Bab I Kontrol Hakekat Pengendalian Manajemen
Bab I Kontrol Hakekat Pengendalian Manajemen
Assesor
Detektor
Efektor
System
Sistem dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang telah ditentukan caranya
dan biasanya dilakukan berulang-ulang
Sistem dibedakan menjadi dua yaitu sistem formal dan sistem informal. Sistem formal
merupakan sistem yang memungkinkan pendelegasian otoritas dimana sistem formal
memperje1as struktur, kebijakan dan prosedur yang harus diikuti oleh anggota organisasi.
Sedangkan sistem informal lebih berdimensi hubungan antar pribadi yang tidak
ditunjukkan dalam struktur formal.
Management Control
Task Control
Implementation Mechanisms
Management
Control
Strategy
Organization
Structure
Human
Resource
Management
Performance
Culture
Top
Middle
Lower
Pengendalian manajemen meliputi tindakan untuk menuntun dan memotivasi usaha guna
mencapai tujuan organisasi; maupun tindakan untuk mengoreksi unjuk kerja yang tidak
efektif dan efisien
Strategy Formulation
Acquire an unrelated
business
Enter a new business
Add direct mail selling
Change debt/equity ratio
Adopt affirmative action
policy
Management Control
Introduce new product or
brand within product line
Expland a plant
Determine advertising
budget
Issue new debt
Implement minority
recrruitment program
Task Control
Coordinate order entry
Schedule production
Book TV Commercials
Manage cash flow
Maintaning personel
record
Jenis Pengendalian
Perumusan strategi (Perencanaan
dan Pengendalian Strategik)
Pengendalian Management
Pengendalian Tugas
Suplemen:
Skandal Akuntansi AS: Akhir Kapitalisme?
Dikirimkan pada Monday, 15 Jul 2002 Oleh
KOMPAS, 15/07/2002
ANALISIS EKONOMI SYAHRIR
PADA awal Januari 2002, tampaknya teror 11 September 2001 berhasil diatasi oleh bursa
Amerika Serikat (AS) karena indeks Dow Jones di awal Januari 2002 mencapai 10.635 dan
Nasdaq mencapai 2.059. Akan tetapi, pada penutupan perdagangan 10 Juli 2002, indeks Dow
Jones anjlok menjadi 8.813, suatu penurunan di atas 17 persen.
Lebih ngeri lagi indeks Nasdaq "hancur" dan hanya mencapai 1.346, akhir minggu lalu, suatu
penurunan sebesar 35 persen. Apakah ekonomi AS melemah secara dahsyat? Belum tentu.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi justru menunjukkan perbaikan nyata di AS.
Jadi, apa sesungguhnya yang terjadi pada skandal akuntansi yang melibatkan begitu banyak
perusahaan besar dan membuat begitu besar kerugian-kerugian bagi pemegang saham publik?
Kenapa yang terkena adalah perusahaan publik seperti Enron, WorldCom, Xerox, Merck, Tyco
Intl, dan sebelumnya Global Crossing, dan yang terakhir Adelthin? Kenapa kita tidak
mendengar skandal-skandal yang serupa dalam skala yang sama besar di perusahaanperusahaan publik di Eropa?
Seorang teman menyatakan, ada perbedaan yang amat mendasar antara skandal akuntansi di
AS yang dikenal dengan nama GAAP (Generally Accepted Accounting Principle) dibandingkan
dengan di Eropa.
Hal ini menarik bagi kita di Indonesia karena sebelum jurusan akuntansi mengajarkan ilmu
akuntansi dengan buku-buku teks dari AS, dikenal di Indonesia sistem akuntansi di mana para
calon akuntan harus mengambil ujian bon A dan bon B pada level yang lebih tinggi.
Pada umumnya ada suatu kesepakatan pendapat bahwa sistem GAAP AS itu berbeda dengan
sistem Eropa yang menggunakan international accounting standard bureau . Kalau di AS dasardasar akuntansi berlangsung dengan sangat rinci dan ketat, maka standar Eropa lebih terbuka,
tetapi tidak berarti inferior terhadap standar AS. Kenapa demikian? Karena suatu standar yang
mengatur "kapling-kapling" aturan akuntansi yang ketat justru memungkinkan akuntan yang
"kreatif" untuk "bermain" dengan memastikan bagian-bagian mana yang bisa dia hindari.
Kenapa kita harus bicara tentang standar akuntansi?
SEKURANG-KURANGNYA ada tiga masalah yang pantas diuraikan di sini. Pertama, seluruh
perusahaan yang mengalami skandal akuntansi itu adalah perusahaan publik. Sebagai
perusahaan publik, ada kaitan yang erat antara laporan keuangan perusahaan dan harga
saham di pasar.
Harga saham biasanya ditentukan oleh pemahaman para analis tentang aspek-aspek
fundamental dan teknikal. Aspek fundamental menjadi sangat kompleks dalam pasar modal AS
sekarang karena begitu sulitnya untuk dipahami. Kita bisa melihat kasus Merck, di mana
laporan keuangan dengan sengaja diubah, keuntungan anak perusahaan dianggap sebagai
keuntungan induk perusahaan sehingga terjadi penyesatan laporan terhadap para pemegang
saham. Dalam dunia yang makin kompleks, kita melihat kasus Enron sebagai hal yang
menarik.
Kita ketahui bahwa harga saham anjlok total dan perusahaannya bangkrut pada akhir tahun
lalu. Di sini kita dipaksa untuk memahami efek dari perdagangan energi berikut perhitungan
perdagangan derivatif serta perdagangan melalui Internet, sebagai faktor-faktor yang
dimanipulasikan, sehingga saham perusahaan tersebut pernah mencapai 90 dollar AS pada
puncak kegiatan, dan kini hancur di bawah 50 sen dollar AS.
Hal yang sama terjadi pada kasus WorldCom, yang juga mengalami kehancuran harga saham
dari sekitar 80-an dollar AS per saham menjadi 9 sen dollar AS sekarang.
Juga dalam kasus ini kita melihat peran industri telekomunikasi dan kegiatan IT (teknologi
informasi) serta betapa sulitnya memahami "permainan" para petinggi perusahaan itu untuk
menipu pemegang saham dengan selisih nilai sebesar hampir 4 milyar dollar AS.
Hal yang kedua adalah yang menyangkut hukum, di mana tepat pandangan bahwa akibat
skandal akuntansi yang begitu ketat di AS, maka aspek hukumnya pun bisa cukup ketat "memback-up" perhitungan akuntansi dengan terus-menerus memenuhi syarat-syarat yang disebut
letter of the law.
Tidak dengan mudah hal ini bisa dilihat pada analisa Paul Krugman yang amat berang dalam
kasus Enron dan menuding langsung pada kenyataan "busuk"-nya pemerintahan George Bush
Junior sekarang. Krugman membandingkan seseorang yang pernah terlibat dalam salah satu
kegiatan Enron dan melaporkan keuntungan sebanyak 500 juta dollar AS lebih, dan orang itu
kemudian melepas saham pribadinya sebesar 12 juta dollar AS sebelum perusahaan bangkrut
dan dia keluar dari perusahaan.
Orang itu adalah Secretary of the Army dalam pemerintahan Bush dan hingga kini tidak ada
tanda-tanda dia akan dipersoalkan. Hal yang sama juga bisa dinyatakan pada Wakil Presiden
AS Dick Cheney yang partisipasinya dalam proses kegiatan Enron tidak bisa dibantah.
Ini dibandingkan oleh Krugman dengan jutaan dollar uang yang dikeluarkan Departemen
Kehakiman AS untuk-katanya-membongkar kecurangan yang dilakukan oleh Hillary Clinton,
yang dikenal dengan kasus White Water, yang nilainya jauh lebih rendah.
Inilah barangkali kasus yang dengan nyata menunjukkan para ahli hukum korporasi AS
memang sangat ahli dalam "bermain" pada letter of the law, tetapi sama sekali meniadakan
spirit of the law atau jiwanya rasa keadilan dalam lembaga hukum.
Hal ketiga adalah mulai dipertanyakan secara mendasar integritas dari perusahaanperusahaan akuntansi yang harus melaksanakan audit, di mana yang paling ternama adalah
Arthur Anderson, hingga perusahaan tersebut keluar.
Namun, itu tidak terbatas pada Arthur Anderson, tapi juga pada perusahaan lain, yaitu KPMG,
yang dikaitkan juga dalam laporan keuangan salah satu perusahaan publik dengan skandal
milyaran dollar itu.
Tetapi skandal-skandal yang ada tidak terbatas pada perusahaan akuntan saja, tetapi juga para
investor bankers . Termasuk fakta riil berupa Merril Lynch yang membayar denda pada Security
and Exchange Commission (SEC/Badan Pengawas Pasar Modal AS) sebesar 100 juta dollar AS,
dengan mengakui adanya masalah antara pembayaran para analis perusahaan itu dengan
keuntungan dari perusahaan dalam melaksanakan kegiatan investment banking.
***
IMPLIKASI skandal akuntansi di AS tersebut bagi Indonesia ada pada tiga dataran. Pada dataran
pertama, akibat dari dilikuidasinya Anderson, maka perwakilan Anderson di Indonesia pun
harus "hilang". Kini seluruh line up dari Anderson & Partners menjadi tergabung dengan Ernst &
Young & Partners.
Begitu juga perusahaan Merck yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengalami penurunan
harga yang cukup berarti. Meskipun pimpinan perusahaan Merck di Indonesia menyatakan tida
ada hubungan dengan Merck yang dipersoalkan, jelas keduanya tidak bisa dipisahkan.
Begitu juga Merril Lynch mendapat dakwaan dari Menteri Negara (Menneg) BUMN Laksamana
Sukardi sebagai perusahaan yang mungkin saja melakukan insider trading, dan ini dikaitkan
dengan kasus kegagalan total Laksamana Sukadi dalam melaksanakan privatisasi melalui
penjualan saham Indosat.
Bukan saja harga saham Indosat terus meluncur ke bawah, tetapi Merril Lynch sendiri tidak
dipersoalkan sama sekali oleh Bapepam, sementara kita diberikan "pemahaman" baru dari
Menneg BUMN yang menyatakan bahwa privatisasi adalah penjualan saham mereka yang
dibeli oleh perusahaan pemerintah yang lain. Opo tumon?
Hal kedua yang merupakan implikasi keliru adalah pandangan-pandangan yang menyatakan
bahwa kalau di AS saja terjadi kerusakan dan kroniisme (seperti dakwaan Krugman terhadap
pemerintahan Bush), maka pihak AS tidak bisa lagi memiliki superioritas moral terhadap apa
yang terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Implikasi keliru ini sangat berbahaya karena ada perbedaan yang amat mendasar antara
bagaimana pasar bergerak di Indonesia dan di AS. Di AS, pasar langsung menghukum
perusahaan tersebut dan harga saham-sahamnya terjungkal amat dalam. Ini harus dirasakan
pemain pasar karena tidak ada perdagangan saham yang tidak mengandung risiko.
***
MESKIPUN pihak SEC bisa dipersoalkan sebagai pihak yang relatif lamban bertindak, yang
terjadi di AS adalah suatu sistem yang mampu mengoreksi diri sendiri melalui mekanisme
pasar. Sementara di Indonesia kehancuran ekonomi yang kita alami selama lima tahun
menunjukkan betapa parahnya kondisi ekonomi sekarang, dan pemulihan tak kunjung tiba.
Bagaimana kita melihat apa yang terjadi pada bank-bank, Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) dan BUMN, maka kasus di AS jauh lebih kecil dampaknya bagi AS
dibandingkan kasus BPPN dan BUMN yang terus-menerus menunjukkan lemahnya Indonesia
untuk bisa keluar dari krisis. Dengan perkataan lain, sampai detik ini sistem ekonomi dan pasar
kita tidak bisa mengoreksi diri sendiri, dan berada dalam arus letargi, inersia, dan mempunyai
kemungkinan bagi krisis gelombang kedua yang lebih dahsyat.
Ketiga, tampaknya di mana-mana di dunia, orang yang berkuasa atau punya duit lebih besar
selalu akan menang walaupun belum tentu untuk selama-lamanya. Kita melihat "pidato"
marah-marah dari Presiden George W Bush terhadap kejahatan akuntansi sebagai pidato
kosong tanpa kredibilitas.
Betapa tidak, bilamana dia sendiri memperoleh dana kampanye yang begitu besar dari Enron,
bilamana wapresnya juga merupakan seorang yang sangat diuntungkan dalam proses
perusahaan publik itu berkembang, serta Secretary of the Army-nya memperoleh keuntungan
dari penjualan saham sebesar belasan juta dollar AS sebelum saham Enron harganya hancur,
maka pidato presiden itu tidak mengandung makna moral yang berarti. Bahkan, terasa
menyakitkan bagi rakyat kecil.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Kegagalan total Laksamana Sukardi dalam privatisasi
saham Indosat harus dibayar dengan penggantian dewan direksi, pengenaan denda yang
mengada-ada dari Bapepam terhadap perusahaan yang dinilai Bapepam bersalah.
Sementara ironisnya, sang menteri yang gagal melaksanakan privatisasi ini tidak sedikit pun
menganggap dirinya sebagai orang yang bersalah.
Bilamana seorang menteri melanggar letter of intent (dalam LoI, privatisasi Indosat jelas
merupakan program di mana saham perusahaan pemerintah harus dijual kepada perusahaan
swasta, baik asing maupun domestik), namun baik pihak Dana Moneter Internasional (IMF)
maupun pihak DPR sama sekali tidak mempermasalahkan. Tentu saja apa yang dilakukannya
akan merupakan isu kampanye yang cukup menarik bagi Pemilu 2004.
Namun, bilamana harga saham seperi Enron, WorldCom, dan Merck jatuh amat tajam, maka
saham-saham seperti Indosat yang diintervensi Menneg BUMN turunnya relatif lebih kecil.
Meskipun demikian, akibatnya sama, karena semua itu berujung pada semakin hilangnya
kepercayaan investor yang bernama lembaga pasar modal.
Di sini pandangan Stanley Hoffmann tentang clash of globalization pantas untuk disimak.
Menurut dia, konflik globalisasi pertama adalah konflik globalisasi yang menyangkut konflik
ekonomi dan bisnis.
Ini berlangsung karena pada dataran globalisasi sekarang, peranan perdagangan internasional,
information technology, industri telekomunikasi, dan para investor banker merupakan peranan
yang memperkuat akumulasi modal orang-orang berpunya dengan mengabaikan rakyat kecil.
Esensinya adalah suatu konflik dari efisiensi pada skala internasional di satu pihak menghadapi
ketidakadilan pada skala nasional dan lokal di pihak lain.
Praktik-praktik yang terjadi di AS mungkin sekali tidak mengakhiri berlangsungnya sistem
kapitalisme dunia, tetapi jelas praktik-praktik itu semakin meniadakan kepercayaan akan
globalisasi kapital. Sementara itu, pada skala nasional dan lokal, terjadi perlawanan keras
terhadap globalisasi di sektor politik dan kultural.
Masa-masa milenia ketiga adalah masa-masa di mana satu-satunya kepastian adalah semakin
meningkat dahsyatnya ketidakpastian. Skandal-skandal di Wall Street menumbangkan
kepercayaan investor AS, yaitu investor yang terbesar di dunia. Dalam kondisi ini, Indonesia
harus bersiap-siap untuk hal-hal yang lebih buruk lagi, mengingat lima tahun krisis sampai
detik ini belum juga menimbulkan sense of crisis di antara para pemimpin pemerintahannya
serta juga pimpinan lembaga legislatifnya.*
Latihan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.