Anda di halaman 1dari 20

SMF ILMU THT-KL RSUD dr.

SOEKARDJO TASIKMALAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

I. Keterangan Umum
Nama

: Nn. SA

Umur

: 21 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Cikalong RT/RW 04/09, Tasikmalaya

Status Martial

: Belum menikah

Pekerjaan

: Mahasiswi

Tanggal pemeriksaan : 2 Juli 2015


II.

Anamnesa
Keluhan utama
: Hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4
hari yang lalu. Keluhan dirasa pasien terutama ketika terpapar udara dingin
dan debu. Keluhan disertai hidung terasa gatal dan keluar cairan berwana
bening, cair dan tidak berbau. Tidak ada penciuman berbau dan nyeri pada
bagian pipi (-). Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin setiap pagi hari sejak
4 hari yang lalu, bersin-bersin lebih dari 4x dalam satu hari.
Keluhan juga disertai mata terasa gatal, kadang disertai rasa berat
dikepala. Tidak ada keluhan sakit telinga, telinga berdengeng atayupun
telingan terasa penuh (-). Tidak ada nyeri menelan (-). Pasien Tidak sedang
batuk pilek atau pun deman.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit dengan keluhan yang sama sejak 6 tahun yang lalu, ketika
pasien masih SMP

III.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang mengeluh gejala seperti ini dikeluarga
Riwayat Pengobatan
Pasien sering berobat, dan keluhan sembuh. Kemudian kambuh kembali.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi udara dingin dan telur

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Nadi
Respirasi
Suhu
Tekanan darah
Status Generalis
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas
Neurologis

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: 75 x/menit
: 17 x/menit
: afebris
: 110/70 mmHg
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Dalam batas normal
: Tidak dilakukan

STATUS LOKALIS
Telinga
Bagian
Preaurikula
Aurikula
Retroaurikula

Kelainan
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Edema
Hiperemis
Nyeri tekan

Auris
Dextra
-

Sinistra
-

Sikatriks
Fistula
Fluktuasi
Kelainan kongenital
Kulit
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan Granulasi
Massa
Kolesteoma
Warna
Intek
Warna

Canalis
Akustikus
Externa

Membran

DBN
(+)
(+)
(+)
Putih mutiara

DBN
(+)
(+)
(+)
Putih mutiara

Timpani
Tes Pendengaran
Pemeriksaan
Tes Bisik/Suara
Tes Rinne
Tes Webber
Kesan
: ADS Normal

Auris
Dextra
Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
+
+
Tidak ada lateralisasi

Hidung
Pemeriksaan
Keadaan luar
Bentuk dan
ukuran
Rhinoskopi
Mukosa
Sekret
Anterior
Krusta
Konka inferior
Septum
Polip/tumor
Pasase udara

Nares
Dextra

Sinistra

livid
(+) bening
(+) eutropi
DBN
+

livid
(+) bening
(+) hipertropi
DBN
+

Rhinoskopi
posterior

Mukosa
Koana
Sekret
Torus tubarius
Fossa rosenmuller
Adenoid
Mulut dan Orofaring
Mulut

Tonsil

Faring
Laring

Maksilofasial
Bentuk
Parase N.Kranial
Leher

Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula
Halitosis
Mukosa
Besar
Kripta
Dentritus
Perlengketan

Mukosa
Granulasi
Post nasal drip
Epiglottis
Kartilago aritenoid
Plika ariepiglotika
Plika vestibularis
Plika vokalis
Rima glottis
Trakea

Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai

Merah muda
bersih
DBN
Tidak ada caries
DBN
Merah muda
Merah muda
T1
T1
(+) normal
(+) normal
Sulit dinilai
Sulit dinilai

Merah muda
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai

: DBN
: DBN
: DBN

IV.

Resume
Anamnesa
Hidung tersumbat (+)
Bersin-bersin (+)
Mata terasa gatal (+)
Rhinorea (+)
Serumen ADS (+)
Pemeriksaan fisik
a. Status generalis
- Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
- Kesadaran
: Compos metis
b. Status lokalis
- ADS
: Serumen (+) ADS
- CN
: Conca Inferior Hipertrofi
- NPOP
: Sulit dinilai
- MF
: DBN
- Leher
: DBN

V.

Diagnosis banding

: Rinitis alergi mild persisten + Serumen ADS


Rinitis Vasomotor + Serumen ADS

VI.

Diagnosis kerja

: Rinitis alergi mild persisten + serumen ADS

VII.

Usulan pemeriksaan

: Skin prick test


IgE
Foto Rontgen Waters

VIII. Penatalaksanaan
1. Umum
2. Medikamentosa
- Antihistamin
- Dekongestan

: Hindari faktor pencetus, dingin dan makanan


: Cetrizine (10mg)
: Efedrin HCL (7.0 mg)

3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan kedua konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
IX.

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat


Prognosis
- Quo ad vitam
: dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Rinitis Alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulang dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1

2. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk

berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion


Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1
3. Gambaran histologi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. 1

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar


keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.

10

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe
1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.1

4. Etiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi.2
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain,

11

seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat


berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca.3
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:1
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
c. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

12

5. Gejala klinik rinitis alergi


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis.3
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung

13

melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),
pucat dan edema.

6. Diagnosis rinitis alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.1
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus

14

encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair
maka dinyatakan positif.3
b. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung.1
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul
akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan
banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis dan otitis media.1

c. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya

15

selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
c. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan

16

sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis


makanan.1
7. Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,
yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat

dalam

kombinasi

atau

tanpa

kombinasi

dengan

dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2


golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik,

sehingga

dapat

menembus

sawar

darah

otak

(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek


kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik
alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari

terjadinya

rinitis

medikamentosa.

Preparat

kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat

17

respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang


sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa,
budesonid,

flusolid,

flutikason,

mometasonfuroat

dan

triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium


bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.1
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat.1
c. Imunoterapi - Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila
upaya penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal
dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa
cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal,
sub lingual, oral dan lokal.

Pemberian imunoterapi dengan

menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti


memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai
seasonal

rhinoconjunctivitis

mencapai

tahun

setelah

imunoterapi dihentikan. 3

Algoritmia Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA 2001

18

8. Komplikasi rinitis alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya
(lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia
goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

19

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih


sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis
dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob
dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas
sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.3

DAFTAR PUSTAKA
.
1. Soepardi, Efiaty A. Iskandar Nurbaiti. dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepaladan
Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014: 106-111
2. George l, Adams. Lawrence R, Boies. Peter A, Higler. BOIES Buku AjarPenyakit
THT. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997.
3. Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial,

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M.


Djamil Padang , 2009.

20

Anda mungkin juga menyukai