Anda di halaman 1dari 129

KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI WILAYAH

PESISIR KECAMATAN GALESONG UTARA KABUPATEN


TAKALAR

SKRIPSI
TUGAS AKHIR – 465D5206
PERIODE II
Tahun 2018/2019

Sebagai Persyaratan Untuk Ujian


Sarjana Teknik
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota

Oleh :
ANANDA LOLA SYAM
D521 14 309

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018
KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN GALESONG UTARA KABUPATEN TAKALAR

Ananda Lola Syam1), Shirly Wunas2), Wiwik Wahidah Osman3)

E-mail: anandalolas@ymail.com
ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk yang kian pesat dapat menimbulkan masalah yang
berkaitan dengan ketersediaan lahan untuk permukiman. Permintaan penduduk
yang sangat meningkat cenderung mengabaikan peruntukkan dan kemampuan
lahan yang ada. Pemanfaatan lahan untuk permukiman diatur dalam rencana tata
ruang wilayah, dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek fisik dan ekologi.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan permukiman
dan menyusun prinsip-prinsip pengembangan permukiman. Data penelitian berasal
dari survei, kuesioner dan pengamatan langsung. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu skoring menggunakan analisis Analytical Hierarchy Process
(AHP), analisis spasial yaitu overlay peta dengan menggabungkan kesesuaian lahan
permukiman, hasil overlay digunakan untuk mendeskripsikan prinsip lokasi
permukiman. Berbagai aspek yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, sempadan
pantai, rawan abrasi, sarana nelayan, ketersediaan air bersih, aksesibilitas,
sempadan sungai dan ketersediaan lahan, hasil analisis menunjukkan lahan yang
sesuai 110 Ha, cukup sesuai 939 Ha, dan tidak sesuai 493 Ha. Kesesuaian lahan
dengan kategori sesuai dimana lahan ini cocok untuk dikembangkan sebagai
kawasan permukiman yang mempunyai skor tinggi untuk semua aspek. Lahan
klasifikasi sesuai yaitu lahan kosong dan belukar. Kesesuaian lahan dengan
kategori cukup sesuai dibutuhkan pertimbangan khusus pengembangan
permukiman, dan lahan tidak sesuai untuk dikembangkan menjadi kawasan
permukiman meskipun dengan sentuhan teknologi tetap harus dijadikan sebagai
kawasan lindung. Sebagian besar lahan dengan kategori tidak sesuai merupakan
sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan rawan abrasi pantai.

Kata Kunci: Kesesuaian Lahan, Permukiman Pesisir, Analytical Hierarchy Process


(AHP), dan SIG.
1)
Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
2)3)
Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

iii
RESIDENTIAL LAND SUITABILITY IN COASTAL AREA GALESONG
UTARA SUB-DISTRICT TAKALAR DISTRICT
Ananda Lola Syam1), Shirly Wunas2), Wiwik Wahidah Osman 3)
E-mail: anandalolas@ymail.com

ABSTRACT
Rapid population growth can create problem related to land availability and
ability for settlement. High increase of population demand tends to ignore allotment
and existing land. Land use for settlement is regulated in spatial plans with
consideration of physic and ecology aspect balance. The aim of this research was
to find out suitability of residential land and arrange principles of settlement
development. Research data was from survey, questioner, and direct observation.
Analysis used in this research were Analytical Hierarchy Process (AHP), spatial
analysis of map overlay using suitability of residential area. Overlay result was to
describe settlement location. Many aspects were slope, type of land, coastal border,
abrasion prone, fishing facilities, availability of clean water, accessibility, river
border and land availability, results of analysis showed suitable land of 100 Ha,
quite suitable of 939 Ha and not suitable of 493 Ha. Land suitability with suitable
category, land was good to develop as settlement area that had high score for all
aspect. Suitable classification land was an empty land and grove. Land suitability
with quite suitable category needed particular consideration in settlement
development and land which was not suitable to develop became settlement even
though it used fixed technology, it had to become as protected are. Most land with
category unsuitable was similar as coastal border, river border and coastal abrasion-
prone areas.

Keyword: Land Suitability, Coastal Settlements, Analytical Hierarchy Process (AHP), and
SIG.

1)
Student Department of Regional and Urban Planning, Faculty of Engineering, Hasanuddin
University.
2)3)
Lecturer Department of Regional and Urban Planning Faculty of Engineering Hasanuddin
University.

iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta sholawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Kesesuaian Lahan Permukiman di Wilayah Pesisir Kecamatan Galesong
Utara Kabupaten Takalar”
Penulisan tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
memberikan yang terbaik. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat
membangun sangar diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga apa yang telah penulis selesaikan ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam studi
selanjutnya, terutama dalam bidang Perencanaan Wilayah dan Kota. Semoga Allah
SWT meridhoi segala usaha yang telah kita lakukan selama ini. Amin

Gowa, November 2018

Ananda Lola Syam

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan
dan dorongan yang tiada henti itu rasanya sulit bagi penulis untuk
menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Adapun yang dimaksud sebagai berikut:
1. Kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan rahmat-Nya, sehingga
penulisan tugas akhir ini dapat terselesaikan serta shalawat dikirimkan kepada
Rasulullah SAW yang menjadi pembawa lentera ilmu kepada seluruh umat
manusia yang ada di muka bumi ini termasuk penulis.
2. Keluarga Penulis
a. Kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Syamsuddin Yusuf S,E
dan Ibunda Syamsuriani, orang yang paling hebat di dunia ini, orang yang
selalu tidak pantang menyerah dalam memberikan doa, dukungan, bantuan,
kasih sayang, semangat dan pengorbanan disetiap langkah perjalanan
penulis dalam menuntut ilmu terutama Ibunda penulis yang sangat-sangat
berjasa dalam hidup penulis.
b. Adik penulis Fravedo Fazzangky Syam terima kasih atas doa dan
dukungan serta semangat yang diberikan kepada penulis.
3. Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Prof. Dr. Ir. Shirly Wunas, DEA selaku
pembimbing pertama dan Ibu Wiwik Wahidah Osman, ST.,MT selaku
pembimbing kedua. Terima kasih atas waktu yang telah disisihkan, bimbingan,
ilmu dan motivas yang telah diberikan yang sangat bermanfaat dan sangat
berharga bagi penulis.
4. Dosen Penguji Tugas Akhir Bapak Mukti Ali, ST.,MT.,Ph.D, Bapak Dr. Eng.
Ihsan, ST.,MT dan Bapak Dr.Ir. Arifuddin Akil,MT yang telah meluangkan
waktu dan pemikiran dalam menguji dan memberikan arahan serta nasehat
sebagai penyempurnaan tugas akhir penulis.
5. Bapak Dr. Eng. Abdul Rachman Rasyid, ST.,M.Si, selaku Kepala Studio
Akhir PWK, terima kasih atas segala motivasi, bantuan dan bimbingan selama
masa studio.

vii
6. Ibu Sri Aliah Ekawati ST.,MT selaku Penasehat Akademik penulis selama 8
semester, terimah kasih atas segala dukungan dan ilmu yang diberikan.
7. Ibu Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si selaku Ketua Departemen PWK dan seluruh
dosen Departemen PWK FT-UNHAS, terima kasih atas nasehat, ilmu,
dukungan dan bantan kepada penulisi selama masa perkuliahan.
8. Dosen Pembimbing di LBE Perumahan dan Permukiman, Prof. Dr. Ir. Shirly
Wunas, DEA, Ibu Dr. Ir. Hj. Mimi Arifin, M.Si dan Ibu Wiwik Wahidah
Osman, ST.,MT terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, dan motivasi
selama masa LBE dan selama penyusunan tugas akhir penulis.
9. Staf Kepegawaian dan Tata Usaha Departemen PWK FT-UNHAS, Pak
Haerul, Pak John, Pak Sawalli, Pak Nadir, Pak Arman dan Ibu Tiknok
serta Staf dan Tata Usaha Fakultas Teknik terima kasih atas bantuan dalam
pengurusan administrasi penulis selama masa perkuliahan.
10. Teman-teman seperjuangan Studio Akhir Departemen Perencanaan Wilayah
dan Kota Periode II tahun 2018/2019.
11. Teman-teman seperjuangan di Labo Perumahan dan Permukiman yang tersisa
Alfi, Fani, Kak Candra dan Kak Ibeng. Semangat guys!!! Dan yang sudah
lebih dahulu sarjana Inu ST, Nope ST, Nita ST, Ninik ST, Ana ST, Naya ST,
Ayu ST, Cita ST, Kak Lopo ST, Kak Baso ST dan Kak Zaam ST. Terima
kasih atas waktu, canda, bantuan, was-was dan stress yang dihadapi bersama
selama LBE dan di studio akhir.
12. Saudara (i) penulis Arsitektur dan PWK 2014, terima kasih untuk
kebersamaan, canda tawa, kenangan pahit maupun manis kerja sama serta
pengalaman selama berada di kampus yang namanya tidak bisa disebut satu
persatu. Semangat untuk mendapatkan gelar ST!
13. Keluarga besar pengurus BE HMPWK FT-UH Periode 2017-2018 terima
kasih atas kerjasama selama kepengurusan dan pengalaman yang telah
diberikan kepada penulis.
14. MyLuvly PANDORA dan P++: Inu, Bolo, Tami, Ina, Novi, Fitri, Runi, Ihsan
Akbar, Ahmad, Ardi dan Ahsan. Terima kasih banyak untuk waktu,
kebersamaan, canda tawa, suka duka, motivasi, bantuan, doa, dan pikiran yang
sudah diluangkan untuk penulis. I love you so much!!!!

viii
15. My Partner in Crime, Emha Sofyan Purnama Putra sang motivator pribadi
yang selalu memberikan semangat, saran dan dukungan. Terima kasih banyak
sudah menemani, setia dan sabar mendampingi penulis selama masa
perkuliahan ini.
16. Sahabat-sahabat KKN Gel.96 Bontosunggu, Galesong Utara yang terindah
Cicing, Caca, Ainun, Fadil, dan Habibi. Terimakasih sudah menjadi keluarga
baru penulis yang selalu menemani dan mendengarkan keluh kesah selama
proses pengerjaan tugas akhir.
17. No wacana club, Mentari, Ummu, Khen, Ayu, dan Ilmi. Terimakasih sudah
menjadi sahabat penulis dari jaman putih biru hingga sekarang yang masih setia
menemani penulis.
18. Gossip girls, Devi, Kiki dan Shinta. Terimakasih atas waktu, masukan, drama
dan setia dari jaman SD hingga sekarang. Semoga hubungan kita langgeng yaaa.
19. Sahabat semasa SMA, Haris, Jumadi, Reskya dan Fadel yang sudah
memberikan semangat, cerita dan motivasi bagi penulis.
20. Terkhusus teman kosan Ulviah Hikmawaty terimakasih sudah menjadi teman
kos yang setia menemani penulis dimasa-masa akhir perkuliahan, tanpamu ku
butiran debu Terimakasih juga untuk Ibu kosan yang sudah menjadi ibu dan
rumah kedua bagi penulis selama tinggal di Gowa.
21. Teman-teman Teknik FT-UH 2014 yang secara langsung atapun tidak
langsung bertemu dan membantu penulis selama menjadi mahasiswi Fakultas
Teknik, Unhas. We are the champions!
22. Seluruh masyarakat di lokasi penelitian tugas akhir Kecamatan Galesong
Utara Kabupaten Takalar terimakasih sudah membantu dan terlibat dan
penyelesaian tugas akhir ini, tanpa kalian penulis tidak bisa sampai dititik ini.

Gowa, 2 November 2018

Ananda Lola Syam

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................. ii
ABSTRAK ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................ x
DAFTAR TABEL............................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xvi

BAB I - PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 3
E. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 3
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 4

BAB II – TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Lahan .............................................................................. 5
1. Pengertian Lahan ..................................................................... 5
2. Kesesuaian Lahan ..................................................................... 5
3. Kelas Kesesuaian ...................................................................... 7
4. Prinsip Dasar Evaluasi Kesesuaian Lahan................................ 8
B. Klasifikasi Fungsi Kawasan ........................................................ 9
1. Kawasan Lindung.................................................................... 10
2. Kawasan Budidaya .................................................................. 10
C. Tinjauan Permukiman .................................................................... 12
1. Pengertian Permukiman............................................................ 12
2. Persyaratan Permukiman .......................................................... 12
D. Wilayah Pesisir .............................................................................. 20
1. Pengertian Wilayah Pesisir ....................................................... 20
x
2. Karakteristik Kawasan Pesisi ................................................... 21
a. Karakteristik Lingkungan Alam .......................................... 21
b. Karakteristik Lingkungan Fisik ........................................... 23
c. Sempadan Pantai .................................................................. 24
d. Sempadan Sungai ................................................................ 25
e. Abrasi Pantai ....................................................................... 25
E. Sarana dan Prasarana Permukiman Pesisir ................................... 26
1. Sarana Permukiman Pesisir ..................................................... 26
a. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ........................................... 26
b. Tambatan Perahu ................................................................ 27
c. Tempat Penjemuran Ikan .................................................... 27
2. Prasarana Permukiman Pesisir................................................. 27
a. Jaringan Jalan....................................................................... 28
b. Jaringan Air Bersih .............................................................. 29
F. Sistem Informasi Geografis (GIS) ............................................... 30
1. Pengertian Sistem Informasi dan Geografis (GIS) ................. 30
2. Subsistem GIS ......................................................................... 31
3. Jenis dan Sumber Data GIS ..................................................... 32
G. AHP (Analytic Hierarchy Process) ............................................. 34
1. Pengertian AHP ...................................................................... 34
2. Tahapan AHP .......................................................................... 35
3. Prosedur AHP .......................................................................... 35
H. Studi Penelitian Terdahulu ........................................................... 37
I. Kerangka Konsep ......................................................................... 38

BAB III – METODOLOGI PENELITIAN


A. Jenis Penelitian ............................................................................. 39
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 39
C. Jenis dan Kebutuhan Data ............................................................ 41
D. Variabel Penelitian ....................................................................... 41
E. Responden Penelitian ................................................................... 44
F. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 45
xi
G. Teknik Analisis Data .................................................................... 45
H. Definisi Operasional ..................................................................... 50
I. Kerangka Penelitian...................................................................... 52

BAB IV - GAMBARAN UMUM


A. Gambaran Umum Kabupaten Takalar .......................................... 53
1. Kondisi Gografis...................................................................... 53
2. Wilayah Administrasi .............................................................. 53
3. Topografi dan Kemiringan Lereng .......................................... 55
4. Klimatologi dan Hidrologi....................................................... 56
5. Jenis Tanah .............................................................................. 57
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 59
1. Kondisi Geografis .................................................................. 59
2. Wilayah Administrasi ............................................................ 59
C. Identifikasi Kawasan Galesong Utara .......................................... 62
1. Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir ................................... 62
2. Kondisi Permukiman ............................................................... 64
3. Kondisi Aksesibilitas ............................................................... 65
4. Kondisi Jaringan Air Bersih .................................................... 66
5. Daerah Rawan Bencana Abrasi ............................................... 66
6. Sempadan Pantai...................................................................... 69
7. Sarana Kenelayanan ................................................................ 70

BAB V - ANALISIS DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir di Kecamatan
Galesong Utara Kabupaten Takalar .............................................. 74
1. Analisis Fungsi Kawasan......................................................... 74
2. Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir berdasarkan
Parameter Penelitian ............................................................... 76
a. Responden dari Pemerintah 1 ............................................. 78
b. Responden dari Pemerintah 2 ............................................. 78
c. Responden dari Masyarakat ................................................ 79
d. Responden dari Akademisi 1 .............................................. 80
xii
e. Responden dari Akademisi 2 .............................................. 81
f. Kombinasi Responden......................................................... 81
3. Analisis Spasial Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir ....... 83
a. Kemiringan Lereng ............................................................. 83
b. Jenis Tanah ......................................................................... 85
c. Ketersediaan Air Bersih ...................................................... 87
d. Aksesibilitas........................................................................ 89
e. Rawan Abrasi ...................................................................... 91
f. Sarana Kenelayanan ............................................................ 93
g. Sempadan Pantai................................................................. 95
h. Sempadan Sungai ............................................................... 97
i. Ketersediaan Lahan ............................................................. 99
j. Kesimpulan ........................................................................ 101
B. Prinsip-Prinsip Lokasi Permukiman di Wilayah Pesisir Berdasarkan
Tingkat Kesesuaian Lahan Kecamatan Galesong Utara............... 105

BAB VI - PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 107
B. Saran ........................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ xvii

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kisaran Nilai dan Tingkat Kesesuaian ................................... 8


Tabel 2. Kriteria Identifikasi Kawasan ................................................ 12
Tabel 3. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Menurut Windi .. 14
Tabel 4. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Menurut
Taufiqurrohman....................................................................... 15
Tabel 5. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Menurut Purwi .. 18
Tabel 6. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir ................ 19
Tabel 7. Klasifikasi Jalan di Lingkungan Perumahan .......................... 29
Tabel 8. Variabel Penelitian ................................................................. 42
Tabel 9. Skala Dasar Penilaian dalam Metode AHP............................. 46
Tabel 10. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir ............... 47
Tabel 11. Luas Wilayah Kabupaten Takalar Berdasarkan Jumlah
Kecamatan............................................................................. 54
Tabel 12. Luas Wilayah Berdasarkan Ketinggian Dari Permukaan Laut di
Kabupaten Takalar............................................................... 55
Tabel 13. Curah Hujan di Kabupaten Takalar ..................................... 56
Tabel 14. Klasifikasi Jenis Tanah di Kabupaten Takalar ..................... 57
Tabel 15. Luas Wilayah Desa/ Kelurahan Menurut Kecamatan Galesong
Utara Tahun 2016................................................................. 59
Tabel 16. Guna Lahan dan Luasan Pesisir Kabupaten Takalar ........... 62
Tabel 17. Gambar Eksisting Permukiman di Lokasi Penelitian .......... 64
Tabel 18. Gambar Eksisting Sarana Kenelayanan di Lokasi Penelitian .......
70
Tabel 19. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya .......................... 74
Tabel 20. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir .............. 76
Tabel 21. Bobot Parameter Kesesuian Lahan Permukiman Pesisir ..... 82
Tabel 22. Penilaian Kriteria Kemiringan Lereng Kecamatan Galesong
Utara ..................................................................................... 83
Tabel 23. Penilaian Kriteria Jenis Tanah Kecamatan Galesong Utara 83

xiv
Tabel 24. Luas yang terlayani Air Bersih PDAM di Lokasi Penelitian ........
87
Tabel 25. Klasifikasi Jaringan Pipa Air Bersih PDAM ....................... 87
Tabel 26. Luas Lahan dari Jalan Kolektor terhadap Permukiman ....... 89
Tabel 27. Klasifikasi Jaringan Jalan Kolektor di Kecamatan Galesong
Utara .................................................................................... 89
Tabel 28. Jumlah Rumah yang Terkena Dampak Abrasi Pantai ......... 91
Tabel 29. Klasifikasi Rawan Abrasi di Kecamatan Galesong Utara ... 91
Tabel 30. Luas Keterjangkauan Sarana Kenelayanan di Kecamatan
Galesong Utara ..................................................................... 93
Tabel 31. Klasifikasi Sarana Kenelayanan di Kecamatan Galesong Utara ..
93
Tabel 32. Jumlah Rumah yang Melewati Sempadan Pantai di Lokasi
Penelitian .............................................................................. 95
Tabel 33. Klasifikasi Sempadan Pantai di Kecamatan Galesong Utara........
95
Tabel 34. Jumlah Rumah yang Melewati Sempadan Sungai di Lokasi
Penelitian .............................................................................. 97
Tabel 35. Klasifikasi Sempadan Sungai di Kecamatan Galesong Utara ......
97
Tabel 36. Penggunaan Lahan di Kecamatan Galesong Utara .............. 99
Tabel 37. Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Galesong Utara .....
99
Tabel 38. Skor Min. dan Skor Maks. Kesesuaian Lahan Permukiman
Pesisir .................................................................................. 101
Tabel 39. Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir .................... 102
Tabel 40. Ketersediaan Lahan Kawasan Permukiman Pesisir ............ 102
Tabel 41. Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir di Kecamatan
Galesong Utara .................................................................... 104

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Subsistem SIG ................................................................... 31


Gambar 2. Sumber Data SIG .............................................................. 32
Gambar 3. Tampilan Data Titik, Garis dan Luasan ............................ 33
Gambar 4. Tampilan Model Data Vektor dan Raster ......................... 34
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian ........................................................ 40
Gambar 6. Luas Wilayah Kabupaten Takalar Berdasarkan Jumlah
Kecamatan ......................................................................... 54
Gambar 7. Peta Administrasi Kabupaten Takalar ................................ 58
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
61
Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kabupaten Takalar .......... 63
Gambar 10. Jalan Kolektor Sekunder di Lokasi Penelitian ................. 66
Gambar 11. Garis Pantai tahun 2012 di Lokasi Penelitian .................. 67
Gambar 12. Perubahan Garis Pantai tahun 2013 di Lokasi Penelitian 67
Gambar 13. Perubahan Garis Pantai tahun 2014 di Lokasi Penelitian 68
Gambar 14. Perubahan Garis Pantai tahun 2015 di Lokasi Penelitian 68
Gambar 15. Perubahan Garis Pantai tahun 2016 di Lokasi Penelitian 69
Gambar 16. Perubahan Garis Pantai tahun 2017 di Lokasi Penelitian 69
Gambar 17. Peta Sebaran Permukiman di Lokasi Penelitian............... 72
Gambar 18. Peta Sebaran Sarana Kenelayanan di Lokasi Penelitian .. 73
Gambar 19. Peta Fungsi Kawasan Pada Lokasi Penelitian ................. 75
Gambar 20. Penentuan Kriteria ........................................................... 77
Gambar 21. Nilai Responden Pemerintah 1 ......................................... 78
Gambar 22. Nilai Responden Pemerintah 2 ......................................... 79
Gambar 23. Nilai Responden Masyarakat ........................................... 80
Gambar 24. Nilai Responden Akademisi 1 .......................................... 80
Gambar 25. Nilai Responden Akademisi 2 .......................................... 81
Gambar 26. Nilai Hasil Gabungan Responden .................................... 82
Gambar 27. Peta Kemiringan Lereng di Lokasi Penelitian.................. 84
Gambar 28. Peta Jenis Tanah di Lokasi Penelitian .............................. 86
xvi
Gambar 29. Peta Buffer Jaringan Pipa PDAM di Lokasi Penelitian .... 88
Gambar 30. Peta Buffer Jalan Utama di Lokasi Penelitian.................. 90
Gambar 31. Peta Rawan Bencana Abrasi di Lokasi Penelitian ........... 92
Gambar 32. Peta Radius Sarana Nelayan di Lokasi Penelitian............ 94
Gambar 33. Peta Sempadan Pantai di Lokasi Penelitian ..................... 96
Gambar 34. Peta Sempadan Sungai di Lokasi Penelitian .................... 98
Gambar 35. Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian ................ 100
Gambar 36. Peta Grid Kesesuaian Lahan Permukiman di Lokasi
Penelitian ........................................................................ 103

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat padat jumlah penduduknya
dengan populasi berkisar antara 50-70% dari total penduduk dunia. Sedangkan di
Indonesia jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir berkisar 60% (Rais,
dalam Tarigan, 2007:49, Dahuri 2001:81). Jumlah populasi ini menjadikan
perkembangan kota-kota besar pesisir semakin padat serta memerlukan
pembangunan hunian layak yang terencana dengan baik. Demikian pula desa-desa
pesisir lainnya, mengalami proses seperti halnya yang terjadi pada kota besar
tersebut, tidak terkecuali dalam hal ini Kabupaten Takalar yang menjadi
pembahasan lokasi penelitian ini.
Pemanfaatan lahan untuk permukiman diatur dengan baik, sehingga sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan, dengan mempertimbangkan
aspek keseimbangan ekologis sehingga tidak sampai terjadi penurunan kualitas
lahan. Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pesisir adalah lahan yang tadinya
diperuntukkan sebagai daerah perlindungan setempat, berubah fungsi menjadi
kawasan permukiman yang dapat menimbulkan ketidakteraturan suatu kawasan.
Kecamatan Galesong Utara memiliki laju perkembangan wilayah yang
berlangsung cepat. Laju perkembangan Kecamatan Galesong Utara yang
berlangsung cepat salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk sebesar
1,31% (BPS, 2017) yang berada diatas pertumbuhan penduduk Kabupaten Takalar
yaitu 1,07% yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan wilayah akibat permintaan akan lahan
meningkat sedangkan daya tampung lahan bersifat tetap. Berbicara mengenai daya
tampung lahan, sampai kapanpun daya tampung lahan akan berkurang sedikit demi
sedikit dikarenakan pertambahan penduduk satu garis lurus dengan pertambahan
aktivitas sehingga menyebabkan kebutuhan lahan akan berkurang dengan adanya
kegiatan membangun.
Kecamatan Galesong Utara merupakan salah satu dari 6 (enam) kecamatan
pesisir yang berada di Kabupaten Takalar, terletak dibagian sebelah utara

1
Kabupaten Takalar dengan panjang garis pantai 9.912,3 meter (BPS Kecamatan
Galesong Utara, 2017). Apabila dilihat dari potensinya sebagai wilayah pesisir,
Kecamatan Galesong Utara memiliki potensi pengembangan perikanan laut yang
ditandai dengan adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Beba’ di wilayah Desa
Tamasaju dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Soreang yang berada di wilayah Desa
Tamalate. Selain itu terdapat daerah wisata pantai, sebagian dataran rendah yang
cukup subur untuk pertanian dan perkebunan. Namun, Kecamatan Galesong Utara
juga sempat mengalami abrasi pantai sehingga terjadi kerusakan pada garis pantai.
Perkembangan permukiman yang terjadi harus memperhatikan kondisi fisik
lahannya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat
merugikan berbagai pihak seperti degradasi lingkungan. Penempatan lokasi
pembangunan permukiman perlu diselaraskan dengan kesesuaian lahannya
sehingga, permasalahan jangka panjang dan dampak negatif yang mungkin terjadi
dapat dihindari. Oleh karena itu, analisis kesesuaian lahan permukiman diperlukan
guna memastikan bahwa perkembangan permukiman masih memperhatikan
kesesuaian lahan dalam menunjang aktifitas penduduk didalamnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis meneliti lebih lanjut
mengenai kesesuaian lahan serta prinsip-prinsip pengembangan permukiman di
wilayah pesisir pada Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar untuk melihat
kondisi perkembangan kawasan tersebut dan ketersediaan lahan dimasa yang akan
dating.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kecamatan
Galesong Utara Kabupaten Takalar?
2. Bagaimana prinsip-prinsip lokasi permukiman di wilayah pesisir berdasarkan
kesesuaian lahan Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar?

2
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis tingkat kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir
Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip lokasi permukiman di wilayah pesisir berdasarkan
kesesuaian lahan Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan
dalam penyusunan program bidang permukiman, terutama pada permukiman
pesisir.
2. Bagi masyarakat, penelitian dapat digunakan sebagai acuan pengembangan
permukiman pesisir.
3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, perencanaan ini dapat dijadikan sebagai
studi dari ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dalam bangku perguruan
tinggi yang dapat disumbangsih kembali kepada ilmu pengetahuan di masa
mendatang.

E. Ruang Lingkup Penelitian


1. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi dalam penelitian ini yaitu membahas tentang kesesuaian
lahan permukiman pesisir. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini
dibatasi berdasarkan aspek ketersediaan air bersih, aksesibilitas, ketersediaan
lahan, abrasi pantai, sarana kenelayanan, sempadan pantai, sempadan sungai,
kemiringan lereng dan jenis tanah.
2. Ruang Lingkup Wilayah
Lokasi penelitian berada di kawasan pesisir Kabupaten Takalar khususnya
Kecamatan Galesong Utara yang terdiri dari 7 desa dan 1 kelurahan dengan luas
wilayah 15,11 km² atau sebesar 2,67% dari luas total Kabupaten Takalar
(BPS,2017).

3
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagian Pertama berisi pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang,
rumusan masalah yang diangkat, tujuan penelitian, manfaat penelitian sasaran yang
ingin dicapai, ruang lingkup yang berisi ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bagian Kedua berisi tinjauan pustaka, yang menjelaskan teori-teori yang terkait
dalam mendukung penelitian ini yang diambil dari kutipan buku serta beberapa
review literatur atau jurnal yang berhubungan dengan penelitian.
Bagian Ketiga berisi metodologi penelitian, yang menjelaskan tentang langkah-
langkah yang akan dilakukan pada penelitian agar penelitian dapat berjalan secara
sistematis dan terstuktur untuk mencapai tujuan penelitian yang meliputi jenis
penelitian, lokasi dan waktu penelitian, jenis dan sumber data, populasi/sampel,
teknik pengumpulan data, variabel penelitian, teknik analisis data, definisi
operasional, dan kerangka penelitian.
Bagian Keempat berisi gambaran umum, yang menjelaskan tentang gambaran
umum Kabupaten Takalar, lokasi penelitian, dan kondisi eksisting.
Bagian Lima berisi analisis dan pembahasan, yang menjelaskan tentang kriteria
dan pembobotan kesesuaian lahan permukiman pesisir yang menjadi objek
penelitian, analisis data, pengolahan data yang terkumpul serta hasil penelitian yang
ingin dicapai.
Bagian Keenam adalah penutup, yang menjelaskan tentang kesimpulan yang
diperoleh dari hasil penelitian dan saran sebagai pemecah masalah dan pencapaian
yang lebih baik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Lahan
1. Pengertian Lahan
Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks sehingga membutuhkan penataan
secara baik. Dalam pengelolaan lahan, harus dapat dibedakan secara seksama antara
lahan sebagai sumber daya dan lahan sebagai lingkungan. Sebagai sumber daya,
lahan bersifat dapat didayagunakan secara optimal dan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan harus ditempatkan tidak hanya dalam konteks fisiknya akan tetapi juga
dalam perspektif ekonomi, sosial, budaya, politik, administrasi dan teknologi
(Conacher 2000 dalam Baja 2012: 22-23). Dalam hal lahan sebagai komponen
lingkungan ada keterbatasan daya dukung sehingga aktivitas pembangunan
sepatutnya dibatasi pada ambang batas tertentu. Dengan demikian, dalam
penatagunaan lahan, diperlukan aktivitas-aktivitas yang dapat memperkaya
hubungan yang menguntungkan serta meminimalisasi yang merugikan antara sistem
sumberdaya dan lingkungannya serta mengupayakan tercapainya keadaan sistem
lingkungan yang diinginkan. Hal tersebut harus dilakukan sejalan dengan respons
dari keinginan dan kebutuhan masyarakat sebagai salah satu pilar pengembangan
wilayah.
Tata guna lahan adalah wujud dalam ruang di alam tentang bagaimana
penggunaan lahan tertata, baik secara alami maupun direncanakan. Dari sisi
pengertian perencanaan sebagai suatu intervensi manusia, maka lahan secara alami
dapat terus berkembang tanpa harus ada penataan melalui suatu inverensi.
Sedangkan pada keadaan yang direncanakan, tata guna lahan akan terus berkembang
sesuai dengan upaya perwujudan pola dan struktur ruang pada jangka waktu yang
ditetapkan.

2. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu jenis lahan untuk penggunaan tertentu.
Kecocokan tersebut dinilai berdasarkan analisis kualitas lahan sehubungan dengan
persyaratan suatu jenis penggunaan tertentu, sehingga kualitas yang baik
5
memberikan nilai lahan atau kelas terhadap jenis penggunaan tertentu. Penilaian ini
dilakukan dapat saja mengacu pada kondisi sekarang atau didasarkan pada kondisi
setelah dilakukan perbaikan terhadap kualitas lahan. Yang perta disebut sebagai
kesesuaian sekarang atau kesesuaian aktual (actual suitabilty), sementara yang
kedua adalah kesesuaian potensial (potential suitability). Dengan demikian,
tingkatan atau kelas kesesuaian lahan terhadap penggunaan tertentu tidak permanen;
kelas kesesuaian dapat berubah setelah dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap
factor pembatas utama. Selanjutnya, dalam evaluasi kesesuaian lahan sering
dijumpai kondisi dimana kualitas lahan tidak relevan dengan persyaratan
penggunaan lahan yang dianalisis. Disini, kesesuaian lahan tidak perlu lebih lanjut
dan satuan lahan tersebut diberi symbol pada peta ‘tidak relevan’ (FAO:1976 dalam
Baja, 2012).
Menurut Notohadiprawiro (dalam Khadiyanto 2005:27), bahwa kemampuan
lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) menentukan
kelayakan penggunaan lahan yang menjadi pangkal pertimbangan dalam tata guna
lahan. Dengan demikian, tata guna lahan dapat dinyatakan sebagai suatu rancangan
peruntukan lahan menurut kelayakannya. Sehingga, apabila penggunaannya tidak
sesuai dengan potensi yang tersedia, maka akan menghasilkan pemanfaatan yang
tidak efektif. Lebih lanjut, Khadiyanto (2005) menyebutkan bahwa klasifikasi
kemampuan lahan adalah penilaian komponen-komponen lahan secara sistematik
dan pengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam rangka pembangunan lahan secara lestari.
Sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian dan pengelompokan
lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau absolut lahan bagi suatu penggunaan
tertentu.
Sedangkan Baja (2012:63), menjelaskan keterkaitan antara kualitas lahan dengan
penggunaan lahan tertentu diperlukan persyaratan penggunaan lahan yang
diusahakan, kualitas lahan, karakteristik lahan, dan informasi tentang interaksi antara
kualitas lahan dan karakteristik lahan. Mengenai kualitas lahan berkaitan dengan
pengelolaan kawasan permukiman, parameter yang digunakan Baja (2012: 65)
adalah adanya kemungkinan mekanisasi, faktor aksesibilitas yang mempengaruhi
konstruksi dan pemeliharaan jalan, ukuran unit lahan untuk blok permukiman,

6
ketersediaan air bersih, kedekatan dengan kawasan produksi dan pusat pelayanan,
serta bahaya banjir.
Martopo dalam Khadiyanto (2005: 28) menyebutkan bahwa dalam menentukan
lokasi yang akan menjadi lahan permukiman perlu adanya pengamatan, pengujian,
dan pengukuran terhadap beberapa parameter, yaitu: kemiringan lereng, kerentanan
terhadap banjir, gerak massa batuan, erosi, daya tumpu tanah, rombakan batuan, dan
ketidaktersediaan air bersih. Sedangkan Khadiyanto (2005: 89) menetapkan
parameter yang lebih detail, meskipun tidak semua harus ada karena setiap parameter
memiliki kadar pembobotan yang berbeda, sehingga ada yang boleh diabaikan.
Parameter-parameter tersebut adalah: sudut lereng, golongan tanah, indeks golongan
tanah, daya dukung tanah, daya hantar tanah, angka pori tanah, kadar air tanah,
indeks beban titik batuan, indeks keausan batuan, struktur pelapisan batuan, erosi
permukaan, erosi lembah, gerakan massa, gerakan air, intensitas hujan, kerapatan
aliran, dan ayunan muka air tanah.

3. Kelas Kesesuaian
Kelas kesesuaian lahan menurut Baja (2012:121) terdiri atas kategori S dan N
dibagi masing-masing ke dalam kelas S1, S2, dan S3, N1 dan N2. Berikut adalah
deskripsi masing-masing kelas tersebut :
a) Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan-lahan dengan tanpa pembatas atau hanya
memiliki pembatas yang sangat ringan dan pembatas tersebut tidak
berpengaruh terhadap produktivitas atau keuntungan yang akan diperoleh serta
tidak memerlukan input di atas level rata-rata.
b) Kelas S2 (sesuai) : lahan-lahan dengan beberapa pembatas yang
mempengaruhi produktivitas dan pembatas tersebut agak berat sehingga
mempengaruhi pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan tertentu secara
lestari; pembatas-pembatas yang ada dapat menurunkan produksi atau
keuntungan dan meningkatkan kebutuhan akan input untuk perolehan
keuntungan dari penggunaan tertentu.
c) Kelas S3 (sesuai marginal) : lahan-lahan dengan beberapa pembatas yang
mempengaruhi produktivitas dan pembatas tersebut cukup berat untuk tujuan
pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan tertentu secara lestari; pembatas-

7
pembatas yang ada telah sampai pada taraf yang sangat berpengaruh terhadap
keuntungan dari penggunaan tertentu.
d) Kelas N1 (tidak sesuai sekarang) : lahan-lahan dengan pembatas yang cukup
berat dan belum bisa diatasi pada masa sekarang; pembatas tersebut cukup
berat sehingga mempengaruhi pengusahaan suatu jenis penggunaan lahan
tertentu secara lestari.
e) Kelas N2 (tidak sesuai permanen) : lahan-lahan dengan pembatas yang sangat
berat sehingga secara permanen tidak dapat diupayakan untuk jenis
penggunaan tertentu dengan cara apapun untuk keberhasilan penggunaan lahan
secara lestari.
Tabel 1. Kisaran Nilai dan Tingkat Kesesuaian
Kelas Nilai Tingkat Kesesuaian
S1 5 Sangat sesuai
S2 4 Sesuai
S3 3 Kurang sesuai
N1 2 Tidak sesuai sekarang
N2 1 Tidak sesuai permanen

Sumber: Baja (2012:121), Buku Perencanaan Tata Guna Lahan dalam


Pengembangan Wilayah

4. Prinsip Dasar Evaluasi Kesesuaian Lahan


Menurut FAO (1976 dalam Baja 2012:123) ada enam prinsip dasar evaluasi
lahan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penerapan berbagai pendekatan
dan metodologi.
a) Kajian dan klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan sehubungan dengan
penggunaan lahan tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip bahwa setiap jenis
penggunaan lahan membutuhkan persyaratan tertentu. Sebagai contoh, tanah-
tanah pada dataran rendah Aluvial dengan drainase agak terhambat umumnya
sesuai untuk dikembangkan sebagai lahan persawahan tetapi belum cocok untuk
jenis tanaman pertanian lainnya.
b) Dalam melakukan evaluasi selalu dibutuhkan adanya perbandingan antara
keuntungan yang akan diperoleh dan input yang diperlukan untuk setiap jenis
penggunaan lahan yang akan diuji. Ini berpijak pada prinsip adanya hubungan
antara input, factor pembatas lahan, dan output sebagai ukuran keuntungan.
8
Semakin besar faktor pembatas suatu lahan maka lahan tersebut membutuhkan
input yang besar sehingga keuntungan yang akan diperoleh akan minimal.
c) Evaluasi lahan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Dalam proses
pengkajian sumber daya lahan sangat perlu adanya masukan dari berbagai bidang
minimal dari ilmu tanah, teknologi penggunaan lahan, ekonomi dan sosiologi
serta adanya alat pengunjang untuk kebutuhan analisis data seperti penginderaan
jauh dan SIG.
d) Pilihan penggunaan lahan dirancang sesuai dengan kondisi fisik, ekonomi dan
sosial setempat. Prinsip ini melandasi upaya pemilihan jenis penggunaan lahan
yang sejalan dengan arah perencanaan penggunaan lahan (lebih dikenal dengan
tata ruang) daerah setempat, dimana kondisi fisik, ekonomi dan sosial termasuk
aspek legalitas memungkinkan. Prinsip ini akan sangat membantu dalam
mengkaji dan menetapkan komoditas-komoditas andalan untuk setiap wilayah.
e) Kesesuaian perlu memacu kepada penggunaan yang berkelanjutan (sustainable).
Prinsip ini membenarkan adanya ketetapan bahwa sebagai contoh
pengembangan lahan pertanian dibatasi pada lahan-lahan dengan kemiringan
lereng kurang dari 25%. Penggunaan lahan secara intensif pada lereng lebih dari
25% tanpa penerapan kaidah-kaidah konservasi akan menyebabkan erosi dan
sedimentasi yang cukup besar. Dengan demikian keuntungan optimal hanya bisa
diperoleh untuk usaha jangka pendek. Prinsip ini menyarankan agar adanya
analisis dampak terhadap usulan suatu jenis penggunaan lahan tertentu.
f) Proses evaluasi membutuhkan perbandingan antara beberapa jenis penggunaan
lahan. Dengan berlandaskan prinsip ‘keuntungan maksimal’ dan ‘penggunaan
yang lestari’ maka perlu dilakukan perbandingan antara satu jenis penggunaan
dengan yang lainnya.

B. Klasifikasi Fungsi Kawasan


Kawasan lindung dan kawasan budidaya merupakan dua hal penting dalam
penataan ruang. Peruntukkan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang bahwa pembagian kawasan
terbagi atas dua yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.

9
1. Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan (Muta’ali, 2013:85).
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 kawasan
lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan
nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 kawasan lindung
terdiri atas :
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya :
1) Kawasan hutan lindung
2) Kawasan bergambut
3) Kawasan resapan air
b. Kawasan perlindungan setempat :
1) Sempadan sungai
2) Sempadan pantai
3) Kawasan sekitar waduk/danau
4) Kawasan sekitar mata air
c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya :
1) Kawasan suaka alam
2) Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya
3) Kawasan pantai berhutan bakau
4) Taman nasional, Taman hutan raya dan Taman wisata alam
5) Kawasan cagar budaya ilmu pengetahuan
d. Kawasan rawan bencana

2. Kawasan Budidaya
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41 Tahun 2007 tentang
Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kawasan Budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

10
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41 Tahun 2007 tentang Kawasan
Budidaya meliputi :
a. Kawasan Hutan Produksi :
1) Kawasan hutan produksi terbatas
2) Kawasan hutan produksi tetap
3) Kawasan hutan produksi konserversi
4) Kawasan hutan rakyat
a. Kawasan Pertanian :
1) Kawasan tanaman pangan lahan basah
2) Kawasan tanaman pangan lahan kering
3) Kawasan tanaman tahunan/perkebunan
4) Kawasan peternakan
5) Kawasan perikanan darat
6) Kawasan perikanan air payau dan laut
b. Kawasan Pertambangan
1) Kawasan Pertambangan
2) Kawasan Perindustrian
c. Kawasan Pariwisata
d. Kawasan Permukiman
1) Permukiman perkotaan
2) Permukiman pedesaan
e. Kawasan Perdagangan dan Jasa
f. Kawasan Budidaya lainnya
Kawasan permukiman merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi
permukiman yang aman dari bahaya bencana alam maupun buatan manusia, baik
permukiman perkotaan maupun pedesaan. Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.41 Tahun 2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya,
kawasan permukiman mempunyai kriteria-kriteria yaitu kesesuaian lahan dengan
masukan teknologi yang ada, ketersediaan air terjun, lokasi yang terkait dengan
kawasan hunian yang telah ada serta tidak terletak pada kawasan lahan pertanian,
lahan basah, kawasan berfungsi lindung, kawasan hutan produksi tetap dan kawasan
hutan produksi terbatas.

11
Penentuan kelayakan lahan kawasan lindung, kawasan peyangga dan kawasan
budidaya berdasarkan pada SK Mentan No. 837/KPTS/UM/11/1980 dan No.
683/KPTS/UM/8/1981 yang mensyaratkan nilai skor yang diberikan untuk tiap-tiap
fungsi kawasan sebagai berikut ini :
Tabel 2. Kriteria Identifikasi Kawasan
No. Fungsi Kawasan Skor
1 Kawasan Lindung >175
2 Kawasan Peyangga 125 - 174
3 Kawasan Budidaya (Tanaman, <125
Permukiman, dll)

Sumber: SK Mentan No.837/KPTS/UM/11/1980 dan No.683/KPTS/UM/8/1981

C. Tinjauan Permukiman
1. Pengertian Permukiman
Menurut UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah bagian
dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk
dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur (pasal 1 ayat 3).

2. Persyaratan Permukiman
Dalam penentuan lokasi suatu permukiman, perlu adanya suatu kriteria atau
persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi sebagai lokasi permukiman. Kriteria
tersebut berdasarkan Kepmen PU No.20 tahun 1986 tentang Pedoman Teknik
Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun antara lain:

12
a. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.
b. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal
dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air
beracun, dsb).
c. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi
pembinaan individu dan masyarakat penghuni.
d. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga
dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya
dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.
e. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan
diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1) Lokasinya harus strategis dan tidak terganggu oleh kegiatan lainnya.
2) Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan, seperti pelayanan
kesehatan, perdagangan, dan pendidikan.
3) Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat
dan tidak sampai menimbulkan genangan air.
4) Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang
siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
5) Dilengkapi dengan fasilitas pembuangan air kotor, yang dapat dibuat dengan
sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki
septik komunal.
6) Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur
agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
7) Dilengkapi dengan fasilitas umum, seperti taman bermain untuk anak,
lapangan atau taman, tempat beribadah, pendidikan dan kesehatan sesuai
dengan skala besarnya permukiman tersebut.
8) Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.

13
Tabel 3. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir Menurut Windi
No. Kriteria Sub-Kriteria Jenis Keterangan Kesesuaian Kelas
1 Kemiringan 0-7% Baik S1 5
lereng 7-15% Sedang S2 3
>15% Jelek NS 1
2 Kerawanan Tidak ada S1 5
Bencana Ada NS 1
Regosol, Kasar Baik S1 5
Litosol,
Organosol
Podsolik, Agak Sedang S2 3
Tekstur Andosol Kasar
3 Tanah Andosol, Sedang
Mediteran
Glei Humus, Agak
Rensina, Halus
Podsol
Grumosol, Halus Jelek NS 1
Latosol,
Aluvial
Aluvial, Glei, Tidak Baik S1 5
Planosol, peka
Hidromerf,
Laterik,Air
Tanah
Latosol Kurang
4 Kepekaan peka
Erosi Brown Forest Agak Sedang S2 3
Soil, peka
Noncalcic
Brown
Mediteran
Andosol, Peka Jelek NS 1
Laterit,
Grumusol,
Podsol,
Podsolic
Regosol, Sangat
Litosol, peka
Organosol,
Rensina
5 Aksesibilitas 0-1 km Baik S1 5
(jalan) 1-3 km Sedang S2 3
>3 km Jelek NS 1
6 Curah hujan 0- 13.6 Sangat Baik S1 5
rendah
13.6-20.7 Rendah
20.7-27.7 Sedang Sedang S2 3
27.7-34.8 Tinggi Jelek NS 1
>34.8 Sangat
tinggi

14
No. Kriteria Sub-Kriteria Jenis Keterangan Kesesuaian Kelas
7 Land use Lahan L1 Baik S1 5
kosong,
semak, tanah
terbuka, dan
lahan tidak
produktif
Padang, L2 Sedang S2 3
sawah,
perkebunan,
kebun
campur,
pertanian
tanah kering
semusim
Hutan, situs L3 Jelek NS 1
purbakala,
lahan militer,
lindung,
permukiman
Sumber: Windi Eka dan Saiful, 2015

Tabel 4. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir Menurut


Taufiqurrohman
No. Variabel
A. Identifikasi Kawasan dan Aspek
Kondisi Fisik Lahan Kategori Kelas
1 Klasifikasi Kelerengan Kesesuaian Lahan
kemiringan lahan
Datar 0 – 8% Sangat sesuai 5
Landai 8 – 15 % Sesuai 4
Agak curam 15 – 25% Kurang sesuai 3
Curam 25 – 45% Tidak sesuai 2
sementara
Sangat curam >45% Tidak sesuai 1
permanen
2 Klasifikasi jenis tanah Kepekaan
I (Aluvial, tanah clay, Tidak peka Sangat sesuai 5
planosol,
hidromorf kelabu,
laterik air tanah)
II (Latosol) Kurang peka Sesuai 4
III (Brown forest soil, Agak peka Kurang sesuai 3
non calcic brown,
mediteran)
IV (Andosol, lateric, Peka Tidak sesuai 2
grumusol, sementara
podsol, podsolic)
V (Regosol, litosol, Sangat peka Tidak sesuai 1
organosol, permanen
renzina)

15
No. Variabel
A. Identifikasi Kawasan dan Aspek Kategori Kelas
Kondisi Fisik Lahan Kesesuaian Lahan
3 Klasifikasi intensitas Kelas
hujan
0 – 1000 Sangat rendah Sangat sesuai 5
1000 – 2000 Rendah Sesuai 4
2000 – 3000 Sedang Kurang sesuai 3
3000 – 4000 Tinggi Tidak sesuai 2
sementara
>4000 Sangat tinggi Tidak sesuai 1
permanen
4 Klasifikasi Kelas
sempadatan pantai
<100m Tidak sesuai Tidak sesuai 1
>100m Sesuai Sangat sesuai 5
5 Klasifikasi sempadan Kelas
sungai
<15m Tidak sesuai Tidak sesuai 1
>15m sesuai Sangat sesuai 5
B. Aspek aksesibilitas
Jalan kolektor Jarak lahan
Sangat dekat <500m Sangat sesuai 5
Dekat 500 – 1000 m Sesuai 4
Sedang 1000 – 1500 m Kurang sesuai 3
Jauh 1500 – 2000 m Tidak sesuai 2
sementara
Sangat jauh >2000m Tidak sesuai 1
C. Aspek prasarana lingkungan
1 Prasarana air bersih Jarak lahan
Sangat dekat <500m Sangat sesuai 5
Dekat 500 – 1000 m Sesuai 4
Sedang 1000 – 1500 m Kurang sesuai 3
Jauh 1500 – 2000 m Tidak sesuai 2
sementara
Sangat jauh >2000 m Tidak sesuai 1
permanen
2 Prasarana listrik Jarak lahan
Sangat dekat <500 m Sangat sesuai 5
Dekat 500 – 1000 m Sesuai 4
Sedang 1000 – 1500 m Kurang sesuai 3
Jauh 1500 – 2000 m Tidak sesuai 2
sementara
Sangat jauh >2000 m Tidak sesuai 1
permanen
D Aspek Banjir Rob
1 Kedalaman rob Kelas
0,00 m Tidak rob Sangat sesuai 5
0,00 – 0,76 m Rendah Sesuai 4
0,76 – 1,50 m Sedang Kurang sesuai 3

16
No. Variabel Kategori Kelas
A. Identifikasi Kawasan dan Aspek Kesesuaian Lahan
Kondisi Fisik Lahan
1,50 – 2,00 m Tinggi Tidak sesuai 2
sementara
>2,00 m Sangat tinggi Tidak sesuai 1
permanen
2 Lama genangan rob Kelas
0 jam Sangat baik Sangat sesuai 5
1 – 3 jam Baik Sesuai 4
4 – 24 jam Kurang baik Kurang sesuai 3
>24 jam Tidak baik Tidak sesuai 2
sementara
Tidak surut Sangat tidak Tidak sesuai 1
baik permanen
3 Tekstur tanah Permeabilitas
Kasar Cepat Sangat sesuai 5
Agak kasar Agak cepat Sesuai 4
Sedang Sedang Kurang sesuai 3
Agak halus Agak lambat Tidak sesuai 2
sementara
Halus Lambat Tidak sesuai 1
permanen
4 Kontur tanah Kelas
4,00 – 4,50 m dpl Sangat baik Sangat sesuai 5
3,00 – 4,00 m dpl Baik Sesuai 4
2,00 – 3,00 m dpl Kurang baik Kurang sesuai 3
1,00 – 2,00 m dpl Tidak baik Tidak sesuai 2
sementara
0,00 – 1,00 m dpl Sangat tidak Tidak sesuai 1
baik permanen
5 Drainase tanah Kelas
Porous Sangat baik Sangat sesuai 5
Tergenang periodic Baik Sesuai 4
Tergenang sesudah Kurang baik Kurang sesuai 3
hujan
Tergenang periodic 1- Tidak baik Tidak sesuai 2
3 bulan sementara
Tergennag periodic 3- Sangat tidak Tidak sesuai 1
6 bulan baik permanen

E Aspek sosial masyarakat


1 Ikatan sosial Kelas
Ada keluarga (dekat) Baik Sesuai 5
Ada keluarga (jauh) Kurang baik Kurang sesuai 3
Tidak ada keluarga Tidak baik Tidak sesuai 1
2 Interaksi sosial Kelas
Pertemuan mingguan Baik Sesuai 5
Pertemuan 2 Kurang baik Kurang sesuai 3
mingguan
Pertemuan bulanan Tidak baik Tidak sesuai 1
17
No. Variabel Kategori Kelas
A. Identifikasi Kawasan dan Aspek Kesesuaian Lahan
Kondisi Fisik Lahan

3 Lama tinggal Kelas


>10 tahun Baik Sesuai 5
5 – 10 tahun Kurang baik Kurang sesuai 3
<5 tahun Tidak baik Tidak sesuai 1
4 Kualitas air bersih
A Baik Sesuai 5
B Kurang baik Kurang sesuai 3
C Tidak baik Tidak sesuai 1
Sumber: Taufiqurrohman, Universitas Diponegoro Semarang, 2009

Tabel 5. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir Menurut Purwi


No. Kriteria Sub-kriteria Identifikasi Skor Kelas
1 Kemiringan Datar Sangat sesuai ≥ 80 5
lereng Landai Sesuai ≥ 60 dan <80 4
Bergelombang Cukup sesuai ≥ 50 dan <60 3
Agak curam Kurang sesuai ≥ 40 dan <50 2
Curam Tidak sesuai < 25 1
2 Jarak terhadap 0 – 50 m Sangat sesuai ≥ 80 5
jalan utama 50 – 100 m Sesuai ≥ 60 dan <80 4
100 – 200 m Cukup sesuai ≥ 50 dan <60 3
200 – 500 m Kurang sesuai ≥ 40 dan <50 2
3 Penggunaan Permukiman Sangat sesuai ≥ 80 5
lahan Campuran Sesuai ≥ 60 dan <80 4
permukiman
Fasilitas Cukup sesuai ≥ 50 dan <60 3
kesehatan dan
pendidikan
Perdagangan Kurang sesuai ≥ 40 dan <50 2
jasa,
perkantoran dan
terminal
Makam, Tidak sesuai < 25 1
olahraga,
konservasi
4 Jenis tanah Alluvial, Sangat sesuai ≥ 80 5
gleiplanosol,
hidomorf
kelabu,laterita
Latosol Sesuai ≥ 60 dan <80 4

18
No. Kriteria Sub-kriteria Identifikasi Skor Kelas
Brown forest Cukup sesuai ≥ 50 dan <60 3
soil, noncalsic
brown,
mediteran
Andosol, Kurang sesuai ≥ 40 dan <50 2
Laterit,
Grumusol,
Podsol, Podsolik

Regosol, Tidak sesuai < 25 1


Litosol,
Organosol,
Renzina
5 Gerakan tanah Sangat rendah Sangat sesuai ≥ 80 5
Rendah Sesuai ≥ 60 dan <80 4
Menengah Kurang sesuai ≥ 50 dan <60 3
Tinggi Tidak sesuai ≥ 40 dan <50 2
6 Curah hujan 0 – 13,6 m Sangat sesuai ≥ 80 5
Sesuai
13,6 – 20,7 m Sesuai ≥ 60 dan <80 4
20,7 – 27,7 m Cukup sesuai ≥ 50 dan <60 3
27,7 – 34,8 m Kurang sesuai ≥ 40 dan <50 2
>34,8 m Tidak sesuai < 25 1
Sumber: Purwi, Sutomo dan Sawitri, Universitas Diponegoro, 2015

Berdasarkan beberapa parameter dari jurnal yang diperoleh dalam menentukan


kesesuaian lahan permukiman pesisir diatas, maka peneliti mengambil beberapa
parameter yang dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kesesuaian lahan
permukiman pesisir yang dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
No Parameter Kriteria Kelas
1 Kemiringan Lereng 0-8% 5
8-15% 3
>15% 1
2 Jenis Tanah Iceptisol 5
Ultisol 3
Regosol 1
3 Penggunaan Lahan Lahan kosong/lahan 5
terbuka dan belukar
Tegalan, tambak dan 3
sawah tidak produktif
19
No Parameter Kriteria Kelas
Sempadan pantai/ 1
kawasan lindung
4 Aksesibilitas (jarak Sangat dekat 5
jalan utama terhadap Dekat 3
permukiman) Jauh 1
5 Ketersediaan Air Sangat memadai 5
(jarak pipa utama Memadai 3
terhadap Tidak memadai 1
permukiman)
6 Sarana kenelayanan Sangat terjangkau 5
(TPI, PPI, pabrik es Terjangkau 3
balok, dan bengkel
perahu) Tidak terjangkau 1
7 Abrasi Pantai Tidak rawan 5
Rawan 3
Sangat rawan 1
8 Sempadan Pantai >100 m 5
100 m 3
<100 m 1
9 Sempadan Sungai >50 m 5
50 m 3
<50 m 1
Sumber: Modifikasi Peneliti, 2018

D. Wilayah Pesisir
1. Pengertian Wilayah Pesisir
Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah
merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut
meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Dahuri, dkk, 2001).
Menurut Supriharyono (2009) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara
daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering,
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Adanya kondisi
seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial
dalam pengembangan wilayah keseluruhan.

20
Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang wilayah pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut.
Batasan wilayah pesisir kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan
kearah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.

2. Karakteristik Kawasan Pesisir


a. Karakteristik Lingkungan Alam
Karakteristik alam merupakan unsur dasar yang akan memberikan karakteristik
yang spesifik suatu kawasan/kota. Faktor alam ini mecakup iklim, topografi,
sesimocity, geomoforfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora-fauna dan
sebagainya.
1) Kondisi Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan
bumi atau bentang alam yang meliputi sifat dan karakteristik dari morfologi,
klasifikasi dan perbedaannya serta proses yang berhubungan terhadap morfologi
tersebut. Pada dasarnya morfologi mempelajari bentang alam atau bentuk lahan
suatu kawasan.
Wilayah pesisir yang merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan
memiliki morfologi dan bentang pantai yang terjadi akibat dari proses
geologi/tektonik, komponen oseanograsi terutama penghasil gelombang, serta
aktivitas manusia. Batuan di sepanjang pantai yang tererosi menghasilkan pasir oleh
arus laut yang diangkut sepanjang garis pantai dan diendapkan di wilayah pantai
membentuk bentang alam tertentu. Contoh geomorfologi di daerah pesisir adalah
delta, dataran alluvial, tanjung, teluk, lagoo, bertebing tinggi, rendah. Estuary, pantai
berpasir, pantai berkerikil, dsb.
2) Kondisi Hidro-Oseanografi
Kondisi hidro oseanografi kawasan pesisir dapat digambarkan melalui berbagai
fenomena alam seperti pasang surut, arus, gelombang (ombak), suhu, angin dan
salinitas. Fenoma tersebut membentuk karakteristik kawasan yang khas sehingga
terdapat perbedaan kondisi fisik pada masing-masing kawasan pesisir.

21
a. Pasang Surut
Pasut adalah proses naik turunnya muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik
bulan dan matahari. Kisaran pasut adalah perbedaan tinggi muka air laut pada saat
maksimum dengan tinggi muka air pada saat surut maksimum yang rata-rata berkisar
1-3 meter. Fenomena pasut tidak hanya berdampak dan mempengaruhi lahan atas
saja melainkan seluruh massa air dan memiliki energi besar.
b. Arus Pantai
Arus merupakan gerakan air yang sangat luas yang terjadi pada seluruh lautan di
dunia. Arus ditimbulkan oleh beberapa factor seperti pergerakan angina, perbedaan
kerapatan air laut akibat pemanasan matahari, aktifitas pasang surut dan pergerakan
gelombang (ombak). Arus pantai sangat berpengaruh terhadap proses sedimentasi
dan abrasi pantai.
c. Gelombang Laut (ombak)
Gelombak terbentuk karena adanya proses alih energi dari angin ke permukaan
laut dan gempa di dasar laut. Gelombang merambat ke seluruh arah yang kemudian
dilepaskan ke pantai dalam bentuk hempasan ombak dan dapat merusak kestabilan
pantai. Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentasi.
Besarnya proses tersebut sangat tergantung pada besarnya energ yang dihempaskan
gelombang ke pantai.
d. Angin
Angin merupakan gerakan udara yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara
pada suatu wilayah. Produk penting angin pada kawasan berupa gelombang yang
menghamtam pantai serta deretan bukit pasir yang penting bagi perlindungan pantai.
3) Kondisi Klimotologi
Berdasarkan Susilo (1996) dalam Adyatma (2012) klimotologi adalah ilmu
terkait iklim yakni melukiskan atau menguraikan dan menerangkan hakekat iklim,
distribusinya terhadap ruang serta variasinya terhadap waktu dan hubungannya
dengan berbagai unsur lain dari lingkungan alam dan aktivitas manusia. Klimotologi
menelaah tentang karakteristik iklim antara wilayah dengan menekankan pada aras
rata-rata dari unsur iklim yang terjadi menjadi ciri dari suatu wilayah sehingga dapat
digunakan sebagai pendugaan keadaan suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya,
curah hujan dan angin pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu (Benyamin

22
dalam Adyatma 2012). Aspek klimotologi dalam perencanaan ruang akan sangat
bermanfaat teruatama dalam hal meningkatkan kewaspadaan dampak negatif-
negativ cuaca/iklim, bentuk penyesuaian diri dengan karakter iklim.

b. Karakteristik Lingkungan Fisik


Menurut Syahriarto (2014) kriteria fisik lingkungan kawasan permukiman
nelayan sebagai berikut:
a. Tidak berada pada daerah rawan bencana
b. Tidak berada pada wilayah sempadan pantai dan sungai
c. Kelerengan : 0 – 25 %
d. Orientasi horizontal garis pantai : > 600
e. Kemiringan dasar pantai : terjal – sedang
f. Kemiringan dataran pantai : bergelombang – berbukit
g. Tekstur dasar perairan pantai : kerikil – pasir
h. Kekuatan tanah daratan pantai : tinggi
i. Tinggi ombak signifikan : kecil
j. Fluktuasi pasang surut dan arus laut : kecil
k. Tidak berada pada kawasan lindung
l. Tidak terletak pada kawasan penyangga, seperti kawasan mangrove.
Kawasan permukiman nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang
memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para keluarga nelayan.
Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari sistem
permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan
perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan jaringan transportasi.
Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang Cipta
karya tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :
1. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan yang memiliki
berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penghuninya.
2. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses yang
tinggi terhadap kawasan perairan.

23
3. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya yang terkait
dengan pengolahan dan penjualan ikan.
4. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan
eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.
Bagi nelayan di permukiman tradisional, ada beberapa point penting yang
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih lokasi bermukim :
- Kesesuaian lokasi permukiman dengan pekerjaan utama. Lokasi permukiman
memiliki karakter khusus, seperti berbatasan langsung dengan pantai.
- Jarak dari permukiman ke tempat kerja. Permukiman memiliki jarak yang dekat
dari lokasi penangkapan ikan, demikian pula jarak lokasi penangkapan ikan ke
fasilitas ekonomi seperti TPI dan pasar (yang berada diluar lingkungan
permukiman).
- Tersedia fasilitas ekonomi dalam permukiman (TPI, dermaga) yang dapat
memperlancar pekerjaan nelayan

c. Sempadan Pantai
Menurut Keputusan Presiden no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung disebutkan bahwa Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang
pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai. Perlindungan terhadap sempadan pantai ini dilakukan untuk melindungi
wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Sempadan
pantai merupakan aspek yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan
dan pembangunan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria sempadan pantai adalah daratan
sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai
minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Garis sempadan pantai
tersebut membatasi lahan yang boleh dikembangkan untuk keperluan bangunan
seperti permukiman. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ekosistem pantai agar tidak
terganggu aktivitas harian manusia, dan juga menjaga manusia dari bahaya akibat
kejadian alam di pinggir laut.

24
Demikian pula dengan Undang-Undang RI No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa sempadan pantai adalah
daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

d. Sempadan Sungai
Menurut Keputusan Presiden no. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung disebutkan bahwa sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan
sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Di dalam
kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi daya, kecuali yang tidak
mengganggu fungsi lindung.
Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari
kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi
fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria sempadan sungai sekurang-kurangnya
100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang
berada diluar pemukiman. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan
sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.

e. Abrasi Pantai
Abrasi pantai adalah proses pengikisan material pembentuk pantai secara terus-
menerus yang berdampak pada mundurnya kedudukan pantai dari kedudukan
semula. Menurut Hang Tuah dalam Fajri, dkk (2012) abrasi pantai adalah kerusakan
garis pantai akibat dari terlepasnya material pantai, seperti pasir atau lempung yang
terus menerus dihantam oleh gelombang laut atau dikarenakan terjadinya perubahan
keseimbangan angkutan sedimen di perairan pantai.
Abrasi pantai tidak hanya disebabkan oleh faktor alam wilaya pesisir seperti
pasang surut, gelombang laut serta arus laut namun juga disebabkan oleh kegiatan
atau aktivitas manusia seperti penambangan pasir dan reklamasi pantai. Laju abrasi
pesisir pantai sangat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain orientasi garis
pantai, kongfigurasi garis pantai, batuan penyusun pantai, arah dan kecepatan angin

25
serta aktivitas manusia pada lahan atas. Laju abrasi pantai paling sering terjadi saat
angina kencang bertiup dengan arah tegak lurus atau menyerong terhadap orientasi
pantai.
Abrasi pantai pada dasarnya merupakan proses alamiah yang terjadi pada
wilayah pesisir pantai, namun tanpa ada proses pengelolaan terutama upaya menahan
laju abrasi dapat menimbulkan kerusakan pada wilayah pesisir itu sendiri. Selain itu,
kerusakan wilayah pesisir akibat abrasi disebabkan oleh rusaknya ekosistem alami
pesisir yang berperan sebagai penahan abrasi, seperti mangrove dan terumbu karang.
Dalam jangka panjang, proses abrasi memicu perluasan area pantai pada wilayah
pesisir yang dapat mengancam keberlangsungan ekosistem buatan seperti
permukiman industri, dan budidaya terlebih yang berada di dekat atau pinggir pantai.

E. Sarana dan Prasarana Permukiman Pesisir


1. Sarana Permukiman Pesisir
Sarana permukiman nelayan dikutip dari Syahriarto (2013) yaitu:
a. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tempat pelelangan ikan (TPI) adalah tempat jual beli ikan dengan sistem lelang
dimana terdapat kegiatan menimbang, menempatkan pada keranjang-keranjang
dengan jenis-jenisnya atau digelar di lantai siap untuk dilelang, kemudian pelelangan
lalu pengepakan dengan es untuk keranjang/peti ikan yang sudah beku. Lokasi TPI
sebaiknya dekat dengan dermaga sehingga memudahkan pengangkutannya dari
kapal-kapal. Kegiatan ini banyak menggunakan air, oleh karena itu sebaiknya dekat
dengan air bersih kondisi saluran drainase di lokasi TPI harus baik agar air tidak
tergenang sehingga tidak menimbulkan bau yang menyengat.
TPI sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas penunjang lainnya seperti pabrik es,
cool storage, Koperasi, tempat parkir. Letak TPI harus dekat dengan dermaga dan
tempat parkir perahu. Bahkan sebaiknya di area sekitar TPI dilengkapi dengan krip
(Krip adalah bangunan pengaman pantai yang mempunyai fungsi untuk
mengendalikan pergerakan material-material seperti pasir pantai yang bergerak
secara alami yang disebabkan oleh arus yang sejajar pantai (Litoral Drift) agar
perahu dan kapal yang parkir di dermaga atau tempat parkir perahu aman dari
hempasan ombak.

26
b. Tambatan Perahu
Tempat penambatan perahu adalah tempat perahu-perahu bersandar / parkir
sebelum dan sesudah bongkar muat ikan. Biasanya berdekatan dengan TPI. Fungsi
tambatan perahu sebagai tempat untuk mengikat perahu saat berlabuh dan tempat
penghubung antara dua tempat yang dipisahkan oleh laut, sungai maupun danau.
Terdapat dua tipe tambatan perahu terdiri dari :
- Tambatan tepi, digunakan apabila dasar tepi sungai atau pantai cukup dalam,
dibangun searah tepi sungai atau pantai.
- Tambatan dermaga, digunakan apabila dasar sungai atau pantai cukup landai,
dibangun menjalar ketengah.
Selain tambatan perahu, parkir perahu, perbaikan dan pemeliharaan perahu juga
merupakan hal yang penting dalam permukiman nelayan. Tambatan perahu hanya
digunakan sementara ketika menaikkan atau menurunkan muatan, namun parkir
perahu sifatnya bukan sementara.
c. Tempat Penjemuran Ikan
Tempat penjemuran ikan berfungsi untuk mengeringkan ikan sebagai proses
pengawetan. Adapun syarat-syarat tempat penjemuran ikan sebagai berikut:
1) Tempat penjemuran ikan sebaiknya berupa lapangan terbuka atau terkena sinar
matahari.
2) Wadah penjemuran ikan sebaiknya berlubang agar air dapat turun supaya cepat
kering dan tidak berkarat.
3) Tempat penjemuran ikan diusahakan bersih dengan membuat saluran
pembuangan.
4) Sebaiknya ada jaringan drainase supaya tidak ada air yang tergenang sehingga
tidak menimbulkan bau.
5) Lokasi penjemuran ikan sebaiknya mudah di awasi.

2. Prasarana Permukiman Pesisir


Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya
memungkinkan suatu kawasan permukiman nelayan dapat beroperasi dan berfungsi
sebagaimana mestinya, seperti : jaringan air bersih dan air limbah, jaringan drainase,

27
jaringan persampahan, dan jaringan jalan. Tetapi dalam penelitian ini prasarana yang
digunakan hanya jalan dan air bersih.
a. Jaringan Jalan
Jaringan jalan merupakan prasarana pengangkutan (transportasi) yang
memungkinkan sistem pencapaian dari suatu tempat ke tempat lain dalam
pergerakan arus manusia dan angkutan barang secara aman dan nyaman.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006,
sistem jaringan jalan yang dilihat dari fungsi adalah satu kesatuan ruas jalan yang
saling menghubungkan dan mengikat pusat pertumbuhan dengan wilayah yang
berada dalam pengaruh pelayanannya yaitu :
1) Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna
antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan wilayah.
2) Jalan kolektor primer adalah jalan menghubungkan secara berdaya guna antara
pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah,
atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal.
3) Jalan lokal primer adalah jalan menghubungkan secara berdaya guna pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan
lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
4) Jalan lingkungan primer adalah jalan menghubungkan antar pusat kegiatan di
dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
5) Jalan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan
kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
6) Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga.
7) Jalan lokal sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu
dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan
sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

28
8) Jalan lingkungan sekunder adalah jalan yang menghubungkan antarpersil dalam
kawasan perkotaan.
Jaringan jalan sangat penting untuk lingkungan perumahan maupun permukiman
pesisir/nelayan untuk pergerakan manusia dan kendaraan, dan berfungsi sebagai
akses untuk penyelamatan dalam keadaan darurat. Dalam merencanakan jaringan
jalan, harus mengacu pada ketentuan teknis tentang pembangunan prasarana jalan
perumahan, jaringan jalan dan geometri jalan yang berlaku, terutama mengenai tata
cara perencanaan umum jaringan jalan pergerakan kendaraan dan manusia. Dibawah
ini adalah pedoman tekniks prasarana jalan di lingkungan perumahan :
Tabel 7. Klasifikasi Jalan di Lingkungan Perumahan
Hirarki Perkerasan Bahu Pedestrian Trotoar Damaja Damija Dawasja GSB
Jalan (m) Jalan (m) (m) (m) (m) min. (m) min.
(m) (m)
Lokal 3.0-7.0 1.5-2.0 1.5 0.5 10.0- 13.0 4.0 10.5
Sekunder I 12.0
Lokal 3.0-6.0 1.0-1.5 1.5 0.5 10.0- 12.0 4.0 10.0
Sekunder II 12.0
Lokal 3.0 0.5 1.2 0.5 8.0 8.0 3.0 7.0
Sekunder
III
Lingkungan 1.5-2.0 0.5 - 0.5 3.5-4.0 4.0 2.0 4.0
I
Lingkungan 1.2 0.5 - 0.5 3.2 4.0 2.0 4.0
II
Sumber: SNI 03-1733-2004 Tentang Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
b. Jaringan Air Bersih
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
416/Menkes/PER/IX/1990, air bersih merupakan zat cair yang tidak mempunyai
rasa, warna dan bau yang dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan
menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu atau melalui proses penyehatan.
Adapun persyaratan dari segi kualitas air bersih yaitu meliputi kualitas fisik, kimia,
biologi dan radiologis.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada suatu kawasan permukiman maka
adapun kriterianya adalah sebagai berikut :
1) Pengambilan air baku diutamakan dari air permukaan;
2) Kebutuhan air rata – rata 100 liter/orang/hari;

29
3) Kapasitas minimum sambungan rumah 60 liter/orang/hari dan sambungan kran
umum 30 liter/orang/hari
Kebutuhan air bersih digunakan untuk menunjang segala kegiatan manusia yaitu
meliputi air bersih domestic dan non domestik, air irigasi baik pertanian maupun
perikanan. Air bersih digunakan untuk memenuhi:
1) Kebutuhan air domestik: keperluan rumah tangga
2) Kebutuhan air non domestik: keperluan industri, pariwisata, tempat sosial, tempat
ibadah, serta tempat komersil atau tempat umum lainnya.

F. Sistem Informasi Geografis (GIS)


1. Pengertian Sistem Informasi Geografis (GIS)
SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing),
menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan
menampilkan data-data yang berhubungan posisi-posisinya dipermukaan bumi
(Prahasta, 2009).
Adapun tugas yang dapat dilakukan oleh SIG adalah :
a) Penyimpanan, manajemen, integrasi data-data keruangan dalam jumlah yang
besar.
b) Kemampuan dalam menganalisis yang berhubungan secara spesifik dengan
komponen data geografis.
c) Mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar sehingga
informasi tersebut dapat digunakan pemakai.
SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola
adalah data spasial. Dalam SIG data grafis dipeta dapat disajikan dalam dua model
data spasial yaitu model data raster dan model data vektor. Dalam model data raster
setiap lokasi direpresentasikan sebagai suatu posisi sel. Sel ini diorganisasikan dalam
bentuk kolom dan baris sel-sel dan biasa disebut sebagai grid. Dengan kata lain,
model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan
menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap
piksel atau sel ini memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik.
Model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, poligon) dan strukur data
format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara untuk membandingkan

30
informasi garis dan areal kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai
besaran, arah dan keterkaitan (Prahasta, 2009).
2. Subsistem Sistem Informasi Geografis (GIS)
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka SIG dapat diuraikan
menjadi beberapa sub-sistem sebagai berikut :
a) Data Input : sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan
menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula
yang bertanggungjawab dalam mengkonversikan atau mentransformasikan
format-format data aslinya ke dalam format (native) yang dapat digunakan oleh
perangkat SIG yang bersangkutan.
b) Data Output : sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan
keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki) seluruh atau
sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti
halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain sebagainya.
c) Data Management : sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun
tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa
hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve (di-load ke memori), di-update,
dan di-edit.
d) Data Manipulation & Analysis : sub-sistem ini menentukan informasi-informasi
yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub-sistem ini juga melakukan
manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis &
logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Gambar 1. Subsistem SIG


Sumber: Prahasta (2009), Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar
(Perspektif Geodesi dan Geomatika), Bandung.
31
3. Jenis dan Sumber Data Sistem Informasi Geografis (GIS)
Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data
spasial dan data atribut. Perbedaan antara dua jenis data tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Data Spasial
Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi objek di
bumi. Data spasial pada umumnya berdasarkan peta yang berisikan interpretasi dan
proyeksi seluruh fenomena yang berada di bumi. Sesuai dengan perkembangan, peta
tidak hanya merepresentasikan objek-objek yang ada di muka bumi, tetapi
berkembang menjadi representasi objek di atas muka bumi (di udara) dan di bawah
permukaan bumi. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dalam berbagai
format. Sumber data spasial antara lain mencakup: data grafis peta analog, foto
udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan
menggunakan global positioning systems (GPS) dan lain-lain.

Gambar 2. Sumber Data SIG


Sumber: Ekadinata, dkk (2008), Sistem Informasi GIS Untuk Pengelolaan
Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam, Bogor.

Data spasial memiliki dua macam penyajian, yaitu :


a. Model vektor yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan titik-titik, garis-garis, dan kurva atau poligon beserta atribut-
atributnya. Bentuk dasar model vektor didefinisikan oleh sistem koordinat Kartesius

32
dua dimensi (x,y). Dengan menggunakan model vektor, objek-objek dan informasi
di permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau poligon. Masing-masing
mewakili tipe objek tertentu sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
Titik (point) : merepresentasikan objek spasial yang tidak memiliki dimensi panjang
dan/atau luas. Fitur spasial direpresentasikan dalam satu pasangan koordinat x,y.
Contohnya stasiun curah hujan, titik ketinggian, observasi lapangan, titik-titik
sampel.
Garis (line/segment) : merepresentasikan objek yang memiliki dimensi panjang
namun tidak mempunyai dimensi area, misalnya jaringan jalan, pola aliran, garis
kontur.
Poligon : merepresentasikan fitur spasial yang memiliki area, contohnya adalah unit
administrasi, unit tanah, zona penggunaan lahan.

Gambar 3. Tampilan Data Titik, Garis, dan Luasan


Sumber: Google, 2018

b. Model data raster yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data


spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk
grid (bidang referensi horizontal dan vertikal yang terbagi menjadi kotak-kotak).
Piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara
eksplisit. Setiap piksel memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik.
Akurasi model ini sangat tergantung pada resolusi atau ukuran piksel suatu gambar.
Model raster memberikan informasi spasial apa saja yang terjadi di mana saja dalam
bentuk gambaran yang digeneralisasi. Dengan model raster, data geografi ditandai
oleh nilai-nilai elemen matriks dari suatu objek yang berbentuk titik, garis, maupun
bidang.
33
Gambar 4. Tampilan Model Data Vektor dan Raster
Sumber: Ekadinata, dkk (2008), Sistem Informasi GIS Untuk Pengelolaan
Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam, Bogor.

G. AHP (Analytic Hierarchy Process)


1. Pengertian AHP (Analytic Hierarchy Process)
AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan
suatu sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis. Metode ini
membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan
analisa perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria yang ada. Metode
AHP mengambil keputusan secara efektif atas persoalan yang kompleks dengan
menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan
memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau
variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberikan nilai numerik pada
pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai
pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang
memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut. Saaty (1993) menjelaskan bahwa metode AHP akan membantu
memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hierarki kriteria,
pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai
pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga
menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan
pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang
beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif
sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat.

34
2. Tahapan AHP (Analytic Hierarchy Process)
Tahapan-tahapan pengambilan keputusan menurut Kadarsyah Suryadi dan Ali
Ramdhani (1998) dalam metode AHP pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
b) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan kriteria-kriteria dan alternative-alternatif pilihan yang ingin diranking.
c) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau berpengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau
kriteria yang setingkat diatas.
d) Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian
seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen
yang dibandingkan.
e) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya.
f) Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh hirarki.
g) Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
h) Memeriksa konsistensi hirarki.

3. Prosedur AHP (Analytic Hierarchy Process)


Terdapat tiga prinsip utama dalam pemecahan masalah dalam AHP menurut
Saaty (1993), yaitu: Decomposition, Comparative Judgement, dan Logical
Concistency. Secara garis besar prosedur AHP meliputi tahapan sebagai berikut :
a) Penyusunan Hierarki (Dekomposisi)
Penyusunan hierarki merupakan penyusunan berbagai elemen dari suatu system
yang kompleks secara hierarki agar dapat dipahami dalam pemecahan masalahnya.
Hierarki merupakan dasar dari pikiran manusia dalam rangka menata suatu elemen
dalam beberapa level. Hierarki dalam metode AHP dibedakan atas dua berdasarkan
bentuknya yaitu, heirarki setengah (incomplete) dan hierarki penuh (complete).
Hierarki setengah dilakukan hanya sampai pada penentuan pembobotan tiap
kriteria atau prioritas dan hierarki penuh dilakukan sampai pada penentuan alternatif.
b) Penilaian/pembobotan untuk membandingkan elemen-elemen.

35
Apabila proses dekomposisi telah selasai dan hirarki telah tersusun dengan baik.
Selanjutnya dilakukan penilaian perbandingan berpasangan (pembobotan) pada tiap-
tiap hirarki berdasarkan tingkat kepentingan relatifnya.
c) Penyusunan matriks dan Uji Konsistensi
Apabila proses pembobotan atau pengisian kuisioner telah selesai, langkah
selanjutnya adalah penyusunan matriks berpasangan untuk melakukan normalisasi
bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap elemen pada hirarkinya masingmasing.
Pada tahapan ini analisis dapat dilakukan secara manual ataupun dengan
menggunakan program komputer seperti Expert Choice.
d) Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki
Untuk setiap kriteria dan alternatif,perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif,
maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah
ditentukan untuk menghasilkan bobot dan proritas. Bobot atau prioritas dihitung
dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.
e) Sistesis dari prioritas
Sistesis dari prioritas didapat dari hasil perkalian prioritas lokal dengan prioritas
dari kriteria bersangkutan yang ada pada level atasnya dan menambahkannya ke
masing-masing elemen dalam level yang dipengaruhi oleh kriteria. Hasilnya berupa
gabungan atau lebih dikenal dengan istilah prioritas global yang kemudian dapat
digunakan untuk memberikan bobot prioritas lokal dari elemen yang ada pada level
terendah dalam hirarki sesuai dengan kriterianya.
f) Pengambilan/penetapan keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu proses dimana alternatifalternatif yang
dibuat dipilih yang terbaik berdasarkan kriterianya.

36
H. Studi Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Metedologi Hasil Penelitian Persamaan dan Perbedaan dengan Sumber
Penelitian Penelitian yang dilakukan Literatur
1 Taufiqurahman Evaluasi Kesesuaian Metode Penelitian ini menjelaskan tentang Persamaan yang dilakukan yaitu sama- Tesis,
Lahan skoring, pembangunan kawasan permukiman sama mengkaji mengenai kesesuaian Universitas
overlay, pesisir sebaiknya diarahkan pada lahan lahan pada permukiman pesisir. Diponegoro
skalogram dan benar-benar sesuai dengan kriteria Sedangkan perbedaannya pada Semarang
deskriptif kesesuaian, memberikan penjelasan dan penelitian ini menggunakan metode 2015
kualitatif arahan kepada masyarakat mengenai spasial dengan pembobotan AHP
kuantitatif peraturan peruntukkan lahan. sedangkan penelitian terdahulu
menggunakan metode overlay dan SIG
2 Muh. Iqsan Kesesuaian Lahan Metode Penelitian ini menjelaskan tentang Persamaan yang dilakukan yaitu Skripsi,
Basri Permukiman di skoring, pembangunan kawasan permukiman di membahas tentang kesesuaian lahan. Universitas
Wilayah Sub Urban superimpose, wilayah sub urban sebaiknya diarahkan Sedangkan perbedaannya pada Hasanuddin
Kota Kendari skalogram pada lahan yang benar-benar sesuai penelitian ini membahas tentang 2016
dengan kriteria kesesuaian lahan yang kesesuaian lahan permukiman di
sudah dianalisis. wilayah pesisir sedangkan penelitian
terdahulu membahas tentang
kesesuaian lahan di wilayah sub urban.
3 Andi Kesesuaian Lahan SMCA (spasial Penelitian ini menjelaskan tentang Persamaan yang dilakukan yaitu sama- Skripsi,
Risdayanti Konservasi, Tambak multi criteria) seberapa besar tingkat kesesuaian lahan sama menggunakan metode AHP Universitas
dan Permukiman AHP, skoring, pada lahan konservasi, tambak dan untuk menentukan bobot dari Hasanuddin
spasial permukiman. parameter kesesuaian lahan. 2017
Sedangkan perbedaannya pada
penelitian ini hanya membahas tentang
kesesuaian lahan permukiman saja
sedangkan penelitian terdahulu
membahas tentang kesesuaian lahan
konservasi, tambak dan permukiman.
Sumber: Hasil analisis, 2018

37
I. Kerangka Konsep

 Kecamatan Galesong Utara memiliki laju perkembangan wilayah yang berlangsung cepat. Laju perkembangan
Kecamatan Galesong Utara yang berlangsung cepat salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
sebesar 1,31% (BPS, 2017) yang berada diatas pertumbuhan penduduk Kabupaten Takalar yaitu 1,07%.
 Pertumbuhan laju penduduk yang kian pesat akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ketersediaan
lahan.
 Permintaan penduduk terhadap lahan yang tidak terkendali membuat penduduk cenderung mengabaikan
Landasan Hukum
peruntukkan dan kemampuan lahan.
A. RTRW Kabupaten Takalar
Tahun 2010-2030
B. Permen PU No.41 tentang
Pedoman Kriteria Teknis Kawasan
Budidaya
Kesesuaian Lahan di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takakalar
C. Kepres RI No.32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung Tingkat kesesuaian lahan permukiman di
wilayah pesisir Kecamatan Galesong
D. UU Republik Indonesia Nomor Utara.
27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil  Kemiringan Lereng (Taufiqurrohman, 2009)
E. Peraturan Menteri Negara  Jenis Tanah (Taufiqurrohman, 2009)
Perumahan Rakyat Republik  Ketersediaan Lahan (Baja, 2012)
Indonesia Nomor  Aksesibilitas (Permen RI No. 34 tahun 2006)
15/PERMEN/M/2006 Tentang  Ketersediaan Air (Permenkes RI No. 416 tahun
Petunjuk Pelaksanaan 1990)
Penyelenggaraan Pengembangan  Sarana Kenelayanan (Syahriarto, 2013)
Kawasan Nelayan  Kerawanan Bencana (Fajri, 2012)
 Sempadan Pantai (UU RI No.27 tahun 2007)
F. UU No.1 tahun 2011 tentang  Sempadan Sungai (Taufiqurrohman, 2009)
Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Prinsip pengembangan permukiman di wilayah pesisir berdasarkan
tingkat kesesuaian lahan di Kecamatan Galesong Utara
38
47
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Menurut Sukmadinata (2006:72) Penelitian
deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenoma-fenoma yang ada, baik fenomena alamiah maupun
buatan. Pendekatan secara kualitatif yaitu dengan menggunakan landasan teori
sebagai panduan untuk memfokuskan penelitian dan menonjolkan proses yang
terdapat dalam fenoma tersebut serta mendeskripsikan gambar atau peta.
Sedangkan pendekatan secara kuantitatif yaitu penelitian yang lebih menekankan
pada aspek pengukuran yang berupa angka dalam pembobotan parameter.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan sejak mata kuliah Labo Education (LBE)
Perumahan dan Permukiman pada bulan Agustus sampai Desember tahun 2017,
kemudian melanjutkan penelitian selama di Studio Akhir.

2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dibagi menjadi wilayah makro yaitu Kabupaten Takalar dan
mikro yaitu Kecamatan Galesong Utara. Kabupaten Takalar memiliki luas wilayah
566,51km² dan terdiri dari 9 kecamatan (BPS, 2017). Sedangkan untuk wilayah
mikro merupakan salah satu kecamatan dipesisir Kabupaten Takalar dengan luas
15,11 km² (BPS, 2017) Adapun batas administrasi lokasi penelitian sebagai berikut:
 Sebelah utara : Kota Makassar
 Sebelah selatan : Kecamatan Galesong
 Sebelah barat : Selat Makassar
 Sebelah timur : Kabupaten Gowa

39
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Arcgis, diolah kembali oleh penulis, 2018

40
C. Jenis dan Kebutuhan Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data
sekunder :
1. Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan
dengan melakukan observasi, wawancara, serta dokumentasi yang berhubungan
dengan data-data yang dibutuhkan dalam proses penelitian. Data primer penelitian
antara lain:
1) Penggunaan lahan lokasi penelitian
2) Ketersediaan sarana nelayan
3) Kuesioner AHP
4) Dokumentasi lokasi penelitian

2. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi terkait, seperti
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Takalar, BPS, Bappeda Kabupaten Takalar
serta sumber-sumber lain yang relevan. Adapun data yang dimaksudkan yaitu:
1) Dokumen RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030 sebagai bahan analisis
perbandingan peruntukan kesesuaian lahan untuk permukiman.
2) Data daerah abrasi pantai.
3) Data penggunaan lahan penelitian
4) Peta batas administrasi Kabupaten Takalar.
5) Data peta jaringan perpipaan air bersih.
6) Peraturan dan surat keputusan yang menjadi referensi dalam penelitian.

D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2009:60). Adapun variabel
yang digunakan yaitu :

41
Tabel 8. Variabel Penelitian

No Tujuan Variabel Indikator Teknik Analisis Output

1. Menganalisis tingkat Kesesuaian lahan • Kemiringan Lereng 1.Metode AHP (Analytical Hierarki Kesesuaian lahan
kesesuain lahan permukiman pesisir • Jenis Tanah Process) untuk memberikan bobot permukiman pesisir
permukiman di wikayah pada masing-masing indikator di Kecamatan
• Ketersediaan Lahan
pesisir Kec. Galesong kesesuaian lahan permukiman Galesong Utara.
Utara Kabupaten Takalar • Aksesibilitas berdasarkan tingkat kepentingannya.
• Ketersediaan Air
2. Analisis spasial yaitu overlay peta
• Sarana Kenelayanan dengan menggabungkan semua
• Kerawanan Bencana parameter yang digunakan dalam
• Sempadan Pantai kesesuaian lahan permukiman.

• Sempadan Sungai 3. Analisis kuantitatif dilakukan


dalam bentuk angka-angka yang
digunakan untuk menekankan pada
aspek pengukuran dengan
menggunakan angka untuk analisis
penelitian.

4. Analisis kualitatif untuk


menjelaskan hasil tingkat kesesuaian
lahan permukiman pesisir.

42
Lanjutan tabel 8.
No. Tujuan Variabel Indikator Metode analisis Output

2. Menjelaskan prinsip- Analisis Deskriptif Prinsip-prinsip


prinsip pengembangan Hasil analisis kesesuaian lahan Kabupaten pengembangan
permukiman di wilayah Takalar permukiman di
pesisir berdasarkan wilayah pesisir
kesesuaian lahan Kec. berdasarkan
Galesong Utara kesesuaian lahan
Kabupaten Takalar. Kec. Galesong
Utara Kabupaten
Takalar.

Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2018

43
E. Responden Penelitian
Pemilihan reponden dilakukan dengan menggunakan Nonprobability sampling
dengan menggunakan metode purposive sampling dengan mempertimbangkan
bahwa responden merupakan masyarakat yang berada di kawasan pesisir dan
dianggap mengetahui dengan jelas perubahan lingkungan pada kawasan pesisir.
Menurut Sugiyono (2013:218-219) bahwa Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tertentu ini, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita
harapkan atau mungkin dia sebagai peguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.
Responden yang akan diambil untuk keperluan Analysis Hirarki Process (AHP)
untuk menentukan parameter prioritas sebagai acuan dalam menganalisis faktor-
faktor apa saja yang sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan permukiman
pesisir berdasarkan kuesioner dalam bentuk tabel matriks perbandingan (pairwise)
sehingga dapat dihitung presentasi antar kriteria. Perhitungan selanjutnya
menggunakan rumus konsistensi indeks untuk menentukan validasi data tersebut.
Pada perapan metode AHP yang diutamakan adalah kualitas data dari
responden dan tidak tergantung pada kuantitasnya. Oleh karena itu, penilaian AHP
memerlukan pakar sebagai responden dalam pengambilan keputusan dalam
pemilihan alternatif. Untuk jumlah responden dalam metode AHP tidak memiliki
perumusan tertentu, namun hanya ada batas minimum yaitu dua orang responden
(Saaty, 1993).
Adapun jumlah responden pada penelitian ini dibatasi hanya lima orang dengan
pertimbangan jika jumlah responden banyak maka hasil konsitensinya tinggi yang
akan berpengaruh pada pembobotan konsistensinya (error) karena banyak jawaban
yang bercampuran. Jumlah responden dalam analisis faktor yang berpengaruh
terhadap kriteria kesesuaian lahan permukiman pesisir adalah sebagai berikut :
1. Komponen Pemerintah diwakili oleh 1 orang dari Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Takalar dan 1 orang dari Kecamatan Galesong Utara.
2. Komponen Akademisi atau praktisi yang diwakili oleh 2 orang magister bidang
Perencanaan Wilayah dan Kota.

44
3. Komponen Masyarakat diwakili oleh 1 orang dari Konsultan PT. Global
Consultant.

F. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang yang digunakan ada
beberapa cara untuk memperoleh data yang akan diambil, yaitu :
1. Metode observasi
Pengumpulan data dengan cara mengamati atau melihat secara langsung dan
menganalisis kondisi yang ada di lokasi penelitian.
2. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto-foto terkait variabel yang akan
dibahas dalam penelitian ini.
3. Kuesioner
Kuesioner berisi lembar pertanyaan terstruktur yang diisi dengan responden
yang merupakan kunci untuk kebutuhan analisis AHP.
4. Telaah pustaka
Pengumpulan data yang diperoleh melalui sumber dokumenter berupa literatur,
laporan, jurnal, bahan seminar dan artikel.

G. Teknik Analisis Data


Terdapat empat teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Analisis Spasial
Analisis spasial merupakan teknik analisis yang digunakan untuk meneliti dan
mengeksplorasi data dari perspektif keruangan dengan bantuan software ArcGIS
10.1. Analisis spasial yang dilakukan yaitu overlay peta untuk menggabungkan
parameter atau indikator yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan
permukiman pesisir.
2. Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode AHP digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
sangat berpengaruh dalam kawasan kesesuaian lahan permukiman pesisir
berdasarkan kuesioner dalam bentuk tabel matriks perbanding (pairwise)
sehingga dapat dihitung dan diketahui presentasi antar kriteria. Perhitungan

45
selanjutnya menggunakan rumus konsistensi indeks untuk menentukan validasi
data tersebut. Untuk menentukan rasio konsistensi, maka digunakan persamaan :

CR = CL/RI

Keterangan:
CR = Rasio Konsistensi
CL = Indeks Konsistensi
RI = Indeks Acak (nilai ketentuan oleh jumlah n)
Untuk nilai CR harus mengikuti asumsi yang sudah ada yaitu :
Jika nilai CR< 0,10 maka menunjukkan tingkat konsistensi yang bagus, artinya
bobot yang diperoleh cukup rasional dalam perbandingan pasangan, namun jika
CR> 0,10 maka telah terjadi penilaian jelek atau tidak konsisten artinya
perhitungan tersebut harus diulangi perhitungan AHP sebelum dilakukan analisis
SIG. Data yang diperoleh dari responden kemudian diproses dengan
menggunakan aplikasi software Expert Choice. Hasil pengolahan kemudian
dianalisis dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel atau gambar. Aplikasi ini
memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis indikator/parameter dominan
berdasarkan prinsip perbandingan berpasangan (pairwise comparison).
Pemberian bobot dilakukan dengan cara membagikan kuesioner kepada
responden terkait. Selanjutnya penentuan bobot dengan menggunakan metode
perbadingan pasangan, perbandingan ini menggunakan metode Saaty (1990).
Tabel 9. Skala Dasar Penilaian dalam Metode AHP
Tingkat
Kepentingan Definisi Keterangan
Nilai (n)
1 Sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang
sama.
3 Sedikit lebih penting Pengalaman dan penilaian sangat memihak
satu elemen dibandingkan dengan
pasangannya.
5 Lebih penting Satu elemen sangat disukai dan secara praktis
dominasinya sangat nyata, dibandingkan
dengan elemen pasangannya.
7 Sangat penting Satu elemen terbukti sangat disukai dan
secara praktis dominasinya sangat,
dibandingkan dengan elemen pasangannya.

46
Tingkat
Kepentingan Definisi Keterangan
Nilai (n)
9 Mutlak lebih Satu elemen mutlak lebih disukai
penting dibandingkan dengan pasangannya, pada
tingkat keyakinan tertinggi
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai tengah Nilai-nilai ini diperlukan suatu kompromi
diantara dua
pendapat yang
berdampingan
Kebalikan Jika elemen i memiliki salah satu angka diatas ketika dibandingkan
elemen j, maka j memiliki kebalikannya ketika dibanding elemen i
Sumber: Saaty, 1993
Adapun parameter kesesuaian lahan permukiman pesisir dapat dilihat pada tabel
10. Penentuan parameter kesesuaian lahan tersebut berdasarkan telaah pustaka yang
telah dilakukan dari beberapa jurnal mengenai kesesuaian lahan permukiman
pesisir dan peraturan yang terkait serta berdasarkan kondisi eksisting lokasi
penelitian.
Tabel 10. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
No Parameter Kriteria Kelas
1 Kemiringan Lereng 0 – 8% 5
8 – 15% 3
>15% 1
Sumber: Taufiqurrohman, 2015
2 Jenis Tanah Iceptiol 5
Ultisol 3
Regosol 1
Sumber: Taufiqurrohman, 2015
3 Ketersediaan Lahan Lahan kosong/ lahan 5
terbuka dan belukar
Tegalan, tambak dan 3
sawah tidak produktif
Sempadan pantai/ 1
kawasan lindung
Sumber: Penggunaan Lahan, 2018
4 Aksesibilitas (jarak Sangat dekat 5
jalan utama terhadap Dekat 3
permukiman) Jauh 1
Sumber: Taufiqurrohman, 2015
5 Ketersediaan Air Sangat memadai 5
(jarak pipa utama Memadai 3
terhadap Tidak memadai 1
permukiman)
Sumber: SNI 03-1733-2004
6 Keterjangkauan Sangat terjangkau 5
sarana kenelayanan Terjangkau 3

47
No Parameter Kriteria Kelas
(TPI, PPI, pabrik es Tidak terjangkau 1
balok, dan bengkel
perahu)
Sumber: SNI 03-1733-2004
7 Abrasi Pantai Tidak rawan 5
Rawan 3
Sangat rawan 1
Sumber: Windi, 2015
8 Sempadan Pantai >100 m 5
100 m 3
<100 m 1
Sumber: Keppres No 32 tahun 1990
9 Sempadan Sungai >50 m 5
50 m 3
<50 m 1
Sumber: Keppres No 32 tahun 1990
Sumber: Penulis, 2018
Selanjutnya untuk memperoleh bobot parameter diatas, maka digunakan
beberapa tahapan yaitu :

a) Membuat matriks perbandingan pasangan


b) Menghitung bobot parameter, dimana bobot dalam hal ini diambil dari
skala perbandingan berpasangan.
c) Estimasi rasio konsistensi.
3. Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif menjelaskan tentang kesesuaian lahan permukiman pesisir
dilokasi penelitian yang berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak
menekankan pada angka melainkan lebih menekankan pada proses penelitian
tersebut.
4. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan dalam bentuk angka-angka dan tabel yang
digunakan untuk menganalisis data yang menekankan pada aspek pengukuran.

Berikut adalah penggunaan masing-masing analisis berdasarkan pertanyaan dan


tujuan peneliti yaitu:

1. Menganalisis Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir di Kecamatan


Galesong Utara Kabupaten Takalar

48
Analisis yang digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan permukiman
pesisir di lokasi penelitian yaitu menggunakan analisis spasial yaitu overlay peta
dengan menggabungkan paratemer kesesuaian lahan permukiman pesisir. Analisis
ini dilakukan untuk mengetahui kawasan yang dapat dikembangkan pada
permukiman pesisir Kabupaten Takalar yaitu Kecamatan Galesong Utara. Untuk
menganalisis kesesuaian lahan permukiman pesisir terdapat beberapa parameter
atau indikator yang digunakan dari beberapa literature, para ahli maupun peraturan
yang terkait serta kondisi lokasi eksisting.
Berikut adalah rumus aritmatika yang digunakan dalam penentuan kawasan
kesesuaian lahan permukiman pesisir :

Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir = {(a x X1) + (b x X2) + (c x X3) + … dsb.}

Keterangan :
a, b, c, dsb. = Bobot tiap variabel dan parameter
X1, X2, X3, dsb. = Nilai tiap variabel
Kemudian kesesuaian lahan permukiman pesisir dalam penelitian ini dibagi ke
dalam tiga kelas yaitu sangat sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai. Nilai pada setiap
kelas akan ditentukan dengan relatif yaitu melihat nilai maksimum dan nilai
minimum dari hasil penjumlahan dari setiap skor parameter yang berpengaruh pada
kesesuian lahan permukiman pesisir dengan jumlah kelas yang diinginkan.
Berikut rumus mathematic pada penentuan nilai kelas tingkat kesesuaian lahan
permukiman :

IK = Range/K
Keterangan :
IK = Interval Kelas
Range = Nilai maksimum – nilai minimum
K = Banyaknya kelas yang diinginkan

49
H. Definisi Operasional
1. Kesesuaian lahan diukur berdasarkan kecocokan suatu jenis lahan untuk
penggunaan tertentu yang dinilai dengan analisis kualitas lahan sehubungan
dengan persyaratan suatu jenis penggunaan tertentu.
2. Kemiringan lereng diukur berdasarkan persentase kelerengan yang dapat
terbangun yaitu 0 – 8%.
3. Jenis tanah diukur berdasarkan tingkat kekuatan tanah dalam pembangunan
permukiman.
4. Ketersediaan lahan diukur berdasarkan lahan yang tersedia untuk dikembangkan
yang didasarkan pada penggunaan lahan dilokasi penelitian.
5. Aksesibilitas diukur berdasarkan jarak jalan utama terhadap lahan permukiman
yaitu <500 meter.
6. Ketersediaan air bersih diukur berdasarkan jarak pipa air bersih PDAM terhadap
lahan permukiman yaitu <100 meter.
7. Sarana kenelayanan diukur berdasarkan keterjangkauan sarana nelayan terhadap
permukiman dengan radius 400 meter jarak ideal jangkauan pejalan kaki.
8. Kerawanan bencana diukur berdasarkan daerah yang memiliki tingkat risiko
tinggi terhadap ancaman abrasi pantai.
9. Sempadan pantai diukur berdasarkan garis pantai yaitu >100 meter.
10. Sempadan sungai diukur berdasarkan garis sungai yaitu >50 meter.
11. Kawasan lindung diukur berdasarkan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
12. Kawasan Budidaya diukur berdasarkan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya buatan.
13. Jaringan jalan diukur berdasarkan fungsi jalan kolektor, lokal dan lingkungan
beserta kelengkapannya.
14. Batasan wilayah pesisir diukur berdasarkan garis pantai kearah laut lepas/
perairan kepulauan kearah daratan mencakupan wilayah administrasi daratan
dan kearah perairan laut sejauh 12 mil.
15. Sistem Informasi Geografis (SIG) bentuk penyajian informasi terkait dengan
objek berupa wilayah dalam bentuk informasi geospatial.

50
16. Struktur ruang yang baik terdiri atas sistem jaringan sarana dan prasarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hirarki
memiliki hubungan fungsional.
17. Pola ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah yang
meliputi rencana peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya.
18. AHP (Analytic Hierarchy Process) metode untuk membantu dalam menentukan
prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisa perbandingan
berpasangan dari masing-masing kriteria yang ada.
19. Software Expert Choice digunakan untuk mengolah indikator/parameter
dominan berdasarkan prinsip perbandingan berpasangan dari hasil kuesioner
responden.
20. Grid Index berupa grid-based peta yang berfungsi sebagai penentu lokasi
pengembangan yang dominan pada kesesuaian lahan.

51
I. Kerangka Penelitian
Latar Belakang :
Kecamatan Galesong Utara memiliki laju perkembangan wilayah yang berlangsung cepat. Laju perkembangan Kecamatan Galesong Utara yang
berlangsung cepat salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk sebesar 1,31% (BPS, 2017) yang berada diatas pertumbuhan
penduduk Kabupaten Takalar yaitu 1,07%. Pertumbuhan laju penduduk yang kian pesat akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan
ketersediaan lahan. Permintaan penduduk terhadap lahan yang tidak terkendali membuat penduduk cenderung mengabaikan peruntukkan dan
kemampuan lahan.

INPUT

Rumusan Masalah : Rumusan Masalah :


1. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan 2. Bagaimana prinsip-prinsip pengembangan
permukiman di wilayah pesisir Kec. permukiman di wilayah pesisir berdasarkan
Galesong Utara Kab. Takalar? kesesuaian lahan Kec. Galesong Utara Kab.
Takalar?

Fungsi kawasan :
1. Kawasan budidaya Analisis Spasial
2. Kawasan lindung
Tinjauan pustaka :
• Kesesuaian Lahan
Parameter yang digunakan : • Klasifikasi Fungsi Lahan Analisis AHP, Analisis Overlay,
ANALISIS 1. Sempadan pantai • Wilayah pesisir Analisis Deskriptif Kualitatif dan
2. Abrasi Pantai • Sarana nelayan Kuantitatif
3. Sarana kenelayanan • SIG
4. Ketersediaan air • AHP
5. Aksesibilitas
6. Ketersediaan lahan
7. Sempadan Sungai Prinsip Pengembangan Lokasi
8. Kemiringan Lereng Permukiman
9. Jenis Tanah

OUTPUT Kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir dan prinsip pengembangan permukiman
berdasarkan kesesuaian lahan Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar.
52
BAB IV

GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Kabupaten Takalar


1. Kondisi Geografis
Kabupaten Kabupaten Takalar merupakan salah satu wilayah kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan yang terlatak pada bagian selatan. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Takalar letak astronomis Kabupaten Takalar berada pada posisi 5°30’ –
5°38’ Lintang Selatan dan 119°22’–119°39’ Bujur Timur, dengan luas wilayah
tercatat 566,51 km². Jarak ibukota Kabupaten Takalar dengan Provinsi Sulawesi
Selatan mencapai 45 km yang melalui Kabupaten Gowa. Secara administrasi
Kabupaten Takalar memiliki wilayah berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kabupaten Gowa
Sebelah Selatan : Selat Makassar
Sebelah Barat : Laut Flores
Sebelah Timur : Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto

2. Wilayah Administrasi
Wilayah administrasi Kabupaten Takalar hingga tahun 2006 terdiri atas 7
kecamatan, dan pada tahun 2007 mengalami pemekaran wilayah menjadi 9
kecamatan. Dua wilayah kecamatan hasil pemekaran adalah Kecamatan Sanrobone
yang dimekarkan dari Kecamatan Mappakkasunggu, dan Kecamatan Galesong
yang dimekarkan dari Kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan.
Sumber data dari Kabupaten Takalar Dalam Angka tahun 2017, menunjukkan
wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Polombangkeng Utara dengan luas
kurang lebih 212,25 km², atau sekitar 37,47% dari luas wilayah Kabupaten Takalar,
sedangkan kecamatan yang memiliki luasan terkecil adalah Kecamatan Galesong
Utara dengan luas wilayah kurang lebih 15,11 km² atau sekitar 2,67% dari luas
Kabupaten Takalar. Secara rinci luas masing-masing kecamatan di Kabupaten
Takalar, diuraikan pada tabel 11 dan gambar 6.

53
Tabel 11. Luas Wilayah Kabupaten Takalar Berdasarkan Jumlah
Kecamatan
No Kecamatan Luas Persentase
( km² ) (%)
1 Mangarabombang 100,50 17,74
2 Mappakasunggu 45,27 7,99
3 Sanrabone 29,36 5,18
4 Palombangkeng 88,07 15,55
Selatan
5 Pattalassang 25,31 4,47
6 Palombangkeng Utara 212,25 37,47
7 Galesong 25,93 4,58
8 Galesong Selatan 24,71 4,36
9 Galesong Utara 15,11 2,67
Jumlah 566,51 100,00
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030

Gambar 6. Luas Wilayah Kabupaten Takalar Berdasarkan Jumlah


Kecamatan
Sumber: BPS, Kabupaten Takalar Dalam Angka 2017

54
3. Topografi dan Kemiringan Lereng
Wilayah Kabupaten Takalar berada pada ketinggian 0 – 1000 meter diatas
permukaan laut (mdpl), dengan bentuk permukaan lahan relatif datar,
bergelombang hingga perbukitan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Takalar
merupakan daerah dataran dan wilayah pesisir dengan ketinggian 0 – 100 mdpl,
yaitu sekitar 86,10% atau kurang lebih 48,778 km². Sedangkan selebihnya
merupakan daerah perbukitan dan berada pada ketinggian diatas 100 mdpl, yaitu
sekitar 78,73 km² (tabel 12), kondisi sebagian besar terdapat pada Kecamatan
Polobangkeng Utara dan Polombangkeng Selatan. Sumber data yang diperoleh dan
hasil analisa GIS, menujukkan keadaan topografi dan kelerengan Kabupaten
Takalar sangat bervariasi, yang secara umum berada pada kisaran 0-2%, 2-15%,
15-30%, 30-40% dan > 40%.

Tabel 12. Luas Wilayah Berdasarkan Ketinggian Dari Permukaan Laut


di Kabupaten Takalar
No Kecamatan Luas (Ha) Jumlah
0-100 mdpl 100-500 >500 mdpl (Ha)
mdpl
1 Mangarabombang 10.050 - - 10.050
2 Mappakasunggu 4.527 - - 4.527
3 Sanrabone 2.936 - - 2.936
4 Palombangkeng 7.960 847 - 8.807
Selatan
5 Pattalassang 2.531 - - 2.531
6 Palombangkeng 14.199 6.904 122 21.225
Utara
7 Galesong 2.593 - - 2.593
8 Galesong Selatan 2.471 - - 2.471
9 Galesong Utara 1.511 - - 1.511
Jumlah 48.778 7.751 122 56.651
Presentase (%) 86,10 13,68 0,22 100
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030
Kemiringan lereng dan garis kontur merupakan kondisi fisik topografi suatu
wilayah yang sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan dan banyak

55
mempengaruhi penataan lingkungan alami. Untuk kawasan terbangun, kondisi
topografi berpengaruh terhadap terjadinya longsor dan terhadap konstruksi
bangunan. Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
fungsi kawasan, untuk diarahkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya.

4. Klimatologi dan Hidrologi


Kondisi iklim wilayah Kabupaten Takalar dan sekitarnya secara umum ditandai
dengan jumlah hari hujan dan curah hujan yang relatif tinggi, dan sangat
dipengaruhi oleh angina musim. Pada dasarnya angin musim di Kabupaten Takalar
dipengaruhi oleh letak geografis wilayah yang merupakan pertemuan Selat
Makassar dan Laut Flores, kondisi ini berdampak pada putaran angin yang dapat
berubah setiap waktu. Berdasarkan hasil pengamatan stasiun hujan di Kabupaten
Takalar, menunjukkan suhu udara minimum rata-rata 22,2°C hingga 20,4°C pada
bulan Februari - Agustus dan suhu udara maksimum mencapai 30,5°C hingga
33,9°C pada bulan September - Januari.
Tabel 13. Curah Hujan di Kabupaten Takalar
No Bulan Curah Hari
Hujan Hujan
Precipitation
(mm³)
1 Januari 356 16
2 Februari 512 21
3 Maret 228 16
4 April 239 14
5 Mei 104 14
6 Juni 193 10
7 Juli 119 11
8 Agustus 3 1
9 September 240 9
10 Oktober 239 18
11 November 262 16
12 Desember 468 24
Jumlah 2.963 170
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030

56
Curah hujan terjadi karena dipengaruhi oleh keadaan iklim dan perputaran atau
pertemuan arus udara. Pada lokasi penelitian rata-rata hari hujan dalam setahun
sekitar 12 hari dengan rata-rata curah hujan setahun sekitar 162 mm. Jumlah hari
hujan banyak terjadi di bulan Februari dan bulan Desember.

5. Jenis Tanah
Keadaan jenis tanah Kabupaten Takalar secara umum termasuk dalam golongan
stadium dewasa dengan tekstur permukaan halus, umunya kondisi tanah tersebut
dipengaruhi fromasi pada pegunungan Bawakaraeng dan Lompobattang. Tatanan
statigrafi pada umumnya terdiri dari endapan Aluvium, Miosen tengah-akhir serta
Eosen akhir-Miosen tengah dengan sedikit terobosan Andesit. Endapan Aluvium
terdiri dari lempung, pasir, lumpur, kerikil dan bongkah batuan yang tidak padu
(lepas). Endapan ini berasal dari hasil desintegrasi batuan yang lebih tua. Struktur
tanah yang terbentuk meliputi jenis tanah entisol, inceptisol, molisol, dan ultisol
(lihat tabel 14).
Jenis tanah yang tersebar pada lokasi penelitian yaitu inceptisol dengan luas
tanah 2.029,48 Ha.
Tabel 14. Klasifikasi Jenis Tanah di Kabupaten Takalar
No Kecamatan Luas Jenis Tanah (Ha)
Inceptisol Ultisiol Molisol Entisol
1 Mangarabombang 6.970,25 847,24 451,34 1.525,74
2 Mappakasunggu 1.154,83 - - 3.896,18
3 Sanrabone 1.869,76 - - -
4 Palombangkeng 6.041,31 2.705,62 - -
Selatan
5 Pattalassang 1.814,24 - - -
6 Palombangkeng 14.975,05 7.686,92 - -
Utara
7 Galesong 2.320,27 - - -
8 Galesong Selatan 1.910,23 - - 86,29
9 Galesong Utara 2.029,48 - - 73,62
Jumlah 39.085,42 11.239,79 451,34 5.581,83
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030

57
Gambar 7. Peta Administrasi Kabupaten Takalar
Sumber: Arcgis, diolah kembali oleh penulis, 2018

58
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis
Lokasi penelitian ini dilakukan pada salah satu wilayah permukiman pesisir
Kabupaten Takalar yaitu Kecamatan Galesong Utara. Berdasarkan BPS Kecamatan
Galesong Utara lokasi penelitian terletak di bagian utara dan berjarak ±27 km dari
ibukota Kabupaten Takalar. Secara astronomis berada diantara 5° 12’55,19” LS -
5° 18’5,85° LS dan 119° 23’1, 77” BT - 119° 22’50,80” BT. Berdasarkan letak
geografisnya Kecamatan Galesong Utara memiliki batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kota Makassar
Sebelah Selatan : Kecamatan Galesong
Sebelah Barat : Selat Makassar
Sebelah Timur : Kabupaten Gowa

2. Wilayah Administrasi
Berdasarkan BPS Kecamatan Galesong Utara wilayah administrasi Kecamatan
Galesong Utara yang terletak di bagian utara Kabupaten Takalar dan berjarak
±15,70 km dari Kota Makassar. Luas wilayah Kecamatan Galesong Utara sekitar
15,11 km² atau sebesar 2,67% dari luas total Kabupaten Takalar.
Kecamatan Galesong Utara memiliki tujuh desa dan satu kelurahan yaitu Desa
Pakabba, Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamasaju, Desa Tamalate, Desa
Bontosunggu, Desa Bontolanra, Desa Aeng Towa dan Kelurahan Bontolebang.
Masing-masing desa dan kelurahan memiliki luas wilayah yang beragam,
desa/kelurahan yang memiliki luas paling besar yakni Kelurahan Bontolebang
dengan luas 3,80 km² dan Desa Tamalate yang memiliki luas paling kecil yakni
0,70 km². Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 15. Luas Wilayah Desa/ Kelurahan Menurut Kecamatan Galesong Utara
Tahun 2017
No Desa/ Kelurahan Luas Persentase
(km²) (%)
1 Bontosunggu 0,77 5,10
2 Tamasaju 1,13 7,48
3 Bontolebang 3,80 25,15

59
No Desa/ Kelurahan Luas Persentase
(km²) (%)
4 Tamalate 0,70 4,63
5 Aeng Batu-batu 2,17 14,36
6 Bontolanra 3,32 21,97
7 Pakabba 1,01 6,68
8 Aeng Towa 1,01 6,68
Jumlah 15,11 100,00
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar Tahun 2010-2030

60
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Arcgis diolah kembali oleh penulis, 2018
61
C. Identifikasi Kawasan Kecamatan Galesong Utara
Kecamatan Galesong Utara merupakan salah satu dari enam kecamatan pesisir
yang berada di Kabupaten Takalar. Pertumbuhan fisik lokasi penelitian sangat
dipengaruhi oleh keberadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Beba’ dan Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) Soreang yang merupakan kawasan stategis Kabupaten
Takalar yang memiliki nilai potensi ekspor strategis wilayah. Kedua sarana
kenelayanan ini memberikan kesempatan bagi pertumbuhan permukiman di
Kecamatan Galesong Utara karena meningkatkan perekonomian bagian kehidupan
perdesaan.
1. Penggunaan Lahan di Kawasan Pesisir
Secara umum penggunaan lahan di pesisir Kabupaten Takalar terdiri atas
pemanfaatan permukiman, sungai, tegalan/ladang, sawah, semak belukar, tubuh air,
pasir, rawa, dan bakau.

Tabel 16. Guna lahan dan Luasan Pesisir Kabupaten Takalar


No Guna Lahan Luas (ha)
1 Permukiman 707
2 Sungai 335
3 Tegalan/ Ladang 7473
4 Sawah 9136
5 Semak Belukar 1196
6 Tubuh Air 45
7 Pasir 496
8 Rawa 1282
9 Bakau 1843
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030, 2018

Berdasarkan tabel diatas, penggunaan lahan terbesar pada pesisir Kabupaten


Takalar adalah guna lahan sawah yaitu seluas 9136 Ha. Sedangkan untuk
Penggunaan lahan terkecil adalah tubuh air yaitu hanya seluas 45 Ha.

62
Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kabupaten Takalar
Sumber: Arcgis, diolah kembali oleh penulis, 2018

63
2. Kondisi Permukiman
Kawasan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman yang berada di
daerah pesisir berjarak 0 – 300 meter, sedangkan permukiman yang berada jauh
dari daerah pesisir berjarak 300 meter. Luas kawasan permukiman di lokasi
penelitian yaitu 293 ha. Berikut adalah dokumentas kondisi permukiman dilokasi
penelitian, adapun sebaran permukiman dapat dilihat pada gambar 17.
Tabel 17. Gambar Eksisting Permukiman di Lokasi Penelitian
Nomor Foto Eksisting Keterangan
di Peta
1 Permukiman yang
berada di daerah
pesisir.

2 Permukiman yang
berada di sempadan
pantai.

3 Permukiman yang
berada pada bekas
abrasi.

4 Permukiman yang
berada dekat dengan
tanggul daerah pesisir.

64
Nomor Foto Eksisting Keterangan
di Peta
5 Permukiman yang
berada dekat areal
tambak.

6 Permukiman yang
berada dekat areal
mangrove.

7 Permukiman yang
berada di daerah pesisir
dengan aktifitas
pelelangan ikan.

8 Permukiman yang jauh


dari daerah pesisir.

9 Permukiman yang
berada di daerah
sempadan sungai.

Sumber: Dokumentasi penulis, 2018

3. Kondisi Aksesibilitas
Berdasarkan data dari RTRW Kabupaten Takalar tahun 2010-2030, jaringan
jalan Kabupaten Takalar sepanjang 1.038,51 km dengan permukaan jalan baik,
sedang, rusak hingga rusak berat. Jenis permukaan berupa aspal merupakan jenis
permukaan jalan terbesar di Kabupaten Takalar, yaitu mencapai 601,18 km. Pada
lokasi penelitian terdapat jalan lokal yang menghubungkan satu desa dengan desa
lainnya dan jalan kolektor sekunder sebagai jalan utama yang melintasi wilayah
pesisir Timur Bontolebang ke Timur-Selatan melintasi Galesong Kota, Galesong

65
Selatan, Sanrobone, Mappakasunggu sampai ke Pattalasang dengan panjang 9,7
km.

Gambar 10. Jalan Kolektor Sekunder di Lokasi Penelitian


Sumber: Dokumentasi penulis, 2018

4. Jaringan Air Bersih


Pemakaian air untuk kebutuhan air bersih dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat di kawasan pesisir penelitian2018
melalui dua acara, yaitu PDAM dan non
PDAM. Berdasarkan masing-masing kepala desa pada kawasan penelitian bahwa
PDAM memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat dengan membuat
jaringan air bersih yang meliputi hampir seluruh desa di wilayah pesisir karena air
yang dekat dengan pesisir sudah tercemar dengan air laut. Bagi masyarakat yang
belum teraliri jaringan air bersih PDAM, memperoleh air bersih dengan cara sumur
dalam (sumur bor) yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat.

5. Daerah Rawan Bencana Abrasi


Wilayah pesisir Kecamatan Galesong Utara merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Takalar yang rawan abrasi. Berdasarkan isu strategis RTRW Kabupaten
Takalar tahun 2010-2030 bahwa kecamatan pesisir yang berhadapan langsung
dengan Selat Makassar merupakan daerah yang sering mengalami bencana abrasi
tiap tahunnya. Dampaknya adalah lahan-lahan pertanian produktif rusak dan
jaringan jalan yang hancur akibatnya. Abrasi disebabkan oleh beberapa faktor,
faktor alam yaitu adanya arus pantai yang tinggi, pasang surut, ombak yang tinggi,
serta angin kencang. Kegiatan manusia seperti penambangan pasir dan reklamasi
pantai. Akibat terjadinya abrasi yaitu permukiman yang berada pada garis pantai
mengalami kerusakan yang parah. Berikut ini peta time series perubahan garis

66
pantai dalam kurun 5 tahun terakhir yang mengalami perubahan akibat bencana
abrasi pantai.

Gambar 11. Garis Pantai tahun 2012 di Lokasi Penelitian


Sumber: Google Earth, 2018

2018

Gambar 12. Perubahan Garis Pantai tahun 2013 di Lokasi Penelitian


Sumber: Google Earth, 2018

67

2018
Gambar 13. Perubahan Garis Pantai tahun 2014 di Lokasi Penelitian
Sumber: Google Earth, 2018

2018

Gambar 14. Perubahan Garis Pantai tahun 2015 di Lokasi Penelitian


Sumber: Google Earth, 2018

2018

68
Gambar 15. Perubahan Garis Pantai tahun 2016 di Lokasi Penelitian
Sumber: Google Earth, 2018

2018

Gambar 16. Perubahan Garis Pantai tahun 2017 di Lokasi Penelitian


Sumber: Google Earth, 2018

6. Sempadan Pantai
Berdasarkan RTRW Kabupaten Takalar tahun 2010-2030, panjang garis pantai
di Kabupaten Takalar adalah 74 km yang persis berhadapan dengan Selat Makassar
sedangkan panjang garis pantai lokasi penelitian
2018yaitu 9912 meter. Beberapa garis

69
pantai dilokasi penelitian tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan yang
sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai.

7. Sarana Kenelayanan
Sarana kenelayanan yang terdapat pada lokasi penelitian terdiri atas, Tempat
Pelelangan Ikan (TPI), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), dermaga, tempat
penjemuran ikan, pabrik es balok, bengkel perahu dan Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Nelayan (SPBN). Keberadaan sarana nelayan sangat penting untuk dalam
kegiatan perikanan masyarakat pesisir karena dapat menunjang perekonomian
masyarakat setempat. Pada lokasi penelitian sarana nelayan letaknya menyebar
pada tiap desa yaitu :
1) Desa Tamalate terdapat TPI Soreang dan dermaga Soreang.
2) Desa Tamasaju terdapat PPI Beba’ dan dermaga Beba’.
3) Kelurahan Bontolebang dan Desa Bontosunggu terdapat pabrik es balok.
4) Desa Aeng Batu-batu terdapat SPBN Pantai Batu-batu dan bengkel perahu.
Untuk sebaran saranan kenelayanan dapat dilihat pada gambar 18.
Tabel 18. Gambar Eksisting Sarana Kenelayanan di Lokasi Penelitian
Nomor Foto Eksisting Keterangan
di Peta
1

PPI Beba’ di Desa


Tamasaju.

TPI Soreang di Desa


Tamalate.

70
Nomor Foto Eksisting Keterangan
di Peta
3
SPBN (Stasiun
Pengisian Bahan Bakar
Nelayan) di Desa Aeng
Batu-batu.

Bengkel perahu di Desa


Aeng Batu-batu.

Pabrik es balok di Desa


Bontosunggu.

Sumber: Dokumentasi penulis, 2018

71
Gambar 17. Peta Sebaran Permukiman di Lokasi Penelitian
Sumber: Penulis, 2018

72

2018
Gambar 18. Peta Sebaran Sarana Nelayan di Lokasi Penelitian
Sumber: Penulis, 2018
73

2018
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir


1. Analisis Fungsi Kawasan
Secara umum, fungsi pemanfaatan lahan diklasifikasikan menjadi tiga
kawasan yaitu, kawasan lindung, kawasan peyangga dan kawasan budidaya.
Fungsi kawasan pada lokasi penelitian berdasarkan RTRW Kabupaten Takalar
tahun 2010-2030 terbagi menjadi dua fungsi kawasan yaitu kawasan lindung dan
kawasan budidaya.
Berdasarkan Badan Litbang Dinas Pekerjaan Umum dalam tata cara
pemilihan lokasi prioritas pengembangan permukiman, bebas kawasan lindung
merupakan salah satu syarat yang telah ditetapkan. Kawasan lindung yang telah
ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Takalar yang berada pada lokasi penelitian
yaitu sempadan pantai, dan sempadan sungai.
Berdasarkan Keppres Nomor 32 tahun 1990, sempadan pantai dan sempadan
sungai merupakan kawasan perlindungan setempat yang berfungsi untuk
melindungi kawasan tersebut dari kegiatan budidaya oleh manusia yang dapat
mengganggu kelestarian fungsi dari tiap kawasan sesuai karakteristiknya
sehingga tidak boleh digunakan sebagai lahan budidaya.
Pengolahan ini menggunakan analysis tool berupa buffering sungai sejauh 50
meter dan buffering garis pantai sejauh 100 meter pada software arcgis, sehingga
menghasilkan sempadan sungai dan sempadan pantai. Selanjutnya dilakukan
analisis berupa overlay sempadan pantai dan sempadan sungai terhadap peta
identifikasi fungsi lahan. Analisis overlay sempadan pantai dan sempadan sungai
menemukan hasil sebagai berikut:
Tabel 19. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya
No Fungsi Kawasan Luas (Ha) Total Luas (Ha)
1 Kawasan Lindung 188
1542
2 Kawasan Budidaya 1354
Sumber: Hasil Analisis, 2018

74
Gambar 19. Peta Fungsi Kawasan Pada Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

75
2. Analisis Kesesuaiaan Lahan Permukiman Pesisir berdasarkan Parameter
Penelitian
Dalam menentukan pembobotan dari masing-masing kriteria yang berpengaruh
terhadap kesesuian lahan permukiman pesisir menggunakan analisis AHP
(Analytical Hierarky Process) dengan software Expert Choice. Untuk menganalisis
permukiman pesisir Kabupaten Takalar pada Kecamatan Galesong Utara terdapat
beberapa indikator yang dirangkum dari telaah pustaka dan peraturan terkait
mengenai permukiman pesisir. Berikut adalah kriteria yang digunakan :
Tabel 20. Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
No. Parameter Penilaian
1 Kemiringan Lereng Kemiringan lereng berada pada kisaran lereng
0-8% dengan kategori datar.
2 Jenis Tanah Pengelompokkan jenis tanah halus atau kasar
untuk mengidentifikasi tingkat kekuatan tanah
dalam pembangunan permukiman.
3 Ketersediaan Lahan Ketersediaan lahan untuk kawasan permukiman
yaitu tidak berada pada kawasan lindung.
4 Aksesibilitas Jarak jalan utama terhadap lahan permukiman
yaitu <500 meter
5 Ketersediaan Air Jarak pipa air bersih PDAM terhadap lahan
permukiman yaitu <100 meter
6 Sarana Kenelayanan Keterjangkauan sarana kenelayanan terhadap
permukiman dengan radius <400 meter.
7 Rawan Abrasi Daerah yang memiliki tingkat risiko tinggi
terhadap ancaman abrasi pantai
8 Sempadan Pantai Bangunan tidak berada pada garis pantai yaitu
>100 meter
9 Sempadan Sungai Bangunan tidak berada pada garis sungai yaitu
>50 meter
Sumber: Modifikasi Penulis, 2018
Analisis AHP dilakukan untuk membandingkan kriteria dalam pemilihan lokasi
permukiman, sehingga akan menghasilkan bobot dari kriteria yang telah ditentukan
untuk analisis selanjutnya. Hasil dari analisis AHP dapat dilihat dari nilai
konsistensinya, jika nilai konsistensi dari hasil olahan kurang 0,10 maka dianggap
konsisten apabila sebaliknya lebih dari 0,10 tidak konsistensi atau harus diulang
kembali perhitungannya. Berikut adalah hasil analisis AHP dari setiap responden
yang berprofesi dari akademisi dan pemerintahan.

76
Analisis Kesesuian Lahan
Permukiman Pesisir

Kemiringan Penggunaan Ketersediaan Air Sarana Sempadan Sempadan


Jenis Tanah Aksesibilitas Rawan Abrasi
Lereng Lahan Bersih Kenelayanan Pantai Sungai

Desa di Pesisir Kecamatan Galesong


Utara Kabupaten Takalar

Gambar 20. Penentuan Kriteria


Sumber: Modifikasi Penulis, 2018

77
a. Responden dari Pemerintah 1
Responden yang pertama merupakan responden yang berasal dari pemerintahan
yaitu dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Takalar. Hasil matriks dari kuesioner
kesesuian lahan permukiman pesisir dari 9 kriteria perbandingan menunjukkan
bahwa kriteria yang paling berpengaruh yaitu ketersediaan air bersih dengan
persentase 32,6%, kemiringan lereng dengan persentase 18,1%, sarana kenelayanan
dengan persentase 15,3%, aksesibilitas dengan persentase 8,1%, penggunaan lahan
dengan persentase 7,1%, sempadan pantai dengan persentase 6,3% selajutnya
rawan abrasi dengan persentase 5,3%. Untuk kriteria jenis tanah serta sempadan
sungai yaitu 4,6% dan 2,6%. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria yang paling
berpengaruh dalam kesesuaian lahan permukiman pesisir yaitu ketersediaan air
bersih dan yang tidak berpengaruh yaitu sempadan sungai. Dari hasil olahan
software expert choice yang telah dilakukan dapat dilihat jika nilai inkonsistensi
sebesar 0,06 sehingga dapat disimpulkan responden konsisten dalam menjawab
kuesioner.

Gambar 21. Nilai Responden Pemerintah 1


Sumber: Hasil Analisis, 2018

b. Responden dari Pemerintah 2


Responden yang kedua merupakan responden yang berasal dari pemerintahan
juga yaitu dari Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Hasil matriks dari
kuesioner kesesuian lahan permukiman pesisir dari 9 kriteria perbandingan
menunjukkan bahwa kriteria yang paling berpengaruh yaitu ketersediaan air bersih
dengan persentase 25,5%, sempadan pantai dengan persentase 19,2%, sarana
kenelayanan dengan persentase 14,1%, rawan abrasi dengan persentase 10,5%,
penggunaan lahan dengan persentase 9,8%, kemiringan lereng dengan persentase
78
9,5% selajutnya rawan aksesibilitas dengan persentase 5,2%. Untuk kriteria
sempadan sungai serta jenis tanah yaitu 3,9% dan 2,4%. Hal ini menunjukkan
bahwa kriteria yang paling berpengaruh dalam kesesuaian lahan permukiman
pesisir yaitu ketersediaan air bersih dan yang tidak berpengaruh yaitu jenis tanah.
Dari hasil olahan software expert choice yang telah dilakukan dapat dilihat jika nilai
inkonsistensi sebesar 0,10 sehingga dapat disimpulkan responden konsisten dalam
menjawab kuesioner.

Gambar 22. Nilai Responden Pemerintah 2


Sumber: Hasil Analisis, 2018

c. Responden dari Masyarakat


Responden dari masyarakat yaitu diwakili oleh 1 orang Konsultan yang bekerja
di PT Global Consultant Makassar dengan latar belakang berpendidikan tinggi.
Hasil matriks dari kuesioner kesesuian lahan permukiman pesisir dari 9 kriteria
perbandingan menunjukkan bahwa kriteria yang paling berpengaruh yaitu
ketersediaan air bersih dengan persentase 23,7%, kemiringan lereng dengan
persentase 18,8%, sarana kenelayanan dengan persentase 13,2%, penggunaan lahan
dengan persentase 12,8%, sempadan pantai dengan persentase 10,1%, rawan abrasi
dengan persentase 9,5% selanjutnya jenis tanah dengan persentase 5,6%. Untuk
kriteria aksesibilitas dan sempadan sungai yaitu 4,1% dan 2,3%. Hal ini
menunjukkan bahwa kriteria yang paling berpengaruh dalam kesesuaian lahan
permukiman pesisir yaitu ketersediaan air bersih dan yang tidak berpengaruh yaitu
sempadan sungai. Dari hasil olahan software expert choice yang telah dilakukan
dapat dilihat jika nilai inkonsistensi sebesar 0,09 sehingga dapat disimpulkan
responden konsisten dalam menjawab kuesioner.

79
Gambar 23. Nilai Responden Masyarakat
Sumber: Hasil Analisis, 2018

d. Responden dari Akademisi 1


Responden yang keempat merupakan akademisi dibidang Perencanaan
Wilayah dan Kota. Hasil matriks dari kuesioner kesesuian lahan permukiman
pesisir dari 9 kriteria perbandingan menunjukkan bahwa kriteria yang paling
berpengaruh yaitu ketersediaan air bersih dengan persentase 28,9%, sempadan
pantai dan sempadan sungai dengan persentase 16%, penggunaan lahan dengan
persentase 10,2%, sarana kenelayanan dengan persentase 7,9%, ketersediaan air
bersih dengan persentase 7,7% dan rawan abrasi dengan persentase 6,3%. Untuk
kriteria jenis tanah dan aksesibilitas yaitu 4% dan 2,9%. Hal ini menunjukkan
bahwa kriteria yang paling berpengaruh dalam kesesuaian lahan permukiman
pesisir yaitu kemiringan lereng dan yang tidak berpengaruh yaitu aksesibilitas. Dari
hasil olahan software expert choice yang telah dilakukan dapat dilihat jika nilai
inkonsistensi sebesar 0,08 sehingga dapat disimpulkan responden konsisten dalam
menjawab kuesioner.

Gambar 24. Nilai Responden Akademisi 1


Sumber: Hasil Analisis, 2018

80
e. Responden dari Akademisi 2
Responden yang terakhir merupakan akademisi dibidang Perencanaan Wilayah
dan Kota. Hasil matriks dari kuesioner kesesuian lahan permukiman pesisir dari 9
kriteria perbandingan menunjukkan bahwa kriteria yang paling berpengaruh yaitu
ketersediaan air bersih dengan persentase 21,8%, kemiringan lereng dengan
persentase 20,1%, sarana kenelayanan dengan persentase 15,4%, sempadan pantai
dengan persentase 12,8%, aksesibilitas dengan persentase 9,4%, rawan abrasi
dengan persentasi 9% selanjutnya penggunaan lahan dengan persentase 5,1%.
Untuk kriteria sempadan sungai serta jenis tanah yaitu 3,6% dan 2,9%. Hal ini
menunjukkan bahwa kriteria yang paling berpengaruh dalam kesesuaian lahan
permukiman pesisir yaitu ketersediaan air bersih dan yang tidak berpengaruh yaitu
jenis tanah. Dari hasil olahan software expert choice yang telah dilakukan dapat
dilihat jika nilai inkonsistensi sebesar 0,09 sehingga dapat disimpulkan responden
konsisten dalam menjawab kuesioner.

Gambar 25. Nilai Responden Akademisi 2


Sumber: Hasil Analisis, 2018

f. Kombinasi Responden
Berdasarkan hasil dari matriks perbandingan kriteria kesesuaian lahan
permukiman pesisir dari gabungan lima responden menunjukkan bahwa dari 9
kriteria yang paling berpengaruh adalah ketersediaan air bersih dengan persentase
21,5%, kemiringan lereng dengan persentase 19%, sarana kenelayanan dengan
persentase 14,1%, sempadan pantai dengan persentase 13,3%, penggunaan lahan
dengan persentase 9,2%, rawan abrasi dengan persentase 8,4%, aksesibilitas
dengan persentase 5,9%, sempadan sungai dengan persentase 4,6% dan yang
terakhir jenis tanah dengan persentase 4%.
81
Gambar 26. Nilai Hasil Gabungan Responden
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Dari hasil olahan menggunakan software expert choice dapat dilihat jika nilai
inconsistency sebesar 0,02 sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil perhitungan
gabungan semua responden konsisten dalam menjawab kuesioner.
Berdasarkan hasil gabungan responden maka diperoleh bobot dari setiap
parameter kesesuaian lahan permukiman pesisir yang digunakan untuk analisis
selanjutnya.
Tabel 21. Bobot Parameter Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
No Parameter Bobot (%)
1 Ketersediaan Air Bersih 21,5
2 Kemiringan Lereng 19
3 Sarana Kenelayanan 14,1
4 Sempadan Pantai 13,3
5 Ketersediaan Lahan 9,2
6 Rawan Abrasi 8,4
7 Aksesibilitas 5,9
8 Sempadan Sungai 4,6
9 Jenis Tanah 4
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Setelah memberikan bobot terhadap masing-masing parameter, selanjutnya


akan dimasukkan ke software Arcgis 10.1 dan kemudian melakukan analisis spasial
yaitu dengan menggunakan metode overlay peta.

82
3. Analisis Spasial Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
Analisis kesesuaian lahan permukiman pesisir menggunakan analisis spasial
yaitu overlay peta dan menggabungkan semua kriteria yang berpengaruh terhadap
kesesuaian kawasan permukiman di wilayah pesisir berdasarkan hasil kuesioner
AHP yang telah dilakukan peneliti.
a. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng dan garis kontur merupakan kondisi fisik topografi suatu
wilayah yang sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan dan banyak
mempengaruhi penataan lingkungan alami. Untuk kawasan terbangun, kondisi
topografi berpengaruh terhadap terjadinya longsor dan terhadap konstruksi
bangunan. Kemiringan lereng sangat berpengaruh dalam kestabilan lahan, pada
lereng yang curam sering terjadi longsor dan rawan terhadap erosi. Jika lahan
mempunyai karakteristik demikian maka akan berbahaya bagi lokasi permukiman.
Kemiringan lereng yang sangat sesuai untuk kawasan permukiman yaitu 0-8%
dengan kategori datar. Berikut adalah penilaian kisaran lereng dengan tingkat
kesesuaian bagi kawasan permukiman.
Tabel 22. Penilaian Kriteria Kemiringan Lereng Kecamatan Galesong Utara
Kisaran Kategori Nilai Kelas Bobot Skor
Lereng (%) (Bobot x
Nilai)
0 – 8% Datar 5 Sangat 19 0,95
sesuai
8 – 15% Landai 3 Cukup 19 0,57
Sesuai
>15% Sangat 1 Tidak 19 0,19
curam sesuai
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan tabel 22 dari hasil analisis AHP bahwa parameter kemiringan
lereng memiliki bobot 19% dan hasil nilai perkalian dengan bobot tertinggi dengan
nilai 0,95 dan nilai terendah dengan nilai 0,19. Kemiringan lereng yang terdapat
pada lokasi penelitian hanya terdiri dari satu jenis kemiringan lereng berdasarkan
data shapefile RTRW Kabupaten Takalar tahun 2010-2030.

83
Gambar 27. Peta Kemiringan Lereng di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

84
b. Jenis Tanah
Salah satu keuntungan mengetahui jenis tanah adalah untuk memudahkan
mengetahui jenis penggunaan lahan mana yang cocok untuk kawasan tersebut.
Jenis tanah yang terdapat pada lokasi penelitian hanya terdiri dari satu jenis tanah
saja berdasarkan data shapefile RTRW Kabupaten Takalar tahun 2010-2030 yaitu
inceptisol. Jenis tanah iceptisol termasuk kedalam jenis tanah andosol, gleihumus
dan alluvial yang banyak terdapat pada dataran pantai atau aliran sungai. Jenis tanah
iceptisol menyebar mulai di lingkungan iklim kering sampai lembab. Berikut
adalah penilaian jenis tanah dengan tingkat kesesuaian bagi kawasan permukiman
berdasarkan data RTRW Kabupaten Takalar tahun 2010-2030.

Tabel 23. Penilaian Kriteria Tekstur Tanah Kecamatan Galesong Utara


Jenis Nilai Kelas Bobot Skor
Tanah (%) (Bobot x
Nilai)
Iceptisol 5 Sangat 4 0,2
sesuai
Ultisol 3 Cukup 4 0,12
Sesuai
Regosol 1 Tidak 4 0,04
sesuai
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan tabel 23 dari hasil analisis AHP bahwa parameter jenis tanah
memiliki bobot 4% dan hasil nilai perkalian dengan bobot tertinggi dengan nilai 0,2
dan nilai terendah dengan nilai 0,04.

85
Gambar 28. Peta Jenis Tanah di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

86
c. Ketersediaan Air Bersih
Ketersediaan air bersih merupakan kebutuhan utama dalam pemilihan lokasi
permukiman karena air digunakan untuk menunjang segala kegiatan manusia
seperti keperluan rumah tangga, pariwisata, tempat ibadah, tempat komersil atau
tempat umum lainnya serta kebutuhan air untuk irigasi baik pertanian maupun
perikanan. Terdapat beberapa sumber air bersih yaitu sumur gali, sumur bor dan
PDAM Kabupaten Takalar.
Tabel 24. Luas yang terlayani Air Bersih PDAM di Lokasi Penelitian
No. Jarak pipa utama terhadap Luas yang terlayani (ha)
permukiman
1 <100 m 294
2 100 – 500 m 745
3 >500 m 503
Jumlah 1542
Sumber: Hasil Survei, 2018
Penentuan kriteria analisis ketersediaan air bersih pada lokasi penelitian yaitu
berdasarkan jarak perpipaan air PDAM terhadap permukiman. Pada Kecamatan
Galesong Utara dalam hal pengadaan air bersih dipenuhi melalui dua cara yaitu
PDAM dan nonPAM. PDAM memberikan pelayanan air besih kepada masyarakat
yang berada pada pesisir pantai karena air yang berada pada wilayah pesisir sudah
tercemar dengan air laut (payau). Bagi masyarakat yang belum teraliri jaringan air
PDAM, memperoleh air bersih dengan memanfaatkan sumur bor atau membuat
sambungan pipa PDAM yang mencakup lahan radius pelayanan PDAM.
Tabel 25. Klasifikasi Jaringan Pipa Air Bersih PDAM
Kriteria Jarak pipa Nilai Kelas Bobot Skor
utama terhadap (%) (Bobot x
permukiman Nilai)
Sangat memadai <100 m 5 Sangat 21,5 1,07
sesuai
Memadai 100 – 500 m 3 Cukup 21,5 0,64
Sesuai
Tidak memadai >500 m 1 Tidak sesuai 21,5 0,215
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Analisis air bersih ini dilakukan dengan analisis tool berupa buffering peta
jaringan pipa air bersih PDAM sesuai kelas dan kriteria yang telah ditentukan
seperti pada tabel 25. Berdasarkan tabel 25 hasil analisis AHP bahwa zona

87
pelayanan PDAM memiliki bobot 21,5% dan hasil nilai perkalian dengan bobot
tertinggi dengan nilai 1,07 dan nilai terrendah dengan nilai 0,215.

Gambar 29. Peta Zona Pelayanan PDAM di Lokasi Penelitian


Sumber: Hasil Analisis, 2018

88
d. Aksesibilitas
Jaringan jalan sangat penting untuk permukiman dalam rangka kemudahan
pergerakan dan tingkat pencapaian manusia. Aksesibilitas menjadi salah satu
pertimbangan dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, kemudahan suatu kawasan
untuk mencapai tempat kerja, berbelanja, fasilitas pelayanan jasa, pendidikan dan
kesehatan merupakan faktor penarik bagi perkembangan kawasan tersebut.
Analisis aksesibilitas berupa jalan yang menghubungkan wilayah permukiman
yang ada yang terkait dengan pencapaian dari dan ke kawasan permukiman dengan
jaringan jalan utama. Jaringan jalan arteri dan kolektor dijadikan sebagai dasar
analisis karena memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Namun, dikarenakan
tidak adanya jalan arteri yang melintasi lokasi penelitian, maka jaringan jalan yang
digunakan hanya jaringan jalan kolektor saja.
Tabel 26. Luas lahan dari jalan kolektor terhadap permukiman di Lokasi Penelitian
No. Jarak jalan utama terhadap Luas lahan (ha)
permukiman
1 <500 m 856
2 500 – 1000 m 396
3 >1000 m 290
Jumlah 1542
Sumber: Hasil Survei, 2018
Penelitian ini mengklasifikasikan jarak lahan dari jalan kolektor menjadi tiga
kelas dapat dilihat pada tabel 27. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lahan
permukiman yang mempunyai jarak semakin dekat dengan jalan utama akan
memiliki nilai tambah daripada lahan permukiman yang mempunyai jarak yang
jauh dari jalan utama.
Tabel 27. Klasifikasi Jaringan Jalan Kolektor di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Jarak jalan Nilai Kelas Bobot Skor
utama terhadap (%) (Bobot x
permukiman Nilai)
Sangat dekat <500 m 5 Sangat 5,9 0,29
sesuai
Dekat 500 – 1000 m 3 Cukup 5,9 0,17
sesuai
Jauh >1000 m 1 Tidak sesuai 5,9 0,059
Sumber: Hasil Analisis, 2018

89
Berdasarkan tabel 27 dari hasil analisis AHP bahwa klasifikasi jaringan jalan
kolektor terhadap lahan memiliki bobot 5,9% dan hasil nilai perkalian dengan bobot
tertinggi dengan nilai 0,29 dan nilai terendah dengan nilai 0,059.

Gambar 30. Peta Buffer Jalan Utama di Lokasi Penelitian


Sumber: Hasil Analisis, 2018

90
e. Rawan Abrasi
Pada parameter kerawanan bencana hanya dibatasi yaitu abrasi pantai saja
dengan pertimbangan abrasi pantai sering terjadi pada lokasi penelitian setiap
tahunnya. Abrasi pantai merupakan kerusakan yang terjadi pada garis pantai akibat
pasang surut, gelombang laut serta arus laut. Kegiatan atau aktifitas manusia seperti
penambangan pasir dan reklamasi pantai juga dapat memicu terjadinya abrasi
pantai.
Tabel 28. Jumlah rumah yang terkena dampak abrasi pantai
No. Desa Radius (m) Rumah yang terkena
abrasi
1 Aeng Batu-batu 20 25
2 Tamalate 25 35
3 Tamasaju 20 25
4 Bontosunggu 20 25
Jumlah 110
Sumber: Hasil Survei, 2018
Pada lokasi penelitian desa yang memiliki tingkat rawan abrasi pantai yaitu desa
yang yang berada dipesisir pantai seperti Desa Aeng Batu-batu, Desa Tamalate,
Desa Tamasaju dan Desa Bontosunggu. Dari tabel diatas dapat dilihat Desa
Tamalate merupakan desa yang memiliki dampak paling besar terhadap abrasi
pantai di lokasi penelitian.
Tabel 29. Klasifikasi Rawan Abrasi di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Radius Nilai Kelas Bobot Skor
(m) (%) (Bobot x
Nilai)
Tidak rawan >100 5 Sangat 8,4 0,42
sesuai
Rawan 50 – 100 3 Cukup 8,4 0,25
sesuai
Sangat rawan <50 1 Tidak 8,4 0,084
sesuai
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Pertimbangan dalam penentuan nilai yaitu kawasan peruntukan permukiman
tidak berada pada daerah rawan bencana yang tertuang dalam permen PU No 41
tahun 2007. Selanjutnya analisis pada tahap ini menetapkan bahwa kawasan
permukiman harus berada diluar daerah rawan bencana, terutama bahaya tanah
longsor, gelombang pasang dan abrasi (PP No. 26 Tahun 2008).

91
Gambar 31. Peta Rawan Bencana Abrasi di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

92
f. Sarana Kenelayanan
Keberadaan sarana nelayan sangat penting untuk menunjang kegiatan perikanan
masyarakat pesisir. Pada lokasi penelitian sarana nelayan letaknya menyebar pada
tiap desa yaitu:
1) Desa Tamalate terdapat TPI Soreang dan dermaga soreang
2) Desa Tamasaju terdapat PPI Beba’ dan dermaga Beba’
3) Kelurahan Bontolebang dan Desa Bontosunggu terdapat pabrik es balok
4) Desa Aeng Batu-batu terdapat SPBN Pantai Batu-batu
Kriteria yang digunakan dalam radius pencapaian sarana nelayan terhadap
permukiman yaitu 400 meter jarak ideal jangkauan pejalan kaki berdasarkan SNI
03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan dan
permukiman.
Tabel 30. Luas keterjangkauan sarana kenelayanan di Kecamatan Galesong Utara
No. Radius (m) Luas yang terjangkau (ha)
1 <400 214
2 400 – 800 447
3 >800 881
Jumlah 1542
Sumber: Hasil Survei, 2018
Adapun kategori sangat terjangkau pada lokasi penelitian seluas 214 ha,
kategori cukup terjangkau dengan radius 400-800 m seluas 447 ha dan tidak
terjangkau dengan radius >800 m seluas 881 ha.
Tabel 31. Klasifikasi Sarana Kenelayanan di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Nilai Kelas Bobot Skor (Bobot x
(%) Nilai)
Sangat terjangkau 5 Sangat sesuai 14,1 0,70
Cukup terjangkau 3 Cukup sesuai 14,1 0,42
Tidak terjangkau 1 Tidak sesuai 14,1 0,141
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Dari hasil buffering menunjukkan kawasan permukiman yang terjangkau
dengan sarana kenelayanan yaitu hampir di seluruh desa yang berada dipesisir
pantai Kecamatan Galesong Utara seperti Desa Aeng batu-batu, Desa Tamalate,
Desa Tamasaju, dan Desa Bontosunggu. Sedangkan kawasan yang tidak terjangkau
berada jauh dari pesisir pantai yaitu Desa Pakabba, Desa Bontolanra, dan Desa
Bontolebang.

93
Gambar 32. Peta Radius Sarana Nelayan di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

94
g. Sempadan Pantai
Sempadan pantai merupakan kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai.
Perlindungan terhadap sempadan pantai ini dilakukan untuk melindungi wilayah
pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Garis sempadan
pantai tersebut membatasi lahan yang boleh dikembangkan untuk keperluan
bangunan seperti permukiman. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga ekosistem
pantai agar tidak terganggu aktivitas harian manusia, dan juga menjaga manusia
dari bahaya akibat kejadian alam di pinggir laut.
Tabel 32. Jumlah rumah yang melewati sempadan pantai di Lokasi Penelitian
No. Desa Rumah
1 Aeng Batu-batu 512
2 Tamalate 436
3 Tamasaju 283
4 Bontosunggu 231
Jumlah 1462
Sumber: Hasil Survei, 2018
Pada lokasi penelitian hanya sebagian desa yang mempertimbangkan sempadan
pantai untuk aktifitas sehari-hari. Dapat dilihat pada tabel 31 terdapat beberapa
permukiman yang melewati sempadan pantai sehingga mengubah garis pantai yang
ada.
Tabel 33. Klasifikasi Sempadan Pantai di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Nilai Kelas Bobot Skor (Bobot x
(%) Nilai)
>100 m 5 Sangat 13,3 0,66
sesuai
100 m 3 Cukup 13,3 0,39
sesuai
<100 m 1 Tidak sesuai 13,3 0,133
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Berdasarkan tabel 33 dari hasil analisis AHP bahwa klasifikasi sempadan
pantai memiliki bobot 13,3% dan hasil nilai perkalian dengan bobot tertinggi
dengan nilai 0,66 dan nilai terrendah dengan nilai 0,133.

95
Gambar 33. Peta Sempadan Pantai di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

96
h. Sempadan Sungai
Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan terhadap sempadan
sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat
mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai
serta mengamankan aliran sungai.
Tabel 34. Jumlah rumah yang melewati sempadan sungai di Lokasi Penelitian
No. Desa Rumah
1 Aeng Batu-batu 23
2 Aeng Towa 67
3 Tamasaju 13
Jumlah 103
Sumber: Hasil Survei, 2018
Pada lokasi penelitian hanya beberapa desa yang berada pada sekitar sungai
yaitu Desa Aeng Batu-batu, Desa Aeng Towa dan Desa Tamasaju. Dari beberapa
desa tersebut terdapat permukiman yang melewati sempadan sungai sehingga
mengubah garis sempadan sungai.
Tabel 35. Klasifikasi Sempadan Sungai di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Nilai Kelas Bobot Skor (Bobot x
(%) Nilai)
>50 m 5 Sangat 4,6 0,23
sesuai
50 m 3 Cukup 4,6 0,13
sesuai
<50 m 1 Tidak sesuai 4,6 0,046
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Berdasarkan tabel 35 dari hasil analisis AHP bahwa klasifikasi sempadan


sungai memiliki bobot 4,6% dan hasil nilai perkalian dengan bobot tertinggi dengan
nilai 0,23 dan nilai terrendah dengan nilai 0,046.

97
Gambar 34. Peta Sempadan Sungai di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018

98
i. Ketersediaan Lahan
Ketersediaan lahan menjadi hal penting untuk penentuan pengembangan
kawasan permukiman yang sesuai. Lahan yang menjadi prioritas adalah lahan yang
tersedia untuk dikembangkan, lahan yang tersedia didasarkan pada penggunaan
lahan di lokasi eksisting yaitu: kawasan tersebut belum terbangun untuk kawasan
permukiman dan kawasan permukiman pada pola ruang. Berdasarkan pola ruang
Kabupaten Takalar di Kecamatan Galesong Utara sekitar 88% merupakan kawasan
budidaya dan sekitar 12% merupakan kawasan lindung. RTRW Kabupaten Takalar
2010-2030 menunjukkan di Kecamatan Galesong Utara kawasan budidaya
sebagian besar diperuntukkan untuk kawasan permukiman sebesar 293 ha dan lahan
sawah sebesar 931 ha. Penggunaan lahan yang lebih kecil yaitu tambak dengan luas
lahan 6 ha.
Tabel 36. Penggunaan Lahan di Kecamatan Galesong Utara
No. Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Tambak 6
2 Semak belukar 54
3 Sawah 931
4 Tegalan/ladang 129
5 Permukiman 293
6 Lahan kosong 7
7 Sempadan pantai 122
Jumlah 1542
Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030
Peta penggunaan lahan digunakan untuk menentukan ketersediaan lahan untuk
kawasan permukiman. Lahan terbangun pada penggunaan lahan dikawasan
penelitian Kecamatan Galesong Utara merupakan kategori lahan tidak tersedia.
Tabel 37. Klasifikasi Penggunaan Lahan Pesisir di Kecamatan Galesong Utara
Kriteria Nilai Kelas Bobot Skor (Bobot x
(%) Nilai)
Lahan kosong/ lahan 5 Sangat 9,2 0,46
terbuka dan belukar sesuai
Tambak, tegalan, dan 3 Cukup 9,2 0,27
sawah sesuai
Sempadan pantai/ 1 Tidak sesuai 9,2 0,092
kawasan lindung
Sumber: Hasil Analisis, 2018

99
Berdasarkan tabel 37 dari hasil analisis AHP bahwa klasifikasi ketersediaan
lahan memiliki bobot 9,2% dan hasil nilai perkalian dengan bobot tertinggi dengan
nilai 0,46 dan nilai terrendah dengan nilai 0,092.

Gambar 35. Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian


Sumber: RTRW Kabupaten Takalar 2010-2030
100
j. Kesimpulan
Indikator-indikator yang digunakan dalam analisis kesesuaian lahan
permukiman pesisir yaitu ketersediaan air bersih, kemiringan lereng, sarana
kenelayanan, sempadan pantai, penggunaan lahan, rawan abrasi, aksesibilitas,
sempadan sungai dan jenis tanah. Sebelumnya diberikan nilai dan bobot dari hasil
analisis AHP lalu dikalikan sehingga akan didapatkan kisaran skor yang
menentukan kelas kesesuain lahan permukiman pesisir. Untuk skor maksimum dan
minimum kesesuaian lahan permukiman pesisir dapat dilihat pada tabel 38.
Tabel 38. Skor Min. dan Skor Maks. Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
Indikator Bobot Nilai Skor Min Nilai Skor Maks
(%) Min. (Bobot x Nilai Maks. (Bobot x Nilai
Min.) Maks.)
Ketersediaan Air 21,5 1 0,215 5 1,075
Bersih
Kemiringan Lereng 19 1 0,19 5 0,95
Sarana 14,1 1 0,141 5 0,705
Kenelayanan
Sempadan Pantai 13,3 1 0,133 5 0,665
Penggunaan Lahan 9,2 1 0,092 5 0,46
Rawan Abrasi 8,4 1 0,084 5 0,42
Aksesibilitas 5,9 1 0,059 5 0,295
Sempadan Sungai 4,6 1 0,046 5 0,23
Jenis Tanah 4 1 0,04 5 0,2
Jumlah 1 5
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Setelah mendapatkan skor minimal dan skor maksimal selanjutnya mencari


interval kelas kesesuaian lahan permukiman pesisir dengan menggunakan metode
aritmatika. Dengan rumus sebagai berikut:

IK = Range/K
IK = 5-1/3
IK = 1,333333

101
Keterangan:
IK = Interval Kelas
Range = Skor maksimum – skor minimum
K = Banyaknya kelas yang diinginkan
Dari perhitungan diatas maka diperoleh interval kelas kesesuaian lahan
permukiman yaitu 1,333333 dan klasifikasi kesesuaian lahan permukiman terbagi
tiga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 39 kelas kesesuaian lahan
permukiman pesisir.
Tabel 39. Kelas Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir
No Klasifikasi Interval Kelas
1 Sesuai 3,67 – 5
2 Cukup sesuai 2,33 – 3,66
3 Tidak sesuai 1 – 2,32
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Penggabungan indikator dilakukan dengan menggunakan aplikasi Arcgis
dengan analisis overlay untuk memperoleh hasil dari kesesuaian lahan. Penentuan
kesesuaian lahan berdasarkan nilai dan bobot dari seluruh indikator yang telah
ditentukan peneliti. Setelah itu dilakukan penjumlahan semua skor indikator.
Dari hasil analisis diketahui luas untuk kategori sangat sesuai adalah 110 ha
kategori cukup sesuai adalah 939 ha, sedangkan luas untuk kategori tidak sesuai
adalah 493 ha dari luas keseluruhan yang ada di Kecamatan Galesong Utara.
Berikut ini adalah hasil ketersediaan peruntukan lahan kawasan permukiman baru
berdasarkan hasil dari analisis superimpose (overlay) kesembilan faktor diatas
dapat diihat pada tabel berikut:
Tabel 40. Ketersediaan Lahan Kawasan Permukiman Pesisir
No Kelas Kesesuaian Luas (ha) Persentase (%)
1 Sesuai 110 7
2 Cukup sesuai 939 61
3 Tidak sesuai 493 32
Jumlah 1542 100
Sumber: Hasil Analisis, 2018

102
Gambar 36. Peta Grid Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir di Lokasi Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2018
103
Dari hasil analisis maka dihasilkan 3 kelas kesesuaian lahan permukiman di
Kecamatan Galesong Utara yaitu sangat sesuai, cukup sesuai, dan tidak sesuai.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 41 dan gambar 36.

Tabel 41. Kesesuaian Lahan Permukiman Pesisir di Kecamatan Galesong Utara


Luas Klasifikasi Kesesuaian (ha)
No Desa Wilayah Sangat Cukup Tidak sesuai
(km²) sesuai sesuai
1 Bontosunggu 0,77 20 120 58
2 Tamasaju 1,13 18 189 106
3 Bontolebang 3,80 17 189 115
4 Tamalate 0,70 31 89 45
5 Aeng Batu-Batu 2,17 24 88 56
6 Aeng Towa 1,01 - 51 28
7 Pakabba 1,01 - 73 25
8 Bontolanra 3,32 - 140 60
Jumlah 13,91 110 939 493
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Hasil penggabungan peta indikator kesesuaian lahan permukiman pesisir


menghasilkan kelas seperti pada tabel diatas. Terdapat dua desa yang memiliki
kelas sesuai untuk lahan permukiman paling besar, yaitu Desa Tamalate dan Desa
Aeng Batu-batu, untuk kelas cukup sesuai untuk lahan permukiman paling besar
yaitu Desa Bontolebang dan Desa Bontosunggu selanjutnya untuk kelas tidak
sesuai paling besar berada pada Desa Bontolebang dan Desa Tamasaju. Berikut
penjelasan mengenai kelas kesesuaian lahan permukiman pesisir.
a) Kawasan permukiman dengan klasifikasi sesuai
Dari hasil overlay peta didapatkan kawasan permukiman pesisir dengan
klasifikasi kelas sangat sesuai memiliki luas sebesar 110 Ha dimana lahan ini sangat
cocok dikembangkan sebagai lokasi permukiman dengan memiliki skor yang tinggi
untuk semua parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan
permukiman pesisir. Desa yang termasuk dalam klasifikasi kelas ini yaitu Desa
Bontosunggu, Desa Tamasaju, Desa Aeng Batu-batu, Desa Bontolebang dan Desa
Tamalate.

104
b) Kawasan permukiman dengan klasifikasi cukup sesuai
Dari hasil overlay peta didapatkan kawasan permukiman pesisir dengan
klasifikasi kelas cukup sesuai memiliki luas sebesar 939 Ha dimana lahan ini cukup
berat dan belum bisa diatasi pada masa sekarang sehingga mempengaruhi jenis
penggunaan lahan tertentu dengan konsekuensi perlu biaya tambahan untuk
menanggulangi kendala tersebut. Desa dengan klasifikasi cukup sesuai yaitu Desa
Bontolebang dan Desa Tamasaju 189 Ha disusul Desa Bontolanra 140 Ha
sedangkan kesesuaian lahan paling kecil yaitu Desa Aeng Towa 51 Ha.
c) Kawasan permukiman dengan klasifikasi tidak sesuai
Kawasan yang tidak sesuai untuk lahan permukiman pesisir sebesar 493 Ha,
lahan yang tidak sesuai ini merupakan lahan dengan kondisi fisik memiliki tingkat
yang tidak sesuai secara permanen untuk dikembangkan menjadi kawasan
permukiman, meskipun dengan sentuhan teknologi tetap harus dijadikan sebagai
kawasan lindung. Sebagian besar lahan dengan klasifikasi tidak sesuai ini
merupakan kawasan lindung seperti sempadan pantai, sempadan sungai, sawah
irigasi dan kawasan rawan abrasi pantai.

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Permukiman di Wilayah Pesisir


Berdasarkan Tingkat Kesesuaian Lahan Kecamatan Galesong Utara
Prinsip-prinsip pengembangan permukiman di wilayah pesisir diukur
berdasarkan hasil dari kesesuaian lahan Kecamatan Galesong Utara yaitu:
1. Ketersediaan Air Bersih
a) Pembuatan sumur infiltrasi disepanjang pantai untuk memperbaiki kualitas
air tanah yang telah terkena intrusi air asin.
b) Sumber air bersih yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang
cukup, untuk air PDAM suplai air 60-100 liter/orang/hari.
c) Prasana air bersih harus memenuhi syarat. Kualitas sebagai air bersih dan
minum baik secara fisik, kimia dan biologis yaitu tidak berasa, tidak berbau,
tidak mengandung zat-zat kimia dalam jumlah berlebih serta tidak
mengandung bakteri yang dapat membahayakan kesehatan.
2. Aksesibilitas
a) Kawasan peruntukkan permukiman terjangkau oleh transportasi umum.

105
b) Prasarana jalan harus sesuai dengan SNI yang berlaku.
3. Rawan Abrasi
a) Melakukan pembuatan tanggul pemecah ombak.
b) Harus memperhatikan garis sempadan pantai yang sesuai yaitu >100 meter
dari titik pasang tertinggi kearah darat.
4. Sarana Kenelayanan
a) Pembangunan sarana nelayan tidak mengganggu fungsi garis sempadan
pantai dan sesuai dengan perda yang ditetapkan.
b) Keberadaan sarana nelayanan harus saling menunjang satu sama lain.
5. Sempadan Pantai
a) Penegasan terhadap undang-undang terkait garis sempadan pantai yaitu
minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi kearah darat.
b) Sosialisasi terhadap masyarakat mengenai undang-undang terkait garis
sempadan pantai.
6. Sempadan Sungai
a) Penetapan lebar atau wilayah sempadan sungai sebagai peyangga
kelestarian fungsi sungai yaitu >50 meter.
b) Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu garis sempadan sungai.
7. Ketersediaan Lahan
a) Ketersediaan lahan yang digunakan tidak mengganggu kawasan lindung
yang ada.
b) Penetapan lokasi kawasan nelayan berdasarkan kriteria kelayakan teknis
yaitu, berdekatan dengan budidaya ikan maupun industri perikanan atau
kegiatan usaha kelautan lainnya.
c) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan
yang sehat dan aman dari bencana alam.

106
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan yaitu :
1. Kesesuaian lahan permukiman di wilayah pesisir Kecamatan Galesong Utara
berdasarkan parameter yang digunakan yaitu sempadan pantai, rawan abrasi,
sarana kenelayanan, ketersediaan air bersih, aksesibilitas, sempadan sungai,
kemiringan lereng, jenis tanah dan ketersediaan lahan menggunakan metode
AHP dan overlay peta menghasilkan tiga kelas kesesuaian lahan permukiman
di wilayah pesisir yaitu klasifikasi sangat sesuai adalah 110 hektar, cukup sesuai
939 hektar, dan tidak sesuai 493 hektar.
2. Prinsip-prinsip pengembangan permukiman di wilayah pesisir berdasarkan
tingkat kesesuaian lahan Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar yaitu:
1) Ketersediaan Air Bersih
a. Pembuatan sumur infiltrasi disepanjang pantai untuk memperbaiki
kualitas air tanah yang telah terkena intrusi air asin.
b. Sumber air bersih yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang
cukup, untuk air PDAM suplai air 60-100 liter/orang/hari.
c. Prasana air bersih harus memenuhi syarat. Kualitas sebagai air bersih
dan minum baik secara fisik, kimia dan biologis yaitu tidak berasa, tidak
berbau, tidak mengandung zat-zat kimia dalam jumlah berlebih serta
tidak mengandung bakteri yang dapat membahayakan kesehatan.
2) Aksesibilitas
a. Kawasan peruntukkan permukiman terjangkau oleh transportasi umum.
b. Prasarana jalan harus sesuai dengan SNI yang berlaku.
3) Rawan Abrasi
a. Melakukan pembuatan tanggul pemecah ombak.
b. Harus memperhatikan garis sempadan pantai yang sesuai yaitu >100
meter dari titik pasang tertinggi kearah darat.

107
4) Sarana Kenelayanan
a. Pembangunan sarana nelayan tidak mengganggu fungsi garis sempadan
pantai dan sesuai dengan perda yang ditetapkan.
b. Keberadaan sarana nelayanan harus saling menunjang satu sama lain.
5) Sempadan Pantai
a. Penegasan terhadap undang-undang terkait garis sempadan pantai yaitu
minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi kearah darat.
b. Sosialisasi terhadap masyarakat mengenai undang-undang terkait garis
sempadan pantai.
6) Sempadan Sungai
a. Penetapan lebar atau wilayah sempadan sungai sebagai peyangga
kelestarian fungsi sungai yaitu >50 meter.
b. Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu garis sempadan sungai.
7) Ketersediaan Lahan
a. Ketersediaan lahan yang digunakan tidak mengganggu kawasan lindung
yang ada.
b. Penetapan lokasi kawasan nelayan berdasarkan kriteria kelayakan teknis
yaitu, berdekatan dengan budidaya ikan maupun industri perikanan atau
kegiatan usaha kelautan lainnya.
c. Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan
yang sehat dan aman dari bencana alam.

B. Saran
1. Arahan permukiman di Kecamatan Galesong Utara sebaiknya tidak berada pada
kawasan lindung dalam ini sempadan pantai maupun sempadan sungai.
2. Dibutuhkan kebijakan atau peraturan terkait pemanfaatan ruang pada kawasan
lindung maupun budidaya yang tegas untuk mengurangi dampak pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan kesesuaian lahannya.
3. Penelitian ini hanya menggunakan parameter-parameter yang masih terbatas
sehingga perlu ditambahkan parameter-parameter lainnya yang lebih detail dan
metode yang lebih kompleks.

108
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Iqsan. 2016. Kesesuaian Lahan Permukiman di Wilayah Sub Urban Kota
Kendari. Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar.
Baja, Sumbangan. 2012. Buku Perencanaan Tata Guna Lahan Dalam
Pengembangan Wilayah – Pendekatan Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta.
Budiharto, E. 2009. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Ekadinata, Dkk 2008. Sistem Informasi GIS Untuk Pengelolaan Bentang Lahan
Berbasis Sumber Daya Alam. Bogor.
Fauzi, Yulian. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu
Melalui Perancangan Model Spasial dan SIG. Universitas Bengkulu.
Ferli, Fajri. Dkk. 2012. Studi Abrasi Pantai Padang Kota Padang Provinsi Sumatera
Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
Fitroh, Purwi. Dkk. 2015. Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Berbasis Sistem
Informasi Geografis. Prodi Teknik Geodesi. Universitas Diponegoro.
Hilmansyah, Hilmi. 2015. Kajian Perkembangan dan Kesesuaian Lahan
Permukiman Eksisting di Kecamatan Indramayu. Jurusan Perencanaan
Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro.
Kadarsyah, Suryadi dan Ramdhani, M Ali. 1998. Sistem Pendukung Keputusan:
Suatu Wacana Struktural Idealiasasi dan Implementasi Konsep Pengambilan
Keputusan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Khadiyanto, Parfi. 2005. Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Muta’ali, Luthfi. 2013. Penataan Ruang Wilayah dan Kota. Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prahasta, 2009. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi dan Geomatika). Bandung.
Profil Desa Tamalate Kecamatan Galesong Utara Tahun 2015.
Risdayanti, Andi. 2017. Kesesuaian Lahan Konservasi, Tambak dan Permukiman
di Kabupaten Jeneponto. Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar.
Roziqin, Arif. 2015. Pemodelan SIG Untuk Kesesuaian Lahan Permukiman
Wilayah Pesisir Nongsa di Pulau Batam. Teknik Geomatika. Politeknik
Batam.
Kabupaten Takalar Dalam Angka tahun 2017.
Kecamatan Galesong Utara Dalam Angka tahun 2017.
Kodeartie, Robert dan Roestam Syarief. 2010. Buku Tata Ruang Air. Penerbit Andi.

xvii
Saaty, Thomas. 1993. Analitik Pengambilan Keputuan Bagi Para Pemimpin, Proses
Hirarki Untuk Pengambilan Keputusan Seri Manajemen No.134. Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Sukamadinata. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Graha Aksara.
Bandung
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir
dan Laut Tropis.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Penerbit CV
Alfabeta. Bandung.
Taridala, Sabrillah. 2017. Model Penentuan Lokasi Potensial Prasarana Mitigasi
Bencana Kebakaran Perkotaan Sebagai Salah Satu Dasar Penataan Ruang
Wilayah Kota Pantai Di Kota Kendari. Makassar, Disertasi, Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin.
Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane Provinsi Banten.
Taufiqurrahman, 2015. Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di Pesisir Kota
Pekalongan. Semarang, Tesis Universitas Diponegoro Semarang.
Tato, Syahriar. 2013. Analisis Ketersediaan Sarana Permukiman di Kawasan
Tanjung Bunga.
Eka, Windi dkk. 2015. Penentuan Kesesuaian Lahan Permukiman di Kabupaten
Jember Dengan Menggunakan Metode AHP. Prodi Sistem Infomasi.
Universitas Jember.
Yulian, Dkk. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu
Melalui Perancangan Model Spasial Dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Bengkulu, Jurnal Fakultas MIPA Universitas Bengkulu.
Yunus, H. Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Peraturan yang terkait :
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.20/KPTS/1986 Tentang Pedoman Teknik
Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
Permen Pekerjaan Umum No.41 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan
Budidaya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
15/PERMEN/M/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pengembangan Kawasan Nelayan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

xviii
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia nomor
32/PERMEN/M/2006 Pasal 72 Tentang Pembangunan Drainase. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
416/Menkes/PER/IX/1990 Tentang Air Bersih. Badan Standarisasi Nasional,
Jakarta.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Takalar Tahun 2010-2030.
SK. Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan
Hutan Lindung.
SNI 03-1733-2004 Tentang Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di
Perkotaan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

xix

Anda mungkin juga menyukai