Berkeringat
Gejala ini merupakan gejala adrenergic yang timbul akibat penurunan kadar
glukosa darah yang cepat. Pada saat Hipoglikemia, sel tidak mendapat glukosa
yang cukup untuk kebutuhan energinya, maka dari itu sel akan memberikan
rangsangan ke hipothalamus untuk menimbulkan rasa lapar, ketika muncul rasa lapar,
maka otak akan merangsang produksi epinefrin yang lebih untuk meningkatkan
glukosa darah. Epinefrin yang terlalubanyak dapat merangsang syaraf otonom
(simpatis) yang dapat menyebabkan timbulnya gejala berkeringat pada Tn. D.
Badan lemas
Pada keadaan penurunan glukosa darah yang mendadak, produksi glukagon
dan epinefrin ditingkatkan. Kedua hormone tersebut akan memacu
glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis di otot dan lipolisis di
jaringan lemak. Dengan demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis, yaitu
asam amino terutama alanin, asam laktat, piruvat, sedangkan hormon
kontraregulator yang lain berpengaruh sinergistik terhadap glukagon dan
adrenalin tetapi perannya sangat lambat. Secara singkat dapat dikatakan,
dalam keadaan puasa (tidak ada asupan glukosa selama 5-6 jam) terjadi
penurunan insulin dan kenaikan hormon kontraregulator. Keadaan tersebut
akan menyebabkan penggunaan glukosa hanya di jaringan insulin yang
sensitif dan dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya
disediakan untuk jaringan otak.
Dengan
meningkatnya
bahan
untuk
gluconeogenesis
maka
akan
Neuron cerebral sangat tergantung pada aliran darah serebral dan berhubungan dengan
pengiriman oksigen dan glukosa. Otak membutuhkan glukosa sebagai sumber energi utama
dan hanya menyimpan glukosa dalam jumlah yang sangat sedikit. Ketika kondisi pengiriman
substrat memburuk, semua aktivitas elektrik otak berhenti.
Pada kasus ini, koma disebabkan oleh Hipoglikemia Iatrogenik (efek yang merugikan
akibat tindakan pengobatan atau diagnostik yang menyebabkan kelainan patologis di luar
keadaan sebab tindakan tersebut dilakukan). Tn D mengalami kondisi Neuroglikopenia, yaitu
kondisi dimana otak kekurangan glukosa akibat hipoglikemia. Glikopenia memberi efek pada
fungsi neuron, dan mengubah fungsi otak dan perilaku. Neuroglikopenia yang terjadi dalam
waktu lama atau berulang dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran, kerusakan otak, bahkan
kematian. Kebanyakan neuron memiliki kemampuan untuk menggunakan bahan selain
glukosa untuk energinya, yaitu asam laktat dan keton. Namun pada kasus ini, gejala
neuroglikopenia yang berujung pada koma terjadi dengan hipoglikemi akibat kelebihan
insulin dari konsumsi obat sulfonilurea (glibenklamid) karena insulin mengurangi kadar
bahan energi lain dengan menekan ketogenesis dan glukoneogenesis.
Pada individu normal yang sehat, keadaan hipoglikemia tidak terjadi karena mekanisme
homeostasis glukosa endogen berfungsi dengan efektif. Secara klinis masalah hipoglikemia
timbul karena pada diabetes dan akibat terapi mekanisme homeostasis endogen tersebut
terganggu.
Pada kasus ini, mekanisme kontra regulator tidak terjadi dengan baik karena sekresi
glukagon dihambat secara farmakologis oleh pemberian obat sulfonilurea, sehingga
pemulihan glukosa tidak terjadi saat hipoglikemi. Pada usia lanjut, respon otonomik juga
cenderung turun dan sensitifitas perifer epinefrin juga berkurang, akibatnya Tn D mengalami
koma akibat hipoglikemi.
Antikoagulan
(dicumarol,
warfarin),
Analgetik,
antiinflamasi
Dalam keadaan puasa (post absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga
menurunkan ambilan glukosa oleh hepar, otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan
proses paling penting untuk memenuhi kebutuhan glukosa dalam keadaan puasa selama 12
sampai 24 jam.
Bila puasa berlangsung lebih lama, setelah simpanan glikogen hati berkurang, akan
terjadi lipolisis dan pemecahan protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan
asam amino didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber energi
dan oleh hati untuk memproduksi benda2 keton yang akan digunakan sebagai sumber energi
alternatif bagi jaringan2 tubuh lain. Gliserol dan asam amino akan diambil oleh hati dan ginjal
yang akan digunakan sebagai bahan utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8 mg/kg/menit selama dalam
keadaan puasa sampai 40 jam. Kontribusi proses glukoneogenesis terhadap produksi glukosa
basal meningkat dari 41% setelah 12 jam sampai 92% setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan
puasa yang lama, ginjal memproduksi 25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa,
terutama melalui proses glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol. Pada insufisiensi
ginjal kronik yang berat akan terjadi gangguan produksi glukosa renal sehingga akan
menimbulkan hipoglikemi puasa. Bila kadar glukosa plasma berada dibawah nilai ambang
hipoglikemi, akan terjadi pelepasan hormon2 kontra regulasi, sebagai usaha untuk meningkatkan
produksi glukosa. Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian ventromedial
hipothalamus merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra regulasi.
Hormon kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok, yaitu hormon kerja cepat yaitu
katekolamin dan glukagon dan hormon kerja lambat yaitu growth hormone dan kortisol.
Katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin dan secara
langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal, menghambat utilisasi glukosa
di jaringan perifer dan merangsang proses lipolisis. Selanjutnya proses lipolisis akan
menghasilkan substrat2 yang diperlukan untuk glikoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber
energi alternatif bagi otot (yaitu asam lemak dan benda2 keton). Glukagon terutama bekerja
merangsang produksi glukosa hati, namun sangat sedikit atau bahkan tidak mempunyai efek
terhadap utilisasi glukosa perifer atau stimulasi produksi glukosa ginjal. Walaupun glukagon
merangsang lipolisis dan ketogenesis, namun hanya mempunyai efek minimal terhadap
mobilisasi prekursor glukoneogenesis dari lemak. Efek kontra regulasi dari kortisol dan growth
hormone terjadi beberapa jam setelah hipoglikemi. Jadi kedua hormon ini hanya berperan
minimal dalam pencegahan hipoglikemi akut, namun penting dalam pencegahan hipoglikemi
akibat puasa yang lama. Kortisol merangsang glukoneogenesis hati dan lipolisis, sehingga
meningkatkan kadar asam lemak bebas dan gliserol. Growth hormone juga mempunyai efek
yang sama terhadap lipolisis dan glukoneogenesis, serta secara bersamaan menekan utilisasi
glukosa di jaringan perifer. Kedua hormon diatas dapat meningkatkan lipolisis untuk
menghasilkan substrat penting bagi proses glukoneogenesis, serta asam lemak bebas dan benda2
keton yang akan digunakan sebagai sumber energi alternatif.
Definisi hipoglikemi
Diagnosis hipoglikemi ditegakkan berdasarkan trias Whipple, yaitu:
1. adanya gejala2 dan tanda2 hipoglikemi
2. kadar glukosa plasma yang rendah
3.
terjadi pemulihan gejala setelah kadar glukosa plasma kembali normal melalui
pemberian glukosa eksogen.
Namun, nilai cutoff dari kadar glukosa plasma untuk menetapkan hipoglikemi masih
simpang siur. Berbagai kepustakaan menggunakan rentang nilai antara 45 sampai 75 mg/dl (2,5
4,2 mmol/l). Dalam praktek sehari-hari, definisi hipoglikemi disesuaikan dengan keadaan klinis.
Walaupun tidak ada ketentuan pasti tentang seberapa rendah kadar glukosa darah sebagai
patokan mendefinisi-kan hipoglikemi, namun terdapat kesepakatan bahwa kadar glukosa plasma
vena antara 45 sampai 60 mg/dl (2,5 3,3 mmol/l) jelas mendukung diagnosis hipoglikemi, dan
bila dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l) biasanya sudah menimbulkan gejala klinis yang berat. Bila
kadar glukosa darah yang rendah disertai dengan gejala2 neurologik, kecurigaan terhadap
hipoglikemi lebih tinggi dan perlu segera dicari faktor penyebabnya. Pada pasien diabetes yang
diterapi dengan insulin, kadar glukosa darah hendaklah dipertahankan diatas 75 mg/dl (4,2
mmol/l) untuk mencegah kemungkinan terjadinya hipoglikemi simtomatis dan hypoglycemia
unawareness.
(3 orang laki-laki) usia 24 sampai 49 tahun, menunjukkan bahwa skor gejala berkurang secara
bermakna pada kelompok usia yang lebih tua. Pada pasien DM, faktor predisposisi terjadinya
hypoglycemia antara lain faktor usia, gangguan fungsi jantung, ginjal dan hati serta adanya
sepsis dan gizi buruk. Disamping itu, beberapa jenis obat dapat pula mengadakan interaksi
dengan golongan sulfonilurea dan insulin, sehingga memperkuat efek hipoglikemik kedua jenis
obat ini. Obat-obatan dapat menyebabkan hipoglikemi melalui beberapa mekanisme, yaitu
melalui:
- Peningkatan sekresi insulin: Disopyramide, Quinine, Pentamidine, Ritodrine, Isoniazide,
Chloroquine.
- Peningkatan ambilan dan utilisasi glukosa dijaringan perifer:Beta adrenergic blocker, ACE
inhibitor, Biguanid, PPAR agonist.
- Penurunan produksi glukosa di hati: alkohol, mekanisme otoimun: hidralazine, Procainamide,
Interferon.
-Obat2 yang mengandung gugus sulfhydryl (methimazole,
penicillamine, captopril.
- Tidak jelas mekanismenya (diduga menurunkan klirens insulin) : Sulfonamide, Salisilat,
Antikoagulan (dicumarol, warfarin), Analgetik, antiinflamasi (indomethazine, colchicin,
parasetamol, fenilbutazon), Anti psikotik (haloperidol, chlorpromazine), Ketoconazole, Anti
Parkinson (Selegiline), Octreotide, Phenytoin.
Secara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
- Hipoglikemi ringan, yaitu bila gejala-gejala dan tanda-tanda hipoglikemi ringan dan dapat
diobati sendiri oleh pasien.
- Hipoglikemi sedang, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi disertai dengan gangguan
kognitif ringan, namun pasien masih bisa menanggulanginya sendiri.
- Hipoglikemi berat, bila disertai dengan gangguan kognitif berat, bahkan sampai terjadi koma
dan kejang sehingga pasien tidak dapat menanggulanginya sendiri.
Penatalaksanaan Hipoglikemia
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti mengenai beberapa hal, antara lain: pekerjaan
pasien, riwayat keluarga yang menderita diabetes, riwayat pemakaian obat-obat golongan
sulfonylurea atau insulin, riwayat konsumsi alcohol, riwayat penyakit yang menjadi faktor
predisposisi dan obat-obat lain yang digunakan pasien. Juga perlu ditanyakan tentang frekuensi
dan lamanya episode gejala, ada tidaknya gejala-gejala otonomik dan atau neuroglikopenik,
apakah gejala berkurang dengan minum larutan gula, dan kapan gejala-gejala tersebut terjadi
(pada saat puasa atau sesudah makan)
Pasien yang mengalami hipoglikemi hanya pada periode postprandial mungkin menderita
idiopathic reactive hypoglycemia. Namun, penyebab hipoglikemi lain seperti insulinoma dapat
pula menimbulkan hipoglikemi postprandial.
Kelompok usia lanjut perlu mendapat perhatian khusus, karena mereka sering tidak
mengalami gejala-gejala dini hipoglikemi akibat gangguan fungsi syaraf otonom (hypoglycemia
unawareness), sehingga glukosa darah dapat turun mencapai kadar yang sangat rendah (< 40
mg/dl) yang dapat menimbulkan kerusakan syaraf otak yang irreversible. Penatalaksanaan
hipoglikemi di rumah sakit sebaiknya melibatkan kerjasama tim. Pemantauan kadar glukosa
darah yang ketat perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan yang efisien dan efektif.
Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu dilakukan agar dapat ditentukan
apakah pasien masih bisa diberikan terapi oral atau sudah memerlukan terapi parenteral. Setelah
kejadian hipoglikemi teratasi, harus segera dicari faktor penyebabnya serta dilakukan
penyesuaian dosis OHO atau insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih aman
dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Insulin basal yang dikombinasi dengan OHO aman
digunakan pada pasien-pasien DM tipe2. Dalam suatu review dari beberapa studi klinis acak
terkendali, yang membandingkan pemberian insulin monoterapi dan kombinasi dengan OHO, 13
dari 14 diantaranya tidak menunjukkan perbedaan bermakna dari angka kejadian hipoglikemi.
Penggunaan insulin analog terbukti mengurangi angka kejadian hipoglikemi. Dalam beberapa
studi menunjukkan bahwa angka kejadian hipoglikemi lebih rendah pada pemakaian insulin
glargine dan insulin detemir, dibandingkan dengan insulin NPH. Sebelum dipulangkan, pasien
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar glukosa darah
dibawah rentang batas normal. Bila kadar glukosa darah turun sampai dibawah 40 mg/dl, akan
memberikan gejala-gejala neurologik yang berat dan irreversibel. Pada pasien DM, hipoglikemia
terutama terjadi akibat pemberian obat-obat golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin.
Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM, terutama pada pasien
usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa darah yang akan meningkatkan
risiko komplikasi makro dan mikrovaskular akibat hiperglikemia. Pada kelompok usia lanjut,
manifestasi gejala dan tanda2 hipoglikemia seringkali tidak jelas dikarenakan adanya neuropati
otonom (hypoglycemia unawareness) , sehingga terkadang pasien datang ke rumah sakit sudah
dalam keadaan hipoglikemia yang berat. Hipoglikemia dapat memprovokasi terjadinya gangguan
hemodinamik sehingga dapat meningkatkan angka kejadian stroke, infark miokard, dan aritmia
ventrikel serta sudden death.
Hipoglikemia dapat pula menimbulkan penurunan kesadaran dan kejang, yang pada usia
lanjut akan meningkatkan risiko jatuh dan fraktur karena adanya komorbiditas seperti
osteoporosis. Dalam pencegahan dan penatalaksanaan hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 usia
lanjut, edukasi terhadap keluarga memegang peranan yang sangat penting. Pemberian insulin
analog yang bersifat lebih fisiologik dalam mengendalikan kadar glukosa darah, dapat
mengurangi frekuensi kejadian hipoglikemia.
Daftar Pustaka
Shahab, Alwi. Hipoglikemia pada pasien diabetes.
Dan beberapa dari gabungan Aqil