diraba lebih dalam. Hal ini membuat asumsi masyarakat bahwa FK (Fakultas Kedokteran)
adalah Fakultas Kaya. Saya kira suatu hal yang masuk akal saja bahwa orang yang mampu
secara ekonomi dapat masuk FK, toh dia mampu-mampu saja. Dan tentu saja dibalik itu
orang yang tidak mampu, tidak boleh tidak dapat masuk FK karena terdapat banyak jalur
pembiayaan pendidikan termasuk beasiswa. Apakah benar masuk fakultas kedokteran selalu
mahal sehingga ditebus dengan menarik biaya tinggi setelah lulus? Hal itu tidak sepenuhnya
benar. Mahasiswa kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2010
yang lulus lewat jalur SNMPTN cukup membayar uang masuk Rp 1.032.500 dan SPP Rp
1.250.000 setiap semesternya. Swastapun, ga mesti semuanyal mahal sampai ratusan juta.
Contohnya kampus saya Unissula. Angkatnku misalnya, uang masuk untuk jalur PMDK 80
Juta rupiah dan jalur tes memang ini agak sedikit mahal 135 juta rupiah, dengan biaya per
semester rata-rata 8,6 juta rupiah. Kenapa saya katakan Unissula tidak terlalu mahal?
Untuk ukuran FK Swasta yang mendapatkan akreditasi A biaya segitu wajar. Beberapa
perguruan tinggi yang FKnya akreditasinya dibawah A uang masuk diatas 200 juta dan biaya
per semester diatas 15 juta rupiah. Hanya 4 FK swasta yang terakreditasi A di Indonesia
ini. Yang jelas kedua-duanya, baik yang kaya atau tidak mampu, memiliki satu kesamaan
yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kemampuan akademik yang sangat tinggi untuk
menjadi dokter. Bukan sembarang orang, di mana untuk masuk harus menyisihkan ribuan
pendaftar. Itu saja. Maka saya kira masalah pundi-pundi bukan alasan untuk masuk FK.
Hanya di kedokteranlah jurusan dengan pesaing terbanyak meskipun kedokteran dengan
status terdengar mungkin dibanding jurusan lain yang hanya menyisihkan saingan yang
tidak terlalu banyak.
Menjadi dokter harus melalui dua tahap pendidikan, yaitu praklinik dan kepaniteraan klinik.
Praklinik adalah menjalani kuliah-kuliah selama minimal 4 tahun dan setelah
menyelesaikannya akan diberi gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran).
Selepas euforia diterima di FK, mulailah seorang mahasiswa kedokteran mempelajari ilmuilmu dasar sebagai landasan untuk kemudian mempelajari penyakit dan cara-cara pengobatan.
Begitu banyak yang harus dilalui mulai dari menahan bau formalin saat praktikum anatomi
dengan cadaver (mayat) yang sudah dibedah, merelakan diri untuk saling berlatih
mengambil dan memeriksa DARAH, URIN, serta FESES secara bergantian, dan kewajiban
mengerti serta menghapalkan tumpukan buku kedokteran yang tebalnya ribuan halaman.
Tugas-tugasnyapun banyak, setiap akan tutorial atau SGD, kami dituntut untuk belajar guna
menyiapkan materi untuk diskusi SGD, setiap menjelang praktikum di laboratorium, kami
selalu disuguhi tugas yang sangat-sangat banyak, dan berlembar-lembar yang harus
dikerjakan TULIS TANGAN. Belum revisinya. Setelah praktikum? laporan praktikum dan
ACCpun menanti, laporan praktikum juga ditulis tangan rapi dan diselingi belajar guna
menyiapkan untuk ACC atau pengesahan. Karena setiap tidak bisa menjawab pertanyaan dari
dosen atau asisten saat ACC maka laporan tidak akan di tandatangan dan dicap. Karena jika
ada satu laporan yang tidak ter ACC, tidak diijinkan mengikuti ujian praktikum atau
identifikasi. Setiap akan praktikum atau skill lab dimulai dilakukan pre test, beberapa
perguruan tinggi menerapkan jika tidak lulus pre test tidak boleh ikut praktikum. Dan setelah
praktikum selesai akan dilakukan post test. Jauh-jauh hari sebelum praktikum dimulai lab
mengadakan Responsi. Semuanya tidak lepas dari pengorbanan para dosen, dokter, dan
profesor yang rela meluangkan waktu serta tenaga untuk mengajar mahasiswa mulai dari
tingkat paling bawah.
Beberapa gugur, ada pula teman saya yang keluar dan hilang, adapula yang tidak kuat dan
harus masuk Rumah Sakit Jiwa, dan yang lain bertahan, singkat kata, empat tahun terlewati
sudah, dan luluslah dari program pendidikan pre klinik di Fakultas Kedokteran. Apakah
sudah selesai? Tidak, perjuangan justru baru dimulai, dengan gelar Sarjana Kedokteran di
tangan, para calon dokter mulai bertugas di rumah sakit sebagai dokter muda atau lazim
disebut co-ass. Seorang S.Ked belum dapat menjadi dokter. Sama seperti Seorang SE
(Sarjana Ekonomi) belum dapat menjadi akuntan. Seorang SH (Sarjana Hukum) belum dapat
menjadi advokat atau notaris.
Menjadi dokter muda adalah suatu periode pendidikan dokter yang ditekankan pada
penerapan (aplikasi) teori-teori yang sebelumnya sudah didapat dari periode preklinik.
Menjadi dokter muda bukanlah menjadi dokter yang mandiri. dokter muda memiliki hak dan
kewajibannya sendiri dan serupa-tak-sama dengan hak dan kewajiban dokter. Koas dan
dokter punya kewajiban untuk menghormati pasien, bersikap profesional sesuai keilmuan,
dan lainnya. Namun dokter muda tidak ada hak untuk berpraktik mandiri. Semua apa yang
dilakukan koas harus berada dibawah supervisi dokter pembimbingnya. Namun dibalik itu
mereka pun dituntut untuk memiliki profesionalisme layaknya dokter mandiri. Jadi, saya kira
ketika masyarakat awam berhadapan dengan koas, maka sudah sesuai aturan yang ada, bila
mereka tidak dapat menegakkan diagnosis dan memberi terapi secara mandiri di depan pasien
tanpa dikonsultasikan dengan pembimbingnya.
Seorang dokter muda bekerja magang di rumah sakit untuk menangani pasien di bawah
pengawasan dokter-dokter lain yang sudah senior, sehingga tidak benar apabila dikatakan
pasien menjadi kelinci percobaan. Apabila melakukan kesalahan sedikit saja, dokter muda
tidak luput dari sanksi dan bentakan para dokter maupun residen yang mengevaluasi kita.
Bahkan pernah saya mendapat cerita ada yang sampai dilempar gunting mayo sama dokter
yang membimbing. Seorang dokter muda diwajibkan ada di rumah sakit setiap harinya tidak
peduli hari Minggu atau hari raya idul fitri, juga menjalani jadwal jaga. Jaga di sini berarti
tinggal di rumah sakit dan membantu merawat pasien di bangsal semalaman suntuk,
seringkali tanpa tidur. Setelah itu masih dilanjutkan dengan mengikuti laporan mengenai
kondisi pasien pagi-pagi benar dan bertugas lagi sampai sorenya, serta follow up keadaan
pasien. sehingga boleh dikatakan hidup seorang dokter muda adalah di rumah sakit dengan
jam kerja yang sangatlah panjang. Semua yang dokter muda itu dilakukan TANPA ADA
BAYARAN satu rupiahpun.
Menjadi dokter muda memang posisinya seperti serba tanggung. Mereka menganamnesa
pasien, memeriksa pasien, kemudian baru dilaporkan ke pembimbing, dan diricek ulang
pembimbing, baru dapat ditegakkan diagnosis oleh pembimbing. Memang tampak ribet, dan
tidak seperti ke dokter biasa yang bisa dilewati proses oleh dokter muda langsung ke dokter
praktiknya. Hal ini tidak jarang memberi kesan bagi pasien, apakah saya jadi bahan
percobaan? Tentunya di sini perlu ada kesepahaman antara dua pihak. dokter mudapun perlu
bersikap profesional dan memberi rasa nyaman sehingga pasien tidak dirugikan. Dan
sebaliknya pasien perlu paham bahwa dirinya bukanlah kelinci percobaan, tetapi dirinya
terlibat sebagai guru bagi dokter muda sehingga bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi
dokter yang baik kelak. Apakah masyarakat mau punya dokter yang selama hidupnya hanya
melakukan tindakan dengan boneka saja?
Apakah pasien harus takut bila diperiksa para dokter muda? Ini kembali lagi kesepahaman.
dokter muda harus bersikap profesional, rasional, dan sesuai dengan janji hipokratiknya
untuk First do not harm Yang terutama, jangan mencelakakan orang. Kemudian ia
menerapkan apa yang ia pelajari sesuai dengan standar ilmu yang ada. Di dalam proses dunia
fana ini, mungkin terjadi kesalahan. Misalnya dokter muda yang menginfus pasien
Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar
kekayaan.
Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat,
dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah
firaun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di
sekitar Anda hanya agar Anda terkesan paling berharga.
Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian
calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan
Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita. Daripada Anda bersembunyi di balik topeng
klimis dan jas putih necis, sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.
Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.
Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru,
bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan, bukan sekadar agar para
tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat.
Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian.
Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi
pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi.
Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati,
ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja
kehilangan anaknya karena malaria.
Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan,
ketika kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan
bayaran cuma-cuma.
Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian,
saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan
pasien-pasien kita.
Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi,
ketika seorang tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk
membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum
terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, jangan menangis
lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.
Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang,
ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia
dan berbisik lembut di telinganya,dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?
Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan,
ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obatobatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, maaf, saya tidak mungkin
mengkhianati pasien dan hati nurani saya
Dibaca: 673
Komentar: 9
Dokter yang baru mendapatkan gelar profesinya, kebanyakan memilih PTT (pegawai tidak
tetap) di daerah terpencil atau sangat terpencil. Mereka mengabdikan diri untuk apa yang
didapatkannya setelah perjuangan panjang yang dilaluinya.
Banyak kemungkinan yang menyebabkan banyak dokter yang baru lulus ini memilih PTT,
bukan semata-mata mencari kekayaan. Namun lebih utama karena mencari peluang dan
pengalaman. Di kota besar, dokter senior telah ada hampir di setiap tempat, sulit bagi seorang
dokter yang baru lulus untuk langsung bisa dipercaya dan diterima masyarakat.
Hal yang bertolak belakang akan didapati jika seorang dokter memilih PTT di daerah
terpencil dan sangat terpencil, masyarakat yang di pelosok justru menganggap dokter adalah
malaikat ataupun dewa yang membantu dan bisa memberi pelayanan kesehatan bagi mereka.
Mereka menaruh harapan besar kepada para dokter PTT untuk mengatasi permasalahan yang
menyangkut kesehatan mereka.
Banyak mata memandang kehidupan nyaman para dokter senior yang ada di kota dan
mengira bahwa dokter yang duduk di kursi empuk ini tidak pernah merasakan bagaimana
kesulitan hidup. Jika begitu penilaian tersebut, tentunya pemikiran itu salah besar.
Untuk mendapatkan gelar dokter banyak tantangan yang dialami, mengorbankan banyak hal:
berkorban waktu, materi, tenaga dan perasaan. Setelah selesaipun banyak orang yang
kemudian memandang sebelah mata oleh karena kemudaannya, maka mau tidak mau mereka
memilih PTT, siap untuk merasakan apapun yang bahkan tidak pernah terlintas di kepalanya.
Merasakan bagaimana kedinginan, kelaparan, kemiskinan. Memilih PTT di daerah sangat
terpencil sama saja memilih untuk diasingkan, walaupun dengan segala kemewahan yang
dibawanya dari kota, ia belum tentu bisa menggunakannya. Listrik pun bahkan tidak
menyala, hiduplah tanpa listrik. Sinyal handphone pun nyaris tidak ada, hiduplah tanpa
handphone. Berharap bisa menghubungi keluarga, bagaimana caranya?.
Jika daerah tempuhnya adalah kepulauan, maka ia harus naik sampan, pompong dari pulau ke
pulau. Bagaimana kalau dokternya tidak bisa berenang?, maka berhati-hatilah. Biasanya tidur
di kasur empuk, maka cobalah untuk tidur di tikar bahkan akan tidak bisa tidur karena
sepanjang malam harus dipanggil pasien melayani ke rumahnya dengan pompong. Berniat
menolak dan tidak ingin berangkat, maka berhati-hatilah amuk dan sakit hati masyarakat
setempat. Terlalu cantik atau ganteng, siap-siaplah menjadi pangeran atau permaisuri kepala
suku di sana.
Mau makan enak, cobalah belajar masak dengan apapun yang ada di pulau itu, jangan
mencoba menghayalkan makanan yang asing dan tidak ada di sana. Ingin menonton televisi,
lebih baik menonton anak-anak yang berkejaran di depan mata. Kehabisan uang lebih baik
menahan malu dan meminta kepada orangtua bagaimanapun caranya daripada menanti gaji
yang tidak kunjung turun. Jangan ragu meminta dan mengemis kepada masyarakat setempat
dan katakan keperluanmu. Jangan menangis karena ketidakbiasaan, berusaha bertahan itu
lebih baik untuk menyiapkan mental menghadapi tantangan panjang yang berikutnya.
Jangan pernah menyesal menjadi seorang dokter, tuduhan malpraktek bisa saja menjebloskan
ke jeruji besi. Bahkan keluarga pasien bisa menjadi mata tombak yang tajam ketika mereka
harus kehilangan keluarganya walaupun bukan kesalahan kita. Berhati-hatilah dan selalu
lakukan yang terbaik dalam bekerja, jangan sia-siakan semua perjalanan panjang untuk
diambil hikmahnya.
menjadi
tempat
kontak
pertama
pasien
dengan
dokternya
untuk
Kompetensi yang harus dicapai seorang dokter meliputi tujuh area kompetensi
atau kompetensi utama yaitu:
1. Keterampilan komunikasi efektif.
2. Keterampilan klinik dasar.
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku
dan epidemiologi dalam praktik kedokteran.
4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun
masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi
dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer.
5. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi.
6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat.
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.
l. Mawas diri dan mengembangkan diri/ belajar sepanjang hayat dan melakukan
penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran.
m. Tugas dan hak eksklusif dokter untuk memberikan Surat Keterangan Sakit
dan Surat Keterangan Berbadan Sehat setelah melakukan pemeriksaan pada
pasien.
Terminologi dokter memberikan sejumlah predikat, tanggung jawab, dan peranperan eksistensial lainnya. Tanpa melupakan sisi dominan proses pembelajaran
dan pengembangan intelektual, seorang dokter juga pada prinsipnya diamanahkan
untuk menjalankan tugas-tugas antropososial dan merealisasikan tanggung jawab
individual kekhalifaan, mewujudkan kebenaran dan keadilan, yang tentunya
tidak akan terlepas pada konteks dan realitas dimana dia berada. Dengan tetap
mengindahkan tanggung jawab dispilin keilmuan, maka entitas dokter haruslah
mampu
mempertemukan
konsepsi
dunia
kedokterannya
dengan
realitas
source :
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSO_t5EY2a26O6bPLFDgnvGSO6ol4S5hcTSJbZFpB9qGkpnTxOr&t=1
maka
orang-orang
yang
terlibat
dalam
proses
hidup
dan
kedokteran
sebagai
salah
satu
prasyarat
utama
untuk
dapat
mempertahankan hidup.
Pada akhirnya, lambat namun pasti, profesi kedokteran seakan menjadi ilmu
pengetahuan utama (master of science), dimana setiap dokter dipandang sebagai
seorang jenius dan tahu segalanya dan semua orang akan berusaha menjadi dan
memegang peran besar dalam pekerjaan terhormat ini.
Profesi kedokteran dianggap sebagai sebuah seni (art) dalam kehidupan,
karenanya tidak setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan kecakapan akan
tindakan-tindakan medis, walaupun itu hanya tindakan medis sederhana yang
dapat dimiliki oleh setiap orang saat ini.
Dengan semakin bertambahnya kompleksitas kehidupan manusia, maka ragam
lingkup ilmu pengobatan (kedokteran) menjadi terdesak untuk melakukan
pengembangan dan peningkatan kualitas, sesuai dengan kompleksitas objek
pengobatan yang dijumpai dalam realitas.
Maka mulailah terjadi proses desakralisasi ilmu kedokteran (pengobatan), dimana
setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat memahami dan memilikinya,
tentunya setelah menyanggupi syarat-syarat yang diajukan, melalui proses
pendidikan yang lebih sistematik. Pada aras yang lain, pengembangan ilmu
pengobatan yang sudah ada sebelumnya menjadi bagian yang tak terpisahkan,
mulailah dilakukan penelitian-penelitian (medical research) dengan menggunakan
teknologi modern, untuk menyempurnakan pengetahuan pengobatan yang telah
ada.
by : http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/