Anda di halaman 1dari 6

Panas tidak tinggi:

Infeksi virus reaksi imunologi respon terhadap sitokin proinflamasi (TNF dan
IL-6) Peningkatan set-point di hypothalamus Demam tidak terlalu tinggi
Batuk:
Infeksi virus di cavum nasi dan nasofaring reaksi inflamasi hipersekresi mucus
dan edema lapisan mukosa perangsangan saraf aferen batuk saraf eferan batuk
mekanisme batuk:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Inspirasi dalam
Penutupan glotis
Relaksasi diafragma
Kontraksi otot-otot pernafasan
Perbedaan tekanan udara antara intrathorak dan udara luar
Glotis membuka
Aliran udara yang cepat melewati trakea
Pilek:
Infeksi virus di cavum nasi dan nasofaring reaksi inflamasi hipersekresi mucus
dan edema lapisan mukosa pilek (common cold).
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu
Definisi
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen
yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup
adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa
adanya obstruksi jalan napas
Pada croup sindrom ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya dipicu
oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan pembengkakan di
dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal. Selain itu juga terjadi suatu
pembengkakan di sekitar pita suara, terjadi biasanya secara umum pada bayi dan anakanak dan dapat memiliki berbagai penyebab
Epidemiologi
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3
bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini cukup kecil.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan,
dengan 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur pada
negara-negara sub-tropis sedangkan pada negara tropis seperti indonesia angka kejadian

cukup tinggi pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun.
Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi respiratori yang
berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama
Etiologi
Croup sindrom ini biasanya dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama lain
menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laryngotrakeitis akut, batuk
tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laryngotrakeo-bronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut terdapat kondisi
yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan sehubungan dengan
simptomatologi, akan tetapi terdapat pula yang dikarena infeksi bakteri dan biasanya
dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat disebabkan virus dan bakteri, croup
sindrom juga bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa Candida albican1.
Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human Parainfluenza
Virus terutama tipe 1 (HPIV1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4 terdapat pada sekitar 75%
kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B, virus campak , Adenovirus dan
Virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan oleh
kelompok virus yang sama seperti laryngotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda
infeksi biasa (seperti demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah
putih). Perawatan, dan respon terhadap pengobatan, juga serupa2.
Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa antara
lain,
difteri
laring,
trakeitis
bakteri,
laryngotrakeobronkitis,
dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium
diphtheriae
sementara
trakeitis
bakteri,
laryngotrakeobronkitis,
dan
laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan
pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella2.
Penyebab Lain
Etiologi lainnya selain dikarenakan infeksi berupa virus, bakteri, dan jamur.
Terdapat pula penyebab lain yaitu1:
Mekanik

Benda asing
Pasca pembedahan
Penekanan massa ekstrinsik

Alergi
Sembab angioneurotik
Klasifikasi
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu
A. Viral Croup (laringotrakeobronhotis)
Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi saluran
pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia 6 tahun. Stridor (+), Batuk (sepanjang
waktu), Demam (+) yang tinggi, durasi 2-7 hari, Keluarga sejarah (+), kecenderungan oleh
asma (-).
B. Spasmodic Croup
Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal, anak tibatiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada malam hari sebelum
menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali normal.

1.

2.

3.

4.

Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat


keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori5:
Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul, Stridor
yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan
teradapat retraksi dada ringan.
Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, Stridor lebih
bisa mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada yang
sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan yaitu gawat napas (repiratory distress).
Berat: Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul, Inspirasi stridor
lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan tetapi, lebih terdengar
jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi
dinding dada, juga terdapat gangguan pernapasan.
Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif (kadang sangat
jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan kesadaran (letargi), dan kelesuan.

Patofisiologi dan patogenesis


Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi langsung dari
sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar terjadi partikel masuk
melalui mata atau hidung. infeksi virus di laryngotrakeitis, laryngotrakeobronkitis dan

laryngotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari nasofaring atau oropharynx yang


turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-8 hari. Diffuse peradangan yang
menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah
bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk
terjadinya obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan mengakibatkan
perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan menyebabkan
penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa
dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah
subglottis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas.
Airway karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang menyebabkan
penyempitan stridor diikuti retraksi dinding dada yang dapat terjadi (selama inspirasi). Di
daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis mengandung infiltrat selular di
lamina propria, submukosa dan advensisia. Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel plasma,
dan neutrofil.
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur menyebabkan
pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi
gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas
Manifestasi klinis
Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi yang
sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran
napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa
obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain
terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan
pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi
supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah
berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi
gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari 1. Anak
akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup
(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini2:
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik
Usia
Gejala prodromal

Viral Croup
6 bulan 6 tahun
Ada

Spasmodic Croup
6 bulan 6 tahun
Tidak jelas

Stridor
Batuk
Demam
Lama sakit
Riwayat keluarga
Predisposisi asma

Ada
Sepanjang waktu
Ada (tinggi)
2-7 hari
Tidak ada
Tidak ada

Ada
Terutama malam hari
Bisa ada, tidak tinggi
2-4 jam
Ada
Ada

Tata laksana
Terapi suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit gawat
darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit
yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya
sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi
udara pada penyempitan saluran pernapasan.
Farmakoterapi
Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik
pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak
lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.
Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam
menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan
croup.Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena itu tidak
diberikan pada anak yang menderita croup.
Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan
croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara
empiris terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi super infeksi paling sering
bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari
1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional.
Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup
berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi

distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah
penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang
mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali
setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi.
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin
1:1.000 memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis
tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan
untuk semua anak tanpa menghiraukan berat badan.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa
unit perawatan intensif anak.
Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi,
reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke
pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala
derajat ringan, sedang dan berat.
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral.
Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan.
Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang
mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi
lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih
tinggi, memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien.
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan
dexamethasone oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga
tidak secara rutin digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat,
pemberian budesonide dan epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih
efektiv daripada pemberian epinephrine saja.Pada pasien dengan gejala muntah-muntah
juga merupakan alasan untuk memberikan inhalasi steroid.

Anda mungkin juga menyukai