Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Retinoblastoma merupakan tumor ganas intraokular yang ditemukan pada anak-anak,
terutama pada usia dibawah lima tahun dengan pola herediter dan biasanya bersifat
unilateral (Mansjoer, 2007; Ilyas, 2009). Retinoblastoma merupakan suatu bentuk
keganasan intra okuler primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan
angka kejadian sekitar 1:15.000 1:23.000 kelahiran hidup. merupakan 4 % dari total
seluruh keganasan pada anak-anak, sektar 1 % dari seluruh kanker pada manusia, dan
merupakan keganasan kedua terbanyak pada semua tingkat usia setelah melanoma
maligna. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan 300 kasus baru setiap tahunnya.
Insiden retinoblastoma tinggi pada negara-negara berkembang, terutama pada masyarakat
kurang mampu (Paduppai , 2010;Vajzovicet al , 2010). Gejala retinoblastoma bervariasi
sesuai stadium penyakit, dapat berupa leukokoria, strabismus, mata merah, nyeri mata
yang disertai glaucoma dan visus menurun Sebagian besar kasus retinoblastoma di
Amerika Serikat terdiagnosis saat tumor masih di intraokular tanpa invasi lokal atau
metastasis jauh. Di negara berkembang, diagnosis sering dibuat setelah penyakit
menyebar keluar mata dan ekstraokular (Rosdiana, 2011). Pengobatan retinoblastoma
berdasarkan usia, ukuran, lokasi tumor, dan bilateral. Terapinya meliputi unkleasi dan
terapi radiasi sinar, plak radioterapi, laser fotokoagulasi, cryoterapy, kemoreduksi dan
termoterapi (Carol et al , 1999). Tumor ini mempunyai prognosis baik bila ditemukan
dini dan intraokuler. Prognosis sangat buruk bila sudah tersebar ekstra ocular pada saat
pemeriksaan pertama. Retinoblastoma yang tidak diobati akan tumbuh dan menimbulkan
masalah pada mata, dapat menyebabkan lepasnya retina, nekrosis dan menginvasi mata,
saraf penglihatan dan system syaraf pusat (Rosdiana, 2011). Retinoblastoma merupakan
salah satu dari sekian banyak tumor yang memungkinkan ada pada mata, selain insidensi
di negara berkambang tergolong tinggi, diagnosis sering di tegakan saat tumor sudah
menyebar ke ekstraokukar, sehingga prognosisnya menjadi buruk.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Topografi Retina
Ketebalan retina bervariasi pada setiap bagian, sekitar 0,1 mm
0,5 mm. Hal ini sangat penting diketahui dalam aplikasi klinis.

(10)

1. Area sentralis-Makula
Macula lutea atau bintik kuning merupakan bagian dari

retina

yang banyak mengandung pigmen xantophil atau pigmen kuning.


Daerah

macula, secara histologis digambarkan sebagai area yang

terdiri atas 2 atau lebih lapisan ganglion dengan diameter 5-6 mm dan
berada ditengah antara arcade vascular nasal dan temporal. Makula
lutea 1 mm ke lateral, 0.8 mm ke atas dan di bawah fovea, 0.3 mm
dibawah meridian horizontal serta 3.5 mm ke arah tepi nervus optik.
(2,10)

Gambar 5. Gambaran fundus okuli normal, dengan pembagian regional pada


macula.(1,2)

2. Fovea

Daerah sentral dari macula, berukuran 1,5 mm di sebut sebagai


fovea atau fovea sentralis, yang secara anatomis dan komposisi sel
fotoreseptornya merupakan daerah untuk ketajaman penglihatan dan
penglihatan warna. Daerah ini memiliki tingkat kepadatan sel cones
tertinggi, yakni mencapai 143.000/mm3. Didalam fovea terdapat
daerah yang tidak memiliki vaskularisasi, jadi dipelihara oleh sirkulasi
koriokapiler, yang disebut fovea avascular zone (FAZ). Secara klinis
dapat terlihat pada angiografi fluorosensi. Pada bagian tengah fovea di
kenal sebagai foveola, berukuran diameter 0.35 mm daerah yang
berisi sel sel cone ramping yang tersusun rapat.

(1,3,10)

Gambar 6. Distribusi sel rods dan cones

3. Parafovea
Di sekitar lingkaran fovea, terdapat area dengan lebar sekitar 0.5
mm dan diameter total sekitar 2.5 mm disebut area parafoveal.
Mengandung akumulasi neuron terbesar, terdapat lapisan sel ganglion,
lapisan inti dalam, dan lapisan pleksiform luar yang tebal. Di daerah
ini pula lapisan plexiform luar mengalami penebalan, yang disebut
lapisan Henle, dibentuk oleh berlapis-lapis axon fotoreseptor dari
foveola. Pada bagian ini sudah mulai terlihat adanya rods (1,2)

4. Perifovea
Diluar zona tersebut terdapat lingkaran dengan ukuran 1.5 mm
yang kenal dengan perifoveal zone, merupakan lingkaran terluar dari
area sentralis. Daerah ini dimulai pada titik dimana lapisan sel ganglion
mulai memiliki empat baris nucleus dan berakhir diperifer dimana sel
ganglion hanya terdiri dari

satu lapis sel. Dari pemeriksaan

funduskopi, daerah perivofea merupakan lingkaran dengan lebar 1,252,75 mm dari foveola, dengan diameter horizontal 5.5 mm. Daerah
perifovea ini berbeda dengan parafovea dikarenakan daerah ini
memiliki sel kepadatan sel cones yang jarang.

(1,3)

5. Diskus optik
Nervus optik meninggalkan retina sekitar 3 mm di sebelah
medial makula lutea, tepatnya pada diskus optik. Bagian tengah dari
diskus optik sedikit terdepresi, dimana daerah ini ditembus oleh arteri
dan vena retina sentralis. Pada diskus optik sama sekali tidak terdapat
sel rod maupun sel cone, oleh karena itu
terhadap rangsangan
pemeriksaan funduskopi,

cahaya
diskus

daerah ini tidak sensitif

dan disebut
optik

blind

terlihat

spot. Pada

sebagai

daerah

berwarna pink pucat, lebih pucat dari daerah di sekitarnya.(3,8)


6. Ora Serrata
Merupakan daerah perbatasan retina. Ditandai dengan
persambungan antara beberapa lapis pars optic retina dengan satu
lapis epitel non pigmen korpus siliaris. Karakteristik

yang menonjol

dari area ini adalah lapisannya yang tipis, kurang vaskularisasi dan
hubungan yang rapat dengan vitreus base dan zonula fibers.
Dinamakan ora serrata karena banyaknya takikan yang dibentuk oleh
elongasi jaringan retina kearah epitel siliaris.(1)
.

Retina terdiri atas 2 lapisan utama, yaitu lapisan Retina Pigment


Epithelium (RPE) di bagian luar, dan lapisan neurosensori dibagian
dalam.

(1,2,3,7)

A. Retinal Pigment Epithelium (RPE)


RPE adalah selapis sel- sel hexagonal yang tersebar dari diskus
saraf optik sampai ke ora serrata dimana lapisan ini berbatasan
dengan epitel non pigmen dari badan siliar. Strukturnya disesuaikan
dengan

fungsinya,

yaitu

dalam

metabolisme

vitamin

A,

menyeimbangkan sawar darah retina bagian luar, fagositosis segmen


luar fotoreseptor,
produksi

pertukaran panas, membentuk lamina basalis,

matriks polisakarida yang mengelilingi segmen luar dan

berperan dalam transport aktif materi- materi yang masuk dan keluar
dari RPE

(2,3,7)

Seperti sel epitel

dan

endotel

lainnya,

sel-

sel

RPE

juga

terpolarisasi. Permukaan basalnya berlekuk- lekuk dan menyediakan


permukaan yang luas sebagai tempat melekatnya lamina basalis yang
membentuk lapisan dalam dari membran Bruch. Apeksnya mempunyai
tinjolan vili- vili yang

berbatasan dengan segmen luar lapisan

fotoreseptor,

oleh

ditautkan

matriks

mukopolisakarida

(matriks

inferoreseptor) yang mengandung kondroitin -6- sulfat, asam sialat dan

asam hyaluronat. Terpisahnya lapisan RPE dan lapisan neurosensori


retina disebut ablasi retina.(2,3,7)

Gambar 7. Retinal Pigmen Epithelium (RPE)

(13)

Sel sel RPE melekat satu dengan lainnya melalui pertautan


interseluler kompleks. Zonula okludens dan zonula adheren tidak
hanya berfungsi mempertahankan bentuk dan stabilitas dari struktur
RPE,

tetapi

juga

memainkan

peranan

penting

dalam

menjaga

keseimbangan sawar darah retina bagian luar. Zonula okludens terdiri


dari membran plasma yang bersatu membentuk pita sirkular atau
sabuk antara satu sel dengan yang lain. Pada ruang interseluler
terdapat zonula adherens.

(2,3,7)

Sel- sel neurosensori dan sel RPE memiliki perbedaan penting


pada daerah- daerah tertentu. Sel- sel neurosensori paling tebal pada
daerah papillomacular bundle dekat dengan saraf optik (0.23 mm) dan
paling tipis pada foveola (0.10 mm) dan ora serrata (0.11 mm). Sel- sel
RPE

mempunyai

diameter

yang

bervariasi

antara

10-60

um.

Dibandingkan dengan sel- sel RPE yang terletak di daerah perifer, selsel RPE di fovea lebih tinggi dan lebih tipis serta mengandung
melanosom yang lebih banyak dan lebih besar. Sel sel RPE yang
terletak diperifer lebih pendek, lebar dan kurang mengandung pigmen.

Tidak terlihat proses mitosis dari sel- sel RPE pada mata dewasa
normal.

(2,3,7)

Sitoplasma dari sel- sel RPE mengandung granula-granula pigmen


yang bulat dan oval (melanosom). Organel- organel ini berkembang
selama pembentukan optic cup dan terlihat pertama kali sebagai non
melanin premelanosom. Sitoplasma dari sel-sel RPE juga mengandung
mitokondria , reticulum endoplasma, apparatus golgi dan sebuah
nucleus yang bulat dan besar

(2)

Seiring dengan pertambahan usia, badan sisa yang yang tidak


terfagositosis sempurna, pigmen lipofuchsin, fagosom dan materialmaterial lain akan diekskresikan oleh RPE dibawah lamina basalis RPE.
Hal ini yang menyebabkan terbentuknya drusen. Drusen berada
diantara membrana basalis RPE dengan zona kolagen membrana
Bruch.(2)

B. Neurosensori Retina

Gambar 8. Lapisan retina dan komponen pembentuknya (10)

Membrana limitans eksterna


Lapisan ini merupakan membran tipis, kumpulan intermediate
junction zonula adherens antara segmen dalam rod dan cone dengan
apex sel- sel Muller , serta sel Muller satu dengan lainnya. Pertautan
ini merupakan batas ruang subretinal dam menjadi barrier dari difusi
molekul besar kedalan maupun keluar ruangan subretinal.

(2,7)

Lapisan nuklear luar


Merupakan lapisan yang ditempati oleh nukleus dan badan sel
rod dan cones. Di daerah parafovea lapisan ini mengandung 8-10
lapisan nucleus terutama dimiliki oleh cone.(7)
Lapisan pleksiform luar
Lapisan ini terdiri dari sinaps rod dan cone dengan dendrite sel
horizontal dan sel bipolar. Sinaps dari Rod berbentuk oval dan disebut
spherules, sedangkan terminal cones lebih lebar disebut pedicles.
Keduanya berinvaginasi ke dalam terminal fotoreseptor dan keduanya
dipisahkan oleh jembatan presinaps dan sinaptic ribbon. Lapisan
pleksiform luar paling tebal didaerah makula, berisi akson dari rod dan
cones tersusun radial dari fovea, yang merupakan lapisan serat Henle
(4,10)

Lapisan nuklear dalam


Lapisan nuklear dalam terdiri atas 4 jenis sel, yaitu : sel bipolar,
sel horizontal, sel amakrin. Sel horizontal berada pada bagian distal
dari lapisan nuklear dalam, sementara sel amakrin terletak di bagian
paling

proksimal.

Nukleus

sel

bipolar

terletak

pada

intermediate luar dan intermediate dalam dari lapisan ini. (2,4,7)


Lapisan pleksiform dalam

bagian

Sinaps pada lapisan pleksiform dalam jauh lebih kompleks


dibanding dengan lapisan pleksiform luar. Ketebalannya bervariasi
antara 18 dan 36 m dan tidak terdapat pada daerah foveola. Terminal
sel bipolar dan dendrit dari sel amakrin dan sel ganglion saling
berhubungan pada level yang berbeda di lapisan pleksiform dalam.

(2,7)

Lapisan sel ganglion


Lapisan ini berisi badan sel dari sel-sel ganglion, jumlah sel
ganglion ditemukan sekitar 0,7- 1,5 juta pada retina orang muda, di
lapisan ini juga terdapat sel amakrin, didaerah perifer retina hanya
terdapat 1 baris sel-sel ganglion tetapi didalam macula terdapat 10
baris

sel-sel

ganglion,

dengan

konsentrasi

tertinggi

didaerah

parafovea. Masing-masing sel ganglion menerima sinaps melalui


dendritnya didaerah pleksiform dalam dan mengirimkan akson ke
lapisan serat saraf.(4,7)
Lapisan serabut saraf
Lapisan ini terdiri dari akson sel- sel ganglion, yang berasal
dari seluruh bagian retina kemudian menuju ke diskus optik untuk
membentuk nervus optic. Kumpulan akson ini akan dikelilingi oleh
Muller dan astroglial. Lapisan ini paling tebal di daerah diskus optik,
yaitu sekitar 20-30 m dan paling tipis di perifer.

(2)

Membrana limitans interna


Lapisan ini bukan merupakan membran sepenuhnya. Lapisan ini
dibentuk oleh end footplate sel Muller dan perlekatan dengan lamina
basalis. Tebalnya sekitar 1-2 m. Membran ini bersatu dengan fibril
kolagen vitreus.(3,7)
Elemen - Elemen Neurosensori Retina

Rods
Used for night vision
Very light sensitive; sensitive

Cones
Used for day vision
At least 1/10th of the rods

to scattered light (have more

light sensitive;sensitive only to

pigment than cones)


Loss causes night blindness
Low visual acuity

direct light
Loss causes legal blindness
High visual acuity; better

Not present in fovea


Slow response to

spacial resolution
Concentrated in fovea
Fast response to light, can

light,

stimuli added over time

perceive more rapid change in

Stacks

stimuli
Disks are attached to outer

enclosed

of

membranedisks

are

membrane

unattached to cell membrane


20 times more rods than
cones in the retina
One type of photosensitive

Three types of photosensitive

pigment

pigment

(monochrome

vision)
Confer achromatic vision

in

human

Gambar 5.

(color

vision)
Confer color vision

Perbandingan
struktur sel rod

dan cones(4),
Tabel 4.
Perbedaan
struktur Rod
dan cones

1. Elemen neuronal
Lapisan fotoreseptor mengandung neuroepithel khusus yaitu sel
rods dan cones. Setiap sel fotoreseptor ini mempunyai segmen luar
dan

segmen

dalam.

Segmen

luar

dikelilingi

oleh

matriks

mukopolisakarida yang menyebabkan kontak antara sel fotoreseptor


dan tonjolan vili dari RPE. Tight junction atau penghubung interseluler
lainnya tidak terdapat diantara segmen luar sel fotoreseptor dengan

RPE, sehingga

memungkinkan untuk terjadinya transport aktif dari

RPE ke sel fotoreseptor, namun juga berarti tidak adanya penunjang


yang menjaga posisi dari pertautan sel- sel ini. (2,7)
Sel rod mempunyai segmen luar yang mengandung keping- keping
disk menyerupai koin dan sebuah silium perantara. Segmen dalam dari
sel rod terbagi menjadi dua elemen yaitu berada diluar berbentuk elips
mengandung banyak mitokondria dan yang berada didalam berbentuk
myoid mengandung banyak glikogen. Elemen myoid ini berlanjut
dengan badan sel utama dimana terdapat nucleus. Bagian paling
dalam dari sel rod ini mempunyai badan sinaptik atau spherule,
dimana

struktur

ini

terbentuk

dari

invaginasi

tunggal

yang

mempetemukan dua tonjolan sel horizontal dan satu atau lebih dendrit
sel bipolar.(2,7)
Sel cones ekstrafovea juga mempunyai elemen berbentuk elips
dan myoid. Nucleus dari sel cone ini lebih dekat dengan membrana
limitans eksterna dibanding sel rod

(1,2)

Meskipun secara garis besar struktur segmen luar dari sel rod dan
cone memiliki kesamaan, namun setidaknya ada satu perbedaan
penting. Lempeng diskus dari rod tidak melekat pada membran sel,
lempeng diskus ini merupakan suatu struktur tersendiri. Lempeng
diskus dari cones melekat pada membran sel. Badan sinaptik dari cone
atau pedikel lebih kompleks dibanding spherule dari rod. Pedikel cone
bersinaps dengan sel- sel cones lainnya, dengan sel- sel rod beserta
sel bipolar dan horizontal.(1,2)

Gambar 10. Segmen luar sel rod

dan sel cone

Rod spherule dan Cone pedicle


Prosesus dari sel bipolar dan sel horizontal berinvaginasi ke rod
spherule, dimana ketiga komponen ini membentuk struktur yang
disebut Triad, yang biasanya satu triad untuk satu spherule. Rod
spherule terdiri dari mitokondria, mikrotubulus dan neuron presinaptik.
Celah sinaptik yang kecil memisahkan sel presinaptik dan membran
postsinaptik. Pada bagian dalam spherule terdapat ribbon. Antara
ribbon dan membran sel terdapat arcuate density. Ribbon dan arcuate
density dikelilingi oleh vesikel sinaptik dan berperan dalam pelepasan
neurotransmitter

dari

vesikel

sinaptik.

Conventional

vascular

neurotransmitter membawa informasi dari sel fotoreseptor ke post


sinaptik prosesus sel bipolar dan sel horizontal.(3,14)
Struktur cone pedicle mirip dengan rod spherule, tetapi

bentuknya

lebih besar dan terdiri dari beberapa triad, sampai sekitar 25. Ribbon

sinaptiknya

lebih

kecil

dan

lebih

banyak.

Midget

bipolar

cell

mengirimkan seluruh dendritnya ke bagian tengah cone triad.

Gambar 11. Rod spherule dan cone pedicle di lapisan plexiform luar(11)

Gambar 12.A.
12.B. Cone
Spherule(11)

Rod Gambar
Pedikel

Dendrit dari sel bipolar lainnya dari basal atau superfisial


mengadakan kontak pada tiap bagian terminal invaginasi, yang
kemudian disebut invaginating midget bipolar cell dan flat midget
bipolar cell.

Setiap cone pedicle memiliki banyak invaginasi. Pada

bagian sentral retina dimana pedikel lebih kecil sebanyak 15 sampai 25


invaginasi terdapat pada setiap terminal.(3,15)
INTERNEURONS

Sel bipolar, horizontal, dan sel amakrin disebut interneurons,


dimana badan-badan sel ini membentuk lapisan inti dalam. Nukleus
dari sel Muller juga ditemukan dilapisan ini.(10)

Gambar 13. Skematik diagram tipe sel dan lapisan histologi retina (10)

Sel Bipolar
Sel bipolar membawa sinyal dari sel fotoreseptor ke sel ganglion
atau sel amakrin, terdapat 2 kelas utama sel bipolar, yaitu Rod bipolar
cells, yang berhubungan dengan spherule rod dan Cone bipolar cells
dan yang berhubungan dengan pedikel cone, terdiri atas midget cone
bipolar cells dan diffuse cone bipolar cells.(2,3,15)

Gambar14. Sel bipolar (warna merah)(13)

Dendrit

dari

memberikan

diffuse

cone

cabangnya

bipolar
ke

cells

lapisan

pleksiform luar dan mengadakan kontak


dengan beberapa pedikel cone. Pada sisi
yang berlawanan, akson dari diffuse bipolar
cells diproyeksikan ke lapisan pleksiform dalam dan berhubungan
dengan dendrite dari sel ganglion. Midget cone bipolar cells bersinaps
dengan satu pedikel cone dan satu akson mengadakan kontak dengan
satu

sel

ganglion.

Pada

dasarnya,

midget

cone

bipolar

cells

berhubungan dengan satu sel cone ke serat saraf optik. Sebaliknya,


diffuse bipolar cell

mempunyai lebih banyak jalur input dan output.

Nucleus dari sel bipolar membentuk lapisan inti dalam. Baik rod bipolar
cells maupun cone bipolar cell menggunakan glutamate untuk proses
neurotransmisi. (2,7)
Sel Horizontal
Sel-sel horizontal (dan sel amakrin) dianggap sebagai local-circuit
neurons. Neurit sel horizontal berakhir pada pedikel cone. Satu buah
cabang sinaps neurit bersinaps baik dengan spherule rods maupun
pedikel cone. Sinaps ini terjadi pada lapisan plexiform luar dan
distribusi aksonal mengindikasikan bahwa sel horizontal berintegrasi
dengan sel rod dan cone pada area yang berbatasan pada retina

(2,3,15)

Gambar 15. Sel horizontal

Terdapat 2 tipe sel horizontal, yairu sel horizontal tipe 1 yang


ditandai dengan adanya dendrite yang besar yang mengadakan kontak
hanya dengan sel cones dan sebuah akson
pada terminal akson yang hanya

panjang yang berakhir

berhubungan dengan sel rod. Sel

horizontal menggunakan GABA sebagai neurotransmitter. Horizontal


tipe 2 hanya kontak dengan cone dengan cabang dendrite yang kecil
serta axon yang pendek.(2,3,10,15)
Sel Amakrin

Gambar 16. Sel amakrin(14)

Sebagian besar sel amakrin berlokasi pada bagian proksimal dari


lapisan inti dalam. Sel ini memodulasi sinyal pada lapisan pleksiform

dalam. Sel amakrin dapat diklasifikasikan berdasarkan dendritic field


diameter menjadi : narrow field(30-150um), small field (150-300 um)
dan medium field (300-500 um). Berdasarkan distribusi dendrit pada
lapisan pleksiform dalam, sel amakrin dapat diklasifikasikan sebagai
stratified atau diffuse cell. Substansi neuroaktif yang terdapat pada sel
amakrin yaitu glisin, GABA, asetilkolin, serotonin, dopamine, nitit oxide,
neurotensin,

enchepalin,

somatostatin,

substansi

P,

vasoactive

intestinal peptide(VIP), dan glucagon(2,14)


Sel Ganglion
Sel ganglion terletak diantara lapisan pleksiform dalam dengan
lapisan serabut saraf. Di daerah sekitar fovea sentralis terdapat 5-7
lapis sel- sel ganglion dan merupakan lapisan sel ganglion yang paling
tebal (80um) dan lapisan sel ganglion paling tipis terdapat pada
daerah perifer retina (10um). Terdapat satu sel ganglion untuk setiap
100 sel rod dan satu sel untuk setiap 5 sel kerucut. Sel- sel ganglion
memiliki 2 jenis sinaps intersel. Dendritnya bersinaps dengan akson
sel-sel bipolar dan amakrin.

(2,3,15)

Akson-akson dari sel-sel ganglion melingkar untuk membentuk


permukaan dalam dari retina secara paralel, dimana akson- akson ini
membentuk lapisan serabut saraf yang nantinya bersatu pada diskus
saraf optik.(2,3,15)
Setiap satu saraf optik memiliki lebih dari 1 juta serabut saraf.
Serabut-

serabut

saraf

yang

berasal

dari

temporal

berjalan

melengkung mengelilingi macula untuk memasuki daerah superior dan


inferior diskus saraf optik. Serabut- serabut saraf papillomakular dan
fovea berjalan lurus kedalam diskus saraf optik. Serabut- serabut dari
nasal berjalan secara radier. Serabut- serabut ini dapat dievaluasi
dengan

menggunakan

oftalmoskop.

(2,3,15)

iluminasi

sinar

hijau

(red

free)

pada

Elemen- elemen pada neuron pada

retina beserta koneksinya

sangat kompleks. Banyak tipe sel- sel bipolar, amakrin dan sel ganglion
lain yang berperan. Elemen- elemen neuron dimana lebih dari 120 juta
sel rod dan 6 juta sel cone saling berhubungan satu sama lain dan
proses pengiriman sinyal antara neurosensori retina sangat penting
(2,3,15)

2. Elemen Glial
Sel Muller

Gambar 17. skema sel Muller(10)


M : Sel muller, EF : End foot sel
muller, MV : Mikrovili sel muller

Sel- sel Muller adalah sel- sel glial yang berjalan secara vertikal
dari membran limitans eksterna menuju membran limitans interna.
Nukleusnya berada pada lapisan inti dalam. Sel- sel Muller, bersama
elemen- elemen glial lainnya (astrosit dan microglia) merupakan
penunjang bagi retina(10)

Beberapa studi terbaru memperlihatkan peranan akan pentingnya


sel-sel muller ini dalam perkembangan dan metabolisme retina.
Imunohistokimia

memperlihatkan

bahwa

sel-sel

ini

mengandung

retinaldehid binding protein , glutamine, taurin dan

glutamine

sythetase.

degradasi

Sel-sel

muller

juga

berperan

dalam

neurotransmitter GABA. Adanya RNA messenger yang mengkode


carbonic anhydrase II menunjukkan bahwa sel- sel ini juga penting
dalam menahan karbondioksida bebas yang dilepaskan ke ruang
ekstraseluler oleh elemen-elemen neurosensori retina. Produksi insulin
dan faktor- faktor pertumbuhan dari sel- sel muller ini juga sangat
penting dalam metabolisme retina(14)
Sel muller juga diduga menunjuang metabolisme neuron- neuron
retina,

oleh

karena

sel

muller

ini

merupakan

tempat

utama

penyimpanan glikogen. Pada kondisi stress metabolik yang tinggi,


seperti hipoglikemia, pemecahan glikogen pada sel muller ini dapat
menyediakan metabolit- metabolit penting, seperti asam laktat untuk
digunakan oleh neuron yang rusak. Penelitian metabolisme glukosa
pada hewan coba menunjukkan bahwa hasil utama glikolisis adalah
laktat.(18)
Fungsi lain dari Sel Muller adalah berperan dalam mempercepat
adaptasi gelap dari sel cones, peranannya diduga membantu

RPE

dalam siklus daur ulang sel cones. Hal ini dibuktikan dengan percobaan
pada hewan coba,

dengan mengangkat lapisan RPE pada hewan

tersebut, ternyata sel cones masih terus dapat bekerja, peran RPE
digantikan oleh sel- sel Muller ini.(16)
Astrocyte
Astrocyte tidak muncul dari neuroepithelium tetapi berimigrasi ke
retina. Permukaan astrocyte ditandai dengan adanya interaksi contacspacing antar sel.(10)

Mikroglia
Mikroglia merupakan makrofag retina, berasal dari mesodermal,
dari monosit darah dan memasuki retina selama perkembangan
pembuluh darah. Ditemukan pada lapisan serabut saraf dan lapisan
pleksiform dalam dan luar.(10)

I.

FISIOLOGI RETINA
Kelangsungan fotoreseptor dan koriokapiler tergantung pada

RPE. Jika RPE mengalami gangguan, baik secara kimiawi maupun


mekanik, maka fotoreseptor dan koriokapiler akan mengalami atrofi.
RPE memproduksi sitokin, termasuk basic Fibroblast Growth Factor
(bFGF) yang mempertahankan kelangsungan fotoreseptor. Akan tetapi
sampai saat ini masih belum jelas berbagai senyawa yang dihasilkan
oleh

RPE

dalam

mendukung

kelangsungan

fotoreseptor

dan

koriokapiler in vivo. RPE berperan dalam memperbaharui segmen luar


fotoreseptor, penyimpanan dan metabolisme vitamin A, transport dan
barrier epitel. Selain itu juga mengabsorpsi cahaya oleh pigmen
melanin di epitel, menangkap redikal bebas oleh pigmen melanin, dan
detoksifikasi obat oleh sistein sitokrom P-450 retikulum endoplasmik
halus yang juga ditemukan pada sel RPE.(4)
FUNGSI IMUN
Fungsi lain dari retina adalah sebagai regulator respon imun
lokal. Hal ini dijalankan oleh barrier pasif RPE dan sekresi aktif sitokin
imunosupresif

seperti

menghambat

kerja

TGF-.

mediator

Saat

terjadi

inflamasi.

inflamasi,

RPE

juga

maka
secara

RPE
aktif

mensekresi reseptor Tumor necrosis factor- (TNF-) . Sel RPE

memproduksi faktor yang mensupresi neutrophil superoxide generator


yang membatasi kerusakan jaringan selama terjadi inflamasi. (10)
RPE juga mengekspresikan Fas-ligand (FasL) yang digunakan
untuk

proses

apoptosis

dalam

menginvasi

Fas-expressing

yang

diaktivasi oleh limfosit atau sel endotelial neovaskular. RPE dianggap


sebagai

macrophage-like

morphology.

Sel

RPE

secara

aktif

mengfagositosis dan menghambat reseptor mediated phagositosis dari


komponen matriks ekstraseluler.Proliferasi sel RPE terjadi setelah
stimulasi

PDGF,

TNF-,

IGF

dan

VEGF.

Aktivasi

RPE

bisa

mengekspresikan molekul yang berhubungan dengan pengikatan dan


infiltrasi lekosit. Terlihat pula ekspresi molekul-molekul adhesi seperti
CD45, CD48, CD54, CD59, CD68 dan ICAM-1. Saat diaktivasi oleh IL-1,
TNF, IL-7 atau glikasi albumin serum, maka sel RPE akan mengaktivasi
lekosit dengan mensekresi kemokin, yaitu monocyte chemotactic
protein-1 (MCP-1) dan IL-8, dimana kemokin ini bisa dihambat oleh
dexamethasone dan cyclosporin.
BLOOD RETINAL BARRIER
Terdapat dua komponen pembentuk blood retinal barrier (BRB),
yakni inner blood retinal barrier

dan outer blood retinal barrier.

Integritas BRB telah dikenali sebagai komponen penting dalam


mempertahankan fungsi visual normal dan gangguan pada BRB ini
dapat memberikan manifestasi pada berbagai penyakit, seperti
macular edema, sebagai akibat kebocoran cairan albumin dan protein,
dengan akibat akumulasi eksudat intraretina.(21)
Outer blood retinal barrier dibentuk oleh RPE yang mengontrol
pertukaran cairan dan molekul antara koriokapiler yang berfenestra
dan permukaan luar retina. Dua komponen RPE yang berperan dalam
fungsi barrier adalah tight junction antara sel-sel RPE dan distribusi
protein seluler yang terpolarisasi. Tight junction merupakan struktur

dinamik dimana permeabilitasnya dapat dipengaruhi oleh kondisi


fisiologis tertentu dan oleh agen-agen farmakologis. Regulasi transport
transepitelial bergantung pada distribusi protein seluler yang asimetris.
(10)

RPE DAN SIKLUS VISUAL


Salah

satu

fungsi

penting

RPE

adalah

metabolism

retinol.

Isomerisasi 11-cis retinaldehyde menjadi all-trans-retinol pada absorpsi


photon pada ROS (photoreceptor outer segment) merupakan tahap
awal reaksi lintas penglihatan. Reisomerisasi all-trans-retinol menjadi
11-cis-retinal di RPE juga merupakan aspek penting pada lintas
penglihatan. Mekanisme transport dengan menggunakan retinoid
binding protein (RBP) intraseluler maupun ekstraseluler digunakan
untuk uptake retinol dari darah dan untuk pertukaran retinol antara
sel-sel fotoreseptor dan RPE. Di darah, retinol yang merupakan molekul
yang larut lemak terikat pada retinol-binding protein (RBP) untuk
meningkatkan solubelitasnya. Retinol dari plasma RBP ke RPE melalui
proses mediasi reseptor. Dimana reseptor plasma RBP berada pada
permukaan basal sel RPE.

Gambar 18. Reaksi intraseluler


pada metabolism retinoid (LRAT
: Lecithin retinol acyl
transferase;ARAT, acyl CoA:
retinyl acyl transferase(10)

Pada daerah ini retinol terikat dengan protein lain dan disimpan dalam
bentuk fatty acid esters retinol, merupakan kompleks protein-lipid dan
substrat ini akan mengalami esterifikasi dan intermediate untuk
transfer retinol ke cytosolic retinol-binding protein (CRBP). Selanjutya,
dengan

adanya

interphotoreceptor

(IRBP),memediasi

transfer

fotoreseptor

all-trans-retinol

dan

retinoid

binding

11-cis-retinaldehyde
dari

retina

ke

dari
RPE

protein
RPE

ke

melewati

permukaan apical. Pada retinitis pigmentosa terjadi defek genetic pada


RLBP1, gen yang mengkode CRALBP (cellular retinaldehyde binding
protein) yang memegang peranan dalam metabolism vitamin A. Di RPE
retinol akan dirubah menjadi retinylester dengan bantuan enzim
lechitin retinol acyltransferase. Untuk menghasilkan rhodopsin, retinyl
ester dirubah menjadi II-cis retinol oleh isomerohydrolase (isomerase)
yang selanjutnya dikonversikan menjadi

11- cis retinal

dehydrogenase dengan bantuan IRBP, 11-cis retinal akan dikembalikan


kedalam sel fotoreseptor.(2,3,4,10)

GAMBAR 19 . TRANSPOR EPITEL DAN REGULASI PH(ClC-2, voltage-dependent Cl channels dari ClC

family; CFTR: cystic fibrosis transmembrane sebagai regulator: Kir7.1, inwardly rectifying K+

channel 7.1; maxi-K, large-conductance Ca2+-dependent K+ channel; MCT1, monocarboxylate


transporter 1; MCT3, monocarboxylate transporter 3).

TRANSPOR EPITEL DAN REGULASI PH


Transpor ion-ion transepitelial melewati RPE. Cl- ditranspor dari
subretinal space ke koriokapiler. Transpor ini diikuti oleh air melalui
aquaporin dari subretinal space ke koriokapiler. Energi transport
berasal dari apical Na+-K+-ATPase.K+ ditranspor oleh resiklus ATPase
melalui membrane apical dan mempengaruhi gradien Na + kedalam sel.
Gradien Na+ merangsang masuknya K+ dan Cl- pada daerah apical
sehingga terjadi aktivitas yang tinggi oleh Cl- intraseluler. Cl- keluar dari
sel pada daerah basolateral melalui Cl channels. Keluarnya Cl dari sel
ditekan oleh aktivitas pertukaran Cl-/HCO3-,yang mentranspor Clkembali ke dalam sel.
Transpor asam laktat dan regulasi PH. Asam laktat keluar dari
subretinal

space

oleh

lac-H+

cotransporter.

Melalui

membrane

basolateral, asam laktat meninggalkan sel dengan menggunakan


subtype cotransporter lac-H+ yang berbeda.Regulasi pH terjadi dengan
menggunakan Na+/H+ exchanger dan Na+/HCO3- exchanger pada
membran apikal dan Cl-/HCO3- exchanger pada membran basolateral.
Aktivitas Cl-/HCO3- exchanger didukung oleh Cl chanels basolateral.
Yang menghasilkan siklus Cl- melewati membran basolateral. Jika
terjadi asidifikasi intraseluler, Cl-/HCO3- exchanger akan dihambat
sedangkan Cl chanels diaktivasi.Keadaan ini meningkatkan jumlah
transport air.

(19)

FOTOTRANSDUKSI ROD
Proses penerimaan dan perubahan cahaya yang masuk kedalam
retina membutuhkan energi dimana respon retina ini membedakannya
dengan struktur saraf lainnya. Kombinasi dari proses ini melibatkan

organel khusus dari sel fotoresptor. Rod memiliki lebih banyak


membran dibandingkan dengan cone sehingga rod lebih sensitif.(2,4,8,9)
Segmen luar dari rod terutama mengandung material plasma
membran yang tersusun secara khas. Membran ini

tersusun dalam

bentuk kantung-kantung pipih sepanjang aksis horizontal dari segmen


luar. Terdapat sekitar 1000 kantung pada segmen luar rod dan sekitar
1 juta molekul rhodopsin pada setiap kantung. Kantung- kantung ini
melayang- layang pada sitoplasma seperti sebuah tumpukan koin yang
tidak berhubungan dengan plasma membran luarnya. Kantung ini
mengandung mesin protein untuk menangkap dan memperkuat energi
cahaya. Melimpahnya membran sel luar ini meningkatkan jumlah
molekul rhodopsin yang dapat menyerap cahaya.(2,4,7,10)
Cahaya diserap oleh rhodopsin yang terletak pada membran sel
luar dari rod. Rhodopsin adalah sejenis protein berupa membran yang
mudah

ditembus

dan

sejenis

dengan

reseptor

alfa

dan

beta

adrenergik. Setiap molekul bertanggung jawab terhadap satu kuantum


cahaya. Rhodopsin menyerap cahaya hijau dengan panjang gelombang
sekitar 510 nm. Rhodopsin kurang baik dalam menyerap cahaya biru
dan kuning dan tidak sensitif terhadap cahaya merah.

(9,10)

Pada saat rhodopsin menyerap suatu kuantum cahaya, ikatan


ganda dari II- cis retinal akan pecah dan molekul opsin mengalami
perubahan konfigurasi

yang cepat, sehingga terjadi keadaan aktif

yang disebut metarhodopsin II. Rhodopsin yang terktivasi memulai


reaksi dengan mengontrol aliran kation- kation kedalam segmen luar
rod. Target dari reaksi ini adalah pada pintu saluran cGMP (cyclic
Guaonosine Monophosphate) yang terletak di membran terluar dari
segmen luar. Saluran ini mengontrol aliran ion natrium dan kalsium
kedalam rod. Dalam suasana gelap, ion natrium dan kalsium mengalir
melalui

saluran

ini

dimana

terbukanya

pintu

saluran

ini

dipertahankanoleh

cGMP.

Keseimbangan

ion

dipertahankan

oleh

pompa Na+, K+-ATPase pada segmen dalam dan Na+/K+- Ca exchanger


pada

membran

membutuhkan

segmen

energi.

luar,

yang

Keadaan

mana

depolarisasi

kedua
rod

proses

ini

menyebabkan

dilepasnya neurotransmitter glutamate dari terminal sinaptik dan


dimulailah sebuah sinyal neural dari proses melihat(3).

Gambar 20 . Aktivasi fototransduksi(11)

Rhodopsin yang telah teraktivasi merangsang molekul kedua,


transdusin, dengan cara menukar guanosin difosfat (GDP) dengan
guanosin trifosfat (GTP). Satu moloekul rhodopsin dapat mengaktifkan
seratus molekul transdusin, sehingga memperkuat reaksi. Transduksin
yang aktif memicu protein ketiga, rod fosfodiesterase (rod PDE) yang
menghidrolisis cGMP ke 5-noncyclic GMP. Penurunan cGMP ini
menutup

pintu

saluran-

saluran,

dimana

aakan

menghentikan

masuknya natrium dan kalsium dan membuat keadaan hiperpolarisasi

rod. Hiperpolarisasi menghentikan pelepasan glutamate dari terminal


sinaptik

(3,9)

Pada keadaan gelap, rod kembali ke keadaan gelapnya seiring


dengan terhentinya aliran reaksi. Rhodopsin mengalami inaktivasi
akibat fosforilasi pada C-terminalnya oleh rhodopsin kinase, yang
dibantu oleh ikatan arrestin. Transdusin dinonaktifkan akibat hidrolisis
dari GTP ke GDP oleh aktivitas GTPase transdusin intrinsic, yang juga
menonaktifkan PDE. Guanilat siklase, suatu enzim yang mensintesis
cGMP dari GTP, diaktifkan oleh menurunnya kadar kalsium intraseluler
akibat tertutupnya saluran, aksi dari enzim ini dibantu oleh protein
pembantu-guanilat siklase (GCAPs). Dengan meningkatnya kadar
cGMP, pintu saluran- saluran tertutup dan rod kembali mengalami
depolarisasi. Meningkatnya kadar kalsium intraseluler mengembalikan
aktivitas guanilat siklase ke level gelapnya. Umpan balik kalsium juga
dapat meregulasi fosforilasi

rhodopsin

dengan jalan melindungi

sensitivitas pintu saluran.(3,4,8,9)


FOTOTRANSDUKSI CONE
Fototransduksi yang terjadi pada cone adalah kebalikan dari rod.
Cone-opsin yang telah teraktivasi oleh cahaya memulai pengaliran
enzimatik yang menghidrolisis cGMP dan menutup saluran kation pada
pintu spesifik cGMP cone di membran segmen luarnya. Fototransduksi
pada cone kurang sensitif namun memiliki kemampuan yang cepat
dalam beradaptasi terhadap berbagai kadar iluminasi. Semakin besar
kadar cahaya, maka semakin cepat dan akurat respon dari cone.
Kecepatan dan ketepatan sangat penting dalam kerja cone. Hal ini
yang menjadi alasan peningkatan ketajaman penglihatan seiring
dengan peningkatan iluminasi. Karena kemampuan cone dalam
beradaptasi, cone sangat diperlukan untuk ketajaman penglihatan .
(3,4,8,9)

Pada cone, terdapat mekanisme umpan balik negatif. Sel-sel


horizontal bersinaps secara antagonis terhadap cone, dimana sel ini
melepas

GABA

yang

bersifat

inhibitor.

Pada

saat

cahaya

menghiperpolarisasi cone, maka cone membuat hiperpolarisasi sel


horizontal disebelahnya. Hal ini mengakibatkan inhibisi terhadap sel
horizontal, sehingga pelepasan GABA terhenti dan terjadi depolarisasi
cone. Keadaan depolarisasi ini menghambat keadaan hiperpolarisasi
oleh cahaya dan mencoba untuk mengembalikan cone pada keadaan
hiperpolarisasi oleh cahaya. Umpan balik negatif ini berfungsi agar
cone tidak mengalami keadaan overload (kelebihan beban) sehingga
memungkinkan cone dapat merespon stimulus baru dengan lebih
cepat.

(3,10)

PENGLIHATAN WARNA
Untuk melihat warna, mamalia harus memiliki sedikitnya 2 kelas
spektral berbeda dari cone. Pada mata manusia normal, ada 3 tipe sel
cone dimana ketiganya merupakan 3 sistem cone-opsin. 3 sistem
cone-opsin tersebut adalah short-wavelength sensitive (S), middlewavelength-sensitive (M) dan long-wavelength-sensitive cone. Ke-3
varian opsin tersebut terdapat pada semua sel cones. Namun secara
garis besar terdapat tiga jenis cones dimana jenisnya tergantung pada
jenis opsin yang dominan, yang menyebabkan sel ini sensitive
terhadap spectrum warna yang berbeda- beda, sebagaimana terlihat
pada diagram dibawah. Cone biru mengandung banyak blue-sensitive
opsin, yang mudah tereksitasi dengan panjang gelombang sekitar 420
nm, cone hijau dengan panjang gelombang sekitar 530 nm, dan merah
dengan panjang gelombang 560 nm(10)

Trivarian colour vision

Gambar

21.

Variasi
sensitivitas
warna

pada

sel

cones(11)

Gambar 22.A. retina

sentralis didalam N. Optik

II.

VASKULARISASI RETINA
Pembuluh darah retina berasal dari dua sumber, yaitu kapiler
koroid dan arteri dan vena sentralis. Kapiler koroid menyuplai 1/3
bagian luar termasuk sel rod dan cone, RPE dan lapisan inti luar.
Sedangkan arteri dan vena retina sentralis menyuplai 2/3 bagian
dalam sampai dengan tepi dalam lapisan inti dalam. Arteri retina
sentralis merupakan cabang pertama arteri oftalmika dengan diameter
0,3 mm dan berjalan menuju lapisan dura dari saraf optik dan
memasuki bagian inferior dan medial saraf optik sekitar 12 mm di

posterior bola mata. Arteri retina sentralis terbagi menjadi cabang


superior dan inferior. Setelah beberapa millimeter, cabang ini terbagi
menjadi cabang superior dan inferior nasal dan temporal. Cabang dari
arteri dan vena retina sentralis muncul dari bagian tengah diskus
optikus,

biasanya

kearah

nasal.

Tidak

terdapat

overlap

dan

anastomosis pada semua pembuluh darah di semua kuadran. Cabang


nasal berjalan ke ora serrata. Sementara cabang temporal melengkung
diatas dan didaerah fovea sentralis.

(2,7)

Sama halnya dengan pembuluh darah di seluruh tubuh, jika terjadi


kondisi hipoksia pada pembuluh darah retina, maka endotel dari
pembuluh darah retina akan melepaskan faktor- faktor angiogenesis
seperti vascular endothelial growth factors (VEGF), basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF), insulin-like Growth Factor-I (IGF-I) dan berbagai
nukleosida seperti adenosine

(2,6,7)

DEFINISI
Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak
berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina yang ditemukan pada anak-anak
terutama pada usia dibawah 5 tahun (Mansjoer, 2007).
EPIDEMIOLOGI
Retinoblastoma telah lama dipandang sebagai contoh dari kanker yangditurunkan
secara dominan, tetapi tumor ini dapat juga non-herediter (Kartawiguna, 2001).
Diperkirakan sekitar 40% retinoblastoma adalah herediter, 25% diantaranya bilateral dan
15% unilateral (Rosdiana, 2009). DiAmerika Serikat diperkirakan sekitar 250-300 kasus
baru didiagnosa setiap tahun (Jamallaet al, 2010). Dari data keluarga didapatkan < 50%
keturunan penderita retinoblastoma yang kemudian akan menderita tumor ini. Mereka
menduga ini termasuk dalam golongan tumor yang non-herediter. Penyelidikan lain
menunjukkan penderita retinoblastoma bilateral yang sebelumnya tidak mempunyai
riwayat keturunan kemungkinan menurunkan penyakit inimendekati 50% seperti pada
penderita retinoblastoma unilateral yangmempunyai riwayat keturunan. Sedangkan
kemungkinan mendapat penyakitini adalah 10-15% pada keturunan dari penderita
retinoblastoma unilateral yang tidak mempunyai riwayat keturunan. Kemungkinan
mendapat penyakitini pada keturunan penderita yang tumornya unilateral atau bilateral
denganriwayat keturunan sangat tinggi yaitu 60-70% (Kartawiguna, 2001). Dari data

disimpulkan 40% keturunan penderita retinoblastoma adalahkarier gen yang dominan.


Dari 40% ini, 95% menderita paling sedikit tumor unilateral bisa juga bilateral.
Sebaliknya penderita yang tidak membawa gendominan mempunyai risiko 1/30.000
untuk menderita tumor unilateral dantidak pernah bilateral (Kartawiguna, 2001).
ETIOLOGI
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada DNA
(Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1 sampai
fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif sebelum
diferensiasi berakhir.
PATOFISIOLOGI
Retinoblastoma terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yangterletak pada
kromosom 13q14 (kromosom nomer 13 sequence ke 14) baik terjadi karena faktor
hereditas maupun karena faktor lingkungan seperti virus,zat kimia, dan radiasi. Gen RB1
ini merupakan gen suppressor tumor, bersifatalel dominan protektif dan merupakan
pengkode protein RB1 (P-RB) yangmerupakan protein yang berperan dalam regulasi
suatu pertumbuhan sel (Anwar, 2010). Apabila terjadi mutasi seperti kesalahan
transkripsi,translokasi, maupun delesi informasi genetik, maka gen RB1 (P-RB)
menjadiinaktif sehingga protein RB1 (P-RB) juga inaktif atau tidak diproduksisehingga
memicu pertumbuhan sel kanker (Tomlinson, 2006).Retinoblastoma biasa terjadi di
bagian posterior retina. Dalam perkembangannya massa tumor dapat tumbuh baik secara
internal dengan memenuhi vitreous body (endofitik). Maupun bisa tumbuh ke arah luar
menembus koroid, saraf optikus, dan sklera (eksofitik). Secara mikroskopis sebagian
besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun rapat bundar atau polygonal
dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Sel-sel ini kadang-kadang
membentuk rosette Flexner-Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi
diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainandegeneratif sering dijumpai, disertai oleh
nekrosis dan kalsifikasi (Tomlinson,2006; Vaughanet al, 2000).

Teori tentang histogenesis dari Retinoblastoma yang paling banyak dipakai


umumnya berasal dari sel prekursor multipotensial (mutasi pada lengan panjang
kromosom pita 13, yaitu 13q14 yang dapat berkembang pada beberapa sel retina dalam
atau luar. Pada intraokular, tumor tersebut dapat memperlihatkan berbagai pola
pertumbuhan yang akan dipaparkan di bawah ini.7

Pola Penyebaran Tumor 3


1. Pola pertumbuhan
Retinoblastoma Intraokular dapat menampakkan sejumlah pola pertumbuhan, pada
pola pertumbuhan endofitik, ini tampak sebagai gambaran massa putih sampai coklat
muda yang menembus membran limitan interna. Retinoblastoma Endofitik kadang
berhubungan dengan vitreus seeding. Sel-sel dari Retinoblastoma yang masih dapat hidup
terlepas dalam vitreous dan ruang sub retina dan biasanya dapat menimbulkan perluasan
tumor melalui mata. Vitreous seeding sebagian kecil meluas memberikan gambaran klinis
mirip endopthalmitis, vitreous seeding mungkin juga memasuki bilik mata depan, yang
dapat berkumpul di iris membentuk nodule atau menempati bagian inferior membentuk
Pseudohypopyon 1,2,7
Tumor Eksofitik biasanya kuning keputihan dan terjadi pada ruang subretinal, yang
mengenai pembuluh darah retina dan sering kali terjadi peningkatan diameter pembuluh
darah dengan warna lebih pekat. Pertumbuhan Retinoblastoma Eksofitik sering
dihubungkan dengan akumulasi cairan subretina yang dapat mengaburkan tumor dan
sangat mirip ablasio retina eksudatif yang memberi kesan suatu Coats disease lanjut. Sel
Retinoblastoma mempunyai kemampuan untuk implant dimana sebelumnya jaringan
retina tidak terlibat dan tumbuh. Dengan demikian membuat kesan multisentris pada mata
dengan hanya tumor primer tunggal.1 Sebagaimana tumor tumbuh, fokus kalsifikasi yang
berkembang memberikan gambar khas chalky white appearance.

2. Invasi saraf optikus;


Dengan penyebaran tumor sepanjang ruang sub arachnoid ke otak. Sel
Retinoblastoma paling sering keluar dari mata dengan menginvasi saraf optikus dan
meluas kedalam ruang sub arachnoid. 2
3. Diffuse infiltration retina
Pola yang ketiga adalah Retinoblastoma yang tumbuh menginfiltrasi luas yang
biasanya unilateral, nonherediter, dan ditemukan pada anak yang berumur lebih dari 5
tahun. Pada tumor dijumpai adanya injeksi conjunctiva, anterior chamber seeding,
pseudohypopyon, gumpalan besar sel vitreous dan tumor yang menginfiltrasi retina,
karena masa tumor yang dijumpai tidak jelas, diagnosis sering dikacaukan dengan
keadaan inflamasi seperti pada uveitis intermediate yang tidak diketahui etiologinya.
Glaukoma sekunder dan Rubeosis Iridis terjadi pada sekitar 50% kasus. 1,2
4. Penyebaran metastasis ke kelenjar limfe regional, paru, otak dan tulang. 3,9
Sel tumor mungkin juga melewati kanal atau melalui slera untuk masuk ke orbita.
Perluasan ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana tumor tumbuh dalam
orbita. Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi trabecular messwork, memberi jalan
masuk ke limphatik conjunctiva. Kemudian timbul kelenjar limfe preauricular dan
cervical yang dapat teraba.2
Di Amerika Serikat, pada saat diagnosis pasien, jarang dijumpai dengan metastasis
sistemik dan perluasan intrakranial. Tempat metastasis Retinoblastoma yang paling sering
pada anak mengenai tulang kepala, tulang distal, otak, vertebra, kelenjar limphe dan
viscera abdomen. 4
MANINFESTASI KLINIS
Tanda-tanda retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah leukokoria (white
pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cats-eye
appearance, strabismus dan inflamasi okular. Gambaran lain yang jarang dijumpai,
seperti heterochromia, hyfema, vitreous hemoragik, selulitis, glaukoma, proptosis dan

hypopion. Tanda tambahan yang jarang, lesi kecil yang ditemukan pada pemeriksaan
rutin. Keluhan visus jarang karena kebanyakan pasien adalah anak umur prasekolah
(Hidayat, 2010).
Tanda Retinoblastoma :
1) Pasien umur < 5 tahun
a. Leukokoria (54%-62%)
b. Strabismus (18%-22%)
c. Hypopion
d. Hyphema
e. Heterochromia
f. Spontaneous globe perforation
g. Proptosis
h. Katarak
i. Glaukoma
j. Nystagmus
k. Tearing
l. Anisocoria
2) Pasien umur > 5 tahun
a. Leukokoria (35%)
b. Penurunan visus (35%)
c. Strabismus (15%)
d. Inflamasi (2%-10%)
e. Floater (4%)
f. Pain (4% ) (Hidayat, 2010)
Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma yang terjadi oleh
karena adanya mutasi genetik (gen RB1) dan retinoblastoma sporadik.
Retinoblastoma yang diturunkan secara genetik terbagi atas 2 tipe,yaitu
retinoblastoma yang muncul pada anak yang membawa gen retinoblastoma dari

salah satu atau kedua orang tuanya (familial retinoblastoma), dan retinoblastoma
yang muncul oleh karena adanya mutasi baru, yang biasanya terjadi pada sel
sperma ayahnya atau bisa juga dari sel telur ibunya (sporadic heritable
retinoblastoma). Kedua tipe retinoblastoma yang diturunkan secara genetik ini
biasanya ditemukan bersifat bilateral, dan muncul dalam tahun pertama
kehidupan, jumlahnya sekitar 6%. Sedangkan retinoblastoma sporadik bisanya
bersifat unilateral, dan muncul setelah tahun pertama kehidupan, jumlahnya 96%
(Paduppai, 2010).

Klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth :


a. Stadium I
1) Solid < 4 diameter papil (disc diameter, dd), di belakang ekuator
2) Multipel > 4 dd, pada/di belakang ekuator
b. Stadium II
1) Solid 4-10 dd
2) Multipel 4-10 dd, di belakang ekuator
c. Stadium III
1) Di depan ekuator
2) Lebih dari 10 dd, di belakang ekuator
d. Stadium IV
1) Multipel > 10 dd
2) Sampai ora serrata
e. Stadium V
1) Separuh luas retina
2) Korpus vitreum
Klasifikasi ekstraokular menurut Retinoblastoma Study Commitee:
a. Grup I
Saat enukleasi tumor ditemukan di sklera, atau sel tumor ditemukan di
emisaria sklera
b. Grup II
Tepi irisan N II tidak bebas tumor
c. Grup III
Biopsi mengungkap tumor sampai dinding orbita
d. Grup IV

Tumor ditemukan di cairan serebrospinal


e. Grup V
Tumor menyebar secara hematogen ke organ dan tulang panjang (Suhardjo
& Hartono, 2007)

Klasifikasi Retinoblastoma Internasional


Di Indonesia, klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth sulit
dipakai mengingat pasien yang datang umumnya sudah stadium ekstra okuler.
Klasifikasi retinoblastoma internasional dibuat dengan menggabungkan gambaran
klinik dan patologi dengan satu tujuan, yaitu angka bertahan hidup pada pasien
retinoblastoma. Pasien diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan penyakit,
termasuk gambaran mikroskopik atau ekstensi ekstra okuler dan metastase
(Paduppai, 2010).
Berikut ini adalah klasifikasi Retinoblastoma Internasional
a. Stadium leukokoria
Pada stadium ini, pasien tidak merasakan gejala apapun hanya penglihatan
yang menurun sampai visus 0. Saat ini orang tua pasien sering merasa tidak
ada masalah dengan mata anaknya sehingga kadang dibiarkan, padahal pada
tahap inilah pasien masih bisa diselamatkan dengan tindakan enukleasi
(pengangkatan bola mata), jika pada pemerikasaan patologi anatomi N.optik
sudah terkena maka tindakan selanjutnya adalah kemoterapi. Kelangsungan
hidup pada stadium ini jika cepat ditindaklanjuti biasanya baik.
b. Stadium glaukomatosa
Pada stadium ini massa tumor membesar, meluas ke depan, sudah memenuhi
seluruh isi bola mata, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intraokular.
Oleh karena itu, gejala yang nampak adalah gejala glaukoma. Gejala lain yang
dapat nampak adalah strabismus, uveitis, dan hifema. Pasien merasa
kesakitan, bola mata membesar, dan midriasis dengan refleks pupil negatif,
eksoftalmos dan edema kornea. Stadium ini biasanya hanya berlangsung
beberapa bulan, sehingga jika terlambat ditangani akan masuk stadium
berikutnya.

c. Stadium ekstraokuler
Pada stadium ini bola mata sudah menonjol (proptosis), akibat desakan masa
tumor yang sudah keluar ke ekstra okuler. Segmen anterior bola mata sudah
rusak dan keadaan umum pasien nampak lemah dan kurus. Terjadi perluasan
ke saraf optik dan koroid. Penyebaran bisa secara limfogen dan hematogen.
Sel ganas bisa ditemukan hingga di cairan serebrospinal. Prognosis dalam
stadium ini kurang baik dan tindakan yang dilakukan hanyalah untuk
mempertahankan hidup pasien.
d. Stadium metastase
Stadium ini sangat buruk oleh karena tumor sudah masuk ke kelenjar lymfe
preaurikuler atau submandibula. Penanganan pada stadium ini hanyalah
bersifat paliatif saja. Terlambatnya diagnosis adalah suatu fenomena yang
kompleks pada banyak pasien. Sering berhubungan dengan faktor sosial
ekonomi atau misdiagnostik karena tidak nampaknya gangguan penglihatan.
Pada beberapa populasi, ketidaktahuan akan abnormalitas mata seperti
strabismus dan leukokoria sebagai suatu tanda dari kanker mata (Suhardjo &
Hartono,2007;Paduppai,2010).
DIAGNOSIS
1) Anamnesis
Anamnesis harus menanyakan adakah riwayat keluarga yang menderita
kanker apapun, misalnya Ca cervix/mammae, Ca paru. Sifat sel tumor
pleotropik, jadi punya kecenderungan untuk mutasi ke bentuk keganasan lain
(Suhardjo &Hartono, 2007).
2) Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis mengungkap adanya visus turun, leukokoria yang
merupakan gejala yang paling mudah dikenali oleh keluarga penderita,
strabismus, midriasis, hipopion, hifema, dan nistagmus (Suhardjo & Hartono,
2007).
3) Pemeriksaan penunjang
a. Biopsi
Dengan melakukan biopsi jarum halus, maka tumor dapat ditentukan
jenisnya. Namun demikian, tindakan ini dapat menyebabkan terjadinya

penyebaran sel tumor sehingga tindakan ini jarang dilakukan oleh dokter
spesialis mata (Rahman, 2008).
b. Pemeriksaan dengan anestesi (Examination under anesthesia / EUA)
Di Bagian Mata, pemeriksaan dengan anastesi (Examination under
anesthesia / EUA) diperlukan pada semua pasien untuk mendapatkan
pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh (Hidayat, 2010). Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menentukan diameter kornea, tekanan intraokuler,
pemeriksaan funduskopi, serta melihat pembuluh darah/neovaskularisasi
yang terjadi (Rahman, 2008). Lokasi tumor multipel harus dicatat secara
jelas. Tekanan intra okular dan diameter cornea harus diukur saat operasi
(Hidayat, 2010).
c. USG
USG dapat membantu dalam diagnosis retinoblastoma yang menunjukkan
ciri khas kalsifikasi dalam tumor (Hidayat, 2010). Sensitivitas USG
mencapai 97%, dan dapat membedakan retinoblastoma dengan retinopati
prematuritas (Suhardjo & Hartono, 2007).
d. Computerized Tomography (CT Scan)
Pemeriksaan CT scan ini dilakukan untuk melihat adanya kalsifikasi,
ukuran, serta perluasan tumor ke tulang (Rahman, 2008; Suhardjo &
Hartono, 2007).
e. MRI
MRI lebih disukai sebagai modal diagnostik untuk menilai nervus optikus,
orbita dan otak , serta untuk melihat perluasan tumor ke n. Optikus
(Hidayat, 2010; Suhardjo &Hartono, 2007). MRI tidak hanya memberikan
resolusi jaringan lunak yang lebih baik, tapi juga menghindari bahaya
terpapar radiasi (Hidayat, 2010).
f. Lumbal punksi
Jika diperkirakan adanya perluasan ke nervus optikus, lumbal punksi
dilakukan. Lumbal punksi tidak di indikasikan pada anak tanpa
abnormalitas neurologis atau adanya bukti perluasan ekstraokular
(Hidayat, 2010).
g. Pemeriksaan histopatologi

Khas gambaran histopatologis Retinoblastoma yang biasanya dijumpai


adalah adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes
yang jarang. Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel
retina. Homer-Wright rosettes juga sering dijumpai tetapi kurang spesifik
untuk Retinoblastoma karena sering juga dijumpai pada tumor
neuroblastik lain. Kalsifikasi luas biasa dijumpai (Hidayat, 2010).
Sel berproliferasi membatasi lumen sehingga berbentuk seperti roset. Pada
retinoblastoma yang sel roset-nya banyak, biasanya berdiferensiasi baik,
kurang ganas, dan radioresisten. Sedangkan yang sel roset-nya sedikit,
biasanya diferensiasi buruk, ganas, dan radiosensitif, Tumor terdiri dari sel
basophilic kecil (Retinoblast), dengan nukleus hiperkhromatik besar dan
sedikit sitoplasma. (Suhardjo & Hartono, 2007).
Kebanyakan Retinoblastoma tidak dapat dibedakan, tapi macam-macam
derajat diferensiasi Retinoblastoma ditandai oleh pembentukan Rosettes,
yang terdiri dari 3 tipe (Hidayat, 2010) :
1) Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen central yang
dikelilingi oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.
2) Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinophilik
3) Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga.

PENATALAKSANAAN
Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral,
perluasan kejaringan ekstra okuler dan adanva tanda-tanda metastasis jauh.
1) Fotokoagulasi laser

Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium sangat


dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang
menuju ke tumor akan tertutup sehingga sel tumor akan menjadi mati.
Keberhasilan cara ini dapat dinilai dengan adanya regresi tumor dan
terbentuknya jaringan sikatrik korioretina. Cara ini baik untuk tumor yang
diameternnya 4,5 mm dan ketebalan 2,5 mm tanpa adanya vitreous seeding.
Yang paling sering dipakai adalah Argon atau diode laser yang dilakukan
sebanyak 2 sampai 3 kali dengan interval masing-masingnya 1 bulan.
2) Krioterapi
Dapat dipergunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan ketebalan
3 mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga digabungkan dengan foto
koagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda sikatrik
korioretina. cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali dengan
interval masing-masingnya 1 bulan.
3) Thermoterapi
Dengan mempergunakan laser infra red untuk menghancurkan sel-sel tumor
terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil.
4) Radioterapi
Dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul kearah korpus vitreus dan
tumor-tumor yang sudah berinvasi ke nervus optikus yang terlihat setelah
dilakukan enakulasi bulbi. Dosis yang dianjurkan adalah dosis fraksi perhari
190 - 200 cGy dengan total dosis 4000 - 5000 cGy yang diberikan selama 4
sampai 6 minggu.
5) Kemoterapi
Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang
pada perneriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada koroid dan atau
mengenai nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah
dilakukan eksenterasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh.
Kemoterapi juga dapat diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk
rnenghindari tindakan radioterapi. Retinoblastoma study Group menganjurkan

penggunaan carboplastin, vincristine sulfate dan etopozide phosphate.


Beberapa peneliti juga menambahkan cyclosporine atau dikombinasikan
dengan regimen kemoterapi carboplastin, vincristine, etopozide phosphate.
Teknik lain yang dapat digabungkan dengan metode kemoterapi ini adalah:
a) Kemotermoterapi dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan
dengan termoterapi cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada
pada fovea dan nervus optikus dimana jika dilakukan radiasi atau
fotokoagulasi laser dapat berakibat teriadinya penurunan visus.
b) Kemoradioterapi adalah kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi yang
dapat dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.
6) Enakulasi bulbi
Dilalukan apabila tumor sudah memenuhi segmen posterior bola mata.
Apabila tumor telah berinvasi kejaringan sekitar bola mata maka dilakukan
eksenterasi (Rahman, 2008).
Berdasarkan ukuran tumor penatalaksanaan tumor dapat dibagi:
1) Tumor kecil
Ukuran tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke korpus
vitreus atau subretinal. Dapat dilakukan fotokoagulasi laser, termoterapi,
krioterapi dan kemoterapi.
2) Tumor medium
a) Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diarneter papil nervus optikus
terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous juga dipergunakan
untuk tumor-tumor yang sudah mengalami regresi.
b) Kemoterapi
c) Radioterapi. Sebaiknya hal ini dihindarkan karena komplikasinya dapat
mengakibatkan katarak, radiasi retinopati.
3) Tumor besar
a) Kemoterapi untuk mengecilkan tumor dan ditambah pengobatan lokal
seperti

krioterpi

dan

fotokoagulasi

laser

yang

bertujuan

untuk

menghindarkan enakulasi dan radioterapi. Tindakan ini juga memberikan


keuntungan apabila terdapat tumor yang kecil pada mata sebelahnya.
b) Enakulasi bulbi dalakukan apabila tumor yang diffuse pada segmen
posterior bola mata dan yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
rekurensi.
4) Tumor yang sudah meluas ke jaringan ekstra okuler maka dilakukan
eksenterasi dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi.
5) Tumor yang sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja
(Rahman, 2008)

Anda mungkin juga menyukai