Anda di halaman 1dari 2

Masjid Soko Tunggal Jogja

Masjid secara bahasa bermakna tempat untuk bersujud. Tempat untuk beribadah
bagi kaum muslim ini bukan hanya identik dengan rumah Tuhan, melainkan
sering juga digunakan sebagai tempat untuk berbuat baik kepada sesama
manusia. Pada bulan Ramadhan seperti sekarang, masjid menjadi semakin
ramai. Bermacam kegiatan digelar, berbagai ibadah ditingkatkan.
Di bulan Ramadhan, masjid tidak seperti biasanya. Sama seperti Masjid Soko
Tunggal, masjid yang terletak di area wisata Tamansari, Yogyakarta ini memiliki
keunikan yang tidak biasa seperti di masjid-masjid lainnya.
Adalah seorang abdi dalem Kraton bernama Raden Ngabehi Mintobudoyo yang
mencurahkan daya pikirnya untuk mengarsiteki masjid ini. Di atas tanah wakaf
Sultan HB IX yang secara keseluruhan memiliki luas 900 m 2, bangunan Masjid
Soko Tunggal dibangun menempati tanah seluas 288 m 2.
Seperti namanya, Masjid Soko (tiang utama) Tunggal (hanya satu) ditopang oleh
satu tiang saja di tengah bangunan masjid. Kayu besar yang dijadikan sebagai
tiang penyangga berukuran 50 x 50 cm. Konon kayu jati ini didatangkan
langsung dari Cepu, Jawa Tengah, dan saat ditebang usia pohon jati tersebut
sudah mencapai 150 tahun. Tiang kayu utama ini pun ditopang oleh umpak
(batu penyangga) yang berasal dari jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Secara arsitektur, masjid ini tak hanya berbeda dengan masjid-masjid atau
bangunan joglo pada umumnya. Tentunya konsep bangunan yang dibuat bukan
waton sulaya (asal berbeda), tetapi arsitektur masjid ini memiliki arti tersendiri.
Di bangunan utama masjid, selain 1 soko guru (tiang utama) akan terlihat 4 buah
soko bentung (tiang samping) sehingga total ada 5 soko. 5 soko ini diartikan
sebagai Pancasila yang menjadi landasan negara ini.
Selain itu, di masjid ini juga terdapat ukiran-ukiran yang menyimpan berbagai
makna. Beberapa ukiran tersebut diantaranya ukiran probo (bumi, tanah, atau
kewibawaan), ukiran Saton (menyendiri, sawiji), sorot (cahaya matahari),
tlacapan (panggah, tabah dan tangguh), hingga ukiran tetesan embun diantara
daun dan bunga yang memiliki makna barang siapa yang sholat di masjid ini
semoga memperoleh anugerah dari Allah SWT. Ukiran-ukiran penuh makna ini
adalah hasil kreasi seorang mahasiswa ASRI jurusan seni ukir bernama Sutarno.
Sebuah sumber menyebutkan bahwa pada rangka-rangka masjid ini juga
memiliki makna filosofis tersendiri. Soko brunjung melambangkan upaya
mencapai keluhuran wibawa. Kemudian dudur sebagai lambang ke arah cita-cita
kesempurnaan hidup. Sirah godo yang melambangkan kesempurnaan senjata
yang ampuh, yang diartikan sebagai kesempurnaan jasmani dan rohani. Serta
mustoko yang melambangkan keluhuran dan kewibawaan.
Kemudian jika diamati lebih detail, pada bagian langit-langit masjid ini
sepenuhnya tersusun dari kayu. Menariknya pada kayu-kayu tersebut sama
sekali tak ditemui paku untuk menghubungkan dengan kayu lainnya.

Masjid Soko Tunggal yang dibangun dengan gaya arsitektur jawa ala kraton ini
diresmikan penggunaannya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal
28 Februari 1973. Sampai dengan sekarang, masjid yang menjadi salah satu
cagar budaya di Yogyakarta ini masih digunakan sebagai tempat beribadah
maupun kegiatan keagamaan lainnya oleh masyarakat sekitar Tamansari.

Anda mungkin juga menyukai