BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Menurut American Heart Association (AHA), stroke merupakan penyakit
yang berhubungan dengan arteri yang menuju ke dan di dalam otak dan terjadi
bila pembuluh darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak diblokir oleh
emboli atau clots dan dapat menyebabkan kematian sel. Stroke adalah sindrom
yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi system saraf pusat fokal
(atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit), gejala ini
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).
Stroke merupakan sindrom defisit neurologik fokal pada sistem saraf pusat (SSP)
yang terjadi secara akut, berlangsung lebih dari 24 jam akibat dari gangguan
sirkulasi serebral (Aminoff et al, 2009). Stroke juga merupakan penyakit
neurologik (saraf) yang sering menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga
dapat juga di sebut sebagai Cerebrovascular accident (Dewanto et al, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomer satu di dunia. Duapertiga
stroke terjadi di banyak negara berkembang (Dewanto et al, 2009). Stroke
menjadi penyebab kematian nomer dua di dunia dan nomer tiga di Amerika
Serikat setelah penyakit jantung dan berbagai jenis kanker. Menurut American
Heart Association (AHA), di Amerika Serikat terjadi insiden sekitar 795.000
pasien stroke baru atau berulang dan sekitar 137.000 kematian setiap tahun
disebabkan oleh penyakit ini. Sekitar 40% kematian terjadi pada laki-laki dan
60% pada wanita (Goldstein et al, 2011). Data kementrian kesehatan Republik
Indonesia (2008) memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
nomer satu pada pasien yang di rawat di rumah sakit. Berdasarkan riset kesehatan
dasar (RISKESDAS) tahun 2007 adalah delapan per seribu penduduk atau 0,8%.
Sebagai perbandingan prevalensi stroke di Amerika Serikat adalah 3,4 per persen
per 100 ribu penuduk, di Singapura 55 per 100 ribu penduduk, di Thailand 11 per
100 ribu penduduk. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5%
atau 250 ribu orang meningggal dunia dan sisanya cacat ringan ataupun berat.
Pada 2020 mendatang diperirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena stroke
(RISKESDAS,2007).
Berdasarkan laporan Worldz Health Organization (WHO), pada tahun 1999
diperkirakan 5,54 juta orang meninggal karena stroke. Jumlah ini merupakan
9,5% dari seluruh kematian di dunia. Stroke merupakan penyebab kecacatan yang
terjadi pada usia dewasa. Pada tahun 1999, 50 juta orang telah mengalami
kecacatan akibat stroke. Jumlah ini merupakan 3,5% dari seluruh penderita cacat.
Proyeksi hingga tahun 2020 nanti menunjukkan bahwa setiap tahun, 61 juta orang
akan mengalami kecacatan akibat stroke. Dinyatakan pula bahwa sebagian besar
(lebih dari 4/5) penderita yang mengalami kecacatan akibat stroke tersebut tinggal
di negara yang sedang berkembang (Bahrudin, 2010).
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan proses patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi stroke
iskemik dan stroke hemorragik (Aminoff et al, 2010). Kejadian stroke yang paling
sering terjadi adalah stroke iskemik sebanyak 88% dan 12 % stroke hemorragik
(Fagan dan Hess, 2008).
Stroke hemorragik Berdasarkan lokasi pendarahannya, dibedakan lagi
menjadi subarachnoid hemorragik, intraserebral hemorragik, dan subdural
hemorragik. Terjadinya pendarahan dapat disebabkan karena trauma, rupturnya
sebuah aneurisma (proses dilatasi fokal suatu arteri karena dindingnya melemah)
atau malvormasi arteriovenosa. Pendarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh
darah pada parenkim otak pecah. Pecahan tersebut dapat menyebabkan
terbentuknya hematoma. Hemorragik tipe ini sangat sering terjadi bersamaan
dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan terkadang karena terapi
antitrombotik atau trombolitik. Stroke hemorragik meskipun jarang terjadi namun
lebih signifikan menyebabkan kematian dibandingkan dengan stroke iskemik
(Fagan dan Hess, 2008).
Stroke iskemik dapat disebabkan oleh trombosis dan emboli, Duapertiga
dari kejadian stroke iskemik disebakan oleh trombosis dan satupertiga sisanya
disebabkan oleh emboli. Trombosis banyak terjadi pada pembuluh arteri besar
otak terutama pada internal karotid dan basilar, arteri kecil (lakunar stroke), dan
vena serebral. Gejala yang ditunjukkan stroke iskemik tidak jauh berbeda dengan
Transcient Iskemik Attack (TIAs) karena menyerang pembuluh darah yang sama.
Emboli terjadi saat ateri serebral tersumbat karena trombus yang berada di
jantung, aorta, dan pembuluh arteri serebral besar. Stroke emboli menyebabkan
defisit neurologi dengan onset cepat (Amminoff et al, 2010).
10
mmHg dan pembuluh darah otak gagal untuk meregulasi, maka akan terjadi
penurunan CBF. Mekanisme kompensasi meliputi terjadinya vasodilatasi untuk
meningkatkan volume darah ke otak dan CBF (Vaskular reserve). Tingkat cedera
otak tergantung pada aliran darah, durasi
11
12
Gambar 2.4 Proses Kematian Sel pada iskemik (Arakawa et al, 2005)
A. Kegagalan Suplai Energi
Otak memiliki kecepatan metabolisme yang tinggi, dengan berat hanya 2%
dari berat badan dan menggunakan 20% oksigen total dari 20% darah yang
beredar. Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, dimana kebutuhan ini
terpenuhi bila aliran darah ke otak normal. Jumlah aliran darah ke otak (CBF)
biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100gram otak. Nilainya tergantung pada
tekanan
dan resistensi
13
sedangkan CVR ditentukan oleh beberapa faktor yaitu, tonus pembuluh darah
otak, struktur dinding pembuluh darah, Viskositas darah (Bahrudin dan Setiawan,
2010; Misbach, 2011).
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) dipertahankan oleh suatu
mekanisme autoregulasi sebanyak 58ml/100gr/menit dengan mean blood pressure
(MABP) antara 50-160mmHg. Mekanisme ini gagal bila terjadi perubahan
tekanan yang berlebihan dan cepat atau pada stroke fase akut. Jika MABP kurang
dari 50mmHg akan terjadi iskemia dan jika lebih dari 160mmHg akan terjadi
gangguan sawar darah otak dan terjadi edema serebri atau ensefalopati hipertensif
(Bahrudin dan Setiawan, 2010).
Pada keadaan oksigenasi cukup terjadi metabolisme aerobik dari 1 mol
glukosa dengan menghasilkan energy berupa 38 mol ATP yang diantaranya
digunakan untuk mempertahankan pompa ion (Na-K Pump), transport
neurotransmitter (glutamat, dan lain-lain) ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan
karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam sel. Apabila terjadi oklusi pembuluh
darah otak (stroke) maka akan terjadi keadaan iskemia yang menyebabkan
oksigen menurun sehingga terjadi metabolisme anaerobik dengan menghasilkan
energy 2 ATP dari 1 mol glukosa. Keadaan ini menyebabkan pompa ion tidak
berfungsi optimal yang menyebabkan kegagalan pertukaran ion. Kejadian ini
memicu terjadinya depolarisasi yang menyebabkan keluarnya neurotransmitter
glutamat yang berakhir pada kematian sel (Bahrudin dan Setiawan, 2010).
14
Kegagalan
pasokan energi
juga mengakibatkan
hilangnya
kontrol
secara berkepanjangan
dilakukan oleh sel itu sendiri secara biologis sebagai fungsi homeostatis
(Misbach, 2011).
Ischemic cell death merupakan campuran dari nekrosis dan apoptosis. Pada
daerah core infarct, neuron mati dengan cepat melalui proses nekrosis sedangkan
pada daerah penumbra kematian sel neuron yang terjadi lebih lambat dan banyak
dijumpai tanda apoptosis ( Suroto, 2002).
C. Peranan Glutamat Pada Stroke Iskemik
Pada jaringan dengan perfusi yang kurang dengan adanya kegagalan energy
akan terjadi depolarisasi membran dan pelepasan neurotransmitter eksitatorik,
seperti glutamat yang terdapat pada ruangan ekstraseluler, dimana terminal
presinap melepaskan glutamat dan konsentrasinya akan meningkat hingga 20 kali
lipat (Lakhaan, 2009) . Setelah dilepaskan glutamat dapat ditangkap oleh neuron
dan sel glia. Sel glia akan mengubah glutamat menjadi glutamin oleh aktifitas
enzim glutamin sintetase. Glutamin dapat dilepaskan dan diambil kembali oleh
neuron untuk dihidrolisis menjadi glutamat. Dalam keadaaan normal, glutamat
15
dengan cepat diklirens dari sinapsis dan kadarnya menjadi normal kembali. Pada
keadaan iskemik terjadi pelepasan glutamat yang berlebihan dan terdapat adanya
keagagalan
pengambilan
neurotransmitter
di
dalam
glutamat
ruangan
(Kurniasih,
ekstraseluler
2002).
Penumpukan
menyebabkan
proses
2.
gangguan homeostasis yaitu masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam sel melalui
kanal ion. Meningkatnya ion Na+ dan Ca2+ juga berakibat masuknya cairan H2O
yang berlebihan dan dapat menyebabkan edema toksik serta merupakan faktor
penyebab sel lisis. Kejadian ini secara primer ditemukan di daerah infark,
sedangkan pada penumbra kematian sel sering terjadi akibat proses apoptosis dan
inflamasi (Misbach, 2011).
16
Ca2+ dan adanya ion Mg 2+ ekstraseluler yang menutup salauran ion tersebut pada
keadaan
hiperpolarisasi membran.
NMDA hanya terbuka bila Mg2+ yang menutupi saluran lepas karena depolarisasi
akibat adanya input eksikatori yang cukup besar. Depolarisasi setelah iskemik
menyebabkan terbukanya saluran ion pada reseptor NMDA yang mengakibatkan
pemasukan ion Ca2+ yang belebihan ke dalam sitoplasma (Suroto, 2002; CullCandy,2002).
Pada keadaan normal reseptor AMPA yang paling bereaksi terhadap efek
glutamat. Tetapi pada waktu transmisi sinaptik berfrekuensi tinggi, aktivasi
reseptor NMDA menyebabkan Ca2+ intra seluler bertambah yang merangsang
constitutive Nitric Oxide Synthase (cNOS). NO yang terbentuk berdifusi kembali
ke neuron presinaptik dan menambah lagi pelepasan glutamat. Pelepasan glutamat
yang berlebihan menyebabkan aktivasi yang lebih besar dari reseptor glutamat
post-sinaptik dan seterusnya menambah efektifitas sinap tersebut (Cull-Candy,
2002).
Akibat stroke, mengakibatkan terjadinya aberrant cell signaling, terjadinya
peningkatan kadar kalsium. Masuknya kalsium ke dalam neuron melalui ion
channel yang dirangsang oleh aktivasi reseptor glutamat dapat menyebabkan
kematian sel (eksitotoksisitas) (Suroto, 2002).
D. Radikal bebas
Masuknya Ca2+ yang berlebihan akan memicu berbagai reaksi di dalam sel
karena Ca2+ dapat berfungsi sebagai second messenger yang akan mengakibatkan
transduksi sinyal intraseluler. Berbagai enzim yang berikatan dengan Ca 2+akan
teraktifkan secara terus menerus, misalnya : protein kinase-C, phospholipase,
phosphatase, nitric oxide sythase, endonuklease, ornitrin dekarboksilase. Enzimenzim tersebut dapat menyebabkan kematian sel melalui pembentukan radikal
bebas (Kurniasih 2002; Lakhan, 2009).
Radikal bebas adalah satuan molekul atau atom yang mempunyai elektron
tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Adanya elektron bebas membuat
radikal bebas ini menjadi sangat reaktif. Suatu radikal bebas mudah bereaksi
dengan molekul/ atom lain non radikal bebas untuk membentuk radikal bebas
17
baru. Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang
sedikit sebagai produk metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria. Jenis
radikal bebas dalam tubuh terdiri atas radikal bebas oksigen dan radikal bebas
oksida nitrit (Kontos, 2001; Misbach, 2011).
Kalsium
yang
memecah fosfolipid. Asam arakhidonat selanjutnya dimetabolisir oleh cyclooxygenase dan lipo-oxygenase menjadi prostaglandin dan leukotrien. Pada reaksi
akhir ini akan terbentuk anion superoxide, suatu ROS (Kurniasih 2002; Lakhan,
2009).
Radikal bebas dapat merusak berbagai molekul yang fungsional dalam sel
seperti membran fosfolipid, membran protein, serta asam nukleat. Proses
pengrusakan yang ditimbulkan radikal bebas terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1.
2.
Tahap propagasi, yaitu tahapan dimana radikal bebas yang terjadi akan
menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang lain yang kemudian akan
menyerang senyawa non radikal lain secara terus-menerus
3.
Tahap reaksi terminasi, yaitu tahapan bila terjadi reaksi antara radikal bebas
dengan radikal bebas atau radikal bebas dengan senyawa pembasmi radikal
(Scavenger) (Soewoto,2002).
Pada konsentrasi yang besar, radikal oksigen dapat menyebabkan kematian
sel dan kerusakan jaringan. Radikal oksigen juga dapat meningkatkan agregasi
platelet serta meningkatkan permeabilitas endotel (Soewoto,2002).
E. GABA (-Amino Butiric Acid) Pada Stroke Iskemik
Komunikasi intraseluler secara normal bergantung pada keberadaan
neurotransmitter serta energi di sinaps. Neurotransmitter ini secara difus akan
berinteraksi dengan reseptor di post-sinaptik untuk selanjutnya memberikan
respon metabolisme. Neurotransmiter eksikatorik seperti glutamat dan aspartat
akan menstimulasi sel post-sinapsis, sementara GABA akan bekerja sebaliknya.
18
GABA merupakan suatu neurotransmiter inhibisi utama dalam tubuh dan juga
terdapat pada otak. GABA disintesis dari glutamate dengan bantuan enzim
glutamic acid decarboxylase (GAD) dan didegradasi oleh GABA-transaminase.
Ada dua jenis resptor GABA yaitu GABAA ionotropik dan GABAB
metabotropik. Pelepasan GABA dipengaruhi dengan kadar influks ion kalsium
dan GABA juga akan mengurangi pelepasan glutamat melalui aktivasi reseptor
presinaptik (Cull-candy, 2002; Misbach, 2011)
2.1.7 Faktor Resiko
Berdasarkan AHA guidelines tahun 2011, menerangkan bahwa faktor
resiko stroke diklasifikasikan menjadi 2 yaitu : faktor resiko yang tidak dapat
diubah dan faktor resiko yang bisa diubah. Faktor resiko merupakan beberapa
unsur yang dapat memicu terjadinya stroke iskemik. Faktor resiko yang tidak
dapat diubah terdiri dari usia, jenis kelamin, berat badan rendah, dan ras.
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah antara lain hipertensi, dislipidemia,
deiabetes mellitus, obesitas, merokok dan alkohol, semua itu dapat diubah
tergantung pada pola hidup pasien (Goldstein et al, 2011).
Tabel II.1 Faktor Resiko Stroke Iskemik
FAKTOR RESIKO STROKE ISKEMIK
Tidak Dapat Diubah
Dapat Diubah
Potensial Untuk
Diubah
Usia
Hipertensi
Oral Kontrasepsi
Jenis Kelamin
Atrial Fibrilasi
Migraine
Riwayat keluarga
Penyakit Kardiovaskular lain Drugs dan alkohol
Ras
Diabetes
Homocystein
Kelahiran Berat Badan Dislipidemia
Rendah
Merokok
Alkohol
Stenosis
Sickle cell disease
Postmenopouse therapy
Obesitas
(Fagan dan Hess, 2008)
19
Stroke dianggap sebagai penyakit orang tua, tetapi tingkat insiden untuk
stroke anak telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kelompok
usia muda (25 sampai 44 tahun) berada pada resiko lebih rendah, beban kesehatan
menjadi lebih tinggi karena kerugian yang relatif besar jika stroke terjadi pada
usia produktif. Efek kumulatif dari penuaan pada sistem kardiovaskular dan sifat
progresif dari faktor resiko selama jangka waktu lama secara substansial
meningkatkan resiko stroke, baik stroke iskemik maupun stroke hemorragik
intraserebral. Resiko stroke iskemik dan stroke perdarahan menjadi berlipat pada
setiap dekade setelah usia 55 tahun (Goldstein et al, 2011).
B. Jenis Kelamin
Stroke lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pada
umumnya, pria memiliki rentang usia tertentu dimana resiko stroke lebih besar
dibandingkan pada wanita. Ini berlaku pada stroke iskemik dan hemorragik.
Terdapat pengecualian pada mereka yang berusia 35-44 tahun dan mereka yang
berusia 85 tahun. Faktor-faktor seperti pengunaan kontrasepsi oral dan kehamilan
berkontribusi terhadap peningkatan resiko stroke pada wanita usia muda. Pada
laki-laki dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko stroke yang relatif lebih
besar dibandingkan dengan wanita usia lebih tua (Goldstein et al, 2011).
C. Berat Lahir Rendah
Kelahiran berat lahir rendah dapat disebabkan oleh gizi buruk atau masalah
kesehatan lainnya. Berdasarkan studi di Carolina selatan, kemungkinan stroke
terjadi lebih dari dua kali lipat pada mereka dengan berat badan lahir <2500g
dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat 4000g. Perbedaan berat lahir dapat
didasari pada perbedaan letak geografis dalam keterkaitannya dengan kematian
akibat stroke, yang juga berhubungan dengan tempat lahir. Meskipun alasan
potensial untuk hubungan ini tidak membuktikan adanya hubungan kausalitas
(Goldstein et al, 2011).
D. Ras atau Etnis
Ras kulit hitam, ras hispanik, dan amerika memiliki insiden yang lebih
tinggi dari semua jenis stroke dan tingkat kematian yang lebih tinggi bila
20
dibandingkan dengan orang kulit putih. Terutama pada ras kulit hitam usia muda,
memiliki resiko lebih tinggi untuk pendarahan subarachnoid (SAH) dan
Pendarahan Intrakranial (ICH) dibandingkan kulit putih pada usia yang sama.
Pada Studi Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC), ras kulit hitam memiliki
kejadian stroke sebesar 38% lebih tinggi dari kulit putih. Kemungkinan Tingkat
kejadian dan angka kematian yang lebih tinggi pada kulit hitam adalah karena
prevalensi hipertensi, obesitas, dan diabetes yang lebih tinggi. Study Strong Heart
(SHS) menunjukkan bahwa indian Amerika memiliki insiden lebih tinggi terkena
stroke dibandingkan afrika-amerika-dan ras kulit putih (Goldstein et al,2011).
E. Faktor Genetik
Sebuah studi kohort meta analisis menunjukkan bahwa riwayat keluarga
yang positif stroke memiliki resiko terkena stroke sekitar 30%. Kemungkinan
keduanya kembar monozigot memiliki stroke 1,65 kali lipat lebih tinggi daripada
orang-orang yang kembar dizigotik. Kardioembolik stroke sedikit diwariskan
menjadi faktor terjadinya stroke dibandingkan dengan faktor lain. Pada wanita
yang memiliki orangtua dengan riwayat stroke, lebih memungkinkan terkena
stroke dibandingkan dengan pria. Peningkatan resiko stroke pada orang dengan
riwayat keluarga positif stroke dapat dimediasi melalui berbagai mekanisme,
meliputi: Heritabilitas genetik faktor resiko stroke tersebut, keluarga sangat
mempengaruhi budaya atau lingkungan dan gaya hidup seseorang serta interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan (Goldstein et al, 2011).
21
Hipertensi
regulasi tekanan darah. Hipertensi yang berlangsung lama dan tidak diobati dapat
menyebabkan kerusakan pada jantung, otak, dan mata. Tekanan darah yang
terlampaui tinggi menyebabkan jantung memompanya terlalu keras yang akhirnya
menyebabkan gagal jantung. Kerusakan otak yang sering terjadi juga disebabkan
pecahnya pembuluh darah dan infark jantung (Tjay dan Raharja, 2010).
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk kejadian infark serebral
dan intrakranial hemorragik. Hubungan antara tekanan darah dan resiko stroke
sangat kuat, berlanjut, konsisten, bisa diprediksi dan sebagai etiologi yang
signifikan. Resiko stroke meningkat secara progresif dengan peningkatan tekanan
darah, dan sejumlah besar individu yang memiliki tingkat tekanan darah di bawah
ambang yang harus diterapi. Berdasarkan rekomendasi JNC 7 pada kondisi di atas
pendekatan non farmakologi dan perubahan gaya hidup direkomendasikan untuk
mengurangi tekanan darah (Goldstein et al, 2011).
B. Merokok
Ada hubungan yang pasti antara merokok, baik pada stroke iskemik maupun
hemorragik khususnya pada usia muda. Jumlah kematian stroke per tahun
dikaitkan dengan merokok di Amerika Serikat, diperkirakan antara 21.400 (tanpa
penyesuaian untuk faktor perancu) dan 17.800 (setelah penyesuaian), yang
menunjukkan bahwa merokok memberikan kontribusi 12% sampai 14% dari
semua stroke yang berakhir dengan kematian. Berdasarkan data yang tersedia dari
National Health Interview Survey untuk tahun 2000 sampai 2004, Center Control
and Prevention melaporkan bahwa merokok mengakibatkan rata-rata estimasi
61.616 kematian stroke pada pria dan 97.681 kematian stroke pada wanita
(Goldstein et al, 2011).
C. Diabetes
22
23
Manifestasi
berdasarkan lokasi lesi, yaitu bila lesi terjadi di cerebrum maka akan terjadi
gangguan gerakan tangkas diiringi dengan tanda-tanda gangguan
motoneuron seperti,
upper
meningkatnya refleks tendon pada sisi yang lumpuh, refleks patologis positif pada
sisi yang lumpuh. Bila lesi terjadi di cerebelum, maka akan tejadi gangguan
ketangkasan gerakan diiringi tanda-tanda,
merupakan
keadaan
gawat darurat
sehingga
membutuhkan
penanganan yang segera. Pendekatan terapeutik difokuskan pada dua hal yaitu
perbaikan vaskular dan neuronal. Penanganan stroke iskemik yang paling penting
adalah memperbaiki aliran darah pada daerah penumbra iskemik dan melindungi
sel dari kerusakan sel. Obat-obat untuk stroke iskemik antara lain antitrombotik
(misalnya asam asetil salisilat), trombolitik (misalnya streptokinase), dan
neuroprotektan (misalnya piracetam) (Johnson et al, 2006).
Semua pasien yang hendak diterapi harus memiliki tomografi otak yang
didapat dengan menggunakan (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
scan untuk membedakan stroke iskemik dari stroke hemoragik, sebagai perlakuan
yang berbeda dari masing-masing terapi strokenya. CT scan adalah tes diagnostik
yang paling penting pada pasien dengan stroke akut. Dengan MRI akan
memperlihatkan bagian otak yang mengalami hipoperfusion, dengan begitu dapat
diprediksi seberapa luas daerah iskemik penumbra dan meperkirakan waktu
tresholdnya (Johnson et al, 2006).
Pendekatan awal untuk pasien stroke akut adalah memastikan system
pernapasan dan fungsi jantung. Gejala-gejala stroke yang timbul harus dievaluasi
untuk menentukan terapi reperfusi. Pasien dengan tekanan darah tinggi harus
ditangani karena hal ini dapat berisiko menurunkan aliran darah otak dan
memperburuk gejala. Tekanan darah tersebut harus diturunkan jika melebihi
220/120mmHg atau terbukti adanya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
24
Tes Spesifik
Elektrolit, glukosa, kadar urea nitrogen
darah, kreatinin, Hitungan daah lengkap,
Aprothrombin Time (International
normalized ratio and activated partial
thromboplastin time)
CT scan dan MRI
Tes untuk pasien tertentu (Urgent)
Toksikologi Screen dan kadar alcohol
darah
Tes fungsi liver
Tes kehamilan
Chest rhadiography
Analisa gas darah (Jika sulit bernafas)
Elektroenchepalogram (jika terjadi kejang)
Tes untuk mengidentifikasi etiologi Transesophageal echocardiogram (dengan
buble study)
stroke iskemik akut (tidak urgent)
MR angigram, Ct angiogram, atau catheter
angiogram
Tes Darah : RPR, ESR, homosistein, profil
lemak puasa
Pada Pasien Tertentu
Coagulopaty panel (pasien dengan
trombosis vena atau etiologi yang belum
diketahui)
TSH (pasien dengan onset baru atrial
fibrilasi)
MRI
MR angiogram pada daerah wilis, CT
angiogram, atau cateter angiogram
(Johnson et al, 2006)
Berdasarkan studi secara random, double blind, dan placebo control trial
terapi untuk iskemik akut untuk melancarkan peredaran darah adalah penggunaan
rtPA (tissue plasminogen activator) intravena sebagai satu-satunya reperfusi yang
diijinkan FDA dan direkomendasikan pada pasien yang mendapat serangan stroke
dalam jelang waktu 3 jam setelah serangan (Johnson et al, 2006).
2.1.10 Terapi Khusus Stroke Iskemik
25
Pencegahan Sekunder
1. Nonkardioembolli
2. Kardioemboli
3. Semua kondisi
4.
Sebelumnya
hipertensi
5.
Sebelumnya
Normotensi
6. Dislipidemi
7. Lipid Normal
Rekomendasi
1. t-Pa o,9mg/kg IV (maksimum 90kg)
berakhir setelah1 jam pada pasien yang
mengalami onset serangan sejak 3 jam
sebelumnya.
2. ASA 160-325 mg setiap hari dimulai
sejak 48 Jam setelah onset serangan
1. Terapi antiplatelet
Aspirin 50-325mg sehari
Klopidogrel 75 mg sehari
Aspirin 25 mg +dipiridamol ER 200mg 2
X sehari
2. Warfarin (INR=2,5)
3. Antihipertensi
4. ACE Inhibitor + diuretic
5. ACE Inhibitor + diuretic
6. Statin
7. Statin
(Fagan dan Hess, 2008)
2.1.10.1 Antitrombotik
Antitrombotik merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan dan
pencegahan trombosis dan emboli. Pada trombosis terjadi pembentukan suatu
thrombus, yaitu bekuan darah dan pada emboli terdapat embolus, yaitu bekuan
darah yang ikut terbawa oleh aliran darah dan menyebabkan penyumbatan (Tan
Hoan Tjay, 2010).
Alteplase (Activase) telah disetujui FDA untuk digunakan pada stroke
iskemia akut, tapi beberapa trombolitik lain juga telah diselidiki efek dan
keamanannya pada aktivasi plasmin dan sehingga melisiskan tromboemboli yang
baru terbentuk (Fagan dan Hess, 2008). Keefektifan alteplase sudah dibuktikan
26
Disorders and Stroke (NINDS) (1996) menunjukkan bahwa pada 624 pasien yang
diberikan r-tpa 0,9 mg/kg IV memberikan outcome 39% lebih baik daripada
placebo.
(ECASS) metanalisis didapatkan bahwa penggunaan alteplasa antara rentang 34,5 jam setelah kejadian stroke iskemik akut memberikan efek pemulihan yang
baik, tetapi penggunaan tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan
intrakranial. Pasien yang diberikan terapi alteplase dalam rentang 3- 4,5 jam
setelah serangan akut mengalami 7,2% pemuliahan lebih baik dibandingkan
plasebo dan meningkatkan resiko pendarahan intrakranial 7,9% dibandingkan
plasebo (Linsberg, 2009).
Tabel II.4 Kontraindikasi untuk Trombolitik Intravena
Kontraindikasi standard
-
Kontraindikasi Relatif
(Peringatan)
- Beberapa deficit neurologis
(National Institute of Health
Stroke Scale Score
> 22)
- Mass Effect pada CT atau MRI
27
metabolit
28
Antihipertensi
29
30
B. -Blocker
Zat-zat ini memiliki khasiat utama sebagai anti adrenergik dengan jalan
bersaing untuk menempati reseptor -adrenergik. Blokade reseptor ini
mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan
noradrenalin. Reseptor- terdapat dalam dua jenis, yakni 1 dan 2. Reseptor 1
terdapat di jantung (juga di SSP dan ginjal), blokade reseptor ini mengakibatkan
efek ionotrop negatif, bradikardi, dan hipotensi. Reseptor 2 terdapat di bronkus
(juga di dinding pembuluh dan usus), blokade reseptor ini mengakibatkan efek
spasme pada bronkus dan hipoglikemia (Tjay dan Raharja, 2010).
Golongan -blocker terbagi menjadi 2 sub kelas, yaitu -blocker
kardioselektif (selektif reseptor 1) yaitu atenolol, asebutolol, metoprolol,
bisoprolol, celiprolol dan -blocker non-kardioselektif (reseptor -1 dan -2)
yaitu cardevilol, propanolol, labetalol, dan pindolol. Beta bloker digunakan pada
terapi angina, baik angina stabil maupun angina tidak stabil, dapat menurunkan
resiko mortalitas pada fase akut infark miokard dan setelah periode infark dan
juga pilihan terapi untuk kondisi lain seperti hipertensi, aritmia serius dan
kardiomiopati. Dosis awal dari beta bloker umumnya kecil dan pelan-pelan
dinaikkan sampai dosis target, peningkatan dosis tergantung pada penderita.
Kontraindikasi harus diawasi, seperti asma bronchial, severe bronchial disease,
bradikardia simptomatik, dan hipotensi (Tjay dan Raharja, 2010).
C. ARB (Angiotensin Reseptor Blocker)
Angiotensin
reseptor
bloker
merupakan
antagonis
kompetitif
dari
31
amlodipin,
mempengaruhi
supraventrikular
nikardipin,
konduksi
nodal
takiaritmia,
dan
nimodipin.
atrioventrikular
sedangkan
dan
Dihydropyridin
tidak
non-dihydropyridin
efektif
tidak
pada
menyebabkan
penurunan heart rate dan memperlambat konduksi nodal atrioventrikular. Nondyhidropyridin seperti verapamil bekerja terhadap jantung (menurunkan frekuensi
dan daya kontraksi, memperlambat penyaluran AV) dan terhadap system
pembuluh (vasodilatasi). Diltiazem memiliki efek seperti verapamil tetapi efek
ionotropik negatifnya lebih ringan. Kedua senyawa ini lebih lemah bila
dibandingkan dengan golongan dihydropyridin sehigga lebih banyak digunakan
pada angina daripada sebagai obat hipertensi (Fagan dan Hess, 2008).
E. ACE-Inhibitor
32
33
AMPA Antagonis
Ion Channel Modulator
Calcium Channel
Blocker
Sodium Channel
Blocker
Potassium Channel
Activator
Free Radical Scavenger
Obat
Selfotel (CGS19755)
Eliprodil
Aptiganel (Cerestat,
CNS1102)
MgSO4 (IMAGES)
MgSO4 (FAST-MAG)
YM872
Hasil*
Complete / No benefit
Halted / No benefit
Complete / No benefit
Complete / No benefit
Ongoing
Ongoing
Nimodipine
Flunarizine
Fosphenytoin
Complete / No benefit
Complete / No benefit
Complete / No benefit
Maxipost (BMS-204352)
Complete / No benefit
NXY-059
Complete / Benefit on
preliminary analysis
Complete / No benefit
Complete / Benefit on
ITT analysis
Complete / Benefit
Tirilazad (U70046F)
Ebselen
Edaravone
Anti Inflammatory
Agents
Anti-Leukocyte
Antibody
Enlimomab
Complete / Worsening
LeukArrest (9Hu23F2G)
Halted / No benefit
Neutrophil Inhibiting Factor Complete / Worsening
(ASTIN)
(Arakawa et al, 2005)
* Jalannya penelitian dan hasil penelitian, contoh complete/no benefit
dimaksudkan bahwa penelitian sempurna atau complete tetapi hasilnya tidak
memuaskan atau tidak ada manfaat
A.
Sitikolin
Sitikolin Pertama kali ditemukan oleh kennedy pada tahun 1955 dan
disintesis pada tahun 1956 dan telah dipelajari di eropa, jepang dan amerika
34
sel
35
2012).
antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas hydrogen peroksida dan lipid
peroksida yang dapat mengurangi stress oksidatif (Menku et al, 2010).
Studi pada 1.372 pasien stroke iskemik akut yang diberikan sitikolin
menunjukkan bahwa sitikolin memungkinkan untuk memulihkan kerusakan
neuron setelah tiga bulan apabila diberikan dalam waktu 24 jam setelah serangan
stroke (Davalos, 2002; Rao et al 2006). Berdasarkan penelitian pada 814 pasien
serebrovaskular dilihat dari aspek tingkah laku menunjukkan efek signifikan
peningkatan efek kognitif dibandingkan dengan plasebo (Fioravanti and Buckley,
2006).
36
puncak awal diikuti dengan penurunan konsentrasi selama 4-10 jam, dan kadar
puncak kedua terlihat setelah 24 jam diikuti dengan proses eliminasi. Waktu paruh
sitikolin 56 jam untuk ekskresi melalui pernapasan dan 71 jam melalui saluran
kemih (Conant et al, 2004; Doijad et al, 2012).
37
Dosis
Diberikan dalam 24 jam sejak awal stroke. Penggunaan untuk stroke
iskemik 250-1000mg/hari secara i.v dalam dosis terbagi 2-3 kali sehari selama 214 hari, untuk stroke hemorragik 150-200mg/hari secara i.v dalam dosis terbagi 23 kali sehari selama 2-14 hari. Secara peroral digunakan 200-600mg/hari dalam
dosis terbagi (PERDOSSI, 2004; Sweetman, 2009).
Efek Samping Obat
Sitikolin memiliki profil toksisitas yang sangat rendah pada hewan dan
manusia. Secara klinis, dosis 2000mg per hari telah diamati dan disetujui. Efek
samping sementara yang langka dan paling sering terjadi adalah rasa sakit perut
dan diare (Conant et al, 2004).
Sediaan Obat di Pasaran
Tablet 100mg; 250mg; 500mg, Injeksi 100 mg/2mL; 250 mg/2ml;
500mg/4ml; 1000 mg/8 ml. Brainact, Bralin, Lancolin Ampul, Lancolin Tablet,
Neulin, Neuciti, Nicholin, Serfac, Soholin, Takelin (Direktorat Bina FarmasiDEPKES).
B. Pirasetam
Pirasetam ditemukan pada tahun 1967, diklasifikasikan sebagai obat
nootropik dan digunakan pada terapi dementia, alzheimer, dan penyakit neurologi
yang lain. Pirasetam mudah larut dalam air, memiliki inti pyrrolidon dengan
struktur kimia seperti pyroglutamat. Berdasarkan struktur kimia pirasetam
memilki susunan nama 2-oxo-1-pyrrolidinacetamid (Doijad et al, 2012).
38
2-Oxo-1-pyrrolidinacetamid
telah
digunakan
bertahun-tahun
sebagai
rentang waktu 7 jam dari onset stroke. Studi pada 98 model hewan menunjukkan
efek neuroprotektif pada serangan iskemik cerebral (Wheble et al , 2008).
Berdasarkan double-blind placebo-controlled study penggunaan pirasetam pada
24 pasien post stroke aphasia didapatkan bahwa pirasetam meningkatkan
kemampuan berbahasa (pidato, pemahaman, dan penamaan bahasa) dan
komunikasi verbal (Kessler et al,2000).
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja
pirasetam
juga
mengurangi
hiperagregrasi
platelet
dan
memperbaiki
39
kanal ion (Na+, K+) tidak spesifik dalam eksitasi neuron. Pirasetam meningkatkan
aliran darah, konsumsi oksigen dengan meningkatkan metabolisme ATP,
meningkatkan
aktifitas
adenylate
kinase
dan
meningkatkan
fungsi
meningkatkan
memfasilitasi rehabilitasi post stroke aphasia pasien (Kessler et al, 2000 ; Wheble
et al, 2008; Doijad et al, 2012).
Farmakokinetika
Pirasetam bersifat Water Soluble
pemberian oral. Peak efek terlihat sekitar 1,5 jam stelah pemberian dan memilik
waktu paruh eliminasi 5-6 jam. Pirasetam mudah melewati blood brain barier,
plasenta dan terdistribusi melalui air susu ibu. Pirasetam diekskresi melalui urin
secara utuh lebih dari 98% (Sweetman, 2009).
Dosis
Penggunaan pada stroke untuk pemberian pertama 12 gram perinfus habis
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 3 gram bolus intravena per 6 jam atau 12
gram/24 jam dengan drip kontinyu sampai dengan hari ke 4. Hari ke 5 sampai
dengan akhir minggu ke 4 diberikan 4,8 gram 3 kali perhari peroral. Minggu ke 5
sampai 12 diberikan 2,4 gram 2 kali sehari peroral. Pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal ringan sampai sedang, maka dosis harus dikurangi (PERDOSSI,
2004; Sweetman, 2009).
Sediaan Obat di Pasaran
Tablet 800 mg, 1200 mg. Ampul: 3 g, Larutan 20% 125 ml, 33% 125 ml.
Benocetam, Cetoros, Cephamed, Ciclobrain, Encebion, Ethopil, Gotropil,
Ineuron, Latropil, Lutrotam, Mersitropil, Neurocet, Neurota, Neurotam, Pratropil,
Primatam, Procetam, Resibron, Revolan, Scantropil, Sotropril, Tropilex, Zetropil
(Direktorat Bina Farmasi-DEPKES).
40
merupakan antagonis kanal kalsium yang memiliki efek neurologis dan dapat
memvasodilatasi pembuluh darah serebral. Pada pasien hemorragik subarachnoid,
nimodipin terbukti mengurangi defisit neurologis dan vasospasme Serebral
(Ginsberg, 2008).
41
Farmakokinetik
Nimodipin diserap dengan
mungkin dan dilanjutkan selama setidaknya 5 dan tidak lebih dari 14 hari.jika
pasien telah menerima nimodipin oral, total durasi penggunaan nimodipin tidak
boleh melebihi 21 hari (Sweetman, 2009).
D.
42
dapat
Studi Stroke
clomethiazol akut. Pada uji safety dan efficacy (Trial CLASS) yang melibatkan
1.360 pasien dengan stroke akut hemispheric yang diberikan clomethiazole atau
plasebo dalam waktu 12 jam, tidak ditemukan perbedaan yang berarti pada pasien
(Wahlgren et al., 1999). Sebuah percobaan dilakukan untuk mengeksplorasi efek
pengobatan clomethiazole dan plasebo dalam waktu 12 jam, ketikan ditambahkan
pada terapi rtPA menunjukkan bahwa pasien dengan hemispheric stroke yang
diobati dengan clomethiazole menunjukkan peningkatan yang lebih besar
43
dibandingkan kelompok plasebo yang diobati selama 90 hari (Lyden et al., 2001).
Studi klinik penggunaan clomethiazole membutuhkan waktu selama 12 jam dan
tidak semua penelitian memberikan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo
pada pasien stroke akut (Ginsberg, 2008).
Efek samping
Clomethiazole dapat menyebabkan urtikaria, kulit kemerahan pada beberapa
orang
tergantung
pada
sensitifitasnya.
Pada
saluran
pencernaan
dapat
Di Inggris,
44
45
diobati dlaam waktu 6 jam dari onset menghasilkan kecacatan pada skala outcome
Glasgow dan indeks barthel pada 3 bulan (The RANTTAS Investigator, 1996).
Uji ini tidak dilanjutkan karena resikonya yang terlalu besar.
pada analisis
meningkatka fugsi neurologi pada 24 jam bahkan jika diberikan pada 6 jam
setelah
randomized clinical trial of edaravone yang merupakan studi fase II pada 2525
pasien stroke iskemik dengan rentang terapi selama 72 jam pengobatan, uji ini
menunjukkan hasil yang baik selama 3 bulan (Edaravone Acute Infarction Study,
2003; Ginsberg, 2008).
46
regulasi nitrit oxide dan pada studi pra klinik dapat mengurangi peningkatan
release glutamat. A Cochrane Database meta-analysis menemukan bahwa tidak
ada efek kematian selama penggunaan dan tidak terdapat efek peningkatan yang
signifikan terhadap neurologi disorder pada pasien yang diberikan lubeluzol.
Hasil uji praklinik tidak semuanya memuaskan dan belum bisa dibuktikan secara
pasti manfaat klinisnya dan Studi klinik yang telah dilakukan lebih mengacu
terhadap tingkat kematian sebagai hasil outcome, bukan mengacu terhadap
peningkatan fungsi neurologis yang lebih dibutuhkan sekarang (Ginsberg, 2008).
47
gangguan kognitif .
48
trauma otak, dan Parkinson. Pirasetam mempengaruhi fungsi saraf dan pembuluh
darah tanpa bertindak sebagai obat penenang atau stimulant. Sitikolin dan
pirasetam merupakan salah satu kombinasi obat yang telah terbukti efek
fakrmakologi, biokimia dan kompatibel secara fisik. Kombinasi ini memiliki efek
terapi yang ditujukan pada gangguan koagulasi, Alzheimer disease, demensia,
gejala iskemik stroke, dan trauma craniocerebral (Doijad et al, 2012).