Anda di halaman 1dari 12

1.

Penyakit Tidak Menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak dI Indonesia

Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Keadaan
dimana penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan
morbiditas dan mortalitas PTM makin meningkat merupakan beban ganda dalam pelayanan
kesehatan, tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH
saat membuka Temu Nasional Strategi Kemitraan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam
Penguatan Sistem Kesehatan pada Era desentralisasi di Jakarta, Kamis 18 Agustus 2011. Hasil
pertemuan ini akan menjadi bahan masukan bagi delegasi Indonesia dalam Pertemuan Tingkat Tinggi
tentang PTM di Majelis Umum PBB, New York, September 2011.

Dalam sambutannya Menkes menjelaskan, proporsi angka kematian akibat PTM meningkat
dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Penyebab
kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke (15,4%), disusul hipertensi, diabetes,
kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Kematian akibat PTM terjadi di perkotaan dan
perdesaan. 

Data Riskesdas 2007 menunjukkan di perkotaan, kematian akibat stroke pada kelompok usia
45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di perdesaan sebesar 11,5%. Hal tersebut menunjukkan PTM
(utamanya stroke) menyerang usia produktif. Sementara itu prevalensi PTM lainnya cukup tinggi,
yaitu: hipertensi (31,7%), arthritis (30.3%), penyakit jantung (7.2%), dan cedera (7,5%). 

Menkes mengatakan, PTM dipicu berbagai faktor risiko antara lain merokok, diet yang tidak
sehat, kurang aktivitas fisik, dan gaya hidup tidak sehat. Riskesdas 2007 melaporkan, 34,7%
penduduk usia 15 tahun ke atas merokok setiap hari, 93,6% kurang konsumsi buah dan sayur serta
48,2% kurang aktivitas fisik. 
Menkes menambahkan, peningkatan PTM berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas
bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa
jenis PTM adalah penyakit kronik dan/atau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita
dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan
permanen.
Pemerintah sedang melakukan langkah-langkah bagi terwujudnya jaminan kesehatan
menyeluruh atau universal coverage of social health insurance untuk masalah penyakit kronik dan
katastropik dalam periode 2010-2014, ujar Menkes.
Kementerian Kesehatan telah mengembangkan program pengendalian PTM sejak tahun 2005.
Upaya pengendalian faktor risiko PTM yang telah dilakukan berupa promosi Perilaku Bersih dan
Sehat serta pengendalian masalah tembakau. Beberapa Pemerintah Daerah telah menerbitkan
peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan membentuk Aliansi Walikota/Bupati dalam
Pengendalian Tembakau dan Penyakit Tidak Menular. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pengendalian Tembakau dalam proses. Sedangkan untuk pengaturan makanan berisiko, ke
depan akan dibuat regulasi antara lain tentang gula, garam dan lemak dalam makanan yang dijual
bebas, kata Menkes

Upaya pengendalian PTM tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan tanpa dukungan seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah, Swasta, Organisasi Profesi,
Organisasi Kemasyarakatan dan seluruh lapisan masyarakat, tegas Menkes. 

Temu Nasional Strategi Kemitraan ini merupakan pertemuan multi sektor yaitu Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan non pemerintah seperti organisasi profesi, LSM, swasta, dan
organisasi dibawah PBB. Pertemuan ini dihadiri sekitar 120 orang yang bertujuan untuk menjalin
kemitraan dalam pengendalian PTM di Indonesia, yang sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor A/RES/64/265 tentang pencegahan dan pengendalian PTM.

Menkes berharap pertemuan ini menghasilkan masukan, gagasan, inovasi bahkan mungkin
terobosan yang bermanfaat bagi suksesnya Pengendalian PTM di Tanah Air guna peningkatan derajat
kesehatan, kualitas hidup, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

(Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian
Kesehatan RI)
Data dan informasi oleh kemenkes ri mengenai penyebaran PTM yang dirawat di RS
di Provinsi Indonesia :

Secara nasional jumlah rumah sakit yang melapor pada tahun 2009 – 2010 masih rendah
yaitu 29,2% RS (2009); 24,63% RS (2010) mengirim laporan RL2A (rawat inap) dan 28,37% RS
(2009); 26,29% RS (2010) yang mengirim laporan RL2B (rawat jalan).

Proporsi kasus baru rawat jalan terhadap total kunjungan seluruh kasus baru penyakit (rawat
jalan) pada tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama, yaitu yang terbanyak adalah penyakit
tidak menular, diikuti penyakit menular, cedera dan yang terakhir adalah penyakit maternal dan
perinatal.

Proporsi kasus baru rawat jalan penyakit tidak menular berdasarkan jenis kelamin dari
tahun 2009 dan 2010 mempunyai pola yang sama yaitu tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok laki-laki dan kelompok perempuan yang di rawat jalan.

Proporsi kasus baru rawat jalan PTM berdasarkan kelompok umur dari tahun 2009 dan 2010
mempunyai pola yang sama, yaitu yang paling tinggi adalah pada kelompok umur 45-64 tahun
kemudian diikuti kelompok umur 25-44 tahun.

Persentase kasus baru rawat jalan PTM tertinggi berdasarkan provinsi tahun 2009 adalah
Provinsi Sumatera Selatan dan

Lampung, sedangkan untuk tahun 2010 persentase kasus rawat jalan PTM yang tertinggi
adalah Provinsi Gorontalo dan Lampung. Propinsi yang presentase rawat jalan PTM terendah pada
tahun 2009 terjadi di Papua Barat dan Banten, sedangkan pada tahun 2010 terjadi di propinsi Papua
dan Bangka Belitung.

Proporsi kasus rawat inap terhadap total kasus keluar hidup dan mati (rawat inap) dari tahun
2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap yang terbanyak adalah penyakit
tidak menular, kemudian diikuti penyakit menular, cedera dan yang terakhir adalah penyakit
maternal dan perinatal.

Proporsi kasus rawat inap yang mati terhadap total pasien keluar mati dari tahun 2009-
2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap yang mati terbanyak adalah penyakit
tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan penyakit maternal dan perinatal.
Proporsi kasus rawat inap PTM berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan
mempunyai pola yang tidak jauh berbeda pada tahun 2009 dan 2010.

Pada tahun 2009 dan tahun 2010 persentase kasus inap yang paling tinggi adalah pada
kelompok umur 45-64 tahun kemudian diikuti kelompok umur 25-44 tahun.

Persentase kasus rawat inap PTM tertinggi berdasarkan provinsi tahun 2009 adalah Provinsi
Sumatera Utara dan Jawa Timur. Sedangkan untuk tahun 2010 persentase kasus rawat inap PTM
yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Jawa Barat. Untuk persentase rawat inap PTM
terendah berdasarkan provinsi tahun 2009 adalah Provinsi Papua dan

Bangka Belitung sedangkan untuk tahun 2010 adalah Nusa TenggaraBarat dan Bangka
Belitung. Sepuluh (10) peringkat penyakit rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit tahun 2009 dan
tahun 2010 sebab sakitnya hampir sama.

Sepuluh (10) peringkat PTM rawat inap terhadap seluruh pasien keluar (hidup dan mati) di
rumah sakit dari tahun 2009 sampai tahun 2010 sebab sakitnya hampir sama.

Sepuluh (10) peringkat PTM yang mati di rawat inap rumah sakit tahun 2009 dan tahun 2010
sebab sakitnya hampir sama.

Sepuluh (10) peringkat PTM menurut tingkat kefatalan menyebabkan kematian (CFR) di
rawat inap rumah sakit dari 2009 dan tahun 2010 sebagian besar sebab sakitnya tidak sama.

a) Penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular


1) Seluruh (100%) dinas kesehatan provinsi melaksanakan kegiatan Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) faktor risiko penyakit tidak menular.
2) Sebanyak 30% dinas kesehatan kabupaten/kota (di masing-masing wilayah kerja provinsi
pada butir a di atas) melaksanakan kegiatan KIE faktor risiko penyakit tidak menular.
3) Sebanyak 30% puskemas di kabupaten/kota tertentu (di masing-masing wilayah kerja dinas
kesehatan kabupaten/ kota pada butir b di atas) melaksanakan kegiatan KIE faktor risiko
penyakit tidak menular.

b) Pencegahan dan penaggulangan faktor risiko penyakit tidak menular berbasis


masyarakat

Sebanyak 30% poskesdes/posyandu/posbind/pos PTM di masing-masing wilayah kerja


puskesmas di kabupaten/kota tertentu (di masing-masing wilayah kerja dinas kesehatan
kabupaten/kota pada butir 1c, 2c, dan 3c di atas) melaksanakan kegiatan pencegahan dan
penaggulangan faktor faktor risiko penyakit tidak menular.

c) Jejaring Kerja Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Penyakit Tidak


Menular

Upaya untuk melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah untuk
bekerjasama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peranan masing-masing dalam pencegahan
dan penanggulangan faktor risiiko penyakit tidak menular.

Tujuan dari jajaring kerja ini adalah:

a. Meningkatnya komitmen pemerintah dan berbagai mitra potensial di masyarakat dalam


upaya pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular
b. Adanya sinergi dan keterpaduan dalam berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan
faktor risiko penyakit tidak menular
c. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam pencegahan dan penaggulangan faktor risiko
penyakit tidak menular.

d) Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Berbasis


Masyarakat

Untuk meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam pencegahan dan


penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular, maka perlu pengembangan dan penguatan
kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat
yang dilaksanakan secara terintegrasi pada wadah milik masyarakat yang sudah ada di masing-
masing daerah.

Kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat
meliputi:

1. Surveilans epidemiologi faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat

2. Deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat

3. Penanggulangan (penanganan) faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat.


e) Program Prioritas Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Penyakit Tidak
Menular

Program prioritas pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular:

1. Faktor risiko melekat yang sulit dan tidak dapat dirubah yaitu umur, jenis kelamin,dan
keturunan.
2. Faktor risiko perilaku yang bisa dirubah yaitu merokok, konsumsi alkohol, kurang aktifitas
fisik, kurang konsumsi serat, dan konsumsi lemak yang tinggi
3. Faktor risiko lingkungan yaitu kondisi ekonomi daerah, lingkungan sosial seperti
modernisasi, serta lingkungan fisik antara lain seperti polusi dan lokasi di bawah tegangan
listrik tinggi.
4. Faktor risiko berupa penyakit antara yang terdiri dari faktor risiko fisik berupa obesitas dan
hipertensi, serta faktor risik o biologis berupa hiperglikemia dan hiperdislipidemia.
2. Penyakit Kardiovaskuler
Penyakit Kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab kematian utama di berbagai negaara
maju dan tampak adanya kecenderungan meningkat sebagai penyebab kematian diberbagai
negara berkembang. PKV khususnya penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab yang
perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam pada negara berkembang. Kemajuan ekonomi
memberikan dampak, cepatnya penanggulangan penyakit menular.

Sebagai konsekuensinya, di sisi lain, PKV bergeser menjadi penyebab kematian utama
dimana sebelumnya penyakit menular merupakan penyebab kematian utama. Tingginya kadar
plasma total cholesterol, hipertensi arterial dan kebiasaan merokok merupakan 3 faktor risiko utama
PJK. Hipercholesterolemia menempati posisi yang sangat penting sebab hipercholesterolemia
adalah satu-satunya faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya atherosclerosis. Pola makan
atau diet erat kaitannya dengan hipercholesterolemia. Pola makan atau diet merupakan salah satu
faktor lingkungan utama penyebab timbulnya PJK melalui kolesterol darah. Obesitas khususnya
obesitas central merupakan faktor risiko PKV yang juga dapat dimodifikasi. Lifestyles atau pola
hidup serta kondisi lingkungan dimana seseorang hidup besar pengaruhnya terhadap derajat status
kesehatan sesesorang. Bukti-bukti ilmiah pada akhir-akhir ini menunjukkan pentingnya peranan
faktor sosial sebagai determinan dari pada status derajat kesehatan khususnya penyakit tidak
menular dalam hal ini penyakit kardiovaskular. Faktor-faktor sosial yang diidentifikasi sebagai
determinan suatu status derajat kesehatan antara lain, kemiskinan, stress, pekerjaan, pendidikan,
perkembangan & pertumbuhan lingkungan di masa kecil, transportasi, addiksi obat, rokok, alhohol
serta pola makan. Studi ini menggunakan data Riskesdas tahun 2007 untuk meneliti gambaran
determinan sosial dan faktor risiko kardiovaskuler.

Metodologi:

Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 adalah survei kesehatan nasional pada tingkat rumah
tangga, represen- tatif terhadap tingkat kabupaten/kota. Riskesdas ini dilak- sanakan di semua
provinsi di Indonesia (33 provinsi) den- gan beberapa kabupaten terpilih dari setiap provinsi. Populasi
yang dianalisa untuk studi ini adalah populasi yang berusia di atas 40 tahun. Determinan sosial
(variabel inde- penden) pada studi ini terdiri dari beberapa faktor yaitu kategori daerah tempat
tinggal, yaitu berdasarkan daerah urban-rural, dan kelompok provinsi di masing-masing pu-
lau/kepulauan di Indonesia (Sumatera, Jawa/Bali, Su- lawesi/Kalimantan, dan
NTB/NTT/Maluku/Papua), determi- nan sosial lainnya yang diteliti adalah tingkat pendidikan
responden, persen asupan lemak dari total kalori, merokok atau tidak, aktifitas fisik, dan adanya stres.
Dan sebagai faktor dependen pada studi ini adalah faktor risiko kardio- vaskuler yang terdiri dari
kadar cholesterol dalam darah dan obesitas sentral.

Analisa terhadap data dilakukan dengan mengevaluasi rata-rata (±SD) dari kadar kholesterol
dalam darah ber- dasarkan masing-masing determinan sosial. Sedangkan untuk obesitas sentral,
pola kejadiannya akan dilihat ber- dasarkan masing-masing determinan sosial dengan meng- gunakan
prevalens. Untuk menilai apakah ada perbedaan faktor risiko kardiovaskuler , dipakai uji beda 2
mean yang independen (T-test) untuk data yang sifatnya numerik; sedangkan untuk data yang
sifatnya kategori analisa yang dipakai adalah dengan uji beda 2 proporsi. Analisa dilaku- kan dengan
menggunakan program SPSS versi 17.

Hasil:

Studi ini meliputi responden sebanyak 4679 orang yang terdiri dari 2335 (49.9%). orang
wanita dan 2344. (50.1%) orang pria. Dan sebagian besar sekitar 74% berumur diantara 40-60
thn dan sekitar 72% tergolong ber pendidi- kan rendah.Proporsi mereka yang tinggal di rural
sedikit lebih tinggi dari mereka yang di urban. Hampir lebih dari50% responden berasal dari
propinsi di pulau Jawa & Bali, 25% dari propinsi di Sumatera, 16% dari propinsi di Kali-
mantan/Sulawesi dan hanya 4.8% responden yang berasal dari kepulauan NTT/NTB & Maluku.

Sebagian besar sekitar 78% responden mengkonsumsi % asupan lemak <30% dari total
kalori dan 22% mengkon- sumsi asupan lemak >30% dari total kalori. Sekitar 32% dari reponden
adalah perokok dan 19% aktifitas fisiknya kurang dan sekitar 13% dikategorikan mengalami
stress.

Trend dan issue pemeriksaaan radiologi pada pasien penyakit kardiovaskuler :

A. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

1.    Thorax X-ray (Rontgen)

a.    Chest radiography
Dilakukan untuk menentukan ukuran, silhouette dan posisi jantung, juga menilai kongesti paru,
klasifikasi katup jantung, penempatan Central Venous Pressure Chateter atau endotracheal tube dan
alat monitoring hemodinamik.
b.    Cardio Thoraxic Ratio (CTR)
Adalah cara menghitungkan pembesaran jantung. Nilai CTR ≤ 50% adalah normal, jika > 50%
menandakan kardiomegali.
2.    Echocardiography
Echocardiography menggunakan ulrasonik guna mengkaji struktur dan gerakan katup jantung.
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu pengkajian dan diagnosis kardiomiopati, kerusakan
katup, pericardial effusion, fungsi ventrikel kiri, aneurisma ventrikel dan tumor jantung.
Pemeriksaan dengan Echocardiography merupakan suatu pemeriksaan yang multak harus dilakukan
pada penderita penyakit jantung (pasien diduga terkena penyakit jantung), baik pada anak-anak
maupun pada orang dewasa. Rasanya tidak lengkap bila seorang penderita penyakit jantung belum
dilakukan pemeriksaan Echocardiography. Pemeriksaan Echocardiography biasanya dilakukan setelah
dilakukan pemeriksaan klinis yang seksama dan pemeriksaan EKG, treadmil atau foto rontgen.
Saat ini Echocardiography sudah merupakan pemeriksaan yang hampir rutin dikerjakan pada setiap
pasien penderita penjakit jantung. Pemeriksaan ini merupakan salah satu cara untuk menilai kesehatan
jantung, diantaranya:
a.    Mengetahui adanya penyakit jantung bawaan,
b.    Menilai fungsi jantung,
c.    Menilai kekuatan kontraksi otot-otot jantung,
d.    Menilai adanya kelainan katup,
e.    Menilai keadaan pembuluh darah koroner,
f.     Melihat terdapatnya trombus,
g.    Mengetahui adanya infeksi jantung,
h.    Menilai adanya peradangan pada jantung,
i.      Mencari komplikasi pada jantung dari penyakit-penyakit lainnya (misalnya: infeksi virus dapat
berakibat miokarditis,   penyakit kawasaki yang sangat mirip dengan campak atau rubela dapat
menyebabkan kerusakan pada arteri koroner, dsb)
3.    Cardiac Fluoroscopy
Suatu pemeriksaan sederhana dengan sinar-X yang menampilkan aktivitas jantung. Pemeriksaan ini
dilakukan melalui observasi visual terus-menerus terhadap gerakan jantung, paru, dan pembuluh
darah dengan suatu layar luminescent x-ray dalam ruangan gelap. Fluoroscopy digunakan dalam
penempatan dan pengaturan posisi kateter intrakardiak dan IV pacemaker wire. Pemeriksaan ini juga
membantu mengidentifikasi struktur abnormal, kalsifikasi, dan tumor jantung.

4.    Arteriography (angiography)
Merupakan prosedur diagnostic invasif yang meliputi prosedur fluoroscopy dan strudi x-ray atau
rontgen. Prosedur ini dilaksanakan jika ada indikasi obstruksi atau penyempitan atau aneurisma arteri.
B.   ELEKTROKARDIOGRAFI (ECG)
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan rutin yang paling umum dilakukan pada
klien dengan gangguan sistem kardiovaskular. EKG dapat menilai irama jantung, denyut jantung, axis
bidang frontal dan horizontal, gangguan konduksi, kerusakan miokard dan gangguan elektrolit.
Tujuan EKG bagi Klien dalam Asuhan Keperawatan
a. Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan dari irama jantung (aritmia) Irama
mengacu kepada keteraturan gelombang EKG. Setiap variasi irama normal dan urutan
eksitasi jantung disebut aritmia. Artitmia dapat terjadi akibat adanya  fokus ektopik,
perubahan aktivitas pemacu nodus SA atau gangguan hantaran.
b. Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan myocardium seperti infarct, hipertropi
atrial atau ventrikel.
c. Untuk mengetahui pengaruh atau efek obat-obat jantung terutama digitalis dan
quinidine
d. Untuk mengetahui adanya gangguan-gangguan elektrolit
e. Untuk mengetahui adanya perikarditis

C.   TREADMILL TEST/UJI LATIH JANTUNG BEBAN (ULJB)


Treadmill test adalah uji latih jantung beban dengan cara memberikan stress fisiologi yang
dapat menyebabkan abnormalitas kardiovaskuler yang tidak ditemukan pada saat istirahat.
a.    Respons denyut jantung.
Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari sistem kardiovaskuler terhadap latihan 
yang dapat diukur untuk pertama kalinya dan merupakan mekanisme utama dari peningkatan curah
jantung (CO) dimana : CO = HR X SV Denyut jantung meningkat secara linier sesuai dengan beban
peningkatan beban kerja (work loads) dan peningkatan ambilan oksigen (oksigen uptake).
b.    Respons tekanan darah.
Tekanan darah meningkat dengan meningkatnya kerja dinamik yang mengakibatkan
peningkatan curah jantung  (CO). Tekanan sistolik meningkat segera dalam beberapa menit pertama
dan kemudian terjadi tingkat penyesuaian yang disebut “stedy state“ (saat penyesuaian). Sedang
tekanan diastolik tidak mengalami perubahan yang nyata, bila terjadi peningkatan tekanan diastolik
(DBP) menandakan adanya hipertensi yang labil .

D.   KATETERISASI JANTUNG
Prosedur diagnostik invasif yang dilakukan dengan menginsersikan kateter khusus (misalnya:
Swan Ganz Catheter) ke dalam ruang jantung kiri dan/atau kanan, serta arteri koroner. Kateterisasi
jantung untuk mengukur tekanan dalam berbagai kamar jantung dan untuk menentukan saturasi
oksigen dalam darah. Kateter jantung paling sering digunakan untuk mengkaji patensi arteri koronaria
pasien dan untuk menentukan terapi yang diperlukan

E.   HOLTER DAN BLOOD PRESSURE MONITORING


Pemantauan terhadap aktivitas listrik jantung selama 24 jam terus menerus dengan
menggunakan peralatan Holter, sehingga gangguan irama yang timbul sewaktu-waktu dapat terekam
didalam alat ini. Selain memantau aktivitas listrik jantung, sarana Holter juga dilengkapi dengan
pencatatan tekanan darah. Setelah pemasangan, pasien dipersilakan untuk pulang dan mencatat semua
kegiatan maupun keluhannya sepanjang hari. Pasien diharuskan kembali ke rumah sakit keesokan
harinya pada waktu yang telah ditentukan untuk mengevaluasi hasil pemantauan

F.    PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Sistem hematologic: hemoglobin, hematokrit, LED, leukosit, eritrosit, trombosit dan lain –
lain.
2. Serum isoenzim kardiak: CK-MB, CPK, SGOT, LDH, dan troponin.
3. Serum lipid: kolesterol total, Low Density Lipoprotein, High Density Lipoprotein, trigliserida.
4. Faal hemostasis (tes koagulasi): waktu protrombin dan waktu parsial tromboplastin (pre dan
pasca terapi fibrinolistik atau antikoagulan).
5. Arterial Vlood Gasses (ABG): pH, PaCO2, PaO2, HCO3-, saturasi oksigen, Base Excess.
6. Tes fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, urobilin.
7. Tes fungsi ginjal: Blood Urea Nitrogen/Ureum, kreatinin (creatinine), asam urat (uric acid).
8. Kimia darah: kadar gula darah (acak, puasa, dan 2 jam post pandrial).
9. Elektrolit: kalium (K+), natrium (Na+), kalsium (Ca2+), klorida (Cl-), fosfor.
10. Urine analisis: reduksi, sedimentasi.
11. Serum katekolamin.
12. Kultur darah.

Anda mungkin juga menyukai