Anda di halaman 1dari 17

KERNIKTERUS

1. DEFINISI
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di
dalam sel-sel otak.
Kernikterus ialah kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak terutama
pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus dan nucleus pada dasar
ventrikel IV.
2. ETIOLOGI
Kernikterus terjadi akibat peninggian kadar blirubin indirek sehingga mencapai
keadaan yang disebut sebagai hiperbilirubinemia, yaitu bila kadar bilirubin mencapai 12
mg% untuk bayi cukup bulan dan 15 mg% untuk bayi kurang bulan.
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
2.1.Peningkatan produksi
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab
tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal,
tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada
penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang
timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut
dalam air, sehingga tidak dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria.
Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban
bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan feses berwarna lebih
gelap.
Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin
S pada anemia sel sabit), eretrosit abnormal ( verositosis herediter), antibodi dalam serum

(inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian


beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat
disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoiesis yang tidak efektif. Proses
ini meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang ( talasemia,
anemia pernisiosa, dan porfiria).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat
menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin ;
diluar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung
ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak
terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kernikterus.
Beberapa penyebab peningkatan produksi bilirubin :

Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian

golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.


Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat

pada bayi hipoksia atau asidosis


Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta),

diol (steroid), Galaktosemia


Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat

misalnya pada BBLR


Kelainan congenital

2.2.Gangguan ambilan bilirubin


Ambilan bilirubun tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan dengan
memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa obat
yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati : asam flavaspidat
(dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan bebrapa zat warna kolesistografi.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat pencetus
dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom gilbert dianggap
disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun pada

sebagian besar kasus ditemukan adanya defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan
ini paling baik dianggap sebagai defek konjugasi bilirubin.
2.3.Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100ml) yang timbul antara hari
kedua dan kelima setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal
yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil transferase. Aktivitas
glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari hingga minggu kedua setelah
lahir, dan setelah itu ikterus akan menghilang.
Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/dl, terjadi
suatu keadaan yang disebut kernikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses
hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defesiensi
glukoronin transferase normal. Kernikterus (atau bilirubin ensefalopati) timbul akibat
penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah ganglia basalis yang banyak
mengandung lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka terjadi kematian atau kerusakan
neurologis

yang

berat.

Tindakan

pengobatan

terbaru

pada

neonatus

dengan

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan foto terapi. Foto terapi adalah
pemajanan sinar biru atau sinar fluoresen (panjang gelombang 430-470 nm) pada kulit
bayi. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto-isomerisasi)
menjadi isomer terpolarisasi yang larut dalam air, isomer ini diekskresikan dengan cepat
kedalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu.
Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil
transferase adalah : sindsrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom
Gilbert merupakan suatu penyakit familiar ringa yang dicirikan dengan ikterus dan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis. Penelitian terbaru
telah mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan
bukti hemolisis dan peningkatan penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan
bilirubin yang menurun dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini dapat terjadi pada
pasien yang sama dan dalam waktu yang sama. Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus
berubah-ubah dan sering kali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, oprasi, dan asupan
alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert

sering terjadi dan menyerang sampai 5 % penduduk pria. Uji fungsi hati serta kadar
urobilinogen urin dan feses , normal. Tidak ada urobilinuria . Penelitian mengungkapkan
bahwa penderita ini mengalami defisiensi parsial glukorinil transferase. Keadaan ini dapat
diobati dengan fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase.
Sindrom Crigler najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi.
Penyebabnya adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil transferase sama
sekali sejak lahir . Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak
berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100ml. Hal ini
menyebabkan terjadinya kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun .
Sindrom CiglerNajjar tipe II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan , diwariskan
sebagai suatu sifat genetik dominan dengan defisiensi sebagian glokorinil transerase .
Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih frendah (6-20 mg/dl) dan ikterus mungkin
tidak terlihat sampai usia remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.
2.4.Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan menimbulkan
bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering
menurun sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat
disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase
alkali, AST, kolesterol, dan garam empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang
meningkat

dalam darah

hiperbilirubinemia

menimbulkan

terkonjugasi

gatal-gatal

biasanya

lebih

pada
kuning

ikterus.

Ikterus

dibandingkan

akibat
akibat

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranyekuning muda


atau tua sampai kuninghijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu.
Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain
ikterus obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau

kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada kedua keadaan
ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dengan
kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis pada penyakit
ini, pembengkakan dan dis organisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli
atau kolangiola. Penyalit hepato selular biasanya mengganggu semua pase metabolisme
bilrubin-ambilan, konjugasi, dan ekskresi-tetapi ekskresi biasanya paling terganggu,
sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab
kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan
gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada keadaan ini
terjadi gangguan trasfer bilirubin melalui membran hepatosik yang menyebabkan
terjadinya retensi bilirubin dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah
halotan (anastetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazit, dan klorpomazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya
pada ujung bawah duktus koledokus ; karsinoma kaput pankreas menyebabkan tekanan
pada duktus koledokus dari luar ; demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri.
Penyebab yang lebih jarang adalah striktur paska peradangan atau setelah operasi, dan
pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadangkadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.
2.5.Gangguan transportasi
Akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena
pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
2.6.Gangguan fungsi hati
Yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung
merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis, hepatitis
neonatus.
2.7.Peningkatan sirkulasi enterohepatik,
Misalnya pada ileus obstruktif
2.8. Hipotiroidisme.

Faktor risiko untuk timbulnya hiperbilirubinemia:

1. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)


Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI

2. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)


Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus

Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia

3. PATOFISIOLOGI
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
yang tidak dikendalikan.
Neonatal jaudince ( kuning pada bayi baru lahir) dapat dibagi menjadi 2 katagori
berdasarkan penyebabnya :
3.1.Fisiologis
Sebagian besar bayi baru lahir mengalami peningkatan kadar bilirubin inderek pada
hari hari pertama kehidupan ( biasanya hari ke 2 3 ), mencapai puncaknya pada hari ke
7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 1014 . kadar bilirubin pun biasanya tidak
melebihi 12 mg/dl. Proses tersebut antara lain karena bayi baru lahir mempunyai kadar Hb

yang tinggi (1819 g/dl) yang diperlukan selama masa janin untuk membawa oksigen.
Setelah bayi lahir dan dapat bernapas (menghirup oksigen), kadar Hb yang tinggi tidak
diperlukan lagi sehingga Hb mulai turun. Penurunan Hb sampai sekitar 1112 g/dl ini
terjadi pada minggu pertama kehidupan dan pemecahan ini menyebabkan unconjugated
bilirubin (bilirubin inderek) meningkat dalam darah. Selain itu belum matangnya fungsi
hati bayi baru lahir. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologis.
Teori lain mengatakan bahwa sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan
dipecah atau dihidrolisis menjadi bilirubin (pigmen warna kuning), yang oleh hati akan
dimetabolisme dan dibuang melalui feses. Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang
mampu mengubah bilirubin sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi
secara normal pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri yang melakukan
metabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi sehingga ditemukan bilirubin yang
masih beredar dalam tubuh tidak dibuang bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi
terdapat enzim glukoronil transferase yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap
kembali bilirubin ke dalam darah sehingga makin memperparah akumulasi bilirubin dalam
badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan di bawah kulit, sehingga jadilah kulit
bayi kuning. Biasanya dimulai dari wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning.
3.2.Patologis
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin terlalu berlebihan atau konyugasi hati
menurun sehingga terjadi kumulasi bilirubin di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin
yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel otak apabila bilirubin tadi menembus
sawar darah otak. Kelainan pada otak ini disebut kernikterus.
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu
sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat
kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah
atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), defisiensi enzim G6PD.
Hemolisis dapat pula timbul karena perdarahan tertutup seperti cefal hematom. Bilirubin
inderek akan lebih mudah melalui sawar darah otak pada bayi berat lahir rendah,
immaturitas, hipoksia, hipoglikemia dan infeksi.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi

mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat
Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.
Beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau
sepsis)
d. Ikterus yang disertai oleh:
o Berat lahir <2000 gram
o Masa gestasi 36 minggu
o Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
o Infeksi
o Trauma lahir pada kepala
o Hipoglikemia, hiperkarbia
o Hiperosmolaritas darah
e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari
(pada NKB).

4. GEJALA KLINIS
Tanda-tanda dan gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi
cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi premature, tetapi setiap saat
hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindrom setiap saat selama neonatus. Tanda-tanda
awal bisa tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, perdarahan
intracranial, dan penyakit sistemik akut lainnya pada neonatus.
Gejala-gejala awal pada Kernikterus :

Lesu
Nafsu makan jelek
Refleks Moro hilang
Bayi tampak sangat sakit

Refleks tendo (-)


Kegawatan pernafasan
Opistotonus
Fontanela mencembung
Muka dan tungkai berkedut
Tangisan melengking (high pitch cry)
Pada kasus yang lanjut dapat terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan

lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigiditas
jarang terjadi pada stadium lanjut.
5. DIAGNOSA
Berbagai teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir.
Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki
keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya.
Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti
transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining)
pengukuran bilirubin serum.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah :
1. Kadar bilirubin serum (total)
2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
3. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia.
6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio
dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
7. Pemeriksaan fungsi otak: EEG

Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
Derajat Ikterus pada neonatus menurut Kramer
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir
dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn
tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian
kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam tabel di
bawah ini
Tabel : derajat ikterus menurut kramer
Zona

Bagian tubuh yang kuning

1
2
3
4
5

Kepala dan leher


Pusat leher
Pusat paha
Lengan + tungkai
Tangan + kaki

Rata-rata serum bilirubin indirek


(umol/L)
100
150
200
250
> 250

6. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1.
2.
3.
4.

Menghilangkan anemia
Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
Meningkatkan badan serum albumin
Menurunkan serum bilirubin
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, dan
therapi obat.

6.1.Fototherapi

Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi
akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara
memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi
jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di
dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin
kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang
bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan
konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan
fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir
rendah.
Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 nm).
Meskipun demikian cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum
sempit khusus, dan hijau efektif menurunkan kadar bilirubin.
Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam macular eritematosa,
kepanasan dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [insensible water
loss], diare, menggigil karena pajanan, dan sindrom bayi perunggu (perubahan warna kulit
yang coklat keabu-abuan dan gelap). Fototerapi merupakan kontraindikasi bila ada porfiria.
Jejas mata atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim terjadi.

6.2.Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar.

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati


bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki anemia.
Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kernikterus merupakan indikasi
untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin berapapun.
6.3.Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil
untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya
(letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine
sehingga menurunkan siklus enterohepatika.
Pemberiannya Phenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada
saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian Phenobarbital tidak
secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena :
a.
b.
c.
d.

Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
Mempunyai pengaruh sedative yang tidak menguntungkan.
Tidak menambah respon terhadap fototerapi.
Pemberian Timah (Sn)-Protoporfirin (atau timah-mesoporfirin) juga telah diusulkan
untuk mengurangi kadar bilirubin. Timah tersebut dapat menghambat konversi biliverdin
menjadi bilirubin melalui heme oksigenase. Walaupun kadar bilirubin dapat turun,
pengaruhnya tidak lebih besar daripada yang dicapai dengan fototerapi. Komplikasinya
meliputi eritema sementara jika bayi sedang menjalani fototerapi.

7. Komplikasi

Cerebral palsy
Tuli nada tinggi
Paralisis dan displasia dental
Koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter

Retardasi mental
Kuadriplegia spastis

8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer :
ASI sedini mungkin dan sering (8-12 kali/hari selama hari-hari pertama). Hindari
suplementasi rutin dengan air atau dekstrosa pada bayi yang diberi ASI yang tidak
mengalami dehidrasi. Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan
dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan
frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang
berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses
menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa)
pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya
ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b. Pencegahan Sekunder:
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko
tinggi ikterus neonatorum.

Pemeriksaan Golongan Darah

Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus
serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan
golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu
dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes
Coombs.

Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk
mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata
laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan
pemeriksaan tanda-tanda vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan
yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar,
umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi.
Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan
ekstrimitas. Jika ibu yang belum diketahui golongani darahnya atau Rh-negatif, harus
dilakukan uji Coombs, golongan darah, dan jenis Rhesus (D) pada darah plasenta bayi. Jika
terdapat kemungkinan tidak dilakukannya surveilans, penilaian risiko sebelum pulang dan
follow up yang adekuat, maka jika golongan darah ibu O dianjurkan dilakukan
pemeriksaan golongan darah bayi dan uji Coombs. Semua bayi harus dimonitor secara
rutin untuk melihat adanya ikterus.
9. PROGNOSIS
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan
mengalami kernikterus. Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang
jelek, ada 75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan
hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental,
tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining
pendengaran.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus
Neonatorum.

Perinatologi.

Bandung.

Bagian/SMF

Ilmu

Kesehatan

Anak

FKUP/RSHS. 64-84.
2. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97103
3. http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/kern-icterus.html
4. http://medicastore.com/penyakit/392/Hiperbilirubinemia.html

TASK READING

KERNIKTERUS
OLEH :
KELOMPOK 31
Herliana Sufiyanti

011.06.0028

Wahyu Eka Maulyani

011.06.0032

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL AZHAR MATARAM
2014

Anda mungkin juga menyukai