SOEKARDJO TASIKMALAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
I. Keterangan Umum
Nama
: Nn. SA
Umur
: 21 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Status Martial
: Belum menikah
Pekerjaan
: Mahasiswi
Anamnesa
Keluhan utama
: Hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4
hari yang lalu. Keluhan dirasa pasien terutama ketika terpapar udara dingin
dan debu. Keluhan disertai hidung terasa gatal dan keluar cairan berwana
bening, cair dan tidak berbau. Tidak ada penciuman berbau dan nyeri pada
bagian pipi (-). Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin setiap pagi hari sejak
4 hari yang lalu, bersin-bersin lebih dari 4x dalam satu hari.
Keluhan juga disertai mata terasa gatal, kadang disertai rasa berat
dikepala. Tidak ada keluhan sakit telinga, telinga berdengeng atayupun
telingan terasa penuh (-). Tidak ada nyeri menelan (-). Pasien Tidak sedang
batuk pilek atau pun deman.
III.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Nadi
Respirasi
Suhu
Tekanan darah
Status Generalis
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas
Neurologis
STATUS LOKALIS
Telinga
Bagian
Preaurikula
Aurikula
Retroaurikula
Kelainan
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Kelainan kongenital
Radang dan Tumor
Trauma
Edema
Hiperemis
Nyeri tekan
Auris
Dextra
-
Sinistra
-
Sikatriks
Fistula
Fluktuasi
Kelainan kongenital
Kulit
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan Granulasi
Massa
Kolesteoma
Warna
Intek
Warna
Canalis
Akustikus
Externa
Membran
DBN
(+)
(+)
(+)
Putih mutiara
DBN
(+)
(+)
(+)
Putih mutiara
Timpani
Tes Pendengaran
Pemeriksaan
Tes Bisik/Suara
Tes Rinne
Tes Webber
Kesan
: ADS Normal
Auris
Dextra
Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
+
+
Tidak ada lateralisasi
Hidung
Pemeriksaan
Keadaan luar
Bentuk dan
ukuran
Rhinoskopi
Mukosa
Sekret
Anterior
Krusta
Konka inferior
Septum
Polip/tumor
Pasase udara
Nares
Dextra
Sinistra
livid
(+) bening
(+) eutropi
DBN
+
livid
(+) bening
(+) hipertropi
DBN
+
Rhinoskopi
posterior
Mukosa
Koana
Sekret
Torus tubarius
Fossa rosenmuller
Adenoid
Mulut dan Orofaring
Mulut
Tonsil
Faring
Laring
Maksilofasial
Bentuk
Parase N.Kranial
Leher
Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula
Halitosis
Mukosa
Besar
Kripta
Dentritus
Perlengketan
Mukosa
Granulasi
Post nasal drip
Epiglottis
Kartilago aritenoid
Plika ariepiglotika
Plika vestibularis
Plika vokalis
Rima glottis
Trakea
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Merah muda
bersih
DBN
Tidak ada caries
DBN
Merah muda
Merah muda
T1
T1
(+) normal
(+) normal
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Merah muda
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
: DBN
: DBN
: DBN
IV.
Resume
Anamnesa
Hidung tersumbat (+)
Bersin-bersin (+)
Mata terasa gatal (+)
Rhinorea (+)
Serumen ADS (+)
Pemeriksaan fisik
a. Status generalis
- Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
- Kesadaran
: Compos metis
b. Status lokalis
- ADS
: Serumen (+) ADS
- CN
: Conca Inferior Hipertrofi
- NPOP
: Sulit dinilai
- MF
: DBN
- Leher
: DBN
V.
Diagnosis banding
VI.
Diagnosis kerja
VII.
Usulan pemeriksaan
VIII. Penatalaksanaan
1. Umum
2. Medikamentosa
- Antihistamin
- Dekongestan
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan kedua konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
IX.
TINJAUAN PUSTAKA
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulang dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1
2. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
10
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe
1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.1
11
12
13
melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),
pucat dan edema.
14
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair
maka dinyatakan positif.3
b. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung.1
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul
akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan
banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis dan otitis media.1
c. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
15
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
c. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
16
dalam
kombinasi
atau
tanpa
kombinasi
dengan
sehingga
dapat
menembus
sawar
darah
otak
terjadinya
rinitis
medikamentosa.
Preparat
17
flusolid,
flutikason,
mometasonfuroat
dan
rhinoconjunctivitis
mencapai
tahun
setelah
imunoterapi dihentikan. 3
18
19
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Soepardi, Efiaty A. Iskandar Nurbaiti. dkk. Telinga Hidung Tenggorok Kepaladan
Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014: 106-111
2. George l, Adams. Lawrence R, Boies. Peter A, Higler. BOIES Buku AjarPenyakit
THT. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997.
3. Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial,
20