.


Inhibitor 5 -reductase
Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai
untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang
dikatalisis oleh enzim 5 -redukstase di dalam sel-sel prostat.
Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu
menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor
gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6
bulan11.
Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang
efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa
pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu
menurunkan

volume

prostat,

meningkatkan

pancaran

urine,

menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan


tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya
dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan
kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu

diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat11.


Fitofarmaka

27

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk


memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data
farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen,
antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin
(SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal

growth

factor

(EGF),

mengacaukan

metabolisme

prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance,


dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya11.
3. Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan
prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif atau invasif
minimal. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka,
TURP, TUIP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif
adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent
uretra.
A) PEMBEDAHAN
Saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah
pembedahan,

yakni

mengangkat

bagian

kelenjar

prostat

yang

menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan perbaikan skor IPSS dan


secara obyektif meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja
pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat
operasi maupun pasca bedah11.
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, diantaranya adalah:
retensi urine karena BPO (derajat obstruksi prostat)

28

infeksi saluran kemih berulang karena BPO


hematuria makroskopik karena BPE
batu kandung kemih karena BPO
gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO
divertikulum kandung kemih yang cukup besar karena BPO

Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi


pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan
sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi
medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di
berbagai negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat trans uretra
(TUIP), dan reseksi prostat trans uretra (TURP)11.
a) Prostatektomi terbuka : merupakan cara yang paling tua, paling
invasif, dan paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan
memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini
dikerjakan

melalui

pendekatan

transvesikal

yang

mula-mula

diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan retropubik yang


dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat ini
sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu
kandung kemih multipel, divertikula yang besar, dan hernia
inguinalis (IAUI, 2000). Pembedahan terbuka dianjurkan pada
prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3. Dilaporkan
bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura
uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan
TURP ataupun TUIP11.

29

30

31

Gambar Prostatektomi Terbuka

b) TURP (Trans Uretra Resection Prostat) : merupakan 90% dari


semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. Pada pasien
dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada
watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma
dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa
pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran
urine hingga 100%11.

Prosedur TURP

c) TUIP (Trans Uretra Insisi Prostat) : atau insisi leher buli-buli


(bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
32

ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran


lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma
prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973,
dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan
pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli sampai ke
verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu
yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan
komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki
keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik
TURP. Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP,
hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat
vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak
menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di
rumah sakit lebih singkat11.
d) Laser Prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang
dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis
energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan
diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre,
atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-650C akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100 0C
mengalami vaporisasi11. Jika dibandingkan dengan pembedahan,
pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan
penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam meningkatkan
perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping
itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak

33

menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2


bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak
flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP11.
Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang
dengan pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG
menunjukkan hasil yang hampir sama dengan cara desobstruksi
TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine
Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum banyak
diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan
tindakan TURP karena kesehatannya11.
B) TINDAKAN INVASIF MINIMAL
Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas
dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah:
(1) TUMT (transurethral microwave thermotherapy),
(2) TUNA (transurethral needle ablation),
(3) HIFU (high intensity focused ultrasound), dan
(4) Laser.
Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik
yang didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping
Teknik termoterapi ini seringkali tidak memerlukan mondok di
rumah sakit, namun masih harus memakai kateter dalam jangka
waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai
kepuasan pasien terhadap terapi ini. Pada umumnya terapi ini lebih
efektif daripada terapi medikamnetosa tetapi kurang efektif
dibandingkan dengan TURP. Tidak banyak menimbulkan perdarahan
sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulansia11.

34

Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang mikro


yang disalurkan melalui kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga
dapat merusak kelenjar prostat yang diinginkan. Jaringan lain
dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari dari kerusakan
selama proses pemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendah dan
dapat dikerjakan tanpa pembiusan. TUMT terdiri atas energi rendah
dan energi tinggi. TUMT energi rendah diperuntukkan bagi adenoma
yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi
untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT
energi tinggi menghasilkan respon terapi yang lebih baik, tetapi
menimbulkan morbiditas yang lebih besar daripada yang energi
rendah11.
Teknik TUNA memakai
menimbulkan

panas

energi

sampai

dari

frekuensi

mencapai

1000

radio
C,

yang

sehingga

menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter


TUNA

yang

dihubungkan

dengan

generator

yang

dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter


dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian
anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung
kateter terletak pada kelenjar prostat. TUNA dapat memperbaiki
gejala hingga 50-60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50%
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang
retensi urine, dan epididimo-orkitis11.
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat
pada HIFU berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi
dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan
ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data
klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 5060% dan

35

Qmax rata-rata meningkat 4050%. Efek lebih lanjut dari HIFU


belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi

terjadi sebanyak 10% setiap tahun11.


Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di
antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum
sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent
dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer
dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap
dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan
dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa
mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan
disuria11.

Pengawasan Berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful
waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui
hasil terapi serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan
pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya
kegagalan dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS,
uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang
menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemerik-saan kultur urine untuk
melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu11.

36

Anda mungkin juga menyukai