Anda di halaman 1dari 19

A.

MASA DEMOKRASI LIBERAL DI INDONESIA ( 1950 1959)


Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950.
Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer,
artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung
pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal
inidisebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yangmemiliki
mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil
usaha pembentukan partai. Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung
mengundurkan diri dari kabinet,maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya
menunjuk seseorang (umumnya ketua partai) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah
berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.Suatu kabinet dapat berfungsi
bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya.
Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan
mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959)
ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun.
Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
2. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
4. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955)
5. Kabinet Burhanudin Harahap
6. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959)

KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)


Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir
(Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin
Masyumi, di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena
tidak diberi kedudukan yang sesuai. Selain itu yang termasuk dalam Kabinet ini adalah Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Asaat, Ir. Djuanda, dan Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
Program Kabinet Natsir :
mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.

mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk


peralatan negara yang kuat dan daulat.
menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas bekas anggota
tentara dan gerilya dalam masyarakat.
memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat.

mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi


pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha usaha
meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat

Keberhasilan yang dicapai Kabinet Natsir :


Adanya Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional

Indonesia masuk menjadi anggota PBB

Berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya


mengenai masalah Irian Barat.

Kendala yang dihadapi Kabinet Natsir :


Pada penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit, tetapi
bantuan tersebut diselewengkan oleh penggunaannya sehingga tidak mencapai
sasaran.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, dan Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet Natsir :
Kegagalan Kabinet Natsir dalam menyelesaikan masalah Irian Barat

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 tahun
1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui
parlemen sehingga Kabinet Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

KABINET SUKIMAN (27 April 1951 3 April 1952)


Setelah jatuhnya kabinet Natsir, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukatro
(PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk
kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Sukiman
(Masyumi) - Suwirjo (PNI) yang dipimpin oleh Sukiman.
Program Kabinet Sukiman :
Bidang keamanan, menjalankan tindakan tindakan yang tegas sebagai negara
hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Bidang Sosial ekonomi, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan
memperbarui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani. Juga
mempercepat usaha penempatan bekas pejuang di lapangan usaha.
Mempercepat persiapan pemilihan umum.

Di bidang politik luar negri, menjalankan politik luar negri secara bebas aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Di bidang hukum, menyiapkan undang undang tentang pengakuan serikat buruh,
perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.

Hasil yang dicapai Kabinet Sukiman :


Terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya
program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman, selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala yang dihadapi Kabinet Sukiman :
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan
Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan
politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia
yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.

Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.

Berakhirnya kekuasaan Kabinet Sukiman :


Ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika
Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act ( MSA ). Peretujuan ini
menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat, yang berarti
bertentangan dengan prinsip dasar politik luar negri Indonesia yang bebas aktif. Muncul
pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik
dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa
Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

KABINET WILOPO (3 April 1952 3 Juni 1953)


Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI)
dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian
menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil
dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga terbentuklah
Kabinet Wilopo.
Program Kabinet Wilopo :

Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan


kemakmuran rakyat, meningkatkan kemakmuran, pendidikan rakyat, dan pemulihan
keamanan.
Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke
pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif menuju
perdamaian dunia.

Kendala yang dihadapi :


Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang
ekspor Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih
setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk
mengimport beras.
Munculnya gerakan separatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan
bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari
pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan
TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik
sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan
munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan
KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia
mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang
dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam
parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan
kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut
dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap
presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi
angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan
sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang
telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga
pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar
Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani
tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah
perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada
presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 12 Agustus 1955)


Setelah mundurnya Kabinet Wilopo, terbentuk kabinet baru, yaitu Kabinet Ali
Sastroamidjojo. Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU. Sedangkan, Masyumi
menjadi partai oposisi.

Program program Kabinet Ali Sastroamidjojo I, yaitu :


Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.

Pembebasan Irian Barat secepatnya.

Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.

Penyelesaian Pertikaian politik


Hasil :
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut
dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa
17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan
berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk
Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena
proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di
lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955
tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta.
Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk


menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai
lainnya.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :


NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 3 Maret 1956)


Setelah jatuhnya Kabinet Ali, sebagai gantinya Wakil Presiden Dr. Muh. Hatta
menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) sebagai formatir kabinet. Kejadian ini baru
pertama kali di Indonesia, formatir kabinet ditunjuk oleh Wakil Presiden sebagai akibat dari
kepergian Soekarno naik Haji ke Mekkah. Kabinet ini terbentuk pada tanggal 11 Agustus
1955, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 141 Tahun 1955 tertanggal 11 Agustus 1955
dan mulai bekerja setelah dilantik tanggal 12 Agustus 1955 dengan dipimpin oleh
Burhanuddin Harahap.
Kabinet Burhanuddin Harahap adalah merupakan kabinet koalisi yang terdiri atas
beberapa partai, bahkan hamper merupakan Kabinet Nasional, sebab jumlah partai yang
tergabung dalam koalisi kabinet ini berjumlah 13 partai. Tetapi karena masih ada beberapa
partai yang sebagai oposisi tidak duduk dalam kabinet seperti PNI dan beberapa partai
lainnya, maka kabinet ini termasuk kabinet koalisi.
Program program Kabinet Burhanuddin Harahap, yaitu :
Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi

Perjuangan pengembalian Irian Barat


Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Hasil :
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih
anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai
politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4
partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan
PKI.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh
polisi militer.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.

Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH


Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.

Berakhirnya kekuasaan kabinet


:
Setelah hasil pemungutan suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR
diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri,
menyerahkan mandatnya kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil

pemilihan umum. Sebenarnya kabinet ini seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak
ada mosi tidak percaya dari parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer,
kabinet ini dengan sukarela menyerahkan mandatnya, setelah berhasil melaksanakan Pemilu
baik untuk anggota DPR maupun konstituante.

KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 4 Maret 1957)


Ali Sastroamidjoyo diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20
Maret 1956. Kabinet yang terbentuk merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi,
dan NU dengan dipimpin oleh Ali Sastroamidjoyo.
Program :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut :
Perjuangan pengembalian Irian Barat

Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggotaanggota DPRD.


Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.

Menyehatkan perimbangan keuangan negara.

Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan


kepentingan rakyat.

Selain itu program pokoknya adalah :


Pembatalan KMB,

Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik


luar negeri bebas aktif,
Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB pada tanggal 3
Mei 1956.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.

Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada


gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di
Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra
Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di
Sulawesi Utara.

Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap


mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai
nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat
ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan
parlementer.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :


Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi (Januari 1957), membuat kabinet hasil
Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden pada tanggal 14 Maret 1957.
KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet Djuanda/Kabinet Karya resmi dilantik tanggal 9 April 1957. Kabinet ini
merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari parlemen
karena negara dalam keadaan darurat, namun tetap terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undangundang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai
politik denga dipimpin oleh Ir. Djuanda.

Program :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :
Membentuk Dewan Nasional

Normalisasi keadaan Republik Indonesia

Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB

Perjuangan pengembalian Irian Jaya

Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan


Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil yang dicapai :
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang
mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini
menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan
daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.

Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai


daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam
negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :


Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat.
Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah
sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat
putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan
negara.

PEMILU 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal
bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak
demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh
Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan
keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal
3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik.
Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan
diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru
terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946
adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala
yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber
penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik
karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan
pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah
pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan
menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab
dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat
peperangan.

B. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN DI INDONESIA (1959 1966)


Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
a. Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil
dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem
pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar
sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai
pijakan hukum yang mantap.
b. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
c. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat
bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
d. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
e. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali
untuk mempertemukannya.
f. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar
tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan
keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.

Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak
menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.


a.

Pembubaran konstituante

b.

Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.

c.

Pembentukan MPRS dan DPAS

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:


a. Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik
yang telah goyah selama masa Liberal.
b. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
c. KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan
Dekrit Presiden.
d. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk
melaksanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
a. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
b. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
c. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi
negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda
pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
a. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang
harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan
pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
b. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal
itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

c. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
C. PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan
saja yaitu presiden.
Tugas Demokrasi terpimpin :
a. Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
b. Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal
ini disebabkan karena : Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya
terbatas sebagai kepala negara. Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh
partai.
Dampaknya:
Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan
stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan
presiden).

Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :


a. Kebebasan partai dibatasi
b. Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan.
c. Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.
d. Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS, DPAS, DPRGR, dan Front
Nasional.

Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945


adalah sebagai berikut.

1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannyabertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai
besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.

2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk
di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan
Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200
orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR
menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan
DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta

kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab
berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.


a. Melaksanakan manifesto politik
b. Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
c. Melaksanakan Demokrasi Terpimpin
4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS
terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan
24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden
dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab
presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara
bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul
Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti
Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal
dengan MANIPOL USDEK.

5. Pembentukan Front Nasional


Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk
potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional
dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.

Tugas front nasional adalah sebagai berikut.


a. Menyelesaikan Revolusi Nasional

b. Melaksanakan Pembangunan
c. Mengembalikan Irian Barat
6. Pembentukan Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle).
Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
a. Mencukupi kebutuhan sandang pangan.
b. Menciptakan keamanan negara.
c. Mengembalikan Irian Barat.
7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer
menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama,
dan Komunis).Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.
Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam
masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka
persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada
masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat
kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan
ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan
mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan
PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa
dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain
itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil
meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
8. Adanya ajaran RESOPIM

Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan


Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim
diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara
harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan
tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian
pangkat menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya
sebagai pembantu presiden.

9. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan
Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu
golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.

10. Pentaan Kehidupan Partai Politik


Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara
leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh
penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah
anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal
11 partai. Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama
presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk
membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah
karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan
Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
11. Arah Politik Luar Negeri

a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo

Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung
condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang
lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces)
danOldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul
yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis
umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang
telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-PekingPyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab
hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
b. Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan
karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara
blok Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
3. Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat
menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

c. Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa
Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang
diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan
Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran
rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Force) yang
membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi
delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

d. Politik Gerakan Non-Blok


Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya
gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa AsiaAfrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB
menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju.
GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan
kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam
skala nasional dan internasional.
Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:
a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta
pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar
serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.
b. Pidato presiden yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada tanggal 17
Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)
ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September
1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga
lebih dikenal denganMANIPOL USDEK.
d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai
presiden seumur hidup.
e. Pidato presiden yang berjudul Berdiri di atas Kaki Sendiri sebagai pedoman
revolusi dan politik luar negeri.
f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di
antara TNI dengan Parpol.
g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk
Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).

DAFTAR PUSTAKA

http://fikaisman.blogspot.com/2011/01/indonesia-pada-masa-demokrasi-liberal.html
http://mustaqimzone.wordpress.com/2009/11/21/indonesia-masa-demokrasi-terpimpin1959-1966/
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39

Anda mungkin juga menyukai