Anda di halaman 1dari 76

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penelitian ini bertolak dari fenomena seni pertunjukan ludruk di daerah Jawa
Timur bagian timur yang mencakup kabupaten Jember dan Lumajang yang
mengalami proses stagnasi yang cukup serius. Stagnasi tersebut ditunjukkan dengan
belum adanya strategi pengembangan yang signifikan untuk eksis dan dinamisnya
pertunjukan ludruk sebagai bagian seni tradisi yang merefleksikan dinamika
lokalitas.
Sebagai refleksi dinamika lokalitas, seni pertunjukan ludruk menjadi menarik
dicermati sebagai upaya untuk memahami karakteristik

dinamika lokalitas itu.

Karakteristik itu pula yang menjadi kekuatan pertunjukan ludruk dalam suatu daerah,
membedakan dengan pertunjukan ludruk di daerah yang lain. Pertunjukan ludruk di
daerah Jember dan Lumajang mampu menunjukkan perbedaan itu dengan
pertunjukkan ludruk di daerah Malang atau di daerah dalam komunitas arek yang
lain mencakup Jombang, Mojokerto, dan Surabaya misalnya.
Strategi pengembangan pertunjukan ludruk dalam konteks demikian, dapat
dimulai dari titik tolak yang didasarkan atas karakteristik yang dimiliki tersebut.
Karakteristik itu pula menjadi kekuatan untuk eksis dalam kompetisi yang begitu
kuat dengan bentuk pertunjukan-pertunjukan lain, yang lebih bersifat pop, misalnya

sinetron dan film misalnya. Pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur
dengan demikian menjadi sesuatu yang unik dan dapat dikomodifikasikan, tanpa
mengurangi substansi dari pertunjukan ludruk itu sendiri. Sudikan (2002:6)
mengemukakan bahwa tuntutan zaman menghendaki seni pertunjukkan ludruk selalu
mengalami perubahan (transformasi) baik dalam struktur pementasan, cerita yang
dibawakan, akting, iringan musik, pencahayaan dan lain-lain. Tuntutan zaman ini
sekaligus menjadi tuntutan pasar agar seni tradisi pertunjukan ludruk tersebut dapat
dikomodifikasikan dengan baik.
Komodifikasi itu sendiri menjadi langkah yang strategis untuk menjaga
eksistensi dan kelangsungan pertunjukan ludruk tidak hanya dinikmati oleh anggota
kolektifnya. Lebih jauh, pertunjukan ludruk itu dapat dinikmati dan diminati oleh
banyak orang diluar anggota kolektifnya. Artinya, bahwa pertunjukan ludruk itu
tidak dapat menghindari pasar dan oleh karena itu harus masuk dalam hukum pasar.
Komodifikasi dalam hal ini adalah salah satu strategi untuk masuk pada wilayah
pasar itu. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baiktermasuk dalam hal
ini seni tradisi ludruk--berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang
menjadi

komoditas

itu

sendiri

maupun

para

pihak-pihak

yang

terkait

(Kembudpar,2005:1).
Salah satu bentuk komodifikasi dan komersialisasi yang dapat dilakukan
adalah membangun strategi pengembangan ludruk menjadi salah satu kekuatan
wisata budaya berbasis seni tradisi. Pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian

timur memiliki kekuatan itu. Pertama, pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur
bagian timur tergolong memiliki karakteristik sendiri dan karenanya menjadi sesuatu
yang unik. Keunikan itu dapat dilihat dari aktor/aktrisnya, bahasa yang digunakan,
berikut masyarakat pendukungnya. Kedua, Daerah Jember dan Lumajang termasuk
perlintasan wisata Yogya, Malang, Surabaya, dan Bali; sehingga dalam konteks
wisata

budaya,

Jember

dan

Lumajang

dapat

menjadi

destinasi

transit

(Poerwanto,dkk, 2009:6).
Pengembangan wisata budaya berbasis seni tradisi dalam konteks demikian
memiliki posisi tawar tersendiri dibanding dengan pilihan-pilihan wisata yang lain,
misalnya yang berbasis kewilayahan. Bahkan, lebih strategis jika pengembangan
wisata budaya berbasis seni tradisi tersebut mampu diintegrasikan dengan
pengembangan wisata yang berbasis kewilayahan. Peningkatan posisi tawar dan
daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan
masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi,
posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni
tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang lebih menurut mereka lebih
baik dan menangkal upaya eksploitasi oleh pihak-pihak yang kurang memiliki
kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni
tradisi memiliki kekuatan untuk mendidik para pembeli atau para konsumennya
dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi (Kembudpar, 2005:4-5).

Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penting untuk dikembangkan sebuah


strategi wisata budaya berbasis seni tradisi. Pertunjukan ludruk sebagai bagian dari
seni tradisi dapat menjadi kekuatan (baca: tawaran) tersendiri khususnya di daerah
Jawa Timur bagian timur, khususnya Jember dan Lumajang.

1.2 Perumusan Masalah


Perumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah karakteristik pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian
timur? Rumusan masalah ini diarahkan untuk menjelaskan: pertama, manajemen
pertunjukan; kedua, aktor dan aktris yang bermian dalam pentas pertunjukan
ludruk; ketiga, spesifikasi lakon dan bahasa yang digunakan; dan keempat,
karakteristik masyarakat pendukungnya.
2) Bagaimanakah strategi adaptasi pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian
timur? Rumusan masalah ini diarahkan untuk menjelaskan strategi adaptasi yang
dilakukan oleh manajemen ludruk untuk menghadapi perkembangan dan
kompetisi pasar yang kompleks, yang mancakup teknologi multimedia dan
bentuk-bentuk pertunjukan yang lain, misalnya maraknya konser band, dangdut,
dan lain-lain.
3) Bagaimanakah strategi pengembangan pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur
bagian timur untuk wisata budaya berbasis seni tradisi? Rumusan masalah ini
diarahkan untuk menjelaskan strategi pengembangan pertunjukan ludruk sebagai

wisata budaya berbasis seni tradisi, yang mencakup aspek kebijakan, strategi
permodalan, manajemen pengembangan, dan strategi menghadapi pasar wisata.

1.3 Urgensi Penelitian


Urgensi penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Urgensi Umum
Urgensi umum penelitian ini ialah mampu menjadi alternatif model
pengembangan wisata budaya berbasis seni tradisi. Hal tersebut diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif dan variatif bagi pilihan wisata budaya di nusantara.
1.3.2 Urgensi Khusus
Urgensi khusus penelitian ini ada dua tahap. Pada tahap pertama,
penelitian ini menghasilakan temuan-temuan spesifik terkait dengan karakteristik
dan strategi adaptasi pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur. Pada
tahap kedua, penelitian ini menghasilkan strategi pengembangan
ludruk sebagai wisata budaya berbasis seni tradisi.

pertunjukan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Sebelumnya yang Relevan


Seni pertunjukan ludruk di Jawa Timur termasuk seni yang khas. Sebagai
produk budaya lokal yang khas, seni tradisi ludruk menarik perhatian banyak
kalangan peneliti. Berikut ini dideskripsikan kajian ludruk yang dilakukan
sebelumnya.
Pertama, Peacock (1968) melakukan kajian seni pertunjukan ludruk di
Surabaya. Objek yang diteliti ialah grup ludruk Enggal Tresna, Trisna Enggal
dan Ludruk Marhen. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi yang
dilakukan dalam situasi konflik ideologis antara ideologi komunis dan nasionalis
pada zamannya. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya kecenderungankecenderungan modernisasi yang dikembangkan dalam ludruk. Kecenderungan yang
dimaksudkan antara lain; spesialisasi unit sosial, meluasnya unit sosial, meluasnya
etik universal, meluasnya pasar, sentralisasi, birokratisasi, meningkatnya idealisasi
keluarga kecil yang multilinier, dan penekanan pada rasionalitas, spesifikasi
fungsional, dan universalisme dari relasi-relasi sosial dalam tubuh organisasi ludruk.
Kedua, Supriyanto (1984) meneliti Lakon-Lakon Ludruk di Malang.
Orientasi penelitian termasuk penelitian sastra lisan. Penelitian ini melalui
pendekatan analisis fungsi cerita rakyat dalam kelisanan kedua (lisan dalam seni
7

pertunjukan). Hasil penelitian ini adalah ditemukannya beberapa lakon ludruk khas
gaya Malangan.
Ketiga, Ahmadi dan kawan-kawan (1984/1985), melakukan penelitian nilainilai sastra rakyat pada seni pertunjukan ludruk. Penelitian ini berjudul Aspek
kesusastraan dalam seni Ludruk Jawa Timur. Penelitian ini mengutamakan analisis
kesusastraan dan tembang/kidung jula-juli ludruk dan aspek sastra lisan pada
kelisanan kedua. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa tembang/kidung julajuli merupakan genre tersendiri dalam sastra-puisi, sehingga memerlukan kajian
yang memadai.
Keempat, Hefner (1994), melakukan penelitian seni pertunjukan ludruk di
Jawa Timur dengan fokus seni pertunjukan ludruk di wilayah Madura. Hasil
penelitiannya berjudul Ludruk Fokl Theatre of East Java: To wards A Theory of
Symbolic Action (A Dissertation Submitted To The Graduate Division of the
University of Hawai In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of
Doctor of Philosophy In Anthropology). Penelitian ini berada dalam lingkup
antropologi.

Dalam

penelitian

ini

ditemukan

kekhasan

simbol-simbol

perbuatan/gerak atau simbol tindakan pada komunitas sandiwara ludruk. Simbolsimbol perbuatan/gerak atau tindakan tersebut membedakan dengan komunitas seni
tradisi yang lain.
Kelima, Kasemin (1999), melakukan penelitian ludruk dari aspek fungsi
komunikasi. Laporan berjudul Ludruk Sebagai Teater Sosial . Penelitian ini

merupakan kajian kritis terhadap kehidupan peran dan fungsi ludruk sebagai media
komunikasi. Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan aspek komunikasi yang
dilakukan dalam dunia seni peran dan ludruk sebagai media komunikasi sosial. Hasil
dari penelitian ini menyebutkan bahwa ludruk mampu menjadi media komunikasi
yang efektif, untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat; baik itu berupa unsurunsur kritik maupun unsur-unsur propaganda yang teradapat dalam ludruk.
Keenam, Maryeni (2002), meneliti tentang kebahasaan (sosiolinguistik)
ludruk Bahasa Jawa dalam Ludruk Jawa Timur. Penelitian ini difokuskan pada
cerita Sawunggaling serta ragam bahasa yang difungsikan di komunitas sandiwara
ludruk. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan oleh
berbagai kelompok ludruk di Jawa Timur menggunakan bahasa Jawa, Madura, dan
bahasa Indonesia. Juga ada beberapa di antaranya yang menggunakan bahasa Cina
dan bahasa Belanda tiruan.
Ketujuh, Andy Yunus Firmansyah (2002), yang melakukan penelitian lakon
ludruk Sawonggaling di Surabaya, dengan fokus kajian struktur pertunjukan, fungsi,
makna, tipe indeks dan motif indeks. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa lakon
ludruk Sawonggaling di Surabaya dari aspek struktur pertunjukan, fungsi, dan
makna, masih menunjukkan ketidakperbedaan dengan ciri khas yang dimiliki ludruk
Surabaya pada umumnya. Secara lebih khusus, lakon Sawonggaling dapat diletakkan
sebagai lakon yang menuturkan cerita kepahlawanan lokal. Dari aspek fungsi, lakon
ludruk sawonggaling dapat berfungsi untuk membangkitkan semangat nasionalisme.

Kedelapan, Hermin Titisnowati (2004), yang melakukan penelitian terhadap


lakon Jaka Sambang ludruk Karya Budaya Mojokerto. Hermin Titisnowati
melakukan kajian

struktur pementasan, struktur cerita, dan fungsi sosial bagi

masyarakatnya. Dalam penelitiannya ditemukan: pertama, di tingkat struktur


pementasan ditemukan suatu model pementasan, khususnya pada pergantian babak,
yang secara teknis tidak harus ditandai dengan tata pentas/pergantian layar; kedua,
ditemukan juga bahwa sastra lisan yang terdapat dalam ludruk mempunyai system
formulaik yang menyerupai puisi pada umumnya; ketiga, di tingkat fungsi, ludruk
mampu menjadi media sponsor, sebagai alat komunikasi, sebagai media pesan
pembangunan dan sebagai penyubur semangat nasionalisme.
Keenam, Henricus Supriyanto (2006) melakukan penelitian terhadap lakon
Sarip Tambakyasa dalam Pertunjukan Ludruk. Penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis wacana poskolonial yang konvergensi dengan teori resepsi.
Suatu penelitian yang bersifat interdisipliner untuk mendapatkan daya analisis yang
memadai. Hasil temuan dari penelitian ini dikemukakan bahwa terdapat aspirasi
nasionalisme yang berwujud perlawanan rakyat kecil. Selain itu, dikemukakan
bahwa seniman ludruk memahami nasionalisme sebagai persatuan rakyat miskin
yang dulunya satu riwayat kemudian ingin merdeka.
Ketujuh,

Akhmad

Taufiq

(2006)

melakukan

penelitian

tentang

Perlawanan Rakyat dalam ludruk lakon Sogol Pendekar Sumur Gemuling:


Interpretasi Teks dalam Tradisi Sastra Poskolonial. Dalam kajiannya, Taufiq

10

mengemukakan bahwa terdapat berbagai macam bentuk perlawanan rakyat, baik


perlawanan fisik maupun simbolik. Perlawanan fisik dimanifestasikan dalam bentuk
adegan kekerasan yang dapat menimbulkan korban atas tubuh manusia, sementara
perlawanan simbolik dimanifestasikan dalam bentuk simbol-simbol kebahasaan,
termasuk di dalamnya nilai-nilai ideologis yang dijadikan spirit untuk melakukan
perlawanan.
Kedelapan, Akhmad Taufiq (2007) melakukan kajian yang diberi
judulLudruk: Antara Tragedi dan Modernisasi. Dalam kajiannya, Taufiq
mengemukakan bahwa ludruk di tengah adaptasinya terhadap zaman tidak jarang
harus melakukan modernisasi. Modernisasi itu terletak pada sistem manajemen
organisasi, keaktoran, dan strateginya menghadapi pasar. Oleh karena itu, upaya ini
perlu dilakukan dengan cukup sistematis dan hati-hati, jika tidak ingin terjadi yang
sebaliknya. Yakni, terjadinya tragedi terkait dengan eksistensi grup ludruk.
Kesembilan, Akhmad Taufiq (2008) melakukan kajian yang diberi judul
Ludruk Hadapi Masalah Regenerasi. Dalam kajiannya, Taufiq mengemukakan
bahwa ludruk sebagai bagian seni tradisi, sampai saat ini masih mengalami krisis
generasi. Hal ini menunjukkan bahwa minat generasi muda di tengah mengguyurnya
budaya pop dapat menggerus dan mengurangi minat secara signifikan. Oleh karena
itu, perlu upaya untuk merevitalisasi seni tradisi ludruk melalui pewarisan tradisi
pertunjukan pada generasi muda, baik dalam grup-grup ludruk itu sendiri, maupun
upaya untuk memasukkannya dalam ekstrakurikuler di sekolah.

11

Kesepuluh, Akhmad Taufiq (2011) melakukan kajian yang diberi judul


Apresiasi Drama: Refleksi Kekuasaan dalam Teks Drama Tradisional Ludruk.
Dalam kajiannya, Taufiq mengemukakan bahwa fenomena kekuasaan banyak
dijumpai dalam teks naratif drama tradisonal ludruk. Fenomena kekuasaan itu
idealnya mampu direfleksikan secara lebih memadai, sehingga mampu membangun
perspektif yang benar tentang kekuasaan yang seringkali dalam praktiknya banyak
disimpangkan. Ludruk sebagai media seni tradisi yang di dalamnya memuat
khasanah teks naratif tentang kekuasaan mampu dijadikan media untuk melakukan
refleksi kekuasaan tersebut.
Berdasarkan kajian sebelumnya yang relevan tersebut, penelitian ini menjadi
layak

untuk

dilakukan

dalam

rangka

membuka

peluang-peluang

untuk

pengembangan pertunjukan ludruk sebagai seni tradisi, khususnya di daerah Jawa


Timur bagian timur.

2.2 Kajian Ludruk sebagai Seni Pertunjukan


2.2.1

Ludruk sebagai Teater


Sebagai produk budaya lokal, ludruk merupakan seni pertunjukan yang khas

bagi rakyat Jawa Timur. Sebagai produk budaya lokal, yang khas, maka ludruk
mempunyai

yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain. Sedyawati

(dalam Supriyanto, 1992:23-24) menyatakan bahwa ludruk sebagai teater tradisional,


memiliki ciri khas antara lain: (1) pertunjukan ludruk dilakukan secara

12

improvisatoris, tanpa persiapan naskah; (2) memiliki tradisi: (a) terdapat pemeran
wanita yang diperankan laki-laki; (b) teradapat tembang khas, yakni kidungan julajuli; (c) iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan
pelog; (d) pertunjukan dibuka dengan tari ngremo; (e) terdapat adegan bedayan; (f)
terdapat sajian/adegan lawak/dagelan; (g) terdapat selingan travesti; (h) lakon
diambil dari cerita rakyat; (I) terdapat ciri kidungan, baik kidungan tari ngremo,
kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan.
Senada dengan pendapat tersebut, Peacock (1968), mengemukakan ciri
ludruk sebagai berikut: (1) lakon yang dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan
rakyat sehari-hari; (2) diiringi musik gamelan dengan tembang khas jula-juli; (3) tata
busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari; (4) bahasa disesuaikan dengan
lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa Jawa atau Madura; (5) kidungan terdiri
atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari; (6) tampilan dikemas
secara sederhana, akrab dengan penonton.
Selain ciri-ciri tersebut, ludruk mempunyai struktur pementasan yang tidak
kalah menarik untuk diamati. Kasemin (1999:19-20) menyatakan bahwa struktur
pementasan ludruk dari zaman awal kemerdekaan sampai sekarang tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Artinya, struktur pementasan dari awal terciptanya seni
ludruk hingga saat ini masih diikuti oleh generasi-generasi penerusnya. Lebih jelas
struktur pementasan ludruk tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pembukaan, diisi dengan atraksi tari ngrema.

13

2) Atraksi bedhayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan


sambil melantunkan kidungan jula-juli.
3) Adegan lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu
kidungan disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan
materi humor yang lucu.
4) Penyajian lakon atau cerita. Bagian ini merupakan inti dari pementasan. Biasanya
dibagi beberapa babak dan setiap babak dibagi beberapa adegan. Di sela-sela
bagian ini biasanya diisi atraksi selingan yang berupa tampilan seorang travesti
dengan menyajikan satu tembang jula-juli.
Selanjutnya maksimalisasi dan baiknya mutu pertunjukkan akan semakin
membantu ludruk sebagai teater hiburan diterima oleh masyarakat. Sembari tetap
mempertimbangkan perkembangan zaman dan fungsinya sebagai teater sosial yang
harus peka denagan tema-tema kerakyatan. Oleh karena itu, corak penggarapan pada
proases pementasan harus disesuaikan dengan selera atau kehendak dan
perkembangan masyarakat (Kasemin, 1995:5).
Dalam konteks tersebut, membicarakan masalah penggarapan membutuhkan
perhatian serius. Supriyanto (dalam Sudikan, 2002: 3) menyodorkan tiga model
penggarapan ludruk yakni: pertama, model garapan dengan memperhatikan ciri khas
ludruk; kedua, model garapan dengan pengembangan dan pembaruan, ciri khas tetap,
tetapi ada upaya pembaruan tata panggung, tata kostum, dan pemilahan garapan
lakon; ketiga, pentingnya ludruk eksperimen atau ludruk alternatif.

14

Penggarapan seperti ini berguna untuk menyukseskan suatu pertunjukan.


Aspek pembaruan merupakan upaya untuk memodernisasi ludruk supaya tidak
lekang oleh zaman tanpa harus kehilangan rohnya sebagai seni rakyat dan seni
tradisional, yang tetap menyuarakan hal-hal yang bersifat kerakyatan.
Selanjutnya, kesuksesan pertunjukan ludruk juga dilihat dari tiga hal penting.
Seperti yang dikemukakan Retno Maruti (dalam Sutarto, 2002:5) yang menyatakan
bahwa pertunjukkan yang sukses dapat dilihat dari tiga hal, antara lain: pertama,
prinsip apik kanggo awake dhewe, bagus untuk diri sendiri; kedua, prinsip apik
kanggo wong liyo, bagus untuk orang lain, dan; ketiga, prinsip apik ing apik, bagus
dari mutu pertunjukan. Pertunjukan ludruk yang tidak bagus, hanya akan menguras
stamina, waktu, dan tidak terkecuali adalah dana. Untuk itu, ketiga hal tersebut,
dapat menjadi prinsip dan pegangan bagi pelaku seni tradisional ludruk.

2.2.2

Sastra dalam Ludruk


Khasanah sastra yang terdapat dalam pertunjukan ludruk menjadi satu

dimensi yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertunjukan
ludruk tidak hanya aspek teatrikalnya saja yang dapat untuk dieksplorasi dan
dikomodifikasi. Muatan sastra yang terkandung dalam pertunjukan ludruk juga
menjadi daya tarik tersendiri untuk dieksplorasi dan dikomodifikasi. Muatan sastra
itu baik yang termasuk genre puisi maupun prosa/drama. Genre puisi misalnya
kidungan dan yang termasuk prosa/drama adalah lakon atau cerita ludruk. Kedua

15

bentuk sastra tersebut menjadi daya tawar tersendiri dalam proses komodifikasi
budaya yang tetap mempertimbangkan keestetisan seni pertunjukan.
Drama termasuk juga ludruk, merupakan karya sastra yang harus
memperhatikan keestetisan tersebut. Hutomo (1991:101) mengatakan bahwa naskah
dramatermasuk di dalamnya ludrukjuga merupakan salah satu bentuk karya
sastra, di samping novel, roman, cerpen, dan puisi. Pendapat seperti ini senada
dengan yang dikemukakan oleh Brahim (1968:151) yang menyatakan bahwa
teradapat jalinan yang erat antara drama dengan sastra, terutama dari segi ceritanya.
Sehubungan dengan

dengan pendapat tersebut, Supriyanto (1992:86)

menjelaskan bahwa cerita ludruk mengenal struktur umum yang terdiri atas
introduksi/eksposisi (inciting force: exposition; introduction), pemuncakan (ricing
action), klimaks (turning point; crisis or climax), penurunan klimaks (falling action
or return) dan penyelesaian (catatrophe).
Lebih lanjut, menurut Supriyanto (1992:86), bahwa pengkajian sastra dalam
cerita ludruk dibatasi pada masalah tema, plot, penokohan / karakterisasi, pemilihan
bahasa dan efek yang hendak dicapainya. Pendapat ini sekaligus dapat menjadi
pijakan pada proses penelitian ludruk yang akan dilakukan. Dengan suatu pemikiran
bahwa penafsiran terhadap ludruk sebagai drama merupakan penafsiran kedua. Sang
sutradara dan para pemain menfsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan
versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain (Luxemburg, 1989:158).

16

Hal tersebut sekaligus mengingatkan bagi peneliti, bahwa yang diteliti adalah
apa yang diperankan dan disampaikan oleh para pemain dalam pementasan ludruk
tersebut. Mengingat bahwa sastra yang terdapat dalam pertunjukan atau pementasan
ludruk merupakan sastra kelisanan kedua. Penonton sebagai bagian dari anggota
kolektif penting untuk memahami eksplorasi pertunjukan dan nuansa sastra yang
terdapat di dalmnya.

2.3 Wisata Budaya Berbasis Seni Tradisi


Dunia pariwisata, seperti yang dikemukakan Suwandi (2009:1) akhir-akhir
ini mengalami paradigma baru yakni adanya pergeseran dari model pariwisata
kolektif (masal) ke model pariwisata minat khusus. Walaupun sebenarnya untuk
pariwisata kolektif masih tetap ada dan diminati, namun pariwisata model minat
khusus jauh berkembang dengan pesat. Para pelancong sudah sering memanfaatkan
objek-objek wisata khusus seperti objek wisata budaya, objek wisata alam, objek
wisata agrobisnis, objek wisata desa, objek wisata kuliner, dan masih banyak lagi
warna lainnya. Begitu pula objek-objek wisata minat khusus terus bermunculan di
berbagai penjuru di wilayah.
Pergeseran paradigma tersebut jelas memberikan peluang untuk tumbuhnya
wisata alternatif yang dapat menjadi pilihan. Wisata budaya berbasis seni tradisi
dalam konteks ini menjadi salah satu wisata alternatif itu uang dapat menjadi pilihan,
sekaligus untuk dikembangkan. Seni tradisi pada umunya dapat berwujud sebagai (1)

17

seni tradisi ritual untuk upacara-upacara keagamaan dan adat, dan(2) seni tradisi
yang dikemas khusus untuk dinikmati masyarakat luas maupun wisatawan (arts for
mart) (Permas et.al, 2003).
Pertunjukan ludruk sebagai bagian dari seni tradisi dapat dikemas untuk
dinikmati masyarakat luas, termasuk wisatawan dalam hal ini; baik itu wisatawan
domestik, maupun wisatawan manca negara. Pertunjukan ludruk sebagai seni tradisi
yang berkembang di daerah Jawa Timur bagian timur dapat menempati posisi ini.
Artinya, wisatawan-wisatawan itu dapat memberikan pilihan pertunjukan ludruk
sebagai salah satu pilihannya. Hal tersebut tentunya perlu eksplorasi, modifikasi dan
sentuhan-sentuhan yang berbau pasar wisata. Misalnya, aspek kemudahan
infrastruktur dan penyelenggaraan event-event yang bersifat monumental.
Hal tersebut pada tingkat jangka panjang akan menjadi kekuatan
pemberdayaan budaya dan ekonomi lokal yang ada. Inilah yang disebut sebagai
pemberdayaan masyarakat berkearifan lokal melalui industri kreatif pariwisata
budaya (Susanti, 2009:6). Seni tradisi menjadi salah satu ujung tombak di dalamnya.
Pemikiran tersebut dapat berjalan jika semua pihak yang terkait dengan seni
tradisi itu mau membuka diri untuk melihat secara objektif posisi seni tradisi itu
sendiri, sehingga hal ini bersifat realis dan segera dapat dilakukan perubahan
kebijakan. Faktanya, jika dilihat dari posisi tawarnya, masyarakat seni tradisi relatif
lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya (Kembudpar:2005).
Hal ini disebabkan beberapa faktor yakni:

18

1) Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan
kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni
tradisi;
2) Jumlah seniman atau organisasi seni tradisi banyak dan satu sama lain saling
bersaing secara frontal (kurang bersatu dan kurang kompak), bahkan sering
bersaing dengan cara banting harga;
3) Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi seni tradisi pada
umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit
sekali ditiru seniman lain;
4) Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa
mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka;
5) Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai seni tradisi di suatu wilayah
maupun tentang pasar wisata budaya;
6) Seniman seni tradisi sangat kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri
pariwisata budaya.
Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan
daya saing bagi masyarakat seni tradisi dalam industri pariwisata budaya antara lain:
1) Mengembangkan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan
selera setiap segmen pasar yang dilayani;
2) Secara kontinyu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan
fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi;

19

3) Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan


secara customized;
4) Melakukan integrasi ke hilir, yakni menjadi produser atau event organizer;
5) Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli,
pemasok, atau produk substitusi.
Pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata budaya berbasis seni tradisi
penting juga mempertimbangkan point-point tersebut, agar ke depan pemikiran
terkait dengan wisata budaya berbasis seni tradisi tersebut betul-betul dapat berjalan
seimbang antara potensi budaya yang ada dengan potensi ekonomi yang akan
dikembangkan. Hal ini juga menjadi wacana alternatif tentang pemberdayaan
masyarakat yang berkearifan lokal dengan memperkuat basis industri wisata budaya.

2.4 Peta Penelitian /Roadmap Penelitian


Penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan terkait dengan penelitian seni
tradisi pertunjukan ludruk adalah fokus pada sejarah perkembangan ludruk di
Jember, lakon, dan pengamatan manajemen grup ludruk yang faktanya masih
bersifat tradisional. Penelitian seperti ini perlu ditindaklanjuti sehubungan dengan
adanya stagnasi bagi perkembangan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur.
Penelitian yang akan dilaksanakan ini akan difokuskan pada dua
permasalahan tersebut ditambah dengan karakteristik ludruk di daerah Jawa Timur
bagian timur sebagai potensi tradisi lokal yang layak untuk dikaji dan

20

dikembangkan. Oleh karena itu, upaya untuk membuat strategi pengembangan


ludruk dengan fokus pengembangan untuk wisata budaya berbasis seni tradisi sangat
dimungkinkan untuk dilakukan.
Ke depan, tindak lanjut pasca penelitian ini perlu dikembangkan pada
pengembangan untuk dimensi yang lain, sesuai dengan kebutuhan stakholder dan
dinamika kebudayaan di tingkat lokal. Misalnya, masuk pada wilayah kebijakan
kebudayaan di daerah yang diharapkan mampu memberikan legitimasi politis dan
yuridis yang terkait dengan advokasi, konservasi tradisi, fasilitasi, dan strategi
pengembangan ludruk sebagai bagian seni tradisi lokal.

Peta penelitian ini dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini


Gambar.3: Peta Penelitian

Kajian sejarah perkembangan


ludruk di Jember, lakon, dan
pengamatan manajemen grup
ludruk yang faktanya masih
bersifat tradisional

Strategi adaptasi ludruk di


daerah Jawa Timur bagian
timur yang berbasis
karakteristik tradisi lokal.
Strategi pengembangan
ludruk di daerah Jawa Timur
bagian timur yang berbasis
karakteristik tradisi lokal.

Kebijakan kebudayaan di
daerah yang terkait dengan
advokasi, konservasi tradisi,
fasilitasi, dan strategi
pengembangan ludruk sebagai
bagian seni tradisi lokal.

21

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut.
1) Merancang rumusan strategis pengembangan pertunjukan ludruk di daerah Jawa
Timur bagian timur untuk wisata budaya berbasis seni tradisi.
2) Menyusun pokok-pokok pikiran strategis untuk kebijakan pengembangan
kebudayaan khususnya dalam bidang seni tradisi ludruk. Selanjutnya, pokokpokok pikiran strategis tersebut dapat menjadi pijakan bagi pemerintah untuk
ditindaklanjuti secara real dalam konteks industri kreatif berbasis seni tradisi.
3) Menyusun semacam panduan strategis bagi kelompok-kelompok seni tradisi
ludruk agar mampu melakukan strategi adaptasi demi kalangsungan dan
eksistensi grup ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur.

3.2 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini:
1) Bagi pelaku seni tradisi ludruk di daerah Jember dan Lumajang serta di daerah
lain di Jawa Timur bagian timur (Probolinggo, Bondowoso, Situbondo,
Banyuwangi), hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagaimana
melakukan strategi adaptasi dan strategi pengembangan grup ludruk.

22

2) Bagi komunitas lokal (anggota kolektif), penelitian ini dapat memberikan


kontribusi terhadap bagaimana pengembangan ekonomi lokal berbasis seni
tradisi.
3) Bagi pengampu kebijakan, hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan bagi
perumusan kebijakan dibidang kebudayaan.
4) Bagi institusi akademik, hasil penelitian dapat menjadi bahan informasi akademik
yang terkait dengan pengembangan seni tradisi ludruk, khususnya dalam bidang
ilmu folklor dan apresiasi drama tradisional.

23

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian dan pengembangan.
Borg dan Gall (2003) mengemukakan bahwa penelitian dan pengembangan
(research and development) merupakan metode untuk mengembangkan dan
mengujicobakan

suatu produk.

Riset pengembangan tersebut dikolaborasikan

dengan rancangan penelitian yang bersifat deskriptif-kualititaf. Penelitian kualitatif


merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode
pendekatan kualitatif ini dipilih karena data dalam penelitian berupa kata, tindakan,
dan deskripsi kalimat-kalimat yang sesuai dengan objek penelitian (Moleoung:
2002).
Rancangan penelitian yang bersifat kolaboratif ini dilakukan untuk
mendeskripsikan fenomena pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur,
yakni di daerah Jember dan Lumajang. Hasil deskripsi ini kemudian diformulasikan
dalam konteks strategi pengembangan ludruk sebagai wisata budaya berbasis seni
tradisi.

23

24

4.2 Lokasi dan Objek Penelitian


Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Jember dan Lumajang, dengan objek
penelitian grup-grup ludruk di Jember dan Lumajang. Dua daerah tersebut dipilih
karena di daerah Jawa Timur bagian timur, Jember dan Lumajang termasuk daerah
yang grup-grup ludruknya banyak yang masih aktif. Grup-grup ludruk ini biasanya
masih aktif melaksanakan pertunjukan, baik dalam bentuk tanggapan-tanggapan
yang dilakukan masyarakat, maupun dalam bentuk arisan seni.

4.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulannya


Data-data yang akan menjadi objek deskripsi penelitian terdiri atas data-data
yang terkait dengan karakteristik ludruk sebagai seni tradisi, strategi adaptasi, dan
data-data yang terkait dengan strategi pengembangan untuk wisata budaya. Pertama,
data yang terkait dengan karakteristik ludruk itu antara lain mencakup; manajemen
pertunjukannya, aktor/aktris, bahasa dan lakon, serta penonton sebagai anggota
kolektif seni tradisi itu. Kedua, data strategi adaptasi itu terkait dengan cara-cara
yang dilakukan oleh pihak manajemen ludruk itu dalam menjaga eksistensi dan
langkah-langkah adaptifnya dalam menghadapi perkembangan teknologi multimedia
yang ada. Ketiga, data yang terkait dengan strategi pengembangan pertunjukan
ludruk sebagai wisata budaya berbasis seni tradisi, mencakup; aspek kebijakan,
strategi permodalan, manajemen pengembangan, dan strategi menghadapi pasar
wisata.

25

Data-data tersebut diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan


dengan pihak manajemen ludruk, aktor/aktris, pengampu kabijakan, pelaku pasar
wisata, dan masyarakat (baik sebagai anggota kolektifnya maupun di luar anggota
kolektifnya). Wawancara tersebut merupakan wawancara etnografis. Menurut
Spradley (1997:76) wawancara etnografis merupakan wawancara terlibat yang
dimaksudkan agar data yang diperoleh sesuai dengan situasi dan kondisi sosialbudaya yang ada. Data-data tersebut, selanjutnya dikumpulkan dan dibuat
kategorisasi dan kodefikasi. Proses kategorisasi dan kodefikasi tersebut selanjutnya
dimasukkan dalam tabel pemandu analisis data (tabulasi).

4.4 Analisis dan Prosedur Penelitian


Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis etnografis, yakni proses
analisis berdasarkan kondisi dan situasi sosial budaya masyarakat

yang diteliti.

Metode analisis ini dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan data dan analisis yang
dilakukan (Spradley,1997:118)
Selanjutnya, setelah data terkumpul terdapat langkah-langkah atau prosedur
analisis yang perlu dilakukan. Langkah-langkah tersebut meliputi: (1) membaca
secara seksama teks lisan hasil wawancara yang sudah terkumpul;(2) menyeleksi dan
menandai data yang ada dengan kode tertentu, agar memudahkan analisis;(3)
mengidentifikasi dan mengklarifikasi data sesuai dengan data yang dibutuhkan; (4)
menganalisis, mendeskripsikan, dan menginterpretasi data sesuai dengan format

26

rumusan masalah yang ada; (5) menyusun formulasi strategi pengembangan


pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur untuk wisata budaya berbasis
seni tradisi.

4.5 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data


Untuk memeriksa keabsahan data, Moleong (2002) mengemukakan perlunya
dilakukan triangulasi. Triangulasi tersebut dilakukan agar proses penelitian yang
dilakukan mendapatkan derajat keterpercayaan yang tinggi, sehingga penelitian itu
benar-benar dapat diakui kesahihannya.
Dalam penelitian ini, proses triangulasi yang dilakukan mencakup triangulasi
sumber data, teori dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan dinamika
masyarakat lokal-multikultural. Data yang telah terkumpul dan analisis yang telah
dilakukan perlu di cek lagi kebenarannya sehingga data tersebut benar-benar dapat
memenuhi derajat keterpercayaan tadi.

27

BAGAN ALIR PENELITIAN

28

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


Hasil penelitian terhadap fenomena ludruk Jawa Timur ini menunjukkan
sesuatu yang patut untuk dicermati secara akademis. Pertama, karakteristik
pertunjukkan ludruk di daerah Jawa Timur bagian Timur memiliki cirri khas
tersendiri yang membedakan dengan karakterisk ludruk yang berkembang di daerah
kulonan misalnya di daerah yang tercakup dalam komunitas arek (Jombang,
Surabaya, dan Mojokerto),

dan ludruk daerah Malang. Karakteristik yang

membedakan itu ditunjukkan dengan pemeranan oleh aktor/aktris, bahasa, dan lakon.
Adapun terkait dengan manajemen grup ludruk dan karakteristik masyarakat
pendukung masih tidak jauh berbeda dengan yang berkembang di daerah kulonan;
yakni, sama-sama masih bersifat tradisional. Kedua, sehubungan dengan adaptasi
menghadapi pasar pertunjukan, ludruk Jawa Timur di bagian timur, khususnya di
daerah Jember masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bila dilihat
dari pemanfaatan teknologi multimedia. Di sisi lain, proses adaptasi terhadap pasar
itu lebih dikembangkan dengan penyesuaian selera seni yang berkembang di
masyarakat, misalnya memasukkan seni campursari, karaokean, dan kendang
kempul/banyuwangian. Ketiga, belum terdapat proses kabijakan pemerintah lokal
yang secara khusus dapat mendukung pengembangan seni tradisi ludruk; baik itu

28

29

terwujud dalam pengembangan manajemen, aspek permodalan, maupun pada aspek


wisata budaya, kalau pun itu ada belum dapat dikatakan signifikan.

5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Pertunjukan Ludruk Jawa Timur Bagian Timur
Karakteristik pertunjukan ludruk Jawa Timur bagian timur mencakup;
karakteristik manajemen grup, aktor dan aktris, lakon, bahasa, dan masyarakat
pendukung sebagai pewaris pasif seni tradisi pertunjukan ludruk.
5.2.1.1 Karakteristik Manajemen Grup Ludruk
Manajemen grup ludruk di daerah Jawa Timur

bagian timur (wetanan)

khususnya di didaerah Jember bila diamati secara saksama dapat disebut masih
bersifat tradisional. Hal itu dapat ditelisik mulai dari proses penentuan pimpinan
(juragan), mekanisme pengambilan keputusan, penetapan aturan-aturan, rekrutmen
pemain, penentuan honorarium, perawatan/pemeliharaan peralatan pertunjukan,
sampai dengan proses pemasaran.
Proses penentuan pimpinan (juragan) misalnya ditentukan berdasarkan proses
pewarisan yang didasarkan pada garis keturunan keluarga. Fenomena demikian itu
dapat dilihat pada grup ludruk Setia Kawan dan ludruk Topeng Masa Baru.
Kedua grup ludruk tersebut terhitung sejak proses pendiriannya, pimpinan grup
ludruknya masih dipegang oleh keluarga, yakni keturunan atau orang yang semula

30

dari luar keluarga yang terikat menjadi keluarga pendiri grup ludruk itu dengan
sebab perkawinan dengan anaknya (menantu).
Proses penentuan pimpinan seperti ini memberikan setidaknya dua makna:
pertama, bahwa pimpinan ludruk itu merupakan pewaris dari seluruh tata nilai tradisi
pertunjukan yang hendak dan memiliki keharusan moral untuk diteruskan pada
generasi berikutnya. Kedua, pimpinan ludruk itu sekaligus sebagai orang atau pihak
yang berwenang dan bertanggung jawab atas asset pertunjukan, yang biasanya hak
kepemilikannya oleh keluarga karena proses pengadaannya juga karena usaha dari
keluarga. Oleh karena itu, dapat dipahami kalau pimpinan ludruk dalam konteks ini
disebut sebagai juragan.
Juragan-lah pemegang otoritas penuh atas proses pengaturan/sirkulasi
pertunjukan. Oleh karena itu, tidak jarang mereka menyebut para pemainnya sebagai
anak-anak sebagai pengganti dari sebutan anak buah. Otoritas demikian ini dapat
diterima oleh seluruh anggota grup ludruk. Semua urusan pertunjukan diserahkan
sepenuhnya kepada juragan; meskipun, tidak jarang juragan

itu melakukan

pendelegasian wewenang kepada wakilnya. Wakil juragan tersebut diangkat dari


keluarga terdekatnya juga, akan tetapi untuk urusan-urusan yang dipandang penting,
misalnya penetapan dan pemberian honorarium, penetapan aturan-aturan, sampai

31

pada pengadaan dan perawatan peralatan pertunjukan masih dipegang penuh oleh
juragan.1

5.2.1.2 Karakteristik Aktor dan Aktris


Karakteristik aktor dan aktris dalam pertunjukan ludruk di daerah Jember
menunjukkan ciri khas yang mencolok. Hal itu ditunjukkan dengan pemeranan tokoh
perempuan oleh aktor perempuan (aktris) dan pemeranan tokoh laki-laki oleh aktor
laki-laki. Fenomena tersebut tampak dalam pertunjukan ludruk Setia Kawan,
Topeng Masa Baru, Sumber Lancar dan ludruk Sumber Mawar.
Pemeranan tokoh perempuan oleh aktor perempuan dan tokoh laki-laki oleh
aktor laki-laki, menurut mereka, merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan
oleh setiap grup ludruk. Terdapat alasan yang melandasi, yakni kadar kepatutan
moral yang mestinya dianut oleh grup ludruk. Kadar kepatutan moral tersebut
memiliki daya kesesuaian dengan kadar kepatutan moral yang berlaku di masyarakat.
Menurut Mak Lilik, bila ada tokoh perempuan dimainkan oleh laki-laki disebut ora
pantes.2 Terdapat nilai yang ditabukan dan tidak boleh dilanggar oleh grup ludruk
yang akan dan sedang melaksanakan pertunjukan.
Di sisi lain, seperti penuturan Pak Edi, seorang wakil juragan ludruk Topeng
Masa Baru kalau ada tokoh perempuan diperankan oleh tokoh laki-laki (banci),

Sebagai catatan belum ditemukan grup ludruk yang sudah memiliki AD/ART sehingga mereka
sangat repot ketika suatu saat kantor Pariwisata dan Budaya Jember meminta grup ludruk itu
menunjukkan AD/ART sebagai persyaratan penerimaan bantuan yang akan diberikan.
2
Wawancara dengan Mak Lilik pada tanggal 11 September 2012

32

selain tabu juga tidak efisien secara ekonomi. Biasanya kalau yang diundang satu
orang temannya (gemblak) yang turut serta dalam proses pertunjukan itu bias sampai
lima orang. Hal itu jelas tidak efektif secara ekonomi dan mengurangi pendapatan
grup ludruk itu sendiri. Pembengkakan dari sisi ekonomi pasti terjadi, rokok dan
uang makan biasanya membengkak.3
Fenomena pemeranan tokoh ludruk demikian itu patut diapresiasi secara
kultural, setidaknya terdapat proses nilai kultural yang berjalan dan ditaati oleh insan
ludruk. Hal itu sekaligus pada proses lebih lanjut, mampu mengonstruksi identitas
ludruk di tingkat lokal Jember; meskipun, masih di jumpai pada sebagian grup
ludruk di Jember, khususnya di daerah selatan, misalnya ludruk Merdeka tidak
jarang masih menggunakan pemain laki-laki (banci) untuk memerankan tokoh
perempuan.4 Fenomena demikian hanyalah sebagian, secara umum pemeranan tokoh
dalam pertunjukan ludruk, bahwatokoh perempuan diperankan oleh perempuan dan
tokoh laki-laki diperankan oleh laki-laki.

5.2.1.3 Karakteristik Lakon


Lakon yang dimainkan dalam pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur
bagian timur (wetanan), khususnya di daerah Jember tidak banyak persamaan
dengan tradisi lakon yang dimainkan dalam pertunjukan ludruk di Jawa Timur pada
umumnya. Misalnya tradisi lakon di daerah Malangan, Jombang, Surabaya, dan
3
4

Wawancara dengan Bapak Edi tanggal 25 Oktober 2012


Wawancara dengan Pak Sukamat, pemain ludruk Merdeka Kencong Jember.

33

Madura. Lakon-lakon tersebut antara lain; Sawunggaling, Sakerah, Jaka Sambang,


Rangga Janur-Rangga Seta, Sarip Tambak Oso.
Lakon-lakon tersebut sering juga dimainkan dalam pertunjukan ludruk di
Jember. Meskipun demikian, fenomena ludruk di Jember mampu menampilkan
lakon yang menunjukkan perbedaan dengan pertunjukan ludruk di daerah kulonan.
Di Jember, lakon Sogol dan Babad Jember merupakan lakon yang dianggap milik
masyarakat Jember dan oleh karena itu, lakon tersebut dianggap asli milik wong
Jember.
Lakon Sogol dalam pertunjukan ludruk di Jember misalnya berbeda sangat
tajam dengan lakon Sogol yang terjadi dalam pertunjukan ludruk di daerah kulonan.
Di daerah Jember fenomena peristiwa dalam cerita itu terjadi pascakemederkaan.
Otomatis dalam pertunjukan tersebut tidak dijumpai figur kompeni. Hal itu berbeda
dengan lakon Sogol yang ditampilkan di daerah kulonan, dalam pertunjukan ludruk
itu akan dijumpai figur kompeni karena setting waktu cerita yang ditampilkan itu
terjadi pada masa penjajahan Belanda. Di sisi lain, fenomena Sogol tersebut dapat
ditelusuri secara empirik-historis, sebuah jejak-jejak sejarah yang betul-betul nyata
bagi rakyat Jember.5
Lebih lanjut, sehubungan dengan lakon Babad Jember, meskipun cerita ini
setting melibatkan kerajaan akan tetapi cerita itu ditarik sebagai fenomena cerita
rakyat, sehingga dipandang dapat ditampilkan dalam cerita ludruk. Fokus cerita itu
yakni pada masalah percintaan yang berakhir tragis bagi kedua tokoh utama cerita.
5

Wawancara dengan Pak Tarun dan Mak Lilik pada tanggal 11 September 2012

34

Fenomena tragisnya hubungan percintaan pada dasarnya merupakan fenomena yang


umum; akan tetapi, karena cerita itu terkait dengan sejarah tanah Jember maka cerita
ini menjadi menarik dan menjadi ciri khas bagai rakyat Jember.6

5.2.1.4 Karakteristik Bahasa


Terdapat sesuatu yang unik dalam pertunjukan ludruk di daerah Jember bila
dilihat dari sisi bahasa pengantar yang dipakai. Sebagai masyarakat Pandalungan
(Sutarto, 2004:1) pemakaian bahasa juga menjadi sisi yang menarik dan perlu
dicermati. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan ludruk di daerah Jember
banyak menyesuaikan dangan masyarakat pendukung dan penanggapnya. Terdapat
dua bahasa yang menonjol digunakan dalam pertunjukan, yakni bahasa Madura dan
Jawa, dan tidak jarang terdapat pemakaian bahasa Indonesia yang digunakan diselasela cerita.
Juragan grup ludruk dan seluruh anggota/pemain ludruk akan mengikuti
permintaan dari penanggap. Grup ludruk tidak berani keluar dari permintaan
penanggap karena hal itu terkait dengan kepuasan pelanggan dan kelangsungan
tanggapan itu sendiri. Meskipun demikian, terdapat juga proses penyesuaian bahasa
dengan lakon yang akan ditampilkan. Lakon Sogol dapat dipastikan dengan bahasa
Jawa, sedangkan lakon Sakerah misalnya dengan bahasa Madura.

Wawancara dengan Pak Tarun dan Mak Lilik pada tanggal 11 September 2012

35

Fenomena demikian ini menunjukkan ada kesadaran bahasa sebagai


koneksitas kultural yang menghubungkan antara grup ludruk, pertunjukan, dan
masyarakat. Bahasa dengan demikian menduduki posisi penting secara kultural tidak
hanya menyangkut koneksitas kultural itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut
kelangsungan ekonomi anggota grup ludruk tersebut.
Dengan demikian, juragan juga dituntut untuk memilih para pemain yang
mengusai kedua bahasa itu. Di sisi lain, sebenarnya para pemain ludruk di Jember
idealnya dituntut menguasai kedua bahasa itu, yaitu bahasa Madura dan Jawa. Hal
ini jelas berbeda tuntutannya bila dilihat dari kapasitas penguasaan bahasa
dibandingkan dengan para pemain ludruk di daerah kulonan yang sekompleks seperti
yang terjadi di daerah Jawa Timur bagian timur.

5.2.1.5 Karakteristik Masyarakat Pendukung


Masyarakat pendukung pertunjukan ludruk di daerah Jember sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang berada di daerah kulonan. Kebanyakan
para pencinta dan penikmat ludruk yaitu rakyat kecil (wong cilik), sehingga hal itu
berkonskuensi pada tuntutan terhadap tema-tema yang mengangkat persoalanpersoalan hidup rakyat kecil. Persoalan kemiskinan, persaingan ala rakyat kecil,
kesaktian, dan percintaan. Tema-tema ini merupakan tema yang disukai rakyat kecil
meskipun juga ada sisi universalitasnya.

36

Oleh karena itu, tema-tema itu mampu berfungsi representasi maasalah hidup
rakyat dan pada saat yang sama berfungsi sebagai pelepasan tegangan hidup yang
sedang menghimpit mereka. Hal ini paralel dengan fungsi pertunjukan itu sendiri
yang mampu menjadi media ekspresi sosial dan sekaligus kultural bagi rakyat kecil;
bahkan, dengan pertunjukan itu juga sebagai media untuk menjaga kelangsungan
hidup secara ekonomi bagi masyarakat kecil.
Fenomena demikian ini tampak misalnya, pada setiap pertunjukan ludruk
pasti diikuti dengan proses pergulatan sosial-ekonomi bagi masyarakat yang berada
disekitarnya. PKL

tumbuh seperti jamur yang semarak ikut meramaikan

pertunjukan; meskipun, dari sisi jumlah penonton mengalami penyusutan,


masyarakat sekitar ikut menyambutnya dengan cukup apresiatif. Seperti yang
dilakukan Bu Seniti, Bu Seniti selalu datang untuk menyaksikan pertunjukan ludruk
di manapun berada, selama yang bersangkutan mendapatkan informasi tentang
pertunjukan itu.7 Oleh karena itu, masyarakat pendukung pertunjukan ludruk
menduduki segmen tersendiri dari sisi peminat seni tradisi, bahkan pertunjukan seni
secara umum.
Terdapat sesuatu yang menarik untuk dicermati, yakni munculnya fenomena
arisan ludruk yang dilakukan oleh grup ludruk Sumber Lancar Pakusari Jember.
Grup ludruk tersebut dalam rangka menjaga masyarakat pendukungnya mengadakan
arisan ludruk yang terdiri atas 35 orang anggota aktif. Arisan itu sendiri sebagai
7

Wawancara dengan Bu Seniti pada saat pentas pertunjukan ludruk Sumber Mawar Kreongan
Jember yang dilaksanakan di RRI Jember.

37

upaya untuk tetap menjaga keakraban dan kerukunan antaranggota, sekaligus untuk
nguri-nguri tradisi ludruk yang sudah jarang diminati anak muda.8 Arisan ludruk itu
sendiri dikemas dengan kejungan. Uniknya, pengejung diundang (disewa) dari grup
ludruk lain, yaitu grup ludruk Setia Kawan Jubung Jember. Hal itu sekaligus
sebagai bukti adanya kerjasama antargrup ludruk yang tetap terjalin dengan baik.
Tidak jarang, arisan itu juga mengadakan pentas pertunjukan ludruk. Hal itu
disesuaikan dengan permintaan tuan rumah yang kebetulan ditempati arisan. Sebagai
catatan, fenomena arisan ludruk demikian ini juga efektif dalam memerkuat seni
tradisi melalui proses pemasyarakatan seni tradisi ludruk secara lebih konsisten dan
kontinu.

5.2.2 Strategi Adaptasi Pertunjukan Ludruk


Pembahasan strategi adaptasi pertunjukan ludruk di bawah ini mencakup;
pertama, strategi pasar multimedia; dan kedua strategi adaptasi terhadap kompetisi
pasar pertunjukan seni lain.
5.2.2.1 Strategi Pasar Multimedia
Munculnya pandangan yang menyatakan bahwa seni tradisi ludruk
mengalami keterancaman dapatlah dibenarkan. Hal itu setidaknya di tandai dengan
semakin maraknya perkembangan seni multimedia yang terjadi saat ini. Hampir
semua bentuk dan khasanah seni mengalami proses digitalisasi; bahkan, tidak jarang
8

Wawancara dengan Bapak Abu Hasan (Pelindung) dan Bapak Agus (pimpinan) grup ludruk
Sumber Lancar Pakusari Jember pada tanggal 14 September 2012.

38

melakukan penetrasi pada pasar multimedia melalui situs-situs khusus melalui media
internet. Posisi seni tradisi ludruk dalam hal ini menjadi terengah-engah dan perlu
diakui secara jujur, mengalami kesulitan untuk mengadaptasi diri.
Di tengah pertunjukan melalui gedung-gedung (tobong) saat ini sudah tidak
tampak lagi, idealnya ruang multimedia dipandang sebagai peluang sebagai dimensi
pasar baru yang mampu menyajikan harapan baru. Harapan baru bagi proses
pemasaran pertunjukan ludruk yang saat ini dapat dikatakan mengalami
kemandegan. Kemandegan itu banyak disebabkan oleh adanya keterbatasan sumber
daya manusia yang terdapat dalam grup ludruk; belum lagi, berhadapan dengan
masalah modal, maka masalah pasar multimedia sampai saat ini dipandang sebagai
ancaman yang masih memberikan desakan pada grup-grup ludruk untuk semakin
terpinggirkan.
Idealnya memang dipandang sebagai peluang baru dan grup-grup ludruk
perlu secepatnya beradaptasi dengan ruang multimedia itu kalau tidak ingin semakin
terpinggirkan atau bahkan mengalami kematian (gulung tikar). Faktanya, proses
adaptasi itu banyak menemui hambatan. Grup-grup ludruk di daerah Jember sampai
saat ini belum mampu masuk pada wilayah ruang multimedia secara meyakinkan.
Kalau misalnya mereka terlibat sampai pada di CD-kan itu hanya sepintas lalu saja,
belum dirancang sedemikian rupa untuk mendatang efek keuntungan bagi
kontinuitas grup ludruk dan pertunjukannya sekaligus.

39

Fenomena demikian ini dapat dijumpai pada grup ludruk Setia Kawan dan
Topeng Masa Baru. Kedua grup yang sudah tua dari sisi usia sejak pendiriannya
belum melakukan penetrasi terhadap pasar multimedia. Kalaupun hal itu ada, lebih
dikarenakan ada pihak lain yang melakukan proses perekaman untu di-CD-kan dan
tanpa kontrak yang jelas. Hal tersebut betul-betul merugikan bagi grup ludruk
tersebut karena mereka tidak memertimbangkan atau menghitung keuntungan dan
sustainabelitas grup ludruk itu sendiri.9 Satu kasus yang patut direnungkan, seperti
yang terjadi pada grup ludruk Topeng Masa Baru pernah rekaman untuk di CDkan, sebanyak 12 lakon dengan 12 kali rekaman hanya diberi imbalan Rp
600.000,00. Hal itu jelas sangat memrihatinkan bagi pelaku seni tradisi ludruk.10

5.2.2.2 Strategi Adaptasi terhadap Kompetisi Pasar Pertunjukan Seni Lain


Pentingnya strategi adaptasi terhadap kompetisi pasar pertunjukan ludruk
patutlah diakui kebenarannya. Fenomena semakin merosotnya penonton pada
pertunjukan ludruk cukup memberikan bukti bahwa pertunjukan ludruk sudah
semakin kurang diminati disbanding dengan seni yang lain; misalnya campursari di
panggung, tampilan orkes dangdut, dan band-band yang sangat akrab dan gaul bagi
anak muda sekarang. Dalam kondisi demikian ini nasib pertunjukan ludruk benarbenar terseok-seok dan terancam eksistensinya. Penonton sebagai ruang imajinasi

Wawancara dengan Pak Tarun dan Mak Lilik pada tanggal 11 September 2012 dan juga diperkuat
oleh pernyataan Pak Edi dan Bu Sunariah pada tanggal 25 Oktober 2012.
10
Menurut pengakuan Pak Edi dan Bu Sunariah ludruk Topeng Masa Baru pernah rekaman di
Banyuwangi, Malang, dan Surabaya.

40

tentang kehadiran minat atas pasar pertunjukan jelas tidak dapat disepelekan.
Keberadaannya merupakan bagian yang integral dengan grup ludruk itu sendiri.
Pernyataan Bu Seniti layak untuk diapresiasi manakala dinyatakan bahwa
penonton pertunjukan ludruk masih kalah dengan penonton orkes dangdut. Menurut
Bu Seniti, dalam setiap pertunjukan ludruk penonton yang hadir sekitar 50-an
orang.11 Hal itu mengindikasikan bahwa pertunjukan ludruk sudah mengalami
kondisi yang kritis bila aspek penonton dijadikan indikator utama dalam menentukan
keberlangsungan suatu grup ludruk.
Terdapat strategi adaptasi untuk mengahadapi semakin menurunnya penonton
atau peminat pertunjukan ludruk. Seperti yang dilakukan ludruk Setia Kawan,
untuk menyiasati semakin menurun atau merosotnya penonton, grup ludruk tersebut
memasukkan unsur seni lain sebagai daya tarik baru, yakni dengan memasukkan
campursarian, karaokean, dan adegan roman-romanan. Menurut Mak Lilik, hal itu
dilakukan selain untuk membuat pertunjukan diminati penonton, juga berfungsi
untuk mengolor-olor waktu pertunjukan sebelum cerita inti dimulai.12 Fenomena
yang hamper sama juga dilakukan oleh grup ludruk yang lain, misalnya oleh grup
ludruk Topeng Masa Baru; bahkan, sehubungan dengan strategi adaptasi dengan

11

Wawancara dengan Bu Seniti pada tanggal 11 September 2012 pada saat pertunjukan ludruk
Sumber Mawar yang dipentaskan di RRI Jember. Sebagai catatan, Bu Seniti adalah warga
Glantangan Jember , menurut penuturannya, Bu Seniti selalu menonton pertunjukan ludruk selama
mendapatkan informasi tentang pertunjukan itu.
12
Wawancara dengan Mak Lilik pada tanggal 11 September 2012

41

seni yang lain, grup ludruk tersebut juga sudah memasukkan seni tradisi
Banyuwangian (kendang kempul).13
Dapat disebut, sampai saat ini pola strategi adaptasi untuk menghadapi
persaingan dengan pertunjukan seni yang lain masih dipandang efektif. Artinya,
grup-grup ludruk tersebut masih cukup berdaya untuk menjaga eksistensinya di
tengah terpaan kompetisi pasar pertunjukan yang luar biasa. Ada kecenderungan,
proses adaptasi terhadap pasar pertunjukan tersebut akan semakin variatif.

5.2.3 Strategi Pengembangan Ludruk


Pembahasan strategi pengembangan ludruk di bawah ini mencakup
pengembangan aspek kebijakan, pengembangan manajemen, permodalan, dan
pengembangan untuk wisata budaya.
5.2.3.1 Pengembangan pada Aspek Kebijakan
Pengembangan pada aspek kebijakan pemerintah daerah, khususnya terkait
dengan seni tradisi ludruk perlu mendapat perhatian yang serius. Hal itu bertolak
dari pandangan bahwa seni tradisi ludruk sebagai bagian budaya yang berkembang di
tingkat lokal tidak dapat dinafikan begitu saja keberadaannya. Posisinya dipandang
penting dan strategis dalam rangka menopang dan mendorong pembangunan di
tingkat lokal agar dapat berjalan dengan lebih baik dan seimbang.
Upaya untuk menopang dan mendorong pembangunan secara lebih baik dan
seimbang itu tidak mungkin dilakukan dengan cara mengabaikan aspek kekuatan dan
13

Wawancara dengan Bapak Edi pada tanggal 25 Oktober 2012.

42

potensi budaya. Seni tradisi ludruk sebagai salah satu kekuatan dan potensi yang
berkembang di tingkat lokal memegang peranan strategis dalam rangka menjaga
keseimbangan itu; sekaligus berupaya memberikan kontribusi sosial-ekonomis pada
proses selanjutnya di tingkat lokal tersebut.
Disebut demikian karena diakui atau tidak setiap diselenggarakannya
pertunjukan ludruk dapat dipastikan melibatkan komunitas masyarakat. Pertunjukan
ludruk bukanlah pertunjukan yang menciptakan dunianya sendiri; sebaliknya,
pertunjukan ludruk itu dibangun atas dasar kesadaran komunitas. Oleh karena itu,
ludruk dan pertunjukan yang diselenggerakannya merupakan bagian integral dari
komunitas. Ia tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan komunitas masyarakat yang
melingkupinya. Memisahkan ludruk dari lingkungan komunitas yang melingkupinya
sama artinya membunuh eksistensi ludruk itu sendiri.
Kesadaran komunitas demikian ini pada proses berikutnya mendorong grup
ludruk dan pertunjukan yang diselenggarakannya berusaha untuk peduli sepenuhnya
dengan komunitas itu. Manifestasi kepedulian itu ditunjukkan dengan beberapa hal.
Pertama, melakukan pembangunan kesadaran kepada komunitas masyarakat melalui
propaganda-propaganda yang mencakup bidang yang luas, yakni pendidikan, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua, kesadaran komunitas itu ditunjukkan dengan
kemampuannya dalam membuka akses sosial-ekonomi dan budaya dari setiap
pertunjukan yang diselenggarakan. Hal itu artinya, ada ruang sosial-ekonomi dan

43

budaya yang diciptakan dan komunitas masyarakat dapat menikmati dan ambil
bagian di dalamnya.
Bertolak dari paparan demikian itu, pemerintah daerah sudah semestinya
memberikan perhatian yang khusus terhadap eksistensi grup ludruk dan ruang
budaya yang diinginkannya. Pemerintah daerah sudah semestinya mendorong adanya
kebijakan untuk terwujudnya hal tersebut. Faktanya, pemerintah daerah melalui
dinas pariwisata Jember masih belum melaksanakannya secara khusus. Wujud
perhatiannya masih bersifat umum sekali.
Seperti yang dikemukakan Pak Arief Tjahjono bahwa pemerintah daerah
melalui dinas pariwisata Jember sangat melestarikan seni tradisi, tidak hanya
bertumpu pada salah satu seni saja yang dikembangkan, tetapi dinas pariwisata juga
mengembangkan berbagai seni tradisi diantaranya : jaranan campursari, ludruk,
wayang kulit, reog, kuda lumping, janger, gandrung dan lain-lain. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai macam sanggar seni tradisi yang sering digunakan untuk
mengapresiasikan jiwa seni mereka dalam sebuah pagelaran ludruk atau wayang
kulit. Strategi yang dilakukan yakni meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kreatifitas
seni budaya dan daya tarik wisata menjadi objek yang laku dan layak dijual, dan
dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah dan
kesejahteraan masyarakat.14

14

Wawancara dengan Pak Arief Tjahjono Kepala kantor Pariwisata Jember pada tanggal 3 September
2012.

44

Karakteristik ludruk Jember yang menarik dan unik, mestinya dapat menjadi
pintu masuk bagi pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan kebudayaan
khususnya terkait dengan seni tradisi ludruk. Hal tersebut dapat menjadi salah satu
ikon dan dapat dimungkinkan menjadi unggulan budaya lokal yang dapat
dikembangkan secara strategis dan berkelanjutan.15

5.2.3.2 Pengembangan Manajemen


Sebagai salah satu genre seni tradisi, ludruk di Jember belum mampu
menunjukkan proses pengembangan manajemen. Semua proses tata kelola grup
ludruk dilaksanakan secara tradisional. Hal itu dapat diamati dari proses penentuan
pimpinan, dasar aturan, deskripsi tugas, penetapan honorarium, perawatan, dan
pemasaran. Semua masih berjalan secara tradisional, yakni diserahkan sepenuhnya
kepada juragan. Juragan merupakan pihak yang memiliki otoritas yang tinggi sebagai
bentuk pewarisan otoritas dari juragan yang sebelumnya; dan biasanya masih ada
ikatan keluarga.
Juragan merupakan pihak penentu seluruh proses dari sebelum, proses, dan
pascapertunjukan, termasuk misalnya dalam mengendalikan aturan dalam grup
ludruk itu karena biasanya belum ada aturan tertulis, yang ada yakni kode etik yang
dipegang teguh dalam grup ludruk itu. Juragan adalah pihak penegak, penjaga, dan
pelaksana kode etik grup ludruk. Adanya kode etik itu tentunya untuk menjaga
15

Sebagai catatan bentuk kebijakan pemerintah daerah terhadap seni tradisi, baru pada tataran Untuk
melestarikan budaya dengan cara sering mengikuti festival kesenian di berbagai daerah dan tak jarang
menggondol juara.

45

kelanggengan grup itu sendiri, baik menyangkut hubungan ke dalam maupun keluar
grup ludruk. Kode etik itu biasanya diwariskan bersama dengan proses pewarisan
tampuk pimpinan (juragan) sebuah grup ludruk.
Hal yang tampak sama juga menyangkut deskripsi tugas, juragan tidak
memberikan deskripsi tugas secara ketat; akan tetapi, bukan berarti deskripsi tugas
itu tidak ada. Deskripsi tugas itu terwujud dalam bentuk langsung, yang biasanya
disampaikan secara lisan, dan tidak langsung karena sudah berjalan secara turuntemurun masing-masing anggota grup ludruk itu. Deskripsi tugas yang tampak
mencolok adalah pada saat pembagian tugas pada pemeranan tokoh dalam lakon
ludruk. Juragan biasanya menentukan dan menunjuk dengan cukup hati-hati karena
hal tersebut terkait dengan kesesuaian figur dengan tokoh cerita yang diperankan;
berikut honorarium yang akan diterima. Juraganlah yang menilai dan mengukur
berapa pantasnya honorarium yang diterima. Patut diingat, dalam tradisi ludruk
belum ada kontrak yang jelas antara aktor/aktris dengan pihak juragan. Semua
berjalan secara alamiah dengan cukup menjaga hormonitas grup ludruk.
Hal tersebut dikecualikan dengan pihak penanggap. Juragan biasanya tetap
melakukan tawar-menawar harga tanggapan; meskipun tidak dalam bentuk kontrak
perjanjian secara tertulis. Juragan sebagai pemegang otoritas atas proses pemasaran
melakukan sepenuhnya bentuk tawar-menawar itu dengan pihak calan penanggap.
Juragan dalam konteks ini sudah menginstitusi (melembaga). Juragan merupakan
bentuk representasi grup ludruk itu sendiri. Hal itu termasuk juga sampai dengan

46

pascatanggapan, yakni proses perawatan seluruh peralatan pertunjukan ludruk, dari


dekorasi, gamelan, lampu, dan penyediaan ruang penyimpanan, yang tidak jarang
dapat disebut kurang layak.
Berangkat dari fenomena demikian, pengembangan manajemen diperlukan
dalam rangka melakukan perbaikan-perbaikan secara gradual; mulai dari
peningkatan kapasitas kepemimpinan sampai dengan perbaikan kontrak perjanjian
tanggapan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Proses
demikian tidak bias tidak menuntut lebih lanjut adanya peningkatan kapasitas
kelembagaan secara menyeluruh. Tentunya, hal ini merupakan pekerjaan berat yang
tidak mungkin mampu dilakukan sendiri oleh grup itu secara internal. Perlu
keterlibatan pihak luar, apakah itu pemerintah daerah ataukan NGO yang memiliki
perhatian khusus terhadap program peningkatan kapasitas kelembagaan ludruk. Ke
depan, hal demikian ini tidak bisa harus diupayakan untuk dilakukan kalau tidak
ingin grup-grup ludruk itu semakin terseok-seok menghadai tantangan zaman.

5.2.3.3 Pengembangan Permodalan


Persoalan permodalan bagi grup ludruk sampai saat ini menjadi persoalan
yang serius dan sepertinya tidak pernah usai untuk terus dipikirkan. Dapat
dikemukakan bahwa selain persoalan harmonitas antaranggota grup ludruk menjadi
persoalan pokok; tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan modal bagi keberlanjutan
grup ludruk itu sendiri tidak kalah pentingnya. Proses pengadaan dan perawatan

47

peralatan ludruk tidak dapat luput dari ketersediaan modal finansial. Juragan dapat
dipastikan, perlu menyisihkan pemikiran tersendiri untuk hal tersebut.
Sitem pencarian sumber-sumber permodalan dan pengelolaannya yang diakui
secara jujur masih bersifat tradisional menjadi permasalahan tersendiri yang tidak
kalah rumit untuk dipecahkan. Dalam hal itu, juragan perlu banyak belajar untuk
memodernisasi sistem pengelolaan permodalan yang dimilikinya. Zaman sudah
mengalami perkembangan; untuk itu, sistem tata kelola permodalan juga dituntut
untuk mampu mengikutinya.16
Tuntutan bagi grup ludruk, selain berhubungan dengan pihak penanggap,
juga dituntut agar mampu bersentuhan dengan pihak sponsor, dan kelompok strategis
baik dengan pemerintah daerah maupun dengan NGO yang memiliki perhatian
dengan grup ludruk. Pihak-pihak tersebut dapat dioptimalkan perannya dalam rangka
menjalin kerjasama sebagai mitra-budaya untuk penguatan seni tradisi ludruk di
tingkat lokal.
Sampai saat ini, pihak-pihak tersebut belum banyak terlibat dari proses
penguatan sumber-sumber permodalan. Hal itu kalau misalnya mampu dilakukan
belum bersifat terpadu. Sebagai contoh apa yang dilakukan ludruk Setia Kawan
Jubung Jember. Grup ludruk tersebut belum pernah bersentuhan dengan pihak
sponsorship sehingga otomatis tidak pernah menerima bantuan dari pihak sponsor.
Di sisi lain, grup ludruk Setia Kawan tersebut sudah mampu menjalin kerjasama
16

Sebagai catatan, sepanjang pengamatan peneliti belum dijumpai adanya grup ludruk / juragan atas
nama grup ludruk yang memiliki/membuka rekening bank untuk proses sirkulasi modal finansialnya.

48

dengan pihak NGO lokal dan pemerintah daerah dalam upaya penguatan modal;
msekipun perlu diakui belum maksimal.17 Seperti yang dikemukakan Mak Lilik,
ludruk Setia Kawan Jubung Jember terakhir mendapat bantuan dari pemerintah
daerah Jember sekitar tahun 1999 sejumlah Rp. 700.000,00. Setelah itu, sampai
sekarang belum pernah menerima bantuan lagi. Selebihnya, ikhtiar penguatan modal
diambil dari saving tanggapan yang disimpan di kas grup ludruk.18
Hal yang sedikit berbeda yaitu yang dialami oleh grup ludruk Topeng Masa
Baru Sumbersari Jember. Grup ludruk tersebut, menurut pengakuan Pak Edi belum
pernah sama sekali menerima bantuan dari pemerintah daerah Jember. Satu-satunya
bantuan yang sering diterima oleh grup ludruk ini ialah dari Pemerintah Provinsi
Jawa Timur; akan tetapi, bantuan tersebut bukan untuk penguatan modal grup
ludruk, melainkan sebagai THR bagi pelaku seni tradisi ludruk. Setiap tahunnya
diterima sekitar Rp 1.000.000,00. Selain itu, grup ludruk tersebut sebaliknya mampu
melakukan kerjasama dengan pihak sponsorship, misalnya perusahaan rokok.
Menutur pengakuan Pak Edi, tidak jarang grup ludruk tersebut menerima bantuan
uang dan rokok dari perusahaan tersebut, meskipun jumlahnya tidak begitu besar,
tetapi lumayan mampu mengurangi beban finansial juragan.19
Fenomena demikian itu, selanjutnya perlu menjadi pertimbangan bagi grup
ludruk
17

di

Jember

agar

mampu

mencari

sumber-sumber

strategis

untuk

Misalnya bentuk kerjasama dengan kelompok Studi Rumah Kata Jember dan Kelompok Studi
Arongan Jember, meskipun belum sampai pada tataran bantuan finansial. Kerjasama itu dalam
bentuk pemikiran-pemikian pengembangan ludruk.
18
Wawancara dengan Mak Lilik tanggal 11 September 2012.
19
Wawancara dengan Pak Edi tanggal 25 Oktober 2012.

49

pengembangan modal grup ludruk secara institusional. Pengembangan permodalan


itu juga sekaligus sebagai bukti nyata menjaga kontinuitas eksistensi ludruk di
tingkat lokal.

5.2.3.4 Pengembangan untuk Wisata Budaya


Pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata budaya berbasis seni tradisi
menjadi peluang yang besar bagi daerah Jawa Timur bagian timur, khususnya daerah
Jember. Peluang itu tidak hanya menyangkut sisi strategis keberlangsungan grup
ludruk itu sendiri; akan tetapi, juga menyangkut peluang strategis di tingkat sosialekonomi. Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan itu secara aplikatif di tingkat
lapangan.
Peluang strategis di tingkat sosial-ekonomi itu tidak hanya menguntungkan
bagi grup ludruk itu sendiri. Lebih jauh, peluang startegis di tingkat sosial-ekonomi
itu juga fungsional bagi pemerintah itu sendiri dan masyarakat lokal. Bila dapat
dioptimalkan bukan tidak mungkin kontribusi sosial akan memberikan keuntungan
bagi dinamika dan interaksi sosial yang integratif bagi komunitas lokal. Hal tersebut
jelas dibutuh oleh pemerintah daerah dalam rangka proses gencarnya pembangunan
yang telah diberlangsungkan. Dilihat dari sisi ekonomi, pengembangan ludruk
sebagai wisata budaya memberikan peluang besar terhadap konstribusi ekonomi
bagi pemerintah. Bukan tidak mungkin akan terjadi peningkatan PAD (pendapatan
Asli Daerah) bertolak dari terbuka peluang wisata budaya berbasis seni tradisi ludruk

50

tersebut, belum lagi pertumbuhan ekonomi pada masyarakat lokal, menyangkut


hotel-hotel dan PKL-PKL bagi masyarakat kecil.
Apalagi misalnya, diakui Bapak Arief Tjahjono bahwa Jember bukan
merupakan kota tujuan utama pariwisata, hal ini tidak membuat kami untuk tidak
mengembangkan pariwisata, karena pariwisata terbukti sebagai sektor yang paling
tahan terhadap krisis di dunia. Hal itu yang menjadikan alasan untuk kita mengolah
Jember sebagai kota yang patut dilirik dan patut dikunjungi baik itu wisatawan
domestik ataupun mancanegara. Jember sebagai kota perlintasan wisatawan melalui
jalan darat, wisatawan dari arah Jogja yang mau menuju Bali melewati Surabaya,
kemudian Bromo, dari Bromo lalu kita arahkan ke Jember.20
Di sisi lain, BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember) misalnya dipandang sebagai
upaya mengenalkan Jember untuk dikenal dan menarik para wisatawan domestik
maupun asing belum mampu secara optimal memerkenalkan seluruh potensi budaya
yang dimiliki. Di akui atau tidak, eksistensi BBJ masih bergantung pada JFC
(Jember Fashion Carnival), yang hal itu bila ditilik lebih dalam tidak mengangkat
tema-tema lokal. Fenomena itulah dapat disebut keterpelantingan budaya. Seperti
yang dikemukakan Pak Arief Tjahjono di bawah ini.
Kebetulan kurang lebih sekitar 5 tahun yang lalu ada seseorang
bernama faris ingin memperkenalkan jember dengan JFC, maka kita
membuat BBJ (bulan berkunjung jember) agar orang tau jember.
Terbukti sebelum ada BBJ jumlah pengunjung 250.000; per tahun,
sedangkan setelah diadakan JFC pada tahun 2007 jumlah pengunjung
sekitar 600.000; per tahun.21
20
21

Wawancara dengan Bapak Arief Tjahjono pada tanggal 3 September 2012.


Wawancara dengan Bapak Arief Tjahjono pada tanggal 3 Septrember 2012.

51

BBJ idealnya menjadi pintu masuk dan wahana potensi ekspresi budaya
lokal dalam pengertiannya yang lebih luas. Faktanya, belum ada kelompok seni
tradisi khususnya seni tradisi ludruk. Pelaku seni tradisi ludruk Setia Kawan,
ludruk Merdeka Kencong, ludruk Topeng Masa Baru, dan Sumber Lancar
Pakusari Jember, tidak ada yang dilibatkan dalam agenda tahunan pemerintah daerah
tersebut.22 Hal itu merupakan sesuatu yang ironis karena membuktikan tidak ada
pola dan sinergitas kebijakan yang dicanangkan dengan potensi budaya lokal sebagai
penopang utama kebudayaan lokal itu sendiri.23

22

Hal tersebut dikemukakan Mak Lilik, Pak Agus, Pak Edi, dan Pak Sukamat. Mereka turut
menyesalkan mengapa itu terjadi; bahkan Pak Edi dengan nada sinis memertanyakan, apa itu BBJ?
Fenomena tersebut segera perlu dilakukan perubahan kalau tidak ingin terjadi disparitas antara
kebijakan pemerintah daerah dengan potensi budaya lokal yang ada.
23
Dalam catatan peneliti, grup-grup ludruk di Jember belum dilibatkan dalam konteks pengembangan
wisata budaya di tingkat lokal; kecuali, ludruk Topeng Masa Baru yang menurut Pak Edi pernah
diundang tanggapan dalam rangka pembukaan wisata Bedadung Jember .

52

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Bertolak dari permasalahan penelitian, beberapa persoalan pokok strategi
pengembangan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur, yang mencakup
karakteristik ludruk, strategi adaptasi, dan strategi pengembangan menunjukkan sisi
penting untuk mengungkap fenomena keunikan ludruk di daerah Jawa Timur bagian
timur (wetanan). Fenomena keunikan yang dimiliki ludruk wetanan tersebut
mencakup tiga hal. Pertama, karakteristik pertunjukan ludruk wetanan yang
ditunjukkan dengan kekhasan aktor/aktris, di mana seorang aktor/aktris harus sesuai
dengan tokoh yang diperankan sesuai dengan jenis kelamin. Di daerah wetanan tidak
dikenal pemain laki-laki (waria) memerankan tokoh perempuan. Karakteristik yang
lain yaitu bahasa, bahasa yang digunakan yakni bahasa Madura dan Jawa, sesuai
dengan penanggap (lingkungan masyarakat) dan lakon yang ditampilkan.
Karateristik berikutnya, yaitu masyarakat pendukung yang terdiri atas etnik Madura
dan Jawa. Kedua, adanya strategi adaptasi yang dilakukan grup ludruk wetanan
dengan cara memberikan layanan tambahan berupa campursarian, Banyuwangian
(kendang kempul), karaoken, dan adegan roman-romanan. Ketiga, stretegi
pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata budaya berbasis seni tradisi
dipandang membuka peluang untuk memberikan kontribusi sosial-ekonomi pada

53

pemerintah dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan ke arah
hal tersebut perlu didorong secara maksimal.
21

6.2 Saran
Sebagai saran penelitian, perlu diperhatikan:
(1) bagi pelaku seni tradisi ludruk di daerah Jember dan Lumajang serta di
daerah lain di Jawa Timur bagian timur (Probolinggo, Bondowoso,
Situbondo, Banyuwangi), disarankan agar hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan

untuk

mengembangkan

strategi

adaptasi

dan

strategi

pengembangan grup ludruk.


(2) bagi komunitas lokal (anggota kolektif), disarankan agar banguanan
sinergitas budaya antara grup ludruk dengan masyarakat lokal dapat terjalin
dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat positif bagi kedua belah
pihak;
(3) Bagi

pengampu kebijakan, disarankan agar hasil penelitian ini dapat

dijadikan landasan bagi perumusan kebijakan dibidang kebudayaan,


khususnya dalam menyusun kebijakan pengembangan wisata budaya berbasis
seni tradisi. Ludruk merupakan salah satu genre seni tradisi yang dapat
diangkat karena memiliki keunggulan karakteristik.

54

(4) bagi institusi akademik, disarankan agar hasil penelitian dapat menjadi titik tolak
dalam meneruskan penelitian lebih lanjut, khususnya yang focus pada kajian
ludruk sebagai kekuatan potensi lokal.

55

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Muhsin dkk,.1984.Penelitian Aspek Kesusastraan Dalam Seni Ludruk Jawa


Timur.Surabaya:Depdikbud Jatim
Kembudpar.2005. Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri
Pariwisata Budaya. http://www.budpar.go.id. Diakses 15 Maret 2011
Gall, M.D., Gall, J.P. dan Borg, W.R. 2003. Educational research. Boston: Pearson
Educational, Inc.
Hutomo, Suripan Hadi.1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi sastra
Lisan. Surabaya: Hiski Komisariat Jatim
Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial: Kajian Kritis terhadap
Kehidupan, peran, dan Fungsi Ludruk sebagai Media Komunikasi. Surabaya:
Airlangga University Press
Luxemburg,J.V.,dkk.1989. Pengantar Ilmu sastra. Jakarta: Gramedia
Maryeni.2002.Bahasa Jawa Dalam Ludruk jawa Timur. Yogyakarta: UGM
(disertasi)
Peacock.1968. Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian
Proletarian Drama. Chicago: The University of Chicago Press
Permas, A., C. Hasibuan-Sedyono, L.H. Pranoto, dan T. Saputro.2003. Manajemen
Organisasi Seni Pertunjukan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta
Poerwanto,Mastika I Ketut, Sirajudin.2009.Model Pengembangan Pariwisata
Kawasan Jember Selatan sebagai Basis Pemberdayaan sosial Ekonomi
Masyarakat Pesisir Di Kabupaten Jember. Jember: LEMLIT Universitas
Jember
Purwantini.2002. Inovasi Seni Tradisi Ludruk Jawa Timur (makalah). Surabaya:
Fak. Sastra Universitas Airlangga
Spradley, James P.1997. Metode Etnografi. Yogya: Tiara wacana
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana
_____________________. 2002. Seni Pertunjukan Ludruk: Antara konvensi, Inovasi
dan Transformasi (memahami Seni Pertunjukan Tradisional Sebagai sebuah
Industri Kesenian) (Makalah). Surabaya: Fak. Sastra Universitas Airlangga
_____________________. 2004. Strategi Kebudayaan Jawa Timur ke depan.
Surabaya: Pemprov Jatim

56

Supriyanto, Henri . 1984. Lakon-lakon Ludruk Di Malang. Belum diterbitkan


_______________. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: Gramedia Widia
Sarana Indonesia
________________. 1994. Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (Yang Tersingkir dan
Tersungkur. Jakarta: MSPI & Grasindo
_______________. 2001. Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah , Tonel Direksi,
Manajemen, Himpunan Lakon. Surabaya: PT. Bina Ilmu
_______________. 2003. Membedah Tantangan dan Peluang Revitalisasi dan
Renovasi Sandiwara Ludruk Millenium XXI (Makalah sarasehan dan
Kepelatihan sandiwara Ludruk Se-Jawa Timur). Surabaya: Depdikbud-Jawa
Timur
________________Ed.2004.Kidungan Ludruk. Malang: Widya Wacana Indonesia
__________________.2006. Lakon Sarip Tambakyasa dalam Pertunjukan Ludruk:
Analisis Wacana Poskolonial. Disertasi PPS UNUD (tidak diterbitkan)
Susanti, Nana Riskhi.2009. Wanurejo, The Sense of Java: Sebuah Model
Pengembangan Desa Wisata di Indonesia. http://www.wanurejo.com diakses
17 Maret 2009
Sutarto, Ayu. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi (Makalah).
Surabaya: Univ. Airlangga
___________.2004.Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung
Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Dalam Sutarto, Ayu dan Sudikan, Setya
Yuwana.2004. Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa
Timur. Jember: Kompyawisda kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa
Timur
Suwandi.2009. Diskusi Yogya Semesta Seri 18:Pariwisata Berbasis Budaya
Yogyakarta. http://www.yogya.go.id. Diakses 15 Maret 2009
Taufiq, Akhmad.2006. Perlawanan Rakyat terhadap Kekuasaan Lokal dalam Lakon
Sogol Pnedekar Sumur Gemuling Ludruk Setia Kawan: Interpretasi Teks
dalam Tradisi Sastra Poskolonial. Surabaya: UNESA
_______________.2007. Ludruk: Antara Tragedi dan Modernisasi. Jurnal Lepas
Paragraf edisi Peb. 2007.

57

_______________.2008. Ludruk Hadapi Masalah Regenerasi. Dalam Antara,


tanggal 16 September 2008
______________.2011. Apresiasi Drama: Refleksi Kekuasaan dalam Teks Drama
Tradisional Ludruk. Yogyakarta: Gress Publishing
Titisnowati,Hermin.2004. Lakon Joko Sambang Pendekar Gunung Gangsir:Ludruk
Karya Budaya Mojokerto. Surabaya:UNESA (tesis)
Yunus, Firmansyah Andy.2002.Lakon
Surabaya:UNESA (tesis)

Ludruk

Sawunggaling

Surabaya.

Wellek, Rene & Wellek, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.

58

LAMPIRAN 1
Jadwal Kegiatan
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan, jadwal pelaksanaan
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
No.
1.

Bulan

Kegiatan

Persiapan penelitian
a. Observasi awal
b. Buat instrumen penelitian
c. Susun skenario riset

2.

Pelaksanaan penelitian
a. Pengumpulan data
b. Kategorisasi dan tabulasi data
c. Analisis data dan triangulasi
d.Penyusunan

bahan

acuan

strategi

pengembangan

pertunjukan

ludruk

untuk

wisata budaya berbasis seni


tradisi
3.

Penyusunan laporan
a. Pengetikan laporan
b. Penggandaan laporan
c. Bendel laporan
d. Pengiriman laporan

4.

Pengiriman artikel pada jurnal


Nasional (terakreditasi)

5.

Penyusunan Rencana Tindak

10

59

Lanjut sampai diterbitkannya


buku

panduan

pengembangan

strategi
pertunjukan

ludruk untuk wisata budaya


berbasis seni tradisi

60

LAMPIRAN PHOTO PENELITIAN

Mak Lilik Juragan Ludruk Setia Kawan Jubung Jember

Tempat penyimpanan peralatan pertunjukan Ludruk Setia Kawan Jubung Jember

61

Panggung pertunjukan Ludruk Sumber Mawar Kreongan Jember


pada waktu pentas di RRI Jember tanggal 11 September 2012

Salah satu adegan lawakan Ludruk Sumber Mawar Kreongan Jember pada waktu pentas di
RRI Jember Pada tanggal 11 September 2012

62

Gambar lain adegan lawakan Ludruk Sumber Mawar Kreongan Jember pada waktu pentas
di RRI Jember Pada tanggal 11 September 2012

Bapak Arief Tjahjono Kepala Kantor Pariwisata Jember

63

Bu Sunariah (Juragan ludruk Topeng Masa Baru Sumbersari Jember

Bapak Edi (Wakil Juragan ludruk Topeng Masa Baru Sumbersari Jember

64

II. IDENTITAS DIRI KETUA PENELITI

1.1

Nama Lengkap (dengan gelar)

Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd (L)

1.2

Jabatan Fungsional

Lektor

1.3

NIP

197404192005011001

1.4

Tempat dan Tanggal Lahir

Lamongan, 19 April 1974

1.5

Alamat Rumah

Jalan Kaliurang, Griya Permata Kampus


Blok D-1 Jember Kode Pos: 68121

1.6

Nomor Telepon/HP

08123593169

1.7

Alamat Kantor

Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto


PBSI FKIP Universitas Jember

1.8

Nomor Telepon

0331-334988

1.9

Alamat E-mail

akhmadtaufiq1@gmail.com.

1.10 Matakuliah yang diampu

1. Teori Sastra
2. Sejarah Sastra
3. Sosiologi Sastra
4. Psikologi Sastra
5. Apresiasi Drama

II RIWAYAT PENDIDIKAN

2.1

Program

S-1

S-2

S-3

2.2

Nama PT

Universitas Jember

Universitas

Negeri Surabaya
2.3

Bidang Ilmu

Bahasa dan Sastra

Pendidikan

Indonesia

Bahasa dan

65

Sastra
2.4

Tahun Masuk

1992

2003

2.5

Tahun Lulus

1997

2006

2.6

Judul

Fenomenologis

Perlawanan

Skripsi/Tesis/Disertasi Novel Maut dan

Rakyat terhadap

Cinta karya Mochtar

Kekuasaan Lokal

Lubis dalam

lakon Sogol

Perspektif Sosiologi

Pendekar Sumur

Politik

Gemuling Ludruk
Setia Kawan
Jember:
Interpretasi Teks
dalam Tradisi
Sastra
Poskolonial

2.7

Pembimbing/promotor 1. Drs.H. Marwoto


2. Drs. Christanto

1. Prof. Dr. Haris


Supratno

P. Raharjo,

2. Prof. Dr. Setya

M.Hum

Yuwana
Sudikan, M.A.

III PENGALAMAN PENELITIAN


No.

Tahun

Judul Penelitian

Pendanaan
Sumber

Jml (Juta
Rp)

2004

Analisis
Cerita

Struktural Hibah
Rakyat

Jawa Sarjana

Pasca 90

66

Timur
2

2008

DP2M DIKTI

Revitalisasi Teks Sastra DIPA

Univ. 5

Jawa Modern di Era Jember


Reformasi
3

2008

Peningkatan Pemahaman PDM DP2M


Nilai

9,8

Kabangsaan DIKTI

Melalui

Sastra

Multikultural
4

2009

Pengembangan

Hibah

Pembelajaran

2010

39,5

Sastra Bersaing

Poskolonial

DP2M DIKTI

Peningkatan

Dia Bermutu 30

Kemampuan
Kalimat

Menulis DITNAGA

Baku

Proposal

pada DIKTI
Skripsi

Mahasiswa PBSI melalui


Peer Correction

IV PENGALAMAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


No.

Tahun

Judul Pengabdian

Pendanaan
Sumber

Jml (Juta
Rp)

2007

Fenomena Ludruk di Jember

Mandiri

2008

Eksistensi Seni Tradisi

Mandiri

2009

Sastra Lisan Pesantren dan

Mandiri

Perkembangannya

67

2011

Kontestasi Perempuan dalam Seni

Mandiri

Mandiri

Tradisi
5

2011

Tubuh Estetik dalam Fenomena


Sastra dan Budaya

V PENGALAMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH DALAM JURNAL

No.

Tahun

Judul Artikel Ilmiah

Volume/Nomor

Nama Jurnal

2007

Ludruk: Antara Tragedi dan

Edisi Pebruari

Lepas Paragraf

Edisi Januari

Jurnal IPS

Modernisasi
2

2008

Sastra Poskolonial:
Resistensi Teks terhadap

FKIP Univ.

Praktik Kolonisasi

Jember
(terakreditasi)

2008

2010

Dinamika Teks Sastra

Edisi 2 bulan

Jurnal Kultur,

Multikultural: Revitalisasi

September

Puslit Budaya

Nilai dalam Dimensi

LEMLIT Univ.

Kebangsaan.

Jember

Konstruksi Politik Tubuh

Edisi bulan Juni

Jurnal

dalam Teks Sastra

Atavisme-Balai

Poskolonial

Bahasa
Surabaya
(terakreditasi
nasional)

VI PENGALAMAN PENULISAN BUKU


No.

Tahun

Judul Buku

Jumlah
Halaman

Penerbit

68

2011

2010

2010

Apresiasi Drama: Refleksi

152+ xi

Gress

Kekuasaan dalam Teks

ISBN 978-602-

Publishing,

Drama Tradisional Ludruk

96828-3-0

Yogyakarta

Sastra Poskolonial: Teori,

175+ xii

Jember

Analisis Teks, dan

ISBN 979-

University

Pembelajaran

8176-93-6

Press

Kupeluk Kau di Ujung Ufuk

80 + ix

Gress

ISBN 978-602-

Publishing,

96829-1-5

Yogyakarta

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam data ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biaodata ini dibuat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan Hibah Penelitian Strategis Nasional.
Jember, 10 Desember 2012
Peneliti,

(Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd.)

69

II IDENTITAS DIRI ANGGOTA PENELITI

1.1

Nama Lengkap (dengan gelar)

Dr. Sukatman, M.Pd (L)

1.2

Jabatan Fungsional

Lektor Kepala /Iva

1.3

NIP

19641231995121001

1.4

Tempat dan Tanggal Lahir

Blitar, 23 Januari 1964

1.5

Alamat Rumah

Jalan Mundu Raya 10 Patrang-Jember

1.6

Nomor Telepon/HP

081336405975

1.7

Alamat Kantor

Jalan Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto


PBSI FKIP Universitas Jember

1.8

Nomor Telepon

0331-334988

1.9

Alamat E-mail

sukatman@fkip.unej.ac.id

1.10 Matakuliah yang diampu

1. Teori Sastra
2. Sejarah Sastra
3. Pragmatik
4. Folklor

II RIWAYAT PENDIDIKAN

2.1

Program

S-1

S-2

S-3

2.2

Nama PT

Universitas Negeri

Universitas Negeri

Universitas

Malang

Malang

Negeri Malang

Pend. Bahasa dan

Pend. Bahasa dan

Pend. Bahasa dan

Sastra Indonesia

Sastra Indonesia

Sastra Indonesia

2.3

Bidang Ilmu

2.4

Tahun Masuk

1985

1990

2003

2.5

Tahun Lulus

1989

1992

2006

2.6

Judul

Korelasi antara

Nilai Kultural

Teka-teki Jawa

70

Skripsi/Tesis/Disertasi Pengetahuan Prosa

Edukatif dalam

dalam Tradisi

Fiksi dengan

Peribahasa

Lisan Jawa

Kemampuan Apresiasi

Indonesia: Kajian

Timur: Kajian

Cerpen Siswa SMA

Folklor Lisan

Etnografi

Prof. Dr. Rumbilin

Prof. Dr. Imam

Soepadi

Syafiie

Muhammadiyah
Malang
2.7

Pembimbing/promotor

Dr. Soedjiono

III PENGALAMAN PENELITIAN


No.

Tahun

Judul Penelitian

Pendanaan
Sumber

Jml (Juta
Rp)

2000

Sufisme

Jawa

Naskah

Serat

Jati

dari

dalam LITDAS

20

Dayat Universitas
Desa Jember

Gunungsari-PugerJember
2

2000

Nilai-nilai
dalam

Kepribadian DIPA

Univ. 5

Peribahasa Jember

Indonesia
3

1999

Upaya
Kualitas

Meningkatkan Dibiayai
Pembelajaran Dana

15
PTK

71

Menyimak dan Menulis Dirjendikti


dengan

Memanfaatkan

Gambar

Berseri

Sekolah

di

Menengah

Pertama.
4

1999

Tindak Tutur

DIPA

Persembahan dalam

Universitas

Bahasa Indonesia:

Jember

Telaah Bentuk dan


Fungsinya..

IV PENGALAMAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

No.

Tahun

Judul Pengabdian

Pendanaan
Sumber

Jml (Juta
Rp)

2011

Pengembangan Pembelajaran Sastra

Mandiri

Mandiri

Mandiri

Mandiri

di Sekolah
2

2010

2009

Folklor dan Eksistensi Budayai


Teki-teki Jawa dan Pengembangan
Kecerdasan Anak

2008

Mantra Maling sebagai Fenomena


Budaya

72

V PENGALAMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH DALAM JURNAL


No.

Tahun

2005

Judul Artikel Ilmiah


Menguji Hipotesis Sapir-

Volume/Nomor

Nama Jurnal

Edisi Juni

Lingua Franca

Whorf dengan Media Teka-

PBSI FKIP

teki Jawa

Universitas
Jember

2005

Sketsa Peristiwa SosialPolitik Indonesia Menurut

2007

Edisi September

Jurnal Ilmu

2005.

Pengetahuan

Ramalan Ahli Nujum

Sosial FKIP

dalam Tradisi Lisan Jawa

Univ. Jember

Aspek Sosiologis Teka-teki

Edisi Januari

Jurnal Ilmu

Jawa dalam Tradisi Lisan

Pengetahuan

Jawa Timur

Sosial
Terakreditasi

2008

Mantra Maling dalam

Edisi Oktober

Jurnal IPS

Tradisi Lisan Masyarakat

FKIP Univ.

Jawa Timur

Jember
(terakreditasi)

VI PENGALAMAN PENULISAN BUKU


No.

Tahun

Judul Buku

Jumlah

Penerbit

Halaman
1

2009

Butir-butir Tradisi Lisan

342

Laksbang,

Indonesia: Pengantar Teori

ISBN 979-26-

Yogyakarta

73

2010

dan Pembelajarannya

8514-6

Teka-teki Jawa sebagai

377

Laksbang,

Warga Tradisi Lisan Dunia

ISBN 979-26-

Yogyakarta

8515-4
3

2011

Mitos dalam Tradisi Lisan

238

Nusantara

ISBN 978-602-

CSS Jember

8035-65-1

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam data ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini dibuat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan Hibah Penelitian Strategis Nasional.
Jember, 10 Desember 2012
Peneliti,

(Dr. Sukatman, M.Pd.)

74

ABSTRAK
Judul
Peneliti

: Strategi Pengembangan Pertunjukan Ludruk di Daerah Jawa Timur


Bagian Timur untuk Wisata Budaya Berbasis Seni Tradisi
: Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd. dan Dr. Sukatman, M.Pd

Penelitian ini bertolak dari fenomena pertunjukan ludruk di daerah Jawa


Timur bagian timur yang akhir-akhir mengalami stagnasi. Stagnasi itu ditunjukkan
dengan belum adanya kemajuan yang cukup positif terkait dengan eksistensi
pertunjukan ludruk sebagai bagian dari seni tradisi. Bahkan, dapat dikatakan
mengalami kemunduran dari para peminatnya, meskipun tidak dapat disebut mati.
Padahal, bila dilihat secara saksama ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur,
yakni di daerah Jember dan Lumajang memiliki karakteristik tersendiri yang
membedakan dengan ludruk kulonan. Karakteristik itu merupakan potensi lokal yang
penting untuk diperhatikan dan dikembangkan secara lebih memadai. Salah satu
upaya pengembangan itu adalah menjadikannya sebagai kekuatan wisata budaya
berbasis seni tradisi. Pertunjukan ludruk di daerah Jawa Timur bagian timur (Jember
dan Lumajang) memenuhi kategori ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disusun
rumusan masalah yang dapat menjawab fenomena pertunjukan ludruk sebagai seni
tradisi, yang mencakup karakteristik pertunjukan ludruk, strategi adaptasi, dan
strategi pengembangannya sebagai wisata budaya berbasis seni tradisi.
Selanjutnya terkait dengan metode penelitian, penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan (research and development), yang dirancang untuk
menghasilkan formulasi strategi pengembangan yang terkait dengan wisata budaya
berbasis seni tradisi. Rancangan penelitian pengembangan tersebut selanjutnya
dikolaborasikan dengan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk
mendeskripsikan fenomena pertunjukan ludruk sebagai seni tradisi. Rancangan
penelitian yang bersifat kolaboratif ini dipilih dengan alasan agar peneliti dapat
mencapai target maksimal, baik dalam penggalian data, deskripsi data, dan proses
formulasi pengembangannya. Secara khusus terkait dengan teknik pengumpulan
data. Data itu diperoleh dengan teknik wawancara etnografis yang menuntut peneliti
untuk terlibat dalam aktivitas informan.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa (1) ditemukan karakteristik ludruk
daerah Jawa Timur bagian timur, yang mencakup karakteristik aktor/aktris, lakon,
bahasa yang dipakai dalam pertunjukan, dan karakteristik masyarakat pendukung;
(2) ditemukan strategi adaptasi grup ludruk dalam rangka menjaga kelangsungan
eksistensinya dengan cara menyelipkan beberapa menu tampilan lain di sela-sela
pertunjukan, misalnya campursari, kendang kempul, karaokean, dan adegan-adegan
roman-romanan; (3) bahwa strategi pengembangan pertunjukan ludruk untuk wisata
budaya berbasis seni tradisi mampu membuka peluang dan memberikan kontribusi
sosial-ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal.

75

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN STRATEGI NASIONAL 2012
1. Judul Penelitian

: Strategi Pengembangan Pertunjukan Ludruk di Daerah


Jawa Timur Bagian Timur untuk Wisata Budaya
Berbasis Seni Tradisi
2. Bidang Penelitian
: Seni Budaya/ Industri Kreatif
3. Ketua Peneliti
:
a. Nama Lengkap
: Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd.
b. Jenis Kelamin
:L
c. NIP
: 197404192005011001
d. Jabatan Struktural
: Sekretaris Puslit Budaya dan Pariwisata Lemlit
Univ.Jember
e. Jabatan fungsional
: Lektor
f. Fakultas/Jurusan
: FKIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
g. Pusat Penelitian
: Seni Pertunjukan/ Sastra
h. Alamat
: Jl. Kalimantan No. 37 Kampus Tegal Boto
Universitas Jember
i. Telpon/Faks
: 0331-334988
j. Alamat Rumah
: Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus Blok D No. 1
Jember
k. Telepon/Faks
: 08123593169
l. E-mail
: akhmadtaufiq1@gmail.com.
4. Jumlah Anggota
: 1 (satu) orang
a. Nama Anggota I
: Dr. Sukatman, M.Pd.
5. Lokasi Penelitian
: Jember dan Lumajang
6. Jangka Waktu Penelitian : 2 (dua) tahun
7. Jumlah Biaya Tahun I
: Rp. 75.000.000,00
Jember, 18 Desember 2012
Mengetahui,
Dekan,
Ketua Peneliti
Prof. Dr. Sunardi, M.Pd.
NIP.195405011983031005

Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd.


NIP 197404192005011001

Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian

Prof. Ir.Achmad Subagio, M.Agr., Ph.D.


NIP 196905171992011001

76

Seni dan Budaya/


Industri Kreatif

LAPORAN
PENELITIAN HIBAH STRATEGIS NASIONAL 2012
TEMA:

Seni dan Budaya/ Industri Kreatif

JUDUL PENELITIAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERTUNJUKAN LUDRUK


DI DAERAH JAWA TIMUR BAGIAN TIMUR UNTUK
WISATA BUDAYA BERBASIS SENI TRADISI
Peneliti
1. Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd. (ketua)
2. Dr. Sukatman, M.Pd. (anggota)

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan skim Penelitian Stranas


dengan sumber dana DIPA DP2M Dirjend Dikti Kemendikbud
Nomor: 0541/023-04.1.01/00/2012 tanggal 09 Desember 2011

UNIVERSITAS JEMBER

LEMBAGA PENELITIAN
DESEMBER 2012

Anda mungkin juga menyukai