Anda di halaman 1dari 12

Kesehatan kerja merupakan program kesehatan yang penting.

Seorang kepala keluarga merupakan


kekuatan utama ekonomi sebuah keluarga. Apabila kepala keluarga yang bekerja tersebut jatuh
sakit maka bisa dipastikan penghasilan keluarganya juga akan berkurang, sehingga status ekonomi
keluarga juga akan menurun. Pada masyarakat miskin akan berdampak langsung terhadap status
gizi dan kesehatan keluarganya. Apabila masyarakat pekerja sehat dan produktif akan berdampak
pada produktifitas suatu perusahaaan atau masyarakat dan akhirnya berujung pada produktifitas
bangsa dan negara. Dengan demikian pekerja yang sehat menentukan kesejahteraan suatu bangsa
dan negara.
Dari data BPS tahun 2005, tercatat jumlah penduduk usia kerja (15-54 tahun) berjumlah
22.214.459 jiwa atau 10,2 % dari jumlah penduduk. Dengan rincian tempat bekerja pada sektor
perdagangan (26,1 % ), sektor industri (18,5 % ), jasa ( 17 %) , angkutan (13,3 %), pertanian (11
%), bangunan (9,7 %) sektor listrik, minyak dan gas (0,5 %). Dengan demikian sasaran kesehatan
kerja sangat banyak dan harus ditangani secara serius.
Masalah kesehatan kerja yang juga harus ditangani secara serius adalah pekerja anak pada usia 1017 tahun. Data Sakernas tahun 2004 pekerja anak usia 10-17 tahun mencapai 2.865.073 jiwa.
Tersebar di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (55,1 %), pertambangan (1,3
%), industri pengolahan (13,2 %), listrik, gas dan air (0,04 %), bangunan (1,9 %), perdagangan
besar, eceran rumah makan dan hotel (17,1 %), angkutan, pergudangan dan komunikasi (2,4 % ),
keuangan, asuransi dan usaha persewaan (0.08 %) serta jasa kemasyarakatan (8,2 %).
International Labour Organization (ILO) tahun 2002 melaporkan bahwa setiap tahun 2 (dua) juta
orang meninggal dan terjadi 160 juta kasus PAK / PHAK serta 270 juta kasus kecelakaan akibat
kerja. Kejadian ini mengakibatkan dunia mengalami kerugian setara dengan 1, 25 trilun dolar atau
4% GNP dunia. Dari 27 negara yang dipantau ILO (2001), data kematian pekerja di Indonesia
berada pada posisi 26.
Data Jamsostek (2003) menunjukkan bahwa setiap hari kerja terjadi 7 kematian pekerja dari 400
kasus kecelakaan akibat kerja dengan 9,83% (10.393 kasus) mengalami cacat dan terpaksa tidak
mampu bekerja lagi. Data lain menyebutkan, hingga triwulan pertama 2004, tercatat 20.937 kasus
kecelakaan kerja, sehingga setiap hari terjadi 49 kasus kecelakaan kerja dengan lima korban
meninggal per hari. Hingga Agustus 2004 jumlah tersebut meningkat menjadi 86.880 kasus .
Angka ini hanya merupakan angka yang dilaporkan sedangkan angka yang sesungguhnya belum
diketahui secara pasti. Hal ini seperti fenomena puncak gunung es.
Dengan fakta-fakta data-data dan uraian informasi diatas tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan
kerja sangat layak menjadi program unggulan yang akan datang di Indonesia.
Kesehatan Kerja
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang,
kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan
ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara

anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan
perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu
gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan
perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya
dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5 (lima) benua tahun 1999,
memperlihatkan bahwa penyakit gangguan otot rangka (Musculo Skeletal Disease) pada urutan
pertama 48 %, kemudian gangguan jiwa 10-30 %, penyakit paru obstruksi kronis 11 %, penyakit
kulit (Dermatosis ) akibat kerja 10 %, gangguan pendengaran 9 %, keracunan pestisida 3 %,
cedera dan lain-lain.
Kesehatan Dunia tahun 2002 menempatkan resiko kerja pada urutan ke sepuluh penyebab
terjadinya penyakit dan kematian. Dilaporkan bahwa faktor resiko kerja memberikan kontribusi
pada penyakit berikut : 37 % penyakit tulang belakang, 16 % kehilangan pendengaran, 13 %
penyakit paru obstruksi kronis, 11 % asma, 10 % kecelakaan, 9 % kanker paru dan 2 % Leukemia.
Kematian yang juga disebabkan kecelakaan akibat kerja berjumlah 310.000 tiap tahun dan hampir
146.000 kematian kemungkinan disebabkan oleh hubungan kerja dengan karsinogen.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan
pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non
kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan
dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan
kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja
yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah
tersedia.
Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan
antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi
gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Penyakit Kulit Akibat Kerja

Kulit merupakan organ tubuh yang terpenting yang berfungsi sebagai sawar (barrier), karena kulit
merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan lingkungan di luar tubuh. Kulit
secara terus-menerus terpajan terhadap faktor lingkungan, berupa faktor fisik, kimiawi, maupun
biologik.
Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar,
disebut sebagai stratum korneum atau kulit ari. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro,
namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila
terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta
daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit.
Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensisitif terhadap berbagai macam penyakit.
Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan
sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit.
Demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan
kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit
kulit.
Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap bahan atau material yang
ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit dikenal, pada individu atau pekerja tertentu
baik yang berada di negara berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit
akibat pekerjaannya. Penyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer karena berdampak
langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PAK dapat diartikan
sebagai kelainan kulit yang terbukti diperberat oleh jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang
lebih mudah terjadi karena pekerjaan yang dilakukan.
Apabila ditinjau lebih lanjut, penyakit kulit akibat kerja (PKAK) sebagai salah satu bentuk
penyakit akibat kerja, merupakan jenis penyakit akibat kerja terbanyak yang kedua setelah
penyakit muskulo-skeletal, berjumlah sekitar 22 persen dari seluruh penyakit akibat kerja. Data di
Inggris menunjukkan 1.29 kasus per 1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja. Apabila
ditinjau dari jenis penyakit kulit akibat kerja, maka lebih dari 95 persen merupakan dermatitis
kontak, sedangkan yang lain merupakan penyakit kulit lain seperti akne, urtikaria kontak, dan
tumor kulit.
Berdasarkan jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat pekerjaan seseorang, maka
kulit merupakan organ tubuh yang paling sering terkena, yakni 50 % dari jumlah seluruh penderita
Penyakit Akibat Kerja (PAK). Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemuka,
PAK dapat berdampak pada hilangnya hari kerja sebesar 25 % dari jumlah hari kerja. Secara
umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PAK masih menjadi salah satu tantangan, karena
PAK acapkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang
harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit ini.
Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari
negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak

terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan
terjadinya variasi besar antarnegara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Effendi
(1997) melaporkan insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9
persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Di AS angka statistik berasal dari survei yang dilakukan oleh Bureau of Labor Statistic pada
industri swasta yang didata secara random. Di Inggris pelaporan melibatkan dokter spesialis kulit
yang bekerja pada beberapa pusat kesehatan. Diagnosis ditetapkan secara sederhana termasuk
menetapkan jenis pekerjaan yang dilaksanakan. Pengamatan yang dilaksanakan pada berbagai
jenis pekerjaan di berbagai negara barat mendapatkan insiden terbanyak terdapat pada penata
rambut 97.4 persen, pengolah roti 33.2 persen dan penata bunga 23.9 persen.
Apabila ditinjau dari masa awitan penyakit, maka masa awitan terpendek adalah dua tahun untuk
pekerjaan penataan rambut, tiga tahun untuk pekerjaan industri makanan, dan empat tahun untuk
petugas pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang berhubungan dengan logam.
Ditemukan pula pengaruh gender, perempuan dikatakan lebih berisiko mendapat penyakit kulit
akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Berkaitan dengan umur, maka umur 15-24 tahun
merupakan usia dengan insidens penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh pengalaman yang masih sedikit dan kurangnya pemahaman mengenai kegunaan
alat pelindung diri. Sensitisasi sesuai dengan jenis pekerjaan terjadi pada 52 persen kasus.
Di beberapa negara maju telah berhasil mendata PAK, misalnya di Swedia prosentase PAK 50 %
dari seluruh jenis PAK. Sedang di Singapura, angka ini berkisar 20 %. Ada dua kelompok besar
dalam penggolongan PAK ini, yakni PAK eksematosa dan PAK non-eksematosa.
Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis. Pengertian dermatitis
adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal, dapat berupa penebalan/bintil kemerahan,
multipel mengelompok atau tersebar, kadang bersisik, berair dan lainnya. Akibat permukaan kulit
terkena bahan atau unsur-unsuryang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun demikian,
untuk terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi
pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang (faktor endogen).
Lebih dari 90 % PAK merupakan jenis PAK eksematosa, sedang sisanya kira-kira 10 % berupa
PAK non-eksematosa. Termasuk di dalam PAK eksematosa adalah Dermatitis Kontak Iritan
(DKI), Dermatitis Kontak Alergi, serta Urtikaria. Di antara ketiga jenis ini, umumnya DKI lebih
sering terjadi.
Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan, barangatau unsur
yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan alergi kulit, menyebabkan
infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen kulit jika menempel pada kulit. Bahkan,
masih ada bahanatau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit (kanker kulit).

Terjadinya PAK dipengaruhi oleh jenis PAK dan faktor individual pekerja, seperti kulit terang,
jenis kulit kering, kulit berminyak, mudah berkeringat, kebersihan diri yang kurang, penyakit kulit
yang sudah ada, serta kemungkinan trauma kulit yang sudah ada sebelumnya. Sedang untuk
kejadian luar biasa (KLB) PAK, jarang terjadi.
Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK, terbanyak bersifat nonalergi atau iritan.
Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis. DKI merupakan jenis
PAK yang paling sering terjadi di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak
Alergika (DKA).
Dermatitis kontak secara umum merupakan penyakit spesifik-lingkungan, yaitu suatu peradangan
kulit akibat bahan yang berasal dari lingkungan. Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dematitis kontak alergik (DKA). Kedua jenis tersebut kadangkadang sangat sukar dibedakan secara klinis, meskipun keduanya berbeda dalam patogenesis yang
mendasarinya. Insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi dibandingkan dengan dermatitis
kontak alergik.
Dermatitis kontak iritan merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan toksik nonspesifik yang merusak epidermis dan atau dermis. Umumnya setiap orang dapat terkena,
bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu
kerusakan diikuti dengan penyembuhan.
Dermatitis kontak iritan dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit
dan kerusakan sawar kulit (seperti terlihat pada gambar). Efek langsung iritan pada keratinosit,
pada DKI akut, penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang
pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T
dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut dapat menerangkan kesamaan
jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah
satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang
terjadi langsung kronik.
Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif terhadap berbagai bahan
iritan karena pembaharuan sel terjadi secara berkesinambungan dan proses penyembuhan
berlangsung cepat. Apabila waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga
sel-sel keratinosit tidak sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif. Kerusakan
sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit dan deskuamasi diikuti
dengan peningkatan trans-epidermal water loss (TEWL). Hal tersebut merupakan rangsangan
untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga
dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru.
DKI terjadi karena kerusakan organ kulit secara langsung (bukan suatu proses imunologis) akibat
efek toksik bahan yang bersifat kimiawi ataupun fisik yang menempel pada permukaan kulit. DKI
kronis terjadi karena bahan penyebab, seperti sabun, pelarut, air, deterjen, minyak sintetis,
kerosen, formalin, merkuri anorganik, terpentin, photographic developer, dan lain-lain menempel

pada kulit dalam jangka waktu panjang. Kelainan yang ditimbulkan adalah dalam beberapa hari
bahkan sampai beberapa bulan setelah terkena bahan penyebab, kulit terasa gatal, tampak kering,
kasar, bersisik halus, kemerahan, menebal, kadang kulit pecah-pecah.
Pada kondisi tertentu di tempat kerja, yakni udara panas dan pengap, atau suhu ruang yang amat
dingin, berpakaian nilon dan lain-lain dapat meningkatkan kepekaan kulit atau memudahkan kulit
pekerja terkena DKI. DKI itu sendiri adalah penyakit kulit yang terjadi akibat menempelnya
sesuatu bahan atau unsur yang disebut sensitizer pada permukaan kulit. Proses terjadinya penyakit
tergantung sistem kekebalan seseorang yang ditandai dengan kulit gatal kemerahan, mungkin
bengkak, terdapat bintil merah, bintil berair berjumlah banyak yang tampak tidak hanya terbatas
pada area kulit yang terkena bahan penyebab, tetapi dapat meluas di luar area kulit yang terkena
bahan penyebab, bahkan dapat ke seluruh permukaan kulit.
Untuk mengantisipasi hal ini perlu pembersih kulit yang tidak bersifat iritatif atau melukai
permukaan kulit. Untuk pencegahannya, perlu alat pelindung yang tepat di tempat kerja, setelah
dilakukan pengamatan oleh petugas yang berkompeten.
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW seperti lateks dan nickel, sebagai hapten
berikatan dengan protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak alergi Tipe IV.
Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan bahan dalam lingkungan kerja yang menimbulkan
urtikaria alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi. Faktor fisik lingkungan kerja seperti
tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).
Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) paling sering, yakni sekitar 90 persen, menyerang tangan.
Ini berpengaruh pada gejala dan perasaan seseorang. Misalnya, rasa gatal dan sakit pada waktu
melaksanaan pekerjaan, serta rasa kurang nyaman pada waktu melayani seseorang ketika
menggunakan tangan.
Sedangkan eksim lebih banyak berlokasi di daerah muka dan bagian tubuh lain. Ini berdampak
pada perasaan malu sehingga akan lebih besar pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari, kinerja,
dan hubungan dengan orang lain. DKAK paling sering disebabkan oleh logam. Pada perempuan
DKAK disebabkan oleh nikel, sedangkan pada laki-laki oleh kromat.
Dermatitis akibat kerja (DAK) umumnya mempunyai prognosis buruk. Sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja konstruksi menemukan 70 persen tetap menderita
dermatitis meskipun telah dilakukan upaya penghindaraan terhadap alergen penyebab dan
perubahan jenis pekerjaan.
Meski dermatitis akibat kerja tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan umumnya dianggap
sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial psikologi harus
diperhitungkan. Dampak dermatitis kontan akibat kerja (DKAK) terhadap ekonomi sangat besar.
Ini meliputi biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak langsung yang
meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya pelatihan ulang serta biaya yang

menyangkut efek terhadap kualitas hidup.

Kasus Penyakit Kulit Akibat Kerja


KASUS I
Dermatosis pada Pekerja Industri Batik
Penyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi adalah dematosis akibat kerja yaitu sekitar 50
60 %. Salah satu penyebab dermatosis akibat kerja adalah karena bahan kimia yang dapat
menyebabkan dermatosis kontak. dalam industri tekstil, bahan kimia merupakan bahan yang
paling banyak digunakan. Seperti industri tekstil pada umumnya, industri batik yang banyak
berdiri di Surakarta ini tidak bisa lepas dari penggunaan bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat
mengakibatkan kelainan kulit seperti ulcera, eritema, kulit kering, luka bakar kimia, dan
sebagainya.
Telah dilakukan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui proporsi dermatosis serta
gambaran faktor-faktor yang diduga berkaitan dengan timbulnya dermatosis pada pekerja industri
batik di kota Surakarta. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kimia (emakaian bahan kimia) dan
faktor karakteristik tenaga kerja seperti masa kerja, umur, lama paparan, pemakaian APD, riwayat
penyakit kulit tertentu, riwayat alergi pada kulit, dan kebersihan perorangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dermatosis karena bahan kimia pada pekerja
industri batik di Surakarta adalah 32,7 %. Pekerja yang menggunakan bahan kimia lebih banyak
menderita dermatosis (54,5 %). Kelompok umur < 25 tahun lebih banyak menderita dermatosis
daripada yang berumur > 25 tahun. Pekerja dengan masa kerja < 1 tahun lebih banyak menderita
dermatosis daripada yang masa kerjanya > 1 tahun. Pekerja yang terpapar bahan kimia > 4 jam
sehari lebih banyak yang dermatosis daripada yang terpapar 1 4 jam sehari. Pekerja yang tidak
mempunyai riwayat penyakit kulit lebih cenderung terkena dermatosis daripada yang mempunyai
riwayat penyakit kulit. Pekerja yang mempunyai riwayat alergi pada kulit cenderung terkena
dermatosis daripada yang tidak mempunyai riwayat alergi pada kulit. Pekerja yang selalu
memakai APD sarung tangan juga cenderung terkena dermatosis daripada yang kadang-kadang
atau tidak pernah memakai sama sekali. Pekerja yang kebersihan perorangannya buruk lebih
banyak yang dermatosis daripada yang kebersihan perorangannya baik atau sedang.

KASUS II
Dermatosis pada Tenaga Kerja Industri Plywood
Menurut catatan Kanwil Depnaker Kalimantan Selatan, kurang lebih 30.000-an tenaga kerja yang

bergelut di bidang industriplywood. Tenaga kerja ini di lingkungan kerjanya terpajan debu kayu
dan bahan kimia. Laporan salah satu poliklinik perusahaan plywoodmenyatakan 10% tenaga
kerjanya menderita penyakit kulit. Penyakit kulit ini sangat mengganggu kenyamanan dan
konsentrasi bekerja sehingga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Di negara maju dengan penerapan higiene perusahaan dan higiene perorangan tenaga kerja yang
sudah lebih baik masih ditemukan penyakit kulit akibat kerja dengan prevalensi 1%-2%. Angka ini
merupakan 40% dari seluruh penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja ini sebagian besar
(80%) berupa dermatitis kontak. Dari hasil yang didapat, tenaga kerja yang menderita penyakit
kulit sebanyak 696 orang (35%), terbanyak di bagian logpond, boiler,dan hot press. Tenaga kerja
di bagian logpondkebanyakan menderita tinea pedis dan dermatitis kontak, sedangkan tinea pedis
kebanyakan diderita tenaga kerja di bagian dryer dan boiler.
Penyakit kulit akibat kerja atau dermatosis akibat kerja (DAK) di luar negeri merupakan yang
tertinggi di antara penyakit-penyakit akibat kerja lainnya. Tahun 1973 di California, Amerika
Serikat ditemukan 40,6% penyakit akibat kerja merupakan DAK. Biro statistik tenaga kerja
Amerika Serikat mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja yang terdaftar menderita
DAK.
Dermatosis tersering adalah dermatitis kontak, yang pada penelitian ini didapatkan sebesar 21,3%
(terbanyak ke dua). Zat iritan akan merusak kulit dengan cara mengurangi kandungan air kulit,
sehingga kulit mudah retak, menimbulkan dermatitis. Zat alergik mempengaruhi kulit melalui
jalur imunologis, limfosit terangsang untuk membentuk mediator yang mengakibatkan
dermatitis. Dermatitis kontak foto, kejadiannya hampir sama hanya memerlukan bantuan sinar
matahari. Akne sering disebabkan senyawa klor yang menyumbat muara folikel rambut dan muara
kelenjar keringat sehingga retensi produksinya disertai pembentukan keratin yang mengakibatkan
terbentuknya komedo. Dermatomikosis akibat kerja dapat memberi gambaran klinis berupa
dermatofitosis seperti tinea pedis dan non dermatofitosis akibat kerja seperti tinea versikolor, yang
ditemukan 3,3% di dalam penelitian ini. Kelainan pigmentasi sering disebabkan monobenzil eter
hidrokuinon di pabrik karet. Kanker kulit terjadi karena pajanan kronis sinar ultra violet, radiasi
ionisasi dan shale oil.
Penyakit kulit yang ditemukan dapat dinyatakan sebagai dermatosis akibat kerja, karena didukung
oleh faktor penyebabnya berupa: 1. Faktor kimia, debu berbagai jenis kayu, formaldehid sebagai
bahan campuran lem (glue)dan uap amoniak yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
lingkungan kerja, 2. Faktor fisik, berupa lingkungan kerja yang panas dan lembab, 3. Riwayat
perjalanan penyakit yang membaik bila tenaga kerja libur atau istirahat dan kambuhatau
bertambah parah bila bekerja lagi.
Di lokasi logpond tenaga kerja kontak langsung dengan kayu di sungai, sedangkan di
bagian boiler dan di hot press debu kayu sangat banyak serta udaranya yang panas dan lembab.
Insiden DAK di Indonesia belum diketahui, mungkin karena laporan perusahaan mengenai DAK
tidak ada atau tidak lengkap karena berbagai sebab atau ada anggapan bahwa DAK merupakan

penyakit ringan serta sulit menentukan derajat kecacatannya guna perhitungan kompensasi.
KASUS III
Dermatosis pada Tukag Batu dan Tenaga Kerja Industri Elektronik
Sejak bekerja sebagai tukang batu, hampir seluruh dada dan perut saya berisisik dan gatal.
Hampir tak tersisa warna kulit aslinya, keluh seorang buruh bangunan yang dalam bekerja
memang bertelanjang dada. Ia benar-benar merasa tersiksa dan kurang produktif, karena rasa gatal
yang membuatnya kurang nyaman dalam bekerja.
Kasus lain, seorang analis kimia yang bekerja di sebuah industri elektronik selalu mengeluh tidak
nyaman dengan wajahnya. Rasanya seperti terbakar. Padahal sebelum bekerja di pabrik ini, saya
tidak pernah mengalaminya ...
Kedua kasus tersebut merupakan penyakit akibat kerja. Kebetulan keduanya mengenai kulit. Hal
ini banyak dialami oleh para tenaga kerja, walaupun tidak selalu diketahui sebagai penyakit akibat
kerja.
Kasus pertama, tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi, dalam hal ini sebagai tukang batu, tidak
tahan terhadap bahan bangunan tertentu, sehingga kontak dengan bahan tersebut menimbulkan
radang kulit akibat alergi (dermatitis alergika). Sedangkan kasus kedua, tenaga kerja pada industri
elektronik mengalami electrical sensitivity, yaitu merupakan gambaran gangguan fisiologis berupa
tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan terhadap medan elektromagnetik, dengan gejalagejala khas. Manifestasi electrical sensitivity pada kulit, antara lain berupa muka terbakar (facial
burning) serta kulit meruam (rashes).
Akibat Kerja
Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat sewaktu melakukan pekerjaan, banyak penyebabnya.
Agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut antara lain berupa agen-agen fisik, kimia maupun
biologis. Kebanyakan agen terdapat dalam pekerjaan industri. Paparan terhadap kondisi cuaca
lazim pada pekerja pertanian dan nelayan.
Beberapa kelompok pekerja yang berisiko tinggi antara lain (a) pekerja pertanian, akibat kondisi
cuaca, agen-agen zoonotik, pestisida, pupuk dan sebagainya, (b) pekerja bangunan, akibat kontak
dengan semen, cat, serat-serat mineral dan sebagainya, (c) pekerja industri rekayasa, akibat kontak
dengan minyak atau pelumas pemotong, (d) penyepuh elektrik, akibat pembersih pelumas, asamasam, garam-garam logam, (e) petugas kesehatan, akibat kontak dengan antibiotika, anestesi lokal,
desinfektan.
Agen-agen fisik menyebabkan trauma mekanik, termal atau radiasi langsung pada kulit.
Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara (a) mengubah pH nya, (b) bereaksi dengan
protein-proteinnya (denaturasi), (c) mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya, atau (d)

merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah
hipersensitivitas tipe lambat.
Agen-agen sensitisasi bereaksi dengan protein dalam epidermis membentuk kompleks haptenprotein, yang merangsang pembentukan antibodi. Sementara itu, agen-agen aknegenik menyumbat
kelenjar dan saluran-saluran minyak, mengakibatkan peradangan lokal. Photosensitizer
meningkatkan sensitivitas kulit terhadap radiasi ultraviolet (Bergqvist and Wahlber, 1994).
Efek Klinis
Efek klinis yang ditimbulkan oleh agen-agen tersebut, bermanifestasi sebagai penyakit kulit antara
lain sebagai berikut (Waldron, 1990; Anies, 2003):
Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling sering ditemukan.
Bentuk akut ditandai dengan eritema, edema, papula, vesikel atau bula, yang biasanya terdapat
pada tangan, lengan bawah dan wajah. Bentuk kronik tidak khas, mirip dengan kebanyakan
dermatosis yang lain dan penyebabnya tidak mudah dikenali.
Dermatitis (ekzema) kontak alergi, baik akut maupun kronis, mempunyai ciri-ciri klinis yang
sama dengan ekzema bukan akibat kerja.
Akne (jerawat) akibat kerja. Mirip dengan jerawat pada umumnya, tetapi terutama menyerang
bagian yang kontak dengan agen.
Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit ini dianggap sebagai penyakit kulit akibat kerja, jika
sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan dalam pekerjaan tersebut.
Kanker kulit akibat kerja. Biasanya berupa kanker sel skuamosa atau sel basal. Kanker akibat
kerja cenderung terjadi pada permukaan kulit yang paling banyak terpapar terhadap karsinogen.
Penyakit kulit menular akibat kerja. Paling sering adalah penyakit zoonotik, kandidiasis,
tuberkulosis verukosa.
Pemeriksaan
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga perhatian khusus pada
kulit di seluruh tubuh serta alergi. Pemeriksaan kesehatan berkala dianjurkan dilakukan dengan
selang waktu 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada tingkat paparan di tempat kerja.
Alergen yang kuat, sensitizer dan karsinogen, sebaiknya diganti dengan bahan-bahan yang kurang
berbahaya. Kontak agen penyebab dengan kulit hendaknya dibatasi dengan upaya pengendalian
teknis. Pakaian pelindung, sarung tangan, maupun krem pelindung, sepatu boot dan topeng wajah,
sangat diperlukan.

Pencegahan Penyakit Kulit Akibat Kerja


Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja (dermatitis kontak akibat kerja) maka
perawatan dan perlindungan kulit sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya
melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja sebagai penyedia sarana. Yang juga penting adalah
kertelibatan peraturan atau perundang-undangan.
Program perawatan kulit sebaiknya diikutsertakan dalam program pendidikan, memuat informasi
tentang kulit sehat dan penyakit kulit yang terkait dengan pekerjaan. Juga pengenalan diri penyakit
kulit dan kegunaan prosedur perlindungan. Sebagai contoh, program perlindungan kulit pada
pekerja di pekerjaan basah. Yakni, mencuci tangan dengan air biasa, lalu bilas dan keringkan
tangan dengan sempurna setelah mencuci. Karena kulit yang tidak dilindungi lebih mudah terkena
iritasi, maka disarankan memakai sarung tangan untuk melindungi kulit terhadap air, kotoran,
deterjen, sampo, dan bahan makanan.
Yang juga penting diperhatikan, hindari pemakaian cincin selagi bekerja. Karena, dermatitis
umumnya dimulai pada jari yang memakai cincin sebagai reaksi terhadap iritan yang terjebak di
bawah cincin. Pemakaian jenis disinfektan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tempat kerja.
Sebab, umumnya disinfektan bersifat iritan dan turut berperan terhadap perkembangan menjadi
dermatitis kontak di tangan.
Cara lainnya, gunakan pelembab sewaktu bekerja, atau setelah bekerja. Pilih pelembab yang
banyakmengandung lemak dan bebas parfum, serta bahan pengawet berpotensi alergenik terendah.
Pelembab terbukti dapat mempermudah regenerasi fungsi sawar kulit dan kandungan lemak
berhubungan dengan kecepatan proses regenerasi tersebut. Pelembab sebaiknya dipakai di seluruh
tangan, termasuk sela jari, ujung jari, dan punggung tangan.

Kesimpulan
Penyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap
pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PAK dapat diartikan sebagai kelainan kulit
yang terbukti diperberat oleh jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah terjadi
karena pekerjaan yang dilakukan.
Lebih dari 95 % penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, sedangkan yang lain
merupakan penyakit kulit seperti akne, urtikaria kontak, dan tumor kulit.
Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja maka perawatan dan perlindungan kulit
sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya melibatkan pekerja tapi juga pemberi
kerja sebagai penyedia sarana serta melibatkan peraturan atau perundang-undangan.

Saran
Setiap tempat kerja sebaiknya melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan maksimal, agar tidak
terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Selain itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja agar lebih memadai sehingga pekerja tidak lagi meremehkan risiko kerja dan
menggunakan alat-alat pengaman yang sudah tersedia.

Anda mungkin juga menyukai