Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda[2] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu
Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu
Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke
Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda
takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan
Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak
seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi
tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh
rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan
dari jabatannya.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam
Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta
setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh Madakaripura yang
berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia
memerintah dari Madakaripura.
Akhir hidup
Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara
keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada
disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Hayam Wuruk kemudian
memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan
segala urusan negara.