Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Molly Bondan (1995) dalam bukunya In Love with a Nation mengungkapkan bahwa
ketika Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, jumlah penduduk melek huruf masih kurang
dari 7%, dan pada tahun 1945, ketika Indonesia merdeka, sekitar 90% rakyat di negeri ini
masih buta huruf. Menghadapi kenyataan seperti ini, Pemerintahan Sukarno meluncurkan
program Pemberantasan Buta Huruf pada tanggal 14 Maret 1948. Pemerintah beranggapan
bahwa salah satu penghambat kemajuan bangsa ialah angka literasi yang rendah. Anggapan
seperti ini juga berlaku di negara-negara pasca-kolonial.
Pada Juni 1948, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan makin
mengintensifkan gerakan pemberantasan buta huruf tersebut. Banyak kursus literasi dibuka
secara intensif di sejumlah karesidenan, seperti Malang, Surabaya, Kediri, Madiun,
Bojonegoro, Semarang, Pati, Surakarta, Kedu, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Jumlah
kursus literasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah berjumlah 18.663 tempat, dengan
17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sedangkan yang digelar secara independen
berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33.626 murid (Bondan, 1995).
Akan tetapi, benarkah rakyat Indonesia sepenuhnya tidak bisa membaca dan menulis
pada masa awal kemerdekaan negeri ini? Padahal, pada saat itu terdapat banyak sistem
tulisan yang berlaku di masyarakat secara tradisional dan turun-temurun. Pada saat itu, ada
banyak praktik penulisan di masyarakat yang menggunakan huruf Pegon, huruf Jawi, huruf
Jawa, huruf Cina, dan lain-lain. Artinya, asumsi bahwa masyarakat Indonesia pada masa awal
kemerdekaan sebagian besar buta huruf (illiterate) tidak sepenuhnya benar. Mungkin atas
dasar nasionalisme dan pasar, negara telah bersikap arogan dengan memberlakukan sistem
tunggal penulisan menggunakan huruf latin melalui gerakan literasi.1
Bagi sebagian antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl (1923), Walter Ong
(1982), dan Jack Goody (1969), literasi merupakan cerminan kemajuan bangsa. Mereka
memandang literasi sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat
beradab. Dengan demikian, untuk membangun kemajuan dalam negeri, maka negara harus
melakukan intervensi pendidikan literasi. Generasi sekarang memang memandang bahwa
huruf latin lebih efektif digunakan dalam bahasa tulis, karena huruf latin relatif bisa diterima
oleh semua segment masyarakat. Akan tetapi, apakah tulisan latin cukup efektif bagi anakanak untuk memberi semangat belajar bagi kemajuan pada masa awal kemerdekaan negeri
ini? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan argumentasi
etnografi historis dari sebuah wilayah di pesisir utara Jawa, yaitu Lamongan. Melalui
etnografi audiens pendidikan di Desa Jotosanur, saya mencoba mengeksplorasi jawabanjawaban etnografis ini. Desa ini memiliki sebuah madrasah bernama Madrasah Ibtidaiyah
1

Menurut Fowler (1996), ideologi itu selalu hadir dalam setiap teks, baik dalam ranah lisan,
tulisan, audio, visual atau kombinasi dari mereka. Lehtonen (2000) dan Fairclough (1989) menuturkan
bahwa literasi dan produksi teks itu tidak pernah netral, ia selalu memiliki cita rasa yang berbeda.
Semua teks tulis pasti memiliki ideologi, yakni didikte oleh lingkungan sosial politiknya.

Islamiyah yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka, dan dikenal masyarakat lokal
sebagai Sekolah Arab, karena semua materi pembelajarannya bertuliskan Arab, baik
berbahasa Arab murni maupun berbahasa Jawa. Baru pada tahun 1959 desa ini memiliki
sekolah pemerintah, yaitu Sekolah Rakyat, yang mengintroduksi pendidikan literasi latin.
Dengan beberapa sumber primer yang masih ada, baik melalui wawancara maupun
dokumen-dokumen pribadi, saya mencoba mengkonstruksi perilaku audiens di desa inidalam
mengkonsumsi 2 model media belajar: tulisan Arab dan tulisan latin. Tulisan ini akan
mengeksplorasi perilaku konsumen media belajar yang terjadi di madrasah dan sekolah
rakyat di desa Jotosanur pada tahun 1950-an.
SEKOLAH VS MADRASAH
Semenjak awal abad 20, wilayah Lamongan sudah tersentuh kebijakan politik etis
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang salah satu matranya ialah literasi. Pendidikan
literasi dilaksanakan melalui sekolah-sekolah kolonial. Meskipun demikian, anak-anak yang
bisa masuk di sekolah-sekolah kolonial itu hanyalah segelintir elit priyayi. Sementara
sebagian besar anak-anak orang kebanyakan tidak memiliki akses ke sekolah-sekolah kolonial
ini. Sebagian dari mereka belajar di pesantren, belajar secara informal, atau tidak
mengenyam pendidikan sama sekali.
Dengan meminjam logika trikotomi Geertz (1960) tentang Santri, Abangan dan
Priyayi, gerakan literasi yang diintervensi oleh negara ini kemudian membelah masyarakat
menjadi 3 kelompok berdasarkan kemampuan literasi: multi-literate, mono-literate, dan
illiterate. Multi-literate terjadi di kalangan para santri yang sebelumnya sudah melek huruf
(literate) dalam membaca teks-teks bertuliskan Arab, baik yang berbahasa Arab murni
maupun berbahasa Jawa (dikenal dengan tulisan pegon, yaitu teks berbahasa Jawa yang
ditulis dalam abjad Arab), yang kemudian dikenalkan dengan tulisan latin melalui pesantren
dan madrasah. Sementara mono-literate terjadi di kalangan para priyayi Jawa yang belajar di
sekolah-sekolah kolonial yang hanya mengenal tulisan latin, atau terjadi juga di kalangan
para santri yang belajar di pesantren yang hanya diajari tulisan Arab. Sedangkan illiterate
banyak terjadi di kalangan kaum abangan yang tidak memiliki kemampuan membaca kedua
sistem tulisan, baik Arab maupun latin, karena mereka tidak belajar di lembaga pendidikan,
baik sekolah-sekolah kolonial maupun pesantren atau madrasah.
Hanya sedikit sekolah pemerintah yang ada di Lamongan pada saat Indonesia baru
merdeka. Sekolah-sekolah itu berasal dari peninggalan zaman Belanda. Sekolah-sekolah
peninggalan Belanda itu hanya diubah statusnya menjadi Sekolah Rakyat pada akhir dekade
1940-an. Sekolah pemerintah yang didirikan pertama kali di Lamongan ialah Tweede InIandse
School, atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Sekolah Angka Lara, pada
tahun 1869. Setelah Ratu Belanda me-launching Ethische Politiek, maka pada tahun 1901
didirikan Hollands Inlandse School (HIS), atau yang dikenal masyarakat dengan sebutan
Sekolah Angka Siji yang dikhususkan untuk menerima murid anak-anak Belanda, Asisten
Wedana, dan pejabat pribumi. Pada saat yang sama, beberapa Sekolah Angka Lara juga
didirikan di beberapa kecamatan, yaitu Sukodadi, Kedungpring, Kembangbahu, Ngimbang,
Babat, Sumlaran, Paciran dan Brondong. Sementara itu, tidak ada data yang memadai
tentang kondisi pendidikan pada masa pendudukan Jepang, karena pada saat itu mereka
lebih berkonsentrasi pada pembentukan kesatuan militer bentukan Jepang, yaitu Pembela
Tanah Air (PETA).
Pelajaran utama dalam sekolah pemerintah yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda ialah membaca, menulis, berhitung, dan kerajinan tangan. Pelajaran agama sama
sekali dilarang. Sedangkan pelajaran bahasa Belanda hanya diajarkan di HIS atau Sekolah

Angka Siji. Khusus pelajaran kerajinan tangan sempat dihentikan karena dianggap tidak layak
diajarkan di sekolah. Sedangkan buku yang banyak dipakai di sekolah-sekolah yang didirikan
Pemerintah Kolonial Belanda ialah Emboen, buku bacaan karangan bersama guru Belanda
(G.F. Lavell) dan guru bahasa melayu (M. Taib). Buku ini terdiri atas 50 pelajaran yang
mengandung pendidikan moral. Buku lain yang juga digunakan ialah Taman Sari yang ditulis
oleh J. Kats, yang berisi cerita-cerita yang disampaikan guru kepada anak-anak kelas rendah.
Di desa Jotosanur pada masa transisi itu, tidak ada satupun sekolah pemerintah yang
didirikan di desa ini. Sekolah pemerintah yang terdekat ialah Sekolah Angka Lara yang
berlokasi di Kota Lamongan, sekitar 6 kilometer dari desa ini. Anak-anak di desa ini hanya
belajar pada seorang kyai desa bernama Sadji, alumni Pesantren Tambak Beras Jombang
yang pernah diasuh secara langsung oleh Kyai Haji Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul
Ulama. Pada awalnya, pengajaran dilakukan di sebuah ruangan yang cukup luas di rumah
Kyai Sadji. Akan tetapi, pada tahun 1936, Kepala Desa memfasilitasinya dengan sebuah
bangunan di sisi timur masjid desa. Sejak saat itulah masyarakat menyebutnya dengan
sebutan madrasah, meskipun statusnya tetap merupakan sebuah lembaga informal yang
tidak memberikan ijazah bagi para santri.
Status sebagai lembaga pendidikan informal ini agaknya merupakan respon terhadap
peraturan kolonial di bidang pendidikan, yaitu Wilde School Ordonantie atau Ordonansi
Sekolah Liar. Melalui peraturan ini, Pemerintah Kolonial dapat mebubarkan sekolah-sekolah
yang tidak mempunyai izin atau yang tidak disukai. Peraturan ini juga melarang para kyai
atau guru untuk mengajar agama Islam tanpa adanya izin dari Pemerintah Kolonial. Dengan
adanya peraturan ini, pengelola madrasah di desa Jotosanur tidak menginginkan menjadi
lembaga formal yang bisa dikontrol oleh Pemerintah Kolonial.
Sebagaimana desa-desa di Lamongan pada pertengahan tahun 1940-an, ketika
Indonesia merdeka, desa Jotosanur tidak sepenuhnya terserap dalam struktur negara. Desadesa tersebut masih merupakan entitas yang berdiri sendiri. Konkuensinya, meskipun desadesa di Lamongan merupakan pendukung utama kemerdekaan republik ini, tidak semua
kebijakan negara bisa diserap oleh desa-desa Lamongan, termasuk program pemberantasan
buta huruf yang diintroduksi melalui Sekolah Rakyat yang merupakan konversi dari sekolahsekolah peninggalan Belanda. Kebijakan Sekolah Rakyat hanya berlaku di wilayah perkotaan,
sedangkan wilayah pedesaan tidak banyak tersentuh program sekolah formal. Dengan
demikian, desa Jotosanur pun tetap bertahan dengan sistem madrasah.
Sebagaimana pula desa-desa pada umumnya di Lamongan pada saat itu, kehidupan
ekonomi masyarakat di desa Jotosanur sepenuhnya bergantung pada sektor pertanian dan
perdagangan hasil pertanian. Tidak ada satupun penduduk desa ini yang menjadi pegawai,
baik pada zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, maupun beberapa tahun
setelah kemerdekaan. Mereka tidak berminat untuk mengisi struktur-struktur kenegaraan di
wilayah lokal, misalnya menjadi pegawai atau guru. Mereka lebih banyak bergerak di sektor
pertanian dan perdagangan. Oleh karenanya, mereka tidak memiliki orientasi pada
pendidikan formal yang disediakan oleh negara. Oleh karenanya, dalam konteks pendidikan,
mereka lebih memilih pendidikan madrasah yang informal, bahkan di kalangan santri yang
konsisten dengan keilmuan Islam, mereka lebih memilih belajar dari pesantren satu ke
pesantren lainnya.
Memang tidak ada data yang akurat tentang jumlah madrasah pada saat itu karena
sifatnya yang non-formal dan bahkan informal. Demikian juga tidak ada data yang akurat
tentang jumlah sekolah rakyat di Lamongan pada saat itu. Akan tetapi, berdasarkan estimasi
Haji Ridwan, seorang mantan kepala desa di desa Jotosanur, jumlah madrasah seperti yang
ada di desa Jotosanur jauh lebih banyak daripada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah.

Untuk menjangkau sekolah-sekolah pemerintah itu, anak-anak harus menempuh perjalanan


yang cukup jauh dengan bersepeda, karena sarana angkutan umum masih sangat terbatas
pada saat itu. Akibatnya, hanya keluarga-keluarga yang berorientasi pada jabatan struktural
negara (pamong praja) yang mengirimkan anaknya di sekolah-sekolah non-madrasah.
Dengan adanya 2 model pendidikan di Lamongan, antara sekolah pemerintah dengan
madrasah, dunia pendidikan di Lamongan semakin terbedakan secara diametral antara
mereka yang dianggap saleh dan yang dianggap kurang saleh. Anak-anak yang bersekolah di
sekolah pemerintah dianggap hanya mengejar urusan keduniaan karena tidak belajar agama
(Islam), sementara anak-anak yang bersekolah di madrasah dianggap kolot karena hanya
belajar ilmu agama. Persaingan antara 2 model pendidikan ini turut menentukan
keberhasilan program literasi di Lamongan di kemudian hari.
LITERASI ARAB
Di desa Jotosanur, saya menemukan banyak orang yang telah berumur 70-an tahun
(lahir sekitar tahun 1940 - 1950) sangat lancar untuk membaca dan menulis dalam tulisan
pegon, tetapi tidak lancar dalam membaca tulisan latin, bahkan mereka tampak mengeja
ketika membaca tulisan latin. Salah satu di antaranya ialah ibu saya sendiri. Mereka lebih
komunikatif menggunakan tulisan pegon, baik untuk surat-menyurat pribadi, mengkonsep
naskah ceramah atau pidato, maupun bahan ajar untuk anak-anak yang mereka ajar di
madrasah. Mereka semua pernah belajar di madrasah di desa itu. Mengapa hal ini bisa
terjadi?
Sejak lama, pesantren dan madrasah merupakan salah satu ujung tombak literasi
Arab. Meskipun madrasah merupakan model pendidikan Islam yang diadopsi dari sekolahsekolah modern, dualisme model pendidikan antara sekolah dan madrasah tetap
berlangsung sampai Indonesia merdeka, bahkan sampai saat ini. Sekolah tetap berkonotasi
pada pendidikan sekular, sementara madrasah lebih berkonotasi pada pendidikan agama,
meskupun pada praktiknya keduanya saling mengadopsi satu sama lain.
Sampai pada masa awal kemerdekaan, madrasah di desa Jotosanur tetap
menerapkan pelajaran agama secara murni dan konsisten. Tidak ada pelajaran non-agama
yang diajarkan di madrasah ini. Pelajaran utama yang diajarkan ialah al-Quran, bahasa Arab,
fiqh, tauhid, tasawwuf, and tafsir. Santri di kelas pemula diajari membaca al-Quran dengan
metode turutan, yaitu menghafal juz ke-30 dalam al-Quran (Juz Amma). Dalam metode
turutan, guru terlebih dahulu membacakan ayat atau potongan ayat, kemudian santri
menirukannya. Yang ditekankan di sini ialah memorizing, huruf, fonem (makhraj al-huruf),
tajwid, dan tahsin.
Sementara itu, santri di kelas menengah diajari bahasa Arab yang meliputi tata
bahasa (nahwu) dan morfologi (sharf). Sedangkan santri di kelas akhir diajari tema-tema yang
lebih luas, seperti fiqh, tauhid, tasawwuf, dan tafsir. Akan tetapi, tidak semua santri bertahan
sampai tuntas pada kelas akhir ini. Rata-rata, santri di madrasah Jotosanur ini hanya
bertahan sampai kelas menengah. Hanya sebagian kecil yang bertahan sampai tuntas di kelas
akhir.
Kitab-kitab yang dipelajari di madrasah juga tidak jauh dari pesantren, yaitu buku
bertuliskan Arab. Sebagian kitab itu asli berbahasa Arab, seperti Irsyad al-Anam (oleh Utsman
ibn Abdullah ibn Aqil ibn Yahya), Kifayat al-Anam (oleh Syafii al-Fadlali), Safinat al-Najat
(oleh Salim ibn Abdullah ibn Samir Hadrami), Sulam al-Taufiq (oleh Abdullah ibn Husain
BaAlawin), Bidayat al-Hidayat (oleh Abu Hamid Ghazali), dan lain-lain. Akan tetapi, ada juga
beberapa kitab yang dikarang oleh kyai-kyai terkenal di Pantai Utara Jawa, seperti
Fashalatan (oleh Soleh Darat), Lathaif al-Thaharat (oleh Soleh Darat), Majmuat al-Syariat

al-Kafiyat li al-Awam (oleh Soleh Darat), Mursyid al-Wajiz (oleh Soleh Darat), Faidl alRahman, (oleh Soleh Darat), dan lain-lain. Ada juga beberapa kitab yang diterjemahkan dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Pegon, seperti Hikam
(diterjemahkan dari Ahmad Athaillah al-Iskandari oleh Soleh Darat), Minhaj al-Atqiya
(diterjemahkan dari Sayyid Bakri ibn Muhammad Shatta al-Dimyati [Kifayat al-Atqiya wa
minhaj al-asfiya] oleh Soleh Darat), Mukhtasar al-Hikam (diterjemahkan dari Ahmad
Athaillah al-Iskandari [al-Hikam] oleh Soleh Darat, Munjiyat Ihya Ulum al-Din
(diterjemahkan dari Abu Hamid al-Ghazali [Ihya Ulum al-Din] oleh Soleh Darat), Jauharat alTauhid (diterjemahkan dari Ibrahim al-Luqani), dan lain-lain. Tidak semua buku tersebut
dipelajari secara tuntas di madrasah, tergantung pada kemampuan guru masing-masing.
Bahkan, kitab-kitab yang dipelajari setiap tahun berbeda-beda.
Di samping buku-buku pelajaran, literasi Arab juga didiseminasikan melalui
nadhaman, yaitu melagukan materi-materi yang diajarkan yang memang ditulis dalam
bentuk syair, misalnya kitab talim al-mutaallim (adab dalam belajar), matan ajrumiyah (tata
bahasa Arab), alfiyah ibn Malik, dan lain-lain. Biasanya, materi dalam bentuk syair ini menjadi
pembuka session belajar yang dilafalkan secara bersama-sama oleh para santri.
Interaksi yang intensif dengan teks-teks bertuliskan Arab di madrasah dan pesantren
mendorong para santri memiliki kemampuan literasi Arab yang memadai. Mereka tidak
hanya bisa membaca teks Arab yang ber-harakat (seperti teks dalam mushaf al-Quran yang
memiliki tanda baca), melainkan juga bisa membaca teks Arab yang tidak ber-harakat, yang
dikenal dengan Arab Gundul. Tentunya, untuk membaca Arab Gundul ini harus terlebih
dahulu mempelajari tata bahasa Arab (nahwu) dan morfologi Arab (sharf).
Di samping kemampuan membaca teks Arab, santri juga belajar penerjemahan teks
Arab. Penerjemahan teks Arab dilakukan secara verbatim (kata per kata) dengan
menggunakan bahasa Jawa. Metode terjemahan yang digunakan ialah qawaid wa tarjamah
(gramatika terjemah), yaitu model penerjemahan yang yang sekaligus mengajarkan tata
bahasa (qawaid) dengan menggunakan kata-kata tertentu dalam bahasa Jawa sebagai
simbol yang menunjukkan fungsi kata dalam kalimat. Misalnya, kalimat al-hamdu li-llahi
rabbi al-alamin diterjemahkan dengan pola sebagai berikut:
Al-hamdu
li-llahi
rabbi al-alamin

:
:
:

utawi sekabehe puji


iku kagungane Gusti Allah
kang mangerani sak kabehe alam

Kata utawi-iku-kang dalam terjemahan tersebut digunakan sebagai penanda


(simbol) untuk menunjukkan fungsi dalam kalimat. Kata utawi sebagai simbol untuk kata
yang berfungsi sebagai mubtada (subjek); kata iku sebagai simbol untuk kata yang
berfungsi sebagai khabar (predikat); dan kata kang sebagai simbol untuk naat (kata sifat).
Dalam mengkaji kitab-kitab bertuliskan Arab itu, metode yang digunakan ialah
bandongan, yaitu guru menyampaikan terjemahan kata demi kata dari kitab itu, kemudian
menguraikan maknanya dalam bahasa Jawa, sementara santri menyimak dan menulis
terjemahan tersebut dalam buku masing-masing. Tulisan santri pada bukunya masing-masing
lazim disebut jenggotan.
Kemampuan para santri dalam literasi Arab tentunya mengkhawatirkan bagi
Pemerintah Kolonial Belanda. Selama masa kolonial, literasi Arab yang berkembang di
pesantren dan madrasah tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Kolonial. Gubernur
Kolonial untuk Jawa Timur pada tahun 1930-an, yaitu Charles Olke van der Plas (1891-1977),
memberi perhatian khusus pada buku-buku bertuliskan Arab yang diterbitkan oleh beberapa

penerbit yang ada di Surabaya. Penerbit Salim Nabhan, misalnya, sesuai penuturan Mustafa
(cucu pendiri Salim Nabhan), secara khusus diawasi oleh Gubernur Kolonial ini. Van der Plas
sendiri merupakan orang Belanda yang menguasai bahasa Arab. Ia melakukan sensor atas
buku-buku yang diimpor dari Timur Tengah oleh Penerbit Salim Nabhan. Buku-buku yang
mengandung ideologi perlawanan terhadap penguasa kolonial tidak diizinkan beredar di
kalangan Muslim untuk dipelajari di madrasah dan pesantren. Larangan ini berlangsung
sampai berakhirnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda pada tahun 1942, ketika tentara
pendudukan Jepang berhasil mendarat di Pantai Utara Jawa.
LITERASI LATIN
Jauh sebelum Indonesia merdeka, kalangan Muslim di Lamongan memiliki
pandangan yang stigmatis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda: Kafir-Kristen. Semua
produk Pemerintah Kolonial, termasuk sekolah-sekolah Belanda, dianggap sebagai produk
kafir. Dengan demikian, tulisan latin dan segala bentuk literasi latin tidak mendapatkan
tempat di hati ummat Islam di pedesaan Lamongan pada saat itu.
Di samping stigma ideologis tersebut, bagi kebanyakan masyarakat Muslim di
Lamongan pada saat itu, aspek manfaat dari literasi latin tidak terlalu besar, dan tidak
menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat Muslim yang lebih berorientasi pada
kepentingan agama: menjadi Muslim yang saleh. Buku-buku bacaan bertulisan latin juga
masih sangat terbatas, dan hanya beredar di kalangan elit. Sementara buku-buku bertulisan
Arab mudah didapatkan, setidaknya mushaf al-Quran dan buku turutan (Juz Amma).
Di sisi yang lain, anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah
Belanda merasa superior dengan literasi latin. Dengan buku-buku bertulisan latin, mereka
lebih mengenal pengetahuan umum daripada pengetahuan agama. Literasi membuka
cakrawala pengetahuan mereka tentang kehebatan kebudayaan Eropa. Meskipun harus
cukup puas belajar di Sekolah Angka Lara ataupun Sekolah Angka Siji, prestige itu tetap
dipertahankan sebagai generasi yang siap dengan masa depan. Mereka menganggap anakanak yang tidak belajar di sekolah Belanda merupakan generasi yang tidak siap dengan masa
depan, terbelakang, dan bodoh.
Pada akhir dekade 1950-an, ketika Sekolah Rakyat banyak didirikan di pedesaan
Lamongan, apa yang disangkakan oleh siswa pribumi yang belajar di sekolah Belanda
memang ada benarnya. Pada saat itu, segregasi kolonial yang memisahkan pribumi, Cina,
ningrat, priyayi, dan lain-lain dalam ranah pendidikan dihapuskan. Anak-anak pribumi
golongan ningrat bercampur dengan anak-anak petani yang santri dalam satu sekolah. Dalam
kondisi demikian, anak-anak santri yang tidak memiliki latar belakang literasi latin memang
terpinggirkan. Mereka mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis. Superioritas anakanak santri hanya berlangsung dalam pelajaran Agama Islam yang diberlakukan segera
setelah Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) pada saat itu, Ki Hajar
Dewantara, mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang menyatakan bahwa pelajaran
Budi Pekerti yang ada pada zaman pra-kemerdekaan diperkenankan untuk diganti dengan
pelajaran Agama.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Jotosanur. Pada tahun 1959, Sekolah Rakyat
pertama didirikan di desa Jotosanur. Bagi guru-guru yang mengajar di sekolah ini, belajar
baca-tulis menjadi tantangan berat. Anak-anak petani di desa ini hampir sama sekali tidak
pernah bersentuhan dengan tulisan latin. Proses pembelajaran baca-tulis membutuhkan
proses yang lama, mulai dari pengenalan huruf, bunyi, merangkai kata, dan menyusun
kalimat. Dalam ingatan Umi (64 tahun), salah seorang warga yang pernah belajar di sekolah
ini, proses melafalkan kata-kata harus dieja huruf demi huruf: konsonan yang digabung

dengan vokal menghasilkan bunyi. Ia merasa kurang bisa memahami teks yang dimaksudkan
karena harus mengeja terlebih dahulu, sehingga lama-kelamaan mereka kehilangan mood
untuk membaca. Akibatnya, banyak siswa yang drop out dari Sekolah Rakyat ini.
Hal yang berbeda terjadi dalam pelajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat ini. Para
siswa merasa bersemangat ketika belajar agama, karena apa yang disampaikan oleh guru
tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka pelajari di madrasah informal di desa ini. Buku
yang dipelajari dalam pelajaran Agama Islam tidak jauh berbeda dari kitab yang dipelajari
dalam madrasah itu, yaitu kitab-kitab bertuliskan Arab. Menurut Umi, membaca tulisan Arab
jauh lebih mudah daripada membaca tulisan latin, karena bunyi dalam tulisan Arab menjadi
satu antara huruf dan harakat. Lagi pula, guru yang mengajarkannya mampu menyampaikan
materi pelajaran dengan gaya bandongan, seperti yang dilakukan oleh guru mereka di
madrasah yang dilaksanakan pada sore hari. Suasana kelas menjadi hidup, ramai dengan
canda tawa, bahkan saling olok di antara siswa terkait dengan tema materi yang diajarkan.
Literasi, bagi anak-anak yang pernah belajar di sekolah ini pada tahun 1950-an, tidak
bisa dibawa ke ranah yang privat. Kegiatan membaca harus diperdengarkan, tidak bisa dibaca
dalam hati. Sementara, tuntutan literasi modern (latin), kegiatan membaca dibawa ke ruang
privat: membaca dalam hati, dan bisa direfleksikan. Sementara bagi anak-anak santri,
kegiatan membaca merupakan kegiatan yang bersifat komunal: bahwa kegiatan membaca
yang dilakukan orang lain bisa didengarkan bersama, disimak bersama, dan dari bacaan
itulah orang lain juga bisa belajar, mengetahui isi bacaan tersebut, juga memahami bahasa
teks. Hal ini jelas berbeda dengan literasi modern yang menggiring kegiatan membaca ke
ranah yang lebih pragmatis: mengetahui isi teks secara individual demi menopang kinerja
mesin pembangunan.
Harapan pemerintah Kolonial bahwa literasi akan menyediakan sumberdaya manusia
yang sesuai dengan kepentingan kolonial agaknya tidak pernah tercapai melalui
pembelajaran literasi di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Lamongan. Demikian juga,
harapan Pemerintah Indonesia pada periode awal kemerdekaan negeri ini bahwa literasi
akan mengentaskan kebodohan dan kemiskinan serta mendorong kemajuan bangsa ini tidak
mendapatkan respons yang positif dari masyarakat santri di Lamongan. Ujung dari gerakan
literasi ialah budaya baca. Agaknya, hal ini tidak bisa tercipta sampai akhir tahun 1960-an,
karena mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda tidak memiliki budaya baca.
Demikian juga mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah rakyat juga tidak memiliki
budaya baca. Dalam kegersangan budaya baca di Lamongan pada masa transisi kekuasaan
kolonial-Jepang-Republik Indonesia, justru literasi Arab tetap bertahan sebagai domain
utama pembelajaran di madrasah.
DISCUSSION
Literasi dalam pandangan Jack Goody (1963) dan Walter Ong (1958) merupakan titik
pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat beradab. Pandangan ini hanya
cocok bagi sebuah bangsa yang sudah berkembang, yang mendorong masyarakatnya untuk
maju melalui pendidikan yang mencerahkan. Akan tetapi, dalam realitas historis di Lamongan
pada masa kolonial, literasi semakin menjauhkan masyarakat dari realitasnya sendiri untuk
terintegrasi dalam sebuah sistem yang dikehendaki oleh penguasa kolonial. Agaknya, para
linguist kritis seperti halnya Fowler dan Fairclough benar bahwa di balik teks terkandung
ideologi. Ketika pemerintah kolonial menggerakkan literasi di sekolah-sekolah Belanda untuk
pribumi, mereka memiliki sebuah kepentingan, yaitu menyediakan sumberdaya manusia
yang terlatih untuk dijadikan sebagai pegawai rendahan dalam struktur kolonial. Oleh
karenanya, mereka diajari membaca dan menulis latin, menyerap bacaan-bacaan yang

menjauhkan para siswa dari realitas masyarakat yang ada. Intinya, literasi latin dimaksudkan
untuk menundukkan penduduk pribumi di bawah kekuasaan kolonial. Artinya, literasi tidak
bebas nilai dengan cita-cita yang mulia sebagaimana diungkapkan oleh Goody dan Walter
Ong. Di dalamnya pasti terdapat kepentingan dan ideologi yang mendikte literasi yang pada
akhirnya mendikte pikiran manusia. Saya lebih setuju terhadap analisis etnografis,
sebagaimana Scribner dan Cole (1981), bahwa literasi menerapkan pengetahuan ini untuk
tujuan tertentu dalam konteks tertentu yang digunakan.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, pemerintah juga menggerakkan literasi untuk
mendorong kemajuan bangsa ini, termasuk diterapkan kepada masyarakat muslim Lamongan
yang sudah akrab dengan literasi Arab. Dalam konteks ini, saya juga menemukan sesuatu
yang unik dalam literasi. Kalangan anak-anak santri pada akhir dekade 1940-an menjadi objek
olok-olok. Mereka dianggap sebagai kaum kolot, tradisionalis, udik, dan bodoh di sekolahsekolah yang difasilitasi pemerintah. Mereka tidak bisa membaca dan menulis dalam aksara
latin. Mereka dianggap gagal di sekolah karena banyak yang melakukan drop out dari
sekolah. Apakah mereka benar-benar bodoh, sementara dalam pelajaran Agama Islam, kelaskelas mereka menjadi hidup? Saya menyimpulkan bahwa sekolah hanya mengakomodasi
tradisi membaca kalangan tertentu saja. Di kalangan anak-anak santri pada era 1950-an, saya
menemukan bahwa teks dibaca dengan cara yang sama sekali berbeda. Membaca tulisan
latin dirasa kurang nyaman oleh anak-anak santri di Lamongan. Membaca teks latin
menggiring mereka ke dalam kesunyian, terasing dan terpisah dari lalu lintas perdebatan dan
realitas masyarakatnya, karena bahan-bahan bacaan dalam tulisan latin yang tersedia pada
saat itu dianggap kurang membumi. Sementara ketika membaca tulisan Arab, dengan tematema Islam, seperti al-Quran, fiqh, tauhid, dan tasawwuf, mereka menjadi bergairah.
Menurut saya, bagi kalangan anak-anak santri pada saat itu, teks hidup dalam dialog.
Membaca mengundang perdebatan, canda-tawa, bahkan olok-olok. Membaca dalam
kesunyian dianggap sebagai alienasi. Mereka mengenal literasi Arab bukan hanya dari bukubuku, melainkan juga dari ceramah di masjid, pengajian di kampung, dan juga uraian guruguru mereka di madrasah. Menurut saya, anak-anak santri itu bukannya tak memiliki
kesiapan literasi. Yang terlalu arogan adalah paradigma sekolah. Sekolah tak pernah
menganggap tradisi membaca di kalangan anak-anak santri sebagai potensi yang bisa
menjadi batu lompatan untuk mengembangkan metode belajar, namun sebagai kemunduran
yang harus mengalah.
Sekolah menganggap keaksaraan sebagai kemampuan belajar yang memfasilitasi
berpikir logis, akses informasi, dan partisipasi dalam masyarakat modern. Pandangan ini
melihat literasi psikologis dan tekstual sebagai sesuatu yang dapat diukur dan dinilai.
Berbeda dengan literasi sosial dimana literasi (menulis dan membaca) merupakan cara
menghubungkan seseorang dengan orang lain dengan membawa makna sosial tertentu. Dari
sini jelas bahwa literasi dapat disesuaikan dengan konteksnya dan tidak mengarah ke satu set
kemampuan kognitif atau teknis semata.
Membaca adalah partisipasi budayasecara individual atau komunaluntuk
memberi makna pada teks dan paradigma. Di desa Jotosanur, masyarakat bertahan hidup
dengan literasi fungsional, yaitu kemampuan dasar berhitung untuk menunjang urusan
bertani dan berdagang sederhana, dan kemampuan membaca (Arab) untuk membantu
pemahaman mereka tentang agama (Islam). Partisipasi budaya inilah yang tidak pernah
diadopsi oleh negara untuk sebuah program mulia bernama literasi.

Bibliography
Bondan, Molly
1995

Fowler, Roger
1996

Lehtonen, Mikko
2000

Fairclough, Norman
1989

Kats, J.; dan Ibrahim Galar


Marasoetan
1919

Lavell-Frlich, G.; dan


Moehammad Taib
1940

Levy-Bruhl, Lucien
1923

Ong, Walter
1982

Goody, Jack
1969

Goody, Jack and Watt


1969

Scribner, Sylvia and Michael Cole


1981

In Love with a Nation: Molly Bondan and Indonesia, Her Own


Story in Her Own Words
In Joan Hardjono and Charles Warner (eds.).
Sydney: Southwood Press

Linguistic Criticism
London: Oxford University Press

The Cultural Analysis of Texts


SAGE

Language and Power: Language in Social Life Series


Longman

Taman Sari: Jaito Berbagai-Bagai Tjeritera oentoek Goroe Kelas


Rendah
Visser

Emboen: Kitab Batjaan oentoek Kelas Tengah di Sekolah Boemi


Poetera
Blankwaardt & Schoonhoven

Primitive Mentality
Authorized translation by Lilian A. Clare
George Allen

Literacy and Orality: The Technologizing of the Word


Methuen

Literacy in Traditional Societies


CUP Cambridge

The Consequencies of Literacy


CUP Cambridge

Psychology of Literacy
Harvard University Press

Anda mungkin juga menyukai