Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,
dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative (yang
beberapa di antaranya merupakan faktor resiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya
usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia.
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi
pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu
hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif akan terus
berlanjut sampai akhirnya mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada
ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya.
Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,
karena ternyatanya berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak
mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga ,mempunyai peran yang besar
dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif
ringan.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV)
mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan
merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya. D a r i a s p e k m e d i k , d e m e n s i a
m e r u p a k a n m a s a l a h y a n g t a k k a l a h r u m i t n y a d e n g a n m a s a l a h ya n g t e r d a p a t
p a d a p e n y a k i t k r o n i s l a i n n ya ( stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan).
Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
1

Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,
tidak dapat mandiri lagi. Keberhasilan

pembangunan

kesehatan

dalam

upaya

menurunkan angka kematian umum dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur
harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat
menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia
sedang bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin m e n u a ( aging population).
Dengan diketahuinya berbagai faktor resiko (seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke,
riwayat keluarga, dan lain-lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat
pada sebagian orang usai lanjut, maka dari itu diperlukan upaya pencegahan timbulnya demensia
pada pasien, khususnya pada pasien lanjut usia.
Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Pada tahun 1970
Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa bila demensia
disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark diotak, dan hal
ini melahirkan konsep demensia multi-infark. Untuk menegakkan diagnosis
demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu
s y a r a t . H a l i n i d a p a t dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan
memori merupakan gejala dini. Namun pada demensia vaskular syarat ini kurang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Menurut bahasa Latin, demensia berasal dari kata demens = gila dan ia = patologis.
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapatkan yang disebabkan oleh
penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.
Demensia merupakan kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini irreversibel, sebaliknya progresif.
Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab.Pasien
dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental, seperti
berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang
terjadi pun harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan social secara
bermakna.
2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas
65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada
kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimers diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya
usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan
0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien
dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah
(nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang
secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15
3

hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada
seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5
persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan
berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit
Huntington dan penyakit Parkinson.
Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak
penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang pasien
dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.
3. KLASIFIKASI
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan
struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
(a) Menurut Umur:
o Demensia senilis (>65th)
o Demensia prasenilis (<65th)
(b) Menurut perjalanan penyakit:
o Reversibel
o Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi vitamin
B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)
(c) Menurut kerusakan struktur otak
o Tipe Alzheimer
o Tipe non-Alzheimer
o Demensia vaskular
o Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
o Demensia Lobus frontal-temporal
o Demensia terkait dengan HIV-AIDS
o Morbus Parkinson
o Morbus Huntington
o Morbus Pick
o Morbus Jakob-Creutzfeldt
o Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker
o Prion disease
o Palsi Supranuklear progresif
o Multiple sklerosis
o Neurosifilis
o Tipe campuran
4

(d) Menurut sifat klinis:


o Demensia proprius
o Pseudo-demensia
Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan gangguan
mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;
F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
F 01 Demensia Vaskular
F01.0 Demensia Vaskular Onset akut
F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark
F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal
F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia Vaskular lainnya
F01.9 Demensia Vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain
F02.0 Demensia pada penyakit PICK
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT YDK (Yang Di-Tentukan-Yang DiKlasifikasikan ditempat lain)
F03 Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai
berikut :
1.X0 Tanpa gejala tambahan
2.X1 Gejala lain, terutama waham
3.X2 Gejala lain, terutama halusinasi
4.X3 Gejala lain, terutama depresi
5.X4 Gejala campuran lain
4. ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah
(1) penyakit Alzheimer,
(2) demensia vaskuler, dan
(3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim
Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan

normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus


(HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.
Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan
dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme),
defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), atau sindrom
demensia akibat depresi.

5. PATOFISIOLOGI
a. Demensia Alzheimer
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi
gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat
keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik
dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan
tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada
kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan
ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut
jarang terjadi.
Komponen utama patologi pada penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano
bodies.

Plak neuritik mengandung banyak b-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis


distrofik, sementara plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid
tanpa abnormalitas neuron.
Gen untuk protein prekusor amyloid terletak pada lengan panjang kromosom 21,
menunjukkan hubunan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan Sindrom Down . Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amyloid. Protein
beta/A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid.
Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein
prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen
protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4
yang berlebihan.
Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai
penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi
yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun
proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab
pertanyaan tersebut.

Prekusor beta-amyloid di

Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.
Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar
daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen
E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.
Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena
gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer
menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel
serebri.Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah
plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan
hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron
(neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun
jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas
ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit
Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut
neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.

Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit
Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam
beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.
Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang
terhiperfosforilasi pada pasangan filament helix. Individu lanjut usia yang normal juga diketahui
mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal,
tetapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks seseorang tanpa demensia. Tetapi
neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer, karena juga terdapat pada
penyakit lain, seperti SSPE, Boxers dementia, the parkinsonian dementia complex of Guam.

b. Demensia Vaskular
Pada dementia vascular patologi yang dominan adalah adanya infark multiple dan
abnormalitas substantia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasaca stroke dapat
menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian / hemisfer
mana yang terkena.
Umumnya dementia muncul pada stroke yang mengenai beberapa bagian otak (multiinfarct dementia) atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substantia alba (diffuse white
matter atau leukoaraiosis atau Penyakit Binswanger) biasanya terjadi dengan infark lakunar.
Abnormalitas substantia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah
subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak pada
beberapa tempat.
9

c. FTD (Fronto Temporal Dementia)


Petanda anatomis pada FTD (Fronto-temporal Dementia) adalah terjadinya atrofi yang
jelas pada lobus temporal dan atau frontal yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf
(neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris.
Secara mikroskopis didapatkan selalu didapatkan gliosis dan hiangnya neuron, serta pada
beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang yang berisi
cytoplasmic inclusion.

d. Dementia Lewy Body


Penyakit Jisim Lewy adalah suatu demensia yang secara klinis mirip dengan penyakit
Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala
ekstrapiramidal.
Sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy Body di
seluruh korteks, amygdala, cingulated cortex, substantia nigra. Lewy Body adalah cytoplasmic
inclusion interneuron yang terwarnai dengan PAS (periodic acid-Schiff) dan ubiquitin, yang
terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik.

Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect)
ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
10

e. Demensia pada Penyakit Parkinson


Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan
demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami
gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan
perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia.

6. GAMBARAN KLINIS
a. Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan


mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol selama
perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang
perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang memiliki waham
paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien
yang mengalami kelainan pada lobus frontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan
kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.
b. Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan
demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham,
terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis juga
dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim
ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik.
c. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan demensia,
meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien

11

dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang
nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
d. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia
dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya
yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen
pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.
Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks
mengisap, refleks tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan
neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fungsi kognitif pada pasien demensia
dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).

12

Test menggambar jam pada penilaian MMSE.


Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis
tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit neurologis
fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan
disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada jenis-jenis demensia
lainnya.
e. Reaksi Katastrofik

13

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt
Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep
dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk
menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu.
Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran
subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya
mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan
intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya
dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari
kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar,
ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam
hubungan sosialnya.
f. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh
secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang
mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan
terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga
muncul pada pasien demensia saat stimulus eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal
dihilangkan.
7. DIAGNOSIS
Syarat utama untuk penegakan diagnosis ialah bukti adanya penurunan kemampuan baik dalam
daya ingat maupun daya pikir seseorang sehingga menggangu kegiatan sehari-hari. Hendaya daya ingat
secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan, dan memperoleh kembali informasi baru,
tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium
akhir.

14

Pemahaman informasi yang baru terganggu, karenanya ia merasa makin sukar untuk member
perhatian terhadap lebih dari satu rangsangan pada saat yang sama, seperti ikut serta percakapan beberapa
orang.
Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 bulan untuk membuat
diagnosis demensia yang mantap.
Kriteria diagnosis demensia (menurut DSM-IV) sebagai berikut :
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut
a. Gangguan memori(ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat
informasi yang baru saja dipelajari)
b. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:
i. Afasia
ii. Apraksia
iii. Agnosia
iv. Gangguan fungsi eksekutif
2. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria 1a dan 1b menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi
sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang
terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

Berdasarkan PPDGJ III Demensia dapat ditegakkan apabila ditemukan :


(1) Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian
seseorang (personal activities of daily living) seperti: mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang air besar, dan kecil
(2) Tidak adanya gangguan kesadaran (clear conciousness)
(3) gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.
Pedoman diagnostik F00 Demensia pada penyakit alzheimer adalah sebagai berikut;
(1) Terdapatnya gejala demensia
15

(2) Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit ditentukan
waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan tersebut. Dalam
perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata
(3) Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan bahwa
kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang dapat
menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin B 12,
Defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematom subdural)
(4) Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak fokal
Seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata, dan inkoordinasi
yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini dikemudian hari dapat
bertumpang tindih)
Pedoman diagnostik F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer Onset Dini adalah
sebagai berikut;
(1) Demensia yang onsetnya sebelum usia 65 tahun
(2) Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi)
(3) Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit alzheimer merupakan faktor yang menyokong
diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi
Pedoman diagnostik F01 Demensia vaskular adalah sebagai berikut
(1) Terdapatnya gejala demensia
(2) Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya ingat,
gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal). Daya tilikan diri (insight) dan daya nilai
(judgment) secara relatif tetap baik
(3) Suatu onset yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap disertai adanya gejala neurologis
fokal meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskuler. Pada beberapa kasus, penetapan
hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau pemeriksaan neuropatologis.

16

Pedoman diagnostik F01.0 Demensia Vaskuler Onset Akut adalah sebagai berikut;
Biasanya terjadi secara cepat sesudah seranngkaian stroke akibat trombosis serebrovaskuler,
embolisme atau perdarahan.
Pedoman diagnostik F01.1 Demensia multi infark adalah sebagai berikut; Onsetnya
lebih lambat, biasanya setelah serangkaian episode iskhemik minor yang menimbulkan
akumulasi dari infark parenkim otak.
Pedoman diagnostik F01.2 Demensia Vaskuler subkortikal adalah sebagai berikut;
fokus kerusakan akibat iskemia pada subtansia alba di hemisfer serebral, yang dapat diduga
secara klinis dan dibuktikan dengan CT-Scan. Korteks serebri tetap baik walaupun demikian
gambaran klinis masih mirip demensia pada penyakit alzheimer.
Pedoman diagnostik F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
adalah sebagai berikut; Komponen campuran kortikal dan subkortikal dapat diduga dari
gambaran klinis, Hasil pemeriksaan (termasuk autopsi) atau keduanya.
Pedoman diagnostik F02.0 Demensia pada penyakit PICK adalah sebagai berikut:
(1) Adanya gejala demensia yang progresif
(2) Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol, disertai
euphoria, emosi tumpul, dan perilaku social yang kasar, disinhibisi, dan apatis atau gelisah
(3) Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat
Pedoman diagnostik F02.1 Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah sebagai berikut
Trias :
(1) Demensia progresif merusak
(2) Penyakit piramidal dan ekstra pyramidal dengan mioklonus
(3) EEG yang khas (Trifasik).
Pedoman diagnostik F02.2 Penyakit Huntington adalah sebagai berikut:

17

(1) Ada kaitan antara gangguan gerakan koreiform (Choeriform), demensia, dan riwayat
keluarga dengan penyakit Hungtington
(2) Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, bahu,atau cara berjalan
khas merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya mendahului gejala
demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai demensia menjadi sangat
lanjut
(3) Gejala demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini, dengan
adanya daya ingat relative masih terpelihara, sampai saat selanjutnya
Pedoman diagnostik F02.3 Demensia pada penyakit parkinson adalah sebagai berikut;
Demensia berkembang pada seseorang dengan penyakit parkinson yang sudah parah, tidak ada
gambaran klinis khusus yang dapat ditampilkan.
Pedoman diagnostik F02.4 Demensia pada penyakit HIV adalah sebagai berikut; Sering
lupa, lamban,kurang konsentrasi, sulit membaca dan mengatasi suatu masalah. Apati,
spontanitas, penarikan diri secara sosial.
Pedoman diagnostik F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT YDK (Yang DiTentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain) adalah sebagai berikut; demensia yang terjadi
sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik dan serebral lain.
Pedoman diagnostik F03 Demensia YTT adalah sebagai berikut; Demensia yang terjadi
bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin diidentifikasi pada
salah satu tipe.
8. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada
usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir
dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia
dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun.

18

Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau
dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang
lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata
angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani
pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia
potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum
kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang
mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan
pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan
dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan
metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan
hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada
fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga
pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat.
Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin
atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau
perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat cangkang
kosong dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan
bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk
beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia
yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan
tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan
perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti
terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh faktor
psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin
19

tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan
demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada
pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan
mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi.
Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
9. DIAGNOSIS BANDING

a. Delirium
Perbedaan antara delirium dan demensia adalah sebagai berikut:
Delirium

Dementia

Fase

Akut

Kronik

Onset

Cepat

Lambat

Causa

Penyakit lain (infeksi,dehidrasi,


putus obat)

Penyakit otak kronik


(Alzheimer, d.vaskuler)

Lama penyakit

Berhari-hari atau minggu

Berbulan-bulan atau tahun

Perjalanan
penyakit

Naik turun

Kronik progresif

Kesadaran

Naik turun

Normal

Orientasi

Terganggu, periodik

Intak awalnya

Afek

Cemas dan iritable

Labil tapi tak cemas

Alam Pikiran

Sering terganggu

Turun jumlahnya

Bahasa

Lamban, inkoheren,inadekuat

Sulit menemukan istilah yang


tepat

b. Depresi

20

Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar
dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai
psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive
dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi
kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih
menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering
memiliki riwayat episode depresi.
c. Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat
(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan
gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
10. PENATALAKSANAAN
Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin,
dengan penatalaksanaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita
(dan juga dari keluarga atau yang merawat). Prinsip utama penatalaksaannya sebagai berikut :

PRINSIP UTAMA PENATALAKSAAN PENDERITA DEMENTIA


Optimalkan fungsi dari penderita

Obati penyakit yang mendasarinya (Hipertensi, penyakit Parkinson)

Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP (kecuali dibutuhkan
untuk penatalaksanaan gangguan psikologik atau perilaku)

Ases keadaan lingkungan, kalau perlu untuk perubahan

Upayakan aktivitas mental dan fisik

Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat memori dimana mungkin

Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat

21

Tekankan perbaikan gizi

Kenali dan obati komplikasi

Mengembara dan berbagai perilaku merusak

Gangguan perilaku lain

Depresi

Agitasi atau aggresivitas

Inkontinensia

Upayakan perumatan berkesinambungan

Re-ases keadaan kognitif dan fisik

Pengobatan gangguan medic

Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarga

Berbagai hal tentang penyakitnya

Kemungkinan gangguan atau kelainan yang bisa terjadi

Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya

Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat

Nasihat hukum dan atau keuangan

Upayakan nasihat keluarga untuk

Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga

Penanganan dan rasa marah atau bersalah

Pengambilan keputusan untuk perumayan respite atau di institusi

Kepentingan-kepentingan hukum atau masalah etik


22

1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek
hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak
pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi
fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga
kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan
dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.
Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan
disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh
dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat
dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara
berdamai dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah
orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan
untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal
tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya
23

kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.
Obat-obat

tersebut

menurunkan

inaktivasi

dari

neurotransmitter

asetilkolin

sehingga

meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan


memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori
ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan
neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan
karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai
rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek
samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan
tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:

Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg

Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75 mg
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg

Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)

Antidepresif
24

o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x
10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)

Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna

lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):

Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o

Sabeluzole (Reminyl)

Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA

Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
25

o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari


o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat
metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat
memperlambat perkembangan penyakit ini. Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko
penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan
ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi.
Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih
rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit.

BAB III
26

KESIMPULAN
Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah kesehatan dan
penyakit yang khas yang terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah satu masalah kesehatan
yang akan banyak dihadapi adaalah gangguan kognitifyang bermanifestasi secara akut berupa
konfusio(gagal otak akut) dan kronis berupa dementia (gagal otak kronis).
Peranan assessment geriatri dalam diagnosis kedua masalah tersebut sangat besar, karena
meningkatkan ketepatan diagnosis pada konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia
yang reversible.
Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis
dementia primer terutama penyakit Alzheimer atau demensia senilis tipe Alzheimer, walaupun
pengobatan untuk penyakit primer sekarang belom dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai
aspek perilaku baik dengan atau tanpa obat masih dimungkinkan.
Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-kolinesterase, yang bertujuan untuk
meningkatkan kadar asetilkolin sesuai dengan pathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain
inhibitor kholin esterase dan inhibitor N-meti D-aspartat, saat ini sudah ada di pasaran, walaupun
terhambat oleh factor penggunaannya harus seumur hidup.
Penelitian-penelitian masih intensif dilakukan dalam upaya pencegahan demensia. Suatu
panel ahli geriatris dan psikogeriatris Australia membuat rekomendasi berbagai strategi
perubahan gaya hidup untuk pencegahan demensia. Berbagai macam terapi antara lain terapi
gen, vaksinasi untuk terapi dan pencegahan demensia saat ini masih berjalan.

DAFTAR PUSTAKA
27

Roan

Witjaksana.

Delirium

dan

Demensia.

Diakses

dari

http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.


Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
Dementia. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober
2008
Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001,
Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26
Memory

Disoders.

Diakses

dari

http://www.gabehavioral.com/Memory

%20Disorders.htm
Information about dementia. Diakses dari http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm.
Dementia. Diakses dari : http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article
Sandoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Demensia Geriatric. In:Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta:Interna Publishing. 2009. Pp.837-43.

28

Anda mungkin juga menyukai