Anda di halaman 1dari 137

TESIS

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN KAWASAN PERMUKIMAN


DI KOTA RUMBIA KABUPATEN BOMBANA

Oleh :
SYAMSUAR
NIM G2F1 011 094

PROGRAM STUDI
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN KAWASAN PERMUKIMAN


DI KOTA RUMBIA KABUPATEN BOMBANA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Sains Dalam Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pada Program
Pascasarjana Universitas Halu Oleo

Oleh :

SYAMSUAR
G2F1 011 094

PROGRAM STUDI
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama

: SYAMSUAR

NIM

: G2F1 011 094

Program Studi

: Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Program

: Pascasarjana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang
saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Tesis ini hasil jiplakan, maka
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai peraturan yang berlaku.

Kendari, 2014
Yang Membuat Pernyataan,

SYAMSUAR
NIM. G2F1 011 094

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian

: Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman


Di Kota Rumbia Kabupaten Bombana

Nama Mahasiswa

: SYAMSUAR.

NIM

: G2F1 011 094

Program Studi

: Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Menyetujui:
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mukhtar, M.S


Ketua

Dr. H. Hasbullah Syaf, SP., M.Si


Anggota

Mengetahui:
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Halu Oleo

Ketua Program Studi


Perencanaan Pengembangan
Wilayah,

Prof. Ir. H. Sahta Ginting, M.Agr. Sc. Ph.D


NIP. 19550801 198403 1 004

Dr. Ir. M. Tufaila Hemon, MP


NIP. 19660705 199103 1 004

Tanggal Lulus : 10 Oktober 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Analisis Kesesuaian Lahan
Permukiman di Kota Rumbia Kabupaten Bombana. Tesis ini disusun untuk memperoleh
gelar Magister Sains Dalam Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah Pada
Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada bapak
Dr. Ir.Mukhtar, MS selaku pembimbing I dan bapak Dr. H. Hasbullah Syaf, SP.,M.Si
selaku pembimbing II, selain itu penulis juga menyampaikan penghargaan terutama
kepada:
1.

Rektor Universitas Halu Oleo.

2.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.

3.

Ketua Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah Program Pascasarjana


Universitas Halu Oleo.

4.

Bapak dan Ibu dosen serta staf Administrasi Program Pascasarjana Universitas Halu
Oleo.

5.

Pemerintah Kabupaten Bombana membawahi kecamatan Rumbia dan kecamatan


Rumbia Tengah.

6.

Rekan-rekan mahasiswa Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Halu


Oleo.

7.

Kepada sahabat setiaku yang sangat membantu penulis dengan penuh kesabaran,
ketekunan dan pengorbanan dengan penuh ketulusan yang tanpa pamrih.

8.

Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu namun telah membantu
dalam penyelesaian tesis ini.
Tak lupa penulis mengucapkan kepada orangtuaku Ayahanda H. Mappigau, SH

dan Ibunda tercinta almarhumah Hj. ST.Salmah, Mertua bapak Sumpeno, SKM., M.Kes
dan ibu almarhumah Hj. Yulia, Isteri tercinta dr. Sari Yuniar Purwalianty Sumpeno dan
putri-putra tercinta serta saudara-saudara penulis, atas segala dukungan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini penuh dengan kekurangan, namun semoga tesis
ini dengan segala kelemahan dan kekurangannya dapat bermanfaat bagi semua kalangan
dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Kendari,

September 2014

Penulis

ABSTRAK

Syamsuar, 2014. Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman di Kota Rumbia


Kabupaten Bombana. Tesis. Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Program Pasca Sarjana, Universitas Haluoleo. Dibawah bimbingan Mukhtar dan
Hasbullah Syaf.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian lahan kawasan permukiman di Kota
Rumbia dengan menggunakan analisis Geographic Information System (GIS) dengan
teknik overlay peta terhadap lima parameter kesesuaian lahan antara lain kesesuaian lahan
berdasarkan kemiringan, pola ruang, sempadan pantai, sempadan sungai dan penggunaan
lahan eksisting.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, kategori lahan yang sesuai untuk peruntukan
kawasan permukiman di Kota Rumbia seluas 1.690,60 Ha, kategori lahan yang sesuai
dengan syarat seluas 1.566,62 Ha, dan lahan yang mutlak tidak diperbolehkan dan
direkomendasikan menjadi kawasan permukiman adalah seluas 4.752,78 Ha. Kategori
lahan yang sesuai dengan syarat umumnya mempunyai berada pada kawasan pertanian
lahan basah (sawah), hal ini terkait dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sedangkan untuk lahan
yang tidak sesuai untuk kawasan permukiman umumnya berada dalam wilayah kawasan
hutan lindung.
Kata Kunci : Kawasan permukiman, kesesuaian lahan, Kota Rumbia.

ABSTRACT

Syamsuar, 2014. Land Suitability Analysis of Settlement Areas in The Rumbia City Distric
Bombana. Thesis. Major of Region Planning and Development, Postgraduate Program,
University of Haluoleo. Under the guidance of Mukhtar and of Hasbullah Syaf.
This study aimed of determine the land suitability for settlement areas within the city of
Rumbia by using Geographic Information System (GIS) analysis, with a technique of map
overlay on five parameters af and suitability, which include the suitability of land
declivity, spatial pattern, land-to-beach demarcation, land-to-river demarcation and use
of existing land.
Based on the results af data analysis, the total areas within the city of Rumbia that are
perfectly suitable for settlement is 1,690.60 Ha, the total areas that are conditionally
suitable is 1,566.62 Ha, and the total areas that are absolutely unsuitable for and not
recommended for settlement is 4.752,78 Ha. In general the conditionally suitable areas
for settlement are on agricultural areas (rice farming). This is in accordance to the laws
No. 41 of 2009 regarding Preservation for suitainable Food-Producing Agricultural
Areas, whereas the areas that are absolutely unsuitable for settlement are those within
preserved forests.
Keywords: residential area, land suitability, Rumbia City.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama

: Syamsuar

Tempat/Tanggal Lahir

: Ujung Pandang, 10 september 1976

Istri

: dr. Sari Yuniar Purwalianty Sumpeno

Anak

: 1. Aliyya Najwa Syamsuar


2. Fayyadh Muzhaffar Syamsuar

Orang tua
Ayah

: H. Mappigau, SH

Ibu

: Hj. St. Salmah

Pendidikan

: SD Inpres Jongaya Ujung Pandang Tahun 1989


SMP Negeri 1 Makassar Tahun 1992
SMA Negeri 3 Makassar Tahun 1995
S1 Teknik Universitas Hasanuddin 2003

Pekerjaan

: PNS pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang


Kabupaten Bombana

DAFTAR ISI

Halaman Prasyarat Gelar ...................................................................................

iii

Halaman Pernyataan Keaslian Tulisan ..............................................................

iv

Halaman Pengesahan .........................................................................................

Halaman Kata Pengantar ....................................................................................

vi

Halaman Abstrak ...............................................................................................

viii

Halaman Abstract ...............................................................................................

ix

Halaman Riwayat Hidup ....................................................................................

Halaman Daftar Isi .............................................................................................

xi

Halaman Daftar Tabel ........................................................................................

xiv

Halaman Daftar Gambar ....................................................................................

xv

Halaman Daftar Lampiran .................................................................................

xvii

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................

B. Rumusan Masalah ................................................................................

C. Tujuan Penelitian .................................................................................

D. Manfaat Penelitian ...............................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Teori Perencanaan Wilayah .................................................................

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota ................................................

10

C. Pola Ruang Kota ..................................................................................

12

1. Teori Konsentrik .............................................................................

13

2. Teori Sektoral...................................................................................

14

3. Teori Inti Berganda .........................................................................

15

D. Pertumbuhan Perumahan dan Permukiman di Indonesia ....................

16

1. Isu Strategis dan Permasalahan Perumahan dan Permukiman ........

19

a. Isu Kesenjangan Pelayanan ........................................................

19

b. Isu Lingkungan ...........................................................................

20

c. Isu Manajemen Pembangunan ...................................................

20

xi

2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman ...................................

21

E. Perubahan Guna Lahan ........................................................................

28

F. Penginderaan Jauh ...............................................................................

30

G. Sistem Informasi Geografis (SIG) .......................................................

32

H. Penelitian Terdahulu ............................................................................

33

III. KERANGKA PIKIR ...................................................................................

36

IV. METODE PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................

38

B. Jenis dan Sumber Data .........................................................................

38

C. Variabel Penelitian ...............................................................................

40

D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................

41

E. Metode Analisis Data ..........................................................................

42

1. Analisis Geographic Information System (GIS) .............................

43

2. Analisis Deskriptif ..........................................................................

44

F. Konsep Operasional .............................................................................

49

V. HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .................................................

51

B. Kondisi Wilayah Kota Rumbia ............................................................

53

1. Administrasi dan Demografi ...........................................................

53

2. Kondisi Topografi ...........................................................................

58

3. Kondisi Hidrologi ...........................................................................

62

4. Kondisi Sosial Budaya ....................................................................

64

C. Penggunaan Lahan Kota Rumbia ........................................................

65

D. Analisis Kebijakan Tata Ruang Wilayah Kota Rumbia ......................

70

1. Pola Ruang ......................................................................................

71

a. Kawasan Lindung .......................................................................

72

b. Kawasan Budidaya .....................................................................

74

2. Struktur Ruang ................................................................................

77

a. Bagian Wilayah Kota (BWK) I ..................................................

77

b. Bagian Wilayah Kota (BWK) II .................................................

78

xii

c. Bagian Wilayah Kota (BWK) III ...............................................

79

E. Kondisi Perumahan di Kota Rumbia ...................................................

82

F. Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman di Kota Rumbia ..

90

1. Kemiringan Lahan ...........................................................................

90

2. Penggunaan Lahan Eksisting ..........................................................

92

3. Pola Ruang ......................................................................................

93

4. Sempadan Pantai .............................................................................

94

5. Sempadan Sungai ............................................................................

96

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ..........................................................................................

105

B. Saran ....................................................................................................

106

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

DAFTAR TABEL

No.

Teks

Halaman

2.1.

Penelitian Terdahulu ................................................................................

34

4.1.

Kebutuhan Data Penelitian .......................................................................

39

4.2.

Variabel Penelitian ...................................................................................

41

4.3.

Parameter Analisis Lahan Kota Rumbia ..................................................

47

5.1.

Jumlah Desa/Kelurahan, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan


Kepadatan Penduduk Kota Rumbia, 2013 ................................................

54

5.2.

Ketinggian Wilayah Kota Rumbia ...........................................................

58

5.3.

Kemiringan Wilayah Kota Rumbia ..........................................................

60

5.4.

Daerah Aliran Sungai di Kota Rumbia ....................................................

62

5.5.

Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Kota Rumbia, 2013 ......................

68

5.6.

dan Jenis Kawasan Permukiman di Kota Rumbia, Tahun 2013 ..............

83

5.7.

Luas Kawasan Permukiman dan Lahan Kosong menurut Bagian


Wilayah Kota (BWK) di Kota Rumbia. Tahun 2013................................

88

5.8.

Parameter Kesesusian Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan Lahan .....

91

5.9.

Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan ...............

92

5.10. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Pola Ruang ...........................

94

5.11. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Garis Sempadan Pantai ........

95

5.12. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Garis Sempadan Sungai .......

96

5.13. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman di Kota


Rumbia Kab. Bombana Tahun 2013 ........................................................

98

5.14. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman Berdasarkan


Desa/Kelurahan di Kota Rumbia Kab. Bombana Tahun 2013 .................

100

5.15. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman berdasarkan


Bagian Wilayah Kota di Kota Rumbia Kabupaten Bombana Tahun
2013 ..........................................................................................................

102

5.16. Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman Eksisting menurut


Desa/Kelurahan di Kota Rumbia Kabupaten Bombana Tahun 2013 .......

103

xiv

DAFTAR GAMBAR

No.

Teks

Halaman

2.1.

Model Zona Konsentris (Burgess) ...........................................................

14

2.2.

Teori Sektoral Hoyt ..................................................................................

15

2.3.

Teori Inti Berganda C/D. Harris dan E.L. Ullman ...................................

16

2.4.

Siklus Perubahan Fungsi Lahan ...............................................................

29

2.5.

Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) ..............................................

30

3.1.

Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................

37

4.1.

Diagram Proses Analisis Data ..................................................................

48

5.1.

Peta Wilayah Penelitian ...........................................................................

52

5.2.

Peta Administrasi Kota Rumbia ...............................................................

55

5.3.

Peta Kepadatan Penduduk Kota Rumbia Tahun 2013 .............................

57

5.4.

Peta Ketinggian Wilayah Kota Rumbia ...................................................

59

5.5.

Peta Kemiringan Wilayah Kota Rumbia ..................................................

61

5.6.

Peta Daerah Alirah Sungai (DAS) Kota Rumbia .....................................

63

5.7.

Jenis Penggunaan Lahan di Kota Rumbia ................................................

66

5.8.

Persentase Penggunaan Lahan di Kota Rumbia, 2013 .............................

67

5.9.

Peta Penggunaan Lahan Kota Rumbia Tahun 2013 .................................

69

5.10. Kawasan Lindung Gunung Tangkeno Todoha di Kota Rumbia ..............

74

5.11. Kawasan Budidaya di Kota Rumbia ........................................................

75

5.12. Peta Pola Ruang Wilayah Kota Rumbia ..................................................

76

5.13. Tipologi Bagian Wilayah Kota (BWK) I Kota Rumbia Berdasarkan


Citra Satelit Tahun 2013 ...........................................................................

78

5.14. Tipologi Bagian Wilayah Kota (BWK) II Kota Rumbia Berdasarkan


Citra Satelit Tahun 2013 ..........................................................................

79

5.15. Tipologi Bagian Wilayah Kota (BWK) III KotaRumbia Berdasarkan


Citra Datelit Tahun 2013 ..........................................................................

80

5.16. Peta Struktur Ruang Wilayah Kota Rumbia ............................................

81

5.17. Kondisi Kawasan Permukiman di Kota Rumbia .....................................

84

5.18. Kondisi Kawasan Perumahan di Kota Lama ...........................................

85

5.19. Kondisi Kawasan Permukiman di Kawasan Perkantoran ........................

86

5.20. Kondisi Kawasan Kumuh pada Wilayah Kota Lama ..............................

87

xv

5.21. Peta Sebaran Kawasan Permukiman di Kota Rumbia Tahun 2013 ..........

89

5.22. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Kemiringan Lahan .......

91

5.23. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Penggunaan Lahan .......

93

5.24. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Pola Ruang ...................

94

5.25. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Garis Sempadan Pantai .

95

5.26. Peta Kesesusian Lahan Berdasarkan Parameter Garis Sempadan Sungai

97

5.27. Teknik Overlay Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter ............

97

5.28. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman di Kota Rumbia .............

101

5.29. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman Eksisting di Kota


Rumbia Tahun 2013 .................................................................................

104

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Teks

1.

Peta Administrasi Kabupaten Bombana.

2.

Peta Orientasi Wilayah Penelitian.

3.

Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kab.


Bombana Tahun 2013.

4.

Tabel Jumlah Penduduk Kota Rumbia Berdasarkan Umur.

5.

Citra Satelit Kota Rumbia Tahun 2014.

6.

ASTER DEM Kota Rumbia Tahun 2011.

7.

Foto-Foto Hasil Survey Lapangan.

xvii

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perumahan dan Permukiman menurut Dharoko dalam Budihardjo. et
al, (2009) terdiri dari dua bagian yaitu perumahan adalah kelompok rumah
yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama yang dilengkapi dengan
sarana dan prasarana lingkungan, menurut (Kuswartojo, 2005) makna dari
perumahan dapat dikategori menjadi perumahan formal yakni perumahan
yang dibangun degan suatu aturan yang jelas dengan suatu pola yang teratur,
perumahan informal adalah akumulasi rumah yang dibangun oleh keluarga
atau individu tanpa mengikuti suatu aturan sehingga terkesan acak.
Sedangkan permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat atau lingkungan
dimana manusia tinggal, berkembang.
Pemanfaatan lahan untuk permukiman perlu diatur dengan baik,
sehingga sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan, dengan
mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis sehingga tidak sampai
terjadi penurunan kualitas lahan. Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan
pinggiran adalah lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan,
daerah resapan air dan
perumahan, industri

pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan

dan kegiatan usaha non pertanian lainnya. Adanya

fenomena semakin berkurangnya lahan terbuka hijau karena perluasaan lahan


terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan
konsekuensi logis bahwa semakin besar perubahan penggunaan lahan hutan,

pertanian dan daerah resapan air menjadi penggunaan perkotaan (nonpertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan.
Perubahan struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata fenomena
fisik berkurangnya luasan lahan tertentu dan meningkatnya penggunaan lahan
untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat dengan
perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat
(Nasution dan Winoto, 1996). Perubahan orientasi tersebut berkait dengan
terjadinya proses transformasi struktur perekonomian yang dicirikan semakin
menurunnya pangsa relatif sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan
semakin meningkatnya pangsa relatif sektor sekunder dan tersier (industri dan
jasa). Dengan demikian pembangunan ekonomi diarahkan untuk mengurangi
ketergantungan perekonomian suatu wilayah terhadap sektor primer yang
mempunyai nilai tambah (value added) yang lebih rendah dibandingkan
dengan sektor sekunder dan tersier.
Laju perkembangan Kota Rumbia yang berlangsung secara cepat
disebabkan pula oleh pertumbuhan penduduk Kota Rumbia sebesar 2,86 %
(tahun 2011-2012) yang berada di atas pertumbuhan penduduk Provinsi
Sulawesi Tenggara (1,83 %) dapat menimbulkan berbagai konsekuensi yang
kurang menguntungkan bagi perkembangan kota. Hal tersebut timbul akibat
dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetensi penggunaan lahan di pusat
kota, keterbatasan lahan dan pertumbuhan penduduk yang pesat serta adanya
konsep pengembangan kota.
Peningkatan jumlah penduduk ini bertautan dengan peningkatan
permintaan terhadap ruang dan sarana prasarana yang mengisi ruang tersebut

guna mendukung aktifitas sosial ekonomi penduduk perkotaan. Lahan yang


ada dengan sendirinya akan berubah fungsi. Meminjam terminologi dari Iwan
Kustiwan dalam Tjahjati (1997), bahwa konversi lahan adalah alih fungsi
atau

mutasi

lahan

secara

umum

menyangkut

transformasi

dalam

pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan


lainnya.
Lahan untuk perumahan
budidaya di

atau permukiman terletak pada kawasan

luar kawasan lindung (UU No. 24 Tahun 1992) yang

mempunyai kriteria-kriteria kemiringan lereng, curah hujan, daya dukung


tanah, drainase, jenis tanah dan tidak pada daerah labil. Menurut Khadiyanto
(2005) kesesuaian lahan untuk permukiman dipakai beberapa parameter
geomorfologis yaitu yang berhubungan dengan relief, proses geomorfologi,
batuan, tanah, hidrologi, vegetasi dan aksesibilitas yang lebih banyak melihat
pada faktor penggunaan lahannya.
Kondisi kawasan permukiman di Kota Rumbia pada awalnya
menempati kawasan di sekitar pesisir pantai yang berada pada kemiringan
lahan 0 3 %, kondisi ini ditunjang oleh jenis mata pencaharian masyarakat
yang umumnya adalah nelayan dan petani, namun seiring dengan
perkembangan wilayah dan ditetapkannya Kabupaten Bombana sebagai
kabupaten sendiri, kawasan perumahan dan permukiman mengalami
perkembangan yang sangat cepat. Perubahan lahan pertanian menjadi lahanlahan perumahan dan permukiman tidak bisa dihindari lagi, kondisi ini sangat
mempengaruhi kualitas lahan dan ketersediaan lahan di Kota Rumbia di masa
yang akan datang.

Menurut Departemen Kimpraswil (2002), salah satu persyaratan fisik


dasar suatu permukiman adalah aksesibilitas. Aksesibilitas didefinisikan
kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan permukiman tersebut dimana
semakin mudah pencapaian pada suatu kawasan akan semakin meningkatkan
aktifitas di wilayah itu termasuk dengan makin berkembangnya penduduk
ataupun perumahannya.
Perkembangan permukiman di Kabupaten Bombana khususnya pada
Kota Rumbia sebagai ibukota kabupaten merupakan bentuk perkembangan
fisik kota, mengingat data-data mengenai perkembangan permukiman sangat
penting bagi perencanaan dan pembangunan, maka perlu dipantau agar tidak
menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis kesesuaian lahan kawasan perumahan/permukiman pada
wilayah Kota Rumbia (Kec. Rumbia Tengah dan Kec. Rumbia) untuk melihat
kondisi perkembangan kawasan tersebut dan ketersediaan lahan dimasa yang
akan datang.
B. Rumusan Masalah
Laju pertumbuhan penduduk yang makin tinggi (2,86 % pada tahun
2011-2012) di atas laju pertumbuhan penduduk provinsi (1,83 %), Kecamatan
Rumbia dan Rumbia Tengah dari tahun ke tahun menjadi daerah hunian yang
semakin padat terutama di pusat kotanya, hal ini ditandai oleh pembangunan
perumahan dan permukiman di Kota Rumbia. Namun sayangnya,
pembangunan sektor ini sering mengesampingkan peruntukan lahan sehingga
fungsi lahan di sektor lain menjadi berubah.

Perubahan penggunaan lahan sebenarnya sangat menguntungkan


penduduk karena perubahan yang terjadi mewadahi aktivitas perdagangan
dan jasa. Hal ini dapat lebih meningkatkan perekonomian penduduk, namun
terkadang perubahan yang terjadi tidak diiringi dengan kebijakan yang telah
ditetapkan sehingga menimbulkan ketidakteraturan kawasan. Dengan
demikian, dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan yang akan
diteliti, yaitu:
1) Bagaimana kondisi kawasan permukiman di Kota Rumbia saat ini.
2) Bagaimana kesesuaian lahan kawasan perumahan/permukiman.
3) Bagaimana arahan rencana pengembangan kawasan permukiman di Kota
Rumbia.
C. Tujuan Penelitian
1) Mengidentifikasi dan mengetahui kondisi kawasan permukiman di Kota
Rumbia saat ini.
2) Mengidentifikasi dan mengetahui kesesuaian lahan kawasan permukiman
di Kota Rumbia.
3) Menentukan arahan rencana pengembangan kawasan permukiman Kota
Rumbia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam
Pemerintah Daerah dalam menyusun tata ruang wilayah.

2) Bagi masyarakat, merupakan informasi perkembangan pemanfaatan


ruang maupun perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kota
Rumbia.
3) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat menambah dan
memperkaya wawasan ilmu pengetahuan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Perencanaan Wilayah


Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan
yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan
yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan
lingkungannya dalam wilayah

tertentu, dengan memanfaatkan atau

mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki


orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas
prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).
Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk
menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan
meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan
Daerah adalah Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor),
baik umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat
lainnya

pada

tingkatan

yang

berbeda

untuk

menghadapi

saling

ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek


lingkungan lainnya dengan cara: (1) secara terus menerus menganalisis
kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah, (2) merumuskan tujuan dan
kebijakan pembangunan daerah, (3) menyusun konsep strategi bagi
pemecahan masalah (solusi), dan (4) melaksanakannya dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia sehingga peluang baru untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan
(Solihin, D, 2005).

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan


wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu:
1) Physical Planning (Perencanaan fisik).
Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik
pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada
pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota
menghubungkan

antara

beberapa

titik

simpul

aktivitas.

Teori

perencanaan ini telah membahas tentang kota dan sub bagian kota secara
komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah memasukkan
kajian tentang aspek lingkungan bentuk master plan (tata ruang, lokasi
tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).
2) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).
Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah.
Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama
dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan
ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan,
tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi.
Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan
ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah.
Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas
lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
3) Social Planning (Perencanaan Sosial)
Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas
sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan

masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat


perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di daerah.
Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.
4) Development Planning (Perencanaan Pembangunan)
Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan
secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.
Menurut Fianstein dan Norman (1991), tipologi perencanaan dibagi atas
empat macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam
perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Traditional planning (perencanaan tradisional)
Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan
untuk merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada
konsep perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan
perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional memiliki
program inovatif terhadap perbaikan lingkungan perkotaan dengan
menggunakan standar dan metode yang professional.
2) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna)
Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan
untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencanaan tersebut,
dalam hal ini masyarakat kota. Masyarakat yang menentukan produk
perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
3) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi)
Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat
yang termarjinalkan dalam proses pembangunan kota dalam hal ini

10

adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan


memberikan perhatian khusus terhadap melalui program khusus guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.
4) Incremental Planning (Perencanaan dukungan)
Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses
pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan.
Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam terhadap
permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak
negatif sebuah kebijakan.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang
saling terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya
adalah suatu proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban
growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan
masyarakat kota. Sedangkan perkembangan kota (urban development) adalah
perubahan dalam masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial politik,
sosial budaya dan fisik (Hendarto, 2001).
Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai dari
nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga yang
secara fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang
mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur
yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan
unsur itu sendiri. Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur

11

tersebut dipandang secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai


organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia.
Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan
penduduk dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi
perkembangan kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan
karena karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata guna
lahan

menjadi

suatu

konsekwensi

logis

dalam

pertumbuhan

dan

perkembangan kota.
Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan
kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial
ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan kata
lain, kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
alami dan non alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala pemusatan
penduduk yang cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang beraneka
ragam dan perilaku yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan
perekonomian.
Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan
oleh adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit, pendidikan,
pasar, industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang luas dan jalanan
beraspal yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor. Dari segi fisik, suatu
kota banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur buatan manusia ( artificial),
misalnya

pola

jalan,

landmark,

bangunan-bangunan

monumental, utilitas, pertamanan dan traffic.

permanen

dan

12

Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan


fungsinya sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif
pemerintahan, pusat militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual dalam
satu kelembagaan, selain itu heterogenitas dan pembedaan yang bersifat
hirarkis pada masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller mengartikan kota
dari sudut pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara dan penyedia jasa
bagi wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya, sehingga kota
disebut sebagai pusat pelayanan (Daldjoeni, 1997).
Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat
kekotaan adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya prasaranasarana serta keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin banyak fungsi
dan fasilitas perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa lokasi konsentrasi
itu adalah sebuah kota (Tarigan, 2004).
C. Pola Ruang Kota
Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, pola
ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk budidaya.
Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam
wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten berfungsi:
1) Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;
2) Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
3) Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan

13

4) Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah


kabupaten.
Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan:
1) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
2) Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;
3) Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan
lingkungan;
4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:
1.

Teori Konsentrik
Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang
meneliti kota Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di kota
mengikuti

zone-zone

lingkaran

konsentris

(melingkar).

Struktur

penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:


1) Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)
Wilayah PDK atau Central Business District (CBD) merupakan
pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung, pusat
pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.
2) Zone transisi (peralihan)
Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-pabrik
ringan dan tempat tinggal masyarakat terpandang.
3) Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah
Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.

14

4) Zone pemukiman masyarakat menengah


Zone

ini

merupakan

kawasan

pemukiman

masyarakat

berpenghasilan menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.


5) Zone pemukiman masyarakat elite
Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni ooleh orang
kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.
6) Zone penglaju (suburban)
Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju) yang
siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke rumah di
pinggiran.
Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan
perkotaan menurut Burgess (1925)
dapat dilihat
lihat pada gambar berikut:
berikut

Gambar 2.1. Model Zona Konsentris (Burgess)

2.

Teori Sektoral
ektoral
Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939) berpendapat
bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung berkembang mengikuti
sektor-sektor
sektor

yang lebih

bebas

daripada berdasarkan

lingkaran

konsentris. Adanya pola penggunaan yang berbentuk sektoral yang

15

memanjang diakibatkan adanya bentuk lahan dan pengembangan jalan


sebagai sarana rute komunikasi dan transportasi. Hal ini disebabkan
lokasi pemukiman penduduk cenderung mengikuti jalur jalan tersebut
Homer Hoyt (1939).

Gambar 2.2. Teori Sektoral Hoyt


Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt:

3.

Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.

Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.

Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.

Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.

Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.

Teori Inti Berganda


Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori ini
sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori sektoral.
Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang seperti teori
konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota terdapat tempat-tempat
tertentu yang berfungsi sebagai inti kota seperti wilayah industri,
pelabuhan dan jaringan jalan, kompleks perguruan tinggi, dsb. Dalam arti

16

bahwa pusat kegiatan bukan satu melainkan ganda C.D. Harris dan E.L.
Ullman dalam Daldjoeni (1992).

Gambar 2.3. Teori Inti Berganda C.D. Harris dan E.L. Ullman

D. Pertumbuhan Perumahan dan Permukiman di Indonesia


Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak
terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun
kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.
Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman,
sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan sejak Pelita V
dalam bentuk Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan, namun
penekanannya masih terbatas kepada aspek perumahan saja. Dalam
perjalanannya, acuan tersebut dirasakan kurang sesuai lagi dengan berbagai
perkembangan permasalahan yang semakin kompleks, sehingga diperlukan
pengaturan dan penanganan perumahan dan permukiman yang lebih
terintegrasi. Sehingga untuk itu perlu disusun suatu kebijakan dan strategi

17

baru yang cakupannya dapat meliputi bidang perumahan dan permukiman


sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sampai menjelang berakhirnya abad dua puluh, pembangunan
perumahan dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan
melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola
pasokan. Pola pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada Perum
Perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun 1974, dan
kemudian juga dikembangkan oleh para pengembang swasta yang juga
melayani masyarakat golongan berpenghasilan menengah keatas. Namun
demikian, dapat diakui bahwa masih terdapat sekitar 85% perumahan yang
diupayakan sendiri oleh masyarakat secara informal.
Pada akhir abad dua puluh keterpurukan perekonomian yang terjadi di
Indonesia tidak dapat terelakkan, dan hal ini kemudian berdampak pada
merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
termasuk di dalam menyelenggarakan perumahan dan permukiman, serta
yang sekaligus juga berdampak pada kinerja sektor perumahan dan
permukiman, yang sebenarnya dapat berperan sebagai salah satu lokomotif
kebangkitan ekonomi nasional.
Tata guna lahan perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan
peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja, kawasan
pertokoan dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Sedangkan
pemanfaatan lahan dengan melihat aspek aksesbilitas menurut Chapin (1995),
pemanfaatan lahan untuk fasilitas pelayanan kota cenderung mendekati akses
barang dan orang sehingga dekat dengan jaringan transportasi serta dapat

18

dijangkau dari kawasan permukiman dan tempat berkerja serta fasilitas


pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi, terutama untuk skala kota atau
regional, cenderung menyesuaikan dengan potensi alam seperti pantai, danau,
daerah dengan topografi tertentu, atau flora dan fauna tertentu.
Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota
yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian bahwa
tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan jarak yakni
menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai keuntungan.
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang
terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan
kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan
perumahan dan permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan
sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut.
Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun
penunjang

diperlukan

agar

pembangunan

dapat

dilakukan

secara

berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan permukiman


terhadap

kelestarian

lingkungan

serta

keseimbangan

daya

dukung

lingkungannya harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus


dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai
dengan

tahap

pengelolaan

dan

pengembangannya,

agar

arah

perkembangannya tetap selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan


berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin
menggarisbawahi

bahwa

permasalahannya

selain

menyangkut

fisik

19

perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di


dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas
umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini
diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara
pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi
dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan keseimbangan
tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman responsif yang
ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk.
1. Isu Strategis dan Permasalahan perumahan dan permukiman
Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di
Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana
Wilayah Nomor : 217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) sesungguhnya tidak
terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat,
dan kondisi kebijakan pemerintah di dalam mengelola persoalan
perumahan dan permukiman yang ada, antara lain:
a. Isu kesenjangan pelayanan
Isu kesenjangan pelayanan muncul karena terbatasnya peluang
untuk memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang
perumahan dan permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat
miskin dan berpendapatan rendah. Di samping itu juga dapat
dikarenakan adanya konflik kepentingan akibat implementasi kebijakan
yang relatif masih belum sepenuhnya dapat memberikan perhatian dan
keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

20

b. Isu lingkungan
Isu lingkungan pada kawasan perumahan dan permukiman
umumnya muncul karena dipicu oleh tingkat urbanisasi dan
industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan
teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana
dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki lingkungan
permukiman yang ada, dan masih rendahnya kualitas permukiman baik
secara fungsional, lingkungan, maupun visual wujud lingkungan,
merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan permukiman
yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan.
c. Isu manajemen pembangunan
Isu

manajemen

pembangunan

muncul

umumnya

karena

dipengaruhi oleh keterbatasan kinerja tata pemerintahan di seluruh


tingkatan, sehingga berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan
yang telah ditetapkan, inkonsistensi di dalam pemanfaatan lahan untuk
perumahan dan permukiman, dan munculnya dampak negatif terhadap
lingkungan. Disamping itu terjadinya proses marjinalisasi sektor lokal
oleh sektor nasional dan global juga berdampak potensial terhadap
meningkatnya kemiskinan serta tersisihnya komunitas informal
setempat berikut terbatasnya peluang usaha.
Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat juga merupakan
tantangan bagi pemerintah, baik nasional maupun lokal, untuk menjaga
agar pertumbuhannya lebih merata, termasuk dalam upaya pemenuhan

21

kebutuhan perumahan dan permukiman. Dengan demikian, pengelolaan


pembangunan perumahan dan permukiman harus memungkinkan
berkembangnya

prakarsa

masyarakat

melalui

mekanisme

yang

dipilihnya sendiri.
Di

pihak

lain

kemampuan

membangun

perumahan

dan

permukiman oleh komunitas harus direspon secara lebih tepat oleh


pemerintah di dalam kerangka tata pemerintahan yang baik, sehingga
kebutuhan akan identitas lokal masih tetap dapat terjaga di dalam
kerangka pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih
menyeluruh.
2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman
Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di
Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut menurut Kirmanto
(2002) sebagai berikut:
a. perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh
ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan,
perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha;
b. konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak
pada

suatu

kelompok

dalam

pembangunan

perumahan

dan

permukiman;
c. alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan
perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga
berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan

22

tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang


bersangkutan;
d. terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami
tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber
daya alam;
e. komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus
pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi
ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan
menguntungkan.
Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih,
sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata
bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta
pencemaran air, udara, dan tanah.
Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah
perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan
material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal,
serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam
ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali
menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman, 2005).
Secara sederhana permasalahan perumahan dan permukiman ini
adalah tidak sesuainya jumlah hunian yang tersedia jika dibandingkan
dengan kebutuhan dan jumlah masyarakat yang akan menempatinya.
Tetapi apa bila kita melihat lebih dalam lagi, pokok-pokok permasalahan

23

dalam perumahan dan pemukiman ini sebenarnya adalah (Yudohusodo,


1991):
a. Kependudukan
Penduduk Indonesia yang selalu berkembang, merupakan faktor
utama yang menyebabkan permasalahan perumahan dan permukiman
ini selalu menjadi sorotan utama pihak pemerintah. Pesatnya angka
pertambahan penduduk yang tidak sebanding dengan penyediaan sarana
perumahan menyebabkan permasalahan ini semakin pelik dan serius.
Meningkatnya arus urbanisasi serta semakin lebarnya jurang pemisah
antara kota dan desa merupakan salah satu pemicu permasalahan
kependudukan ini.
b. Tata Ruang dan Pengembangan wilayah
Daerah perkotaan dan pedesaan merupakan satu kesatuan wilayah
yang seharusnya menjadi perhatian khusus pihak yang berkepentingan
dalam hal pembangunan ini, khususnya pembangunan perumahan dan
permukiman. Seharusnya hal ini menjadi panduan untuk melaksanakan
pemerataan dalam pembangunan antar keduanya. Tetapi yang kita
temui dilapangan sekarang adalah semakin pesatnya pembangunan
yang dilakukan pada kota, sehingga daerah pedesaan semakin
tertinggal. Pesatnya pembangunan perumahan diperkotaan banyak yang
tidak sesuai dengan rencana umum tata ruang kota, inilah yang
menyebabkan keadaan perkotaan semakin hari semakin tidak jelas arah
pengembangannya.

24

c. Perencanaan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman yang masih


belum optimal.
Perencanaan merupakan aspek yang tidak boleh dianggap sebelah
mata, dengan perencanaan yang matang, sinergis dan integral dalam
setiap sektor akan menghasilakn keluaran pengembangan perumahan
dan pemukiman. Belum optimalnya perencanaan berakibat pada
lemahnya arah kebijakan pengembangan, tumpang tindihnya rencana
aksi pengembangan antar sektor, dan tidak fokusnya dalam menentukan
prioritas pengembangan perumahan dan pemukiman.
d. Pertanahan dan Prasarana
Pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar
akan selalu dihadapkan kepada masalah tanah, yang didaerah perkotaan
menjadi semakin langka dan semakin mahal. Tidak sedikit yang kita
jumpai areal pertanian yang disulap menjadi kawasan permukiman, hal
ini terjadi karena ketersediaan tanah yang sangat terbatas sedangkan
permintaan akan sarana hunian selalu meningkat setiap saatnya.
Konsekuensi logis dari penggunaan tanah pertanian sebagai
kawasan perumahan ini menyebabkan menurunnya angka produksi
pangan serta rusaknya ekosistem lingkungan yang apabila dikaji lebih
lanjut merupakan awal dari permasalahan lingkungan diperkotaan,
seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.
Selain itu, penyediaan perumahan dan pemukiman juga harus
diikuti dengan penyediaan prasarana dasar seperti penyediaan air
bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air

25

limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya


kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah yang memadai.
e. Pembiayaan.
Permasalahan biaya merupakan salah satu point penting dalam
pemecahan permasalahan perumahan dan permukiman ini. Secara
mikro, hal ini disebabkan oleh kemampuan ekonomis masyarakat untuk
menjangkau harga rumah yang layak bagi mereka masih sangat susah
sekali, karena sebagian besar masyarakat merupakan masyarakat
dengan tingkat perekonomian menengah kebawah.
Hal lain yang juga merupakan salah satu bentuk permasalahan
pembiayaan ini adalah adanya kecenderungan meningkatnya biaya
pembangunan, termasuk biaya pengadaan tanah yang tidak sebanding
dengan kenaikan angka pendapatan masyarakat, sehingga standar untuk
memenuhi kebutuhan akan hunian menjadi semakin tinggi.
f. Teknologi, Industri Bahan Bangunan dan Industri Jasa Konstruksi
Faktor lain yang juga merupakan pendukung yang ikut
menentukan sukses atau tidaknya program pembangunan perumahan
rakyat ini adalah produksi bahan bangunan dan distribusinya yang erat
kaitannya dengan harga, jumlah dan mutu serta penguasaan akan
teknologi pembangunan perumahan oleh masyarakat. Berdasarkan
kepada tulisan dalam buku Rumah Untuk Seluruh Rakyat, mengatakan
bahwa teknologi dan industri jasa konstruksi, khususnya untuk
pembangunan perumahan sederhana belum banyak kemajuan yang ada.

26

g. Kelembagaan
Perangkat kelembagaan dibidang perumahan, merupakan satu
kesatuan sistem kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan
perumahan secara berencana, terarah dan perpadu, baik itu yang
berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan pengaturan
pada berbagai tingkat pemerintahan, maupun lembaga-lembaga
pelaksana pembangunan di sektor pemerintah dan swasta. Hal lain yang
juga berhubungan dengan kelembagaan ini adalah pengembangan
unsur-unsur pelaksana pembangunan yang harus lebih dikembangkan
lagi, khususnya kelembagaan pada tingkat daerah, baik itu yang bersifat
formal

maupun

non-formal

yang

dapat

mendukung

swadaya

masyarakat dalam bidang perumahan dan permukiman.


h. Peran Serta Masyarakat
Berdasarkan kepada kebijaksanaan dasar negara kita yang
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas
perumahan yang layak, tetapi juga mempunyai peran serta dalam
pengadaannya. Menurut kebijaksanaan ini dapat kita simpulkan bahwa
pemenuhan

pembangunan

perumahan

adalah

tanggung

jawab

masyarakat sendiri, baik itu secara perorangan maupun secara bersamasama, pada point ini peran pemerintah hanyalah sebagai pengatur,
pembina dan membantu serta menciptakan iklim yang baik agar
masyarakat dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan perumahan
mereka.

27

Peran serta masyarakat akan dapat berlangsung lebih baik apabila


sejak awal sudah ada perencanaan pembangunan, agar hasilnya sesuai
dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan
kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan, dengan demikian
perumahan dan pemukiman dapat menciptakan suatu proses kemajuan
sosial secara lebih nyata.
i. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan dan perundang-undangan merupakan landasan hukum
bagi penerapan berbagai kebijaksanaan dasar maupun kebijaksanaan
pelaksanaan di bidang pemerintahan maupun bidang pembangunan.
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perumahan telah
mulai digagas dan dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari periode praPELITA hingga saat sekarang. Namun hal ini belum dapat memberikan
dampak yang cukup berarti dalam pembangunan perumahan, bahkan
dalam banyak hal dikatakan hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
kenyataan sekarang dan juga telah tertinggal dengan perkembangan dan
tuntutan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang, sehingga
pembaharuan dan penyempurnaan dirasakan sangat perlu dan penting.
j. Permasalahan lainnya
Menurut hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980, tercatat
bahwa kira-kira 28 juta dari rumah yang ada, 5,8% merupakan rumahrumah yang belum memenuhi syarat, baik itu yang ditinjau dari luasan
rumahnya maupun kepadatan huniannya. Kebutuhan akan hunian yang
selalu meningkat dan juga disertai oleh faktor keterbatasan masyarakat

28

dalam

pemenuhannya,

sehingga

hal

ini

telah

menyebabkan

kecenderungan sarana hunian masyarakat menjadi pemukiman kumuh


yang tidak mudah untuk dikendalikan. Hal lain yang juga masih
berhubungan dengan permasalahan ini adalah faktor sebaran penduduk
Indonesia yang masih belum merata.
Berbagai perkembangan, isu strategis, dan permasalahan perumahan
dan permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan kemajemukan
perubahan-perubahan di dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial,
dan pembangunan lingkungan, yang tidak saja mengikuti perubahan
berdimensi ruang dan waktu, tetapi juga perubahan kondisi khususnya bidang
ekonomi, sosial, dan budaya.
Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan realistik, dengan
mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro, sosial, demografi,
lingkungan, dan kebudayaan. Disamping itu, implementasinya dapat
mendorong pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,
pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan dan permukiman di perkotaan dan
perdesaan, serta telah mengadopsi dan melaksanakan pendekatan lintas
sektoral dan desentralisasi.
E. Perubahan Guna Lahan
Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih fungsi
atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian
sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati, 1997).
Namun

sebagai

terminologi

dalam

kajian-kajian

Land

economics,

pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari

29

lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan


yang diiringi dengan meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan
1997).
Catanese dan Snyder (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan
penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi,
dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap
sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.

Gambar 2.4. Siklus Perubahan Fungsi Lahan


Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan lahan
melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:
a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang
terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan, mengingat
masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat.
b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada
suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk
aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena daerah

30

asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul dengan sumber dan
swadaya yang ada.
c. Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku
penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi
dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.
F. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah upaya untuk memperoleh informasi tentang
suatu objek, daerah atau fenomena tanpa kontak langsung dengan objek,
daerah atau fenomena tersebut. Informasi didapatkan dengan sebuah sistem
penginderaan yang terdiri dari berbagai komponen dan interaksi antar
komponen. Gambar di bawah menunjukkan rangkaian komponen tersebut
yang meliputi: 1) sumber tenaga, 2) atmosfer, 3) objek, 4) sensor, dan 5)
perolehan data dan penggunaan data.

Gambar 2.5. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)

31

Sumber tenaga dapat berupa tenaga alami (matahari) maupun buatan


yaitu sinyal radio. Tenaga ini berinteraksi dengan objek di permukaan bumi,
kemudian dipantulkan ke sensor. Atmosfer berperan sebagai media
penghantar tenaga yang berasal dari matahari dan penyampai sinyal yang
ditransmisikan atau dipantulkan oleh objek di permukaan bumi. Pengaruh
atmosfer bersifat

selektif terhadap panjang gelombang. Berdasarkan

pengaruh ini akan muncul istilah jendela atmosfer, yaitu spektrum


electromagnetic yang dapat melalui atmosfer dan mencapai permukaan bumi.
Setiap kenampakan di permukaan bumi dapat dilacak informasinya
karena setiap

objek memiliki karateristik spektral tersendiri dalam

interaksinya dengan tenaga yang

mengenainya, sehingga menimbulkan

perbedaan jumlah tenaga yang dipantulkan. Sensor yang terpasang pada


wahana berfungi sebagai alat perekam sistem penginderaan jauh. Setiap
sensor memiliki resolusi spektral, yaitu kepekaan sensor terhadap bagian
spektrum electromagnetic tertentu, dan resolusi spasial yang berbeda.
Perbedaan kedua hal ini sangat berpengaruh pada kualitas citra penginderaan
jauh yang dihasilkan.
Perolehan data dapat dilakukan secara manual maupun digital
menggunakan komputer.

Penggunaan data merupakan komponen sangat

penting dalam penginderaan jauh karena kompo nen ini menentukan dapat
diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh untuk suatu aplikasi. Semakin
pesat perkembangan teknologi penginderaan jauh, semakin luas pula
aplikasinya karena data penginderaan jauh dapat diandalkan dalam analisis
keruangan serta hemat waktu, tenaga, dan biaya. Meskipun demikian

32

penggunaan data penginderaan jauh harus selalu memperhatikan kerincian


data terhadap tujuan dan skala penelitian yang dilakukan.
G. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Geographic information system (GIS) atau Sistem Informasi Berbasis
Pemetaan dan Geografi adalah sebuah alat bantu manajemen berupa
informasi berbantuan komputer yang berkait erat dengan sistem pemetaan
dan analisis terhadap segala sesuatu serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di
muka bumi. Teknologi GIS mengintegrasikan operasi pengolahan data
berbasis database yang biasa digunakan saat ini, seperti pengambilan data
berdasarkan kebutuhan, serta analisis statistik dengan menggunakan
visualisasi yang khas serta berbagai keuntungan yang mampu ditawarkan
melalui analisis geografis melalui gambar-gambar petanya.
Menurut salah satu ahli yaitu Murai (1999) Sistem Informasi Geografis
merupakan salah satu system informasi yang digunakan untuk memasukkan,
menyimpan , memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan
data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung
pengambilan keputusan dalam perencanaandan pengelolaan penggunaan
lahan , sumber daya alam, lingkungan, fasililats kota, dan pelayanan umum
lainnya. Pada intinya SIG merupakan pengelolaan data geografis yang
didasarkan pada kerja komputer (mesin).
GIS adalah sebuah teknologi yang mampu merubah besar-besaran
tentang bagaimana sebuah aktivitas bisnis diselenggarakan. Teknologi GIS
memungkinkan untuk melihat informasi bisnis secara keseluruhan dengan

33

cara pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang
selama ini sama sekali tidak terungkap.
H. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu tentang perumahan dan permukiman yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti diuraikan dalam tabel 2.1.

34

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

Uraian
1. Konsep Penataan Permukiman
Dalam Rangka Pembangunan
Kawasan Kaki Jembatan Suramadu

2. Peningkatan Peran Lembaga Lokal


Dalam Rangka Pembangunan
Permukiman di Perdesaan

3. Pengembangan Kawasan
Perumahan dan Permukiman pada
Kota Terpadu Mandiri (KTM)
Mahalona Kabupaten Luwu Timur

Peneliti
Priyo Nur Cahyo, Johan
Silas, Sri Amiranti
Sastrohutomo. Seminar
Nasional Perumahan
Permukiman dalam
Pembangunan Kota, 2012
Aris Prihandono. Jurnal
Permukiman. Vol. 4 No. 2
September 2009

Syamsuddin. Universitas
Diponegoro Semarang, 2010

Analisis

Hasil Penelitian

Penelitian kualitatif dengan


analisis fenomenologi dan
triangulasi

Konsep Penataan Permukiman


Madura yang dapat dikembangkan
dalam
rangka
pembangunan
Kawasan Kaki Jembatan Suramadu
adalah dengan Model Open Cluster

Non probability sampling

Penyiapan modul pemberdayaan


harus mengacu kepada tipologi
kelembagaan di atas dan kebutuhan
yang diperlukan, karena orientasi
kegiatan dan nilai-nilai yang
menjadi landasan kerja tiap tipe
lembaga berbeda.

Metode Deskriptif

Konsistensi
dan
keseriusan
pemberdayaan lembaga inilah yang
menjadi tulang punggung penepisan
resiko kegagalan peningkatan peran
lembaga
perdesaan
dalam
mengurusi
pembangunan
perumahan.
KTM Mahalona sebagai kawasan
perumahan dan permukiman belum
memperlihatkan
kondisi
ideal
keberlanjutan fungsi perumahan
dan permukiman.

35

4. Dinamika Penggunaan Lahan di


Wilayah Perkotaan (Studi di Kota
Bandar Lampung)

Bambang Utoyo S. Seminar


Hasil-Hasil Penelitian dan
Pengabdian Kepada
Masyarakat, Unila 2012.

Location Quotient (LQ).


Shift-Share (SS)

Pengembangan usaha ekonomi


belum diolah dengan baik yang
disebabkan karena keberadaan
masyarakat transmigran mayoritas
adalah petani
Perubahan penggunaan lahan di
Kota Bandar Lampung terjadi
seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan wilayah kota.
Faktor pertumbuhan ekonomi,
pertambahan
penduduk
dan
preferensi masyarakat merupakan
faktor pemicu terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang tercermin
pada perubahan pola pemanfaatan
ruang wilayah kota.
Selama hampir satu dekade
pertumbuhan ekonomi Kota Bandar
Lampung ditopang oleh sektor
perekonomian di luar sektor
pertanian dan sektor pertambangan
& penggalian. Sedangkan dalam
jangka panjang competitiveness
pertumbuhan
ekonomi
kota
didukung oleh sektor pertanian;
industri pengolahan non-migas; dan
sektor keuangan, persewaan & jasa
perusahaan.

36

III. KERANGKA PIKIR

Kerangka berpikir adalah dasar pemikiran dari peneliti yang disintesiskan dari
fakta-fakta, observasi/wawancara dan analisis. Kerangka pikir memuat teori, dalil dan
konsep-konsep yang akan dijadikan dasar penelitian.
Perkembangan Kota Rumbia yang demikian pesatnya seiring dengan
terbentuknya Kabupaten Bombana berdampak pada kebutuhan lahan yang semakin
tinggi. Status Kota Rumbia sebagai Ibukota Kabupaten memberikan pengaruh yang
kuat terhadap pertumbuhan penduduk dan proses urbanisasi, kondisi tersebut sangat
berpengaruh terhadap kebutuhan lahan permukiman.
Sebagai ibukota Kabupaten, Kota Rumbia akan mengalami permasalahanpermasalahan kesesuaian lahan kawasan permukiman perkotaan sebagai akibat dari
desakan kebutuhan lahan yang tinggi akibat dari proses urbanisasi, pertumbuhan
penduduk,

mata

pencaharian

serta

perubahan

orientasi

ekonomi

wilayah.

Permasalahan-permasalahan kesesuaian lahan tersebut meliputi kesesuaian terhadap


aspek fisik yang meliputi kemiringan lahan, penggunaan lahan, pola ruang, sempadan
pantai dan sempadan sungai.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran terhadap kondisi eksisting kawasan permukiman di Kota Rumbia, luasan
kesesuaian lahan kawsan permukiman, serta arahan rencana pengembangan kawasan
permukiman di Kota Rumbia berdasarkan aspek-aspek fisik kawasan, sehingga dapat
menjadi acuan bagi pemerintah setempat untuk membuat kebijakan yang
komprehensif dan terintegrasi sehingga tercipta kawasan permukiman yang sesuai

37

dengan fungsinya. Untuk lebih jelasnya, Kerangka pikir analisis kesesuaian lahan
kawasan permukiman di Kota Rumbia Kabupaten
ten Bombana dapat dilihat pada
Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

38

IV.

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada Kawasan Perkotaan Kabupaten Bombana
yaitu di Kecamatan Rumbia Tengah yang merupakan Pusat Kawasan
Perdagangan dan Jasa, serta di Kecamatan Rumbia yang merupakan Pusat
Kawasan Pemerintahan. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan
yaitu bulan Juli sampai dengan September 2014.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka. Sumber data diperoleh
dari publikasi resmi pemerintah seperti

Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas

Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kab. Bombana, Badan Perencanaan


Pembangunan daerah (BAPPEDA) Kab. Bombana dan instansi terkait lainnya
pada Kabupaten dan provinsi serta dari sumber-sumber lain yang relevan.
Data primer yang diperoleh langsung dari sumber berdasarkan hasil survey
lapangan dan hasil analisa citra satelit yang digunakan untuk

melakukan

identifikasi potensi dan gambaran fisik wilayah. Citra satelit yang digunakan
adalah citra satelit Landsat TM8 resolusi spasial 30m dan Citra satelit resolusi
spasial 0.8 1,2 m pemotretan tahun 2012 yang digunakan untuk
mengidentifikasi kawasan-kawasan perumahan pada wilayah penelitian. Untuk
lebih jelasnya, kebutuhan data dapat dilihat pada Tabel 4.1.

39

Tabel 4.1. Kebutuhan Data Penelitian


No.

Tujuan Penelitian

Metode Yang
Digunakan

Jenis Data

Sumber

1.

Identifikasi kondisi kawasan


permukiman

Analisis GIS

Penggunaan lahan
Kemiringan Lahan
Topografi
Sempadan Sungai
Sempadan Pantai

2.

Identifikasi kesesuaian lahan


kawasan permukiman

Analisis GIS
Analisis Deskriptif

Foto udara
RTRW
RDTRK
RTBL

Bappeda
Dinas PU & Tata Ruang

3.

Identifikasi Arahan
Pengembangan Kawasan
Permukiman

Analisis Deskriptif

BPS
Citra Sateli
Survey

RTRW

Bappeda

RDTRK

Dinas PU & Tata Ruang

RTBL
Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Bappeda
Dinas PU & Tata Ruang
Citra Satelit
Survey
Observasi

40

C. Variabel Penelitian
Kajian teori yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa pola spasial
pertumbuhan suatu kawasan perumahan dan permukiman bila ditinjau dari aspek
dinamika pertumbuhan wilayah dan peningkatan kebutuhan lahan, dapat
direduksi menjadi beberapa variabel yakni dinamika secara ekonomi yang terkait
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, dinamika politik yang terkait dengan
keputusan-keputusan atau kebijakan daerah yang dapat mempengaruhi pola
spasial wilayah serta dinamika sosial-budaya yakni pengaruhnya terhadap
karakteristik masyarakat sebagai ujung tombak pelaku kegiatan.
Proses interaksi

ketiga variabel tersebut dapat membentuk suatu pola

hubungan yang saling mempengaruhi yang dapat menggambarkan pola spasial


pertumbuhan perumahan di suatu kawasan atau wilayah. Bila dilihat lebih
seksama lagi bahwa pengaruh dari ketiga variabel tersebut ke dalam struktur
ruang perkotaan, dimana adanya saling ketergantungan secara fungsional
kawasan seperti satu bagian kawasan berfungsi sebagai pelayan bagi kawasan
lain. Adapun variabel penelitian secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.

41

Tabel 4.2 Variabel Penelitian


Komponen Data

Variabel

1. Fisik Wilayah

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

2. Sosial Ekonomi

3. RTRW

Sumber Data

Administrasi Wilayah
Topografi Wilayah
Kemiringan Lahan
Tata Guna Lahan
Jumlah Penduduk
Karakteristik Masyarakat
Mata Pencaharian
Sosial Budaya
Pola Ruang
Arahan Tata Ruang
Kebijakan Tata Ruang

Citra Satelit
BPN

BPS
Survey Lapangan

Dinas PU & Tata Ruang


Bappeda

Sumber: Hasil Analisis, 2014

D. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan

data

merupakan

tahapan

yang

dilakukan

untuk

mempermudah pelaksanaan analisis. Dalam studi ini, pengumpulan data terdiri


atas dua cara, yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.
1) Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data ini merupakan teknik pengumpulan yang diperoleh
langsung dari sumbernya, baik melalui pengamatan (observasi) langsung
maupun wawancara pada responden yang terkait, dan bisa dilakukan dengan
dua cara, yaitu:

42

a. Observasi lapangan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan


dengan pengamatan di lapangan dan mendokumentasikan perkembangan
guna lahan, aktivitas kota serta sosial masyarakat pada wilayah penelitian
dalam bentuk foto, sketsa atau data tertulis baik narasi maupun numerik.
b. Wawancara, digunakan untuk memperoleh data maupun informasi secara
langsung. Wawancara pada studi ini menggunakan teknik wawancara
terstruktur, ditujukan pada penggunaan lahan pada wilayah studi. Persepsi
atau pandangan masyarakat dengan karakteristik responden antara lain
petani, pegawai negeri, pelaku ekonomi, yang ingin diperoleh dalam
pengumpulan data adalah: data pribadi berupa usia, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan, serta masukan kepada pemerintah.
2) Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan Data Sekunder yaitu pengumpulan secara tidak langsung dari
sumber/obyeknya. Data ini berupa rencana pembangunan dan data numerik
yang dapat diperoleh melalui buku literatur, dokumen penelitian atau melalui
kajian literatur sendiri. Sumber yang terkait bisa dari institusi pemerintah,
pendidikan maupun swasta. Dan instansi yang akan dituju adalah
desa/kelurahan, Bappeda, BPN, BPS, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata
Ruang, Dinas Perhubungan, dan instansi terkait lainnya.
E. Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
Analisis Geographic Information System (GIS), dan Analisis Deskriptif.

43

1. Analisis Geographic Information System (GIS)


Geographic Information System (GIS) atau biasa juga disebut Sistem
informasi geografis atau disingkat dengan (SIG) merupakan suatu sistem
berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
menggabungkan, mengatur, mentranformasi, memanipulasi dan menganalisis
data-data geografis. Data geografis yang dimaksud adalah data spasial yang
terdiri atas lokasi eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam bentuk
koordinat (raster, image) yang ciri-cirinya adalah:
a. Memiliki geometric properties seperti koordinat dan lokasi.
b. Terkait dengan aspek ruang seperti persil, kota, kawasan pembangunan.
c. Berhubungan dengan semua fenomena yang terdapat di bumi, misalnya
data, kejadian, gejala, dan objek.
d. Dipakai untuk maksud-maksud tertentu, misalnya analisis, pemantauhan
ataupun pengelolaan.
Data attribut atau data spasial adalah gambaran data yang terdiri atas
informasi yang relevan terhadap suatu lokasi, seperti kedalaman, ketinggian,
lokasi penjualan, dan lain-lain yang bisa dihubungkan dengan lokasi tertentu
dengan maksud untuk memberikan identifikasi, seperti alamat, jumlah
penduduk, nama jalan dan sebagainya.
Pada dasarnya istilah sistem informasi geografis merupakan gabungan
dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografis. Jadi sistem informasi
geografis adalah kumpulan dari sistem yang teroganisir dari perangkat keras

44

komputer, perangkat lunak, dan data geografi yang dirancang secara efisien
untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis,
dan menampilkan semua bentuk informasi dan data yang bereferensi geografi.
Oleh sebab itu dari definisi tersebut maka sistem informasi geografis
memiliki kemampuan-kemampuan yaitu:
a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi (spasial dan atribut).
b. Mengintegrasikan data geografi (spasial dan atribut).
c. Memeriksa, mengupdate (mengedit), data geografi (spasial dan atribut).
d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi (spasial dan atribut).
e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi (spasial dan atribut).
f. Mengelola data, memanipulasi data geografi (spasial dan geografi).
g. Menghasilkan keluaran (output) data geografi dalam bentuk-bentuk peta
tematik, tabel, dan data atribut/tabular.
2. Analisis Deskriptif.
Saat ini berbagai macam rancangan penelitian telah dikembangkan dan
salah satu jenis rancangan penelitian adalah penelitian deskriptif. Berbagai
macam definisi tentang penelitian deskriptif, di antaranya adalah penelitian
yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel
atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan
antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2003). Pendapat lain
mengatakan bahwa, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala

45

yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan (Arikunto S. 2005). Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah untuk
membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktafakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam arti ini pada
penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu mencari atau menerangkan saling
hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan hipotesis.
Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang
situasi atau kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga
dirancang untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan
atas satu variabel kepada variabel lain. Karena itu pula penelitian komparasi
dan korelasi juga dimasukkan dalam kelompok penelitian deskriptif
(Arikunto, S. 2005).
Secara lebih mendalam tujuan penelitian korelasi

adalah untuk

mengetahui sejauh mana hubungan antar variabel yang diteliti. Penelitian jenis
ini memungkinkan pengukuran beberapa variabel dan saling hubungannya.
Hasil yang diperoleh adalah taraf atau tinggi rendahnya saling hubungan dan
bukan ada atau tidak ada saling hubungan tersebut. Dalam penelitian
komparatif akan dihasilkan informasi mengenai sifat-sifat gejala yang
dipersoalan, diantaranya apa sejalan dengan apa, dalam kondisi apa, pada
urutan dan pola yang bagaimana, dan yang sejenis dengan itu.
Untuk menentukan kawasan permukiman pada kawasan budidaya
dilakukan dengan kajian teoritik tentang sifat fisik dasar pada kawasan tersebut
dan dilengkapi dengan peraturan atau perundangan yang ada. Teknik yang

46

digunakan dalam analisa ini berdasarkan

metoda

Analisis Geographic

Information System (GIS) yaitu: teknik overlay, union, merge, intersect, dan
buffering.
Syarat kesesuaian lahan yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan
kesesuaian lahan kawasan permukiman Kota Rumbia adalah merujuk pada
ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku antara lain: Undang
Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan
dan Permukiman, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia
Nomor 41/PRT//M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya,
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bombana Tahun 2013
2033, Rencana Detail Tata Ruang Wilayah (RDTR) Kota Rumbua Tahun 2011,
SNI 03-1733-2004, serta Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan
Rumbia Kasipute Tahun 2012.
Kriteria teknis dan syarat lokasi kesesuaian lahan yang digunakan sebagai
alat analisis dapat dilihat pada Tabel 4.3.

47

Tabel 4.3. Parameter Analisis Kesesuaian Lahan Kota Rumbia.


Kesesuaian Lahan
No.

Parameter Lahan
Sesuai

1. Penggunaan Lahan

Semak/Belukar,
Lahan Kosong,
Alang-Alang

Sesuai Dengan
Tidak Sesuai
Syarat
Kawasan
Hutan,
Pertanian (Sawah, Mangrove
Kebun, Tambak,
dll), Rawa

2. Sempadan Pantai

> 150 m

100 150 m

< 100

3. Sempadan Sungai

>5

3 5 m

<3m

APL

HPT, HP, HPK

Kawasan
Lindung

08%

8 - 15 %

> 15%

4. Pola Ruang
5. Kemiringan Lahan

Sumber: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, SNI 03-1733-2004.

Teknik analisis data dilakukan berdasarkan tiga tahapan pelaksanaan,


yaitu input, proses dan output. Proses input dalam analisis kesesuaian lahan
menggunakan data antara lain: peta penggunaan lahan eksisting, peta kawasan
lindung, peta sempadan sungai, peta sempadan pantai, peta pola ruang, peta
topografi. Sedangkan proses analisis dilakukan dengan menggunakan metode
analisis GIS terhadap masing-masing parameter kesesuaian lahan dengan
menggunakan teknik overlay, intersect, union, buffering dan merge. Dari hasil
analisis terhadap parameter kesesuaian tersebut menghasilkan tiga kriteria
lahan untuk perumahan dan permukiman yaitu sesuai, sesuai dengan syarat,
dan tidak sesuai. Gambar 4.1 memperlihatkan diagram alir proses analisis
yang dilakukan.

48

Gambar 4.1. Diagram Proses Analisis Data

49

F. Konsep Operasional
1) Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang
layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
2) Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik
perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan
utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
3) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih
dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan.
4) Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
5) pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya.
6) Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi
standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman,
dan nyaman.

50

7) Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk


mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi.
8) Perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum
menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu
penggunaan ke penggunaan lain.

51

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Kabupaten Bombana dengan ibukota di Kecamatan Rumbia merupakan
salah satu wilayah kabupaten di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003, dan merupakan hasil pemekaran
wilayah Kabupaten Buton.
Kota Rumbia merupakan wilayah di Kabupaten Bombana yang merupakan
pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian. Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Bombana Nomor 21 Tahun 2007, Kota Rumbia di bagi menjadi 2
wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Rumbia dan Rumbia Tengah.
Berdasarkan letak geografis, Kota Rumbia terletak diantara 121 58' - 122
6' Bujur Timur dan 442' - 449' Lintang Selatan, dengan batas wilayah
administrasi meliputi:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rarowatu Utara;
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Tiworo;
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mataoleo; dan
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Poleang Tenggara dan
Kecamatan Rarowatu.
Untuk lebih jelasnya, lokasi penelitian kesesuaian lahan kawasan
permukiman dapat dilihat pada Gambar 5.1.

52

53

B. Kondisi Wilayah Kota Rumbia


1.

Administrasi dan Demografi


Kota Rumbia pada awalnya merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten

Bombana

yang

merupakan

ibukota

kabupaten,

namun

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bombana Tahun 2007, Kecamatan


Rumbia dimekarkan menjadi 2 wilayah administrasi yang terdiri dari
Kecamatan Rumbia dan Kecamatan Rumbia Tengah. Secara administrasi,
Kota Rumbia terdiri dari 7 kelurahan dan 3 desa dengan luas wilayah
administrasi Kota Rumbia berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun
2014 adalah sebesar 80,10 km2 yang terdiri dari Kecamatan Rumbia 58,99
km2 dan Kecamatan Rumbia Tengah 21,11 km2.
Persentase luas wilayah Kota Rumbia berdasarkan luas wilayah
kabupaten sebesar 2,42 % dari luas total Kabupaten Bombana. Dari 10
Desa/Kelurahan di Kota Rumbia, Kelurahan Lameroro merupakan Desa
dengan luas wilayah terbesar yaitu 29,20 km2, kemudian Desa Lantowonua
dengan luas wilayah sebesar 17,99 km2, sedangkan Kelurahan Lauru
merupakan wilayah di Kota Rumbia yang memiliki luas terkecil, yaitu
sebesar 1,17 km2. Luas wilayah menurut desa/kelurahan secara rinci
disajikan pada Tabel 5.1.

54

Tabel 5.1. Jumlah Desa/Kelurahan, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan


Kepadatan Penduduk Kota Rumbia, 2013.
No.

Desa/Kelurahan

Kec. Rumbia
1. Kel. Kasipute
2. Desa Lantowonua
3. Kel. Doule
4. Kel. Lampopala
5. Kel. Lameroro
Kec. Rumbia Tengah
1. Desa Lampata
2. Desa Tapuahi
3. Kel. Kampung Baru
4. Kel. Lauru
5. Kel. Poea
Kota Rumbia

Luas Wilayah
(km2)

Jumlah
Penduduk
(jiwa)

Kepadatan
Penduduk
(jiwa.km-2)

58,99
4,89
17,99
5,44
1,47
29,20
21,11
5,73
4,27
4,65
1,17
5,29

11.537
2.983
928
2.519
1.938
3.169
6.847
379
1.098
2.126
2.553
691

196
610
52
463
1.318
108
324
66
257
457
2.182
131

80,10

18.384

230

Sumber: BPS Kec. Rumbia dan Rumbia Tengah Dalam Angka, 2014.

Gambaran administrasi wilayah Kota Rumbia secara lengkap dapat


dilihat pada Gambar 5.2.

55

56

Jumlah penduduk Kota Rumbia tahun 2014 menurut data Badan Pusat
Statistik tahun 2014 adalah sebesar 18.384 jiwa dimana jumlah penduduk
terbesar terdapat di Kelurahan Lameroro yaitu sebesar 3.169 jiwa, sedangkan
Desa Lampata merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terkecil yaitu
sebesar 379 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk Kota Rumbia adalah sebesar
229,51 jiwa.km-2, dimana Kelurahan Lauru merupakan wilayah dengan
tingkat kepadatan penduduk tersebar, yaitu mencapai 2.182 jiwa.km-2,
sedangkan Desa Lantowonua merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan
penduduk terkecil, yaitu hanya sebesar 52 jiwa.km-2, dimana persentase
jumlah penduduk Kota Rumbia ditinjau dari perbandingan wilayah
kecamatan lainnya adalah sebesar 12,24 % dari total jumlah penduduk di
Kabupaten Bombana sebesar 150.186 (lihat lampiran3).
Tinjauan penduduk Kota Rumbia berdasarkan struktur umur
berdasarkan data Badan Pusat Statistik Daerah Kabupaten Bombana tahun
2014 memperlihatkan bahwa struktur umur 0 4 tahun sebanyak 2.309 jiwa
yang terdiri dari 1.205 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.104 jiwa
berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan tingkat produktifitas penduduk Kota Rumbia, jumlah
penduduk yang berada pada umur produktif (15 64 tahun) sebesar 65,51
%, belum produktif (0 14 tahun) sebanyak 31,82 %, dan kelompok umur
yang tidak produktif (+65 tahun) sebanyak 2,68 %. Untuk lebih jelasnya
rincian penduduk menurut struktur umur dapat dilihat pada tabel lampiran 2
dan gambaran penyebaran penduduk dapat dilihat pada Gambar 5.3.

57

58

2.

Kondisi Topografi
Kondisi topografi Kota Rumbia umumnya data hingga berbukit, hasil
analisis memperlihatkan bahwa kondisi wilayah Kota Rumbia terletak antara
ketinggian 0 750 m diatas permukaan laut dimana titik tertinggi berada
pada bagian barat Kota Rumbia, sedangkan bagian Timur lebih didominasi
oleh dataran.
Ketinggian wilayah 0 25 m dpl mendominasi bentuk wilayah Kota
Rumbia dengan luas mencapai 2.098,39 ha atau mencakup 26,20 % dari total
luas wilaya Kota Rumbia, selanjutnya wilayah yang berada di ketinggian
100 250 m dpl dengan luas 2.041,70 ha (25,49 %), sedangkan wilayah
yang berada pada ketinggian > 750 m merupakan wilayah dengan luas
terkecil yaitu hanya sebesar 412,04 Ha atau hanya mencakup 5,14 % dari
luas wilayah Kota Rumbia. Secara rinci ketinggian wilayah Kota Rumbia
disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Ketinggian Wilayah Kota Rumbia
Ketinggian (m dpl)

Luas (Ha)

Persentase (%)

0 - 25
25 - 50
50 - 100
100 - 250
250 - 500
500 - 750
>750

2.098,39
660,18
762,94
2.041,70
1.445,90
588,84
412,04

26,20
8,24
9,52
25,49
18,05
7,35
5,14

Kota Rumbia

8.010,00

100,00

Sumber: Hasil Analisis ASTER GDEM, 2011.

59

60

Kemiringan wilayah di Kota Rumbia sangat bervariasi, kemiringan 15


25 % merupakan wilayah dengan tingkat kemiringan terluas yaitu sebesar
2.260,61 Ha atau mencakup 28,22 % dari luas wilayah Kota Rumbia,
kemudian kemiringan 8 15 % dengan luas wilayah sebesar 1.728,07 Ha
(21,57 %), sedangkan wilayah yang berada pada tingkat kemiringan di atas
40 % merupakan wilayah dengan luasan terkecil, yaitu hanya sebesar 102,36
Ha atau hanya 1,28 % dari total luas wilayah Kota Rumbia.
Kondisi ini menggambarkan bahwa bentuk wilayah Kota Rumbia lebih
didominasi oleh bentuk wilayah dataran hingga landai, Kondisi lahan
tersebut berada di bagian timur wilayah Kota Rumbia yang, sementara
bagian utara dan barat lebih didominasi oleh bentuk lahan yang curam
sampai sangat curam. Untuk lebih jelasnya, kemiringan dan bentuk lahan
Kota Rumbia disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Kemiringan Lahan Kota Rumbia.
Persentase
(%)

Kemiringan (%)

Luas (Ha)

0-8
8 - 15
15 - 25
25 - 40
>40

2.943,30
1.728,07
2.260,61
975,66
102,36

36,75
21,57
28,22
12,18
1,28

Kota Rumbia

8.010,00

100,00

Bentuk Lahan
Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam

Sumber: Hasil Analisis ASTER GDEM, 2011.

Untuk lebih jelasnya, gambaran kemiringan wilayah Kota Rumbia


dapat

dilihat

pada

Gambar

5.5.

61

62

3. Kondisi Hidrologi
Kondisi Hidrologi di Kota Rumbia sangat dipengaruhi oleh keberadaan
Daerah Aliran Sungai yang terdapat di wilayah tersebut. Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang berada pada wilayah Kota Rumbia termasuk dalam
Wilayah Sungai (WS) Poleang Roraya.
Hasil analisis yang dilakukan memperlihatkan bahwa DAS Langkapa
merupakan DAS terbesar di Kota Rumbia dengan arah aliran menuju Selat
Tiworo dengan luas kawasan mencapai 3.579,21 Ha atau mencakup 44,68 %
dari total luas wilayah Kota Rumbia, sedangkan DAS Boule merupakan
DAS dengan luas kawasan terkecil, yaitu sebesar 23,63 Ha atau hanya
mencakup 0,29 %. Tabel 5.4 berikut menggambarkan kondisi Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang berada di Kota Rumbia berdasarkan hasil analisis
ASTER GDEM Kota Rumbia tahun 2011.
Tabel 5.4. Daerah Aliran Sungai di Kota Rumbia.
Nama_DAS

Luas (Ha)

Persentase (%)

DAS Poleang

235,00

2,93

DAS Wakata

632,47

7,90

1.898,28

23,70

38,48

0,48

DAS Lantawanua

1.602,93

20,01

DAS Langkapa

3.579,21

44,68

23,63

0,29

8.010,00

100,00

DAS Kasipute
DAS Lora

DAS Boule
Kota Rumbia
Sumber : Hasil Analisis, 2014.

63

64

4. Kondisi Sosial dan Budaya


Kondisi sosial dalam masyarakat tercermin dari pola dan interaksi
yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Kondisi masyarakat di Kota
Rumbia dalam hal kehidupan beragama terkesan cukup harmonis, hal ini
terlihat dari tidak adanya gesekan-gesekan yang terjadi akibat perbedaan
suku dan agama dikalangan masyarakat.
Penduduk asli Kota Rumbia berasal dari suku Moronene, namun
berdasarkan perkembangan waktu dan nilai-nilai keterbukaan masyarakat
terhadap pendatang, Kota Rumbia sekarang terdiri dari berbagai jenis
suku/bangsa antara lain suku Bugis, Buton, Jawa, dan suku-suku lainnya
yang tersebar di wilayah tersebut.
Dalam masyarakat yang majemuk inilah, segala gerak langkah
kehidupan berkisar pada usaha pencaharian nafkah. Setiap individu
tampaknya selalu sibuk dan giat bekerja. Sebelum terjadinya pemekaran,
mata pencaharian utama masyarakat Rumbia adalah sebagai petani dan
nelayan, kondisi tersebut ditunjang oleh keadaan alam yang sangat
mendukung, Ketersediaan air sebagai sumber pengairan, kondisi lahan yang
datar, dan wilayah laut yang berada pada selat tiworo dengan sumber daya
ikan yang banyak.
Kondisi tersebut mulai bergeser seiring dengan pembentukan
Kabupaten Bombana pada tahun 2003 dimana ibukota kabupatennya adalah
Rumbia. Perubahan lahan pertanian yang diakibatkan oleh perkembangan

65

wilayah berangsur-angsur mulai terdesak oleh kebutuhan akan lahan-lahan


terbangun (perkantoran, perumahan, perekonomian) yang mengarah pada
perkembangan kota.
Hasil

wawancara

dan

observasi

lapangan

yang

dilakukan

memperlihatkan bahwa pergeseran pola perekonomian dari perekonomian


tradisional (desa) menjadi perekonomian modern yang diakibatkan oleh
perubahan status wilayah dari kota kecamatan menjadi ibukota kabupaten
turut mempengaruhi mata pencaharian penduduk Kota Rumbia. Perubahan
ini berdampak terhadap alih fungsi lahan pertanian yang awalnya merupakan
kegiatan primer masyarakat Kota Rumbia mengalami alih fungsi lahan
menjadi perumahan, perekonomian, dan lain-lain.
C. Penggunaan Lahan Kota Rumbia
Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia
terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Daerah perkotaan mempunyai kondisi
penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau perkembangannya,
karena seringkali pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya dan
tidak memenuhi syarat.
Bentuk penggunaan lahan Kota Rumbia terkait dengan pertumbuhan
penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
semakin intensifnya aktivitas penduduk di suatu tempat berdampak pada makin
meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Pertumbuhan dan aktivitas
penduduk yang tinggi terutama terjadi di daerah perkotaan, sehingga daerah

66

perkotaan pada umumnya mengalami perubahan penggunaan lahan yang cepat.


Menurut Miller (1988), sebanyak 43 % penduduk dunia tinggal di wilayah
perkotaan. Sementara menurut Simmond (1989), hingga tahun 20
2000
00 diperkirakan
dari 24 juta hektar lahan hijau (pertanian, kehutanan, perkebunan, dan lain-lain)
lain
telah berubah peruntukannya menjadi lahan perkotaan. Adanya perubahan
penggunaan lahan tersebut dilihat dari aspek ekonomi pertanian merupakan
ancaman terhadapp ketahanan pangan penduduk dan dilihat dari aspek lingkungan
hal itu merupakan ancaman terhadap daya dukung lingkungan.

Gambar 5.7. Jenis Penggunaan Lahan di Kota Rumbia


Hasil analisis penggunaan lahan dengan menggunakan Citra Satelit Tahun
2013 memperlihatkan
emperlihatkan bahwa kondisi penggunaan lahan terbesar terdapat pada
jenis penggunaan lahan hutan dengan luas lahan sebesar 3.880,44 Ha atau
mencakup 48,44 % dari luas total wilayah Kota Rumbia secara keseluruhan.
Kawasan Hutan ini terdapat di bagian barat dan selatan Kota Rumbia yang
merupakan bagian wilayah dari Pegunungan Tangkeno Todoha dan merupakan
sumber air masyarakat Kota Rumbia.

67

Luas kawasan terbangun di Kota Rumbia dengan jenis penggunaan lahan


daerah milik jalan dan kawasan perumahan (rumah, kantor,
ntor, perekonomian,
sarana ibadah, sarana social dll) hingga tahun 2013 sebesar 207,24 Ha atau hanya
menempati lahan sebesar 2,59 % dari luas total wilayah Kota
Kota. Sedangkan
edangkan luas
kawasan yang belum terbangun mencakup hutan, semak belukar, savana, rawa
sawah, tambak, tanah terbuka mencapai 7.802,77 Ha atau mendominasi jenis
lahan di Kota Rumbia dengan prosentase lahan sebesar 97,41 %.
50.00
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00

48.44

22.40
7.34
0.61

10.25
0.91

0.03 3.29

0.17 0.19 4.38

1.98

Gambar 5.8. Persentase Penggunaan Lahan di Kota Rumbia, 2013.


Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa penggunaan lahan
lah
yang
diakibatkan oleh aktivitas masyarakat Kota Rumbia berturut
berturut-turut
turut adalah jenis
penggunaan lahan kebun/kebun campuran seluas 1.794,36 Ha atau 22,40 %,
selanjutnya jenis penggunaan lahan sawah seluas 820,92 Ha (10,25 %),

68

kemudian jenis lahan pertambakan seluas 263,25 Ha (3,29 %), kawasan


permukiman seluas 158,51 Ha (1,98 %), jenis lahan daerah milik jalan (Damija)
seluas 48,73 Ha (0,61 %), jenis lahan tanah terbuka seluas 13,34 Ha (0,17 %) dan
penggunaan lahan publik area seluas 2,73 Ha atau hanya menempati lahan
sebesar 0,03 % dari penggunaan lahan Kota Rumbia secara keseluruhan.
Jenis penggunaan lain yang terdapat di Kota Rumbia antara lain
semak/belukar seluas 588,19 Ha atau sebesar 7,34 % dari luas total penggunaan
lahan di Kota Rumbia, kemudian jenis lahan savanna seluas 350,98 Ha (4,48 %),
Mangrove 73,11 Ha (0,91 %) dan Rawa seluas 15,45 Ha (0,19 %). Untuk lebih
jelasnya, jenis penggunaan dan luas lahan dapat dilihat pada Table 5.5.
Tabel 5.5. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Kota Rumbia, 2013
No.

Penggunaan Lahan

Luas (Ha)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Hutan
Semak/Belukar
Damija
Kebun/Kebun Campuran
Sawah
Mangrove
Publik Area
Tambak
Tanah Terbuka
Rawa
Savana
Permukiman
Kota Rumbia

3.880,44
588,19
48,73
1.794,36
820,92
73,11
2,73
263,25
13,34
15,45
350,98
158,51
8.010,00

Persentase (%)
48,44
7,34
0,61
22,40
10,25
0,91
0,03
3,29
0,17
0,19
4,38
1,98
100,00

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Gambaran penggunaan lahan eksisting Kota Rumbia berdasarkan hasil


analisis citra satelit tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 5.9.

69

70

D. Analisis Kebijakan Tata Ruang Wilayah Kota Rumbia


Secara umum, tujuan penyusunan RDTRK Kota Rumbia adalah
terumuskannya

suatu

kebijakan

pembangunan

yang

diperlukan

bagi

pengembangan daerah di masa mendatang, sehingga mewujudkan ruang yang


aman, sehat, teratur, nyaman, produksif, dan optimal sesuai dengan fungsi yang
diembannya serta sesuai dengan daya dukung lingkungan secara berkelanjutan,
dan memenuhi persyaratan dengan memperhatikan kaidah/norma sosiokultural
setempat, serta mengatur dan mengarahkan pembangunan hingga mencapai
sasaran dalam rangka tertib pembangunan dan tertib pengaturan ruang secara
rinci. Secara umum jabaran tujuan RDTRK Kota Rumbia sebagai berikut:
1) Terwujudnya pemanfaatan ruang yang serasi dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan
Kota Rumbia.
2) Menjamin

kelestarian

ekosistem

lingkungan

permukiman

dengan

menciptakan keserasian hubungan antara ruang atau lingkungan kegiatan


usaha dan penghuni (manusia) yang tercermin dalam intensitas penggunaan
ruang kota.
3) Terciptanya pola tata ruang yang serasi dan optimal serta penyebaran fasilitas
dan utilitas secara tepat tanpa mengabaikan lualitas lingkungan.
4) Menjabarkan RTRW Kabupaten Bombana dan RTR Kota Rumbia secara
lebih terperinci untuk bagian wilayah Kecamatan yang berada di kota

71

Rumbia guna penyiapan perwujudan ruang dalam rangka pelaksanaan


program-program pembangunan perkotaan di kawasan tersebut.
5) Meningkatkan daya guna dan hasil guna fasilitas pelayanan seoptimal
mungkin pada suatu kawasan atau bagian wilayah kota (BWK) yang
tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan dan sistem jaringan
jalan.
6) Tersusunnya program-program pembangunan Kota Rumbia sesuai dengan
Rencana Detail Tata Ruang Kota sampai dengan 20 tahun yang akan datang.
Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka
pengendalian, pengawasan pembangunan fisik kota secara terukur baik kwalitas
maupun kuantitasnya.
Rencana Tara Ruang Wilayah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum (PerMen PU) No.17/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, terbagi dalam dua klasifikasi
penetapan kawasan yang merupakan acuan normatif dalam penyusunan Tata
Ruang, yaitu pola ruang dan struktur ruang wilayah.
1. Pola Ruang
Pola ruang wilayah kota merupakan rencana distribusi peruntukan ruang
dalam wilayah kota yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Pola ruang
suatu wilayah mempunyai fungsi:

72

a) sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat


dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kota;
b) mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
c) sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan untuk 20 (dua puluh) tahun; dan
d) sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kota.
Pola ruang wilayah Kota Rumbia sebagaimana yang dimuat dalam
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Kota Rumbia diuraikan sebagai
berikut :
a. Kawasan Lindung
Kawasan Lindung sesuai dengan merupakan kawasan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Kawasan Lindung yang berada di Kota Rumbia terdiri dari

Hutan lindung;

kawasan

yang

memberikan

perlindungan

terhadap

kawasan

bawahannya;

kawasan perlindungan setempat, yang meliputi sempadan pantai,


sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar
mata air;

73

ruang terbuka hijau (RTH) kota, yang antara lain meliputi taman RT,
taman RW, taman kota dan permakaman;

kawasan suaka alam dan cagar budaya;

kawasan rawan bencana alam, yang meliputi kawasan rawan tanah


longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir;
dan

kawasan lindung lainnya.


Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang

Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan


Alam Primer dan Lahan Gambut yang merupakan perpanjangan Inpres
Nomor 10 Tahun 2011, kawasan hutan di Kota Rumbia merupakan
Kawasan Hutan Lindung dengan luas kawasan mencapai 2.608,39 Ha atau
mencakup 32,56 % dari luas total wilayah Kota Rumbia.
Kawasan Hutan Lindung ini terdapat dibagian barat dan selatan Kota
Rumbia dan merupakan bagian dari Pegunungan Tangkeno Todoha yang
menjadi sumber air bagi masyarakat di Kota Rumbia, dimana pada
kawasan hutan tersebut menjadi hulu dari beberapa sungai yang mermuara
di Kota Rumbia antara lain S. Langkapa, S. Lantowonua, S. Kasipute dan
S. Wakata.

74

Gambar 5.10. Kawasan Lindung Gunung Tangkeno Todoha


Kawasan Gunung Tangkeno Todoha merupakan kawasan lindung
yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan di Kota Rumbia, oleh
karena itu sangat penting bagi pemerintah setempat untuk menjaga agar
kawasan tersebut tidak berubah fungsi.
b. Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Nugraha, dkk 2006).
Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa yang
termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan
produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian,
kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan,
kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan

75

peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan,


dan kawasan
an pertahanan keamanan.

Gambar 5.11.. Kawasan Budidaya di Kota Rumbia.


Luas kawasan budidaya di Kota Rumbia berdasarkan hasil analisis
adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 661,31 Ha atau
menempati 8,26 % dari luas wilayah Kota Rumbia ddan
an terletak
terl
di
sebelah utara Kota Rumbi
Rumbiaa yang berbatasan dengan Kecamatan
Rarowatu dan Rarowatu Utara
Utara,, serta Areal Penggunaan Lain (kawasan
perumahan, kawasan perkantoran, kawasan pertanian, dll) seluas
4.740,30 Ha atau mencakup 59,18 % dari luas total wilayah
wil
Kota
Rumbia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada 5.12.

76

77

2. Struktur Ruang
Struktur ruang wilayah merupakan kerangka tata ruang wilayah
yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan yang berhierarki satu
sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah terutama
jaringan transportasi. Selain itu juga, sistem perkotaan untuk mewujudkan
efisiensi pemanfaatan ruang, keserasian pengembangan ruang dan keefektifan
sistem pelayanan yang sesuai dengan tujuan penataan ruang wilayah Bombana
yakni ingin terwujudnya Kabupaten Bombana sebagai daerah yang sejahtera
dengan didukung oleh pengembangan sektor

pertanian dalam arti luas,

pertambangan, kelautan dan perikanan serta pariwisata. Berdasarkan


kebijakan regional RTRWP Sulawesi Tenggara yang tertuang dalam rencana
hirarki kota-kota Provinsi Sulawesi Tenggara dimana Kelurahan Kasipute di
Kecamatan Rumbia Kabupaten Bombana ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan
Lokal (PKL).
Dalam tinjauan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Kota
Rumbia tahun 2011, struktur ruang Kota Rumbia dibagi dalam tiga Bagian
Wilayah Kota (BWK), yaitu:
a. Bagian Wilayah Kota I (BWK 1)
BWK I mempunyai fungsi utama untuk perkantoran sebagai
pelayanan

Administrasi

Pemerintahan

Kabupaten

dengan

fungsi

pendukung Perumahan dan Permukiman serta didukung dengan pusat


perdagangan (pasar),Ruko dan campuran. Berdasarkan hasil analisis peta

78

Rencana Detail Tata Ruang (RDTRK) Kota Rumbia Tahun 2011, BWK I
terdapat di Kelurahan Lameroro.

Gambar 5.133. Tipologi Bagian Wilayah I Kota Rumbia Berdasarkan


Citra Satelit Tahun 2013.
Gambar 5.13 memperlihatkan kondisi kawasan permukiman pada
Bagian Wilayah Kota I yang berada pada kawasan perkantoran, kawasan
tersebut meru
merupakan
pakan kawasan pertumbuhan baru yang dipengaruhi oleh
keberadaan perkantoran pemerintah.
b. Bagian Wilayah Kota II (BWK 2)
BWK 2 fungsi utamanya sebagai pusat Perdagangan dan Jasa
dengan fungsi pendukung Permukiman

serta didukung pula dengan

Sarana Olah Raga (SOR), Taman dan tempat rekreasi buatan. Bagian

79

Wilayah Kota II mencakup desa. Lantawonua,


wonua, sebagian Kel. Lameroro,
Kel. Lampopala dan Kel. Doule.

Gambar 5.144. Tipologi Bagian Wilayah III Kota Rumbia Berdasarkan


Citra Satelit Tahun 2013.
Gambar 55.14 memperlihatkan kondisi pada BWK II dimana
pertumbuhan kawasan permukiman baru bersifat linier disepanjang jalan
arteri.
c.

Bagian Wilayah Kota III (BWK 3)


BWK 3 mempunyai fungsi utama campuran yaitu sebagai Kawasan
Industri, Pelabuhan, Perdagangan (pasar)
(pasar), sektor non formal,
f
Ruko,
permukiman dan seb
sebagai pusat pengembangan budaya/Isl
/Islamic Center
serta rekreasi alam
alam/pantai. Bagian Wilayah Kota 3 ini meliputi Kel.

80

Kasipute, Kel. Lauru, desa Tapoahi, Kel. Poea, desa Lampata dan Kel.
Kampung Baru.

Gambar 5.155. Tipologi Bagian Wilayah IIII Kota Rumbia Berdasarkan


Citra Satelit Tahun 2013.
Gambar 5.14 memperlihatkan kondisi kawasan permukiman pada
Bagian Wilayah Kota 33,, yaitu di wilayah kota lama pada wilayah Kel.
Lampopala, Kel. Kasipute, dan Kel. Lauru. Untuk lebih jelasnya,
gambaran struktur ruang wilayah Kota Rumbia dapat dilihat pada Gambar
5.16.

81

82

E. Kondisi Kawasan Permukiman di Kota Rumbia


Kondisi kawasan permukiman di Kota Rumbia awalnya terkonsentrasi
pada wilayah pusat kota khususnya di Kelurahan Lampopala, Kasipute, Lauru
dan Tapoahi. Namun seiring dengan perkembangan kota, arah pengembangan
perumahan linier mengikuti jalan utama khususnya yang mengarah ke kawasan
perkantoran di Kelurahan Lameroro.
Kebijakan tentang pengembangan kawasan perumahan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Perumahan dan Permukiman,
dimana dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa perumahan berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian
dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
Semakin berkembangnya kehidupan, semakin meningkat pula kebutuhan
untuk menunjang kehidupannya. Terutama kebutuhan akan tempat tinggal, yang
secara langsung berpengaruh juga terhadap penyediaan ruang dan lahan,
sehingga peran kelembagaan sangat diperlukan untuk mengatur pembangunan
perumahan. Luas kawasan permukiman di Kota Rumbia berdasarkan hasil
analisis adalah seluas 158,51 Ha.

83

Hasil

analisis

terhadap

kawasan

Permukiman

di

Kota

Rumbia

memperlihatkan bahwa kawasan dengan jenis penggunaan lahan perumahan


merupakan kawasan terluas yaitu 114,17 Ha atau mencakup 55,09 % dari total
luas kawasan terbangun yang ada di Kota Rumbia, selanjutnya jenis penggunaan
lahan jalan sebesar 48,73 Ha (23,51 %), sedangkan penggunaan lahan terkecil
yaitu jenis penggunaan lahan fasilitas telekomunikasi berupa tower seluas 0,12
Ha atau hanya menempati lahan 0,06 % dari luas kawasan terbangun di Kota
Rumbia. Jenis penggunaan lahan di Kota Rumbia secara rinci disajikan pada
Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Luas dan Jenis Kawasan Permukiman di Kota Rumbia, Tahun 2013.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Jenis Lahan Terbangun


Pergudangan
Perkantoran
TNI/Polri
Sarana Ibadah
Pasar
Industri
Pendidikan
Perumahan
POM Bensin
Publik Area
Ruko
Rumah Sakit
Fasilitas Telekomunikasi
Jalan
Kota Rumbia

Luas (Ha)
0,28
18,98
4,65
2,18
3,32
0,14
7,05
114,17
0,24
1,87
3,08
2,44
0,12
48,73
207,24

Persentase (%)
0,14
9,16
2,24
1,05
1,60
0,07
3,40
55,09
0,12
0,90
1,49
1,18
0,06
23,51
100,00

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Gambaran kondisi penggunaan lahan kawasan permukiman di Kota


Rumbia secara jelas dapat dilihat pada Gambar 5.17.

84

Gambar 5.17 Kondisi Kawasan Permukiman di Kota Rumbia.


Rumb

Kawasan yang memiliki kesatuan karakter tematis seperti Kawasan


K
kota
lama, lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan, dan
kawasan permukiman tradisional. Kawasan yang memiliki sifat campuran,
seperti kawasan campuran antara fung
fungsi
si hunian, fungsi usaha, fungsi sosialsosial
budaya dan/atau keagamaan serta fungsi khusus, kawasan sentra niaga (central
business district), industri, dan kawasan bersejarah terdapat di Kel. Lampopala,
Doule, Kasipute, Lauru dan Tapoahi. Gambaran kondisi pada wilayah
ilayah kota lama
disajikan pada gambar 5.18.

85

Gambar 5.18. Kondisi Kawasan Perumahan di Kota Lama

Kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan terbangun yang


memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, dan
kawasan gabungan atau campuran. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas
terdapat di Kel. Lampopala dan Kel. Lameroro. Wilayah tersebut sangat
dipengaruhi oleh keberadaan Kawasan perkantoran yang menjadi daya tarik
tumbuhnya

permukiman-permukiman

baru.

Gambaran

kondisi

kawasan

permukiman pada wilayah disekitar kawasan perkantoran dapat dilihat pada


Gambar 5.19.

86

Gambar 5.19. Kondisi Kawasan Permukiman di Kawasan Perkantoran


Perkembangan kota yang demikian cepatnya, kawasan kota lama menjadi
kawasan yang mempunyai daya tarik sangat besar, hal ini disebabkan karena
pada kawasan tersebut infrastruktur perkotaan lebih lengkap dibanding dengan
kawasan lainnya. Hal ini memberikan dampak terhadap kondisi fisik kawasan
tersebut, dimana tingkat kekumuhan terlihat di beberapa bagian wilayah kota
lama terutama kawasan permukiman yang berada di sepanjang pesisir pantai
pada desa Tapuahi, Kel. Lauru, Kel. Kasipute, dan Kel. Lampopala, kondisi ini
diakibatkan oleh tata kelola dan pengawasan terhadap aturan-aturan penggunaan
lahan kawasan yang lemah. Gambaran kondisi kawasan permukiman di Kota
Rumbia pada wilayah kota lama dapat dilihat pada Gambar 5.20.

87

5.20. Kondisi Kawasan Kumuh pada Wilayah Kota Lama di Rumbia


Berdasarkan hasil analisis, kawasan permukiman yang berada pada
bantaran sungai den
dengan
gan syarat jarak 5 m dari tepi sungai sesuai arahan Rencana
Detail Tata Ruang Wilayah Kota Rumbia di Kota Rumbia sebanyak 124 rumah
dengan luas penggunaan lahan bantaran sungai 0,65 Ha.
Hasil
asil analisis terhadap kkawasan
awasan permukiman Kota Rumbia berdasarkan
Bagian
gian Wilayah Kota memperlihatkan bahwa penggunaan lahan terbesar terdapat
di Bagian Wilayah Kota III seluas 85,03 Ha dimana konsentrasi kawasan
permukiman di Wilayah Kelurahan Kasipute, Kelurahan Lauru dan Kelurahan
Tapoahi. Luas kawasan permukiman pada Bagian
gian Wilayah Kota I sebesar 44,40

88

Ha, sedangkan pada Bagian Wilayah Kota II merupakan wilayah dengan luas
kawasan permukiman terkecil, yaitu sebesar 44,40 Ha.
Hasil analisis juga memperlihatkan gambaran bahwa luas lahan kosong
terbesar terdapat di Bagian Wilayah Kota (BWK) I seluas 3.071,40 Ha,
selanjutnya Bagian Wilayah Kota (BWK) III seluas 2.463,79 Ha, dan Bagian
Wilayah Kota (BWK) II merupakan wilayah dengan luas lahan kosong terkecil,
yaitu 2,316,30 Ha. Untuk lebih jelasnya, gambaran luas kawasan permukiman
dan lahan kosong menurut Bagian Wilayah Kota dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Luas Kawasan Permukiman dan Lahan Kosong menurut Bagian
Wilayah Kota (BWK) di Kota Rumbia. Tahun 2013.
BWK

Luas Wilayah
(Ha)

Kawasan
Permukiman (Ha)

Lahan Kosong
(Ha)

BWK I

3.115,80

44,40

3.071,40

BWK II

2.345,38

29,08

2,316,30

BWK III

2.548,82

85,03

2.463,79

8.010,00

158,51

7.851,49

Kota Rumbia
Sumber: Hasil Analsis, 2014.

Sebaran kawasan permukiman Kota Rumbia Tahun 2013 secara lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar 5.21.

89

90

F. Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman Kota Rumbia


Analisis kesesuaian lahan kawasan permukiman di Kota Rumbia
menggunakan

citra satelit TM 8 tahun 2013 khususnya untuk melihat

penggunaan lahan kawasan secara umum, yaitu dalam mengidentifikasi kawasan


terbangun dan lahan kosong. Hasil analisis dari citra tersebut kemudian didigitasi
menggunakan software ArcGIS 9.3. Sedangkan untuk mengidentifikasi kawasan
perumahan di gunakan citra satelit resolusi tinggi, sehingga dapat tergambar
kondisi kawasan perumahan eksisting.
Analisis yang digunakan untuk evaluasi kesesuian lahan permukiman ini
adalah spatial analysis dalam software . teknik yang digunakan adalah overlay
peta terhadap kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Overlay peta
yaitu teknik dengan mengkombinasikan beberapa layer untuk memperoleh
informasi dari beberapa data yang digabungkan.
Analisis kesesuaian lahan diperoleh dari hasil overlay peta kesesuaian
lahan berdasarkan tiga kriteria kesesuaian, yaitu sesuai, sesuai dengan syarat dan
tidak sesuai. Sedangkan untuk parameter fisik di peroleh dari peta kemiringan,
penggunaan lahan eksisting, rawan bencana, sempadan pantai, sempadan sungai.
Adapun kriteria dan syarat yang digunakan dalam analisis kesesuaian lahan
Kota Rumbia adalah sebagai berikut :
1. Kemiringan Lahan
Kriteria kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan syarat SNI 03-17332004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan.

91

Kesesuaian lahan di kelompokkan dalam tiga kategori, yaitu sesuai, sesuai


dengan syarat dan tidak sesuai. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa
kemiringan lahan 0 8 % merupakan kelas kemiringan yang sesuai untuk
kawasan permukiman, kemiringan yang sesuai dengan syarat diperlukan
rekayasa teknis antara 8 15 %, dan kelas kemiringan di atas 15 %
merupakan kelas kemiringan yang tidak sesuai dengan kawasan permukiman.
Kesesuaian lahan berdasarkan parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada
Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kelas Kemiringan.
Kelas Kemiringan

Kesesuaian

0-8

Sesuai

8 - 15

Sesuai dengan syarat

> 15

Tidak sesuai

Sumber: Hasil analisis, 2014.


Gambaran kesesuaian lahan berdasarkan parameter kemiringan secara jelas
dapat dilihat pada Gambar 5.22.

Gambar 5.22. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Kemiringan

92

2.

Penggunaan Lahan Eksisting


Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan penggunaan lahan Kota Rumbia
dilakukan dengan mengelompokkan jenis penggunaan lahan berdasarkan
syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Penggunaan lahan yang sesuai
untuk kawasan permukiman adalah jenis penggunaan lahan yang meliputi
Permukiman, tanah terbuka, kebun/kebun campuran dan semak belukar,
sedangkan kawasan yang sesuai dengan syarat meliputi jenis penggunaan
lahan sawah, tambak, savanna dan rawa, dan kawasan yang tidak sesuai
untuk kawasan permukiman terdiri dari kawasan hutan, daerah milik jalan,
mangrove, dan public area. Berdasarkan hasil analisis, kelas kesesuaian lahan
untuk jenis penggunaan lahan ini dapat dilihat pada Table 5.9.
Tabel 5.9. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan.
Penggunaan Lahan
Permukiman, Tanah Terbuka, Kebun/Kebun
Campuran, Semak/Belukar
Sawah, Tambak, Savana, Rawa
Hutan, Damija, Mangrove, Publik Area

Kesesuaian
sesuai
Sesuai dengan syarat
Tidak Sesuai

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Kesesuaian lahan berdasarkan parameter jenis penggunaan lahan


eksisting dapat dilihat pada Gambar 5.23.

93

Gambar 5.23. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Penggunaan


Lahan.

3.

Pola Ruang
Analisis kesesuaian lahan berdasarkan parameter pola ruang wilayah
ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi lahan yang berhubungan dengan
syarat kesesuaian terhadap kawasan lindung dan areal penggunaan lain. Hal
ini untuk menghindari penggunaan kawasan lindung sebagai kawasan
perumahan dalam pengembangan Kota Rumbia. Kriteria kesesuaian lahan di
lakukan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 837/UM/II/1980 dan No.
683/KPTS/UM/1981, adapun kriteria dan parameter kesesuaian lahan
berdasarkan pola ruang wilayah disajikan pada Tabel 5.10.

94

Tabel 5.10. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Pola Ruang.


Penggunaan Lahan
Areal Penggunaan Lain
Hutan Produksi, Hutan Produksi Konversi, Hutan
Produksi Tetap
Kawasan Lindung

Kesesuaian
sesuai
Sesuai dengan syarat
Tidak Sesuai

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Gambaran kesesuaian lahan berdasarkan parameter pola ruang wilayah


secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.34.

Gambar 5.24. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Pola Ruang


4.

Sempadan Pantai
Berdasarkan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Rumbia
Tahun 2011, Pengertian Garis Sempadan Pantai yaitu daratan sepanjang

95

tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. Kriteria dan
syarat kesesuaian lahan berdasarkan garis sempadan pantai dapat dilihat pada
Table 5.11.
Tabel 5.11. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Sempadan Pantai.
Jarak Garis Sempadan

Kesesuaian

> 150 m

sesuai

100 150 m

Sesuai dengan syarat

< 100

Tidak Sesuai

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Lebih jelasnya, Gambar 5.25 memperlihatkan kondisi kesesuaian lahan


berdasarkan parameter garis sempadan pantai.

Gambar 5.25. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Sempadan Pantai

96

5.

Sempadan Sungai
Pengertian sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan
sungai termasuk sungai buatan, kanal dan salarun irigasi primer, yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi sungai. Kawasan
sempadan sungai ini merupakan kawasan perlindungan setempat. Tujuan
perlindungan kawasan ini adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai,
melindungi kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran
sungai. Sehubungan dengan hal tersebut, sempadan sungai di Kota Rumbia
adalah sempadan sungai bertanggul di kawasan perkotaan dengan garis
sempadan > 3 m.
Adapun penetapan kriteria dan syarat kesesuaian kawasan permukiman
dengan parameter garis sempadan sungai dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Parameter Kesesuaian Lahan Berdasarkan Sempadan Sungai.
Jarak Garis Sempadan

Kesesuaian

>5m

sesuai

35m

Sesuai dengan syarat

<3

Tidak Sesuai

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Gambaran parameter berdasarkan garis sempadan sungai dapat dilihat


secara jelas pada Gambar 5.26.

97

Gambar 5.26. Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Sempadan Sungai

Setelah syarat kesesuaian lahan diketahui, kemudian dilakukan analisis


dengan menggunakan metode overlay terhadap parameter kesesuaian lahan
tersebut. Ilustrasi analisis data dengan teknik overlay dapat dilihat pada Gambar
5.27.

Gambar 5.27. Teknik Overlay Peta Hasil Kesesuaian Lahan

98

Hasil analisis memperlihatkan bahwa luas lahan yang sesuai untuk


kawasan permukiman adalah 1.778,17 Ha atau sebesar 22,20 % dari luas total
wilayah Kota Rumbia, sedangkan kesesuaian lahan yang sesuai dengan syarat
sebesar 1.731,47 Ha (21,62 %) dan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan permukiman adalah seluas 4.500,35 Ha (56,18 %). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Table 5.13.
Tabel 5.13.

Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman di


Kota Rumbia Kabupaten Bombana Tahun 2013.

Kesesuaian Lahan

Luas (Ha)

Persentase (%)

Sesuai

1.778,17

22,20

Sesuai dengan syarat

1.731,47

21,62

Tidak Sesuai

4.500,35

56,18

8.010,00

100,00

Kota Rumbia
Sumber : Hasil Analisis, 2014.

Dominasi kawasan yang bukan peruntukan kawasan permukiman ini


disebabkan oleh keberadaan Hutan Lindung yang terdapat di Pegunungan
Tangkeno Todoha yang ditetapkan menjadi Kawasan Hutan Lindung sesuai
dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut.
Hasil analisis kesesuaian lahan yang dilakukan, Kecamatan Rumbia
merupakan Kecamatan yang memiliki lahan yang sesuai untuk kawasan
perumahan terbesar seluas 1.027,69 ha, kawasan yang sesuai dengan syarat

99

seluas 1.257,94 ha dan kawasan yang tidak sesuai untuk kawasan permukiman
seluas 3.613,38 ha. Sedangkan luas kawasan yang sesuai untuk kawasan
permukiman di Kecamatan Rumbia Tengah sebesar 662,91, lahan yang sesuai
dengan syarat sebesar 308,68 ha dan kawasan yang tidak sesuai untuk kawasan
permukiman sebesar 1.139,40 ha.
Tinjauan

kesesuaian

lahan

kawasan

permukiman

berdasarkan

desa/kelurahan di Kota Rumbia memperlihatkan bawah Kelurahan Lameroro


merupakan wilayah dengan luas wilayah yang sesuai untuk kawasan
permukiman terbesar yaitu 519,90 Ha, kemudian menyusul desa Tapuahi seluas
218,90 ha, sedangkan Kelurahan Kampung Baru merupakan wilayah dengan luas
peruntukan kawasan permukiman yang sesuai terkecil, yaitu hanya sebesar 13,70
ha. Sedangkan untuk kawasan yang sesuai dengan syarat terbesar terdapat di
Kelurahan Lameroro yaitu seluas 927,30 ha, kemudian menyusul Kelurahan
Doule seluas 167,19 ha, sedangkan wilayah yang terkecil mempunyai lahan yang
sesuai dengan syarat adalah Kelurahan Poea yaitu seluas 28,83 ha.
Tingkat kesesuaian lahan yang tidak direkomendasikan sebagai kawasan
permukiman terbesar terdapat di Desa Lantowonua yaitu seluas 1.585,02 ha,
selanjutnya Kelurahan Lameroro seluas 1.472,81 ha, dan wilayah yang
mempunyai lahan terkecil yang tidak sesuai untuk kawasan permukiman terdapat
di Kelurahan Lampopala yaitu hanya sebesar 17,25 ha. Untuk lebih jelasnya luas
kesesuaian lahan berdasarkan desa/kelurahan di Kota Rumbia dapat dilihat pada
Tabel 5.14.

100

Tabel 5.14. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman


berdasarkan Desa/Kelurahan di Kota Rumbia Kabupaten Bombana
Tahun 2013.
Desa/Kelurahan
I. Kecamatan Rumbia
1. Kasipute
2. Lantowonua
3. Doule
4. Lampopala
5. Lameroro
II. Kecamatan Rumbia Tengah
1. Lampata
2. Tapuahi
3. Lauru
4. Kampung Baru
5. Po Ea
Kota Rumbia

Kesesuaian Lahan (Ha)


Sesuai
Total
Tidak
Sesuai
Dengan
Sesuai
Syarat
1.027,69 1.257,94 3.613,38 5.899,00
167,03
29,21
292,75
489,00
167,43
46,55 1.585,02 1.799,00
131,26
167,19
245,55
544,00
42,07
87,68
17,25
147,00
519,90
927,30 1.472,81 2.920,00
662,91
308,68 1.139,40 2.111,00
217,78
110,78
244,44
573,00
218,90
116,23
91,87
427,00
140,51
33,70
290,78
465,00
13,70
19,14
84,16
117,00
72,03
28,83
428,14
529,00
1.690,60

1.566,62

4.752,78

8.010,00

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa lahan yang memenuhi syarat


kesesuaian lahan terbesar terdapat pada Bagian Wilayah Kota (BWK) III seluas
825,05 Ha, kemudian Bagian Wilayah Kota (BWK) I 554,56 Ha dan Bagian
Wilayah Kota (BWK) II seluas 310,98 Ha. Lahan yang sesuai dengan syarat
terluas terdapat pada Bagian Wilayah Kota (BWK) I dimana luas kawasan
sebesar 743,66 Ha, kemudian Bagian Wilayah Kota (BWK) II seluas 502,59 Ha
dan selanjutnya Bagian Wilayah Kota (BWK) III seluas 320,37 Ha. Gambaran
kesesuaian lahan di Kota Rumbia dapat dilihat pada Gambar 5.28.

101

102

Luas kawasan permukiman yang tidak sesuai untuk kawasan permukiman


di Kota Rumbia berdasarkan Bagian Wilayah Kota (BWK) terbesar terdapat pada
BWK I seluas 1.817,58 Ha, selanjutnya kawasan yang berada pada BWK II
seluas 1.531,81 Ha dan BWK III merupakan wilayah dengan luas kawasan yang
tidak sesuai untuk permukiman terkecil yaitu 1.403,39 Ha. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 5.15.
Tabel 5.15. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman
berdasarkan Bagian Wilayah Kota di Kota Rumbia Kabupaten
Bombana Tahun 2013.

BWK I

554,56

Luas (Ha)
Sesuai Dengan
Syarat
743,66

BWK II

310,98

502,59

1.531,81

BWK III

825,05

320,37

1.403,39

1.690,60

1.566,62

4.752,78

Bagian Wilayah Kota

Kota Rumbia

Sesuai

Tidak Sesuai
1.817,58

Sumber: Hasil Analisis, 2014.

Hasil overlay kesesuaian lahan dengan kondisi eksisting kawasan


permukiman di Kota Rumbia Kabupaten Bombana memperlihatkan bahwa luas
kawasan permukiman yang berada pada lahan yang sesuai untuk kawasan
permukiman adalah 139,00 Ha, kawasan yang sesuai dengan syarat sebesar 6,13
Ha, dan kawasan permukiman yang berada pada lahan yang ridak sesuai sebesar
12,95 Ha.
Untuk lebih jelasnya, luas kawasan permukiman eksisting berdasarkan
kesesuaian lahan menurut Desa/Kelurahan dapat dilihat pada Tabel 5.16.

103

Tabel 5.16. Kesesuaian Lahan Kawasan Permukiman eksisting berdasarkan


Desa/Kelurahan di Kota Rumbia Kabupaten Bombana Tahun 2013.
Desa/Kelurahan
Kecamatan Rumbia
1. Kasipute
2. Lantowonua
3. Doule
4. Lampopala
5. Lameroro
Kecamatan Rumbia Tengah
6. Lampata
7. Tapuahi
8. Lauru
9. Kampung Baru
10. Po Ea
Kota Rumbia

Luas
Kawasan
Permukiman
(Ha)

Kesesuaian Lahan (Ha)


Sesuai
Tidak
Sesuai
Dengan
Sesuai
Syarat

35,87
2,47
4,50
12,77
53,52

25,13
2,37
4,47
9,99
53,25

3,16
0,00
0,01
0,89
0,11

7,57
0,10
0,02
1,88
0,15

2,71
25,77
19,42
0,33
0,71
158,07

2,65
25,33
15,10
0,03
0,68
139,00

0,06
0,20
1,54
0,11
0,03
6,13

0,01
0,24
2,78
0,19
0,01
12,95

Sumber: Hasil Analisis, 2014

Hasil overlay kawasan permukiman eksisting terhadap kesesuaian lahan di


Kota Rumbia Kabupaten Bombana secara jelas dapat dilihat pada Gambar 5.29.

104

105

VI.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1) Luas lahan kawasan permukiman di Kota Rumbia saat ini adalah 158,51 ha
atau menempati lahan dengan persentase luas kawasan sebesar 1,98 % dari
luas wilayah Kota Rumbia. Konsentrasi kawasan permukiman terdapat di
sekitar kota lama yaitu di Kelurahan Lampopala, Kasipute, Lauru dan desa
Tapoahi.
2) Hasil analisis kesesuaian lahan kawasan permukiman menunjukkan lahan
yang sesuai seluas 1.690,60 Ha, sesuai dengan syarat 1.566,62 Ha, dan tidak
sesuai 4.752,78 Ha.
3) Rencana pengembangan kawasan permukiman di Kota Rumbia di arahkan
pada Kelurahan Kasipute, Lauru, Tapoahi, Poea, Lampata dan Kampung
Baru yang berada pada BWK 3, sedangkan pada Kelurahan Lameroro fungsi
utama kawasan di arahkan sebagai kawasan perkantoran (BWK 1) dan desa
Lantawonua, kel. Lampopala, kel. Doule dan sebagian kel. Lameroro (BWK
2) diarahkan sebagai kawasan pusat perdagangan dan jasa.

106

B. Saran
1) Perlunya dilakukan pendataan dan pemetaan secara detail batas-batas
wilayah kelurahan agar data yang dihasilkan benar-benar menunjukkan
kondisi wilayah yang sebenarnya.
2) Perlunya dilakukan kajian yang mendalam terhadap kondisi kawasan
permukiman yang berada pada sempadan pantai dan sampadan sungai,
sehingga tercipta lingkungan kawasan permukiman yang sehat dan tertata.
3) Perlunya dilakukan pemantauan ruang khususnya kawasan permukiman agar
tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan ruang yang dapat mengganggu
keseimbangan kawasan Kota Rumbia.

107

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Arikunto, S. 2005. Manajeman Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Aris P 2009. Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan
Permukiman di Perdesaan. Jurnal Permukiman. Vol. 4 No. 2 September 2009.
Archibugi. F., 2008. Planning Theory. From the Political Debate to the
Methodological Reconstruction.
Bambang U. S, 2012. Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan (Studi di
Kota Bandar Lampung). Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, Unila 2012.
Bintarto, 1977. Pola Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi
UGM.
Bintarto, R. 1989. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Jakarta. Ghalia
Indonesia.
Badan Pusat Statistik, 2013. Kabupaten Bombana Dalam Angka, 2012.
Badan Pusat Statistik, 2013. Kecamatan Rumbia dan Rumbia Tengah Dalam Angka,
2012.
Branch, M. C. 1995, Perencanaan Kota Komprehensif : Penerjemah Ir. Bambang
Hari Wibisono MUP MSc, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Budihardjo, E. 2009. Perumahan dan Permukiman di Indonesia.. Bandung: Alumni.
Budiharsono. 2002. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Burgess, E. W. 1925. The growth of a city: an introduction to a research project, in
Robert E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City.
Chicago: University of Chicago press.
Catanese, A. J. dan James C. S. 1986, Pengantar Perencanaan Kota, Erlangga,
Jakarta.

108

Chapin. F.S. 1995. Urban Land Use Planning. University of Illinois. Urbana.
Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Param ita. Bogor.
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruangan dalam teori dan Praktek.
Bandung: Alumni Bandung.
Daldjoeni, N. 1996. Geografi Kota dan Desa. Alumni, Bandung.
Daldjoeni, N.1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah.
Bandung: Alumni.
Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya. Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota. Jakarta.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Perumahan dan
Permukiman. 2002, Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP), Yayasan Badan Penerbit KIMPRASWIL, Jakarta.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Surat Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman. Jakarta.
Fianstein and Norman, 1991. City Planning and Political Value, Journal Urban
Affairs Quarterly, Vol. 2, No.3.
Harris C. dan Ullman, E. 1945, The Nature of Cities, Bellwether publishing, Chicago.
Hendarto, S. 2001. Dasar-Dasar Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.
Hoyt, Homer. 1939. The Structure and Growth of Residential Neighborhoods in
American Cities. Washington, DC., U.S. Federal Housing Administration.
Jayadinata T. J, 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Desa, Perkotaan dan
Wilayah, ITB, Bandung.
Jhingan, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : Rajawali Press.
Keman, S, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman, Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.1, Juli 2005 ; 29-42, Surabaya.

109

Khadiyanto, Parfi. 2005. Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan, Universitas
Diponegoro. Semarang.
Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan
Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan [internet],
diperoleh dari [diakses April 2014].
Kozlowski, J. 1997. Pendekatan Ambang Batas dalam Perencanaan Kota, Wilayah
dan Lingkungan : Teori dan Praktek. Jakarta: UI-Press.
Kustiwan, I. 1997. Permasalahan konservasi lahan pertanian dan implikasinya
terhadap penataan ruang wilayah, studi kasus wilayah Pantura Jawa Barat.
Jurnal PWK. Vol. 8 No. 1. 1997.
Kuswartojo, T. dkk. 2005. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Penerbit ITB,
Bandung.
Murai, S. 1999. GIS Work Book. Institute of Industrial science, University of Tokyo,
7-22-1 Roppongi, Minatoku, Tokyo.
Miller, JC. and Miller, JN., 1988, Statistics for Analytical Chemistry, 2nd Edition John
Wiley & Sons, New York hal 109-120
Nasir, M 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nasution, L.B. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding
Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
Nugraha, dkk. 2006. Potensi dan Tingkat Kerusakan Sumberdaya Lahan di Daerah
Aliran Sungai Samin Kabupaten Kranganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2006. Laporan Penelitian. Surakarta : LPPM UNS.
Pemerintah Kabupaten Bombana. 2007. Peraturan Daerah Kabupaten Bombana
Nomor 17 Tahun 2007. Bombana.
Pemerintah Kabupaten Bombana. 2011. Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota
Rumbia. Bombana.
Pemerintah Kabupaten Bombana, 2012. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) Kawasan Rumbia-Kasipute. Bombana.

110

Pemerintah Kabupaten Bombana. 2013. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten


Bombana Tahun 2013 2033. Bombana.
Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013
tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
Perumahan dan Permukiman. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003
tentang Pembentukan Kabupaten Bombana. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jakarta.
Priyo N. C., Johan S., Amiranti S. S, 2012. Konsep Penataan Permukiman Dalam
Rangka Pembangunan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu. Seminar Nasional
Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota, 2012.
Riyadi dan Deddy, S. B. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Sevilla, C. et, al. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UniversitasIn donesia
Press.
Sihotang, Paul. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: LP-FEUI.
Simmons A, 1989. Hematologi A Combined Theoritical and Technical Upproach.
W.B. sounders Company.
Singarimbun, M.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S, Jakarta.
Solihin. D., 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah: Konsep, Strategi, Tahapan
dan Proses, Diklat perencanaan Pembangunan Ekonomi.
Standar Nasional Indonesia, 2004. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Jakarta.

111

Sugiyono. 2003, Metode Penelitian Admnistrasi, Alfabeta Bandung. Tarigan, R.


2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sutanto 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gajah Mada University Press, Jogjakarta.
Syamsuddin, 2010. Pengembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman pada
Kota Terpadu Mandiri (KTM) Mahalona Kabupaten Luwu Timur. Universitas
Diponegoro Semarang, 2010.
Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Tjahjati S. et al. 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
Yudohusodo, S. 1991, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Padamu Negeri,
Jakarta.
Yunus, H. S. 1987. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif
Pemecahannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Yunus, H. S. 2005. Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Zahnd, Marcus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu: Teori Perancangan Kota
dan Penerapannya. Semarang: Kanisius.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 3.

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten


Bombana Menurut Kecamatan, 2013.

No.

Kecamatan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Kabaena
Kabaena Utara
Kabaena Selatan
Kabaena Barat
Kabaena Timur
Kabaena Tengah
Rumbia
Mata Oleo
Kep. Masaloka Raya
Rumbia Tengah
Rarowatu
Rarowatu Utara
Lantari Jaya
Mata Usu
Poleang Timur
Poleang Utara
Poleang Selatan
Poleang Tenggara
Poleang
Poleang Barat
Tontonunu
Poleang Tengah
KAB. BOMBANA

Luas
Wilayah
(km2)

Persentase
(%)

Jumlah
Penduduk
(jiwa)

103,57
132,97
129,20
39,43
121,25
275,58
58,99
108,53
2,66
21,11
166,81
239,40
285,01
456,17
101,55
237,27
89,88
133,51
115,39
325,05
131,14
41,69

3,12
4,01
3,90
1,19
3,66
8,31
1,78
3,27
0,08
0,64
5,03
7,22
8,59
13,76
3,06
7,15
2,71
4,03
3,48
9,80
3,95
1,26

3.069
3.954
2.807
8.071
7.178
3.704
11.537
6.562
3.209
6.847
6.706
7.927
8.100
1.362
9.812
11.261
7.112
4.044
15.379
12.140
5.657
3.748

30
30
22
205
59
13
196
60
1.206
324
40
33
28
3
97
47
79
30
133
37
43
90

3.316,16

100,00

150.186

45

Sumber: Bombana Dalam Angka, 2014.

Kepadatan
(jiwa.km-2)

Lampiran 4.

Jumlah Penduduk Kota Rumbia berdasarkan Kelompok Umur Tahun


2013.

Kelompok Umur

Laki-Laki

Perempuan

Jumlah

0-4
5-9
10 - 14
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
40 - 44
45 - 49
50 - 54
55 - 59
60 - 64
65 - 69
70 - 74
+75

1.205
990
793
785
968
1.102
917
725
593
376
286
205
119
73
64
79

1.104
957
800
865
1.037
1.144
809
704
512
324
241
177
154
96
92
88

2.309
1.947
1.593
1.650
2.005
2.246
1.726
1.429
1.105
700
527
382
273
169
156
167

KOTA RUMBIA

9.280

9.104

18.384

Sumber : Kec. Rumbia dan Rumbia Tengah Dalam Angka, 2013.

Lampiran 7. Foto-Foto
Foto Hasil Survey Lapangan.

a) Kawasan BTN Baco Pance Residence

b) Kawasan BTN Citra Residence Sangkona

c) Kawasan Perum Depag Kab. Bombana

d) Kawasan BTN Lampopala

e) Tribun /Lapangan A.A Rifai

g. Permukiman Kel. Kampung Baru

f).Terminal Type B/Puskesmas Rumbia Tengah

h.) Masjid Raya Nurul Iman

i). RSUD Poea Kab. Bombana

j.) Permukiman Kampung Baru

k.)Areal eks MTQ /Terbuka Hijau

l. Areal Persawahan Lameroro

m). Permukiman Lampusui

n). Pasar baruKabupaten Bombana

Anda mungkin juga menyukai