Anda di halaman 1dari 24

Stepvani Megawati (406148056)

BAB 1
PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif fan menjadi kronis.
Banyak dermatitis yang belum diketahui dengan pasti patogenesisnya, terutama yang
penyebabnya faktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang dermatitis kontak
(baik tipe alergik maupun iritan) dan dermatitis atopik. Pengobatan yang tepat didasarkan
kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi
faktor, kadang juga tidak diketahui dengan pasti. Sehingga pengobatan bersifat simtomatik
yaitu dengan menghilang atau mengurangi keluhan dan gejala serta menekan peradangan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
1

Stepvani Megawati (406148056)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang
menempel pada kulit. Dikenal 2 macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan
merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung
tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu allergen.
2.1

Dermatitis Kontak Iritan (DKI)


Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan nonimunologik pada

kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen
berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang
peranan penting pada penyakit ini. Berbeda dengan dermatitis kontak alergik, penyakit ini
merupakan suatu respon biologis pada kulit berdasarkan variasi dari stimulasi eksternal atau
bahan pajanan yang menginduksi terjadinya inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi
spesifik.
2.1.1

Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan

umur, ras dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit
didapat. Hal ini disebabkan karena banyak penderita yang tidak datang berobat dengan
kelainan ringan. Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukan
bahwa 249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis
kelamin 15.6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua
terbesar untuk semua penyakit okupasional. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi
yang sama, bahwa incident rate untuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di
Amerika, menunjukan 90-95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak dan 80%
dari penyakit didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
2

Stepvani Megawati (406148056)


2.1.2

Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan

lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.

Sifat kimia bahan iritan

Faktor Eksogen
pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,

Sifat dari pajanan

polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan


Jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan
serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan

Faktor lingkungan

sebelumnya
Lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, faktor mekanik seperti
tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkungan yang
rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum
korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan terhadap bahan
iritan

Genetik

Faktor Endogen
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu
untuk mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym
antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk perlindungan
heat shock protein semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor
tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh terhadap
bahan-bahan ititan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap
kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan. TNF-
polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan

Jenis Kelamin

terhadap kontak iritan


Dari hubungan antara jenis kelamin dengan kerentanan kulit,
wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan
lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada pembedaan
jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang ditetapkan
berdasarkan penelitian

Umur

Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi


bahan-bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Reaksi terhadap
beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
3

Stepvani Megawati (406148056)


penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan
penurunan potensial penetrasi perkutaneus.
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit

Suku

mempengaruhi berkembangnya dermatitis kontak iritan secara


Lokasi kulit

signifikan.
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi
pertahanan, sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian
dorsal tangan lebih rentan terhadap dermatitis kontak iritan.

Riwayat atopi

Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih resisten.


Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada
dermatitis

iritan

pada

tangan.

Riwayat

dermatitis

atopi

kelihatannya berhubungan dengan peningkatan kerentanan


terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit,
lemahnya

fungsi

pertahanan,

dan

lambatnya

proses

penyembuhan. Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya,


menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan
iritan

2.1.3

Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui

kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan
iritan (toksin) merusak membrane lemak (lipid membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat
menembus membrane sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komponen inti.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
4

Stepvani Megawati (406148056)


Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG),
platelet activating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA diubah
menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT)
PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai
kemoatraktan kuat untuk linfosit dan neutrofil serta
mengaktifasi sel mas untuk melepaskan histamin, LT ,PG lain
dan PAF sehingga memperkuat perubahan vaskular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen
dan sintesis protein misalnya IL-1,IL-2 dan
granulocytemacrophage colony stimulatund factor (GMCSF)
yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel.
Keratinosit melepaskan TNF- untuk mengaktifkan sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi
sel dan pelepasan sitokin
Renjatan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan
klasik ditempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema,
edema, panas, nyeri bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak.

2.1.4

Gejala Klinis
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala

akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. Berdasarkan penyebab tersebut dan
pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi 10 macam, yaitu:
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Pada DKI akut, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla. Luas
kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas. Pada beberapa individu,
gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-satunya
manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan. Spektrum
perubahan kulit berupa eritema hingga vesikel dan bahan pajanan yang dapat
membakar kulit dapat menyebabkan nekrosis. Secara klasik, pembentukan dermatitis
akut biasanya sembuh segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang.
Hal ini dikenal sebagai decrescendo phenomenon. Pada beberapa kasus tidak biasa,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
5

Stepvani Megawati (406148056)


dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan
resolusi lengkap. Bentuk DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan
kimia, bulla besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa
yang sering timbul pada dermatitis kontak.

DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)


Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul hingga
8-24 jam atau lebih setelah pajanan. Sebaliknya, gambaran kliniknya mirip dengan
dermatitis kontak iritan akut.Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh
serangga yang terbang pada malam hari, dimana gejalanya muncul keesokan harinya
berupa eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh iritan lemah
(seperti air, sabun, detergen) dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih
sering terkena pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu,
bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor yang
paling penting. Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak iritan
yang paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering, eritema, skuama, dan
lambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus
berlangsung.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
6

Stepvani Megawati (406148056)

DKI kronis akibat efek korosif dari semen

Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak iritan
kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian menyebar ke bagian
dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai dari ujung jari
(pulpitis). DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih
banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh
(contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut).
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum dari
tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan
basah. Reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi
DKI kumulatif.

Reaksi Iritan.
5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti panas

atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar 6 minggu atau
lebih lama. Pada proses penyembuhan, akan terjadi eritema, skuama, papul dan
vesikel. Secara klinik gejala mirip dengan dermatitis numular.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
7

Stepvani Megawati (406148056)


6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous
Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat secara
histologi.Gejala umum yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa
tersengat. Iritasi suberitematous ini dihubungkan dengan penggunaan produk dengan
jumlah surfaktan yang tinggi. Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum
korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis).
7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa tersengat,
rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan. Biasanya terjadi di
daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya menjadi iritan yang paling
sering menyebabkan penyakit ini.
8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan
yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah,
dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang
terkena gesekan. DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali
terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak
gatal. Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan
ujung jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.

DKI Gesekan

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform


Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat setelah
pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah penggunaan beberapa
kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril dan transien, dan dapat
berkembang beberapa hari setelah pajanan. Tipe ini dapat dilihat pada pasien
dermatitis atopy maupun pasien dermatitis seboroik.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
8

Stepvani Megawati (406148056)

DKI Akneiform.

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.

DKI Asteatotik.

2.1.5

Histopatologik
Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel

mononuclear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti
spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat
kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula
ditemukan limfosit dan neutrofil.
2.1.6

Diagnosis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
9

Stepvani Megawati (406148056)


Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya
lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya. DKI kronis
timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan
dengan DKA. Selain anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih
memastikan diagnosis DKI.

A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat mendukung
penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah
- Pasien mengklaim adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24
-

jam setelah pajanan.


Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu

bahan iritan yang merusak kulit.


Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi.

B. Pemeriksaan Fisis
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai berikut:
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
C. Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam
kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat
memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Dermatitis
kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai iritans.
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak
dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang digunakan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
10

Stepvani Megawati (406148056)


harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena
tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif
palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam
berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat
didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis,
dengan dermatitis kontak yang rekuren
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri.
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikologi pada infeksi jamur
superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
4. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic atau riwayat
atopi.
2.1.7

Diagnosis Banding

1. Dermatitis Kontak Alergi


Pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan. Gambaran lesi secara klinis muncul
pada pajanan selanjutnya setelah interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori),
dan keluhan utama pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena
pajanan. Pada patch tes, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan,
dan sensitifitasnya berkisar antara 70 80%.
2. Dermatitis Atopi
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga penderita.Oleh
karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita dengan suspek DKI dapat dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan diagnosis dermatitis atopi.
3. Tinea Pedis
Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas
macam-macam efloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda
peradangan) daripada bagian tengah. Pada tinea pedis, khususnya bentuk mocassin
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
11

Stepvani Megawati (406148056)


foot, pada seluruh kaki terlihat kulit menebal, dan bersisik serta eritema yang ringan
terutama di tempat yang terdapat lesi.
2.1.8

Tatalaksana
Prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan

proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini,
mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan lain. Selain itu, beberapa strategi pengobatan
yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Kompres dingin dengan Burrows solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan membantu
mengurangi pertumbuhan bakteri. Kompres ini diganti setiap 2-3 jam.
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional karena
efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari corticosteroid dapat
menimbulkan kerusakan kulit pada stratum korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut
yang berat, mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg
dosis inisial, dan di tappering 10mg.
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri. Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan antibiotik oral untuk
mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan. Secara
bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan. Sedangkan
antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis akibat
iritan.
4. Anestesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk menurunkan
sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan dengan dermatitis iritan oleh
karena penekanan nosiseptor, dan mungkin dapat menjadi pengobatan yang potensial
untuk dermatitis kontak iritan. Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan
depolarisasi neural pada hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam
mengurangi sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.
5. Kationik Surfaktan
Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan gejala dalam
penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.
6. Emolien
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
12

Stepvani Megawati (406148056)


Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat berguna.
Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat meningkatkan efek emolien.
Emolien dengan perbandingan lipofilik : hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif
karena dapat menghidrasi kulit lebih baik.
7. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat seperti
prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika dikombinasikan dengan
kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak boleh digunakan untuk waktu yang lama
karena efek sampingnya. Oleh karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain
mungkin lebih berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.
8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan, khususnya
pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi photochemotherapy ultraviolet A
(PUVA) dan ultraviolet B, dimana penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan
fotosensitizer (soralen oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar
Grentz juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
2.1.9 Prognosis
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan
sempurna maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang
penyebabnya multi faktor, juga pada penderita atopi.

2.2

Dermatitis Kontak Alergik (DKA)


Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang

dengan bahan luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama atau mempunyai struktur
kimia serupa pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi.
2.2.1

Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak

sedangkan dermatitis kontak alergi kira-kira hanya 10-20%. Sedangkan insiden dermatitis
kontak alergi di perkirakan terjadi pada 0,21% dari populasi penduduk. Secara umum usia
tidak mempengaruhi timbulnya sesitisasi namun dermatitis kontak alergi jarang dijuampai
pada anak. Bila dilihat dari jenis kelamin, prevalensi pada wanita adalah dua kali lipat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
13

Stepvani Megawati (406148056)


dibanding pada laki-laki. Selain itu, bangsa kaukasian lebih sering terkena dermatitis kontak
alergi dari pada ras bangsa lain.
2.2.2

Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya

rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses disebut hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis
dibawahnya (sel hidup). Berbagai factor berpengaruh dalam timbulnya DKA misalnya
potensi sensitisasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum dan pH. Faktor individu misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik misalnya sedang sakit, terpajan sinar matahari.
Yang menyebabkan dermatitis kontak alergi adalah :
Bahan logam berat
Perhiasan, pakaian, jam tangan, gunting, peralatan masak
Semen, kulit
pewarna rambut, celana ketat, sepatu
Sarung tangan karet dan sepatu bot
Krim, salep, kosmetik
Nikel dan kobalt-kadang
Kromat
Paraphenylenediamine-digunakan dalam pewarna rambut
bahan kimia pengawet karet
Pengawet (parabenz, quarternium), balsam Peru, wewangian, lanolin, neomisin,
benzokain dalam obat salep.
2.2.3

Patogenesis
Karakteristik dermatitis alergi:
1. Sebelumnya terpapar oleh alergen
2. 48-96 jam antara kontak dan perubahan pada kulit.
3. Sebelumnya tubuh telah terkontak dengan alergen yang sama di bagian tubuh
yang lainnya.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
14

Stepvani Megawati (406148056)


4. Menetapnya alergen dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Ada dua proses utama yang terlibat dalam dermatitis kontak alergi yaitu sensitisasi
(induksi, atau ekstremitas aferen, sensitivitas) dan elisitasi (atau ekstremitas eferen)
dermatitis kontak. Empat jenis reaksi hipersensitivitas tipe lambat untuk eksogen
bahan kimia:
Th1-dimediasi-dengan

melepaskan

IFN-

dan

TNF-,

dan

aktivasi

monosit dan makrofag pada dermatitis kontak alergi, eksantema bulosa dan tes
kulit tuberkulin
Th2-dimediasi-dengan pelepasan IL-5, IL-4, IL-13 dan eotaxin, sehingga
eosinophilic infl ammation terlihat di makulopapular dan eksantema bulosa
Dimediasi oleh CD4 + sitotoksik dan sel T CD8 +, dengan pelepasan perforin,
granzim dan Fas-ligan, sehingga kontak alergi dermatitis, makulopapular,
pustular dan bulosa eksantema
Pelepasan CXCL-8 dan GM-CSF

oleh

sel

T,

sehingga

rekrutmen

neutrofil di eksantema pustular.

Fase Sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai alergen biasanya berat molekulnya kecil
(berat molekul <1000 Da), larut dalam lemak dan ini disebut sebagai hapten. Hapten
yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan difagosit oleh sel
langerhans, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol dan
kemudian berikatan dengan HLA-DR membentuk antigen lengkap. Pada awalnya sel
langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan
sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten
yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T.
Sensitisasi hanya bisa terjadi jika hubungan dengan limphanodus baik. Selanjutnya
sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan

IL-1 (interleukin-1) yang akan

merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan


proliferasi sel T sehingga terbentuk memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh
tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
15

Stepvani Megawati (406148056)


dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari,
dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitasi.
Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang dari antigen yang sama
dengan konsentrasi yang sama. Terjadi 24-48 jam, dimana terjadi proses yang cepat.
Antigen yan telah dikenal itu akan langsung mempengaruhi sel limfosit T yang telah
tersensitisasi yang kemudian akan dilepaskan sebagai mediator yang akan menarik
sel-sel radang. Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis dermatitis. Sel
Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang IFN (interferon) gamma. IL-1 dan IFN gamma
akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid.
Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul
berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikel yang akan tampak
sebagai dermatitis.
2.2.4

Gejala Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan bercak

eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis
kontak alergi akut dapat terjadi di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum
tampak eritema dan edema. Pada yang kronis terlihat kulit kering berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan
dengan dermatitis kontak iritan kronis, mungkin penyebabnya juga campuran.
Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap dermatitis
kontak alergi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
16

Stepvani Megawati (406148056)

Kulit tampak kemerahan dan bula.


2.2.5

Diagnosis
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami dan

kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi yang
tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo ataupun in vitro.
1. Pemeriksaan In Vitro
a. Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila
dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/L. Eosinofilia
sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan
obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan
(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Jumlah eosinofil darah dapat
berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara sistemik.
b. Hitung eosinofil dalam secret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan dapat
membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Eosinofilia sekret
hidung juga dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid
hidung topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus
dan konjungtiva.
c. Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma
memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi. Kadar IgE
total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat
pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).
d. Kadar IgE spesifik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
17

Stepvani Megawati (406148056)


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan
secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST
(Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),
atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah
keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit.
Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.
2. Pemeriksaan In Vivo
a. Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak
sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan
menimbulkan hubungan silang antara alergen dengan sel mast permukaan
kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai
preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan mediator
utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil
uji kulit positif). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak
dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien
menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas
dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase
lambat).
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).
Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke
dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm. Dimulai
dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan
berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.
Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),
namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat
mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang
akurat. Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada
alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
18

Stepvani Megawati (406148056)


adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan
pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas
dengan jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk
>2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan -agonis
dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji
kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.
Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah
namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik
dengan gejala yang timbul.
b. Uji Provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan
alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna,
paru), maka dapat dilakukan uji provokasi.
Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang
makin tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi
jalan napas. Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji
provokasi bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji
alergi in vitro.
Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan
yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap
makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka,
single-blind, double-blind, atau double-blind placebo-controlled.
Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan
meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan
setelah melakukan diet eliminasi selama tiga minggu. Pada uji
provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu sapi mulai
dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah
mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien dapat
mengkonsumsi susu sapi.
Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocationlCOLAP),
dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan ekstrak
alergen ke dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa pembentukan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
19

Stepvani Megawati (406148056)


wheal dan kemerahan pada mukosa. Derajat alergi ditentukan
secara semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi, 1=meragukan,
2=reaksi sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat (1-2 cm), dan
4=reaksi maksimal (>2 cm).10 Hasil COLAP sesuai dengan
riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil SPT dan RAST.
Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus tidak
beredar secara sistemik, atau reaksi hipersensitivitas pada usus
bukan (bukan hanya) merupakan mekanisme yang IgE-tergantung.
Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus
dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan
hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam. Selain pada
dermatitis kontak, uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis
alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi dan esofagitis
eosinofilik. Hasil yang dicatat:
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrate, papul
(+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya macula eritematosa (?)
5 = iritasi : seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)
6 = reaksi negative (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=not tested)
Immuno CAP Phadiatop Infant (PI), berguna untuk mendeteksi IgE
pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila dibandingkan dengan skin
prick test (SPT) dan RAST pada bayi dengan hasil SPT dan RAST
seluruhnya positif atau negatif, maka PI memiliki sensitivitas 96%,
spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 89%, dan nilai prediktif
negatif 99% namun pada bayi dengan hasil SPT atau RAST positif,
PI menunjukkan sensitivitas 82%, spesifisitas 98%, nilai prediktif
positif 94%, dan nilai prediktif negatif 95%. Terdapat korelasi yang
bermakna secara statistik antara eksim dan hasil PI yang positif,
namun korelasi dengan gejala asma dan rinokonjungtivitis tidak
meyakinkan karena di atas usia dua tahun telah terdapat peran
infeksi virus. Dengan demikian PI dapat digunakan sebagai
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
20

Stepvani Megawati (406148056)


pemeriksaan alergi pada bayi karena dapat menggantikan SPT dan
tidak memerlukan seleksi antigen spesifik baik pada SPT maupun
RAST.

2.2.6 Tatalaksana
1. Terapi Non Farmakologi
a. Membersihkan dengan cara mengompres kulit yang teriritasi dengan air
hangat.
b. Memberikan edukasi mengenai kegiatan yang beresiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Menghindari substansi alergen
d. Mengganti semua pakaian yang terkean alergen
e. Mencuci bagian yang yang terapapar secepat mungkin dengan sabun, jika
f.
g.
h.
i.

tidak ada sabun bilas dengan air.


Menghindari air bekas cucian / bilasan kulit yang terpapar alergen
Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar alergen
Gunakan perlengkapan / pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang

beresiko terhadap paparan alergen.


2. Terapi Farmakologi
Umum : Hindari faktor penyebab
Khusus :
a) Sistemik :
Antihistamin
Kortikosteroid : metilprednison, metilprednisolon, atau triamsinolon.
b) Topikal
Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah mengering diberi kortikosteroid
topikal seperti hidrokortison 1-2%, triamsinolon 0,1%, fluosinolon 0,025%, desoksimetason
2-2,5 dan betametason-dipropionat 0,05%.

2.2.7

Diagnosis Banding

Gambaran klinis

Dermatitis kontak iritan

Patogenesis

Efek sitotoksik langsung


Setiap orang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
21

Dermatitis kontak alergi


Reaksi T cellmediated
immune
Golongan minoritas

Stepvani Megawati (406148056)


Onset sedang (chemical
burns)
1248 jam sebelum
tersensitisasi.
Setelah terpapar bahan
iritan lemah yang berulang
Ekzema subakut atau
kronik dengan deskuamasi
dan fisura.

Onset

Tanda
Gejala
Konsentrasi kontaktan
Pemeriksaan

2.2.8

Nyeri dan sensasi terbakar


Tinggi
Tidak ada

Dermatitis kontak iritan pada tangan


karena terkena bahan industri.

12-48 jam sebelum


tersensitisasi

Ekzema akut sampai


subakut dengan vesikel
Pruritus
Rendah
Patch or prick tests

Dermatitis kontak alergi pada tangan


karena terkena bahan industri.

Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (d. atopik, d.numularis dan psoriasi) atau terpajan oleh alergen
yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau
yang terdapat di lingkungan penderita.

BAB 3
PENUTUP
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang
menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan
dan dermatitis kontak alergik, keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis kontak
iritan timbul tanpa adanya produksi antibodi spesifik. Dermatitis kontak alergik terjadi pada
pajanan berulang dan telah tersensitisasi sebelumnya.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang. Prinsip pengobatan pada dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
22

Stepvani Megawati (406148056)


adalah menghindari faktor pencetus. Dapat diberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin.
Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik. Pada lesi yang basah dapat dikompres
terlebih dahulu. Prognosis dermatitis kontak iritan maupun alergik umumnya baik.

BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill;
2008.p.396-401.
2. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.
3. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: FKUI. 2005.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
23

Stepvani Megawati (406148056)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSUD RAA Soewondo Pati
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 5 Desember 2016 7 Januari 2017
24

Anda mungkin juga menyukai