Materi BPH
Materi BPH
kelenjar.
Lobus medius adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak diantara uretra
dan ductus ejakulatorius, bagian atas lobus medius berhubungan dengan
Zona perifer yakni merupakan 70% dari volume prostat dan mengelilingi
distal uretra, 70-80% kanker prostat berasal dari zona ini
Zona central merupakan 25% dari volume prostat dan mengelilingi ductus
ejakulatorius
Zona transisi merupakan 5% dari volume prostat dan mengelilingi
proximal uretra, kelenjar pada zona ini tumbuh seumur hidup dan benign
2006).
Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar
prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika,
dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel
toraks dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid28.
Fungsi kelenjar prostat yaitu mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan
sekresi vagina yang asam, karena sperma lebih dapat bertahan dalam suasana
yang sedikit basa. Selain itu prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan
dan fibrinolisis. Enzim-enzim pembekuan prostat bekerja untuk membekukan
semen sehingga sperma yang diejakulasi tetap bertahan di saluran reproduksi
wanita, segera setelah itu bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisis sehingga
sperma dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita28.
Saat otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi maka sekret yang
berasal dari banyak kelenjar masuk ke uretra pars prostatica. Jika terjadi
pembesaran pada prostat maka akan menyumbat uretra sehingga terjadi obstruksi
pada saluran kemih28.
Dihidrotestosteron (DHT) yang dibentuk dari testosteron di sel sertoli dan di
beberapa organ memiliki peranan dalam pertumbuhan prostat dan merangsang
aktivitas sekretorik prostat. Prostat juga dipengaruhi oleh hormon androgen,
bagian yang sensitif terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang
sensitif terhadap estrogen adalah bagian sentral. Karena itu pada orang tua bagian
sentral-lah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang
berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut28.
Arteri prostat berasal dari arteri vesica inferior, arteri pudendalis interna, arteri
hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada bagian infero-lateral
persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau didiatermi pada waktu
operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan kedalam pleksus vena
periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan
ke vena illiaca interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presacral.
Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastasis karsinoma prostat secara
hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis9.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan vesica urinaria bagian
inferior yaitu pleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph dari prostat
dialirkan kedalam lymph nodus illiaca interna (hypogastrica), sacral, vesical, dan
illiaca eksterna9. Innervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostaticus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4
dan simpatik dari nervus hipogastricus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti saat
ejakulasi. Sistem simpatik memberikan innervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat dan leher kandung kemih. Di tempat itu banyak reseptor adrenergik-a.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat
C. ETIOLOGI
Saat ini penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar Dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai pernyebab timbulnya hiperplasia prostat yakni:
1. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada merangsang
terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar20.
3. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor).
Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi
sel stroma itu sendiri yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel epitel
maupun stroma20.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostasis
kelenjar prostat. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat.
Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian
sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat20.
5. Teori stem cell
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun akan
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel20.
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
1. Kadar Hormon
androgen.
dihidrotestosteron
dan
Hormon
tersebut
androstenesdion.
mencakup
Testosteron
testosteron,
sebagian
besar
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe
bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang
membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban
di perut inilah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-lama organ
seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga
akan mengganggu kinerja testis2.
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap
pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen
dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada
laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen. Salah satu cara
pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh adalah teknik indirekm
diantaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass Index (BMI) dan Waist
to hip ratio (WHR)2.
6. Pola Diet
Kekuarangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh
pada fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena
defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya
berakibat penurunan kadar testosteron. Selain itu makanan tinggi lemak dan
rendah serat juga membuat penurunan kadar testosteron. Walaupun kolesterol
merupakan bahan dasar untuk sintesis zat pregnolone yang merupakan bahan
baku
DHEA
(dehidroepian-androsteron)
yang
dapat
memproduksi
10
11
miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga
kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih
sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis20.
Gejala dan tanda ini dievaluasi menggunakan International Prostate Symptom
Score (IPSS) untuk menentukan beratnya keluhan klinis. Analisis gejala ini
terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 yang
memiliki nilai maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh sebagai berikut :
Skor 0-7 : bergejala ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat
Dalam 1 bulan
terakhir
1.Seberapa sering anda
merasa masih ada
sisa selesai kencing?
2.Seberapa sering Anda
harus kembali
kencing dalam
waktu kurang dari 2
jam setelah selesai
kencing?
3.Seberapa sering Anda
mendapatkan bahwa
Anda
kencing terputus-putus?
4.Seberapa sering
pancaran kencing
Anda lemah?
5.Seberapa sering
pancaran kencing
Anda lemah?
6.
Seberapa sering
Anda harus
mengejan untuk
mulai kencing?
Tidak
perna
h
Kurang dari
sekali dalam
lima kali
Kurang
dari
setengah
Lebih dari
setengah
Hampir
selalu
Kadangkadang
(sekitar
50%)
3
12
Skor
Senan
g
Pada
umumnya
puas
Campuran
antara puas
dan tidak
Pada
umumnya
tidak puas
Tidak
bahagia
Buruk
sekali
Seandainya
Anda
harus menghabiskan
sisa hidup dengan
fungsi kencing
seperti
saat
ini,
bagaimana
perasaan
Anda?
F. GAMBARAN KLINIS
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimptomattik baru terjadi kalau
neoplasma telah menekan lumen uretra prostatika, uretra menjadi panjang,
sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler
ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang
lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit,
karena dapat ditoleransi dengan baik9.
Derajat penderita BPH dibagi berdasar gambaran klinis yakni :
Derajat I ; Colok dubur, penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan
13
(terminal dribbling).
Gejala iritatif meliputi frekuensi kencing yang tidak normal (polakisuria),
terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia), sulit
menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria),
14
mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan
mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini
berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala
ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5
dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan
diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:
16
Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan
fungsi neuromuskuler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE
diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral3.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu kandung kemih atau penyakit lain yang menimbulkan
keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma kandung kemih in situ atau
striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya
kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan
adanya karsinoma kandung kemih perlu dilakukan pemeriksaan sitologi
urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan
kateter.
b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat
BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih
sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan
mortalitasmenjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa
ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvicalis 0,8% jika kadar
kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar
kreatinin serum. Oleh karena itu, pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigen)
17
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ spesifik tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi
kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan
volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju
adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia
adalah:
40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun :0-3,5 ng/ml
60-69 tahun :0-4,5 ng/ml
70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area), perlu
dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi
dengan volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0,15 perlu dilakukan biopsi
prostat. Bila nilai PSAD < 0,15 tidak perlu dilakukan biopsi prostat.
Nilai PSA > 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat. Di
Indonesia, di mana rata-rata nilai PSA pada penderita BPH 12,9-24,6
ng/ml, nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30
ng/ml. Untuk nilai PSAD > 0.20 baru perlu dilakukan biopsi prostat. Di
Taiwan diperoleh angka nilai daerah kelabu 4,1-20,0 ng/ml dengan nilai
25 PSAD > 0,20 baru dilakukan biopsi.
18
19
bagi
pasien,
dapat
menimbulkan
cedera
uretra,
21
22
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup. Terapi
yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihannya adalah mulai terapi (watchful waiting), medikamentosa dan terapi
intervensi. Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate
(TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH11.
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan
tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa
guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala
dengan skor sedang (IPSS 8-19)24. Pasien dengan keluhan sedang hingga
berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan
23
influenza
yang
mengandung
fenilpropanolamin,
(4) kurangi makanan pedas dan asin,
(5) jangan menahan kencing terlalu lama11.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju
pancaran urine, maupun volume residual urine 11. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin erlu difikirkan untuk
memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila mencapai tahap
tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu,
apalagi
membahayakan
kesehatannya,
direkomendasikan
pemberian
24
gejala
BPH
menurunkan
keluhan
BPH
yang
gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax
hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudan
dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti
terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6-12
bulan11.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reductase, golongan antagonis
adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan
pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antgonis
adrenergik- tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta
memperhatikan kadar PSA, lain halnya dengan sebelum pemberian
inhibitor 5- reductase.
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang
hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda.
Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi
postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada
mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan
hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh dizziness setelah
pemberian dosazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian
tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural
terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan
26
volume
prostat,
meningkatkan
pancaran
urine,
27
growth
factor
(EGF),
mengacaukan
metabolisme
yakni
mengangkat
bagian
kelenjar
prostat
yang
28
melalui
pendekatan
transvesikal
yang
mula-mula
29
30
31
Prosedur TURP
33
34
panas
energi
sampai
dari
frekuensi
mencapai
1000
radio
C,
yang
sehingga
yang
dihubungkan
dengan
generator
yang
dapat
35
Pengawasan Berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful
waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui
hasil terapi serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan
pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya
kegagalan dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS,
uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang
menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemerik-saan kultur urine untuk
melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu11.
36