Anda di halaman 1dari 2

Kisah Mahasiswa Penderita HIV

Avin Tan, lelaki berusia 27 tahun ini merasa tidak perlu malu untuk menunjukkan jati dirinya
sebagai seorang pengidap HIV. Bahkan ia berharap semua semua orang yang terjangkit virus
mematikan tersebut dapat menjalani kehidupan mereka dengan normal.
Ia juga memiliki cita-cita ingin memperjuangkan hak-hak masyarakat pengidap HV. Ia
percaya dirinya harus mengubah pola pikir orang lain tentang para pengidap HIV.
Avin yang masih berstatus mahasiswa jurusan komunikasi tersebut berpikir, jika semua orang
pengidap HIV tidak bersembunyi dan memisahkan diri dari pergaulannya, akan banyak orang
yang akan merangkul dan mengakhiri stigma buruk.
Ia sendiri pertama kali secara terbuka mengumumkan status terjangkit HIV pada konferensi
AIDS di Singapura belum lama ini. Sejak itu, ia mengaku banyak sekali menerima dukungan
dari teman-teman dan keluarganya.
Avin didiagnosis terjangkit HIV sekitar tiga tahun lalu, saat dirinya hendak melanjutkan
studinya. Avin terjangkit virus mematikan tersebut saat usianya 24 tahun.
Sejak saat itu ia kemudian ikut aktif di gerakan Action For Aids (AFA) yang
menyosialisasikan pentingnya pengujian berkala terhadap virus tersebut, tiga sampai enam
bulan sekali, seperti yang dilakukannya.
Ini adalah sebuah tes yang dilakukan secara sukarela bagi orang-orang yang tersadar dirinya
sudah terjangkit HIV. Ia telah melakukannya selama lima tahun terakhir.
Awalnya saya tidak terlalu berpikir akan virus ini. Tapi akhirnya saya dapat menerimanya
dan tidak terlalu banyak memikirkan. Yang penting harus segera dilakukan pengobatan,
ujarnya.
Saat pertama terjangkit, ia memilih untuk memberitahukan hanya kepada teman-tean
terdekatnya saja. Ia membutuhkan waktu satu tahun berpikir untuk memberitahukan apa yang
mengidapnya kepada orangtua.
Beberapa tean bahkan mulai menjauh sejak ia mengaku mengidap HIV. Namun Avin tidak
membenci teman-temannya. Diskriminasi yang diterima dianggap sebagi bentuk
ketidaktahuan teman-temannya itu terhadap HIV.
Namun ia sempat minder dan mengurung diri serta tenggelam dalam takdir yang dirasa tak
memihaknya, selama kurang lebih satu tahun, ia mulai tersadar saat menaksikan sebuah cerita
di televisi tentang seorang tokoh yang terlibat kecelakaan. Seseorang yang mengidap HIV
menawarkan bantuan, namun ditolak oleh korban karena ia mengetahui penolongnya
mengidap HIV.
Avin kemudian menangis melihat kejadian tersebut dan kemudian membuatnya mantap untuk
mengungkapkan identitasnya sebagai ODHA.

Ini merupakan kondisi yang nyata bagi saya dan membuat saya harus berdiri dalam stuasi
seperti ini. Saya harus mengungkapkan status saya ke semua orang termasuk orangtua saya,
ujarnya.
Dengan mengumpulkan keberaniannya, Avin kemudian bercerita tentang kondisinya, dengan
terlebih dahulu membuka topik tentang HIV. Orangtua Avin tentu sangat terkejut, namun
dalam romansa kekeluargaan, mereka pun akhirnya merangkul Avin. Bahkan orangtua
mendukung Avin untuk mengungkapkan statusnya kepada orang lain.
Selama satu tahun memendam rahasia itu, akhirnya Avin karena pengakuannya itu dapat
membuatnya hidup jauh lebih tenang.
Bahkan ia ikut membantu pembuatan sebuah film dokumenter besutan Roystan Tan yang
bekerjasama dengan AFA. Film tersebut mengetengakan pengalaman para penderita HIV
dalam kehidupan mereka.
Pembuatan film tersebut tidaklah mudah, sebab dari banyak orang penderita HIV yang
dihubungi, hanya empat orang saja yang bersedia dijadikan narasumber.
Dengan pengakuannya tersebut, Avin ingin menghapus stigma negatif dna diskriminasi
terhadap pengidap HIV. Ia ing

Anda mungkin juga menyukai